Ev. Xin Lan | Kejadian 2-5 | 

Karakter yang telah kita lihat di sesi yang lalu adalah tentang Adam. Catatan tentang Adam ada di pasal 2 sampai 5 di kitab Kejadian. Adam adalah leluhur kita dan merupakan manusia pertama yang diciptakan oleh Allah. Melaluinya, kita menerima kehidupan di dalam daging tetapi melaluinya juga dosa telah masuk ke dalam dunia ini dan bertakhta di atasnya.

Di dalam studi kita yang lalu, kita telah mempelajari dua hal dari kehidupan Adam: Pertama, kita harus mengasihi Allah di atas segalanya. Adam berbuat dosa, sebagian alasannya adalah karena dia mengasihi Hawa, lebih dari Allah. Karena itu, dia mendengarkan kata-kata istrinya dan bukannya kata-kata dari Allah. Apabila kita mengasihi seseorang atau sesuatu lebih dari Allah, kita akan meninggalkan suatu celah bagi musuh kita. Ibli akan dengan efektif memakai kasih kita itu untuk menyerang kita akan membuat kita jatuh.

Kedua, kita juga telah mempelajari bahwa kita tidak boleh memandang ringan akibat dari dosa. Adam tahu bahwa akibat dari memakan buah itu adalah maut, namun dia tetap memilih untuk memakannya. Akibat dari dosa ini bukanlah sesuatu yang dapat ditanggung oleh Adam karena pelanggarannya bukan saja mengakibatkan kematian rohnya, tetapi juga mempengaruhi keturunan dan seluruh umat manusia. Kita tidak lagi mempunyai Pohon Kehidupan sejak itu dan kita telah menjadi semakin jauh dari Allah. Dari satu angkatan ke angkatan selanjutnya, manusia menjadi semakin jauh setelah melakukan segala macam dosa.

Inilah pelajaran yang kita dapat dari pesan yang lalu. Hari ini, kita akan melanjutkan untuk mempelajari karakter Adam.

Saat melihat pada kutuk dan hukuman yang dijatuhkan pada umat manusia, kita bisa melihat bahwa Adam telah mengakibatkan tragedi yang paling besar di sepanjang sejarah. Namun, dari hal ini kita bisa bertanya, “Saya telah melakukan banyak dosa, lalu apa yang harus saya perbuat?” Kalau melihat pada apa yang terjadi pada Adam, saya pasti sudah tidak punya harapan lagi. Mengapa Allah begitu keras? Apakah saat kita berbuat dosa, kita akan langsung diusir keluar oleh Allah dan Allah tidak lagi mengasih kita? Sekali kita berbuat dosa, kita akan langsung dihukum mati?

Berbicara tentang dosa, terdapat satu karakter di dalam Alkitab, yang dosanya bisa dikatakan jauh lebih berat dibandingkan dengan Adam. Dia menggoda dan membawa pergi istri orang lain dan bahkan membunuh suaminya; dia melakukan dua dosa sekaligus, perzinahan dan pembunuhan. Dua dosa yang menuntut hukuman mati. Namun, Allah memuji orang ini sebagai orang yang mengejar hati-Nya. Allah memberkati dia dan bahkan memberkati keturunannya karena dia. Pada akhirnya, Yesus Kristus juga lahir dari garis keturunannya. Orang ini adalah Daud.

Daud adalah Raja Israel. Dosanya yang paling berat adalah perzinahan dan pembunuhan. Peristiwa ini dicatat bagi kita di 2 Samuel pasal 11. Daud jatuh cinta dengan kecantikan seorang perempuan yang bernama Batsyeba dan mereka secara tersembunyi melakukan perzinahan. Akhirnya Batsyeba hamil. Suaminya, Uria, adalah salah satu prajurit di bawah Raja Daud, yang sedang tertempur di medan perang pada waktu itu. Daud mau menutup perselingkuhannya dengan istri Uria, lalu dia berusaha untuk mengatur Uria kembali agar dia bisa berkumpul bersama istrinya, Bathsyeba. Tetapi, hati Uria berada di medan perang dan dia tidak mau mengambil waktu untuk pulang. Daud melihat bahwa dia tidak dapat menutup perselingkuhannya, lalu dia memerintahkan jenderal di bawahnya untuk mengutus Uria ke garis depan, dengan tujuan agar Uria dibunuh oleh pihak musuh. Setelah Uria mati di tangan musuh, Daud secara terbuka menikahi Bathsyeba.

Daud telah merencanakan dosa yang sedemikian serius, namun, hal itu tidak menghambat Allah dari menemukan perkenan di dalam dirinya dan memberkatinya. Di dalam Kitab Suci, nama Daud muncul 1085 kali padahal nama Adam hanya muncul 30 kali. Alkitab memuji Daud dan dia juga terdaftar sebagai salah satu teladan-teladan iman di Ibrani 11. Allah senang dan memberkati dia, bahkan setelah kematiannya, Allah memberkati keturunannya demi Daud. Contohnya dapat dilihat di 1 Raja-Raja 11.29-32:

“Pada waktu itu, ketika Yerobeam keluar dari Yerusalem, nabi Ahia, orang Silo itu, mendatangi dia di jalan dengan berselubungkan kain baru. Dan hanya mereka berdua ada di padang. Ahia memegang kain baru yang di badannya, lalu dikoyakkannya menjadi dua belas koyakan; dan ia berkata kepada Yerobeam: “Ambillah bagimu sepuluh koyakan, sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Sesungguhnya Aku akan mengoyakkan kerajaan itu dari tangan Salomo dan akan memberikan kepadamu sepuluh suku. Tetapi satu suku akan tetap padanya oleh karena hamba-Ku Daud dan oleh karena Yerusalem, kota yang Kupilih itu dari segala suku Israel.”

Salomo adalah putra Daud. Setelah mangkatnya Daud, Salomo mewarisi takhtanya. Namun, di akhir hayat Salomo, dia telah berpaling dari Allah dan melakukan apa yang tidak berkenan pada Allah. Allah dapat saja menurunkan Salomo dari takhtanya, tetapi Allah berkata, karena Daud, Salomo tetap bertakhta agar garis keturunan Daud dapat terus menjadi raja. Kalimat ini sering diulang-ulangi, contohnya, di 1 Raja-raja 15.3-4:

“Abiam hidup dalam segala dosa yang telah dilakukan ayahnya sebelumnya, dan ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada TUHAN, Allahnya, seperti Daud, moyangnya. Tetapi oleh karena Daud maka TUHAN, Allahnya, memberikan keturunan kepadanya di Yerusalem dengan mengangkat anaknya menggantikan dia dan dengan membiarkan Yerusalem berdiri…”

Dengan demikian kita dapat melihat Allah menganggap Daud sebagai orang yang telah dengan sepenuh hati menaati-Nya dan salah satu orang yang berkenan pada-Nya. Pada akhirnya, Mesias juga lahir dari garis keturunan Daud.

Mungkin bagi Anda ini suatu hal yang aneh dan Anda akan bertanya, “Mengapa?” Daud telah melakukan dosa yang begitu berat, mengapa Allah masih berkenan padanya? Bandingkan dosa Daud dengan dosa Adam, yang kelihatannya berbuat dosa yang lebih ringan, tetapi malah menerima penghukuman yang lebih berat, mengapa? Apakah Allah tidak adil? Tentu saja, ini bukan karena Allah tidak berbuat adil, karena kalau kita mendalami Kitab Suci, kita melihat keadilan, kasih sayang dan kebaikan Allah.

Mari kita membaca di Mazmur 51. Pendahuluannya berbunyi:

“Untuk pemimpin biduan. Mazmur dari Daud, ketika nabi Natan datang kepadanya setelah ia menghampiri Batsyeba.” (Mazmur 51:1-2)

Seluruh Mazmur 51 adalah pertobatan yang Daud persembahkan pada Allah:

“Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku…..”

Di dalam Mazmur ini, Daud dengan tulus dan bersungguh-sungguh memohon kepada Allah untuk mengampuni dosa-dosanya, untuk membersihkan dia dan untuk tidak meninggalkan dia, agar dia dapat terus mempersembahkan persembahan dan pujian kepada Allah. Apakah perbedaan di antara Daud dan Adam? Keduanya telah berbuat dosa tetapi apa reaksi mereka setelah itu? Pilihan Daud adalah untuk pergi kepada Allah dan bertobat dengan bersungguh-sungguh dan meminta Alalh untuk membantunya; dan Allah membantu dia, mengampuninya, menerimanya dan memberkatinya.

Allah kita adalah Allah yang murah hati dan baik; Dia tidak akan meninggalkan kita dan menghukum setelah kita melakukan dosa. Manusia memang begitu. Saat kita melihat orang berbuat dosa, kita akan menghakimi mereka berdasarkan hukum dan menjatuhkan hukuman. Allah tidak demikian. Dia akan memberikan kita jalan keluar, suatu kesempatan, yaitu kesempatan untuk bertobat. Selagi kita bertobat, Dia akan sekali lagi menerima kita. Itulah pengalaman Daud. Namun, Adam melakukan yang berlawanan. Mari kita baca Kej 3.8:

“Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman.”

Setelah Adam berbuat dosa, apa yang menjadi sikapnya? Hal pertama yang dia lakukan adalah bersembunyi dan menghindari Allah. Adam sedang menipu dirinya sendiri. Allah itu maha tahu. Tidak seperti hakim di dunia, mereka harus mencari bukti dan saksi sebelum mereka dapat menjatuhkan penghakiman. Allah adalah Tuan bagi semesta alam. Dia tahu segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tidak diketahui orang lain, tetapi Allah tahu. Daud sangat memahami ini dan kita dapat melihat ini di mazmur-mazmurnya. Mari kita baca di Mzm 139. Bermula dari ayat 1-4, Daud berkata:

“Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud. TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku. Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN.”

Ayat 7-8, Daud berkata:

Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau.” (Mazmur 51:7-8)

Sekiranya kita mengira bahwa dosa kita tidak akan diketahui orang, kita sedang menipu diri sendiri. Pada kenyataannya, Allah telah mengetahui segala sesuatu yang terjadi di Taman Firdaus. Hanya saja, Allah tidak langsung terburu-buru menghampiri Adam dan merenggut leher Adam karena dosa yang telah Adam lakukan. Malah, sebaliknya, Allah dengan lembut mendekati Adam. Kitab Kejadian menggambarkan:

“Tetapi Yahweh Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: “Di manakah engkau?”

Allah sedang memberi Adam suatu kesempatan untuk bertobat tetapi Adam tidak mau. Setelah itu, Allah memberinya satu lagi kesempatan dengan bertanya padanya: “…Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?” Namun, bagaimana Adam menjawab pertanyaan itu? Ayat 12 berkata, “Manusia itu menjawab: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.”  Dengan cepat tanggungjawab dia alihkan pada Hawa, istri yang Allah berikatan kepadanya, dengan kata lain, Adam sedang mengalihkan kesalahan kepada Allah. Dengan demikian, Adam kehilangan sepenuhnya kesempatan untuk dia bertobat, yang berakibat pada Allah menjatuhkan hukuman ke atas Adam dan Hawa.

Dari sini, kita dapat mempelajari satu lagi prinsip dari Allah. Yaitu, saat kita berbuat dosa, Allah mau memberi kita suatu kesempatan untuk bertobat. Jika kita bertobat, Dia akan mengampuni dan menerima kita sekali lagi. Namun, adalah batas waktunya. Saat Allah telah memberi kita waktu dan kesempatan yang cukup untuk bertobat, namun kita tidak bertobat, Allah tidak akan memberi kesempatan lagi kalau waktunya sudah lewat. Yang terjadi selanjutnya adalah penghakiman Allah.

Allah mengutus Yesus Kristus datang pertama kali ke dalam dunia untuk memberikan kita kesempatan untuk bertobat. Itulah alasan mengapa Yesus berkata, “Aku datang bukan untuk menghakimi tetapi untuk menyelamatkan”. Kita sekarang sedang berada di dalam zaman kasih karunia, zaman anugerah. Namun, saat Allah mengutus Yesus datang buat kedua kalinya, akan ada penghakiman. Pada waktu itu, tidak lagi ada kesempatan untuk bertobat. Jangan berpikir bahwa Allah itu murah hati dan Dia pasti akan memberi kita kesempatan. Tidak ada lagi, karena waktunya sudah habis. Dengan demikian, saat masih ada hari ini, janganlah menyia-yiakan waktu maupun kesempatan, dan jangalah meremehkan kemurahan Allah dan datanglah ke hadapanNya untuk bertobat.

Sekarang kita memahami mengapa penghakiman Adam atas dosanya begitu berat. Adam hanya memakan satu buah, mengapa dia menerima penghakiman dan hukuman yang sedemikian berat? Mengapa Allah begitu keras? Pada kenyataannya, masalah Adam bukanlah tentang persoalan melakukan dosa, tetapi yang lebih penting adalah, sikapnya setelah berbuat dosa. Setelah Adam berbuat dosa, dia tidak berani mengakuinya dan dia menyembunyikan diri dari Allah. Maunya dia tetap bersembunyi saja. Karena itu di Ayub 31.33, Ayub menggambarkan Adam sebagai orang yang menyembunyikan kesalahan dalam hatinya.

Setelah Adam berbuat dosa, dia tidak berani mengakuinya dan menghindari Allah dengan harapan dia dapat sembunyi dari Allah. Karena itu, Ayub menggambarkan Adam sebagai orang yang menutupi dosanya dan menyimpannya di dalam hati. Sekalipun Allah memberi Adam kesempatan untuk bertobat, dia masih tidak mau dengan sendirinya datang kepada Allah dan bertobat. Itulah alasan mengapa dosanya mendatangkan akibat yang begitu berat. Pada kenyataan, sikap Adam terhadap dosa sangatlah bermasalah di sepanjang peristiwa itu. Mari kita kembali ke Kejadian 2.

Terakhir kita berkata bahwa bukanlah Adam yang pertama berbuat dosa, tetapai Hawa yang memulainya. Saat Adam mendengarkan Hawa, dia jatuh ke dalam dosa. Saya harap kita tidak akan sedemikian dangkal untuk berkata bahwa kesalahan Adam adalah dia mendengarkan istrinya. Karena itu, para suami jangan pernah mau mendengarkan istrinya. Perhatikan bahwa Adam berbuat dosa setelah dia mendengarkan istrinya, dan kuncinya terletak di sini. Hawa berbuat dosa, dan Adam, sebagai suaminya, bukan saja gagal untuk memimpin istrinya pada pertobatan tetapi, juga mendengarkan istrinya dan turut jatuh ke dalam dosa. Kita tidak tahu apa sebenarnya yang dikatakan oleh Hawa kepada Adam karena tidak dicatat bagi kita. Namun, dari akibatnya, kita tahu bahwa Hawa membujuk Adam dan Adam mendukung perbuatan dosa Hawa, dengan demikian dia berpendirian sama dengan istrinya. Ini menunjukkan pada kita sikap Adam terhadap dosa itu telah salah sejak dari awalnya. Tentu saja, kesalahan lain terjadi saat peristiwa ini berlangsung.

“Makhluk-makhluk alamiah sama dengan dia yang berasal dari debu tanah dan makhluk-makhluk sorgawi berasal dari sorga.” (1 Korintus 15:48)

Menurut konteksnya, “yang alamiah” menunjuk pada Adam. Perikop ini memberitahu kita bahwa Adam sebenarnya adalah perwakilan dari semua yang berasal dari daging. Itu berarti, kepribadian dan kelemahanya juga menjadi bagian kita. Karena itu, dia berbuat dosa, kita semua juga akan berbuat dosa. Contohnya, saat orang yang kita kasihi berbuat dosa, atau saat orangtua, anak-anak atau teman baik kita berbuat dosa atau bahkan saudara seiman kita berbuat dosa, bagaimana kita menanganinya? Mereka akan meminta pada kita dengan kasih manusia dan berkata, “Jika kamu mengasihi aku, kamu akan mendukung aku dan berdiri bersama-sama dengan aku!” Itulah yang dilakukan oleh Adam dan besar kemungkinan, kita juga akan berbuat demikian. Akan tetapi, kasih yang sejati adalah kita akan membujuk mereka untuk bertobat di hadapan Allah karena itulah satu-satunya jalan keluar. Kita tidak akan mendukung mereka. Namun, akibatnya adalah, mereka akan merasa kita kejam dan tidak mengasihi mereka dan kita akan selama-lamanya kehilangan mereka. Harga yang sangat tinggi, apakah kita mau membayarnya?

Atau, sebagai contoh, saat kita berbuat dosa atau kesalahan, bagaimana kita akan bereaksi? Mungkin, reaksi pertama kita adalah tidak mengizinkan orang lain untuk mengetahuinya, dan kita akan berpura-pura bahwa tidak ada apa-apa yang terjadi untuk menyembunyikan kenyataan. Kita tidak mau mengakui kesalahan kita dan meminta maaf. Terutamanya kalau kita mempunyai status yang lebih tinggi. Contohnya, orang tua yang tidak mau meminta maaf kepada anak-anak, guru dengan anak murid atau majikan dengan pegawai. Sekalipun, kita dengan jelas tahu telah berbuat salah, tetapi tetap saja tidak mau mengakui atau meminta maaf.

Mengapa kita tidak mau mengakui dosa dan kesalahan kita? Satu alasan adalah mungkin kita khawatir bagaimana orang akan memandang kita; sangatlah memalukan dan kita bahkan khawatir bagaimana hal ini akan mempengaruhi kredibilitas dan reputasi kita.

Sebagai orang tua, jika kita mengakui kesalahan dan meminta maaf, kita khawatir anak-anak kita tidak lagi akan menghormati kita. Sebagai guru, kalau kita meminta maaf pada para murid, bukanlah kita akan kehilangan kehormatan dan wibawa kita? Sebagai atasan, jika kita meminta maaf pada pegawai, bukankah kita akan kehilangan otoritas kita? Kita sangat peduli tentang diri kita dan mau melindungi diri kita. Karena itu, kita rela mengorbankan kebenaran. Mengapa kita tidak mau mengakui dosa kita? Alasan yang lain adalah kita takut untuk menanggung akibat dari dosa kita.

Di sesi yang lalu, kita menyebut bahwa pasti akan ada akibat dari dosa dan kesalahan kita, dan kita harus menanggungnya. Mungkin, sebagai orang tua, anak-anak tidak akan lagi menghormati Anda jika Anda berbuat salah. Sebagai guru, Anda mungkin akan kehilangan wibawa dan hormat dari para murid. Sebagai atasan, Anda mungkin akan kehilangan otoritas ke atas bawahan Anda. Bagaimana pun, yang lebih penting adalah, setelah berbuat salah, apakah kita punya keberanian untuk menanggung akibatnya? Jika  ya, maka kita merupakan orang yang mengasihi kebenaran. Daud adalah orang yang demikian, dia tidak menghindar dari menanggung akibat dari dosanya. Jika Anda melihat kisah hidup Daud, Anda akan melihat bahwa dosanya membuatnya harus membayar harga yang besar. Dia diburu dan harus melarikan diri menyelamatkan nyawanya dari anaknya Absalom. Daud nyaris kehilangan kerajaan dan juga nyawanya.  Bahkan sampai ke hari ini, setiap orang yang membaca Alkitab tahu bahwa dia telah berbuat zinah dan membunuh. Namun, Daud tidak melarikan diri dan menjauh dari Allah. Dia mau pergi di hadapan Allah untuk bertobat, mencari Allah dan terus mencari dan menyembah-Nya. Karena itulah, Allah menyebutnya sebagai orang yang berkenan di hati-Nya dan memberinya berkat yang luar biasa dan bahkan memberikan Daud bagian di dalam karya keselamatan Allah, yaitu dengan mengizinkan Yesus untuk lahir dari garis keturunan Daud.

Bukankah kita juga seperti Adam dan pernah melakukan apa yang dilakukan Adam? Kita tidak mau bertanggungjawab atas kesalahan dan dosa kita. Marilah kita menyelidiki hati kita, bukankah seringkali kita hanya melihat pada kesalahan orang lain dan bagaimana orang lain telah gagal. Hal yang paling sulit di dunia ini adalah relasi antara manusia. Apakah antara atasan dan bawahan, antara kolega, sahabat, suami-istri, orang tua-anak, atau bahkan antara saudara seiman, pasti akan ada pertentangan dan konflik. Namun, di mata kita, yang bermasalah selalunya adalah orang lain, dan kita senang mengalihkan tanggungjawab kepada orang lain. Saat Adam menyalahkan Hawa, hubungan mereka sudah berubah, tidak akan sama lagi. Tidak lagi seperti sebelumnya, tidak lagi tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Akibat dari mengalihkan tanggungjawab atau menyalahkan orang lain adalah hal itu akan mengakibatkan pada retaknya hubungan.

 

Kesimpulan

Kita telah melihat bukan saja Adam berbuat dosa tetapi juga sikapnya setelah dia berbuat dosa. Dia tidak mau mengakui dosanya dan menyembunyikan dirinya. Saat Allah memberinya kesempatan untuk bertobat, dia tidak menghargainya dan dia kehilangan kesempatan itu.

Pada akhirnya, saat Allah bertanya langsung kepadanya, dia mengalihkan tanggungjawab kepada Hawa dan bahkan menyalahkan Allah karena Allah-lah yang menciptakan Hawa untuknya. Justru sikapnya inilah yang membuat Adam tidak berkenan pada Allah, dan karena itu, akibat dan penghakiman ke atasnya sangatlah berat.

Adam, kita dapat belajar beberapa prinsip:

  1. Allah bermurah hati dan ingin membantu kita dan memberi kita kesempatan untuk bertobat. Karena itu, saat kita berbuat dosa, bukan saja, kita jangan menghindari Allah, lebih lebih lagi, kita harus pergi kepada Allah. Karena hanya Allah yang dapat mengampuni dosa kita dan menyucikan kita dari dosa kita. Dengan kata lain, hanya Allah yang dapat menyelesaikan permasalahan dosa dan melepaskan kita agar kita tidak mati dalam perlanggaran dan dosa, agar kita dapat terus berada di bawah pemerintahan-Nya. Pada waktu yang bersamaan, kita dapat juga mendorong mereka yang berbuat dosa untuk pergi ke hadapan Allah untuk membuat pengakuan dan bertobat.
  2. Kemurahan dan kesabaran Allah ada batasnya. Setelah Allah memberi kita waktu dan kesempatan yang cukup untuk bertobat, jika kita tidak melakukannya, Allah tidak akan memberi kita kesempatan lagi. Setelah waktunya habis, yang mengikutinya adalah penghakiman Allah.
    Kedatangan Yesus yang pertama adalah untuk memberikan kepada kita suatu kesempatan untuk bertobat. Kedatangannya yang kedua adalah untuk menghakimi. Kita sekarang sedang hidup di dalam zaman kasih karunia. Karena itu, saat kita masih punya hari ini, janganlah kita membuang waktu dan kesempatan atau meremehkan kemurahan Allah, tetapi marilah kita pergi kepada Allah dalam pertobatan.
  3. Jika kita telah berbuat dosa, sekalipun kita telah bertobat, kita tetap saja harus menanggung akibat dari dosa yang telah kita perbuat, dan itulah kengerian dosa. Bagaimana pun, kita harus mempunyai keberanian untuk menghadapi konsekuen dari dosa kita sambil kita mengandalkan Allah dan bertobat di hadapan-Nya. Orang yang tidak mau bertobat akan berhadapan dengan konsekuen yang lebih berat dan harga yang mereka harus bayar akan jauh lebih tinggi.

Kita sekarang telah selesai dengan studi tentang karakter Adam. Pada kenyataannya, pembahasan kita belum selesai karena kita harus berbicara tentang Adam saat kita membahas tetangn Hawa. Karena itu, karakter selanjutnya yang akan kita pelajari adalah Hawa. Melalui Hawa, kita akan mendapatkan suatu gambaran yang lebih lengkap dalam memahami Adam dan Hawa.

 

Berikan Komentar Anda: