Pastor Eric Chang | Manusia Baru (11) |

Mari kita, di bawah bimbingan Roh Kudus, mempertimbangkan lima prinsip penting yang akan membantu kita memahami karakter Allah yang kudus dan juga mengasihi; ini akan membantu kita melihat bagaimana Ia berhubungan dengan umat-Nya.


Prinsip Pertama: Allah adalah Penyelamat, tetapi juga “Pahlawan Perang”

Perjanjian Lama menggambarkan Allah sebagai Juru Selamat, tetapi juga sebagai “Pahlawan Perang”. Sebenarnya, justru dengan menjadi “Pahlawan Perang” yang memusnahkan kuasa si jahat, Ia menjadi Penyelamat umat-Nya. Ini dinyatakan dengan jelas dalam Nyanyian Musa:

 “Yahweh itu kekuatanku dan mazmurku, Ia telah menjadi keselamatanku. Ia Allahku, Kupuji Dia, Ia Allah bapaku, kuluhurkan Dia. Yahweh itu pahlawan perang; Yahweh itulah nama-Nya.” (Kel 15:2-3).

Ya, Perjanjian Lama menggambarkan Allah sebagai pahlawan perang. Hal ini disebut berulang kali dalam kitab Yesaya, di mana Allah disebut sebagai “pahlawan perang” (42:13) atau digambarkan dengan istilah yang sejajar (mis. 66:15-16).

Seorang “pahlawan perang” adalah seorang pejuang, prajurit, tentara, yang melakukan peperangan. “Pahlawan perang” berkaitan dengan kegiatannya sebagai prajurit, bukan pangkatnya. Seorang pahlawan perang bisa saja seorang raja atau prajurit infanteri, atau dengan menggunakan istilah modern, seorang jenderal atau tentara biasa. Raja Daud disebut pahlawan perang karena ia hampir selalu terlibat dalam perang sepanjang hidupnya dan ia sangat ahli dalam peperangan (1Sam 16:18).

Allah, sebagai pahlawan perang, sangat perkasa dalam peperangan melawan kejahatan dan ketidakbenaran. Mazmur 24:8 berkata,

“Siapa Raja Kemuliaan itu? Yahweh itu kuat dan perkasa, perkasa di dalam peperangan.”

Banyak ayat dalam Perjanjian Lama berbicara tentang Allah berperang di pihak umat-Nya. 

Gambaran Allah sebagai “pahlawan perang” yang berperang bagi umat-Nya juga ditemukan dalam Perjanjian Baru. Paulus  berkata, “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” (Rm 8:31) Jika Allah berperang di pihak kita, siapakah yang dapat mengalahkan kita? Siapa saja yang memerangi umat Allah sedang melawan Allah Sendiri.

Pertimbangkan nubuatan yang istimewa tentang kedatangan Tuhan dari surga untuk memusnahkan segala kuasa gelap dan kejahatan yang berkumpul di bumi untuk melawan Dia dan umat-Nya,

11  Kemudian, aku melihat surga terbuka, dan muncullah seekor kuda putih; Dia yang duduk di atasnya bernama Setia dan Benar, dan dalam kebenaran Ia menghakimi dan berperang.
12  Mata-Nya seperti nyala api, di kepala-Nya ada banyak mahkota, dan Ia memiliki nama yang tertulis, yang tidak diketahui seorang pun, kecuali diri-Nya sendiri.
13  Ia memakai jubah yang telah dicelupkan ke dalam darah, dan nama-Nya adalah Firman Allah.
14  Seluruh pasukan yang ada di surga mengikuti Dia dengan menunggang kuda putih dan berpakaian kain linen halus yang putih dan bersih.
15  Dari mulut-Nya, keluar sebuah pedang tajam yang digunakan untuk memukul bangsa-bangsa. Ia akan memerintah atas mereka dengan tongkat besi. Ia akan memeras anggur dalam batu kilangan, yang adalah murka Allah Yang Mahakuasa.
16  Pada jubah dan paha-Nya tertulis nama ini: RAJA ATAS SEGALA RAJA DAN TUAN ATAS SEGALA TUAN. (Wahyu 19:11-16).

Dari sini kita seharusnya dapat melihat mengapa menjadi serupa dengan Kristus tidak sekadar meniru kelemah-lembutan atau kerendah-hatiannya, tetapi untuk mengikutinya dalam peperangan demi kebenaran, kekudusan dan kehendak Allah. Itu berarti untuk mengikutinya dalam peperangan sengit bagi pembebasan umat manusia dari ikatan dosa, dan dari segala kuasa dosa dan kegelapan yang membelenggu manusia dalam ikatan itu.


Prinsip Kedua: Umat Allah adalah Kota Suci, Tempat Kediaman Allah 

Apabila Allah menyelamatkan umat-Nya, Ia menjadikan mereka kota suci, umat yang benar. Kota Allah yang Kudus adalah Sion (Yes 52.1; Ibr 12:22,23). Ia kudus karena Allah telah memilih untuk diam di situ. Mazmur 135:21 berkata,

“Terpujilah Yahweh dari Sion, yang diam di Yerusalem. Pujilah Yahweh!”.

Umat Allah ialah tempat kediaman Allah. Paulus berkata kepada jemaat di Korintus,

“Tidak tahukah kamu bahwa kamu adalah Bait Allah dan Roh Allah tinggal di dalammu?” (1Kor 3:16; 6:19).

Kota Allah yang suci adalah milik-Nya yang khusus. Di Mazmur 48, ia disebut “kota Allah kita” (ay.1) dan “kota Yahweh semesta alam” (ay.9). Demikian juga Yesus menyebut Yerusalem “kota Sang Raja Besar” (Mat 5:35). Orang-orang Kristen—umat Allah—adalah sebuah kota, seperti bukit Sion, yang terletak di atas bukit yang tidak mungkin tersembunyi, dan menyinarkan cahaya Allah kepada dunia (ay.14).

Saudara–saudara, mari kita pahami dengan jelas misi kita di dunia. Allah tidak menyelamatkan kita demi keselamatan kita sendiri, tetapi juga supaya kita dapat menjadi terang bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Kita tak dapat mengelak tanggung jawab kita lalu berkata kepada orang lain, “Jangan melihat kami; lihatlah kepada Yesus. Kami ini cuma sekadar sekumpulan orang–orang pecundang di dalam gereja.” Itu merupakan suatu penolakan atas kehendak Allah bagi kita; karena kita adalah “kota yang terletak di atas gunung” untuk dilihat semua orang. Akan tetapi, dalam kenyataannya apa yang dilihat orang apabila mereka mengamati gereja? Kemuliaan Allah? Atau celah-celah di tembok yang runtuh akibat ketidak-taatan kepada-Nya?

Keselamatan Allah adalah tembok yang memberi keamanan dan keselamatan.

“Kekerasan takkan terdengar lagi di negerimu, ataupun kehancuran dan keruntuhan di daerahmu. Kamu akan menyebut tembok-tembokmu ‘Keselamatan’ dan pintu-pintu gerbangmu ‘Pujian.’” (Yes 60:18).

Gambaran yang indah! Orang-orang akan datang dan pergi melalui pintu gerbang dengan pujian, dengan sukacita, karena temboknya adalah Keselamatan; karena Allah sudah menyelamatkan mereka.

Jika tembok melambangkan keselamatan, lalu apa artinya tembok yang runtuh? Apa itu celah–celah di tembok keselamatan?


TEMBOK YANG TEMBUS

Saat Anda mendatangi sebuah kota kuno, hal apa yang pertama kali muncul dalam pandangan Anda? Mereka yang pernah mengunjungi kota Yerusalem purba akan segera tahu. Tembok kotanya! Tembok kota merupakan bagian yang paling menyolok dari sebuah kota kuno dan dapat dilihat dari jauh. Demikian juga, apabila orang memandang Yerusalem rohani, yaitu gereja, apa yang segera terlihat? Keselamatan! Mereka yang mendekatinya seharusnya dapat melihat orang–orang yang sudah dibebaskan dari dosa dan diubah oleh anugerah menjadi manusia-manusia baru.

Namun dalam kenyataannya, itukah yang dilihat oleh orang lain apabila mereka memandang kita sebagai gereja? Apakah mereka melihat keselamatan Allah yang mulia di dalam kita? Mungkin tidak. Reputasi gereja sedemikian buruknya hingga jika Anda mengajak seseorang untuk menjadi Kristen, ia mungkin akan berkata, “Nah, coba lihat pada gereja!” Lalu kita memakai jawaban standar itu, “Jangan pandang pada manusia, pandanglah pada Kristus.” Namun, mengapa orang tidak boleh memandang pada gereja yang dipanggil untuk menjadi terang dunia? Bagaimana lagi orang dapat melihat kuasa keselamatan Allah sekarang ini? Bagaimana mereka dapat melihat Kristus kecuali mereka melihat dia pada orang–orang yang menyerupai Kristus?

Apakah kuasa Allah akan terlihat dalam diri orang–orang yang sekadar mengaku “percaya” pada Yesus dalam pengertian yang kabur? Atau apakah kuasa-Nya justru terlihat pada orang–orang yang kudus dan benar yang sudah dibebaskan dari dosa? Di mana lagi kuasa Allah bisa terlihat jika bukan pada kehidupan yang sudah diubahkan? Apa gunanya mengajar tentang Yesus jika orang melihat kepada saya dan yang tampak hanyalah keserakahan dan kepentingan pribadi? Buat apa bicara tentang kuasa keselamatan Allah jika kelakuan saya menunjukkan tidak adanya perbedaan dari orang yang tidak percaya? Ada apa yang menarik orang kepada Yesus jika mereka tidak melihat keindahannya dalam diri kita?

Apabila Anda mendekati sebuah kota purba, Anda dapat melihat temboknya dari kejauhan. Demikian juga Allah bermaksud supaya dunia dapat melihat tembok keselamatan:

“Yahweh telah memperlihatkan tangan-Nya yang kudus di mata semua bangsa, dan semua ujung bumi akan melihat keselamatan Allah kita.” (Yes 52:10)

Bagaimana bumi melihat keselamatan Allah? Ayat 7 menyatakan,

“Betapa indahnya di atas gunung-gunungkaki-kaki orang yang membawa berita, yang mewartakan perdamaian, yang membawa kabar baik kebahagiaan, yang menyatakan keselamatan, yang berkata kepada Sion, “Allahmu memerintah!”

“Sebab, Yahweh telah menghibur umat-Nya; Ia telah menebus Yerusalem.” (ay.9)

Orang akan melihat keselamatan Allah di Sion! Penebusan-Nya di Yerusalem! Ketika Allah menebus umat-Nya—jemaat—dunia akan melihat kuasa keselamatan-Nya. Mereka akan menatap gereja dan berkata, “Inilah keselamatan dari Allah!”

Namun, apakah itu yang kita lihat hari ini? Apakah orang–orang menatap ke arah gereja dan berkata, “Kami melihat keselamatan dari Allah dengan mata kami sendiri!” Atau yang terlihat justru kebanyakannya orang yang biasa-biasa saja yang hidupnya tidak membanggakan Allah?

Jika Yesus menatap gereja sekarang, akankah ia bertanya-tanya untuk apa ia mati di kayu salib? Apakah Yesus mati untuk membangkitkan suatu umat yang puas sekadar menuntut keselamatan bagi diri mereka sendiri, tanpa mengindahkan mereka yang akan binasa dalam dosa? Atau yang hidup egois seperti sebelumnya, hanya saja sekarang mereka beribadah di gereja?

Jika mereka rajin datang ke gereja, mereka dianggap sebagai orang Kristen yang baik. Jika mereka aktif dalam kegiatan gereja, mereka dianggap sebagai orang Kristen istimewa. Akan tetapi, untuk inikah Yesus mati? Beberapa gereja mungkin banyak berbicara tentang kelahiran kembali atau lahir baru, tetapi bagaimana dengan pembaruan? Manusia baru “diciptakan dalam rupa Allah dalam keadilan dan kekudusan yang sejati.” (Ef 4:23-24).

Allah sedang mencari-cari sekarang ini, tetapi akankah Ia menemukan seseorang yang mau berdiri di celah dan memperbaiki tembok? Jika ada yang mengajar tentang kekudusan sekarang ini, tidak sedikit orang Kristen yang akan menentang keras, “Anda mengajar keselamatan oleh perbuatan!” Saya mengetahui hal ini dari pengalaman sendiri, sebagaimana yang dialami juga oleh hamba-Nya yang setia, John Wesley! Di beberapa gereja, kemungkinan dibuang karena mengajar tentang kekudusan cukup tinggi! Jadi orang yang ingin berdiri di celah untuk memperbaikinya barangkali akan mengalami perlakuan yang sama seperti yang dialami oleh nabi Yeremia!


Prinsip Ketiga: Jika Kota Suci Menjadi Tidak Suci, Allah akan Menghakiminya

Jika kita menyatakan diri sebagai umat Allah, tetapi hidup tidak kudus, apa yang akan Allah lakukan atas kita? Jawaban standar sekarang adalah, “Tidak ada apa-apa! Allah tidak akan berbuat apa-apa karena Yesus sudah mati bagi kita. Tentu saja, jika memungkinkan, Anda sebaiknya berhenti berbuat dosa, tetapi sekalipun tidak, Allah tidak akan berbuat apa–apa terhadap Anda. Orang Kristen tidak akan dihakimi. Yesus telah melunasi segalanya!”. Ini, pada intinya, adalah surat izin untuk berbuat dosa tanpa mendapatkan hukuman. Semua itu diselubungi dengan kata–kata, “Yesus telah mati bagi kita”! Kejahatan yang luar biasa!

Saya teringat pada sebuah pertemuan beberapa tahun yang lalu dengan sekumpulan pemimpin Kristen dalam sebuah konferensi besar. Para pemimpin itu berkeras bahwa begitu seseorang menjadi Kristen, atau diselamatkan, ia tidak akan terhilang dalam keadaan apa pun. Saya bertanya kepada mereka, “Apa maksud kamu? Apakah kamu bermaksud untuk mengatakan bahwa jika seorang Kristen melakukan percabulan atau pembunuhan atau dosa besar lainnya, dan tidak bertobat, ia akan tetap selamat?” Jawaban luar biasa dari salah seorang (barangkali mewakili seluruh kelompok) adalah “Ya!” yang tegas. Yang lain membisu, tetapi tidak menunjukkan tanda tidak setuju. Jadi, kita harus menganggap bahwa kebanyakan dari mereka berpegang pada pendapat yang sama.  Saya katakan pada mereka bahwa jika ini yang mereka anggap sebagai pengajaran yang alkitabiah, barangkali mereka membaca Alkitab yang berbeda!

Saya menolak untuk mengambil bagian dalam kepalsuan ini. Dengan demikian, kita sampai pada prinsip kita yang ketiga: Jika umat Allah menjadi tidak kudus—tatkala Kota Suci menjadi tidak suci—Allah akan memerangi kota-Nya sendiri dan menghancurkannya. Perjanjian Lama berisi banyak sekali kesaksian akan hal ini, sebagaimana telah kita lihat. Jika kita mengira bahwa tindakan Allah terhadap Israel tidak lagi relevan bagi kita karena kita hidup di bawah Perjanjian Baru, itu berarti kita tidak mendengar apa yang disampaikan oleh sang rasul,

“Hal-hal ini terjadi atas mereka sebagai contoh dan dituliskan sebagai peringatan bagi kita, yang kepada siapa akhir zaman telah datang.” (1Kor 10:11).

Apakah kita mengira bahwa Allah sudah berubah, atau sudah menurunkan standar-Nya? Sudah lupakah kita bahwa kepada siapa diberikan banyak, daripadanya akan banyak dituntut (Luk 12:48)? Jika kita, sebagai orang Kristen, berpikir bahwa kita dapat luput dengan ketidakbenaran, dan Allah akan menutup mata-Nya terhadap dosa-dosa kita karena kita entah bagaimana kita “tersembunyi” di balik kebenaran Kristus, kita hidup di bawah khayalan ngawur yang mematikan.

Kitab Suci dituliskan sebagai peringatan bagi kita, dan sebagian besar dari isinya berkaitan dengan kejatuhan dan kehancuran Israel sebagai sebuah bangsa, pembuangannya, dan alasan–alasan mengapa semua itu terjadi. Namun, sudahkah kita belajar dari peristiwa-peristiwa yang suram dan tragis ini? Apakah semua ini jatuh ke telinga tuli? Apakah kita sedemikian bodohnya sehingga mengabaikan pepatah yang terkenal yang mengatakan bahwa “mereka yang melupakan malapetaka dalam sejarah akan dikutuk untuk mengulanginya lagi”?

Tidakkah kita melihat bahwa tembok Yerusalem tembus berulang kali karena pembangkangan mereka yang terus menerus kepada Allah? Masihkah kita belum memahami nubuatan Mikha bahwa Kota Suci akan menjadi timbunan puing–puing, dan Sion—di mana bait Allah berada—akan dibajak seperti ladang akibat dosa dan kerakusan Israel? Namun, sang nabi mencatat bahwa penduduk kota begitu tuli terhadap peringatan tentang malapetaka yang mendatang sehingga mereka dengan keras kepala berkata, “Bukankah Yahweh ada di tengah-tengah kita? takkan ada malapetaka yang datang menimpa kita” (Mi 3.11).

Akankah kita melakukan hal yang sama? Marilah kita mengerti bahwa Allah tidak akan pernah berkompromi dengan dosa, khususnya dengan mereka yang sudah ditebus-Nya oleh darah Anak-Nya.


(1) ALLAH AKAN MENGHAKIMI UMATNYA

Bukti alkitabiah atas pokok ini amatlah banyak. Suatu tema umum dalam Perjanjian Lama adalah penghakiman Allah atas umat-Nya. Jika kita gagal memahami hal ini, barangkali kita sedang membaca Alkitab dengan mata tertutup.

Mazmur 6:1 berkata,

“Ya Yahweh, jangan menghukumku dalam amarah-Mu. Jangan menghajar aku dalam murka-Mu.”

Apabila umat Allah berdosa, hal pertama yang dilakukan Allah adalah menghajar mereka. Jangan keliru tentang hal itu. Jika Anda mengaku mengenal Allah sebagai Allah Yang Hidup yang telah menebus Anda, dan cukup bodoh untuk menolak kebenaran bahwa Allah akan menghajar Anda jika Anda berbuat dosa, lain kali jika Anda secara ceroboh jatuh ke dalam dosa dan tidak bertobat, perhatikan baik–baik apa yang akan dilakukan Allah terhadap Anda.

Jika Ia tidak berbuat apa–apa terhadap Anda, itu berarti Ia tidak nyata atau Anda bukan milik-Nya. Hanya ada dua kemungkinan itu. Akan tetapi, kita yang mengikuti-Nya tahu dari pengalaman betapa nyatanya Allah. Jadi, jika Ia tidak berbuat apa-apa terhadap Anda, Anda punya alasan untuk khawatir, karena itu berarti bahwa Ia masih belum mengakui Anda sebagai milik-Nya. Namun, jika Ia menghajar Anda, Anda punya alasan untuk bersyukur,

“Sebab, Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan mencambuk orang yang diterima-Nya sebagai anak.” (Ibr 12:6).

Jika Anda berbuat dosa sebagai anak Allah, tangan-Nya yang menghajar dengan pasti akan datang ke atas Anda. Ia akan menindak Anda dengan kekerasan yang terukur. Allah hanya mendisiplin anak–anak-Nya. Kita tidak akan menghajar anak orang lain. Jika anak tetangga berbuat nakal, saya tidak akan pergi keluar dan menghajarnya. Itu menjadi tanggung jawab orang tuanya, bukan saya. Namun, jika anak saya berbuat dosa, saya akan menanganinya karena saya mengasihi anak saya dan tidak ingin ia jatuh ke jalan sesat. Inilah yang dikatakan Kitab Suci,

5  Dan, apakah kamu telah melupakan nasihat yang diberikan kepadamu sebagai anak-anak? “Hai anakku, jangan anggap enteng didikan Tuhan, dan jangan merasa kecil hati ketika kamu ditegur-Nya.
6  Sebab, Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan mencambuk orang yang diterima-Nya sebagai anak.”
7  Kamu harus bertahan demi didikan itu karena itu berarti Allah sedang memperlakukanmu sebagai seorang anak; lagi pula, anak macam apakah yang tidak pernah dididik oleh ayahnya?
8  Jika kamu tidak pernah menerima didikan yang seharusnya diterima oleh semua anak, kamu adalah anak haram, bukan anak yang sah.” (Ibr 12:5-8)

Mengetahui bahwa ia adalah anak Allah, Daud bertobat di bawah tangan hukuman Allah,

3 Kasihani aku, ya Yahweh, karena aku lemah. Sembuhkan aku, ya TUHAN! karena tulang-tulangku gemetar.
4 Jiwaku sangat cemas. Yahweh, sampai berapa lama?
5 Kembali, ya Tuhan, lepaskan jiwaku, Selamatkan aku oleh karena kasih setia-Mu.” (Mzm 6:2-4)

Daud sangat menderita, sehingga ia memohon agar hukuman berat yang dijatuhkan Allah kepadanya diakhiri. Ia telah melakukan dosa yang berat, dan Allah terpaksa menanganinya dengan keras.

Allah mendisiplin kita supaya kita dapat “memperoleh bagian dalam kekudusan-Nya” dan menghasilkan “buah kebenaran yang memberi damai” (Ibr 12:10-11). Allah akan mendisiplin kita jika kita adalah anak–anak-Nya. Demikianlah caranya kita mengetahui bahwa Allah itu nyata, dan bahwa kita benar–benar adalah anak–anak-Nya. Melaluinya kita belajar untuk menahan diri dari perbuatan dosa.

Mereka yang mengabaikan hajaran Allah, menegarkan tengkuk seperti Israel yang keras kepala atau kepala batu (Yes 48:4), maka Allah pasti menghukum mereka walaupun mereka mengaku sebagai umat Allah. Bagi mereka tetap bertahan dalam dosanya, Mazmur 7:13-14 berkata,

Jika seseorang tidak berbalik, Ia akan menajamkan pedang-Nya. Ia telah melenturkan busur-Nya dan membuatnya siap. Ia telah mempersiapkan bagi diri-Nya senjata-senjata mematikan, Ia telah membuat panah-Nya berkobar.

Allah akan mengasah pedang-Nya! Apa yang akan Anda lakukan dengan pedang? Menepuk pundak seseorang dengan lemah lembut? Pedang gunanya untuk menghancurkan. Allah akan mengasah pedang-Nya dengan batu asah. Ia akan melentur busur-Nya dan menembakkan anak panah penghakiman-Nya yang berapi. Jika seseorang tidak mau bertobat, ia akan dihancurkan sepenuhnya.

Hal yang sama disebutkan dalam Perjanjian Baru. Ibrani 10:31 berkata,

“Alangkah mengerikannya jika kita jatuh ke dalam tangan Allah yang hidup.”

Perhatikan baik–baik bahwa ini bukanlah kutipan dari Perjanjian Lama tetapi pernyataan yang berlaku bagi orang Kristen Perjanjian Baru, yang dengan ceroboh berkubang dalam dosa dan kesesatan, dan dengan demikian telah “menganggap najis darah perjanjian yang menguduskannya, dan menghina Roh anugerah.” (ay.29). Menerapkan dua ayat Perjanjian Lama terhadap orang-orang Kristen yang sesat ini, penulis surat Ibrani melanjutkan untuk berkata,

“Sebab, kita mengenal Dia yang berkata, ‘Pembalasan adalah hak-Ku; Aku akan menuntut pembalasan.’ Ia juga berkata, ‘Tuhan akan menghakimi umat-Nya.’” (Ibr 10:30, mengutip Ul.32.35-36)


(2) NABI-NABI PALSU MENGABARKAN “DAMAI SEJAHTERA”

Akan tetapi, oleh karena banyak orang Kristen menganggap kekudusan sebagai hal yang tidak esensial, dan dengan demikian mengabaikan bahkan menolaknya, kita sekarang berada dalam situasi yang mengerikan di mana tembok–tembok “kota yang terletak di atas bukit” sedang jatuh ambruk, dan nabi-nabi Allah tidak mengatakan apa pun. Justru apa yang mereka kabarkan? Semuanya damai dan aman! Saudara–saudaraku, ingatlah bahwa ciri pesan dari nabi–nabi palsu pada masa Perjanjian Lama adalah damai sejahtera dan keamanan! Itulah ciri khas khotbah seorang nabi palsu. Di Yehezkiel 13:9-11, Allah berkata:

9  “Tangan-Ku akan melawan nabi-nabi yang melihat penglihatan-penglihatan palsu dan yang memberikan ramalan-ramalan yang menipu. Mereka takkan ada dalam perkumpulan umat-Ku atau ditulis dalam daftar keturunan Israel, ataupun akan masuk ke negeri Israel, sehingga kamu akan mengetahui bahwa Akulah Tuhan Yahweh.
10  Jelas, itu karena mereka telah menyesatkan umat-Ku dengan berkata, ‘Damai,’ padahal tidak ada kedamaian. Dan ketika seseorang membangun tembok, lihatlah, mereka melaburnya dengan kapur.
11  Katakan kepada mereka yang melaburnya dengan kapur bahwa tembok itu akan runtuh. Hujan deras akan datang, dan kamu, hai hujan es, akan turun; dan angin badai akan mengoyakkannya.”

Ayat 16 mengatakan bahwa Allah menentang nabi–nabi “yang bernubuat tentang Yerusalem dan melihat baginya suatu penglihatan mengenai damai sejahtera, padahal sama sekali tidak ada damai sejahtera.” Mari kita mengamati dengan cermat fakta bahwa ciri khas nabi–nabi palsu adalah omongan mereka yang tiada akhir tentang damai sejahtera dan keamanan yang tak berdasar. Hal ini juga terlihat dalam Perjanjian Baru:

“Sebab, kamu sendiri benar-benar tahu bahwa hari Tuhan akan datang seperti pencuri pada malam hari. Ketika orang-orang berkata, “Damai dan aman,” kebinasaan akan datang atas mereka secara tiba-tiba, seperti rasa sakit perempuan yang akan melahirkan, dan mereka tidak akan dapat meloloskan diri.” (1Tes 5:2,3).

Yeremia 6:13-14 berkata:

“Sebab, dari yang paling kecil sampai yang paling besar dari mereka, setiap orang tamak akan keuntungan; dan dari para nabi sampai para imam, setiap orang berbuat dusta. Mereka telah menyembuhkan luka umat-Kudengan enteng, dengan berkata, ‘Damai, damai,’ padahal tidak ada kedamaian.”

Sekali lagi, ciri khas pesan nabi–nabi palsu: “Damai sejahtera! Segalanya baik–baik saja. Jangan khawatir. Anda sudah diselamatkan, berpeganglah pada jaminan keselamatan Anda.”

Tuduhan yang sama terhadap nabi–nabi dan imam–imam diulangi lagi dua pasal kemudian,

“… dari yang paling kecil sampai yang paling besar, semuanya tamak akan keuntungan yang tidak benar; dari nabi hingga imam, setiap orang melakukan penipuan. Mereka telah menyembuhkan luka putri umat-Ku dengan menganggap enteng, sambil berkata, ‘Damai, damai,’ padahal tidak ada damai.” (Yer 8:10-11).

Nabi–nabi dan imam–imam duniawi ini dimotivasi oleh hasrat mengejar “untung”, sebagaimana yang diungkapkan oleh Yeremia. Mereka ingin menikmati kehidupan yang baik yang dimungkinkan oleh penghasilan yang baik. Bagaimana mungkin hal itu bisa dicapai kalau Anda tidak mengatakan hal–hal yang ingin didengar orang, entah itu benar atau tidak? Seorang pengkhotbah yang berbicara menentang dosa yang dilakukan oleh jemaat akan segera kehilangan pekerjaannya! Lebih buruk lagi, ia mungkin diperlakukan tidak baik.

“Damai sejahtera dan keamanan” adalah tipe “kabar baik” yang selalu diterima dengan senang hati. Tentu saja, si nabi atau pengajar tentunya juga menyenangi tema ini, bukan sekadar pendengarnya saja! Jadi, ia dapat menyampaikannya dengan penuh keyakinan, terutama jika ia dapat menemukan secarik bukti yang tampaknya mendukung.

Dan bukankah merupakan suatu kenyataan bahwa bait Allah terletak di Yerusalem? Dan bukankah bait Allah itu tempat kediaman Allah? Oleh karena itu, mereka bersikeras, “Bukankah Yahweh ada di tengah–tengah kita?” Micah memberitahu kita bahwa inilah kata-kata yang dipakai “nabi-nabi” ini untuk membenarkan diri mereka. Inilah caranya Micah menggambarkan situasinya: Para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para imamnya memberi pengajaran karena bayaran, para nabinya menenung karena uang, padahal mereka bersandar kepada Yahweh dengan berkata: “Bukankah Yahweh ada di tengah-tengah kita! Tidak akan datang malapetaka menimpa kita!” (3.11)

Para kepala, para imam dan para nabi ini menegaskan bahwa Allah ada di tengah-tengah mereka meskipun tidak ada bukti sama sekali bahwa memang demikian halnya. Namun, tanpa mengindahkan kenyataan, mereka masih berani “bersandar kepada TUHAN”—mereka masih mengaku percaya kepada-Nya! Mereka merasa aman dalam “iman” mereka!

Para kepala dan para nabi ini menyatakan, berdasarkan dasar yang tampak valid ini, bahwa pesan mereka tentang, “Damai sejahtera! Damai sejahtera!” dapat dibenarkan. Jadi, semua orang termasuk nabi itu sendiri, dengan rela hati ditipu. Betapa dalamnya dan mematikannya jebakan tipuan jika kita tidak berjalan di jalur kebenaran yang sudah ditandai Allah bagi kita!

Nas dari kitab Micah ini menyatakan suatu kebenaran yang tidak boleh dilalaikan: adalah mungkin untuk terang-terangan hidup dalam dosa, tetapi memiliki iman yang teguh bahwa “Tidak akan datang malapetaka menimpa kita”. “Iman” ini menyebabkan si pendosa merasa aman secara abadi karena ia merasa terjamin bahwa tidak ada malapetaka yang akan menyentuhnya. Jika demikian halnya, ia dapat terus berbuat dosa tanpa merasa takut. Mereka yang memiliki “iman” semacam ini ternyata telah meyakinkan diri mereka bahwa tidak ada yang tidak rukun tentang iman mereka dan kehidupan mereka yang berdosa. Tragis sekali, “hati nuraninya sudah dicap dengan besi panas.” (1Tim 4:2)

Iman semacam ini menyingkirkan rasa takut akan Allah dari seseorang. Ia tidak menghiraukan kebenaran dan ia hidup nyaman dalam kehidupan dosanya. Iman semacam ini adalah puncak penipuan atau penipuan-diri. Jika ada yang berbicara tentang pembenaran, keselamatan, atau jaminan oleh iman, ada baiknya jika Anda berhenti sejenak dan selidiki dengan cermat iman semacam apa yang Anda bicarakan, jangan-jangan Anda membawa diri Anda dan orang lain ke dalam kebinasaan.

Pembinasaan ini digambarkan secara grafik oleh Mikha di ayat berikutnya:

“Karena kamu, Sion akan dibajak seperti ladang, Yerusalem akan menjadi timbunan puing, gunung Bait Suci akan menjadi bukit-bukit berhutan.” (3:12)

Kota Suci akan menjadi luluh-lantak dan, tidak perlu dikatakan, penduduknya akan ditelan dalam bencana tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui, temboknya benar–benar runtuh, jaminan para nabi palsu tidak dapat bertahan. “Tembok sekeliling kota Yerusalem dirobohkan oleh semua tentara Kasdim” (2Raj 25:10) dalam gempuran Nebukadnezar terhadap Yerusalem “yang tak terkalahkan”.

Namun sekarang kita mendengar khotbah yang sama sedang diberitakan, “Damai dan jaminan! Segalanya baik–baik saja. Jangan khawatir. Bangunlah tembok tipis di atas celah dan kapurlah. Itu akan menutupi celah dan membuatnya tampil cantik!” (Yeh 13:10-15)


(3) ALLAH AKAN MEMERANGI UMATNYA JIKA UMATNYA BERTAHAN DALAM DOSA

Allah adalah pahlawan perang yang membela kebenaran dan kekudusan. Jika umat Allah hidup di dalam dosa, Ia akan menjadi lawan mereka dan memerangi mereka. Ini adalah prinsip dasar dalam Kitab Suci. Jika Anda hidup dalam dosa sesudah Allah menebus Anda, Ia akan memerangi Anda.

Bukti alkitabiah akan hal ini tersedia secara melimpah. Allah berkata kepada Israel,

“Aku sendiri akan berperang melawan kamu” (Yer 21:5).

Yesaya 63:10 berbicara tentang Israel, “Tetapi mereka memberontak dan mendukakan Roh Kudus-Nya” (bdk. Ef 4:30). Apa yang dilakukan Allah? Yesaya 63:10 melanjutkan dengan jawabannya,

“Ia menjadi lawan mereka, dan memerangi mereka”.

Mazmur 106:40-41 berkata,

“Maka menyalalah murka Yahweh terhadap umat-Nya, dan Ia jijik kepada milik-Nya sendiri. Diserahkan-Nyalah mereka ke tangan bangsa–bangsa.”

Kata–kata seperti “murka” dan “jijik” sangatlah tegas dan kuat. Allah menjadi jijik terhadap umat-Nya sendiri. Mazmur 78.59 berkata,

“Ia menjadi gemas, Ia menolak Israel sama sekali.”

Kembali kepada gambaran tentang celah di tembok: Penghakiman Allah atas umat-Nya diungkapkan dalam kata-kata berikut,  

“Yahweh telah membuat keretakan [celah] di antara suku–suku Israel” (Hak 21:15).

Perlukah kita teruskan? Mungkinkah kita membaca Alkitab dan tidak melihat bagaimana Allah menangani umat-Nya ketika mereka berbuat dosa? Bagaimana mungkin kita menjadi sedemikian buta? Tembok Yerusalem, Kota Suci, roboh dan dihancurkan. Yerusalem jatuh pada tahun 587 SM. Gambaran ini muncul berkali–kali dalam Mazmur:

“Ya Allah, Engkau telah membuang kami, menembus pertahanan kami” (60:3).
“Mengapa Engkau melanda temboknya?” (80:13).
“Engkau sendiri…melanda segala temboknya, membuat kubu-kubu menjadi reruntuhan.” (89:40)

Saudara–saudaraku, punyakah kita telinga untuk mendengar? Jika Anda hidup di dalam dosa, Allah akan membelah tembok yang mengamankan hidup Anda, dan segala yang Anda andalkan bagi keamanan Anda akan runtuh. Tragis jika hal itu sampai terjadi.

Ratapan 2:5 berkata,

“Tuhan menjadi seperti seorang seteru; Ia menghancurkan Israel, meremukkan segala purinya, mempuingkan benteng–bentengnya.”

Tembok perlindungan Israel menjadi puing, dan gerbang–gerbangnya dihancurkan. Seluruh Ratapan 2 menegaskan  hal ini, sebagai contoh ayat 8 dan 9:

“Yahweh telah memutuskan untuk mempuingkan tembok puteri Sion… Ia tak mau menahan tangan-Nya untuk menghancurkannya. Ia menjadikan berkabung tembok luar dan tembok dalam, mereka merana semua. Terbenam gapura–gapuranya di dalam tanah.”

Pada posting sebelumnya saya mengatakan bahwa waktu bagi gereja sudah semakin singkat. Hari–hari kita sudah terhitung karena “zaman bangsa-bangsa” (Luk 21:24) akan segera berakhir. Roma 11 memperingatkan kita bahwa ketika Israel berbuat dosa, Allah memotong Israel. Demikian juga, jika kita (jemaat non-Yahudi) hidup dalam ketidaktaatan, Allah tidak akan menyayangkan kita, tetapi akan memotong kita juga (Rm 11:21-22). Akan tetapi, banyak penginjil sekarang masih saja bersikeras menyatakan, “Semuanya damai dan aman! Jangan khawatir, sobat. Tembok Kota Suci tidak akan roboh. Allah tidak akan memerangi kita.” Dapatkah kita menahan air mata kita ketika mendengar paduan suara “nabi–nabi” dan para pengajar yang dengan yakin menyampaikan “jaminan” semacam ini? Mereka sama seperti nabi–nabi palsu pada masa lalu yang menyatakan, “Yerusalem akan bertahan selamanya. Tak ada yang dapat menjamah kota Allah. Bukankah Allah pernah mengusir Asyur dari tembok Yerusalem?”


Prinsip Keempat: Jaminan Sejati adalah untuk Mereka yang Hidup dalam Kekudusan

Inilah prinsip keempat: Anda tidak dapat memiliki jaminan sejati kecuali Anda hidup di dalam kekudusan dan kebenaran. Jika kita mengaku diselamatkan, tetapi hidup dalam dosa dan tetap berkeras bahwa kita memiliki jaminan keselamatan, kita adalah “orang–orang bebal” menurut pengertian Alkitab (yaitu orang yang tidak memahami Allah dan kenyataan). Apakah kita sudah mengalihkan mata kita dari kebenaran untuk membiarkan Iblis membutakan kita? Firman Allah tidak menawarkan jaminan yang tidak bersangkutan dengan kekudusan dan kebenaran yang praktis. Kita dipanggil untuk masuk ke dalam kekudusan batin yang sejati, bukan sekadar penampilan luar yang saleh. Akan tetapi, banyak orang di gereja telah menolak kekudusan dan lebih memilih jaminan palsu yang terpisah dari kekudusan atau kebenaran. Sayangnya, banyak sekali nabi-nabi dan guru–guru yang menyebarkan kebohongan ini sekarang, setelah mereka sendiri tertipu oleh kebohongan itu.

Keseluruhan Yehezkiel 13 merupakan catatan sedih tentang “nabi–nabi yang bebal” yang menyemangati dan menganjurkan penduduk yang membangkang kepada Allah untuk merasa aman dalam buaian jaminan palsu. Allah berkata kepada Yehezkiel:

“Hai anak manusia, bernubuatlah melawan nabi–nabi Israel… Celakalah nabi–nabi yang bebal yang mengikuti bisikan hatinya sendiri…Kamu [Israel] tidak mempertahankan lobang–lobang pada tembokmu dan tidak mendirikan tembok sekeliling rumah Israel, supaya mereka tetap berdiri di dalam peperangan pada hari Yahweh. Mereka [nabi-nabi palsu] melihat penglihatan palsu dan tenungan-tenungan bohong yang berkata, ‘Demikianlah firman Tuhan’, padahal Aku tidak mengutus mereka…Aku akan mengacungkan tangan-Ku melawan nabi–nabi yang melihat perkara–perkara yang menipu… mereka telah menyesatkan umat-Ku dengan mengatakan: ‘Damai sejahtera!’ padahal sama sekali tidak ada damai sejahtera…Aku akan meruntuhkan tembok yang kamu kapur itu…tembok kota itu akan runtuh dan kamu akan tewas di dalamnya. Dan kamu akan mengetahui bahwa Akulah TUHAN. Begitulah Aku akan melampiaskan amarah-Ku…” (ay.2,3,5,6,9,10,14,15).

Akan tetapi, penduduk mengabaikan peringatan Yehezkiel yang tidak menyenangkan dan tidak populer ini. Ia menjengkelkan mereka. Khotbahnya membuat mereka menggeliat-geliat dalam ketidak-nyamanan. “Untung”nya bagi mereka, suara Yehezkiel tenggelam dalam gemuruh paduan suara nabi–nabi palsu yang berteriak secara serentak, “Semuanya damai dan aman!” Dalam pada itu tembok–tembok Yerusalem mulai berjatuhan.

Allah tentu saja memberi jaminan, tetapi hanya bagi mereka yang hidup dalam kebenaran. Jika kita hidup di dalam dosa, jaminan apa pun yang kita miliki, tidak berasal dari Allah. Kita memiliki jaminan sejati hanya jika Roh Allah bersaksi bersama dengan roh kita bahwa kita adalah anak–anak Allah (Rm 8:16). Itulah dasar jaminan sejati dalam Kitab Suci. Jika Anda hidup dalam dosa, akankah Roh Kudus bersaksi bersama roh Anda? Bagaimana Ia akan bersaksi di dalam diri kita jika kita putus hubungan dengan Allah, karena dosa memisahkan kita dari Allah. Hal ini dinyatakan dengan jelas di Yesaya 59:2,

“Akan tetapi, kejahatan-kejahatanmulah yang memisahkan antara kamu dan Allahmu, dan dosa-dosamulah yang membuat Ia menyembunyikan wajah-Nya darimu sehingga Ia tidak mendengar.”

Bagaimana mungkin seseorang yang hidup dalam ketidaktaatan kepada Allah dan dengan demikian terpisah dari Dia, masih dapat mengira bahwa ia dapat merasa nyaman dan aman dalam jaminan keselamatan? Lagi pula, jika kita hidup dalam dosa, Allah tidak akan memberi kita jaminan apa pun, bukankah demikian? Jika Ia memberi jaminan itu, tentu saja itu akan mendorong kita untuk bertekun dalam dosa. Adakah orang yang cukup bodoh untuk mengira bahwa Allah akan berbuat demikian?


Prinsip Kelima: Allah Merindukan Seseorang untuk Memperbaiki Celah itu

Allah tidak suka menghakimi umat-Nya. Di padang gurun Ia tidak berkenan melihat orang Israel, yang sudah ditebus-Nya dari perbudakan di Mesir, berguguran. Allah juga tidak senang mendatangkan penghakiman atas umat-Nya sekarang ini. Akankah Allah mencari seseorang untuk berdiri di celah jika bukan karena Ia sungguh-sungguh ingin umat-Nya luput dari penghakiman? Begitulah membaranya kasih dan belas kasihan Allah.

Renungkan sekali lagi kata–kata pedih di Yehezkiel 22:30: “Aku mencari di tengah–tengah mereka seorang yang hendak mendirikan tembok atau yang mempertahankan negeri itu di hadapan-Ku, supaya jangan Kumusnahkan, tetapi Aku tidak menemuinya.” Rasakan kepedihan di dalam hati Allah. Ia hampir akan menghancurkan Yerusalem dan umat-Nya. Kekeras-kepalaan dan kebandelan mereka memberi-Nya tiada pilihan lain. Akan tetapi, Ia masih menahan, dicari-Nya seseorang yang akan berdiri di celah, memperbaiki lubang-lubang tembok, dan membangun kembali tembok itu. Dan dengan demikian dapat menyelamatkan mereka dari malapetaka yang tidak dapat ditunda terlalu lama.

Namun, Allah “tertegun” karena tidak ada seorang pun yang membela atau membangun kembali tembok itu. Yesaya 59:16 berkata,

“Ia melihat bahwa tidak seorangpun yang tampil, dan Ia tertegun karena tidak ada yang membela.”

Ya, Allah tertegun! Yesaya melanjutkan untuk berkata:

“Ia mengenakan keadilan sebagai baju zirah dan ketopong keselamatan ada di kepala-Nya… Sesuai dengan perbuatan–perbuatan orang, demikianlah Ia memberi pembalasan: kehangatan murka kepada lawan–lawan-Nya, ganjaran kepada musuh–musuh-Nya.” (ay.17-18)

Sebagai respons kepada situasi yang mengherankan ini, Allah Sendiri mengenakan baju zirah kebenaran dan ketopong keselamatan. Apakah gunanya alat-alat perlengkapan perang tersebut? Namanya jelas menunjukkan bahwa mereka digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan keselamatan. Mereka mengingatkan kita akan perisai Allah di Efesus 6, yang harus kita kenakan. Satu aspek penting dari menjadi serupa dengan Kristus adalah memenuhi misi yang sudah digenapi oleh Yesus sendiri; jadi kita juga harus mengenakan baju zirah kebenaran dan ketopong keselamatan. Misi Kristus adalah membawa keselamatan: untuk menyelamatkan manusia dari dosa mereka. Kita juga harus memerangi dosa, dan membawa orang pada kebenaran.

Kita tidak sekadar membawa orang kepada suatu “kepercayaan” dalam Yesus, tetapi kepada suatu iman yang menyelamatkan yang mengakibatkan mereka dipindahkan dari kegelapan ke dalam terang, dari ketidakbenaran kepada kebenaran, supaya mereka menjadi manusia baru di dalam Kristus.

“Orang-orang yang bijaksana akan bersinar seperti cahaya cakrawala. Mereka mengajar dan menuntun banyak orang kepada kebenaran, seperti bintang-bintang untuk selama-lamanya.” (Dan 12:3).

Orang bijaksana adalah ia yang memenangkan jiwa dan membawa orang pada kebenaran, bukan sekadar menambah anggota gereja atau pada kepercayaan yang kabur dalam Yesus. Setiap orang yang belum berpaling dari kegelapan kepada terang belum diselamatkan tanpa memandang “kepercayaan”-nya dalam Yesus.

Keselamatan dimulai dari kelahiran kembali, dan kelahiran kembali mengakibatkan transformasi dan pembaruan hidup. Apakah kita menjajakan keselamatan murahan dan Injil yang diencerkan? Injil yang biblika adalah Injil yang membawa kita masuk sepenuhnya ke dalam hidup baru di dalam Kristus dan dengan demikian menjadikan kita manusia baru oleh kuasa penyelamatan Allah.

Saudara–saudaraku, apakah kita hendak berdiri di celah? Jika demikian, Yesaya 58:12 memberi kita visi,

“Kamu akan membangun kembali reruntuhan yang sudah berabad-abad, dan akan membangun fondasi-fondasi banyak keturunan. Kamu akan disebut, “Yang memperbaiki tembok yang berlubang, yang membetulkan jalan-jalan untuk ditinggali.””

Akankah Allah menemukan seorang di dalam gereja yang akan berdiri di celah sekarang ini? Atau Ia akan “tertegun” karena tidak ada yang mau membela, atau berdiri di celah, dan membangun kembali tembok keselamatan?

Di sini “yang memperbaiki tembok yang berlubang” disebutkan dalam konteks “kebenaran” dan “kelaliman” (ay.2,4,6,8,9). Orang yang memperbaiki tembok adalah orang yang hidup dalam kebenaran dan yang membawa orang lain pada kebenaran.

Justru itulah yang dilakukan oleh Yesus. Yesus adalah “Yang berdiri di celah” yang terunggul. Di atas kayu salib, ia merentangkan tangannya untuk menutup celah, memperbaiki lobang, dan memperdamaikan kita dengan Allah. Ia menyerahkan nyawanya bagi kita; dan kita, dalam menanggapi teladan dan panggilannya, memikul salib kita dan mengikuti jejaknya. Dia sendiri adalah Tukang Utama perbaikan ini. Jadi sekarang ini, dalam generasi ini, melalui Roh-Nya yang diam dalam kita, kita mengikuti jejaknya untuk menjadi seperti dia.

Akankah Anda menanggapi panggilan untuk mengikuti jejaknya? Kita dipanggil “bukan hanya untuk percaya tetapi juga untuk menderita demi dia (Flp 1:29), “yang mengasihi kita dan telah menyerahkan nyawanya untuk kita” (Ef 5:2; bdk Gal 2:20). 1 Yohanes 3:16 menyatakan dengan singkat dan padat,

“Yesus Kristus telah menyerahkan hidupnya untuk kita. Jadi, kita juga harus menyerahkan hidup kita untuk saudara-saudara kita.”

Mari kita meraih visi perbaikan tembok keselamatan, sehingga gereja dapat dipulihkan pada kemuliaan, dan ujung–ujung bumi dapat melihat keselamatan Allah.

Berikan Komentar Anda: