Pastor Eric Chang | Manusia Baru (10b) |
Sekarang kita memiliki gambaran yang lebih jelas tentang “pekerjaan-pekerjaan” penyelamatan yang dikerjakan oleh Yesus di dunia. Dapatkah kita menggambarkan pelayanan Kristus dengan cara yang sesederhana mungkin sehingga dapat dipahami bahkan oleh anak kecil?
Perjanjian Lama menyediakan kepada kita suatu gambaran yang hidup: Tentang kota Yerusalem yang tidak memiliki pertahanan karena ambruknya tembok kota tersebut. Di dalam situasi terdesak seperti itu, muncul orang–orang pemberani dan rela berkorban datang berdiri di celah tembok untuk memperbaikinya. Secara historis, memang itulah yang terjadi dan dilakukan oleh Nehemia. Oleh karena itu, Nehemia menjadi gambaran atau lukisan dari Kristus. Jika dilihat dari sisi ini, kitab Nehemia tentunya tidak lagi sebatas kitab catatan penggalan periode sejarah tertentu yang tidak memiliki keistimewaan, sebab kitab ini menjelaskan apa artinya “berdiri di celah”.
Dosa memisahkan kita dari Allah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Yesaya,
“Akan tetapi, kejahatan-kejahatanmulah yang memisahkan antara kamu dan Allahmu, dan dosa-dosamulah yang membuat Ia menyembunyikan wajah-Nya darimu sehingga Ia tidak mendengar.” (Yes 59:2)
Dosa membuka celah yang lebar antara Allah dan kita. Siapa yang dapat memperbaiki celah ini? Siapa yang dapat berdiri di antara Allah dan manusia? Siapa yang dapat menjadi pengantara (atau mediator) antara Allah dengan manusia?
Nabi-nabi dan imam-imam adalah para mediator. Para nabi menyampaikan pesan Allah kepada manusia; para imam menyampaikan persembahan atas pihak manusia kepada Allah. Sebagai contoh, Musa berperan sebagai nabi, dan Harun sebagai imam. Bersama–sama mereka memenuhi peran esensial sebagai penengah antara Allah dan manusia, karena yang satu (nabi) berbicara bagi Allah dan satunya lagi (imam) mewakili manusia, masing–masing mewakili satu pihak. Namun, Musa juga tak jarang mengerjakan pelayanan keimaman karena ia sering bersyafaat bagi rakyatnya.
Bagaimana Yesus menambal celah itu? Manusia secara fatal terjepit di antara dua keadaan yang sangat sulit: Di satu sisi, manusia terpisah dari Allah dan tidak mengenal Dia, dan di sisi yang lain, telah jatuh ke dalam perhambaan di bawah kesalahan dan kuasa dosa. Kegelapan dari ketidaktahuan rohani dan kegelapan dari ikatan dosa, yang mengakibatkan kematian, harus ditangani. Yesus menangani kutuk dari ketidaktahuan manusia akan hal-hal rohani melalui kehidupan dan ajarannya, dan menangani kejahatan dosa melalui kematian dan kebangkitannya.
Salib berdiri sebagai titik pusat pengantaraan Kristus: ajarannya menunjuk ke situ, dan kebangkitannya membenarkannya. Di atas kayu salib, dengan tangan terentang, ia mendamaikan Allah dan manusia, manusia dengan manusia, dan sesungguhnya segala sesuatu baik yang berada di bumi maupun di surga (Kol 1:20).
Yesus yang mulia ini adalah Mediator yang sempurna. Mediator-mediator yang lain merupakan tipe-tipe yang membayangkan dia. Yesus yang ini juga ialah Tuan kita yang memanggil kita menjadi murid-muridnya untuk mengikuti jejak langkahnya, dan membawa keselamatan Allah sampai ke ujung bumi.
‘Berdiri di Celah’ di Perjanjian Lama
Untuk dapat lebih memahami bagaimana pelayanan keselamatan dapat digambarkan dengan berdiri di celah, mari kita lihat sebuah gambaran dari Perjanjian Lama yang terdapat di Yehezkiel 22:30. Di sini TUHAN berbicara kepada nabi besar Yehezkiel,
“Aku mencari seseorang di antara mereka yang akan membangun tembok dan berdiri di celah di hadapan-Ku demi negeri itu, sehingga Aku tidak perlu menghancurkannya, tetapi Aku tidak menemukan seorang pun.”
Ayat ini sangatlah penting bagi saya (saya harap demikian juga bagi Anda) karena ia mengungkapkan kerinduan Allah yang mendalam. Allah seolah-olah membuka hati-Nya kepada kita dan berkata, “Lihat isi hati-Ku. Rasakanlah apa yang Kurasakan, dan pahamilah pikiran-Ku; karena Aku tidak menginginkan rakyat ini binasa bersama dosa-dosanya.” Untuk mendapatkan latar belakangnya, mari kita baca ayat 28 dan 29:
“Nabi-nabinya telah memoleskan batu kapur bagi mereka, dengan melihat penglihatan-penglihatan palsu dan ramalan-ramalan bohong kepada mereka dengan berkata, ‘Beginilah firman Tuhan YAHWEH,’ padahal YAHWEH tidak berfirman. Rakyat negeri itu telah mempraktikkan penindasan dan melakukan perampokan. Mereka telah menindas orang-orang miskin dan tidak mampu, serta menindas orang asing dengan tidak adil.”
Allah mencari di seluruh tanah Israel yang digerogoti oleh dosa dan pemberontakan, hanya untuk mendapatkan satu orang saja. Ia berkata, “Aku mencari di tengah–tengah mereka seorang…”, tetapi Allah tidak dapat menemukan seorang pun di Israel untuk melakukan pekerjaan-Nya.
“Karena itu, Aku telah mencurahkan kegeraman-Ku ke atas mereka dan melahap mereka dengan api murka-Ku. Aku telah membalaskan jalan mereka ke atas kepala mereka,” firman Tuhan YAHWEH. (ay.31)
Dapatkah Anda merasakan isi hati Allah dalam nas tersebut? Dapatkah Anda, seolah-olah, meletakkan tangan Anda dan merasakan denyut nadi Allah? Israel—umat yang dikeluarkan Allah dari Mesir dengan tangan kuat-Nya, umat yang dipimpin-Nya masuk ke tanah perjanjian yang penuh dengan susu dan madu, umat yang dibentuk-Nya menjadi sebuah bangsa, umat yang dikirim-Nya nabi–nabi-Nya, umat yang dipilih untuk menjalin suatu hubungan yang khusus—umat yang sama ini telah berpaling kepada dosa dan korupsi, melakukan penindasan dan pemerasan. Inilah keadaan menyedihkan dari Israel, masyarakat yang ditebus Allah dan dipanggil Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya di dunia.
Allah terpaksa mengacungkan pedang penghakiman-Nya. Namun, kita juga merasakan adanya kepedihan di dalam hati-Nya. Ia tidak ingin menghancurkan Israel. Ia mencari cukup satu orang saja yang mau berdiri di celah supaya Ia tidak perlu menghancurkan negeri dan rakyat-Nya. Akan tetapi, ternyata tidak ada. Akibatnya, murka Allah atas dosa memaksa-Nya untuk menjatuhkan penghakiman. Ia terpaksa “membinasakan umat-Nya dengan api kemurkaan-Nya” karena mereka tidak memberi-Nya pilihan lain.
Lubang pada Tembok yang Runtuh
Mari kita coba untuk memahami gambaran tentang orang yang berdiri di celah. Celah adalah lubang besar di tembok kota.
Mengapa tembok kota runtuh? Salah satu penyebabnya adalah kegagalan dalam memeliharanya. Tembok, seperti bangunan, memerlukan pemeliharaan yang terus menerus. Tanpa pemeliharaan yang memadai, mereka akan runtuh.
Penyebab yang lain adalah tembok kota itu kadang diruntuhkan dalam peperangan. Pada zaman dulu, musuh menggempur tembok kota dengan balok penggempur benteng yang besar. Peralatan ini terdiri dari satu batang pohon yang besar yang ujungnya dilengkapi dengan kepala domba logam bersama kedua tanduknya. Batang ini tergantung pada tali yang kuat dan dapat berayun maju–mundur dengan kekuatan yang besar.
Untuk menyerang suatu kota, pasukan membawa alat ini di atas kereta. Mereka akan mendorongnya untuk menghantam tembok kota, dan memanfaatkan ayunan baliknya dengan suatu dorongan agar alat ini dapat menghantam tembok kota terus menerus. Kepala logam di ujung batang akan membobol tembok kota musuh. Alat pendobrak ini pelan–pelan akan membuat lubang pada tembok kota atau menghancurkan satu bagian tembok kota. Sementara itu, pihak yang bertahan akan menembakkan panah dan melemparkan batu, atau apa saja yang ada, ke arah pendobrak dari atas tembok. Namun, sangat sulit untuk menghadang gerakan musuh karena adanya atap yang besar di atas alat pendobrak itu.
Jika Anda membaca catatan–catatan perang zaman kuno, Anda akan mendapatkan bahwa suara benturan balok penggempur itu ke tembok kota amat menakutkan penduduk kota. Bayangkan kota Anda sedang dikepung oleh musuh, dan Anda mendengar suara gempuran alat tersebut pada tembok kota Anda. Bum! Bum! Setiap benturan membuat Anda takut, Anda menggigit–gigit kuku, mencemaskan berapa lama lagi tembok kota Anda dapat bertahan. Demikianlah, penduduk dalam kota berdebar–debar jantungnya di dalam kota menunggu saat penentuan nasib mereka. Ketika saat itu akhirnya tiba, serdadu musuh akan membanjiri kota melalui lubang tersebut. Itu berarti berakhirnya riwayat sebuah kota, atau bahkan suatu bangsa. Menyedihkan sekali, hal semacam ini sangat sering terjadi.
Dapatkah Anda melihat gambarannya? Tembok Yerusalem sudah berlubang, dan kota itu nyaris tanpa pertahanan. Tembok kota adalah garis pertahanan yang utama dan jika itu runtuh, tidak ada lagi keamanan dan keselamatan. Musuh akan membanjiri kota, membawa kematian dan kehancuran.
Mereka yang pernah mengunjungi Masada di Israel akan mengetahui tragedi yang terjadi di situ sekitar sembilan belas abad yang lalu. Orang-orang Yahudi mengira bahwa mereka sudah aman dalam lindungan benteng karang yang tinggi di Masada. Namun, serdadu-serdadu Roma membangun sebuah alat pendobrak di atas gunung itu dan mendorongnya sampai tembok kota itu. Tak lama kemudian, mereka yang mempertahankan Masada mengalami rasa muak di perut setiap kali mereka mendengar suara benturan alat pendobrak tersebut. Bum! Bum! Setiap benturan mengingatkan mereka pada kenyataan pahit akan kematian yang sudah dekat.
Apa yang dilakukan oleh pasukan yang bertahan di Masada? Mereka membangun tembok kedua di belakang tembok yang sedang digempur. Jika tembok pertama runtuh, mereka masih memiliki garis pertahanan yang lain. Namun, itu tetap tidak dapat menghentikan pasukan Roma. Tembok kedua ini mereka runtuhkan juga. Apa yang dilakukan oleh penduduk di Masada? Mereka bunuh diri. Ketika saya merenungkan peristiwa yang bersejarah ini, firman Tuhan melalui nabi–nabi-Nya berkumandang di telinga saya, “Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel?” (Yeh 18:31; 33:11).
Di Yehezkiel 22:30, kita baca bahwa Allah mencari seluruh Israel untuk menemukan seorang yang mau memperbaiki tembok Yerusalem, dan yang mau berdiri di hadapan-Nya di celah tersebut demi bangsa Israel agar Ia tidak harus membinasakannya, tetapi Ia tidak dapat menemukan seorang pun!
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi, mari kita mundur sedikit ke Yesaya 5, yang menggambarkan bagaimana Allah membangun sebuah bangsa: Allah memiliki kebun anggur (bangsa Israel) di lereng bukit yang subur. Ia mencangkul dan membuang batu–batu dan menanam dengan pokok-pokok anggur pilihan. Ia mendirikan menara penjagaan untuk melindungi kebun itu, dan menggali lobang tempat memeras anggur. Hasil akhirnya ternyata sangatlah tragis. Bangsa Israel melakukan perbuatan dosa yang parah sehingga Allah berkata kepada mereka
“Dan sekarang, “Oh penghuni Yerusalem dan orang-orang Yehuda, hakimilah aku dan kebun anggurku. Apalagi yang harus dilakukan untuk kebun anggurku, yang belum aku lakukan? Mengapa saat aku berharap kebun itu menghasilkan buah anggur yang baik, justru menghasilkan buah anggur yang asam?” (Yes 5:3-4)
Kebun anggur itu menghasilkan buah anggur yang asam dan bukannya buah yang baik. Israel adalah bangsa yang tidak berbuah sehingga Allah Israel yang Mahakudus harus menghakimi umat-Nya sendiri:
“Jadi sekarang, aku akan memberitahumu apa yang akan kuperbuat terhadap kebun anggurku: aku akan membuang pagarnya dan kebun itu akan dilahap; aku akan meruntuhkan temboknya dan kebun itu akan menjadi tanah yang diinjak-injak. Aku akan membiarkan kebun itu tandus, kebun itu takkan dipangkas dan didangir lagi, semak dan duri akan tumbuh di sana. Aku juga akan memerintahkan awan supaya tidak menurunkan hujan ke atasnya.”” (Yes 5:5-6).
Allah akan menghakimi para pendosa, apakah mereka termasuk umat-Nya atau tidak, apakah dia orang percaya atau tidak percaya. Ini adalah kebenaran yang tak terelakkan. Sebagaimana yang sudah tertulis.
“Sudah saatnya penghakiman dimulai dari keluarga Allah. Dan, jika penghakiman Allah dimulai dari kita, bagaimanakah nasib orang-orang yang tidak taat kepada Injil Allah? Jika orang saleh saja sulit untuk diselamatkan, bagaimana dengan orang jahat dan orang berdosa?” (1Pet 4:17-18).
Gereja, Kemuliaan Kristus?
Kita baru saja membahas tentang penghakiman Allah atas “Yerusalem Keemasan”, sebagaimana kadang kala Yerusalem dipanggil, terutama dalam lagu–lagu. Nama yang sangat indah ini diilhami oleh pantulan keemasan dari sinar matahari yang mengenai tembok-tembok Yerusalem.
Mazmur menyanyikan Yerusalem sebagai tempat di mana Allah, yang adalah Terang, berdiam (Mzm 43:3; 102:6). Israel memiliki terang Allah. Yesaya menyebut Allah sebagai “Terang Israel” (Yes 10:17). Itu sebabnya mengapa Israel diperintahkan untuk menjadi terang bagi bangsa–bangsa, dan mengapa bangsa–bangsa akan datang kepada terangnya. Karena, seperti yang ditulis oleh nabi Yesaya,
“Akan tetapi, YAHWEH akan terbit atasmu dan kemuliaan-Nya akan terlihat atasmu. Bangsa-bangsa akan datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada kecerahan yang terbitmu.” (Yes 60:2,3).
Kemuliaan-Nya adalah terang mereka. Jadi, terang dari gunung Sion, kota Allah yang terletak di atas bukit dan yang tak dapat disembunyikan, akan nampak bagi seluruh dunia dan menarik bangsa–bangsa.
Yesus menerapkan gambaran ini pada murid–muridnya karena mereka dimaksudkan untuk menjadi terang dunia, Yerusalem rohani yang tak dapat disembunyikan (Mat 5:14). Umat Allah adalah Yerusalem baru yang mencerminkan kemuliaan-Nya. Yerusalem ialah penggambaran dari gereja (Ibr 12:22,23; Gal 4:25,26).
Kitab Suci mengatakan kepada kita alasan mengapa “Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan dirinya baginya”, yaitu
“untuk menguduskannya, sesudah ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian ia menempatkan jemaat di hadapan dirinya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.” (Ef 5:25-27).
Jemaat yang cemerlang! Melihat kondisi kerohanian sebagian besar gereja sekarang, kita menyimpulkan bahwa hal tersebut pastinya merupakan sesuatu yang hanya akan terjadi pada zaman akan datang. Namun, apakah tidak ada rasa pendahuluan pada masa sekarang? Lalu, bagaimana dengan, “untuk menguduskannya”? Apakah itu juga terjadi pada masa akan datang, walaupun kalimat yang berikutnya berkaitan dengan sesuatu yang sudah terjadi, “sesudah ia menyucikannya”? Jadi gereja sudah disucikan, tetapi tidak akan dikuduskan sehingga zaman akan datang? Ada masa lalu dan akan datang, tetapi tidak ada masa sekarang? Apakah kekudusan atau pengudusan (keduanya berasal dari satu kata yang sama dalam bahasa Yunani) semata-mata suatu status, yang tidak berhubungan dengan kenyataan hidup atau perilaku sehari–hari?
Tentu saja, pemenuhan yang sempurna dari pernyataan tersebut akan terjadi pada zaman akan datang; hanya di sana kita akan sama sekali tanpa satu pun “cacat atau kerut”. Akan tetapi, apakah itu berarti bahwa pernyataan tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan gereja di bumi pada masa sekarang ini? Apakah gereja tidak memiliki kemuliaan rohani yang dapat dilihat selama di bumi? Itukah ajaran Kitab Suci?
Di Mana ada Terang, di Situ ada Kemuliaan
Kemuliaan dan terang berkaitan erat dalam Alkitab. Tidak ada kemuliaan, berarti tidak ada terang; demikian pula sebaliknya. Jika gereja tidak memiliki kemuliaan, gereja tidak memiliki terang. Apa yang dikatakan Paulus tentang orang percaya yang sejati?
“Dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang dalam Tuhan. Hiduplah sebagai anak-anak terang” (Ef 5:8).
Perhatikan dengan saksama apa yang dikatakan oleh sang rasul. Ia tidak hanya berkata, “dahulunya kamu dalam kegelapan”, tetapi “kamu adalah kegelapan”; ia juga tidak berkata, “sekarang kamu dalam terang”, tetapi “sekarang kamu adalah terang”! Sang rasul juga tidak berkata bahwa kita mempunyai terang di dalam Tuhan, tetapi kita adalah terang dalam Dia.
Betapa dinamisnya pemahaman Paulus tentang Injil! Betapa lemahnya pemahaman kita dibandingkan dengan Paulus! Tidak heranlah orang-orang Kristen seringkali mempunyai kesulitan yang besar memahami apa yang dikatakan oleh sang rasul di dalam surat-suratnya. Namun, apa yang dituliskan oleh sang rasul sebenarnya persis sama dengan apa yang Yesus sendiri katakan ketika ia dengan tegas dan jelas menyatakan, “Kamu adalah terang dunia.” (Mat 5:14).
Kita adalah terang hanya karena dia, yang adalah terang dunia (Yoh 8:12), diam di dalam kita. Jika ia yang adalah terang diam di dalam kita, bagaimana mungkin kita tidak menjadi terang? Jika ia yang adalah hidup tinggal di dalam kita, bagaimana mungkin hidupnya tidak terlihat melalui kita? Jika hidup dan terangnya terlihat dalam hidup kita, bukankah kita sudah mewujudkan kemuliaannya sampai tingkat tertentu?
Namun, lihatlah gereja sekarang. Dapatkah kita berkata sejujurnya bahwa gereja berfungsi sebagai terang dunia? Apakah gereja sesungguhnya mencerminkan kemuliaan Kristus? Bukankah kenyataan yang sebaliknya yang benar, bahwa reputasi banyak gereja sudah begitu buruk sehingga sulit untuk mendapatkan orang yang berpikiran jernih yang mau menginjak kaki di gereja? Apakah gereja mencerminkan kemuliaan Kristus hari ini? Tidakkah hati kita merasa sakit melihat keadaan begitu banyak orang Kristen saat ini?
Paulus pada zamannya dapat berbicara tanpa merasa malu bahwa gereja adalah kemuliaan Kristus, walaupun ia belum mencapai kesempurnaan penuh. Dapatkah kita mengucapkan hal yang sama sekarang? Di Efesus 3.21 Paulus berkata, “Bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus Yesus”—dalam urutan seperti itu! Paulus dengan demikian menunjukkan bahwa kemuliaan Allah diwujudkan pada masa kini melalui jemaat, yang berada “dalam Yesus Kristus”. Yesus pada masa kini dimanifestasikan kepada dunia melalui gereja, yang merupakan satu alasan utama mengapa gereja disebut “tubuhnya”. Jika kemuliaan Allah harus diperlihatkan di bumi pada masa kini, bagaimana hal ini dapat terjadi jika bukan melalui gereja-Nya?
Akan tetapi, dapatkah kita sekarang ini berbicara tentang gereja dengan bahasa pujian seperti yang dilakukan oleh Paulus tanpa harus merasa malu? Bukankah kita sekarang ini diam–diam sudah menghindari ayat-ayat tersebut karena kita tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dengannya?
Israel juga pada suatu ketika menunjukkan kemuliaan Allah. Pada zaman Daud, reputasi kemuliaan Israel menyebar jauh dan lebar. Pada masa pemerintahan Salomo, ratu Syeba menempuh perjalanan panjang membawa persembahan besar untuk mendengarkan hikmat Salomo dan untuk melihat kemuliaan negerinya. Sebelumnya ia mengira bahwa kemuliaan Israel terlalu dibesar–besarkan, tetapi ketika ia sampai di sana, ia mendapati bahwa laporan yang diterimanya justru baru menceritakan setengah dari kemuliaan yang sesungguhnya (1Raj 10:7). Namun, sayangnya, kemuliaan itu berumur pendek. Di dalam Kristus, gereja memiliki dia yang lebih besar dari Salomo (Mat 12:42; Luk 11:31), tetapi apakah kemuliaannya itu terlihat di dalam umat Allah? Akankah orang-orang datang dari jauh untuk mencari dia, yang lebih besar dari Salomo, di dalam gereja?
Dua ribu tahun memisahkan kita dari Paulus. Pada zamannya, Paulus dapat berbicara dengan penuh sukacita tentang Allah yang dipermuliakan melalui jemaat, walaupun masih belum mencapai kesempurnaan yang penuh. Meskipun mempunyai pelbagai kesalahan dan kekurangan, Paulus dapat berkata tanpa rasa malu bahwa gereja membawa kemuliaan kepada Kristus. Dapatkah kita melakukan hal yang sama sekarang?
Tembok-tembok sudah mengalami keruntuhan di banyak tempat. Lubang-lubang besar menganga untuk dilihat semua orang. Kota yang terletak di atas bukit ini hampir tidak dapat dikatakan “mulia”. Sebagai kota yang tak mungkin tersembunyi, demikian pula semua kegagalannya tak dapat disembunyikan. Akibatnya, bagi masyarakat sekuler di Barat, orang–orang yang masih menoleransi gereja ke tingkat tertentu (daripada dengan cemoohan dan ejekan), mungkin menganggapnya sebagai suatu warisan budaya yang menarik walaupun tidak memiliki banyak relevansi dengan dunia modern. Oleh karena itu, pilihan yang dihadapi umat Allah adalah jelas: Apakah kita akan menjadi terang dunia sebagaimana yang dimaksudkan Tuhan, atau dunia akan menyerahkan kita kepada ketidakrelevanan—dan, lebih buruk lagi, Allah akan menyerahkan kita kepada penghakiman.
Allah Mencari Seorang yang Hendak Berdiri di Celah
Sekarang kita dapat memahami sentimen Allah di Yehezkiel 22:30. Dapatkah kita merasakan kekecewaan Allah yang menusuk ketika Ia berkata, “Aku mencari di tengah–tengah mereka seorang yang hendak berdiri di celah dan memperbaiki tembok, tetapi Aku tidak menemuinya”?
Allah mencari di seluruh gereja-Nya di dunia sekarang ini, tetapi apakah Ia akan menemukan seorang yang berdiri di celah sebelum jemaat non-Yahudi dipotong? Apa yang saya ucapkan barusan? Ya, sebelum jemaat non-Yahudi (yang merupakan mayoritas besar dari gereja) dipotong! Kedengarannya mengerikan. Namun, tidak ingatkah kita apa yang dikatakan Paulus di Roma 11:21-22 :
“sebab jika Allah tidak menyayangkan cabang-cabang asli, Ia juga tidak akan menyayangkan kamu. Oleh karena itu, perhatikanlah kebaikan dan kekerasan Allah; kekerasan kepada mereka yang telah jatuh, tetapi kebaikan-Nya kepada kamu jika kamu tetap tinggal di dalam kebaikan-Nya. Jika tidak, kamu juga akan dipotong.”
Paulus berbicara kepada gereja. Bangsa Yahudi sudah dipotong; tembok rohani mereka sudah roboh; mereka sudah dikalahkan. Demikian pula, jika kita orang Kristen gagal untuk bertahan di dalam kemurahan Allah, kita juga akan dipotong. Sang Rasul memperingatkan kita semua: Jangan memandang ringan anugerah dan kemurahan Allah, karena jika Anda berbuat demikian, “kamu juga akan dipotong”.
Kita harus menerima peringatan dari kata-kata tersebut dan melihat dari kondisi gereja pada masa kini bahwa hari–hari gereja sudah terhitung, dan hari–hari bangsa non-Yahudi (hari–hari kita) sudah nyaris mencapai titik akhirnya. Tembok–tembok kota kemuliaan sudah berlubang di banyak tempat, dan Allah mencari seorang yang hendak berdiri di celah. Namun, sayangnya, sama seperti Allah tidak dapat menemukan seorang di Israel untuk mencegah kehancuran Israel, hari–hari ini Ia juga tentunya mengalami kesulitan yang sama untuk mencari orang (atau orang-orang?) yang tepat saat ini.
Saya teringat akan kata–kata Paulus yang sangat menusuk di Filipi 2:20-21,
“Sebab, aku tidak memiliki orang lain seperti dia, yang dengan tulus memedulikan kesejahteraanmu. Sebab, yang lain hanya sibuk memedulikan kepentingannya sendiri, bukan kepentingan Kristus Yesus.”
Paulus tidak dapat menemukan seorang pun selain Timotius yang menempatkan kepentingan Kristus di atas segalanya. Teman-teman sekerjanya yang lain terlalu sibuk dengan kepentingan mereka sendiri—bahkan pada masa gereja awal!
Mari kita berterus terang saja. Haruskah kita meminta mereka yang mengaku bahwa mereka hidup sepenuhnya demi kemuliaan Allah tanpa memikirkan kepentingan diri untuk mengangkat tangan? Saya tentu saja tidak ingin menempatkan Anda pada posisi yang memalukan, karena saya takut kalau–kalau ternyata sedikit sekali orang yang dapat dengan jujur mengangkat tangannya apabila pertanyaan ini diajukan. Bahkan Paulus hanya menemukan satu orang saja saat itu, Timotius, yang tidak mendahulukan kepentingan pribadinya.
Syukur kepada Allah karena adanya seorang seperti Timotius. Dan juga para rasul seperti Petrus, Yohanes dan Paulus, dan lainnya. Kalau tidak, apa yang akan terjadi dengan gereja?
(1) Berdiri di Celah: Musa sebagai Model
Sejarah Israel merupakan sejarah orang–orang yang berdiri di celah. Jika tidak ada orang yang berdiri di celah, Israel tidak akan dapat bertahan sekian lama. Ia akan lenyap sejak dulu kala bahkan mungkin lama sebelum dihancurkan oleh Babilonia di bawah Nebukadnezar tahun 587 SM. Israel dapat bertahan sekian lama karena dalam setiap generasi ada orang yang berdiri di celah. Namun pada akhirnya, tidak ada lagi orang yang berdiri di celah dan kehancuran melanda Israel.
Musa ialah salah seorang yang berdiri di celah. Mazmur 106:23 berkata,
“Karena itu, Ia mengatakan bahwa Ia akan menghancurkan mereka, kalau tidak Musa, orang pilihan-Nya, berdiri [di celah] di hadapan-Nya agar membatalkan murka-Nya, untuk menghancurkan mereka.” [harfiah.]
Jika Musa tidak berdiri di celah dan menyurutkan amarah Allah, sejarah Israel akan berakhir di sana. “Temboknya” sudah runtuh di padang gurun karena ketidaksetiaan bangsa Israel. Musa berdiri di celah dan menyurutkan kemarahan Allah, memohon pada-Nya untuk tidak memusnahkan Israel (Kel 32:9-14), lebih memilih untuk terhapus namanya dari buku kehidupan demi keselamatan bangsanya (ay.32).
Pada dasarnya Musa berkata seperti ini, “Tuhan, jika Engkau akan memusnahkan Israel, ingatlah bahwa Engkau telah memilih saya untuk memimpin bangsa Israel. Saya mengakui kesalahan dan kegagalan saya dalam memimpin umat-Mu pada kebenaran.” Musa tidak sedang merendah; ia merasa bertanggungjawab atas kegagalan bangsa Israel. Itu sebabnya ia berkata, “Hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis” (Kel 32:32), walaupun Allah tidak menyalahkannya. Allah saat itu hendak memusnahkan Israel dan Ia bahkan berkata kepada Musa, “Tetapi engkau akan Kubuat menjadi bangsa yang besar.” (ay.10). Namun jawab Musa, “Engkau menjadikan saya pemimpin atas bangsa ini. Saya tidak ingin menjadi suatu bangsa yang besar terpisah dari mereka. Jika Engkau ingin memusnahkan bangsa ini, baiklah Engkau musnahkan saya sekalian.”
Barangkali Allah akan meluputkan gereja jika kita memiliki jiwa dan sikap seperti Musa dan berkata, “Tuhan, jika Engkau ingin memotong gereja, tidak usah mengecualikan saya. Saya sudah gagal menjalankan tugas dan kewajiban saya. Saya telah gagal membangun tembok kebenaran.”
Dunia tidak akan berbalik kepada Allah sampai gereja kembali menjadi terang dunia. Kita tak dapat memenuhi tugas kita di generasi ini sampai gereja dapat menjadi apa yang Tuhan kehendaki seharusnya. Atas alasan ini, kita harus mau berdiri di celah dan membangun tembok keselamatan. Supaya apa yang telah tertulis dapat digenapi,
“Kamu akan menyebut tembok-tembokmu ‘Keselamatan’ dan pintu-pintu gerbangmu ‘Pujian.’” (Yes 60:18).
(2) Dosa Meruntuhkan Tembok
Dosa meruntuhkan tembok. Hal ini dapat kita lihat di Yesaya 30:13, ayat yang sangat mengejutkan dan menyakitkan. Ayat 9-11 menyediakan latar belakangnya:
9 Sebab, mereka adalah bangsa yang membangkang, anak-anak yang suka berdusta, anak-anak yang tidak mau mendengarkan perintah YAHWEH, 10 yang berkata kepada para pelihat, “Jangan melihat,” dan kepada para nabi, “Jangan bernubuat atas kami tentang apa yang benar, katakan kepada kami hal-hal yang menyenangkan dan nubuat yang menipu.” 11 Menyingkirlah dari jalan, minggirlah dari jalan ini. Biarkan kami tidak mendengar lagi tentang Yang Mahakudus dari Israel.” (Yesaya 30)
Sekali lagi nabi Allah menegur Israel. Keadaan Israel yang memprihatinkan mengingatkan kita kepada pernyataan Paulus bahwa saatnya akan tiba (bukankah sekarang sudah tiba?) di mana orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru–guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya (2Tim 4:3). Israel juga hanya menghendaki “kata–kata yang menyenangkan,” dan menyuruh nabi-nabi untuk “melihat hal–hal yang semu”. Orang tidak mau lagi mendengar perintah Allah, bahkan tentang Yang Mahakudus, Allah Israel! Nabi–nabi palsu memimpin mereka menjauh dari jalan kebenaran.
Di ayat yang ke-13 dan 14, Allah melanjutkan melalui Yesaya:
“Maka bagimu, kejahatan ini akan seperti retakan tembok yang hampir jatuh, yang menyembul pada tembok yang tinggi, dan akan runtuh tiba-tiba dalam sekejap. Kehancurannya akan seperti tempayan tukang periuk, yang dihancurkan tanpa disayangkan sehingga di antara pecahan-pecahannya, tidak satu pecahan pun yang ditemukan, yang dapat digunakan untuk mengambil api dari perapian atau mencedok air dari sebuah waduk.””
Di sini disebutkan tentang tembok yang tinggi yang dihancurkan sedemikian rupa sehingga Anda tidak dapat menemukan sekeping pun pecahannya yang dapat dipakai untuk mengambil arang dari tungku api atau untuk mencedok air dari dalam bak. Mari kita pahami gambaran ini: Dosalah yang menghancurkan temboknya. Hal ini berlaku pada tingkat nasional dan juga pada tingkat individu. Dosa kitalah yang menyebabkan tembok keselamatan kita berlubang, dan akhirnya runtuh jika tidak diperbaiki—jika tidak bertobat.
(3) Persyaratan Penting bagi yang Berdiri di Celah
Amsal 25:28 berkata,
“Orang yang tidak bisa mengendalikan diri, seperti kota yang roboh temboknya.”
Sebuah kota tidak dapat dipersalahkan karena kondisinya yang rusak dan rawan diserang, tetapi manusia dapat dipersalahkan untuk kondisinya sendiri. Di ayat ini, manusia yang tak dapat mengendalikan diri dibandingkan dengan kota yang tidak punya pertahanan karena temboknya yang sudah roboh.
Dosa mengakibatkan celah, dan setelah celah terbentuk, jalannya sudah terbuka untuk dimasuki lebih banyak dosa. Ini menyebabkan lebih banyak celah terbentuk di tembok dan dengan demikian bermulalah pelanggaran demi perlanggaran yang akan berakhir dalam bencana.
Seseorang yang tidak dapat mengendalikan dirinya akan terus menerus jatuh ke dalam dosa. Ia melihat wanita cantik lalu berahi terhadap wanita itu; melihat mobil bagus lalu menginginkannya; melihat uang atau kedudukan lalu bergegas merengkuhnya. Semua godaan menjerat dia. Ia membuka dirinya terhadap dosa, seperti kota yang temboknya sudah roboh; ia tidak ada pertahanan melawan musuh-musuh manusia yang mematikan (dosa, daging, dan Iblis) yang menerpa melewati celah-celah di tembok untuk membinasakannya.
Mengapa pengendalian diri begitu penting bagi kehidupan rohani? Dari ayat Amsal yang baru dikutip, kita dapat melihat pesan penting yang disampaikannya: Ia yang memiliki pengendalian diri adalah seperti kota yang temboknya utuh dan kuat. Perlindungan dari tembok itu menjauhkannya dari musuh-musuhnya dan mereka tidak dapat mencelakakannya. Dari basis yang aman ini, ia dapat maju untuk memperoleh kemenangan bagi Tuhan.
Apa itu pengendalian diri? Adalah penting untuk memahami bahwa “pengendalian diri” dalam manusia baru tidaklah sama dengan apa yang kita pahami sebagai non-Kristen. Alasannya adalah karena, sebagai ciptaan baru dalam Kristus, kita telah masuk ke dalam hidup yang berpusatkan-Kristus (berbeda dari hidup yang berpusatkan-diri). Ini berarti bahwa “pengendalian diri” sekarang berarti “pengendalian Kristus”, yakni hidup secara konstan di bawah otoritasnya.
Namun, pengendalian-Kristus tidak berarti Ia mengubah kita menjadi robot yang dimanipulasi oleh dia, tetapi melalui Roh Allah yang tinggal di dalam kita, Ia memberikan kita kekuatan untuk mengendali diri kita oleh kuasa anugerah-Nya. Yesus menghendaki murid-muridnya menjadi orang-orang yang sesungguhnya berkemenangan dan bukan sekadar menjadi robot. Pengendalian diri ini, karena dihasilkan di dalam kita melalui Roh, disebut “buah” Roh (Gal 5:23, bdk.ay.22).
Apa relevansinya diskusi ini dengan subjek kita tentang berdiri di celah? Jelas sekarang bahwa hanya orang yang “tembok-tembok” rohani dalam hidupnya tidak bercelah atau roboh , tetapi berdiri teguh dan utuh hasil dari pengendalian-diri yang berpusatkan Kristus—hanya orang yang sedemikian yang dapat berdiri di celah.
Hendakkah Kita Berdiri di Celah?
Saudara–saudaraku, di manakah orang yang akan membangun tembok dan berdiri di celah? Apakah gereja sekarang masih mencerminkan kemuliaan Kristus? Yeremia meratapi reruntuhan Yerusalem, temboknya sudah roboh dan kemuliaannya sudah pergi. Ia meratapi kota itu. Ia berusaha untuk berdiri di celah, tetapi mereka tidak mengizinkannya! Akibatnya, murka Allah tercurah atas Israel seperti yang diucapkan-Nya kepada Yeremia, “Adapun engkau, janganlah engkau berdoa untuk bangsa ini dan janganlah naikkan permohonan dan doa untuk mereka, sebab Aku tidak akan mendengarkan pada waktu mereka berseru kepada-Ku karena malapetaka mereka” (Yer.11.14). Sudah terlambat. Penghakiman Allah sudah ditimpakan atas umat-Nya. Jika kita tidak bertobat dari ketegaran hati kita, saatnya akan datang di mana sudah terlambat bagi kita untuk menghindari penghakiman-Nya.
Yeremia berupaya untuk berdiri di celah, tetapi ia disingkirkan dan dipasung! Ia diperlakukan secara keji, dan bahkan pernah dibuang ke sumur. Walaupun ia ditolak habis–habisan, ketika firman Allah yang disampaikannya digenapi, ia tidak pernah berkata kepada bangsa Israel, “Nah, diberi tahu tidak mau dengar! Sekarang kalian rasakan akibatnya!” Tidak, bahkan sebaliknya, ia dikenal sebagai “nabi yang meratap”. Ketika peringatannya kepada orang Israel digenapi dan Israel dipotong tepat seperti yang dinubuatkan, ia meratapi nasib Israel. Seluruh kitab Ratapan adalah catatan kesedihannya yang sangat mendalam; itu sebabnya buku tersebut diberi nama “Ratapan”.
Mari kita bersama–sama dengan bersungguh-sungguh berharap, berdoa, dan bekerja supaya harinya tidak akan tiba bila kita akan meratap karena Allah memotong jemaat non-Yahudi. Ia memberikan peringatan yang jelas kepada kita melalui rasul-Nya bahwa jika kita tidak tegak tercacak karena iman di dalam dia, tetapi menjadi congkak hati (Rm 11:20) dan tidak tetap dalam kemurahan-Nya, apa yang terjadi kepada Israel akan terjadi juga ke atas kita (ay.22)
Semoga Allah menganugerahkan kita kasih karunia, belas kasihan, hikmat dan kekuatan untuk rela berdiri di celah supaya Ia berkenan menahan penghakiman-Nya. Semoga gereja dapat dibangun kembali secara rohani, dan tembok–temboknya disebut lagi dengan kata “Selamat”. Semoga gereja mencerminkan kemuliaan Allah pada hari–hari akhir ini sehingga berbondong–bondong orang di bumi dapat menemukan keselamatan di dalam temboknya.