Pastor Jeremiah C | Yakobus 4:13-17 |
Hari ini, kita akan mempelajari Yak 4:13-17 bersama-sama. Bagian awal dari perikop tentang tujuan hidup kita. Sebagai seorang Kristen, apakah tujuan hidup Anda? Tujuan hidup dan cita-cita akan mempengaruhi cara kita menjalani hidup ini. Mari kita baca lagi ayat 13, dan mempelajari maknanya. Ayat 13 ini berbicara tentang gaya hidup manusia secara umum, bukankah demikian? Orang-orang dunia punya tujuan yang sangat jelas. Dalam rangka mengejar tujuan tersebut, mereka akan menyusun rencana dan persiapan yang sangat terperinci. Ayat 13 berbicara tentang orang-orang yang menjual dan membeli. Mereka sudah mematok suatu tujuan dalam hati mereka, yakni berangkat untuk berdagang di suatu kota yang tertentu. Mereka sudah memastikan waktunya, yaitu mereka akan tinggal di sana selama setahun. Mereka juga sudah mematok tujuan yang sangat jelas, yakni untuk meraih laba dari perdagangan. Hidup mereka memang memiliki arah dan tujuan yang sangat jelas. Mengejar target, mereka tidak ingin berlambat-lambat. Kapan akan mereka menjalankan rencana mereka? Hari ini, atau paling lambat, besok; artinya, demi pencapaian target, mereka tidak mau terjadi penundaan.
Perlu saya ingatkan, apa yang disampaikan oleh Rasul Yakobus ini ditujukan kepada orang-orang Kristen. Jangan mengira bahwa ayat 13 ini berbicara tentang orang yang tidak percaya kepada Allah. Ayat ini memunculkan satu masalah lain tentang orang Kristen: Apakah perbedaan tujuan hidup antara orang Kristen dan mereka yang tidak percaya kepada Allah? Ayat 13 ini berbicara tentang gaya hidup orang dunia. Segenap tujuan hidup mereka adalah urusan membeli, menjual, makan dan minum, sama seperti isi perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh yang disampaikan oleh Yesus. Inilah gaya hidup orang dunia. Saat kita memberitakan Injil, kita juga sering berkata kepada orang dunia bahwa hidup ini hanya sementara. Demikian pula halnya dengan segala macam prestasi dan pencapaian kita di dunia ini. Kita lahir tanpa membawa apa-apa ke dunia ini, dan saat mati kita pun tidak membawa apa-apa juga. Oleh karenanya, kita tidak boleh terikat pada hal-hal duniawi, kita harus berpegang pada Yesus. Inilah hal yang sering sampaikan pada mereka yang tidak percaya kepada Allah.
Akan tetapi, jika Anda perhatikan lagi ayat 13 ini, Anda akan sadari bahwa gaya hidup kita, orang-orang Kristen, sebenarnya tidak banyak berbeda dari orang dunia. Ayat 13 ini dengan jeli mencerminkan gaya hidup orang Kristen, bukankah begitu? Banyak orang Kristen membuat perencanaan akan kuliah di universitas mana tahu depan, akan bekerja di kota mana setelah lulus tiga tahun berikutnya, menabung untuk menikah dan memilki anak dan sebagainya. Jika kesejahteraan keluarga Anda tidak begitu bagus, Anda bisa coba mencari rejeki ke tempat lain. Setelah bekerja keras selama 3 tahun di sana, Anda bisa segera pulang, menikah dan punya anak. Jika ambisi Anda cukup besar, Anda bisa rencanakan untuk buka usaha sendiri dan meraih untung dari berdagang. Bukankah ini gaya hidup orang Kristen secara umum? Apa bedanya jika dibandingkan dengan gaya hidup orang non-Kristen?
Sudah tentu, rasul Yakobus memberitahu kita di dalam ayat 14 bahwa gaya hidup seperti itu tidak benar. Orang Kristen seharusnya tidak hidup seperti itu. Dia mengingatkan kita bahwa hidup ini singkat seperti kabut. Bahkan kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Mengapa rasul Yakobus harus memperingatkan kita akan hal ini? Apakah dia sedang berusaha menyuruh orang Kristen untuk memiliki pandangan hidup yang pesimis? Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok, maka lebih baik kita abaikan saja urusan perencanaan. Apakah kita harus hidup tanpa perencanaan?
Sebenarnya, hal yang disampaikan Yakobus di ayat 14 ini tak ada kaitannya dengan pandangan hidup, baik yang optimis maupun pesimis, kenyataannya kita memang tidak tahu apa-apa tentang hari besok. Banyak orang yang tidak mau menghadapi kenyataan ini. Mereka tak mau terima kenyataan bahwa hidup tidak berada di dalam kendali mereka. Apakah kita akan hidup esok hari, bukan kita yang menentukan. Beberapa psikolog menganjurkan kita untuk hidup dengan pandangan yang optimis. Akan tetapi, bisakah hal itu mengubah kenyataan yang dibicarakan di ayat 14 itu?
Saya pernah kenal dengan sepasang suami-istri yang bukan Kristen. Pasangan ini hidup sederhana dan cukup jujur. Mereka berdua bekerja sebagai petugas kebersihan, dan mereka bekerja cukup keras. Mereka bekerja keras untuk beberapa perusahaan dengan jam kerja yang cukup panjang. Mereka punya satu tujuan hidup, yakni menabung sampai terkumpul cukup uang untuk membeli sebuah rumah tempat mereka akan menikmati sisa hidup mereka. Lalu apa yang akan terjadi? Siapa yang bisa menduga sebelumnya bahwa sang suami kemudian terkena kanker hati dan dokter berkata bahwa penyakit ini tak memberi harapan bagi kesembuhan. Bagi sang istri, berita ini adalah bencana besar. Saya teringat ketika sang istri berkata bahwa dia rela menjual rumah dan segala harta demi menyelamatkan sang suami jika memungkinkan.
Ini adalah kenyataan hidup. Tak peduli apakah pandangan hidup Anda optimis atau pesimis, Anda tak akan bisa mengubah kenyataan. Apa yang akan terjadi besok berada di luar pengetahuan kita. Karena hidup ini singkat, lalu bagaimana seharusnya orang Kristen menjalani hidupnya?
Jawabannya ada di ayat 15. Rasul Yakobus mengingkatkan kita bahwa kita harus menempatkan kehendak Allah sebagai tujuan dari segenap perencanaan kita. Ayat 15 berkata, “jika Tuhan menghendaki.” Istilah tersebut bisa diartikan: Jika ini memang kehendak Tuhan. Apakah hal ini merupakan tujuan hidup kita? Jika ini adalah tujuan atau gol hidup Anda, hal ini akan tercermin lewat perilaku Anda sehari-hari. Hal ini akan terlihat dalam setiap tindakan dan keputusan Anda. Perhatikan, ayat 13 dan ayat 15 menunjukan kontras yang menyolok. Rasul Yakobus berkata bahwa kita tidak boleh mengikuti gaya hidup yang diuraiakan dalam ayat 13, karena itu berarti yang menjadi tujuan hidup kita adalah kehendak kita sendiri. Penekanan di dalam ayat 13 adalah pokok tentang ‘Aku berpikir’ dan ‘Aku menginginkan’, sementara ayat 15 menempatkan kehendak Allah sebagai tujuan hidup kita, menekankan pada motivasi ‘Jika Tuhan berkehendak’.
Jangan memakai ungkapan tersebut dengan niat berbasa-basi. Banyak orang Kristen terbiasa berkata ,”Puji Tuhan, terima kasih Tuhan,” dengan mulutnya, namun hati mereka penuh dengan keluhan kepada Allah. Itulah yang disebut sebagai basa-basi, ucapan yang hampa. Jadi, saya harap, ungkapan, “Jika Tuhan menghendaki,” ini tidak Anda jadikan basa-basi, melainkan menjadi prinsip yang kita tetapkan sebagai tujuan hidup kita.
Mari kita baca Mat 8:2. Si penderita kusta ini bisa menjadi contoh iman bagi kita. Apakah Anda memperhatikan cara dia berbicara kepada Yesus? Dia berkata, “Jika Tuhan menghendaki, Tuhan pasti dapat menyembuhkan saya.” Dia tidak menuntun agar Allah menyembuhkannya, agar Allah mengikuti kehendaknya. Dia menempatkan segenap kedaulatan di tangan Yesus. Mengapa? Karena dia mengakui Yesus sebagai Tuhan (Lord). Karena Yesus adalah Tuan, maka si kusta ini menempatkan diri sebagai hamba. Hamba tentu saja akan menuruti kehendak majikannya. Kita juga menyebut Yesus sebagai Tuhan, namun apakah Dia benar-benar telah menjadi Majikan atas hidup kita? Kita perlu menata dan merencanakan hidup kita, tak ada yang salah dengan itu. Akan tetapi, bagaimana menyusun perencanaan dengan menjadikan kehendak Allah sebagai faktor kuncinya?
Beberapa tahun yang lalu, saya mengenal seseorang yang sedang menjalankan studi S3 di Kanada. Sekalipun dia bukan orang bukan orang Kristen, tapi dia selalu datang ke gereja dan mendengarkan khotbah. Setelah menjalani kuliah beberapa tahun di Kanada, dia merindukan kehadiran keluarganya. Dia lalu mengajukan permohonan untuk bisa mendatangkan istri dan anaknya. Entah mengapa, permohanannya menemui banyak hambatan dan tidak juga disetujui. Suatu hari, dia berkata di gereja bahwa dia berdoa kepada Allah, yakni jika Allah membuka jalan bagi izin tinggal atau visa bagi anak-istrinya dalam batas waktu tertentu, maka dia akan percaya kapada Yesus dengan segenap hatinya. Lalu, tanggal yang dia tetapkan itu lewat begitu saja dan visa untuk anak- istrinya tidak diluluskan. Dia lalu mengumumkan kepada jemaat bahwa dia harus berhenti mencari Allah karena Allah itu tidak nyata. Visa untuk anak-istrinya diluluskan beberapa bulan kemudian, namun dia tidak bersyukur kepada Allah akan hal itu, dia merasa bahwa Allah tidak memenuhi permintaan sesuai dengan kemauannya, dan menurut dia itu adalah bukti bahwa Allah itu tidak nyata.
Saya juga pernah mendengar tentang kasus ini: ada saudari tengah hamil dan dia berdoa memohan anak laki-laki kepada Allah. Ternyata yang lahir adalah anak perempuan. Orang Kristen ini begitu marahnya sehingga dia sampai mengumumkan bahwa dia tidak percaya lagi kepada Allah. Contoh semacam ini ada dimana-mana. Sekalipun kita menyebut Allah sebagai Tuhan (Lord) kita, ternyata kita memperlakukan dia sebagai budak kita. Kita menyuruh Dia untuk mengatasi masalah-masalah kita serta memenuhi kebutuhan kita. Kalau Dia memenuhi dengan baik, maka kita akan terus mempercayai Dia. Kalau Dia mengecewakan kita, maka kita akan memecat Dia.
Contoh-contoh tersebut sepertinya sangat konyol namun jika kita renungkan lebih jauh, bukankah ini juga merupakan sikap hati kita? Sikap hati orang-orang di dalam contoh tersebut sangat bertolak belakang dengan sikap hati si penderita kusta tadi. Sikap hati orang-orang di dalam contoh di atas sama seperti isi ayat 13, segala sesuatu harus sesuai dengan kehendak kita. Adalah lebih baik bagi Allah untuk tidak menjawab doa mereka. Renungkanlah, apa akibatnya jika Allah menjawab doa mereka? Apakah mereka akan jadi lebih mengasihi Allah? Tidak, mereka akan menjadi lebih egois. Mereka semakin tidak menyadari betapa rendahnya mereka; tidak melihat bahwa mereka itu tak lebih dari debu saja.
Jika Anda belum mengenal Yesus, saya harap Anda camkan pokok ini – tujuan hidup adalah untuk mentaati kehendak Allah. Meninggalkan Allah berarti membuat hidup kita menjadi sia-sia. Jika Anda ingin mengenal Allah, maka Anda harus membuat pilihan yang tegas. Allah harus menjadi majikan (Lord) atas hidup Anda, dan Anda menjadi hamba-Nya. Jika Anda tidak mau menjadikan hal ini sebagai tujuan dan prinsip hidup Anda, lebih baik Anda tidak mempercayai Allah dan Yesus. Seperti yang telah disampaikan oleh rasul Yakubus diayat 17, jika kita tahu apa yang benar namun kita tidak melakukannya, itu adalah dosa. Orang yang percaya kepada Allah tetapi tidak menjadikan kehendak Allah sebagai tujuan hidupnya, maka dosanya menjadi lebih serius dari pada mereka yang tidak percaya kepada Tuhan karena dia tidak melakukan apa yang dia tahu harus dia lakukan. Itulah definisi dosa. Yesus, di dalam Mat 25, telah memberitahu kita dalam perumpamaan tentang kambing dan domba, bahwa dosa tidak harus diartikan sebagai tindakan melakukan kesalahan. Jika kita tahu apa yang harus kita lakukan dan hal atu sejalan dengan kehendak Allah – tapi kita tidak melakukannya, itu sudah dosa.
Apa itu kehandak Allah? Mungkin Anda akan berkata, “Kalau aku tahu apa itu kehendak Allah, aku pasti akan mentaatinya”. Dalam hal ini, Alkitab juga sudah memberi kita arahan umum dari kehendak Allah. Sebagai contoh, Tuhan ingin agar kita menjauh dari dosa dan mengejar kebenaran serta Kerajaan dalam hidup kita. Inikah sasaran hidup Anda sehari-hari? Tuhan menyuruh kita untuk mengasihi sesama manusia, lalu bagaimana hubungan Anda dengan saudara-saudari di gereja? Tuhan sudah menyatakan isi hatinya, sudahkah Anda bergerak ke arah yang sama dengan segenap hati dan pikiran Anda?
Tuhan ingin agar kita memberitakan Injil sampai ke ujung dunia. Ini adalah tugas besar yang diberikan kepada setiap orang Kristen. Di dalam merencanakan hidup Anda, apakah Anda memasukkan tugas besar ini sebagai faktor penentu? Sebagai contoh, saat Anda mencari pekerjaan, apakah Anda akan mempertimbangkan manfaat dari pekerjaan yang Anda incar bagi pemberitaan Injil Anda? Apakah Anda akan menjadikan hal-hal seperti gaji, prospek karir dan kepentingan lainnya sebagai faktor penentu? Jika Anda akan pindah tempat tinggal, apakah Anda akan mencari tempat yang sangat membutuhkan pemberitaan Injil? Apakah Anda lebih mengutamakan kesenangan hati, tempat yang menguntungkan bagi bisnis ataupun karir Anda? Lihat, jika setiap orang Kristen menjadikan kehendak Allah sebagai tujuan dan prinsip hidupnya, maka Injil sudah sejak lama disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.
Jika Anda angin menetapkan arah dan tujuan hidup Anda, atau Anda sedang berpikir untuk menyusun rencana hidup Anda, namun Anda tidak memiliki gambaran yang jelas di dalam hati Anda, maka saya sarankan agar Anda membawa rencana Anda itu kedalam doa dan memohon agar Tuhan memimpin Anda. Jika Anda benar benar menghormati Allah sebagai Majikan (Lord) dan bertekad untuk taat pada kehendak-Nya, saya yakin bahwa Dia pasti akan memimpin Anda dalam segala hal dan menunjukkan kehendak-Nya kepada Anda. Jika Anda menaati Dia dan tidak membuat keputusan berdasarkan kepentingan pribadi Anda, Dia pasti akan membimbing Anda.
Mari kita saling menguatkan di dalam hal menjadikan kehendaknya sebagai prinsip hidup kita. Saat kita bertemu dia pada Hari Penghakiman, Allah pasti akan memuji kita dan berkata, “Bagus, kamu hamba yang baik dan setia.”