Pastor Jeremiah C | Yakobus 5:12 |

Mari kita datang di hadapan Allah untuk merenungkan kata-katanya. Berdoa agar Allah akan membantu kita untuk lebih memahami hati-Nya melalui teks yang ada di kitab Yakobus. Memahami kehendak Allah sangatlah penting dan hanya saat kita dengan benar memahami kehendakNya, kita akan tahu bagaimana untuk berjalan di dalamnya. Saat kita memahami kehendak Allah dan menaatinya, kita menjadi orang-orang yang diberkati. Ini juga merupakan sasaran kita dalam mempelajari kitab Yakobus, yaitu, untuk menjadi orang yang diberkati.

Hari ini, kita akan bersama-sama membaca Yak.5.12. Yakobus meminta kita untuk tidak bersumpah. Sangatlah jelas, kata-kata ini berasal dari Khotbah di Bukit yang disampaikan oleh Yesus. Jika Anda kurang akrab dengan Kitab Suci, kita bisa membacanya di Mat.5.33-37. Sekali lagi, kita dapat melihat di sini bahwa ajaran-ajaran Yakobus didasarkan pada ajaran Yesus, terutamanya di atas pengajaran Khotbah di Bukit.

Sebelum saya mulai berbicara mengenai Yak.5.12, saya mau berbicara mengenai prinsip membaca Alkitab. Pada dasarnya ada dua cara untuk membaca Alkitab. Metode yang pertama adalah untuk memahaminya lewat kata-kata atau firman itu sendiri. Contohnya, Yak.5.12 meminta kita untuk tidak bersumpah, kesimpulan kita adalah dari hari ini, kita tidak akan bersumpah untuk apapun, dengan demikian kita tidak akan jatuh ke dalam penghakiman Allah. Jika demikian, kita bisa mengakhiri studi kita hari ini karena sudah tidak ada apa-apapun yang dapat dikatakan tentang ayat 12.

Metode mempelajari Alkitab yang kedua ini lebih susah. Kita perlu untuk masuk lebih dalam untuk memahami semangat di balik firman itu. Contohnya, Yak.5.12 meminta kita untuk tidak bersumpah, lalu kita perlu untuk merenungkan mengapa Alkitab tidak mengizinkan kita untuk melakukannya. Apakah kita menggenapi kehendak Allah selama kita tidak bersumpah? Mengapa beberapa leluhur di dalam Alkitab bisa bersumpah. Tingkat kesusahan dalam metode pembelajaran Alkitab yang kedua ini sangat tinggi. Kesimpulan Anda bisa saja sangat bertolak belakang dengan dari arti firman itu. Saya akan menggunakan Yak.5.12 sebagai contoh.

Yang jelas, Alkitab mau kita untuk menggunakan metode yang kedua untuk mempelajari firman Allah. Rasul Paulus memberitahu kita di 2 Ko.3 bahwa kata-kata bisa membawa maut, hanya roh yang membuat manusia hidup, yang berarti bahwa jika kita memahami Alkitab hanya pada huruf-huruf itu, kita tidak akan menerima hidup. Dalam cara yang sama, Yesus juga memperingatkan kia bahwa kata-katanya adalah roh dan hidup. Perkataannya bukan hanya sekadar beberapa huruf-hurut atau kalimat atau pengetahuan di otak. Firmannya membawa hidup. Apakah kita dapat menerima hidup dari kata-kata di dalam Alkitab itu bergantung pada apakah kita bisa memahami arti spiritual yang terkandung di dalamnya.

Bagaimana harusnya kita memahami arti dari Yak.5.12? Beberapa orang Kristen akan memahaminya secara dangkal, jadi mereka tidak akan bersumpah dalam hal apa pun. Mereka akan berpikir bahwa selama mereka tidak bersumpah, mereka tidak akan jatuh ke dalam penghakiman Allah. Saya tidak tahu bagaimana orang-orang Kristen yang mempunyai pemahaman ini akan menerapkan ayat ini jika mereka bermigrasi ke negara lain. Saat Anda membuat permohonan untuk menjadi warganegara sebuah negara lain, terutamanya di Amerika Utara, Anda harus mengangkat sumpah ketaatan di pengadilan sebelum Anda diberikan hak untuk menjadi warganegara. Apakah mereka akan bersikeras untuk tidak bersumpah? Jika mereka memilih untuk menjadi warga negara yang baru dan bersumpah di depan umum, bukankah mereka sudah jatuh di bawah penghakiman Allah?

Biarkan saya memberi lebih banyak contoh yang praktis. Contohnya, suatu hari Anda berjalan-jalan dan Anda melihat seseorang merampok seorang wanita tua dan memukulnya sampai mati, dan Anda adalah satu-satunya saksi mata. Saat polisi meminta saksi mata untuk membantu di dalam kasus ini, apakah Anda akan membantu? Jika Anda bersaksi, Anda harus bersumpah di depan umum di pengadilan bahwa semua yang Anda katakan sepenuhnya tepat dan benar. Berhadapan dengan situasi yang demikian, apakah Anda akan memilih untuk menjadi saksi di pengadilan atau tidak?

Saat Anda berhadapan dengan situasi yang demikian, apakah menurut Anda seorang Kristen harus bersaksi di pengadilan? Jika tidak, orang jahat itu akan bebas. Jika Anda memilih untuk bersaksi di pengadilan, Anda perlu bersumpah di depan umum. Lalu, bagaimana kita harus memutuskan persoalan ini? Jika seorang Kristen memilih untuk bersaksi di pengadilan dan bersumpah di depan umum, apakah itu berarti bahwa orang Kristen ini sudah dihakimi oleh Allah karena dia sudah terang-terangan melawan pengajaran Yesus?

Mari kita membaca Mat.26.63-64 bersama-sama. Di sini, kita melihat bahwa imam besar itu meminta Yesus untuk bersumpah dan memberitahu orang banyak apakah dia adalah anak Allah. Yesus lalu bersumpah untuk menjawab pertanyaan imam besar itu di depan orang banyak sesuai dengan permintaan imam besar itu. Mungkin, Anda akan berkata bahwa Yesus tidak berkata bahwa dia bersumpah. Bagaimanapun, jawaban Yesus itu adalah respon kepada permintaan imam besar itu. Imam besar itu meminta agar Yesus bersumpah kepada Allah yang hidup dan menjawab apakah dia adalah Kristus atau tidak. Tanpa diragukan, Yesus menjawab dia sesuai dengan permintaannya.

Terdapat satu lagi pokok yang layak diperhatikan bahwa Allah adalah sosok yang selalu bersumpah. Salah satu contoh ada di Lk.1.73. Dikatakan bahwa Allah bersumpah kepada Abraham, leluhur bangsa Israel. Kita sering melihat bahwa Allah bersumpah kepada orang-orang di Perjanjian Lama. Terdapat suatu hal yang menarik di sini, yaitu, Allah tidak mengizin kita untuk bersumpah, namun, Dia sendiri seringkali bersumpah. Alasan apa ini? Mengapa Allah tidak menunjukkan teladan?

Mari kita merenungkan lagi ayat Yak.5.12 dengan lebih cermat. Kalimat terakhir ayat 12 berkata, “supaya kita tidak jatuh ke dalam penghakiman.” Apa yang dimaksudkan dengan itu?Apakah itu berarti bahwa bersumpah akan membuat kita jatuh ke dalam penghakiman? Jika Anda membaca ayat ini dengan lebih teliti, Anda akan menemukan bahwa bukan dikatakan bahwa kita akan jatuh ke dalam penghakiman jika kita bersumpah. Apa yang membuat kita jatuh ke dalam penghakiman Allah? Hal ini terjadi saat ‘ya’ kita menjadi ‘tidak’ dan ‘tidak’ kita menjadi ‘ya’. Ini berarti bahwa saat kita bersumpah tapi tidak menggenapi sumpah kita, kita akan jatuh ke bawah penghakiman Allah. Terjemahan asli harusnya berbunyi, ‘ya ya, tidak, tidak’. Anda bertanya, apakah ada yang spesial dengan ini? Menurut tradisi orang Yahudi, mengulangi ‘ya’ dan ‘tidak’ adalah suatu bentuk sumpah. Inilah pokok yang perlu kita perhatikan.

Jadi, apakah arti sesungguhnya dari ayat 12? Rasul Yakobus mau memberitahu kita bahwa sebagai orang Kristen, setiap kata kita harus benar dan dapat dipercayai seolah-olah kita sedang bersumpah. Sebagai seorang yang percaya pada Yesus, setiap kalimat yang kita ucapkan harus jujur dan dapat diandalkan. Kita tidak boleh menjadi seperti orang yang tidak percaya yang harus memberi jaminan bahwa mereka jujur lewat cara bersumpah. Setiap kalimat yang kita ucapkan harus diucapkan seperti kita berbicara di depan Allah, yaitu harus secara mutlak jujur dan dapat diandalkan. Karena itu, setiap kalimat kita harus ‘ya’ saat ia adalah ‘ya’ dan ‘tidak’ saat ia adalah ‘tidak’, sama seperti bagaimana kita bersumpah di depan Allah.

Agar dapat membantu setiap orang memahami mengapa rasul Yakobus begitu peduli tentang masalah bersumpah, kita harus memahami latar belakang sosial pada waktu itu. Di dalam masyarakat Yahudi, mereka membedakan sumpah ke dalam dua kategori. Terdapat satu macam sumpah yang tidak pernah dapat diubah, yaitu sumpah pada Allah. Terdapat satu lagi jenis sumpah yang bukan pada Allah yang dapat diubah dan tidak mengikat. Dengan demikian, mereka menciptakan segala macam nama untuk sumpah seperti sumpah yang menunjuk pada surga, bumi, Yerusalem atau bahkan pada kepala sendiri. Karena bermacam-macam sumpah yang tidak ditujukan pada Allah, maka mereka dapat mengubah janji-janji mereka pada manusia kapan kapan saja. Untuk pokok ini, kita dapat membaca di Mat.23.16-22. Ini adalah satu perkembangan yang sangat menjadi-jadi di masyarakat pada waktu itu. Dan ini dilakukan oleh orang yang licik dan tidak jujur dan karena itulah Yesus dengan keras menegur orang-orang Yahudi itu.

Kiranya kita semua tidak melakukan kesalahan yang sama. Jangan berpikir bahwa selama Anda tidak bersumpah, Anda tidak akan jatuh ke bawah penghakiman Allah. Pengajaran Alkitab tidak pernah bersifat dangkal. Allah mau kita mengucapkan setiap kata dengan jujur dan dapat dipercayakan seolah-olah kita sedang bersumpah. Contohnya, Anda membuat temu janji untuk bertemu dengan teman di jam 9 pagi, apakah Anda menetapi janji itu? Apakah Anda akan berpikir bahwa karena Anda tidak bersumpah bahwa Anda akan bertemu dengannya jam 9, jadi Anda bisa tidur sedikit lebih lama dan bertemu dengannya jam 10? Apakah Anda berpikir bahwa sikap yang sedemikian menyenangkan Allah? Dulunya, saya selalu berbuat kesalahan sedemikian. Saya membuat temu janji untuk bertemu orang tapi saat saya punya halangan, seperti capek, saya akan mengubah jam temu janji itu. Mengubah jam pertemuan itu sendiri bukan masalah. Masalahnya adalah semuanya diubah sesuai dengan kesenangan saya. Saya telah berkata, “ya” tapi itu berubah menjadi “tidak”. Saya tidak melakukan sesuai dengan apa yang telah saya ucapkan.

Mari saya berikan satu contoh lagi. Anda meminjam sesuatu dari teman Anda dan berjanji untuk mengembalikannya keesokan hari. Apakah Anda memandang ucapan Anda itu sama berat dengan sekiranya Anda telah bersumpah? Atau Anda akan berpikir di dalam hati Anda bahwa Anda tidak bersumpah bahwa Anda pasti akan mengembalikannya, jadi Anda tidak akan begitu ketat menggenapi kata-kata Anda. Apakah Anda mempunyai sikap yang sedemikian, berpikir bahwa Anda harus menaati apa yang telah Anda sumpah tapi Anda bisa mengubah kata-kata Anda di lain waktu? Contohnya, apakah kita melakukan apa yang telah kita sampaikan sambil lalu kepada anak-anak kecil?

Apakah Anda sudah mulai melihat akar permasalahannya sekarng? Di dalam hati kita, selalunya ada standar ganda. Jika saya bersumpah, saya pasti akan menggenapinya. Jika saya berjanji tapi tidak bersumpah, maka saya tidak harus selalu menggenapinya. Apakah pemikiran yang begini benar?

Mari kita baca di Mzm 15.4. Dikatakan di sini bahwa orang yang takut pada Yahweh akan berpegang pada sumpah sekalipun mereka rugi. Alkitab tidak peduli pada masalah apakah bersumpah atau tidak. Kepedulian Kitab Suci adalah apakah kita adalah orang yang jujur dan takut pada Allah. Seorang yang takut pada Allah akan sangat sadar pada fakta bahwa setiap kata yang diucapkan, diucapkan di hadapan Allah dan ia akan melakukan sesuai ucapannya. Orang yang demikian tidak perlu diminta untuk bersumpah atau menjanjikan sesuatu. Anda bisa mempercayainya karena Anda tahu bahwa dia adalah orang yang takut pada Allah dan kata-katanya secara mutlak dapat diandalkan.

Sebaliknya, jika seseorang itu tidak takut pada Allah, ia tidak akan menggenapi kata-katanya tidak kira sebanyak mana ia bersumpah. Ia hanya akan memilih untuk menuruti janji-janji yang menguntungkan dirinya. Inilah masalah yang dihadapi di dalam masyarakat masa kini. Di negara tertentu, tidak kira berapa banyak kontrak yang Anda tangani, Anda tidak akan pernah merasa aman karena Anda tahu bahwa setiap orang hanya mengejar keuntungannya sendiri. Apakah kontrak atau perjanjian, tidak ada yang mengikat karena orang-orang  tidak takut pada Allah di dalam hati mereka.

Mari saya simpulkan di sini. Yak. 5.12 mau mengajarkan pada setiap orang Kristen untuk menjadi orang yang konsisten di dalam dan di luar. Karena kita adalah anak-anak Allah, umat pilihan Allah, anak-anak terang, setiap kata yang diucapkan kepada orang lain harusnya seperti kita bersumpah di hadapan Allah. Kata-kata kita harus secara mutlak tulus. Yakobus memperingatkan jemaat di sini untuk jujur terhadap satu sama lain. Kita tidak boleh menangani sesama dengan kelicikan seperti orang tidak percaya.

Bagaimana seorang itu bisa menjadi konsisten di dalam dan di luar?

Maz. 15 mengingatkan kita, kita hanya akan melakukannya saat kita belajar untuk menerapkan prinsip takut pada Allah di dalam kehidupan seharian kita. Kita tidak lagi menjadikan keuntungan pribadi kita sebagai standar. Standar yang kita pakai adalah “mengasihi sesama kita”. Jika Anda bertekad untuk melakukannya, Anda akan mengalami kerugian seperti yang dikatakan Mzm 15.4. Namun dengan berbuat demikian, Anda akan menjadi orang yang menyenangkan Allah, orang yang akan naik ke bukitnya Yahweh, berdiam di dalam kemah Allah.

Yang terakhir, Anda mungkin bertanya, “Anda sudah begitu banyak berbicara, namun apakah kita bisa bersumpah atau tidak?” Seperti yang telah saya sebutkan di awal tadi, Alkitab tidak mau kita menjalankan hukum, tapi kita harus menaati semangat dari hukum itu. Apakah semangat dari Yak.5.12? Semangatnya adalah untuk kita menjadi orang yang jujur dan tulus. Hanya orang Kristen yang semacam ini yang tidak perlu takut akan penghakiman Allah. Jika kita adalah orang yang jujur dan benar, kata-kata kita pastinya akan jujur. Karena setiap perkataan kita itu sudah sama seperti kita bersumpah, lalu mengapa kita takut untuk bersumpah jika memang ada kebutuhan untuk itu? Bagaimanapun, kita tidak perlu seperti orang dunia, yang begitu mudah bersumpah demi kepentingan mencapai tujuan mereka. Jika memang untuk manfaat dan kebaikan orang lain atau demi kepentingan hukum beberapa negara, seperti contoh yang saya berikan di atas, sudah tentu Anda bisa bersumpah selama itu sesuai dengan prinsip “mengasihi sesama seperti diri kita sendiri.” Ini adalah karena Anda tahu bahwa setiap perkataan yang Anda ucapkan adalah dari hati nurani Anda dan diucapkan di depan Allah yang jujur dan dapat diandalkan.

 

Berikan Komentar Anda: