Pastor Eric Chang | Manusia Baru (12) |
Tujuan akhir dari kelahiran kembali dan pembaruan adalah kesempurnaan, yaitu menjadi serupa dengan Kristus. Sangat menyedihkan melihat ajaran tentang keserupaan dengan Kristus nyaris sepenuhnya diabaikan dalam gereja–gereja sekarang ini walaupun hal ini merupakan konsep yang penting dalam Kitab Suci. Kesalahan ini tidak dapat diterima karena Yesus tidak mengajarkan kesempurnaan sebagai ideal untuk direnungkan saja. Yesus mewajibkannya:
“Karena itu, kamu harus menjadi sempurna, seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna.” (Matius 5:48)
Di Matius pasal 5, keseluruhan bagian dari ajaran Yesus ini mengacu kepada ayat 48 dan berpuncak pada ayat ini dengan kata “karena itu”, yang bersifat perintah atau imperatif. Hal ini terlihat dari ayat 21 dan selanjutnya, di mana Yesus mengutip perintah–perintah Perjanjian Lama dan menjelaskan penerapannya pada tingkat rohani pada zaman ini—suatu penerapan praktis yang berkaitan dengan kehidupan sehari–hari. Kesempurnaan diharapkan dari setiap orang Kristen, bukan sekadar orang Kristen “level atas”.
Lalu, bagaimana saya dapat memenuhi tuntutan untuk menjadi sempurna? Jika saya tidak tahu apa itu kesempurnaan, bagaimana saya tahu dari mana harus memulai? Di bab–bab sebelumnya, kita menggambarkan kesempurnaan dalam istilah kekudusan. Namun, sedikit orang Kristen yang paham apa artinya kekudusan. Kita bisa saja mencoba menjelaskan arti “kudus” sebagai “yang dipisahkan bagi Allah”, tetapi sekali lagi sedikit saja orang yang memahami konsep ini. Kita bisa juga mencoba menjelaskannya dengan istilah komitmen total, tetapi itupun masih belum jelas bagi sebagian orang. Dalam postingan ini, kita akan membahas kesempurnaan di Matius 5:48 dari sudut pandang ayat paralel yang diberikan di Injil Lukas.
Delapan Pokok Penting untuk Memahami dan Menerapkan Pengajaran tentang Kemurahan Hati:
(1) Kesempurnaan sebagai Belas Kasihan
Yesus dalam hikmatnya telah menyediakan bagi kita definisi yang sejajar di Lukas 6:36,
“Karena itu, hendaklah kamu berbelas kasihan, sama seperti Bapamu yang juga penuh dengan belas kasihan.”
Walaupun di permukaannya seperti sudah cukup jelas, kedalaman dari pernyataan ini sangat sulit diukur. Mari kita, di bawah bimbingan Roh, menggali kekayaan rohaninya. Kita baca dari ayat 32 untuk melihat konteksnya:
32 Jika kamu hanya mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah pujian yang diberikan kepadamu? Sebab, orang berdosa pun mengasihi orang-orang yang mengasihi mereka.
33 Jika kamu hanya berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepadamu, pantaskah kamu mendapat pujian? Sebab, orang berdosa pun melakukan hal yang sama.
34 Jika kamu meminjamkan barang kepada orang lain dengan mengharapkan imbalan, apakah pujian yang diberikan kepadamu? Sebab, orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa lainnya supaya mereka dapat menerimanya kembali dengan jumlah yang sama.
35 Akan tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah yang baik, berilah pinjaman kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Dengan begitu, kamu akan mendapat upah yang besar dan kamu akan menjadi anak-anak Yang Mahatinggi, sebab Allah itu baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan yang jahat.
36 Karena itu, hendaklah kamu berbelas kasihan, sama seperti Bapamu yang juga penuh dengan belas kasihan.
Kalimat yang menjadi kesimpulan, “hendaklah kamu berbelas kasihan, sama seperti Bapamu yang juga penuh dengan belas kasihan” merupakan pernyataan yang perlu kita pertimbangkan di sini. Dari fakta bahwa ini merupakan paralel dari kata–kata yang tertulis di Matius, maka dapat dinyatakan bahwa “belas kasihan” dan “sempurna” harus dipahami sebagai sinonim. Keduanya saling menjelaskan satu dengan yang lain.
Menjadi sempurna mungkin merupakan konsep yang abstrak bagi kita, tetapi jika Yesus menyuruh kita untuk berbelas kasihan, gambaran keseluruhannya mulai tampak lebih jelas. “Belas kasihan” adalah kata yang dipahami oleh sebagian besar dari kita. Ini adalah kata–kata yang menjadi hidup, terutama bila dinyatakan dalam bentuk tindakan. Kebanyakan orang akrab dengan istilah “tindakan belas kasihan”.
Tentu saja, perkaranya tidak sesederhana itu. Apabila kita mempelajari makna alkitabiah dari belas kasihan, kita segera mendapati bahwa hal itu berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Mengandalkan upaya manusia semata-mata—tanpa kelahiran kembali dan pembaruan—kita tak akan dapat menjadi murah hati seperti yang dikehendaki Yesus. Itu sebabnya kita mempelajari kelahiran kembali dan pembaruan, karena tanpanya kita tak akan mencapai belas kasihan menurut pengertian Firman Allah. Saya dapat memberi seribu rupiah kepada seorang pengemis yang kelaparan dan itu jelas merupakan tindakan berbelas kasihan. Namun, adalah di luar kemampuan manusia untuk menunjukkan belas kasihan sebagai suatu kualitas hidup yang konsisten dan melakukannya dari motif yang rohani. Setiap orang yang pernah mencoba untuk berbelas kasihan secara konsisten akan memahami hal ini dari pengalaman pribadinya.
(2) Apa itu Belas kasihan?
Mari kita lihat konsep biblika dari belas kasihan. Saya menekankan “biblika” karena kita cenderung untuk menjelaskan sesuatu berdasarkan pemahaman kita sendiri dan bukannya menurut penjelasan Alkitab. Konsep–konsep alkitabiah haruslah diartikan menurut Alkitab, bukan sekadar mengikuti penjelasan Kamus Oxford (Oxford Dictionary) atau pemahaman kita sendiri.
Jadi apa konsep biblika tentang belas kasihan? Satu prinsip dasar dalam eksegesis adalah memeriksa konteksnya. Dalam konteks terdekat, Yesus menyamakan kebaikan dengan kemurahan:
“sebab Allah itu baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan yang jahat. Karena itu, hendaklah kamu berbelas kasihan, sama seperti Bapamu yang juga penuh dengan belas kasihan.” (ay.35-36)
Di sini belas kasihan disamakan dengan kebaikan. Namun, ini bukan sekadar kebaikan manusiawi; melainkan kebaikan ilahi, kebaikan Allah. Kebaikan semacam ini tidak didorong oleh perasaan manusia, tetapi oleh kasih Allah yang memberi-diri. Kita dapat saja bersikap baik kepada orang yang baik terhadap kita—yaitu kebaikan yang timbal balik. Akan tetapi, Allah baik bahkan kepada mereka yang tidak tahu berterima kasih dan yang mementingkan diri sendiri. Kita tak akan pernah dapat melakukan hal itu dengan kekuatan kita sendiri. Tentu saja, saya dapat berbuat baik kepada orang yang baik terhadap saya, tetapi Yesus meminta lebih dari itu karena “orang–orang berdosa pun melakukan hal yang sama” (ay.33).
Jika Anda baik kepada seorang berdosa, ia akan melakukan kebaikan juga kepada Anda. Jika Anda menunjukkan kasih kepadanya, ia juga akan menunjukkan kasih kepada Anda. Itu sepenuhnya bersifat manusia. Dalam jangka panjang, ia tidak akan menunjukkan kebaikan yang konsisten kepada Anda kecuali ia mendapatkan sesuatu dari Anda atau Anda membalas kebaikannya. Ia tidak akan baik kepada Anda secara konsisten tanpa dimotivasi oleh imbalan. Seorang pengusaha mungkin akan mengundang Anda makan malam walaupun ia tidak begitu mengenal Anda. Percayalah bahwa ia mengundang Anda makan malam di sebuah restoran yang mahal, tentunya untuk mendapatkan sesuatu dari Anda. Dunia berjalan di atas prinsip tidak ada sesuatu pun yang gratis. “Tidak ada makan siang yang gratis”, begitulah kata pepatah. Setiap tindak kebaikan adalah investasi yang dilandasi keinginan mendapat imbalan.
Akan tetapi, Yesus membuat pernyataan yang mengejutkan: “Akan tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah yang baik, berilah pinjaman kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan” (ay.35). Tidak mengharapkan imbalan? Ya, itu memerlukan iman yang besar untuk percaya bahwa imbalan Anda akan datang dari Allah sendiri, bukan dari orang yang menerima kebaikan Anda.
Kenyataannya memang membutuhkan iman untuk mengharapkan sesuatu dari Allah. Banyak orang Kristen menyadari bahwa iman mereka kecil. Apabila mengurus visa, keuangan, kesehatan, atau persoalan lain, iman kita mulai goyah. Kita memiliki keyakinan yang terbatas pada kuasa Allah. Lalu, kita menangani urusan-urusan tersebut dengan cara manusia: Memberi hanya jika ada kemungkinan untuk menerima kembali.
Dalam benak kita, saling menguntungkan adalah tata kehidupan bermasyarakat yang normal. Jika saya memberi sesuatu kepada Anda, adalah wajar jika Anda memberikan saya sesuatu juga sebagai balasannya. Jika Anda gagal membalas kebaikan saya, maka jangan mengharapkan kebaikan dari saya lagi. Ini adalah prinsip universal dalam hubungan antar manusia di dunia.
Namun, Yesus membalikkan prinsip umum dari hidup bermasyarakat ini: Berilah tanpa mengharap balasan apa pun. Merelakan sesuatu tanpa berharap akan dikembalikan. Cara pikir seperti ini mustahil dilakukan oleh manusia normal.
Kita bahkan lebih enggan lagi memberi kepada orang yang “tidak tahu berterima kasih dan yang jahat” sekalipun mereka memang membutuhkannya. Buat apa memberi kepada orang yang tidak tahu berterima kasih, atau bahkan orang yang jahat? Kita membenarkan penolakan kita untuk memberi kepada mereka dengan dasar bahwa ini akan membuat mereka lebih tidak tahu berterima kasih dan lebih jahat lagi. Dengan cara ini kita memberikan diri kita suatu argumen yang masuk akal untuk tidak memberi kepada mereka. Namun, ini bukanlah arti belas kasihan yang alkitabiah.
(3) Belas kasihan sebagai Kebaikan yang Praktis
Belas kasihan bukanlah suatu ajaran ideal yang tak tercapai, tetapi sesuatu yang sangat praktis. Ajaran alkitabiah tentang belas kasihan mengarahkan kita pada tingkat kerohanian yang jauh melebihi keadaan kita sekarang. Untuk ini saya bersyukur kepada Allah karena sesuatu yang indah sedang terjadi di beberapa gereja kami. Saya melihat kepedulian yang meningkat terhadap satu sama lain di antara saudara–saudara seiman. Sebagai contoh, saya tersentuh dengan fakta adanya beberapa orang yang diam–diam membayar biaya retreat bagi mereka yang tidak mampu membayarnya. Ini menunjukkan kepedulian yang murni di antara saudara seiman.
Mereka tentunya berpikir, “Saya berharap saudara ini atau saudari itu dapat mengikuti retreat karena itu akan sangat bermanfaat bagi kerohanian mereka, tetapi saya tahu dia tidak mampu membayar biayanya.” Mereka secara diam–diam membayar biaya tersebut. Saya melihat kepedulian bagi sesama yang semakin bertumbuh di kalangan saudara–saudara seiman, dan saya bersyukur pada Allah karena kita telah melangkah melampaui tingkatan rohani yang sebelumnya; karena tidak lama sebelumnya kita masih agak kurang dalam hal kepedulian sedemikian bagi sesama. Kita mungkin sudah mendengar tentang kasih persaudaraan, tetapi kita mendapati hal itu sulit untuk dipenuhi. Kita terlalu sibuk dengan urusan masing–masing untuk memikirkan persoalan orang lain.
Oleh anugerah Allah, kita melangkah melewati tahap pertama. Masih jauh jalan yang harus ditempuh, makanya kita jangan berpuas diri. Mari terus maju ke arah kesempurnaan, bersama-sama menatap ke depan, dan berjuang mencapai tingkat kepedulian yang baru yang dinyatakan bahkan kepada mereka yang mungkin tidak kita sukai. Hal ini tentu saja tidak mudah. Namun, oleh anugerah Allah, kita setidaknya sudah mencapai tingkatan dasar. Jika kita belum sampai pada tingkatan dasar ini, bagaimana kita bisa berbicara tentang mengasihi orang yang tidak tahu berterima kasih dan yang egois?
Secara alami Anda dan saya tidak dapat mencapai ini. Sudah cukup susah untuk mengasihi saudara yang setidaknya memiliki sedikit kepedulian terhadap kita. Kalau dibandingkan, mengasihi yang tidak tahu berterima kasih dan yang jahat tampaknya seperti sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Namun, Yesus menyuruh kita untuk bermurah hati untuk menjadi sempurna. Kalimat bersifat perintah (imperatif) di sini menunjukkan bahwa hal ini bukan sekadar suatu anjuran. Jika kita benar–benar adalah “anak–anak Allah Yang Mahatinggi” (ay.35), kita harus menjadi sama seperti Dia, dan melakukan apa yang Dia lakukan. Yesus menetapkan tujuan bagi kita dan kita harus bergerak ke arah tujuan itu.
Dalam perjuangan kita menuju kesempurnaan, prinsip rohani yang perlu dipegang adalah: Kita akan menerima kekuatan rohani, karena dalam memberilah kita menerima: “Berilah dan kamu akan diberi” (Luk 6:38). Apa yang kita beri itu mungkin bersifat sementara dan material, tetapi apa yang Allah kembalikan kepada kita bersifat kekal dan rohani. Dengan demikian, sejalan dengan kemajuan kita menuju kemurahan hati, kita (dan bersama-sama kita seluruh gereja) akan bertumbuh dalam kekuatan rohani. Bersama-sama kita dapat melakukan sesuatu bagi Allah di dunia ini. Kekuatan rohani dibutuhkan untuk melakukan sesuatu bagi Allah. Banyak orang, melalui pengakuan mereka sendiri, dapat berbuat sangat sedikit bagi Allah sekalipun memiliki ijazah-ijazah universitas atau seminari.
Seorang teman saya, profesor ternama di London, memiliki koleksi gelar yang mungkin akan mempesonakan Anda. Ia telah mengumpulkan penghargaan tertinggi yang dapat diberikan oleh negara Inggris bagi ilmuwannya di bidang penelitiannya. Profesor ini juga telah mempelajari Alkitab selama bertahun–tahun. Namun, suatu hari ia mengatakan kepada saya dalam kepedihan yang mendalam bahwa ia tidak memiliki kekuatan rohani. Ini sangat ironis dan benar-benar menyedihkan, karena orang-orang Kristen di Inggris mengenal dan menghormati namanya. Namanya—Profesor si anu—menarik banyak orang ke konferensi-konferensi Kristen.
Saudara-saudaraku, kita perlu menerima kuasa Allah untuk melakukan apa pun bagi kerajaan Allah. Gelar-gelar akademis dan teologis tidak membuktikan apa–apa. Oleh wewenang dari firman Allah, saya berani mengatakan tanpa permintaan maaf bahwa hanya mereka yang mengejar kesempurnaan, yaitu mereka yang berbelas kasihan sebagaimana Allah sendiri berbelas kasihan, akan mengalami persekutuan dengan Allah dan akan menerima dari-Nya kekuatan rohani untuk melaksanakan pekerjaan Allah di generasi ini.
(4) Belas Kasihan Ditunjukkan kepada yang tidak Layak
“Allah itu baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan yang jahat. Karena itu, hendaklah kamu berbelas kasihan, sama seperti Bapamu yang juga penuh dengan belas kasihan.”
Di sini belas kasihan disamakan dengan kebaikan, tetapi bukan “kebaikan” menurut pengertian kita. Kita sudah melihat bahwa Yesus berbicara tentang kebaikan yang ditunjukkan bahkan kepada mereka yang tidak layak menerimanya. Itulah anugerah dan kemurahan sejati. Kita, sebagai penerima anugerah Allah, selanjutnya harus menunjukkan anugerah dan kemurahan kepada orang lain. Yesus berkata, “Kamu menerima dengan cuma-cuma, berikanlah dengan cuma-cuma” (Mat 10:8).
Yesus memperlihatkan kebaikan Allah yang semacam ini dalam kehidupannya sendiri ketika ia mengasihi kita sementara kita masih berdosa. Allah mengasihi kita sementara kita masih menjadi musuh-Nya (Rm 5:8,10). Akibatnya, kuasa-Nya masuk ke dalam hidup kita dan mengubah kita dari musuh yang berbahaya dan egois sebelumnya, menjadi orang-orang suci, orang–orang kudus, anak–anak Allah. Sangat mengagumkan bahwa Alkitab menyebut kita orang–orang kudus. Surat–surat Paulus ditujukan kepada “orang–orang kudus”, orang–orang yang sama yang dulunya adalah musuh Allah!
Kita selanjutnya mesti menunjukkan anugerah yang tidak pandang muka terhadap mereka yang tidak layak menerimanya. Ini merupakan tantangan yang besar! Allah dalam kemurahan-Nya menerbitkan matahari kepada orang baik dan orang jahat, dan menurunkan hujan kepada yang benar dan yang tidak benar (Mat 5:45). Ini merupakan kemurahan Allah yang universal. Ia tidak membatasi sinar matahari pada taman orang benar saja sementara yang lainnya ditinggalkan dalam kegelapan. Ia juga tidak memusatkan hujan-Nya ke ladang orang benar sementara bagian dunia yang lain menjadi gurun pasir. Ia memberi hujan dan sinar matahari kepada semua, yang benar maupun yang tidak benar. Dengan cara ini, Ia mendemonstrasikan anugerah-Nya. Namun jauh melebihi dan di atas semua itu, keajaiban kasih dan anugerah-Nya terungkap di atas salib Kristus. Hal ini jauh melampaui kemampuan pengertian kita. Walaupun kita mungkin tidak dapat memahami kebesaran dan kedalamannya, yang penting kita dapat mengalaminya jauh di dalam lubuk hati kita.
Ciri kemurahan yang ajaib ini, sebagai sesuatu yang tidak mudah dipahami, tetapi dapat dirasakan, dapat juga dialami oleh setiap orang yang menerima kebaikan Allah dari kita. Orang yang menerima kebaikan atau belas kasihan itu akan segera bertanya mengapa diberikan kepadanya, sedangkan ia tidak layak untuk menerimanya. Jika kita dapat secara konsisten menyalurkan belas kasihan-Nya kepada mereka yang tidak layak, bukankah itu dapat menimbulkan revolusi spiritual?
Namun sayangnya, saya pernah menjumpai orang-orang Kristen yang tidak gembira dengan kemurahan Allah yang universal ini. “Aku milik-Mu, Tuhan. Sinarkan cahaya matahari lebih banyak ke arahku, dan kurangi bagian mereka! Orang lain bahkan tidak mengenal Engkau, tetapi panennya lebih banyak daripada aku. Aku datang ke gereja tiap Minggu dan memberi persembahan, tetapi orang itu tidak memberi satu sen pun.” Kita sering merasa tidak adil melihat orang bukan Kristen memperoleh lebih banyak uang atau memiliki mobil yang lebih bagus. Di manakah keadilan Allah? Ini merupakan persoalan aktual dalam pikiran sebagian orang Kristen. Kita protes, “Mengapa Allah menyamaratakan perlakuan atas orang benar dan tidak benar?” Jawaban Alkitab jelas dan sederhana: Allah bermurah hati bahkan kepada orang yang tidak kita sukai, atau bahkan kepada musuh-Nya. Itu sebabnya kita mengalami masalah dengan kebaikan Allah.
Betapa berbedanya karakter Allah dari kita! Jika kita perlu menjadi serupa dengan Dia, kita perlu membiarkan Allah mengubah pandangan kita tentang Dia. Banyak sikap keduniawian dan egois telah mencemari kehidupan gereja sekarang ini, membuat kita jatuh jauh dari apa yang Allah harapkan dari umat-Nya. Daripada mencitrakan Allah sesuai dengan gambaran kita (sebagaimana yang dilakukan oleh orang Yunani, yang memandang dewa–dewa sebagai gambaran dari diri mereka yang diperbesarkan), kitalah yang perlu segera diubah menjadi serupa dengan gambaran-Nya.
(5) Belas Kasihan adalah Kepedulian yang Mendalam
Di dalam Alkitab, “belas kasihan” berarti simpati, keharuan dan empati. Ia berempati dengan mereka yang berduka dan menderita. Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (Mat 5:4). Ini adalah ucapan bahagia yang sudah dikenal, tetapi berapa orang yang mengerti maknanya? “Berbahagialah orang yang berdukacita,” tidak berkaitan dengan mereka yang meratapi atau mengasihani diri sendiri. Sebagai orang Kristen, kita seharusnya sudah melewati tahap menyesali dosa–dosa masa lampau jika kita sudah benar–benar bertobat.
“Berbahagialah orang yang berdukacita” memiliki arti yang lebih dalam daripada pemikiran kita yang egois. Ia merujuk kepada mereka yang berduka atas kejahatan dan keadaan yang menyedihkan dari orang lain. “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Rm 12:15). Jika kita tak dapat menangis dengan orang yang menangis, bagaimana kita bisa bersukacita dengan orang yang bersukacita? Mari kita belajar untuk menangis bersama dengan mereka yang mengalami tekanan berat. Apakah kita hanya mampu untuk menangisi diri sendiri? Gereja berisi terlalu banyak orang yang datang semata-mata demi kenyamanan atau kesejahteraan pribadi mereka sendiri. “Ya Allah berkatilah ayahku, ibuku, anak–anakku, dan terutama diriku.” Inilah kekristenan yang umum. Bahkan apabila kita membaca Kitab Suci, kita melakukannya dengan cara yang egois: “Janji–janji Allah dalam Alkitab adalah untukku. Semuanya ada untuk memberkatiku.”
Dengan merajalelanya keegoisan semacam ini di dalam gereja masa kini, tidak heran jika kita mengalami kesulitan memahami apa artinya belas kasihan ilahi. Kemurahan adalah kepedulian dan simpati yang sejati terhadap orang yang membutuhkan dan menderita. Namun, mengapa saya harus mempedulikan kebutuhan mereka, apalagi orang–orang yang tidak tahu berterima kasih dan yang jahat itu? Mengapa? Karena saya melihat keadaan mereka yang menyedihkan dan tragis. Mari kita belajar untuk berbelas kasihan supaya kita dapat dilepaskan dari Kekristenan yang egois yang sama sekali tidak lebih baik daripada keegoisan orang tidak percaya.
(6) Belas Kasihan Berakar dalam Ketidak-egoisan
Dalam posting yang pertama, kita membahas tentang mati bagi diri kita yang lama. Izinkan saya menjabarkannya dalam satu kalimat: Mati bagi diri sendiri berarti kita berhenti memperhatikan diri sendiri dan memperhatikan orang lain. Definisi ini kelihatannya terlalu sederhana (walaupun sebenarnya tidak), tetapi ini sesuai dengan Kitab Suci. Jika seseorang sudah mati bagi diri sendiri, hal apalagi yang menjadi perhatiannya? Apakah orang mati memikirkan makanan, pakaian, rumah, atau ambisi–ambisi duniawi? Itulah hal–hal yang menyita perhatian kita ketika kita hidup menurut jalan hidup yang lama, sebelum kita menjadi manusia baru di dalam Kristus. Kita sekarang masih hidup dalam tubuh kedagingan kita, jadi kita masih memerlukan makanan dan pakaian; tetapi hal–hal tersebut tidak lagi menjadi perhatian utama kita apabila kita menjadi manusia baru di dalam Kristus.
Kita sudah mati dengan Kristus dan sudah dikuburkan bersamanya. Kita sudah dibangkitkan ke dalam hidup yang baru, dan sekarang kita sudah menerima pikiran Kristus (1Kor 2:16; Flp 2:5). Itu adalah pikiran yang sudah berhenti memikirkan diri sendiri dan keluar memikirkan orang lain. Kita sudah dibebaskan dari keasyikan dengan kepentingan pribadi, kita bebas untuk mengalihkan perhatian kita untuk memperhatikan kebutuhan orang lain.
Ketika saya mendengarkan saudara–saudara di gereja membicarakan persoalan visa atau keuangan mereka, itu membuka kembali ingatan saya pada masa–masa awal saya berjalan bersama Allah. Saya sudah mengalami lebih banyak persoalan visa daripada yang pernah dialami kebanyakan orang. Saya berada di Inggris selama tujuh belas tahun dan mengalami persoalan visa selama tujuh belas tahun. Visa saya harus diproses setiap tahun dan ada kalanya dua kali setahun. Proses persetujuannya rumit karena saya berasal dari China, yang pada saat itu memiliki hubungan diplomatik dengan sedikit negara saja, dan diperlakukan oleh sebagian besar negara lain dengan ketidakpercayaan kalau bukan permusuhan. Saya belajar untuk menyerahkan persoalan visa ini kepada Allahtanpa merasa khawatir. Saya akan berkata kepada-Nya, “Ya Allah, jika Engkau ingin saya tinggal di Inggris, pertahankanlah saya di sini. Namun, jika Engkau memiliki rencana lain bagi saya, tempatkanlah saya di mana pun di dunia ini.” Saya tidak menyia-nyiakan waktu untuk mengkhawatirkan masalah visa ini.
Beberapa dari antara Anda menghadapi masalah keuangan. Saya dapat berempati dengan Anda. Saya sering tidak punya uang, atau hampir tak beruang sama sekali. Kantong kosong sudah menjadi kawan akrab saya. Jika saya khawatir tentang uang, rambut saya mungkin sudah memutih pada usia dua puluhan. Oleh anugerah Allah, saya tidak mempedulikan diri saya dan melanjutkan pekerjaan yang dipercayakan-Nya pada saya, mengetahui bahwa Bapa di surga akan menyediakan segala yang saya butuhkan—hal yang tak pernah gagal dilakukan-Nya.
Saya belajar di Sekolah Alkitab tanpa adanya jaminan dukungan keuangan, dan dengan demikian tanpa kepastian dapat menyelesaikan studi saya di sana. Oleh anugerah Allah, saya sekolah sampai lulus. Hal yang sama berlaku ketika saya belajar di sekolah Alkitab yang kedua. Demikian pula, saya duduk di bangku universitas tanpa jaminan apakah saya dapat membayar bahkan iuran yang pertama. Saya tidak mengandalkan seorang pun untuk membantu saya dalam hal keuangan, tetapi hanya berharap kepada Allah. Situasi ini terulang setiap tahun, setiap kali tiba saatnya membayar iuran pendidikan. Akan tetapi, saya bersyukur kepada Tuhan karena kekhawatiran itu jauh dari saya. Saya hanya berkata kepada Tuhan, “Ijazah tidak berarti apa–apa bagi saya. Apakah Engkau ingin saya memilikinya atau tidak, saya tetap bersyukur karenanya.” Pada akhirnya, Ia memang menghendaki saya untuk belajar sampai lulus.
Kita harus belajar untuk melupakan diri kita dan segala persoalan kita yang tiada akhirnya. Bukankah kita menghadapi banyak persoalan dalam kehidupan yang menggusarkan kita? Kita ingin melangkah maju untuk mengejar Allah, namun persoalan–persoalan itu mengalihkan perhatian kita, menghabiskan waktu dan tenaga kita, dan kadang membangkitkan kemarahan kita. Kita ingin melangkah maju, tetapi persoalan–persoalan itu menarik kita kepada diri sendiri—hal yang ingin kita lupakan. Namun, marilah kita kuatkan tekad oleh anugerah Allah untuk selesai dengan diri sendiri, agar seperti Paulus, mata kita dapat terpusat pada sasaran yang ada di depan kita di dalam Kristus.
“Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman dan membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr 12:2).
Paulus juga berkata, “Marilah kita yang sempurna berpikir seperti demikian” (Flp 3:15). Di sini “sempurna” memakai kata Yunani yang sama dengan yang ada di Matius 5:48. Mereka yang sempurna haruslah “berpikir seperti demikian”—yaitu, pikiran yang memusatkan mata ke sasaran di depan kita, melupakan diri dan masa lalu kita dan melangkah maju. “Marilah kita meninggalkan semua beban dan dosa yang menjerat kita dan berlari dengan tekun pada perlombaan yang disediakan di hadapan kita” (Ibr 12:1).
Saudara-saudaraku, kita dipanggil untuk selesai dengan diri sendiri. Itu merupakan suatu panggilan yang mulia, tetapi tidak dibatasi pada mereka yang disebut orang Kristen “tingkat atas”, atau orang yang “lebih rohani”. Mati bagi diri sendiri, sebagaimana yang kita ketahui, seharusnya terjadi pada baptisan. Hidup yang lama harus berakhir di sana, di mana denyut kehidupan Kristus yang baru mulai berdetak dalam diri kita. Apakah itu terjadi dalam kehidupan Anda? Atau masihkah kita terikat dalam belenggu diri dan kepentingan pribadi, tak berdaya untuk melayani Allah atau memikirkan kebutuhan orang lain?
Kita harus dibebaskan dari diri untuk bisa menjadi murah hati, atau menjadi sempurna. Tidak ada orang yang mementingkan diri sendiri yang dapat menjadi murah hati. Orang yang berbelas kasihan memikirkan kepentingan orang lain, terutama mereka yang sedang membutuhkan; orang yang mementingkan diri sendiri terpenjara dalam tempurungnya sendiri.
Ketika kita mengunjungi sebuah gereja, seringkali kita dapat menilai kondisi kerohaniannya dalam hitungan menit. Di banyak gereja, orang bahkan tidak menyapa Anda ketika Anda melangkah masuk. Anda seperti hantu yang tak terlihat yang jalan melewati. Sesudah ibadah, Anda bangkit dan pergi, dan Anda tetap seperti hantu yang tak terlihat! Di beberapa gereja, Anda mungkin mendapat beberapa senyuman dan jabatan tangan. Akan tetapi, sangat sedikit yang benar–benar mau memperhatikan Anda, meluangkan waktu untuk bercakap-cakap dengan Anda. Tentu saja, yang dibutuhkan ialah kepedulian yang tulus, bukannya pertunjukan sopan santun.
(7) Orang yang Berbelas Kasihan tidak Terpaku pada Keselamatan Dirinya
Mengapa saya harus berbuat baik kepada orang yang tidak tahu berterima kasih dan yang jahat? Bagaimana itu menguntungkan saya? Sejauh yang dapat kita lihat, hal itu tidak menguntungkan kita sama sekali. Kita hanya punya satu alasan untuk melakukan itu: kepedulian yang mengarah ke luar bagi keselamatan dan kesejahteraan abadi mereka. Sedih untuk dikatakan, banyak orang pergi ke gereja demi keselamatan mereka sendiri tanpa sedikit pun kepedulian bagi keselamatan dan kesejahteraan orang lain. “Yang penting saya selamat. Saya menyesal kalau Anda masuk neraka, tetapi saya terlalu sibuk dengan hal–hal penting lain yang memakan perhatian saya.”
Orang Kristen sejati, karena sudah mengalami anugerah Allah dan keselamatan, tidak akan terus menyibukkan diri dengan keselamatannya sendiri. Ia peduli akan keselamatan dan kesejahteraan kekal orang lain. Itu tanda seorang Kristen yang sejati. Rasul Paulus sendiri menunjukkan perhatian yang kecil sekali terhadap keselamatan dirinya. Ia rela melepaskan keselamatannya jika itu dapat menyelamatkan Israel (Rm 9.3). Saya kenal beberapa orang Kristen yang tersinggung dengan pernyataan Paulus ini. Namun, ada baiknya kita mengingat bahwa Paulus lebih mendekati pikiran Kristus daripada kita. Bersediakah kita mengorbankan keselamatan kita jika itu dapat menyelamatkan orang lain? Atau perhatian kita hanya pada diri sendiri?
Paulus meniru Yesus. Ketika Yesus sekarat di atas kayu salib, beberapa orang mengejeknya, “Ia menyelamatkan orang lain, tetapi ia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri!” (Mat 27:42). Sebenarnya ia dapat menyelamatkan dirinya, tetapi ia tidak mau; karena jika ia menyelamatkan dirinya, ia tak dapat menyelamatkan orang lain. Perhatiannya bukan pada keselamatan dirinya sendiri, tetapi pada keselamatan dunia. Seperti itulah Kristus. Menjadi serupa dengan Kristus berarti memiliki pola pikir yang sama. Itulah yang menjadi inti dari panggilan untuk menjadi sempurna.
Entah baik atau tidak, kebanyakan orang di gereja kita berasal dari golongan intelektual. Ini lebih banyak merugikan kita karena kita dilatih, atau telah melatih diri kita, untuk memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Kita belajar dengan tekun untuk manfaat pribadi dan menunjukkan kepedulian yang kecil pada orang lain, termasuk saudara-saudara seiman. “Saya harus belajar keras, mengerjakan tugas, menjalani ujian dan mengejar nilai tinggi.”
Kita membenarkan ketidakpedulian kita atas orang lain dengan berkata, “Pertama saya harus selesai sekolah dulu, setelah itu saya akan punya waktu untuk orang lain.” Dalam kenyataannya, hari itu tidak pernah tiba karena Anda segera mengejar tujuan lain setelah selesai sekolah. Tidak ada batas dalam mengejar pengetahuan atau sukses.
Berbicara kenyataannya, pencapaian akademis kita hanya menguntungkan diri kita sendiri. Kita membenarkan keegoisan kita dengan mengatakan bahwa jika kita mencapai pendidikan yang bagus, kita akan dapat berbuat sesuatu bagi orang lain. Dalam kenyataannya, apabila saatnya tiba, pikiran kita sudah sepenuhnya dilatih dalam keegoisan yang secara manusiawi mustahil untuk diubah.
Sangat sulit untuk mengubah pola pikir yang sudah ditanam selama bertahun-tahun dari mengejar pendidikan dan karir. Namun, Yesus menyuruh kita untuk melakukan apa yang secara manusiawi mustahil: berbalik dari pola pikir egois yang mengejar kemajuan diri, kepada suatu kesibukan demi keselamatan orang lain yang bersumber dari kepedulian yang mendalam. Agar hal itu menjadi kenyataan dalam hidup kita, dibutuhkan suatu transformasi yang total oleh kuasa penebusan Allah.
(8) Menjadi Sempurna bukanlah tentang Perbaikan Diri
Ini membawa kita pada satu pokok yang penting. Kita dapat dengan mudah jatuh pada jebakan mencampur-adukkan kesempurnaan dengan perbaikan diri. Dalam rangka mencapai kesempurnaan, apakah itu merupakan persoalan memperbaiki diri dalam hal ini dan itu? Itulah satu–satunya cara yang dikenal dunia ini untuk mencapainya. Namun, kesempurnaan biblika tidak dapat dicapai dengan cara ini.
Bagaimana caranya menjadi petenis yang baik? Nah, saya harus bermain tenis siang dan malam, memperbaiki pukulan servis, memperbaiki pukulan lob, memperbaiki pukulan return, memperbaiki pukulan drop. Saya minum multi-vitamin, berlari selama berjam-jam dan membangun stamina. Saya melatih ayunan saya dan memperbaiki kejituan saya. Semua ini akan membantu saya meraih kesempurnaan dalam bermain tenis. Ini adalah kesempurnaan dalam arti perbaikan-diri, tetapi jika itu yang menjadi konsep kita tentang kesempurnaan rohani, kita berada di jalur yang salah!
Alkitab tidak mengajarkan kesempurnaan-diri, karena kesempurnaan-diri berpusat pada diri sendiri. Jika kita mengambil rute perbaikan-diri, kita mungkin harus pergi ke tempat yang tenang, seperti biara, dan mengunci diri kita dalam sebuah ruangan, untuk menjauhi segala yang mungkin mengganggu kita. Hari ini saya akan berdoa tiga jam, besok empat jam, lusa lima jam, dan suatu hari nanti, barangkali dua puluh empat jam! Lewat cara-cara ini, saya berharap dapat menaiki tangga menuju surga dan meraih penyatuan mistis dengan Allah! Dengan cara ini, saya dapat mencapai kesempurnaan! Dengan perbaikan-diri sebagai obyektif, saya menjauhkan diri dari orang yang menjengkelkan dan memusatkan perhatian kepada Allah. Saya melupakan penderitaan manusia dan memikirkan hal–hal yang bahagia tentang Allah dan berharap dengan demikian untuk tiba pada sesuatu yang mirip dengan kekudusan yang sempurna (minus belas kasihan!).
Kami tidak menyangkal pentingnya saat-saat berdiam di hadapan Allah untuk bersekutu dengan-Nya. Apabila kita terlibat dalam pelayanan yang sibuk, saat-saat semacam itu bukan saja bernilai, tetapi amat perlu untuk mengembalikan perhatian kita kepada Allah dan untuk menerima kekuatan dan inspirasi dari-Nya. Yang ditolak adalah kekudusan yang diraih dengan cara mengasingkan diri sebagai suatu pola hidup.
Namun, terlalu sering konsep manusia tentang perbaikan diri menguasai bahkan pemikiran kita tentang bagaimana kekudusan dapat diraih. Menurut pola pikir ini, seorang kudus adalah orang yang berdoa empat jam setiap pagi. “Lihat lututnya! Tergerus oleh kebiasaan berlutut. Ia pasti orang kudus!” Seolah–olah kekudusan ditentukan oleh jumlah jam doa atau kuantitas doanya ketimbang kualitas persekutuannya dengan Allah, tidak kira apakah dalam keadaan berlutut, duduk, berdiri—atau bahkan berjalan.
Kitab Injil tidak menggambarkan Yesus sebagai orang yang menghabiskan semua waktunya berlutut dalam doa. Sebaliknya, oleh karena kemurahannya, ia begitu sangat sibuk melakukan hal–hal bagi kepentingan orang lain sehingga ia kadang–kadang tidak ada waktu untuk makan (Mrk 3:20; 6:31). Jika demikian halnya, bagaimana mungkin Yesus menghabiskan waktu empat jam tiap hari untuk berdoa? Apakah itu berarti ia kurang berdoa? Tentunya tidak. Ia selalu berada dalam persekutuan dengan Bapa—fakta yang khususnya tergambar jelas dalam Injil Yohanes. Ia terkadang berdoa semalaman, dengan demikian mengorbankan waktu istirahat yang amat diperlukan.
Saat–saat seperti itu, apakah ia berdoa bagi dirinya atau bagi orang lain? Bagi dia yang seluruh hidupnya merupakan pelayanan belas kasihan, mempedulikan keselamatan orang lain, jawabannya sudah cukup jelas.
Perbaikan-diri Bertentangan dengan Kemurahan Kristus
Kita mencatat sebelumnya bahwa kemurahan yang dicerminkan oleh Kristus berakar dalam ketidak-egoisan, sementara perbaikan-diri menyibukkan diri dengan diri sendiri. Kedua hal ini bertentangan. Di dalam Perjanjian Baru, “manusia” baru bertumbuh dalam proses diperbarui dalam hidup baru, karena hidup itu sesuatu yang berkembang melalui pertumbuhan. Alkitab tidak pernah membicarakan manusia baru yang berkembang melalui perbaikan. Manusia lamalah yang berusaha untuk memperbaiki dirinya sendiri, tetapi manusia baru menaruh perhatian pada pertumbuhan dalam Kristus. Apa yang tidak memiliki kehidupan rohani dapat “diperbaiki”, tetapi apa yang memiliki kehidupan “bertumbuh”.
Oleh karena itu, kesempurnaan yang alkitabiah tidak ada kaitannya dengan perbaikan diri, sekalipun dalam bentuk doa dan pembacaan Alkitab yang panjang. Berdoa dan membaca Alkitab tentu saja amat penting, tetapi hanya jika kita sudah selesai dengan diri yang lama ini. Jika diri ini belum mati, segala sesuatu akan segera berpusat pada diri sendiri. Pengetahuan Alkitab kemudian bisa menjadi hal yang justru berbahaya karena Anda mungkin akan bermegah atas orang lain: “Saya adalah rabbi super! Ahli kitab!” Pengetahuan membuat orang sombong (1Kor 8:1). Pengetahuan Alkitab bisa menjadi berbahaya kalau diri ini belum mati.
Kehidupan doa kita juga bisa menjadi sumber kesombongan. “Saya berdoa sekian jam sehari, dan celana saya bolong–bolong di bagian lutut. Berapa lama Anda berdoa dalam sehari?” Kita menjadi bangga atas hal–hal yang kita anggap sebagai keunggulan rohani, seperti orang Farisi. Itu sebabnya Yesus memperingatkan murid-muridnya untuk berhati-hati terhadap ragi orang Farisi (Luk 12:1). Sedikit ragi akan menjadikan seluruh adonan tidak berguna untuk Paskah (1Kor 5:6-8). Jika kita belum selesai dengan diri sendiri atau belum dikuburkan bersama Yesus pada baptisan, kita akan berakhir seperti orang Farisi dan kaum munafik. Kerohanian yang sejati tidak pernah berpusatkan-diri.
Alkitab berbicara tentang kematian diri, tidak pernah tentang perbaikan-diri.
“Karena siapa yang ingin menyelamatkan nyawanya akan kehilangan nyawanya. Akan tetapi, siapa yang kehilangan nyawanya karena aku, ia akan mendapatkannya” (Mat 16:25). Bukankah ini bermakna bahwa jika kita datang ke gereja terutamanya demi keselamatan kita sendiri, justru itu yang tidak akan kita dapatkan? Tidakkah ini memperjelaskan lagi kepada kita bahwa mereka yang berbelas kasihanlah, yang mempedulikan keselamatan orang lain, yang akan diselamatkan?
Mereka yang menempatkan kerajaan Allah dan keselamatan orang lain di atas kepentingan pribadi mereka, merekalah yang Allah pilih untuk selamatkan. Dari sudut pandang manusia, kata-kata Yesus di Matius 16:25 membalikkan seluruh pokok persoalan. Hal ini begitu tak terdugakan justru karena ia begitu bertentangan dengan pemikiran kita yang egoistis. “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN” (Yes 55:8). Atas alasan ini manusia menemukan pikiran-pikiran Allah dan jalan-jalan-Nya sulit untuk dipahami dan diterima.
Terdapat begitu banyak “kelebaran dan kepanjangan dan ketinggian dan kedalaman” (Ef 3:18) pada kemurahan dan hikmat Allah; atau sebagaimana yang disampaikan oleh Paulus di tempat lain:
“O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan–keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan–jalan-Nya!” (Rm 11:33).