Pastor Jeremiah C | Yakobus 1:19-21| 

Pada pendalaman kita tentang kitab Yakobus bagian yang lalu, kita mempelajari Yakobus 1:16-18. Yakobus mengingatkan kita bahwa kebaikan yang mutlak adalah karakter Allah. Dan karena Allah itu baik, maka segala sesuatu yang berasal dari Allah pastilah yang terbaik dan yang paling sempurna. Di samping itu, karakter Allah yang baik itu tidak pernah berubah. Dia baik di masa lalu, sekarang dan selama-lamanya.

Jika ujian iman itu merupakan kehendak Allah, maka di balik setiap ujian yang kita hadapi itu berisi tujuan yang baik dari Allah. Ujian itu adalah hadiah yang baik dari Allah karena Bapa yang baik itu hanya akan memberikan hal-hal yang baik bagi anak-anak-Nya. Mari kita mempercayai Dia sepenuhnya supaya kehendak baik-Nya bisa digenapi di dalam diri kita! Kiranya kita bisa terus ingat akan ucapan dari Yakobus ini.

 

Cepat Mendengar

Kita akan mempelajari Yakobus 1:19-21 hari ini. Rasul Yakobus mengawali dengan menyuruh kita menjadi orang yang cepat mendengar, lambat berbicara, lambat marah. Mengapa dia mengatakan hal ini? Di sini, dia sedang mengajar kita untuk mempersiapkan hati kita dengan baik; dia menasehati kita untuk menyimak dengan tenang saat dia menguraikan persoalan yang ada di dalam diri kita. Jika Anda adalah pembaca yang teliti, Anda akan melihat bahwa rasul Yakobus berbicara tentang arti pentingnya mendengar dan melakukan firman, mulai dari Yak 1:19 sampai dengan Yak 2:26. Jika Anda luangkan waktu untuk menghitung jumlah pemakaian kata ‘melakukan’, Anda pasti akan terkejut. Rasul Yakobus juga memakai berbagai macam ungkapan untuk menegaskan makna penting dari mendengar dan melakukan firman (misalnya, pembahasan tentang lidah, ibadah yang sejati, iman yang sejati – semua itu berkenaan dengan hal melakukan firman).

Rasul Yakobus berkata, “Hal ini kamu ketahui” di dalam ayat 19. Apakah ‘hal ini’ yang kita ketahui itu? Kata ‘tahu’ jelas berkaitan dengan pengetahun Alkitab. Di dalam hal ini, apa yang kita ketahui jumlahnya bisa sangat banyak. Banyak juga orang Kristen yang menghafal seluruh isi Alkitab. Akan tetapi, mereka tidak menjalankan Firman Allah itu di dalam kehidupan mereka. Biasanya mereka itu adalah jenis yang suka mendebat orang lain. Mereka tidak suka jika ada orang yang mengungkapkan kesalahan mereka. Mereka bahkan akan membalas dendam terhadap orang yang mengungkapkan hal tersebut. Inilah hal yang juga diungkapkan oleh Tuhan di dalam Matius 7,

“Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.”

Rasul Yakobus juga mengingatkan kita untuk cepat mendengar namun bukan menolak lalu menjadi marah karena kita tidak bisa menerima apa yang disampaikan orang lain. Tuhan sangat mengerti seluk beluk orang yang dikuasai kedagingan.

 

Apa itu Kelemah-lembutan?

Ijinkan saya mengingatkan Anda sekali lagi bahwa ucapan yang disampaikan oleh rasul Yakobus ini bukan ditujukan kepada orang non-Kristen. Dia bahkan memperingatkan orang Kristen mengenai hal bagaimana untuk bisa diselamatkan di dalam ayat 21. Harap Anda perhatikan ayat 21 itu. Rasul Yakobus sampai harus mengingatkan jemaat untuk selalu menerima firman yang ditanamkan, karena firman ini menyelamatkan kita. Firman dari Tuhan bisa menyelamatkan kita – inilah hal yang telah kita ketahui. Akan tetapi, yang menjadi persoalan bukan apakah kita mengetahuinya, melainkan apakah kita menerima Firman Allah itu atau tidak. Karena sekadar mengetahui saja tidaklah cukup, pokok yang penting adalah bahwa kita harus menerima firman yang Tuhan tanamkan di dalam hati kita, dan dengan demikian kita diselamatkan. Perhatikan bahwa Yakobus tidak sekadar berkata, “Terimalah Firman Allah,” tetapi dia berkata, “Terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu.” Apa itu lemah lembut?

Karena begitu pentingnya bagi kita untuk menerima Firman Allah dengan lemah lembut, lalu bagaimana cara kita untuk mengetahui bahwa kita ini lemah lembut? Apakah berulang-ulang mengucapkan ,”Amen,” saat kita menyimak khotbah pendeta menunjukkan bahwa kita ini lemah lembut? Kita, orang-orang Timur, sangat menjaga sopan santun, kita tidak suka menyinggung perasaan orang lain. Jika ada seorang teman yang mengundang makan dan masakannya terlalu asin ataupun hambar, kita dengan sopan akan berkata, “Makanannya enak,” karena tidak ingin kehilangan sahabat. Tentu saja, rasa tidak ingin menyakiti perasaan orang lain itu bukanlah hal yang buruk, akan tetapi itu bukanlah kelemah-lembutan yang dimaksudkan oleh rasul Yakobus.

Mungkin sebagian orang Kristen tidak mengerti apa itu lemah lembut. Mereka mengira bahwa lemah lembut itu berarti sopan santun. Sebenarnya, kelemah-lembutan dan sopan santun (atau keramahan) di dalam Alkitab itu berbeda. Kelemah-lembutan di dalam  Alkitab tidak berkaitan dengan kesopanan. Saat rasul Yakobus berkata, “Terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu,” janganlah mengira bahwa bahwa dia sedang menyuruh kita untuk bersikap sopan kepada pendeta di gereja dan berusaha untuk tidak menyinggung hati mereka. Bukan itu maksud Yakobus. Lalu apakah arti dari kalimat, “Terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu.” itu?

Saya teringat dulu ketika saya mendengarkan khotbah seorang pendeta. Setelah kebaktian, seseorang menanyakan pendapat saya tentang khotbah tersebut. Pada saat itu, saya menjawab, “Sangat bagus,” karena yang saya pikirkan adalah bahwa pendeta itu telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, entah dalam hal isi khotbahnya, cara penyampaiannya, ataupun dalam hal susunan pokok-pokok isi khotbahnya. Dia menyampaikan khotbahnya dengan sangat jelas sehingga semua yang mendengarkan bisa memahami [apa yang dia sampaikan itu]. Sejujurnya, saya menilai pendeta tersebut telah berkhotbah dengan sangat baik. Ketika saya pulang, saya merasa bahwa Tuhan sedang menanyakan saya, “Mengapa kamu katakan bahwa khotbah tersebut sangat bagus?” Pada saat itu, saya memang benar-benar menganggap bahwa khotbah tersebut memang sangat bagus. Satu pertanyaan muncul di dalam hati saya, “Mengapa saya menganggap bahwa khotbah tersebut sangat bagus?” Saat itu, saya tidak sedang menyanjung pendeta yang berkhotbah; penilaian saya memang tulus. Namun, perlahan-lahan, saya mulai menyadari mengapa Tuhan mengajukan pertanyaan itu kepada saya. Saya menilai bagus khotbah tersebut karena saya menerima khotbah tersebut di permukaannya saja. Saya tidak memasukkan khotbah tersebut ke dalam hati saya dan tidak mengijinkan Allah untuk mengubah hidup saya melalui isi khotbah tersebut.

Sejak saat itu, saya menyadari bahwa menerima Firman Tuhan dengan lemah lembut itu sangatlah penting. Hanya jika kita menerima Firman Tuhan dengan lemah lembut barulah firman-Nya bisa memberi dampak perubahan di dalam hati kita. Di sisi lain, tidak akan ada manfaatnya jika kita sekadar menerima Firman Allah dengan akal pikiran kita saja. Alasannya adalah jika Firman Allah itu tidak masuk ke dalam batin kita, maka firman tersebut tidak akan memberi dampak keselamatan. Itulah sebabnya mengapa di dalam ayat 21, Yakobus mengingatkan kita untuk menerima Firman Allah yang telah ditanamkan itu dengan lemah lembut. Jika Anda tidak menerima benih (yaitu Firman-Nya) yang telah ditabur oleh Allah di dalam hati Anda dengan lemah lembut, maka Anda akan kehilangan firman yang mampu menyelamatkan jiwa Anda. Dengan kata yang lebih sederhana, Anda akan kehilangan keselamatan Anda.

 

Mengapa harus dengan lemah lembut menerima Firman?

Mengapa kita perlu menjadi lemah lembut di dalam menerima Firman Allah? Tidak bisakah kita menerima Firman Allah dengan mendengarkan khotbah di gereja setiap hari Minggu saja? Mengapa rasul Yakobus secara khusus menekankan masalah kelemahlembutan ini? Tahukah Anda bahwa sikap hati kita di dalam mendengarkan firman itu bahkan lebih penting daripada tindakan kita mendengarkan firman itu sendiri (walaupun tindakan itu sendiri sudah sangat penting)? Banyak orang yang datang ke gereja untuk mendengarkan khotbah. Mereka semua mendengarkan khotbah yang sama namun tidak semua orang memperoleh berkat dari Firman Allah itu.

Dari luarnya, kita terlihat sopan, sangat rendah hati, sangat bersedia menerima Firman Allah. Akan tetapi, hati kita menolak Firman Allah. Dalam hal apa penolakan kita itu terwujud? Kita tidak mengerti mengapa Allah menyuruh kita mengerjakan sesuatu hal dengan cara tertentu. Mengapa kita harus menderita? Mengapa kita harus berada dalam posisi yang dirugikan? Sikap kita yang tidak lemah lembut itu membuat kita membantah Allah, dan menolak Firman-Nya. Sama seperti seorang anak kecil yang tidak mau menurut perintah orang tuanya. Setiap kali orang tuanya memberi perintah, dia akan bertanya, “Mengapa aku harus mengerjakannya seperti ini? Bolehkah aku tidak mengerjakannya?” Karena akal pikiran kita tidak menyetujuinya, lalu hati kita memutuskan untuk menyingkirkan perintah Allah. Di samping itu, kita menganggap orang lain di sekitar  kita tampaknya juga tidak mematuhi Firman Allah, dan karena mereka tidak patuh pada Firman Allah, mengapa kita harus taat?

Lemah lembut berarti tunduk pada kedaulatan Allah di dalam hidup kita, mengijinkan Dia memperbarui diri kita melalui Firman-Nya tanpa menghalang-halanginya. Mari kita lihat contoh yang berlawanan dengan hal ini, yaitu contoh dari Lukas 8:13,

“Yang jatuh di tanah yang berbatu-batu itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menerimanya dengan gembira, tetapi mereka itu tidak berakar, mereka percaya sebentar saja dan dalam masa pencobaan mereka murtad.”

Perhatikan, ini adalah tanah dari jenis yang kedua di dalam perumpamaan tentang penabur. Ini adalah tanah berbatu-batu yang tidak banyak mempunyai lapisan tanah. Karena di bawahnya ada lapisan batu, benih itu tidak bisa memperdalam akarnya untuk bertumbuh. Orang percaya dari jenis yang ini sangat menarik. Mereka dengan gembira akan menerima dan sangat bersemangat pada saat mendengarkan firman. Akan tetapi, Firman Allah tidak dapat bekerja dengan leluasa di dalam hati mereka karena ada hal-hal yang mereka pertahankan. Ketika Firman Allah menyinggung daerah-daerah yang peka, mereka segera menutup pintu hati mereka, dan tidak mengijinkan Firman Allah bekerja. Jadi, janganlah mengira bahwa kita sudah lemah lembut ketika kita telah menerima Firman-Nya dengan sukacita. Jika kita tidak mengijinkan Firman Allah bekerja dengan leluasa dalam mengubah hidup kita, maka kita ini sama saja dengan tanah jenis yang kedua di dalam perumpamaan tentang penabur itu.

Bukankah ini peringatan yang diberikan oleh perumpamaan tentang penabur itu? Tanah jenis yang pertama tidak mau menerima firman Allah saat itu juga dan akhirnya kehilangan benih tersebut, yang berarti kehilangan keselamatan juga. Banyak orang yang mengira bahwa tanah jenis pertama ini adalah orang non-Kristen. Sebenarnya, tanah jenis pertama ini bisa juga mengacu pada orang Kristen karena kualitas tanah itu bisa berubah. Tanah yang kualitasnya buruk, jika bersedia diubah oleh Allah, bisa menjadi tanah yang bagus. Sebaliknya, jika seorang Kristen tidak menjaga hatinya, hati itu akan mengeras seperti batu.

 

Kelemah-lembutan adalah hati yang dapat diajar

Di dalam ayat 19, rasul Yakobus mengajar kita untuk cepat mendengar. Kata ‘mendengar’ ini tentu saja tidak berkaitan dengan hal memakai telinga kita untuk mendengar, tetapi menerima Firman-Nya dengan hati yang lemah lembut. Sering kali, saat kita mendengar hal yang tidak kita sukai, atau tidak kita setujui, kita akan bergegas membantahnya atau bahkan menjadi marah terhadap orang lain. Kita perlu memeriksa sikap hati kita – mengapa kita tidak mampu untuk cepat mendengar? Apakah karena kita kurang lemah lembut?

Ayat 20 mengingatkan kita untuk tidak menjalankan kebajikan Allah dengan semangat lahiriah saja. Banyak orang yang gemar berdebat tentang prinsip-prinsip Alkitab. Mereka mengira dengan melakukan hal itu mereka sedang giat bekerja bagi Allah. Allah tidak menginginkan semangat lahiriah yang semacam ini. Yang Dia kehendaki adalah hati yang lemah lembut. Mari kita lihat 1 Petrus 3:15 bersama-sama. Jika kita tidak lemah lembut, maka Allah tidak bisa menggenapi kehendak-Nya di dalam hidup kita. Yang bisa dicapai oleh semangat yang bergebu-gebu dari kedagingan kita hanyalah tujuan pribadi kita sendiri.

Jadi, kelemahlembutan yang dimaksud oleh Yakobus sebenarnya adalah hati yang dapat diajar – hati yang bisa dibentuk oleh Tuhan. Tanpa kelemahlembutan, Firman Allah tidak akan dapat masuk ke dalam hidup kita, seperti yang terjadi pada tanah jenis yang pertama dalam perumpamaan tentang penabur. Atau, Firman Allah masuk secara dangkal di dalam hati kita, namun tidak bisa mengubah diri kita secara total, seperti yang terjadi pada tanah jenis kedua.

Dari sini, kita bisa menarik beberapa poin penting:

  1. Kelemahlembutan tidak berkaitan dengan sopan santun lahiriah atau keramahan. Kelemahlembutan itu berkaitan dengan sikap hati kita saat menerima Firman Allah
  2. Kelemahlembutan itu sangatlah penting karena berkenaan dengan keselamatan kita. Tanpa kelemahlembutan, kita tidak bisa menerima Firman Allah, firman yang mampu menyelamatkan jiwa kita.
  3. Kelemahlembutan berlawanan dengan mengikuti kehendak hati dan kemarahan manusia. Karena dikatakan di dalam ayat 19, kita tidak akan bisa cepat mendengar dan lambat bicara jika emosi kita mudah terbakar.
  4. Kelemahlembutan berarti memberi Allah kemerdekaan penuh dan juga kedaulatan penuh untuk mengerjakan perubahan tanpa hambatan di dalam hidup kita.

Kenajisan harus disingkirkan sebelum kita dapat menerima Firman Allah

Di samping memiliki hati yang lemah lembut, rasul Yakobus juga mengingatkan kita di dalam ayat 21, bahwa masih ada beberapa hal lain yang perlu kita kerjakan untuk bisa menerima Firman Allah. Kita harus menyingkirkan segala yang kotor dan kejahatan kita. Itulah hal-hal mendasar yang perlu kita lakukan. Secara sederhananya, kita disuruh bertobat. Sering kali, kita sangat mengharapkan kebaikan Allah dan juga kuasa Firman-Nya. Kita bahkan mencurahkan segenap usaha di dalam mempelajari Alkitab. Namun di saat yang bersamaan, kita tidak membuang kekotoran dan kejahatan kita. Mempelajari Firman Allah dengan sikap hati yang seperti ini tidak akan memberikan perubahan di dalam hidup kita. Malahan, cara ini hanya akan membuat orang jadi cepat bicara, dan cepat marah, karena kepala kita penuh sesak dengan pengetahuan yang membuat kita sombong padahal hidup kita belum mengalami kuasa keselamatan Allah.

Paulus mengangkat masalah yang sama di dalam 2 Timotius 3:6-7. Mengapa ada orang yang terus belajar tetapi tak pernah sampai pada pengetahuan tentang kebenaran? Ayat 6 memberitahu kita bahwa hal ini disebabkan oleh karena orang-orang itu dipenuhi oleh dosa dan nafsu. Ibarat cangkir yang telah penuh dengan air kotor, jika cangkir itu tidak mau dikosongkan serta dibersihkan, maka ia tidak akan bisa diisi dengan air bersih. Sekalipun Anda paksa menuangkan air bersih ke dalamnya, rasa air itu akan berubah. Kehidupan Anda tidak bisa diisi secara bersamaan dengan kebaikan dan kejahatan.

Demikianlah, jika seseorang tidak mau membulatkan tekad untuk meninggalkan kejahatan, tidak mau membuang kekotoran dan kejahatan di dalam dirinya, maka dia tidak akan bisa menerima Firman Allah. Jadi, kita tidak boleh membohongi diri kita sendiri. Di satu sisi, kita hidup di dalam kekotoran dan kejahatan, sementara, di sisi lain, kita mempelajari prinsip-prinsip Alkitab dengan penuh semangat. Jalan ini seperti yang ditempuh oleh para perempuan yang disebutkan oleh Paulus di dalam 2 Timotius – pada akhirnya, [mereka] tidak dapat diselamatkan.

Saya akan membuat rangkumannya. Yakobus 1:19-21 menyampaikan beberapa poin tentang bagaimana cara menerima Firman keselamatan dari Allah:

  1. Pertama, kita harus bertekad untuk menyingkirkan segala kekotoran dan kejahatan yang meluap-luap di dalam diri kita. Inilah pertobatan yang dimaksudkan di dalam Alkitab. Ini adalah keputusan dan pilihan paling mendasar. Saya tekankan sekali lagi, jika kita ingin menerima Firman keselamatan dari Allah, panggilan untuk bertobat ini bukan sekadar ditujukan kepada orang non-Kristen, tetapi lebih kepada orang Kristen sebagaimana yang diserukan oleh Tuhan kepada jemaat-jemaat di dalam kitab Wahyu.
  2. Kita harus terus menerima Firman Allah itu dengan lemah lembut. Kelemahlembutan mengacu pada hati yang dapat diajar oleh Allah – seperti tanah liat yang lembut di tangan penjunan, menyerahkan dirinya ke dalam kehendak Allah, untuk dibentuk menjadi bejana yang berkenan di hati-Nya. Sekalipun kita ini pasif di dalam proses tersebut, kita juga harus aktif dalam bekerja sama menjalankan perintah-Nya. Rasul Yakobus menggunakan kata ‘ditanamkan’ di dalam ayat 21 untuk menggambarkan Firman Allah karena dia ingin agar kita tahu bahwa keselamatan itu adalah proyek sepanjang usia yang dijalankan oleh Allah di dalam kehidupan seseorang. Kita harus secara aktif bekerja sama dengan hati Allah, supaya Dia bisa menggenapi karya keselamatan di dalam hidup kita.

Kedua poin di atas bukanlah suatu kesimpulan yang lengkap. Pada kesempatan lain nanti, kita akan lanjutkan membahas tentang persoalan yang dipikirkan oleh rasul Yakobus, yaitu bagaimana menjadi seorang pendengar dan pelaku firman.

 

Berikan Komentar Anda: