new-header-renungan
new-header-renungan
previous arrow
next arrow

 

Fenelon |

(Renungan singkat dari Fenelon dalam meneguhkan iman seorang percaya yang sedang berhadapan dengan maut)

Saya sama sekali tidak kaget bahwa Anda sering memikirkan tentang kematian. Saya kira adalah lazim untuk memikirkan tentang maut semakin kita menjadi tua dan lemah! Setidaknya, itulah pengalaman saya.

Kita tiba ke satu tahap di mana kita dipaksa untuk memikirkan tentang pengakhiran yang tak terelakkan, yang semakin mendekat itu. Semakin kita tua dan tidak aktif, semakin kita memikirkan hal ini.

Mungkin kita berharap pikiran sedemikian tidak menghantui kita. Tetapi Tuhan mengizinkan ini terjadi supaya kita tidak tertipu dan berpikir bahwa kita tidak takut berhadapan dengan maut. Sangatlah bagus untuk memikirkan tentang maut dengan serius supaya kita sadar akan kelemahan kita sebagai manusia dan merendahkan diri di hadapan Tuhan.

Tidak ada yang lebih membuat kita rendah hati dibandingkan dengan pemikiran tentang maut. Di tengah-tengah renungan tentang hal ini, kita sering bertanya-tanya apa yang sudah terjadi dengan iman dan jaminan yang kita pikir kita miliki.

Tetapi pengalaman ini sangat baik bagi kita. Inilah ujian kerendahan hati kita. Waktu iman kita dihancurkan dan diuji, kita sekali lagi melihat kelemahan dan ketidak-layakan kita, dan sekali lagi kita memahami perlunya kita akan belas kasihan dari Tuhan.

Di saat seperti itu, kita melihat kelemahan kita dan bukan kelebihan kita. Dan inilah yang seharusnya, karena sangatlah merbahaya untuk memandang pada kelebihan kita, karena kita mungkin akan terjebak dalam bahaya memikirkan bahwa kita tidak lagi memerlukan rahmat Tuhan.

Saat kita kehilangan iman dan jaminan, hanya ada satu hal yang perlu dilakukan. Kita harus melewati lembah itu dengan berjalan bersama-sama dengan sang Gembala, sama seperti sebelum kita masuk ke lembah itu. Sambil kita melewati lembah ini, biarlah kita menangani dosa-dosa yang disingkapkan oleh Tuhan, dan terus berjalan di dalam terang yang Ia berikan.

Di sisi lain, kita harus berwaspada agar tidak menjadi terlalu sensitif hanya karena kita sedang berhadapan dengan maut. Tuhan tidak mau Anda terlalu memusingkan diri dengan hal-hal yang tidak penting. Kita harus tetap tenang, tidak mengasihani diri sendiri karena maut sudah mendekat. Tetapi, janganlah terlalu berpegang kepada kehidupan, persembahkan hidup Anda kepada Tuhan dan terus hidup dalam penyerahan kepada-Nya.

Seorang santo, Ambrose, menjelang kematiannya ditanya, “Tidakkah Anda takut menghadapi Tuhan di penghakiman nanti?” Ia menjawab dengan kata-kata yang tak terlupakan, “Tidak, kita mempunyai Tuan yang baik.” Kita harus mengingat hal ini.

Terdapat banyak ketidak-pastian tentang maut, bahkan bagi orang percaya. Kita tidak terlalu pasti bagaimana Tuhan akan menghakimi kita, dan kita juga tidak dapat 100% yakin akan karakter kita. Tetapi saya tidak menyatakan ini untuk mengguncang iman Anda. Tetapi saya coba untuk menunjukkan kepada Anda betapa kita perlu untuk sepenuhnya bergantung pada belas kasihan-Nya.

Kita harus, seperti yang dikatakan oleh Santo Augustinus, rendahkanlah diri kita ke tingkat di mana kita tidak mempunyai suatu apa pun untuk dipersembahkan melainkan, “kemelaratan kita dan belas kasihan-Nya.” Kita begitu melarat di dalam keberdosaan kita di mana tidak ada suatu apa pun yang dapat menyelamatkan kita kecuali belas kasihan-Nya. Tetapi bersyukurlah kepada Tuhan, karena yang kita butuhkan hanyalah belas asih-Nya!

Juga, di dalam waktu-waktu depresi ini, bacalah apa saja yang dapat menguatkan keyakinan dan meneguhkan hati Anda. “Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya.” (Mazmur 73.1) Marilah kita mendoakan hati yang bersih yang berkenan di mata-Nya, dan yang membuat-Nya mengasihani dan memahami kekurangan kita.

(Fenelon, atau Francois de Salignac de La Mothe Fenelon, adalah Uskup Agung Cambrai di Perancis pada abad ke-17. Renungan singkat di atas diambil dari koleksi surat-suratnya).