Ashley Hodgeson |
Perlombaan lari wilayah telah tiba – perlombaan ang kami persiapkan dengan latihan di setiap musim. Kakiku masih belum sembuh dari cedera sebelumnya. Malah, aku ragu apakah aku akan ikut lomba atau tidak. Tapi aku datang juga, bersiap-siap untuk lomba 3,200 meter.
“Satu…dua…” Pistol berbunyi dan kami berlari. Anak perempuan lain melaju di depanku. Aku menyadari bahwa lariku timpang dan merasa malu saat makin lama makin tertinggal.
Pelari pertama sudah dua putaran di depanku saat ia melintasi garis akhir. “Horee!” sorak penonton. Sorak yang ternyariang yang pernah kudengar dalam suatu lomba.
“Lebih baik aku berhenti saja,” pikirku saat kau terus lari terpincang-pincang. “Orang-orang itu tak akan mau menungguku mengakhiri lomba ini.” Namun, aku memutuskan untuk terus berlari. Pada dua putaran terakhir, aku berlari sambil menahan sakit dan memutuskan untuk tidak ikut lomba lagi tahun depan. Tak ada gunanya, meskipun kakiku sembuh. Aku tak mungkin mengalahkan gadis yang menyusulku dua kali.
Waktu aku selesai, aku mendengar sorakan – sama bersemangatnya dengan yang kudengar saat gadis pertama melintasi garis finish. “Ada apa nih?” tanyaku. Aku berbalik dan benar saja, pelari putra sedang bersiap berlomba, “Pasti itu, mereka menyoraki para pelari itu.”
Aku langsung ke kamar mandi, dan seorang gadis berpapasan denganku. “Wah, kamu benar-benar pemberani!” katanya.
Aku tersentak, “Pemberani? Dia pasti keliru mengenali orang. Aku baru kalah berlomba!”
“Aku pasti tak akan mampu menyelesaikan lomba itu kalau aku jadi kamu. Aku pasti sudah berhenti pada putaran pertama. Kakimu kenapa? Kami menyorakimu, lho. Kamu dengar tidak?”
Aku tak percaya. Seorang yang tak kukenal menyorakiku – bukan karena ia ingin aku menang, tapi karena ia ingin aku terus lari dan tidak menyerah. Mendadak aku memperoleh kembali harapan. Aku memutuskan untuk ikut lomba tahun depan. Seorang gadis menyelamatkan impianku.
Hari itu aku belajar dua hal.
Pertama, sedikit kebaikan dan rasa percaya diri dapat menimbulkan perubahan yang besar dalam diri seseorang.
Dan kedua, kekuatan dan keberanian tak selalu diukur dengan medali dan kemenangan. Keduanya diukur dalam perjuangan yang berhasil. Orang terkuat tidak selalu orang yang menang, melainkan orang yang tak menyerah saat kalah.
Aku hanya memimpikan bahwa suatu saat – mungkin di kelas tiga – aku akan berhasil memenangkan lomba dengan sorakan senyaring sorakan yangku dapatkan saat aku kalah lomba di kelas satu.