Pastor Eric Chang | Manusia Baru 13(b) |

Mari kita sekarang mempertimbangkan Yohanes 17:23:

“Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam aku supaya mereka menjadi satu dengan sempurna, agar dunia tahu bahwa Engkau yang telah mengutus aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi aku.”

Dalam pernyataan yang dalam ini, Yesus berdoa agar umat Allah “menjadi satu dengan sempurna” (harfiah “disempurnakan menjadi satu”), agar dunia mengetahui bahwa Bapa telah mengutus Anak, dan mengasihi umat-Nya sebagaimana Ia mengasihi Yesus sendiri! Ini merupakan suatu pernyataan yang luar biasa: Bapa mengasihi kita seperti Ia mengasihi Yesus,  Anak-Nya yang terkasih!

Fakta bahwa kasih-Nya bagi orang berdosa dan kasih-Nya bagi Anak-Nya dapat dibicarakan secara paralel dan komparatif seperti ini merupakan hal yang benar–benar menggemparkan. Namun, di salib Yesuslah di mana Allah menyerahkan Anak-Nya bagi penebusan kita, yang mengungkapkan dan mendemonstrasikan kebenaran dari pernyataan yang mengherankan ini. Salib juga mengungkapkan bahwa hal yang mengikat kita “menjadi satu dengan sempurna” justru adalah kasih Allah yang sempurna itu.

Lagi pula, karena kita adalah obyek kasih-Nya yang tanpa batas itu, tidaklah itu membuat kasih pada diri sama sekali tidak diperlukan?  Samudera kasih Allah dapat memenuhi cangkir kecil diri kita, tetapi tidak akan pernah dapat dibendung di dalamnya. Mementingkan diri tiada artinya. Kasih Allah dapat memenuhi setiap orang di dalam Tubuh Kristus, tetapi tidak dapat dibendung oleh kita semua digabung bersama! Kasih-Nya meluap secara berkelimpahan. Jika kita mengosongkan diri kita dengan menuangkan kasih itu kepada orang lain, kita akan segera dipenuhi lagi!

Melalui kasih-Nya kita dapat menjadi satu sebagaimana Bapa dan Anak adalah satu! Yesus berdoa agar para muridnya dijadikan satu melalui kehadirannya di tengah-tengah mereka, “Aku di dalam mereka” (Yoh 17:23).

Tentu saja, setiap kualitas menjadi mungkin di dalam kita hanya melalui hadirat-Nya yang diam di tengah-tengah kita, tetapi perhatikan bahwa hadirat-Nya dikaitkan secara khusus dengan kesatuan. Kesatuan merupakan tanda khusus dan ukuran hadirat-Nya di antara  kita. Ini berarti semua kualitas yang lain hanya dapat digenapi dalam kita jika kesatuan ilahi telah digenapi dalam kita.

Jika demikian halnya, jelaslah bahwa semua kualitas yang lain (seperti kudus, murah hati, jadilah sempurna) menjadi kenyataan dalam kita hanya sejauh hadirat-Nya yang diam dalam kita dapat menarik kita ke dalam kesatuan yang semakin erat dengan-Nya dan dengan sesama. Sebaliknya, ini berarti jika kesatuan menjadi lemah di antara kita, sebanding dengan itu, kekudusan, kemurahan hati, dan semua kualitas lain dari natur ilahi juga lemah di antara kita. Kita tidak dapat memiliki kualitas-kualitas ilahi yang lain tanpa kesatuan. Sejauh mana kesatuan dapat direalisasikan dalam kita juga merupakan ukuran sejauh mana kita akan mempunyai kualitas-kualitas yang lain itu.

Sekarang kita dapat memahami dengan lebih baik mengapa di akhir dari pelayanannya di bumi, Yesus mendoakan doa panjang bagi para muridnya agar mereka menjadi satu, dan mengapa di doa yang terakhir itu ia tidak mendoakan supaya mereka menjadi kudus atau murah hati, tetapi hanya mendoakan supaya mereka menjadi satu.


Kesempurnaan Dicapai Secara Komunal

Dalam berbicara tentang kesatuan, saya masih berbicara tentang kesempurnaan. Dalam kenyataannya, kedua hal itu terkait karena kesempurnaan adalah usaha komunal, bukan sekadar pencapaian pribadi. Oleh karena itu, tidak akan ada kesempurnaan tanpa kesatuan. Akan tetapi, ketika kita berpikir tentang kesempurnaan, kita cenderung membayangkan seseorang yang mengasingkan diri untuk mengejar kesempurnaan. Ini memang benar, tetapi tidak seluruhnya. Ini adalah karena kesempurnaan di dalam Kitab Suci bersifat komunal. Tentu saja, ini bertentangan dengan pemahaman yang umum sekarang ini. Sudah menjadi klise di kalangan kaum injili untuk berbicara tentang keselamatan “pribadi”, Penyelamat “pribadi”. Pada zaman sekarang ini, kita memiliki rekening pribadi, buku cek pribadi, dan segalanya serba pribadi. Semua ini melayani individualisme kita yang egoistis.

Jika istilah “keselamatan pribadi” digunakan untuk mengungkapkan keharusan bagi setiap individu untuk memperbaiki hubungan dengan Allah, dan tidak menganggap dirinya selamat hanya karena ia menjadi anggota gereja tertentu, tidak ada masalah dengan kalimat tersebut. Kita memang harus menekankan perlunya hubungan yang pribadi dengan Allah sehubungan dengan keselamatan kita.

Namun, penekanan pada sisi pribadi dalam semua aspek kehidupan Kristen sehingga mengabaikan sisi komunal sangatlah menggelisahkan karena penekanan dalam Kitab Suci agak bertentangan. Kitab Suci secara terus menerus menekankan aspek komunal, bahwa kita adalah satu tubuh di dalam Kristus, bahwa kita mengambil bagian dalam satu Tuhan, satu iman, satu baptisan (Ef 4:4-6)—menekankan apa yang menjadi milik bersama daripada apa yang pribadi. Demikian juga di Yohanes 17, kesatuan yang didoakan Yesus adalah bagi komunitas murid-muridnya secara keseluruhan.

Penekanan yang tepat sangatlah penting karena itu akan mempengaruhi cara Anda berpikir dan berperilaku dalam jangka panjang. Jika kita terus menekankan pada sisi individu, yang terbentuk adalah individualisme. Kesatuan akan menjadi hal yang semakin sulit untuk dicapai. “Saya berhak! Saya melakukan apa yang benar menurut saya!” Kita akan memikirkan hak pribadi dan keistimewaan pribadi daripada hal-hal yang menguntungkan komuniti.


Sebuah pelajaran nyata

Pada tahun tujuh puluh dan delapan puluhan, banyak orang terkesima melihat kekuatan perekonomian Jepang. Kekuatan Jepang sebagai suatu bangsa terletak di sini, yaitu penekanan pada sisi komunal ketimbang individu (walaupun itu sedang berubah karena pengaruh Barat). Dunia Barat diherankan oleh perkembangan Jepang yang terus bertambah kuat, sedangkan perekonomian Jerman yang pernah sedemikian hebatnya sedang bergumul dengan masalah defisit dan masalah perekonomian yang lain. Mereka memandang bola dunia dan berkata, “Jepang dulunya tertinggal jauh di belakang Jerman, sekarang sudah menyamai tingkatan Jerman, bahkan melewatinya di beberapa bidang.”

Persoalan-persoalan ekonomi di Barat sebagiannya disebabkan oleh pemogokan pekerja yang sering terjadi dalam rangka menuntut bayaran dan tunjangan yang lebih tinggi. Dalam beberapa kasus, perusahaan yang mengalami pemogokan sudah berada di ambang kehancuran finansial, tetapi pekerja-pekerjanya mendahulukan kepentingan pribadi mereka. Jika keadaan terus berlanjutan seperti itu, perusahaan itu tidak akan dapat bertahan lama dan para pekerjanya akhirnya akan mengganggur.

Di Inggris, di mana kami tinggal selama bertahun–tahun, pernah terjadi pemogokan yang berkelanjutan! Pernah sekali terjadi pemogokan petugas kebersihan dan akibatnya sampah menumpuk di mana–mana! Jika Anda menanyakan: apakah para pekerja ini mempedulikan masyarakat dan lingkungannya? Jawabannya ialah: Maaf, tetapi biaya hidup terus meningkat dan kami perlu tambahan uang. Akhirnya bahkan para perawat melakukan pemogokan, dan banyak lagi yang melakukan hal yang sama. Tentu saja, kita memahami dan bersimpati dengan kebutuhan keuangan mereka yang bekerja demi penghidupannya. Itu bukan persoalannya. Yang menjadi pokok persoalan ialah: Dapatkah semua persoalan ini diselesaikan dengan bersikeras menuntut hak dan kebutuhan pribadi tanpa mempedulikan akibatnya pada masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan, atau tidakkah tuntutan semacam ini justru malah mempersulit persoalan?

Akan tetapi, orang–orang Jepang pada zaman itu bertindak secara komunal berdasarkan bendera perusahaan di mana mereka bekerja. Sejalan dengan perkembangan perusahaan melalui peningkatan keuntungan, perusahaan semakin mampu untuk menaikkan gaji pekerjanya. Setiap pekerja malah menjadi pekerja yang lebih baik. Ia menyadari bahwa kesejahteraannya tergantung pada kesejahteraan perusahaan. Itu sebabnya ia menjadi setia pada perusahaannya. Ia tidak akan menghancurkan perusahaan dengan jalan pemogokan. Sejalan dengan kemajuan perusahaan, ia juga mengalami kemajuan. Hal yang masuk akal, bukan?

Dengan mengatakan semua ini, kami tidak bermaksud untuk menyokong satu sistem sosial di atas yang lain. Namun, kita harus membunyikan alarm apabila kita melihat gereja semakin menjadi serupa dengan mentalitas individualistis yang mencengkeram masyarakat Barat. Kita harus menyadari bahwa adalah suatu bahaya yang membawa maut bagi gereja untuk menjadi serupa dengan dunia. Orang dunia melakukan apa saja yang benar di matanya sendiri.

Jika individualisme-lah jalannya, kita pelayan-pelayan gereja perlu membentuk serikat kerja! Jika gereja berlaku kurang adil kepada kita, kita dapat melakukan pemogokan dan memberi pelajaran kepada jemaat. “Kalian ingin berbicara tentang keselamatan pribadi? Mari kita bicarakan gaji pribadi saya dahulu. Jika gaji saya tidak dinaikkan, saya akan mogok! Minggu depan tidak ada yang melayani di gereja. Mau dibaptis? Tidak ada gaji, tidak ada baptisan!”

Sedikit pendeta yang akan menyampaikannya dengan begitu terus terang. Namun, sentimen ini telah menjalar cukup luas, sekalipun dinyatakan dalam bahasa yang lebih berhati-hati. Mereka mungkin akan menyampaikan persoalan kepada majelis gereja dengan cara ini: “Gaji saya tidak cukup, sobat. Mari kita berbicara dengan baik-baik. Kita orang beradab, maka kita akan berbicara dengan cara yang beradab. Jika kalian tidak menaikkan gaji saya bulan depan, harap diingat bahwa beberapa gereja sedang mencari pendeta seperti saya!”

Semuanya dapat diringkaskan pada kepentingan pribadi. Apa yang terjadi dengan gereja adalah masalah sekunder. Seorang pendeta yang saya kenal secara pribadi, bergegas meninggalkan gereja yang sedang digembalakannya ketika disodori tawaran gaji yang lebih tinggi di gereja lain, walaupun gereja yang ditinggalnya terbengkalai tanpa pendeta dan tidak mendapatkan pengganti untuk waktu yang cukup lama. Kepentingan pribadi, bukan kepentingan jemaat, yang mendapat prioritas.


Apakah kekudusan suatu pencapaian individual?

Saat berbicara tentang kekudusan, Alkitab juga menekankan sisi komunal, dan bukan sisi perorangan. Ada orang yang mengira bahwa mereka perlu mengasingkan diri untuk mencapai kesempurnaan pribadi. “Saya akan mengunci diri di dalam kamar. Jangan ganggu saya sampai saya menjadi lebih kudus. Suatu hari nanti, saya akan keluar dan menolong Anda. Untuk sementara, selamat tinggal.” Ia berpaling dari setiap orang, menutup pintu, dan mengejar kekudusan. Niatnya mungkin kelihatan benar, tetapi cara yang ditempuh itu salah. Itu karena kita harus bertumbuh dalam kekudusan bersama–sama.

Rasul Paulus menulis,

“seluruh tubuh dipersatukan oleh sendi-sendi dan otot-otot, semuanya bertumbuh dengan pertumbuhan yang berasal dari Allah.” (Kol 2:19).

Pertumbuhan di sini menunjuk kepada pertumbuhan rohani, bukan pertumbuhan numerik. Kekudusan, kemurahan hati, dan kesatuan membentuk unsur-unsur yang integral dan tak terpisahkan dalam kehidupan dan pertumbuhan rohani.

Allah mengakibatkan setiap anggota individu dan Tubuh untuk bertumbuh bersama-sama, supaya individu tersebut bertumbuh dalam konteks Tubuh jikalau ia bertumbuh dalam kekudusan dalam pengertian yang alkitabiah. Ini sangat bertentangan dengan pendapat popular tentang “orang kudus” yang walaupun sendiri-sendiri merasakan dirinya baik-baik saja, tanpa membutuhkan anggota-anggota lain dalam Tubuh  Kristus.

Jika hidup dan kasih Allah bersifat transmisif, ia harus mengalir keluar kepada orang lain. Kehidupan rohani tidak mungkin semata-mata suatu urusan pribadi. Kehidupan saya, seraya bertumbuh dalam kekudusan, akan mempengaruhi orang lain. Akibatnya kita akan bertumbuh bersama-sama. Saudara lain juga akan menunjukkan kasih persaudaraannya kepada saya, menyebabkan saya makin bertumbuh lagi. Inilah inti dari kehidupan dalam satu tubuh. Kita bertumbuh bersama-sama sebagai satu tubuh atau kita tidak bertumbuh sebagaimana mestinya.

Mengapa kita menghabiskan begitu banyak waktu mempertimbangkan aspek komunal dari kesempurnaan? Alasannya adalah karena komunitas dan kebersamaan merupakan aspek integral  dari kesatuan. Bagaimana kita dapat berbicara mengenai kesatuan tanpa kebersamaan komunal? Mengapa kita perlu begitu memperhatikan penyakit kanker “individualisme” yang nyaris universal ini, yang memang menjadi pembawaan manusia sejak dilahirkan? Alasannya justru karena ciri natur lama ini bekerja di dalam kita untuk membinasakan kesatuan di dalam Tubuh Kristus.


Bersama-sama Menjadi Pemenang

Dalam ajaran yang alkitabiah, kekudusan bukan berarti eradikasi dosa dari kehidupan kita, entah itu dalam kehidupan pribadi maupun jemaat. Kekudusan adalah kemenangan atas dosa. Kita bergumul dengan realitas dosa setiap hari. Setiap hari kita memerangi dosa di tingkat perorangan maupun sebagai sebuah komunitas. Kita menang atas dosa dengan mengandalkan kuasa Allah dan hidup berdasarkan anugerah-Nya.

Anugerah tidak datang sekali saja dalam hidup kita sebagai peristiwa yang terjadi satu-kali ketika kita mempercayai Yesus. Sebaliknya, kita hidup oleh anugerah hari demi hari, saat demi saat. Jika ada yang menganggap hal ini sebagai ajaran keselamatan berdasarkan perbuatan, ia belum memahami pengajaran yang alkitabiah sama sekali. Keselamatan itu hanya karena anugerah—tetapi bukannya anugerah yang terjadi sekali saja, melainkan anugerah yang berkelanjutan sepanjang hidup kita di dunia ini. Itu karena kita harus mengalahkan dosa setiap saat, karena kalau tidak, dosa yang akan mengalahkan kita.

Alkitab, terutama kitab Wahyu, menggambarkan orang Kristen sejati sebagai orang yang “mengalahkan” (overcomes). Di setiap surat kepada ketujuh jemaat, kata “menang” disebutkan (Why 2:7, 11, 17, 26; 3:5, 12, 21). Orang Kristen sejati mengalahkan dosa. Bagi jemaat itu berarti kita melawan dosa bersama–sama. Itu sebabnya kita tidak perlu berpura-pura tampil lebih kudus daripada keadaan yang sebenarnya. Kepura–puraan malah akan menjauhkan kita dari pertolongan dan doa karena orang lain tidak akan menyadari persoalan dan kebutuhan kita. Kita tidak perlu berpura–pura lebih kudus daripada orang lain. Dia sedang memerangi dosa, demikian pula dengan saya. Jika kita berperang bersama–sama, kita akan memenangkannya bersama–sama pula.

Itulah keindahannya hidup dalam satu tubuh: kita saling menolong untuk mengalahkan dosa. Kita dapat berkata kepada sesama, “Ini kelemahan saya, apa kelemahan Anda?” Dengan menyatunya kita di dalam Kristus, kita akan memenangkan peperangan ini bersama–sama. Kesatuan dicapai dengan saling membuka hati satu dengan yang lain, berbagi kesadaran bersama bahwa peperangan ini tidak akan dapat dimenangkan sendiri–sendiri, tetapi bersama-sama. Paulus berbicara tentang keadaan sehati sejiwa berjuang untuk iman (Flp 1:27). Bukankah itu suatu gambaran yang indah?

Apakah dosa yang paling sulit untuk dikalahkan? Bukankah kecenderungan alami kita ke arah kepentingan-diri dalam segala bentuk: Kepedulian yang tak henti-hentinya untuk kepentingan pribadi, kesombongan atau rasa kasihan-diri, bersikeras menegakkan cara dan pendapat kita, ketidaksabaran dengan orang lain, sikap suka mencela, tidak bertimbang-rasa terhadap orang lain, dll.? Oleh karena dosa-dosa ini bersifat sangat pribadi, dan ada kalanya tersembunyi, maka sangatlah sulit bagi kita untuk membantu satu sama lain. Satu-satunya cara kita dapat bersama-sama mengalahkan dosa-dosa ini adalah jika kita bersedia untuk mengakuinya kepada sesama, atau dengan penuh keterbukaan menerima koreksi apabila dosa kita ditunjukkan kepada kita; kedua hal ini sangatlah sulit, dan membutuhkan banyak anugerah dari Tuhan.


Tiga Aspek Kesatuan

Ada tiga aspek penting dari kesatuan, dan ketiganya merangkum ajaran Yesus di Yohanes 17. Untuk dapat memahami pasal ini, ingatlah akan ketiga aspek ini: hubungan kita dengan Allah, hubungan kita dengan sesama, dan hubungan kita dengan dunia.


Pertama: Hubungan Kita dengan Allah

Hubungan kita dengan Allah terjadi melalui kesatuan dengan Yesus. Ayat 21 berkata,

“supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam aku dan aku di dalam Engkau; supaya mereka juga menjadi satu di dalam Kita”

Apa yang kita lihat di sini? Bapa di dalam Yesus, Yesus di dalam Bapa, dan kita murid–murid di dalam mereka.

Kesatuan dengan Allah berarti kesatuan internal dengan Dia, satu  kesatuan roh. Orang cenderung memandang kesatuan secara keorganisasian, tetapi kesatuan sejati terjadi pada tingkat yang terdalam dari roh. Allah memanggil dan menarik kita ke dalam kesatuan dengan-Nya yang terjadi pada tingkat roh. Hal ini bukanlah sesuatu yang dapat kita capai berdasarkan usaha sendiri. Yesus berkata: “Aku di dalam mereka, dan mereka di dalam aku.” Yang satu di dalam yang lain. Ini melibatkan komunikasi batiniah yang paling dalam. Kecuali kita memiliki kesatuan dan persekutuan batiniah seperti ini dengan Yesus, kita tak dapat disatukan satu dengan yang lain. Anda dan saya bersatu, tetapi hanya karena kita bersatu dengan Allah melalui Yesus.

Jika kita menjadi satu dengan Allah, kita akan mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang Dia. Apakah kita tahu pikiran Allah? Pertama Korintus menonjolkan tema ini, terutama dalam pernyataan, “tetapi kami memiliki pikiran Kristus” (2:16). Kalimat “pikiran Kristus” muncul hanya di ayat ini dalam Perjanjian Baru. Jika kita memiliki pikiran Kristus, kita akan memahami cara dia berpikir dan bertindak. Sangatlah perlu bagi kita untuk mengetahui pikiran Allah. Jika tidak, bagaimana kita dapat berdoa dalam cara yang sesuai dengan kehendak dan hati-Nya? Jika doa kita tidak harmonis dengan hati dan pikiran-Nya, bagaimana Ia bersedia untuk menjawab?

Apakah Anda mengalami kesulitan dalam berdoa? Dalam pengalaman kebanyakan orang Kristen, kemungkinan besar jawabannya adalah, ya. Bagaimana kita bisa berdoa kalau kita tidak memiliki kesatuan dengan Allah, tidak lagi berhubungan dengan Dia? Doa menjadi tidak berarti jika kita tak dapat berkomunikasi dengan-Nya. Begitu juga di tingkat manusia, kita bisa frustrasi saat berbicara dengan orang yang pikirannya tidak sejalan, bukankah demikian? Ia mengucapkan suatu hal, lalu Anda mengartikannya berbeda. Ia berkata, “Bukan itu maksud saya.” Lalu, Anda menjawab, “Tapi itulah yang Anda katakan. Bagaimana lagi saya harus mengartikan kata–kata yang Anda ucapkan? Mungkin pembicaraan selanjutnya perlu direkam untuk mencatat kata-kata Anda secara tepat!” Masalah komunikasi yang sedemikian tidak akan muncul jika kita membagi pikiran yang sama.

Terjadi gangguan komunikasi bila satu pihak berbicara dan pihak yang lain mengartikannya secara berbeda. Akhirnya akan ada yang berkata, “Mari kita hentikan pembicaraan yang melelahkan ini. Lebih baik saya menonton televisi saja, televisi tidak akan bertengkar dengan saya.” Sahabat terbaik manusia adalah televisi karena ia tidak pernah menjawab Anda dengan kasar! Anda dapat menendangnya dan ia tidak akan membalas. Hiburan mengalir tanpa henti dari kotak itu. Jika Anda tidak suka dengan acara pada suatu saluran, Anda dapat pindah ke saluran yang lain. Cobalah melakukan hal ini pada orang yang berbicara kepada Anda. Jika Anda mengganti saluran, wajahnya tetap tampil di semua saluran!

Sekarang Anda dapat menerima sebanyak 125 saluran di televisi. Itu menyediakan cukup variasi untuk menghibur! Atas alasan ini, televisi dipandang sebagai semacam sahabat oleh banyak orang, dan bagi beberapa orang mungkin merupakan sahabat satu–satunya. Ia dapat berbicara kepada Anda melalui alunan musik, dan berwarna-warna. Itu sebabnya banyak orang rela menghabiskan uang puluhan juta untuk membeli televisi layar lebar. Televisi dapat menampilkan acara penuh variasi dan pesona, sementara manusia seringkali begitu membosankan! Tidaklah mengherankan bahwa banyak orang lebih memilih televisi ketimbang manusia. Benar, Anda tidak dapat berkomunikasi dengan televisi, tetapi Anda juga tidak dapat berkomunikasi dengan banyak orang.

Apakah kita dapat bersekutu dengan Allah, atau apakah kita berada pada gelombang yang berbeda dari Dia? Kecuali kita menjadi satu dengan Dia dalam hati dan pikiran, kecuali ada penyatuan antara kehendak kita dan kehendak-Nya sedemikian rupa di mana kehendak kita berharmonis dengan kehendak-Nya, kita akan menemukan bahwa persekutuan dengan Dia merupakan hal yang mustahil.

Tentu saja, kita dapat membaca dan mengutip doa–doa yang indah dari buku–buku doa, atau mengucapkan apa pun yang ingin kita katakan dalam doa. Namun, doa semacam itu menjadi kegiatan religius saja, dan bukan persekutuan dengan Allah. Tanpa adanya penyatuan hati dan pikiran kita dengan Dia, maka tidak ada persekutuan yang nyata antara kita dengan-Nya. Kita harus terlebih dahulu mengambil waktu untuk memastikan bahwa roh kita sepenuhnya senada dengan-Nya. Apabila kita merasakan bahwa batin kita sepenuhnya berharmonis dengan-Nya, maka kita siap untuk bersekutu dengan-Nya. Tidak akan ada persekutuan tanpa penyatuan; oleh karena itu kesatuan dengan-Nya adalah sangat penting.


Kedua: Hubungan Kita dengan Sesama

Hal yang kedua adalah disatukan dengan sesama melalui saling memahami secara batiniah dalam hubungan kita sebagai murid–murid Kristus. Namun, agar hal ini dapat terjadi kita harus terlebih dulu menjadi satu dengan Allah. Hanya setelah setiap orang berada dalam penyatuan dengan Allah, memiliki komunikasi dengan Dia, barulah kita dapat memiliki pemahaman dan komunikasi batin yang mendalam satu dengan yang lain. Dengan kata lain, penyatuan kita dengan orang lain berakar pada penyatuan kita dengan Allah. Kesatuan kita bersifat rohani dan bukannya sesuatu yang bersifat organisasional. Ia berasal dari Allah, dan bukan dari manusia.

Kedua hal ini—hubungan kita satu dengan yang lain dan hubungan kita dengan Allah—merupakan hal yang tak terpisahkan dan terkait bersama di Yohanes pasal 17. Ayat 11 berkata, “sehingga mereka menjadi satu sama seperti Kita”. Dengan cara yang sama, ayat 21 berkata, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita”. Refrain ini—supaya mereka menjadi satu—muncul 4 kali (ayat 11, 21, 22, 23).

Ah, semoga saudara-saudara kita menjadi kesukaan kita! Namun, betapa sulitnya untuk bersukacita atas seseorang yang tidak berjalan bersama Allah, bukankah demikian? Jika seseorang berjalan bersama Allah, jika ia disatukan dengan Allah, jika ia memiliki pikiran Kristus—orang sedemikian sangat menyenangkan dan menyegarkan. Televisi tidak dapat menyainginya. Cobalah Anda berkeluh kesah pada televisi Anda! Apabila kekasih Anda meninggalkan Anda, cobalah bicarakan hal itu dengan televisi Anda. Dari sini Anda mulai melihat bahwa saudara-saudara Anda—jika mereka benar–benar berjalan bersama Allah—sangat jauh lebih berharga.

Orang yang hidup bergaul dengan Allah mempunyai watak yang menyegarkan. Apabila Anda mendekatinya, persoalan Anda mulai menjadi ringan dan mungkin bahkan mulai lenyap. Rahasianya tidak lebih dari ini: ia menyalurkan hidup, kasih, kemurahan, kuasa, kebenaran, hikmat dan kebaikan Allah kepada Anda. Mendadak persoalan Anda mulai lenyap, dan Anda mulai menghargai saudara–saudara seiman. Bila kita memberikan diri kita kepada orang lain, saling memikul beban dan saling menyayangi, kita mulai mengalami kesatuan yang menjadi panggilan Allah kepada kita.


Ketiga: Hubungan Kita dengan Dunia

Apa tujuan kesatuan dalam kaitannya dengan dunia? Jawabannya terdapat pada ayat 21:

“supaya mereka semua menjadi satu …  sehingga dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus aku.”

Sehingga dunia percaya! Namun, apa strategi penginjilan kita pada masa kini? Kita menekankan pada misi dan kampanye. Dengan cara inikah kita akan menyelamatkan dunia? Banyak gereja yang berkeyakinan seperti itu. Di Amerika “misiologi” adalah mata kuliah yang populer di banyak sekolah Alkitab. Saya belum pernah mendengarnya di Inggris, tetapi pelajaran ini ada di Amerika. Misiologi adalah pelajaran tentang misi. Bahkan misi-pun sekarang sudah dijadikan semacam “ilmu pengetahuan” (–ologi), mempelajari terutamanya teknik–teknik penginjilan.

Namun, apa yang dikatakan Yohanes 17 kepada kita? Kecuali kita menjadi satu, dunia tidak akan percaya. Saudara–saudara, tidak ada jalan pintas kepada penginjilan dunia.

Orang–orang menanyakan saya, “Mengapa Anda tidak melakukan perjalanan misi?” Sebenarnya saya sudah melakukan lebih banyak penginjilan misionaris dari yang dilakukan oleh kebanyakan orang dan kebanyakan pendeta. Pernahkah Anda mengetuk dari pintu ke pintu? Saya telah melakukan hal itu berkali–kali. Saya telah berbicara dengan orang di pintu rumahnya atau, jika saya diundang masuk, di dalam rumah. Pernahkah Anda mengedarkan bahan–bahan bacaan ringkas tentang Injil? Saya dulu sering mengedarkan traktat di pojok jalan bahkan di atas perahu–perahu. Pernahkah Anda berkhotbah di lapangan terbuka? Saya pernah berkhotbah di jalan–jalan kota dan tempat lalu lintas yang ramai. Mau coba berkhotbah di pasar berdampingan dengan penjual buah, adu keras suara dengan mereka? Saya pernah berdiri di atas peti sabun dan berkhotbah di pasar. Bagaimana dengan penginjilan perorangan? Saya pernah melakukan itu dalam bus, pesawat udara dan di pelbagai tempat yang lain. Pernah menyelenggarakan kampanye penginjilan? Saya menyelenggarakan banyak kampanye penginjilan dan berkhotbah dalam kebaktian-kebaktian itu sendiri. Sungguh, saya telah banyak terlibat dalam kegiatan penginjilan dan misi. Akan tetapi, setelah sekian tahun, mata saya mulai terbuka pada kenyataan bahwa selama gereja masih tidak seperti yang diharapkan oleh Allah, kita tidak akan dapat menjangkau orang dunia dengan efektif.

Saya selalu merasa sedih setiap kali mendengar seorang non-Kristen berkata kepada saya, “Lihatlah pada gereja. Apa yang begitu istimewa tentang gereja!” Tidak ada yang dapat saya katakan untuk menimpalinya. Orang non-Kristen itu sering benar ketika ia berkata, “Jemaat gereja tidak ada keistimewaannya. Mereka mengaku diselamatkan dan dilahirkan kembali oleh kuasa Allah, tetapi saya tidak melihat sesuatu yang istimewa dalam hidup mereka.” Alasan apa yang dapat kita ajukan? Tentu saja jawaban standar ialah, “Jangan pandang pada gereja, pandanglah kepada Kristus untuk keselamatan.”  Si non-Kristen itu akan berkata, “Jadi itu jelas-jelas pengakuan bahwa orang Kristen tidak ada bedanya dengan kami atau orang non-Kristen lainnya. Mereka mengakui bahwa tidak ada yang istimewa tentang mereka. Jadi mengapa saya perlu menjadi orang Kristen? Mengapa saya menginginkan keselamatan yang mempunyai sedikit, itupun kalau ada, kesan nyata dalam kehidupan seseorang?”

“Itu menyimpang dari pokok”, mungkin seseorang coba berdebat. Maaf, tetapi itu memang persoalan pokok! Jika kelahiran kembali tidak mengubah hidup seseorang, lalu apa gunanya dilahirkan kembali? Jika Anda berkata yang penting masuk surga tanpa peduli apakah transformasi sudah terjadi atau belum, si non-Kristen itu mungkin akan berkata, “Apakah Anda bermaksud mengatakan bahwa surga akan dipenuhi oleh orang–orang egois yang belum diubahkan? Jika demikian, lalu untuk apa kita masuk surga?” Jika hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan orang percaya sedang diubah di sini dan pada masa kini, apa bukti bagi orang tidak percaya bahwa transformasi akan berlangsung di surga?

Tentu saja, pergilah dan ketuklah pintu, dan dapatkan orang-orang yang memberikan “keputusan-keputusan” untuk “mempercayai” Yesus. Saya juga pernah melakukan hal ini. Namun, Allah memiliki cara-Nya sendiri untuk mengerjakan sesuatu. Kita tak dapat menyingkat atau memotong jalan-Nya. Kita tak dapat membawa keselamatan secara efektif pada dunia kecuali umat Allah mau bersatu di dalam Kristus dan menyatakan kemuliaan-Nya.

Sebagai contoh, tidakkah nama Allah diaibkan apabila orang berkata, “Lihatlah jemaat itu. Orang–orang berebut hak milik atas gedung gereja! Mereka sedang berperkara di pengadilan.” Anda berani berkata itu tidak ada hubungannya dengan pokok persoalan? Cobalah perbincangkan hal ini dengan orang non-Kristen. Bagi dia, justru itulah pokok persoalannya!

Yesus berdoa, “Supaya mereka semua menjadi satusupaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus aku.” Tidak ada jalan pintas dan murah untuk secara efektif menginjili dan membawa keselamatan pada dunia. Kasih kita harus dialirkan, keluar menjangkau orang. Apabila gereja–gereja, atau paling tidak sebagian dari mereka, menyatu secara rohani dan bukan sekadar secara organisasi, kuasa Allah akan terwujud sedemikian dahsyatnya sehingga orang-orang non-Kristen akan ditarik pada Allah.

Kami memuji Allah karena makin banyak orang yang datang kepada Allah di gereja ini, walaupun kami tidak pernah menyelenggarakan kampanye penginjilan, membagi traktat, ataupun mengetuk pintu–pintu. Orang–orang ditarik kepada Allah dan mereka diubah menjadi manusia baru di dalam Kristus karena kasih dan kesatuan yang mereka lihat di dalam jemaat. Ini menjadi penegasan dari kebenaran firman Allah, yaitu kesatuan kita menarik orang dunia untuk percaya kepada-Nya.

 

Berikan Komentar Anda: