Pastor Eric Chang | Efesus 5:21-33 |

Hubungan antara sesama bermodelkan hubungan antara suami dengan istri. Ini dapat dilihat di Efesus 5:21-33 yang berkata,

“Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus. Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.

Perhatikan bahwa di saat Paulus berbicara tentang hal pernikahan, pembahasannya sepertinya melebar ke sana kemari. Di satu saat dia berbicara tentang pernikahan, di saat berikutnya dia berbicara tentang Jemaat.

Bagi Paulus, pernikahan itu dimaksudkan sebagai gambaran dari realitas rohani tentang bagaimana semestinya hubungan di antara Kristus dengan Jemaat-Nya, dan bagaimana hubungan di tengah Jemaat. Ini adalah hal yang mudah untuk dipahami. Mengapa? Karena sebagaimana cara Allah menangani kita, sebagaimana cara Kristus menangani Jemaat-Nya, maka seperti itu pulalah cara kita saling berurusan. Demikianlah kita menjadi peniru-peniru Kristus.

Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya.  Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.  Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.  Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.

Saya akan menarik tiga poin di sini.


1. Mengasihi “sesama seperti dirimu sendiri”.

Kita tentunya sangat akrab dengan ungkapan, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Tapi Anda mungkin bingung, “Bagaimana saya bisa mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri?” Dia adalah orang lain, bukan diri saya sendiri. Saya tidak bisa mengasihi dia karena dia bukan diri saya. Saya bisa mengasihi dia sampai pada batas-batas tertentu, akan tetapi saya tidak bisa mengasihi dia ‘seperti diri sendiri’ karena dia bukanlah saya. Masalahnya memang begitu.

Siapa sesama manusia bagi orang Yahudi? Kata ‘sesama manusia’ di dalam Kitab Suci tidak memiliki arti siapa saja. Kata ‘sesama manusia’ sebenarnya merupakan terjemahan kata Ibrani ‘rea’, yang berarti teman atau sekutu. Kata ini tidak berarti siapa saja. Kata ‘sesama manusia’ di dalam Perjanjian Lama secara khusus mengacu pada orang yang merupakan teman Anda, yakni orang yang memiliki hubungan pertemanan dengan Anda, walaupun secara jasmani dia tinggal di tempat yang cukup jauh dari Anda. Kata ini  memiliki arti bahwa Anda dan dia merupakan bagian dari suatu kumpulan masyarakat tertentu. Kata ‘sesama manusia’ bagi orang-orang Yahudi tidak termasuk orang asing, atau orang yang kebetulan berdekatan dengan Anda, tapi tidak Anda kenal.

Sesama manusia, dalam pengertiannya yang paling minimum adalah sesama orang Israel. Orang tersebut paling tidak harus termasuk ke dalam bangsa Israel. Atau bisa saja orang yang bukan Israel akan tetapi sudah menganut agama mereka (orang-orang proselit). Ini adalah hal yang sangat penting untuk dipahami, bahkan di dalam ajaran Yesus kata ‘sesama manusia’ ini tidak sembarangan diartikan sebagai orang yang kebetulan berada dekat dengan Anda.

Sebagai contoh, ada orang Yahudi yang bertanya, “Siapakah sesamaku manusia?” Dan Yesus menjawab di perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati itu bahwa orang Samaria itulah sesamamu manusia. Cukup tepat. Orang-orang Samaria berhak untuk disebut sebagai sesama manusia bagi orang Yahudi, bukan karena secara jasmaniah mereka tinggal berdekatan melainkan juga karena mereka menyembah Allah yang sama dan membaca Kitab yang sama. Malahan, pada dasarnya, mereka memiliki iman yang sama. Orang-orang Samaria adalah umat yang teguh berpegang pada kelima Kitab Musa. Musa adalah pemberi hukum bagi orang-orang Samaria. Jadi, mereka juga beriman pada Allah yang sama. Sesungguhnya, mereka memang adalah sesama manusia bagi orang Yahudi, sekalipun orang-orang Yahudi begitu membenci mereka.

Sebagaimana yang telah Anda ketahui, tidak ada kebencian yang melebihi kebencian dengan alasan agama. Kebencian antara kaum Prostestan dengan Katholik, bahkan kebencian di dalam kalangan Prostestan, di antara berbagai denominasi memang sangat mengakar dan memuakkan! Demikianlah, begitu mendalamnya kebencian orang Yahudi terhadap orang Samaria, dan juga sebaliknya. Akan tetapi, entah kita suka atau tidak, orang yang tergabung dalam gereja Metodis atau Injili atau apapun itu, mereka adalah sesama manusia bagi kita.

Mereka memiliki iman kepada Allah yang sama. Mereka membaca Alkitab yang sama. Mungkin saja kita tidak suka dengan struktur jemaat mereka, namun itu bukan urusan kita. Kita tidak berhak meniadakan mereka dari makna sesama manusia bagi kita. Jadi, sesama manusia menurut Alkitab, pertama-tama mengacu pada orang yang berhubungan dengan kita di dalam iman yang sama.

Siapa ‘sesama manusia’ di dalam Perjanjian Baru? Di PB, sesama manusia berarti sesama orang Kristen, anggota gereja lokal yang sama. Di dalam Efesus 4:25 disebutkan,

“Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain,”

lalu ayat ini melanjutkan dengan berkata,

“karena kita adalah sesama anggota.”

Surat Efesus ini tentunya berbicara tentang anggota gereja sebagai ‘sesama anggota‘. Sebagai anggota dari tubuh yang sama.

Dua kali di Efesus pasal 5 dikatakan kepada pihak suami untuk mengasihi istrinya seperti dirinya sendiri. Ayat di Efesus 5:33 berbunyi, “Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri.

Mengapa Anda sanggup mengasihi istri Anda seperti diri sendiri? Paulus sudah menjelaskan di ayat yang sebelumnya. Dia berkata karena Anda berdua telah menjadi satu tubuh, satu daging. Demikian juga kita sebagai Jemaat adalah anggota satu tubuh. Itulah sebabnya mengapa Anda seharusnya bisa mengasihi sesama manusia seperti diri Anda sendiri. Tentu saja, jika Anda tidak memandang sesama manusia sebagai satu tubuh dengan Anda, maka Anda tidak akan mengasihinya seperti diri Anda sendiri. Itulah pokok intinya.

Dua kali di dalam ayat-ayat ini disebutkan adanya kesejajaran antara hubungan yang diharapkan dari kita terhadap sesama manusia dengan yang diharapkan untuk hubungan di antara suami dengan istri. Dapatkah Anda melihat kesejajarannya?

Parallel ini begitu mengakar di dalam Kitab Suci. Parallel ini mengejutkan saya karena selama ini tak pernah memandang sesama orang Kristen sebagai orang-orang yang sedemikian rupa disatukan dengan saya, secara rohani, sama seperti bagaimana istri saya disatukan dengan saya.

Dapatkah Anda menatap setiap orang di sekeliling Anda dan berkata, “Saya mengasihi orang itu karena saya telah disatukan dengan orang itu”? Anda tidak merasa disatukan dengan orang tersebut. Mengapa? Karena Anda belum berkomitmen kepada orang tersebut. Dan orang tersebut juga belum memberikan komitmennya kepada Anda, jadi adakah Anda merasakan adanya komitmen? Tak ada. Dengan demikian, karena kurangnya komitmen antara yang satu dengan yang lain, maka kita tidak memiliki rasa kesatuan, kita tidak memiliki kasih. Kasih ini hanya bisa timbul jika kita menyadari bahwa kita semua ini adalah satu tubuh.


2. Saling menerima sebagai satu tubuh.

Hal ini dimungkinkan hanya jika kita taat dan menerima satu sama lain sebagai anggota tubuh yang sama – satu tubuh. Sekali lagi, di Efesus 5:31, ayat ini adalah dasar bagi hubungan pernikahan. Mereka berdua bukan lagi merupakan dua orang akan tetapi menjadi satu daging, satu tubuh. Akan tetapi, di dalam perikop yang sama ini, berulang kali Paulus menyebutkan Jemaat sebagai ‘satu tubuh’, persis sama seperti pernikahan yang membentuk satu tubuh, satu daging.

Kata di dalam Perjanjian Lama yang diterjemahkan dengan istilah ‘satu daging’, basar, secara harfiah bermakna tubuh. Jika Anda buka kamus bahasa Ibrani, umpamanya kamus karangan Brown, Driver & Briggs, artinya adalah tubuh. Jadi suami dan istri disebutkan menjadi satu tubuh. Demikian pula halnya dengan kita, Jemaat adalah satu tubuh. Itulah inti keseluruhannya. Berulangkali Paulus berkata bahwa Jemaat adalah satu tubuh.

Namun apakah Anda menyadari dan merasakan bahwa kita ini satu tubuh? Mungkin tidak. Kekristenan kita terlalu dangkal untuk komitmen semacam itu. Komitmen kita antara satu dengan yang lain sangatlah dangkal. Komitmen kita satu sama lain baru sebatas komitmen sopan santun. Tak ada kedalaman di sana. Kita tidak menyadari bahwa dengan dibeli oleh darah Kristus, berarti kita telah dibaptis oleh Roh Kudus ke dalam satu tubuh supaya kita menjadi demikian tersatukan dan terhubungan antara yang satu dengan yang lain sama seperti suami dan istri yang menjadi satu tubuh. Uraian yang mengejutkan, bukankah begitu?


3. Tunduk kepada sesama.

Di dalam hubungan suami istri, istri diperintahkan untuk tunduk kepada suami dan suami yang harus mengasihi istri. Jenis hubungan semacam ini persisnya adalah jenis hubungan yang menggambarkan hubungan antar anggota gereja. Perhatikan ayat 21, rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus. Akan tetapi ayat ini, sebagaimana yang telah kita lihat, merupakan bagian dari ayat-ayat sebelumnya, yang menguraikan tentang hubungan di kalangan sesama orang Kristen.

Pernyataan ini diulangi di sepanjang surat-surat yang ditulis oleh Paulus. Paulus, berulangkali menyuruh orang-orang Kristen untuk menempatkan orang lain lebih tinggi, untuk tunduk kepada sesama dan itu sama saja artinya dengan saling merendahkan diri, dan ungkapan ini justru dipakai juga di dalam kaitannya dengan hubungan antara suami dan istri.

Namun jika dibalik, pemahamannya juga benar. Dikatakan bahwa suami harus mengasihi istri dengan cara bagaiamana? Sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya, demikian dikatakan di dalam ayat 25. Dengan cara bagaimana suami harus mengasihi istrinya? Sampai dengan mengorbankan nyawa bagi istrinya. Dan pernyataan ini sejajar dengan perintah yang diberikan kepada orang Kristen di dalam berhubungan antara satu dengan yang lain. Di dalam 1 Yohanes 3:16 dikatakan bahwa kita harus saling mengasihi sampai ke tingkat mengorbankan nyawa. Dengan kata lain, apa yang seharusnya diperbuat oleh suami kepada istri adalah hal yang juga berlaku bagi orang Kristen terhadap sesama Kristen. Tidak ada bedanya; perintah yang persis sama. Bukankah hal ini luar biasa? Memang luar biasa!

Sekarang kita bisa melihat dari bukti-bukti alkitabiah yang ada bahwa jika kita meneliti poin-poin ini, maka kita aka melihat bahwa hubungan pernikahan menggambarkan hubungan spiritual di antara anggota gereja. Dengan cara inilah kita saling berhubungan dengan sesama anggota gereja.

Memberikan yang terbaik kepada Allah berarti saling memberi diri. Kita diminta untuk memberikan yang terbaik bagi Allah. Apa yang harus kita perbuat untuk bisa memberikan yang terbaik? ‘Memberikan yang terbaik’ ternyata berarti saling memberikan diri kita, dan hal ini ternyata bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena Anda mungkin akan memandang ke arah orang lain dan berkata, “Aku, harus memberikan diriku kepada orang itu? Oh tidak! Mungkin aku bisa melakukannya terhadap satu atau dua orang. Terhadap orang-orang tertentu bisa saja – akan tetapi terhadap yang lain, tidak akan bisa.”

Jika Kristus telah mengasihi kita secara itu, lalu apakah kita akan selamat? Jika Kristus memandang ke arah kita dan berkata, “Aku lihat ada beberapa orang yang baik di sini, Aku mau mati bagi mereka. Tetapi untuk yang lainnya, mereka tidak layak untuk menerima pengorbanan sampai mati. Singkirkan mereka.”

Jika kita memperlakukan orang lain dengan cara seperti ini, maka Allah – pada hari Penghakiman – akan memperlakukan kita sama seperti cara kita memperlakukan orang lain. Apa yang akan terjadi pada diri kita pada hari Penghakiman nanti? Saya harap Anda mau memahaminya. Allah akan menolak kita berdasarkan sikap penolakan kita terhadap orang lain, bukankah begitu? Kita akan disingkirkan pada hari penghakiman nanti.

Jadi saya harap kita semua bisa menangkap gambaran yang luar  biasa tentang seperti apa seharusnya gereja itu! Kita memang masih jauh dari gambaran itu. Saya rasa, Anda dan saya sama-sama mengetahuinya. Akan tetapi setidaknya kita sekarang memiliki satu tujuan di hadapan kita. Kita tahu apa yang harus kita tuju. Dan saat kita berkata bahwa kita akan memberikan yang terbaik dari kita dengan kasih karunia Allah, maka kita tahu apa yang harus kita perbuat, kita tahu apa yang harus kita perjuangkan di tengah angkatan ini, bahwa gereja akan kembali menjadi sebagaimana seharusnya.

Di dalam rencana Allah, pernikahan itu direncanakan untuk mengajar kita. Allah menghendaki agar hubungan pernikahan itu menjadi suatu titik awal di mana dua orang mulai belajar untuk saling memberi diri. Sebagai contoh, jika Anda tidak bisa memberi diri kepada satu orang, bagaimana bisa Anda memberi diri kepada segenap Jemaat? Anda bisa memulainya dengan satu orang. Jadi pernikahan dimaksudkan untuk mengajar kita langkah awal menuju masyarakat tersebut. Itulah keindahan dari rencana Allah.

Jika Anda teliti isi kitab Kejadian, di sana terlihat sekali seperti apa rencana Allah itu. Apakah alasan dari suatu pernikahan? Kejadian 2:18 berkata, “Tidaklah baik bagi manusia itu jika dia sendirian.” Tidaklah baik bagi kerohanian Anda jika Anda sendirian.

Lalu bagaimana? Jadi Anda harus memulai dengan membangun hubungan dengan orang lain. Anda memulainya dengan satu orang saja. Dan inilah model yang akan kita tiru di dalam gereja. Membangun hubungan antara saudara atau saudari seiman, lalu membangun hubungan lagi dengan saudara atau saudari yang lain. Yang lainnya lagi, dan begitu seterusnya sehingga komunitas ini berkembang.

Demikianlah, “Tidaklah baik jika manusia itu sendirian,” akan tetapi sekalipun Anda berdua, dalam hal tertentu Anda tetap bisa merasa sendirian juga. Allah lalu menunjukkan hal ini di dalam Kejadian 1:28, “Berkembang-biaklah.” Pernikahan dimaksudkan sebagai suatu titik awal dari suatu komunitas yang baru. “Berkembang-biaklah.” Jangan sekadar tetap menjadi dua saja, akan tetapi bertambah-tambahlah sampai terbentuk suatu komunitas. Inilah tujuan yang dimaksudkan dari pernikahan.

Dengan cara yang sama, kita diperintahkan untuk mulai membangun di dalam gereja ini suatu jenis komitmen yang diawali dari kepada satu orang, lalu berlanjut kepada orang-orang lainnya. Hal ini bermula dengan tim kepemimpinan, ke anggota tim pelatihan dan untuk terus mengembangkannya sampai pada penerapan komitmen ke setiap tingkat Jemaat.

Berikan Komentar Anda: