Pastor Eric Chang | Manusia Baru (13a) |

“supaya mereka semua menjadi satu…
agar mereka juga menjadi satu di dalam Kita…
supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu…
supaya mereka sempurna menjadi satu
(Yohanes 17:21-23)

Kata–kata tersebut diucapkan Yesus dalam doanya yang lebih dikenali sebagai “doa imam besar” (high priestly prayer). Dalam doa ini, Yesus membuat beberapa pernyataan mengejutkan yang memiliki signifikansi yang mendalam. Sebagaimana yang akan kita lihat, doa ini menjadi sangat bermakna apabila kita menelitinya dalam konteks kesempurnaan.

Penting untuk diingat bahwa kita tidak dapat mencapai kesempurnaan dengan kekuatan kita sendiri. Tanpa anugerah dan kuasa Allah, kesempurnaan akan berada begitu di luar jangkauan sehingga sia–sia kita membicarakannya. Akan tetapi, oleh karena kehendak Allah adalah agar kita menjadi sempurna, dan oleh karena Allah adalah Bapa yang penuh belas kasihan (2Kor 1:3) yang memberi kita kekuatan untuk melakukan kehendak-Nya, kita tidak memiliki alasan untuk tidak berjuang menuju kesempurnaan.

Dalam pesan ini, kita akan melihat satu lagi aspek penting dari kesempurnaan: Kesatuan. Dari paralel-paralel berikut, kita dapat melihat bahwa kesatuan merupakan suatu sinonim dari kesempurnaan:

Hendaklah  kamu sempurna sama seperti Ia sempurna
Hendaklah kamu menjadi kudus sama seperti Ia yang kudus
Hendaklah kamu murah hati sama seperti Ia murah hati
Hendaklah kamu menjadi satu sama seperti Bapa dan Anak adalah satu

Sejauh ini kita telah mempertimbangkan tiga yang pertama, sekarang marilah kita mengalihkan perhatian pada yang ke-empat.

Sebelum masuk kepada eksposisi utama, mari kita pastikan dulu bahwa kita sudah memahami empat pokok penting mengenai kesempurnaan secara umum dan yang secara khusus berlaku kepada kesatuan.


Pertama: Kesempurnaan adalah Bagian dari Keselamatan 

Paulus berkata,

“Itulah  (yaitu, untuk “memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus” ay.28) yang kuusahakan dan kupergumulkan dengan segala tenaga sesuai dengan kuasa-Nya, yang bekerja dengan kuat di dalam aku” (Kol 1:29).

Paulus tidak menghindar dari memakai kata-kata seperti “usahakan” dan “pergumulkan”—yang biasanya kita abaikan karena kaitannya dengan “perbuatan”. Ia tidak saja menggunakan kata–kata tersebut, tetapi memakainya dalam frekuensi yang mengejutkan.

Mengapa Paulus berusaha dan bergumul dengan segala tenaganya? Untuk memimpin tiap-tiap orang kepada “kesempurnaan” dalam Kristus (ay.28). Jika keselamatan tidak lebih dari sekadar kelahiran kembali, buat apa Paulus bekerja begitu keras membawa tiap–tiap orang kepada kesempurnaan? Ia cuma perlu katakan kepada setiap orang yang baru diselamatkan, “Semoga berhasil. Tidak ada lagi yang perlu aku lakukan untuk Anda. Segalanya terserah Anda sekarang.”

Situasi apa yang paling sering terjadi sekarang ini? Apa yang dilakukan bagi pertumbuhan rohani mereka yang baru dibaptis? Dalam kebanyakan kasus, tidak ada apa pun yang dilakukan. Tentu saja, mereka diminta untuk hadir di gereja dan melibatkan diri dalam kegiatan gereja. Namun, pada umumnya tidak ada program pengajaran atau pelatihan yang terencana dengan baik untuk membangun mereka langkah demi langkah. Pengajaran alkitabiah yang baik sulit ditemukan; lalu bagaimana orang–orang Kristen yang masih muda dibangunkan secara rohani melalui ajaran mantap dalam Firman Allah? Lagi pula, jika kehidupan rohani sebuah gereja tidak memiliki kesatuan, bagaimana seseorang dapat bertumbuh kepada kesempurnaan atau kedewasaan dalam lingkungan itu?

Pengajaran mengenai kesempurnaan telah hilang dari kebanyakan pengajaran tentang keselamatan. Malahan, banyak yang telah dikatakan dengan nada sindiran dan cemoohan terhadap “perfeksionisme”, yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan pengajaran kesempurnaan yang biblika.

Firman Allah telah diberikan kepada kita supaya kita boleh bertumbuh menuju keselamatan (1Pet 2:2). Keselamatan berkaitan dengan pertumbuhan. Pertumbuhan merupakan bukti kekuatan hidup. Pertumbuhan adalah suatu proses, sama seperti keselamatan juga merupakan suatu proses dan bukannya peristiwa yang terjadi satu kali saja. Dalam proses pertumbuhan ini, kita “bertumbuh menuju keselamatan”. Kesempurnaan, atau keserupaan dengan Kristus, adalah tujuan dari keselamatan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh rasul Paulus, “kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah dia, Kristus, yang adalah Kepala” (Ef 4:15). Ini bukanlah suatu pilihan ekstra, tetapi sesuatu yang vital bagi keselamatan.

Jika kita benar–benar lahir dari Allah, kita telah “mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2Ptr 1:4), dan kodrat-Nya adalah kudus dan berbelas kasihan. Dengan kata lain, kelahiran kembali secara tak terhindarkan membawa kita ke jalan menuju kesempurnaan. Jika kita benar–benar telah lahir kembali, benar–benar lahir dari Allah, natur-Nya ada di dalam diri kita. Yang selebihnya adalah bagi kita “untuk bertumbuh ke arah dia”.


Kedua: Kesempurnaan bukanlah suatu Kebijakan yang Disengajakan

Kedua, bertumbuh ke arah kesempurnaan (apakah kekudusan, atau kemurahan, atau kesatuan) bukanlah suatu tindakan yang diperhitungkan yang kita tentukan, tetapi suatu ekspresi spontan dari hidup baru dalam Kristus. Itu bukan suatu kebijakan etis, tetapi sesuatu yang bersumber dari dinamika batiniah dari hidup baru yang menjadikan kekudusan dan kemurahan bagian dari natur kita. Perbedaan ini sangatlah penting. Sebagai contoh, ada kalanya saya dapat menunjukkan kemurahan dengan rela dan oleh karena itu, sesuatu yang disengajakan. Saya mungkin bertemu seorang pengemis dan memutuskan untuk memberinya beberapa dolar karena hal itu membuat saya merasa senang. Tindakan berbelas kasihan ini tidak selalunya berasal dari sifat yang berbelas kasihan. Itu bisa saja disebabkan oleh suasana hati yang murah hati hari ini, atau dari kepercayaan bahwa saya harus sebagai suatu kebijakan untuk menunjukkan kemurahan dari waktu ke waktu karena akan “berdampak baik bagi jiwa saya”, atau hal itu akan membuat saya jadi lebih baik lagi. Ego yang lama juga mampu menghasilkan beberapa tindakan kemurahan, tatkala agenda pribadinya terlayani dalam melakukan hal tersebut.

Bertentangan dengan itu, jika kita sudah benar–benar lahir baru, kemurahan akan mengalir secara “alami” dari dalam diri kita. Sesudah lahir baru, Roh menggerakkan kita untuk menjadi murah hati. Hal ini tidak bergantung pada semacam perhitungan yang kita lakukan. Kelahiran kembali telah mengubah saya menjadi manusia baru dengan sifat yang baru, dan sekarang saya menjadi murah hati karena sifat baru dalam diri saya. Ini bukanlah perilaku yang dihasilkan dengan pertimbangan bahwa kebaikan atau kekudusan merupakan kebijakan sosial yang baik, atau karena itu baik bagi kesihatan mental saya.

Banyak orang setuju bahwa kemurahan adalah hal yang baik. Kita juga dapat mengejar kekudusan demi alasan-alasan pribadi. Akan tetapi, tanpa kekudusan sejati di dalam hati, kita tidak lebih baik dari orang–orang Farisi atau orang-orang munafik yang religius, yang menganggap kekudusan akan berdampak baik dalam pergaulan sosial. Orang Farisi, contohnya, menyimpulkan bahwa adalah baik untuk terlihat berdoa di muka umum (Mat 6:1,5). Kesalehan mendatangkan imbalan sosial, terutamanya di tengah masyarakat yang religius (seperti Israel pada waktu itu) atau dalam lingkungan religius secara umumnya. Namun, kesalehan semacam ini tidak muncul dari kelahiran kembali. Kita harus melihat perbedaannya.

Itu sebabnya dalam membahas kesempurnaan, kita bukan mengajukan ideal manusia yang kita anggap baik dan bermanfaat. Ya, kesempurnaan memang merupakan ideal yang baik, tetapi itu bukanlah alasan kita mengejarnya. Kita mengejarnya karena kita sudah lahir baru, dan akibatnya kuasa Allah mendorong kita ke arah kesempurnaan. Seperti yang dinyatakan oleh Paulus,

“Sebab, Allahlah yang bekerja di dalam kamu, baik untuk mengingini maupun untuk mengerjakan apa yang menyenangkan-Nya.” (Flp 2:13)

Atas alasan inilah saya “berlari-lari kepada tujuan” (Flp 3:14).

Keinginan akan kesempurnaan seperti Kristus adalah bukti kelahiran kembali. Paulus berkata, “Hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri” (1Kor 11:28)—dan itu termasuk menguji apakah kita benar-benar sudah lahir baru. Persoalannya bukan apakah Anda menganggap kekudusan itu baik. Setiap orang Kristen setuju bahwa kekudusan itu baik (walaupun sangat sedikit yang mengakuinya sebagai hal yang esensial). Akan tetapi, yang diperhitungkan adalah bahwa seseorang itu telah menjadi kudus dan murah hati karena Roh Allah hadir di dalam dia, mengubah naturnya dan memberinya dinamika batiniah yang memotivasinya untuk “mengerjakan apa yang menyenangkan-Nya”.

Jika demikian halnya, jika kita mempunyai hidup-Nya dalam kita, tidakkah kita merasakan Ia bekerja dalam kita untuk berdoa dan bekerja demi kesatuan saudara-saudara yang menjadi milik-Nya? Yesus menyatakan dengan jelas dalam doanya  di Yohanes 17 bahwa kesatuan merupakan perhatian utamanya, yaitu suatu aspek sentral dari kehendak Bapa.

Apakah Anda mempunyai suatu dinamika batiniah yang menggerakkan Anda ke arah kesempurnaan? Atau Anda sekadar pada prinsipnya menyetujui bahwa kekudusan, kemurahan, dan kesatuan merupakan hal yang baik? Jika seseorang merasakan adanya penolakan kuat dalam hatinya terhadap kekudusan, kemurahan, kesatuan, atau kesempurnaan secara umum, ia perlu mengizinkan Allah menguji dirinya untuk memastikan apakah ia sudah lahir baru atau belum.


Ketiga: Kesempurnaan Melibatkan Penghasilan Buah

Di Yohanes 15, Yesus berbicara tentang hal berbuah. Dalam pasal ini, kata “buah” muncul delapan kali. Yesus mengatakan kepada kita bahwa kita hidup dengan tujuan untuk berbuah. Menghubungkan pokok ini dengan poin yang sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa hal berbuah harus datang dari suatu dinamika batiniah yang baru. Kehidupan batiniahlah yang menyebabkan ranting untuk menghasilkan buah. Berbuahnya ranting tidak ditentukan oleh kesimpulan yang dibuat ranting bahwa menghasilkan buah itu baik, atau tidak berbuah itu memalukan.

Jika sebuah ranting tidak berbuah, ia akan dipotong dan dibuang ke dalam api (Yoh 15:6). Ini adalah peringatan keras bahwa ranting yang tidak berbuah telah gagal dalam memenuhi tujuan dan keberadaannya sebagai ranting. Jika ia tidak menyalurkan hidup, ia akan dipotong. Menjadi bagian dari pohon anggur bukanlah jaminan untuk seterusnya mendapat tempat permanen di pohon anggur tersebut.

Kesempurnaan berarti penyaluran hidup Allah melalui kita kepada orang lain. Sejalan dengan itu, kita memperoleh sesuatu yang dapat kita gambarkan sebagai “hidup yang transmisif”—hidup yang dimaksudkan untuk disalurkan atau ditransmisikan kepada orang lain. Itu sebabnya, jika kita mengaku sebagai orang Kristen, mari kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita ini “ranting-ranting” yang hanya menyerap hidup ke dalam diri sendiri, sementara tidak menghasilkan apa-apa? Ini mengingatkan kita pada Laut Mati, yang mengumpulkan air, tetapi tidak mengalirkannya ke mana–mana. Air itu “mati” karena tertahan di sana.

Dari Yohanes 15 kita melihat bahwa hidup (keselamatan) itu sendiri bersifat transmisif. Jika kita mencari keselamatan semata-mata untuk dinikmati sendiri, tidak membaginya dengan orang lain, kita sendiri malah akan kehilangannya. Untuk alasan ini, kita berharap agar setiap penginjil akan berkata kepada pendengarnya, “Apakah Anda ingin diselamatkan? Baik! Namun, jika Anda dengan egois mempertahankan keselamatan atau tidak menyalurkannya kepada orang lain, Anda tidak akan diselamatkan.”

Berdasarkan wewenang dari firman Allah, kita boleh memastikan bahwa mereka yang gagal memenuhi prinsip transmisif dari hidup baru di dalam Kristus, atau gagal menjadi saluran kasih Allah serta hidup Allah kepada orang lain, tidak akan diselamatkan. Orang yang hanya memikirkan keselamatan pribadinya justru tidak akan diselamatkan. Itulah ajaran Yesus yang sangat jelas dan tegas.

“Dalam hal inilah Bapaku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak.” (Yoh 15:8)

“Setiap ranting padaku yang tidak berbuah, dipotong-Nya… dibuang ke luar… dicampakkan ke dalam api lalu dibakar.” (ay.2,6)

Apakah suatu ranting menghasilkan buah untuk konsumsinya sendiri, atau apakah buahnya memberkati orang lain? Belumkah kita memahami apa yang dikatakan Yesus? Namun, banyak orang Kristen dengan sembrono mengabaikan kata–kata yang penting ini, dan mereka yang mengabaikannya tidak akan lolos dari akibat mengerikan yang disebutkan di situ.

Jangan kita mengabaikan satu lagi fakta tentang buah dari pokok anggur, yang mempunyai signifikansi khusus bagi subjek dalam pasal ini: Pokok anggur tidak menghasilkan buah-buahnya satu per satu, tetapi buah dihasilkan dalam setandan atau serangkai. Satu buah anggur merupakan sebagian dari satu unit yang mengandungi banyak anggur-anggur yang lain. Jadi “buah Roh” adalah satu tangkai yang mengandungi sembilan buah; itulah alasannya mengapa kata “buah” (fruit) ditulis dalam bentuk tunggal (Gal 5:22,23)

“Buah Roh”, menurut definisi adalah buah yang dihasilkan Roh di dalam kita; oleh karena itu, ia bukanlah buah yang kita hasilkan. Lalu, kita dipanggil untuk menghasilkan buah apa? Yesus menjawab pertanyaan ini di Matius 28:19, “Pergilah dan menjadikan semua bangsa muridku”. Seperti yang akan kita lihat nanti di pasal ini, mengikuti pola alkitabiah, para murid juga membentuk unit-unit kecil seperti serangkai buah anggur yang bertumbuh bersama-sama dalam kesatuan di pokok anggur dan ranting-rantingnya.


Mentalitas yang Materialistis dan Mengutamakan Diri

Sedih untuk dikatakan, hal yang paling menentang kesatuan dalam gereja adalah fakta bahwa banyak orang Kristen di generasi ini barangkali lebih egois daripada kebanyakan orang non-Kristen. Kebanyakan orang Kristen tenggelam dalam keakuan masing–masing, memikirkan berkat sendiri, dan keselamatan sendiri. Banyak lagu–lagu rohani yang menekankan “aku”, aku begini, aku begitu, semuanya serba aku. Pernah saya mencoba mencari lagu yang bertemakan penyaluran kasih Allah kepada sesama, tidak saya dapatkan lagu yang seperti itu, tidak di Indeks Ayat maupun di Indeks Kategori dari Kidung Jemaat. Judul terdekat yang saya dapatkan adalah Channels Only.

Dalam individualisme kita, kita memandang diri sendiri sebagai yang terutama, kalau bukan satu–satunya obyek keselamatan Allah. “Haleluya! Allah mengasihi saya dan menyelamatkan saya dan memberkati saya!” Jika sikap seperti ini meluas di dalam gereja, dan kelihatannya memang sudah terjadi, apa yang akan menjadi hasilnya? Bukankah hal ini akan melahirkan orang–orang yang sedemikian egoisnya sehingga memandang bahwa Allah hadir hanya untuk memberkati mereka saja? Mereka tidak eksis untuk Allah, Allahlah yang eksis untuk mereka. Orang-orang Kristen semacam inilah yang kita hasilkan pada masa ini.

Sikap yang sedemikian asyik dengan diri sangat asing kepada firman Allah. Kita mencemaskan orang Kristen yang mempunyai sikap seperti ini karena mereka mungkin menemukan diri mereka tidak mendapat bagian dalam hidup kekal. Berkaitan dengan keselamatan kita di dalam Kristus, 1 Yohanes 2:2 mengingatkan kita bahwa,

“Dialah kurban pendamaian bagi dosa-dosa kita. Dan, bukan untuk dosa-dosa kita saja, melainkan juga untuk dosa-dosa seluruh dunia.”

Dalam pelayanannya, Yesus tidak pernah memikirkan dirinya. Ketika ia kelaparan sesudah berpuasa empat puluh hari di padang gurun, ia menolak untuk mengubah batu menjadi roti untuk mengisi perutnya. Menurut pikiran manusia, sangat wajar bagi Yesus untuk menggunakan kuasa Allah untuk mengatasi rasa laparnya, tetapi ia menolak melakukan hal ini untuk manfaat dirinya sendiri.

Akan tetapi, ketika orang banyak kelaparan—sekitar 5.000 laki–laki pada satu saat dan sekitar 4.000 pada kesempatan yang lain, belum terhitung perempuan dan anak–anak—ia tidak ragu melipatgandakan jumlah roti dan ikan untuk mengenyangkan mereka. Untuk mereka—ya; untuk sendiri—tidak. Kasih yang transmisif mengalir keluar menuju sesama, dan melupakan diri sendiri.


Siapa yang Mengikuti Siapa?

Jika kita mengaku sebagai murid-murid Yesus, Yesus seperti apakah yang kita pikir sedang kita ikuti? Atau bukankah lebih tepat kalau dikatakan bahwa dalam pemikiran kita bukannya kita yang mengikuti dia, tetapi ia yang mengikuti kita! Untuk apa? Untuk segala sesuatu yang kita butuhkan dan inginkan, seperti untuk menyelamatkan, melindungi dan secara umum untuk mengikuti segala kemauan kita! Contohnya, bagaimana kita memahami perkataan Yesus, “Aku menyertai kamu senantiasa” (Mat 28:20) apabila kita akan bepergian? Apakah kita pergi bersama dia menurut kehendaknya, atau dia datang bersama kita untuk menyediakan segala yang kita butuhkan, seperti perlindungan selama di jalan dan memastikan agar kita tiba di tempat tujuan tepat pada waktunya?

Dalam penerapan sehari–hari, sebenarnya siapa yang mengikuti siapa? Sudahkah kita bereskan di pikiran kita siapa yang Guru dan siapa yang murid? Siapa Tuan dan siapa hamba? Singkatnya, kita mengikuti dia atau dia yang mengikuti kita? Atau apakah kita sudah sedemikian terpaku dengan diri sehingga kita tidak dapat melihat perbedaannya lagi!? Keakuan manusia yang mengerikan tampaknya tidak mengenal batas sama sekali!

Banyak khotbah di televisi mengajarkan keakuan semacam ini dengan keberanian tak kenal malu. Ajaran seperti ini dapat didengar dan ditonton setiap hari di televisi di Amerika. Allah kita selalu siap sedia untuk memenuhi segala keinginan kita seperti keinginan akan mobil, rumah, uang, dan kehidupan yang menyenangkan, asal kita memiliki “iman”. Si pengajar mengacungkan Alkitabnya dan mengutip beberapa ayat (keluar dari konteks) untuk menjelaskan ajarannya. Selama ada ayat yang dapat dikutip dari Alkitab, maka itu sudah dianggap benar oleh dia dan para penontonnya.

Betapa menariknya ajaran semacam ini kepada manusia duniawi. Tidak heran jika gereja–gereja itu penuh sesak dengan orang–orang yang ingin tahu bagaimana caranya untuk membuat Allah melakukan apa yang mereka inginkan! Bagaimanapun juga, dengan “iman” seperti ini kita dapat secara harfiah mengendalikan Allah karena Ia terpaksa memberi kita apa pun yang kita inginkan dan dengan demikian menjadikan kita makmur di dunia. Ini memang “agama yang praktis”! Menyentuh hal uang dan kemakmuran, itulah yang dianggap “praktis” oleh manusia duniawi.

Di sini kita sampai pada puncak ironi: Keakuan merupakan inti dari dosa, tetapi gereja–gereja itu menyebarkan injil yang menganjurkan keakuan. Orang–orang Kristen ini terfokus pada kemakmuran material, dan pengajar-pengajar mereka memberitakan “injil kemakmuran”. Mereka menunjukkan sedikit atau malah tidak ada perhatian pada persoalan keselamatan dari dosa dan dari dunia. Kelihatannya justru dunialah yang dikejar mereka!

Meskipun mereka melambai-lambaikan Alkitab selama berkhotbah dan mengutip kata–kata dari Alkitab seperti “iman”, Kekristenan macam ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan iman Perjanjian Baru. Kontras yang tajam dan tak dapat dipadukan tampak jelas pada deklarasi Paulus sendiri bahwa,

“Sebab, cinta akan uang adalah akar dari segala macam kejahatan. Orang-orang yang memburu uang telah menyimpang dari iman dan menyiksa diri sendiri dengan berbagai dukacita.” (1Tim 6:10).

Penegasan pribadinya adalah,

“Semoga aku tidak pernah memegahkan diri kecuali dalam salib Tu(h)an kita, Yesus Kristus. Melalui salibnya, dunia sudah disalibkan untuk aku, dan aku untuk dunia.” (Gal 6:14).

Siapa saja yang mengikuti Yesus tidak perlu khawatir tentang kebutuhan material mereka karena Allah memang murah hati dan memperhatikan. Di dalam kasih-Nya yang tak terukur, Ia berkomitmen secara total kepada kita. Kita boleh yakin sepenuhnya bahwa Ia memperhatikan setiap kebutuhan kita apabila kita mengikut Dia. Dalam hal ini kita bersukacita. Namun, kebenaran ini tidak boleh dilebih–lebihkan dalam Kekristenan yang terobsesi pada “keselamatan pribadi” dan manfaat–manfaat pribadi.

Akan tetapi, bagaimana mungkin seseorang yang sesungguhnya sudah menerima kasih Allah, yang sudah melihat salib Kristus, masih bisa begitu memperhatikan diri sendiri dan mengejar kepentingan pribadi? Kemungkinan besar orang–orang semacam ini sebenarnya tidak pernah datang pada salib Yesus, dan tidak pernah sesungguhnya mengalami kasih Allah.

Di atas salib, di mana Anak menyerahkan nyawanya, kita melihat bukti yang kuat dari komitmen Yesus yang total kepada kita. Dapatkah kita menerima kasih serta komitmennya kepada kita sambil tetap berkomitmen kepada kepentingan pribadi?  Tentu tidak! Lagi pula, komitmen Yesus kepada kita hanya merupakan bagian pertama dari kisah keselamatan kita. Bagian yang lainnya adalah panggilan Yesus kepada kita untuk berkomitmen total kepada dia. Di bagian yang kedua ini, kita dipanggil untuk menyangkal diri sendiri, dan mengikuti jejaknya untuk membawa hidup kekal dari Allah kepada dunia yang sedang binasa dalam belenggu dosa, dan menjadikan semua bangsa muridnya sesuai dengan panggilannya bagi kita.

Mengapa kita menekankan betapa pentingnya setiap sisa dari egoisme dalam diri kita dilenyapkan? Jawabannya seharusnya jelas dari konteks pasal ini: Keakuan dengan keras melawan kesatuan umat Allah.


Keempat: Kesempurnaan itu Diperintahkan

Kesempurnaan itu sangat esensial karena Yesuslah yang memerintahkannya. Sekalipun ketiga poin sebelumnya tak dapat dipahami oleh kita, tetap saja kita harus menjadi sempurna karena Yesus sendiri yang memerintahkannya. Orang-orang percaya yang sejati akan mematuhi perintahnya tanpa ragu. Alkitab berbicara tentang “ketaatan iman” (Rm 1:5; 16:26). Secara tidak langsung, ini menyatakan bahwa lawan dari iman adalah ketidaktaatan, yang membatalkannya. Kita dibenarkan oleh iman, yaitu iman yang dicirikan oleh ketaatan kepada Allah.

Kekristenan dipenuhi oleh orang–orang yang “percaya” kepada Injil, tetapi sayangnya, sedikit yang menaatinya. Kita telah diberikan Injil untuk ditaati, bukan sekadar untuk dipercayai pada tahap intelektual. Allah akan “mengadakan pembalasan” atas mereka yang “tidak taat pada Injil Yesus” (2Tes 1:8). Akan ada penghakiman atas “mereka yang tidak taat pada Injil Allah” (1Pet.4.17).

Ayat-ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa Injil bukan hanya harus dipercayai, tetapi ditaati. Mereka yang tidak taat dengan demikian menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki “ketaatan iman” yang sangat penting ini. Dengan kata lain, mereka tidak memiliki iman yang menyelamatkan, hal yang paling dikuatirkan Paulus sepanjang surat Roma. Itu karena ketaatan yang sejati dari hati bersumber dari iman yang menyelamatkan.

Atau apakah kita cukup bodoh untuk mengabaikan hal yang sudah ditegaskan oleh Firman Allah, dan membayangkan bahwa kita dapat memasuki keselamatan dengan “iman” yang dipisahkan dari ketaatan? Ketaatan adalah bagian integral dari iman keselamatan. Ketaatan merupakan suatu konstituen yang vital dari iman. Jika disingkirkan, yang tersisa bukan lagi iman dalam pemikiran Allah.

Apakah kita membayangkan bahwa kita dapat masuk surga dengan syarat yang kita tetapkan sendiri? Apakah kita akan mencetak sendiri tiket kita ke surga? “Tiket Allah terlalu mahal” kata kita, “jadi saya akan mencetak tiket sendiri”. Banyak orang Kristen tampaknya sudah mencetak tiket mereka sendiri, lengkap dengan syarat–syarat yang dibuat sendiri. Pada hari itu, mereka akan tahu apakah tiket mereka absah atau tidak. Mereka akan dibangunkan untuk berhadapan dengan realitas rohani dari persoalan ini.

Pada suatu waktu, saya sedang berada di pertokoan di distrik Tsimshatsui, Hong Kong. Beberapa turis Amerika masuk ke toko. Ketika mereka membayar belanjaannya, petugas kasir mengambil sebuah alat kecil dan memeriksa uang pembayaran tersebut (uang dolar Amerika). Lampu pada alat itu kemudian menyala. Orang–orang Amerika itu sangat kagum, dan mereka menanyakan pada kasir, alat apa itu? Lalu, ia menjelaskan pada mereka, “Alat ini dapat membedakan antara uang asli dari yang palsu. Jika asli, lampunya akan menyala. Namun jika palsu, lampu alat ini tidak menyala.” Orang–orang Amerika ini belum pernah melihat alat seperti itu sebelumnya, bahkan di Amerika, demikian juga saya. Kebanyakan orang akan menghadapkan uang kertas ke arah lampu untuk memeriksanya, tetapi cara ini tidak dapat diandalkan dalam menghadapi pemalsuan yang semakin canggih sekarang ini. Akan tetapi, peralatan yang kecil itu dapat melacak bahkan pemalsuan yang sangat canggih sekalipun.

Jika kita mengira bahwa kita dapat mencetak sendiri tiket ke surga, kita akan sangat terkejut di “gerbang surga” nanti. Sekalipun kita menggunakan peralatan komputer terbaik untuk mencetak tiket, kita tidak akan dapat menyusup masuk ke surga dengan memakai tiket tersebut. Satu-satunya persiapan yang tersedia bagi kita adalah dengan menaati Injil dalam menanggapi kasih Allah yang tak terselami bagi kita, sebagaimana yang dinyatakan oleh salib Kristus (Yoh 3:16).

Ketaatan berlaku kepada penerapan kesatuan justru karena kesatuan merupakan aspek sentral dari kehendak Allah bagi gereja-Nya.

Bersambung…

 

Berikan Komentar Anda: