Pastor Eric Chang | Manusia Baru (10a) |

Apa tujuan akhir dari pembaruan? Tidak diragukan lagi, tujuannya adalah kesempurnaan dalam pengertian biblika, yaitu menjadi serupa dengan Kristus. Dalam pengertian ini, kesempurnaan merupakan suatu demonstrasi kuasa Allah yang dahsyat dalam hidup kita oleh mana dosa secara konsisten dikalahkan dan kita diubah oleh Roh menjadi makin serupa dengan gambarannya.

Dosa harus ditakuti karena ia menghancurkan hubungan  kita dengan Allah, yang merupakan sumber dari hidup dan segala yang baik (Yak 1:17). Dosa memutuskan hubungan kita dengan Allah, menciptakan celah lebar antara Dia dan kita. Terpisah dari Dia, kita terputus dari hidup dan setiap berkat yang berasal dari-Nya. Itu sebabnya hanya jika celah itu diperbaiki, celah itu ditutup, dan kita diperdamaikan dengan Allah dan memiliki hubungan yang baru dengan-Nya, kita dapat memiliki hidup kekal. Tentu saja hal ini bukan suatu perkara yang gampang. Namun, Yesus dalam kasihnya yang penuh pengorbanan diri telah datang untuk menyelesaikan pokok yang paling penting ini bagi kita melalui hidupnya, ajarannya, dan di atas segalanya, melalui kematiannya di atas salib.

Apabila kita menerima hidup yang baru dari-Nya, apakah kita hanya duduk–duduk saja menikmatinya, atau akankah kita menjawab panggilan-Nya untuk masuk ke “pelayanan perdamaian” Allah (2Kor 5:18)? Di 2 Korintus 5:18, rasul Paulus menulis bahwa Allah “yang memperdamaikan kita dengan diri-Nya melalui Kristus dan memberi kita pelayanan pendamaian itu”. Akan tetapi, bagaimana kita dapat melayani seperti dia (yaitu, melakukan pelayanan perdamaian), tanpa menjadi seperti dia?

Tujuan akhir dari kesempurnaan adalah untuk menjadi seperti Kristus. Namun, bagaimana kita mengartikannya dalam praktek? Apakah itu berarti kita harus menjiplak “Yesus yang lembut, yang halus, dan ramah”? Tentu saja itu merupakan bagian dari tujuan kita, tetapi apakah itu tujuan akhir dari kesempurnaan? Dapatkah kita menguraikan tujuan ini dalam istilah yang lebih dinamis? Maksud “dinamis” di sini ialah suatu tugas atau misi yang dipercayakan kepada kita untuk diselesaikan dalam generasi ini. Dengan kata lain, apakah menjadi “lemah lembut dan rendah hati” itu suatu tujuan akhir secara tersendiri? Atau apakah kualitas–kualitas tersebut, di antara kualitas lainnya, bermaksud untuk mencapai sesuatu yang lebih besar dalam kita demi kemuliaan Allah dan kesejahteraan umat-Nya? Memang bagus kalau kita menjadi “orang yang baik–baik”, tetapi itu tidak menerangkan misi kita sebagai murid–murid Yesus pada akhir zaman ini.

Lantas, apa artinya menjadi serupa dengan Kristus? Ada dua aspek dari hal ini yaitu: menjadi seperti apa adanya dia; dan mengerjakan apa yang dia kerjakan. Keduanya penting. Yang terakhir (mengerjakan apa yang dia kerjakan) berarti Allah memberi kita suatu tugas yang tadinya pernah Ia berikan kepada Kristus Yesus. Dengan kata lain, tujuan dari kelahiran kembali dan pembaruan bukanlah sekadar untuk menjadi orang baik–baik di bumi ini, tetapi untuk menyelesaikan pekerjaan penyelamatan Kristus di dunia melalui Roh-Nya yang diam di dalam kita.

Kitab Suci berbicara tentang menjadi serupa dengan Kristus tidak sekadar dalam pengertian menjadi orang baik–baik, walaupun hal itu tentunya sangat penting. Kita harus melangkah lebih jauh dari itu: kita harus menjadi serupa dengan Kristus dalam mengikuti dia, memikul salib kita dan, jika perlu, menyerahkan nyawa kita demi umat Allah, dan demi keselamatan dunia. Tentu saja, kita tidak dapat menebus dosa orang lain (hanya Yesus yang dapat melakukan itu), tetapi kita harus menerima hidup penebusannya dan menyalurkannya kepada orang lain. Kecuali kita hidup sebagaimana Yesus hidup dan menggenapi misi yang digenapinya, kita sama sekali tidak serupa dengan Kristus, sekalipun kita menganggap diri kita lemah lembut dan rendah hati.

Tangkaplah visi dari panggilan dan tugas kita. Hidup penuh pengorbanan demi Kristus dan demi jemaat Allah merupakan hal yang perlu menjadi suatu visi di dalam hati kita. Hanya sedikit orang yang memiliki visi sekarang ini. Jika kita tidak memiliki visi, kita tidak tahu ke mana kita harus menuju, maupun mengerti apa tujuannya menjadi serupa dengan Kristus.

Ringkasnya, tujuan dari pembaruan adalah kesempurnaan, dan kesempurnaan pula adalah menjadi serupa dengan Kristus. Menjadi seperti Kristus berarti keduanya memiliki karakternya dan berjalan mengikuti jejaknya. Dalam istilah praktis, “mengikuti jejaknya” berarti mengerjakan pekerjaannya, dan dengan demikian menyelesaikan pekerjaan penting yang telah dipercayakannya kepada kita. Yang jelas kita harus pertama-tama menjadi seperti dia sebelum kita dapat mengerjakan pekerjaannya. Sejauh mana kita akan dimampukan untuk mengerjakan panggilannya bagi kita bergantung pada sejauh mana kita menjadi serupa dengan Dia.


Melakukan Pekerjaan Yesus

Untuk memahami poin ini dengan lebih lengkap, mari kita melihat Yohanes 14:12. Ayat ini cukup akrab di telinga sebagian besar orang Kristen, tetapi apakah kita memahaminya? Di sini Yesus berkata,

“Dengan sesungguhnya, aku mengatakan kepadamu, setiap orang yang percaya kepadaku, pekerjaan-pekerjaan yang aku lakukan, dia juga akan melakukannya; dan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada semua ini karena aku pergi kepada Bapa.”

Siapa pun yang percaya kepada Yesus, akan melakukan juga pekerjaan–pekerjaan yang ia lakukan. Ini berarti orang Kristen tidak sekadar dipanggil untuk memiliki karakter yang serupa dengan Kristus, tetapi juga melakukan apa yang Yesus sudah lakukan, dan melanjutkan pelayanan penyelamatannya. Yesus tidak menjabarkan arti pemuridan hanya dalam arti memiliki karakternya, walaupun itu sangatlah penting. Ia menegaskan bahwa mereka yang percaya padanya akan melakukan—bukannya mungkin atau dapat melakukan—pekerjaan–pekerjaan yang dilakukannya.

Kata “akan melakukan” (future tense) merupakan sebuah janji. Ini berarti seorang yang mempercayai dia, mau tidak mau akan menjadi seperti dia sebagai akibat dari pekerjaan Roh Kudus; hal ini bukan suatu kemungkinan yang tidak jelas. Melakukan pekerjaannya bukanlah suatu pilihan pengisi waktu luang saat kita sedang bersemangat. Setiap orang yang percaya kepada Yesus, secara tak terelakkan, “akan” melakukan pekerjaan–pekerjaan yang ia lakukan.

Banyak orang memandang ayat ini sebagai suatu tantangan besar. Namun, mereka juga memandangnya bukan sebagai suatu keharusan, seolah–olah terserah kita mau melakukannya atau tidak. Betapa gampangnya kita berkata, “Yesus, saya akan mempertimbangkan hal itu nanti: Sesudah saya pensiun dan punya waktu luang, mungkin saya akan mulai mengerjakan apa yang sudah engkau kerjakan.” Tidak seperti itu! Apakah Anda sudah dilahirkan kembali dapat dilihat dari apakah Anda mengerjakan apa yang dikerjakannya, dan menurut cara yang ia kehendaki. Itulah keserupaan dengan Kristus dalam istilah yang dinamis.


“Pekerjaan”—Menyatakan Allah kepada Dunia 

Pernyataan Yesus seringkali diartikan dalam kaitannya dengan mukjizat, seolah–olah ia berkata, “Kamu juga akan melakukan mukjizat–mukjizat seperti yang kukerjakan, sebab aku pergi kepada Bapa.” Ini bukanlah apa yang Yesus katakan. Satu prinsip dasar dalam eksegesis adalah memeriksa konteksnya. Apa yang menjadi konteksnya di sini? Di pasal sebelumnya kita membaca,

36  Simon Petrus bertanya kepada Yesus, “Tuan, ke manakah engkau akan pergi?” Yesus menjawab dia, “Ke mana aku pergi, kamu tidak dapat mengikuti aku sekarang, tetapi kelak kamu akan mengikuti aku.” 37 Petrus bertanya kepadanya, “Tuan, mengapa aku tidak dapat mengikuti engkau sekarang? Aku akan menyerahkan nyawaku demi engkau!” 38  Yesus menjawab, “Kamu akan menyerahkan nyawamu bagiku? Dengan sesungguhnya aku mengatakan kepadamu, ayam tidak akan berkokok sebelum kamu menyangkal aku 3 kali.” (Yoh 13:36-38)

Yesus berbicara tentang suatu kepergian, yaitu mati di atas kayu salib dan kembali ke rumah Bapa. Itulah “pekerjaan” yang dilakukannya. Musuh–musuh berkomplot untuk membunuh dia, berharap dengan demikian mereka dapat menghentikan pelayanan dan pekerjaannya. Petrus berusaha meyakinkan dia bahwa ia tidak akan berdiam diri, “Aku akan memberikan nyawaku bagimu.” Namun, Yesus membantu dia untuk melihat kondisi hatinya yang sebenarnya, “Kamu hendak mati bagiku? Aku memang melihat adanya keinginan di situ, tetapi kamu belum siap sekarang. Saatnya bukan sekarang, bukan pula besok atau minggu depan, untuk kamu siap menghadapi tantangan ini. Kenyataannya, engkau akan menyangkal aku tiga kali sebelum ayam berkokok.”

Petrus masih belum mencapai level di mana ia siap untuk mengambil bagian dalam “pekerjaan” gurunya. Ia bahkan tidak menyadari betapa jauhnya ia dari keadaan siap, karena itu ia mengucapkan kata–kata heroik ini. Ketika dihadapkan dengan bagian dari pelayanan atau “pekerjaan” Yesus yang melibatkan penangkapannya, yaitu langkah menuju penyalibannya, Petrus dengan segera menyangkal gurunya.

Setelah Yudas keluar untuk menyerahkan Yesus malam itu, Yesus berkata, “Sekaranglah saatnya Anak Manusia dimuliakan dan Allah dimuliakan melalui dia.” (Yoh 13:31). Yesus “dimuliakan” menunjuk kepada ia “ditinggikan” atas kayu salib (Yoh 12:32). Ia dimuliakan pada saat ia “ditinggikan” atas kayu salib. Oleh kematiannya ia memuliakan Bapa. Inilah “pekerjaan” yang menjadi tujuan kedatangannya ke dunia ini.

“Aku telah memuliakan Engkau di bumi dengan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepadaku untuk dikerjakan.” (Yoh 17:4).

Di sini Yesus menunjuk secara khusus kepada persembahan dirinya di kayu salib demi dosa kita sebagai “pekerjaannya”.

Namun, sebelum sampai di kayu salib, ia melakukan pekerjaan besar lainnya bagi keselamatan kita: Ia menyatakan Firman Allah. Di Yohanes 14:10, kata “pekerjaan” disebutkan kembali,

“Perkataan-perkataan yang aku katakan kepadamu, aku tidak mengatakannya dari diriku sendiri, tetapi Bapa yang tinggal di dalam akulah yang melakukan pekerjaan-Nya.”

Perhatikan hubungan  antara “pekerjaan-Nya” dengan “Perkataan-perkataan yang aku katakan kepadamu”. Melakukan “pekerjaan” Allah dalam bagian pelayanan Yesus ini, menunjuk kepada ajarannya.

Mari kita ringkaskan hasil pengamatan kita. Dari konteksnya Yohanes 14:12, jelas bahwa kehidupan, pengajaran dan kematian Yesus, merupakan “pekerjaannya”. Semua itu bermaksud untuk menyatakan Bapa, “Barangsiapa telah melihat aku, ia telah melihat Bapa” (ay.9). Kecuali Yesus menyatakan Allah kepada kita, kita tidak akan dapat mengenal dan mempercayai Allah. Dengan mengenal Allah, maka kita dapat memiliki hidup yang kekal. “Inilah hidup kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Kristus Yesus yang telah Engkau utus.” (Yoh 17:3).


Tidak ada Referensi kepada Mukjizat

Dalam keseluruhan bagian dari Kitab Suci ini di Injil Yohanes, kita melihat bahwa Yesus menyatakan Bapa melalui kepribadiannya, ajarannya dan kematiannya, tetapi tidak ada referensi kepada mukjizat.

Dalam mengikuti Yesus, misi kita adalah juga untuk mengkomunikasikan kehidupan Allah dan ajarannya kepada orang banyak. Melakukan mukjizat bukanlah hal yang utama, walaupun kita tidak boleh mengabaikannya. Mari kita memahami hal ini dengan jelas supaya pikiran kita tidak digoyangkan oleh orang-orang yang berniat baik, terutama teman–teman karismatik kita, yang menafsirkan Yohanes 14:12 sepenuhnya dari segi melakukan mukjizat.

Memang mungkin dalam melayani Tuhan, kita berada dalam situasi di mana kita dipanggil untuk melakukan sesuatu yang bersifat mukjizat. Akan tetapi, apakah pelbagai macam mukjizat itu dilakukan secara tetap atau tidak, tergantung pada jenis karunia rohani yang diberikan oleh Allah kepada kita masing–masing. Namun, jika pernyataan Yesus, “Sesungguhnya barangsiapa percaya kepadaku, ia akan melakukan juga pekerjaan–pekerjaan yang aku lakukan” dibatasi kepada mukjizat, pernyataan ini tidak mungkin dapat diberlakukan kepada semua orang percaya. Paulus bertanya secara retorik, “Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau pengajar? Adakah mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mukjizat, atau untuk menyembuhkan, atau untuk berkata–kata dalam bahasa roh?” (1Kor 12:29-30). Jawaban bagi suatu pertanyaan retorik, sudah tentu, adalah “tidak”.

Oleh karena itu, panggilan kita bukanlah terutamanya untuk mengadakan mukjizat, tetapi untuk memperkenalkan Allah melalui kehidupan kita, melalui pengajaran firmannya, dan melalui penderitaan demi namanya. Tujuan dari “pekerjaan-pekerjaan” itu adalah supaya banyak orang dapat masuk ke dalam hidup kekal di dalam Kristus.

Banyak orang Kristen yang tidak menyadari apa panggilan mereka sebagai murid-murid Yesus, terutama panggilan yang berkaitan dengan penderitaan. Ini sebabnya mereka tidak dapat memahami Paulus ketika ia berkata tentang penderitaannya,

“Sekarang, aku bersukacita dalam penderitaanku demi kamu karena di dalam dagingku aku melengkapi apa yang kurang dalam penderitaan Kristus, demi tubuhnya, yaitu jemaat.” (Kol 1:24).

Paulus  mengerti bahwa kita dipanggil untuk mengambil bagian dalam pekerjaan penyelamatan Kristus, dan ini termasuk mengambil bagian dalam persekutuan penderitaannya bagi keselamatan umat manusia. Sedih untuk dikatakan, ajaran yang penting ini sekarang sudah hilang dari hati sebagian besar orang Kristen, dan persoalan ini semakin menguatkan alasan kita untuk melakukan perbaikan.

“Sebab demi Kristus kamu telah dikaruniakan bukan hanya untuk percaya kepadanya, tetapi juga untuk menderita bagi dia.” (Flp 1:29).

Allah dinyatakan di dalam Kristus bukan sekadar melalui ajarannya, tetapi di atas segalanya, melalui kehidupannya yang dicurahkan dan melalui kematiannya di atas kayu salib bagi keselamatan kita. Tidak lama sebelum ia mengucapkan perkataan di Yohanes 14:12, ia telah berkata,

“Dan, jika aku ditinggikan dari dunia ini, aku akan menarik semua orang kepadaku.” Yesus mengatakan hal ini untuk menunjukkan dengan kematian seperti apa ia akan mati.” (Yoh 12:32,33).

“Sebab, Anak Manusia pun datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani, dan untuk memberikan nyawanya sebagai tebusan bagi banyak orang.” (Mrk 10:45)

Jika Yesus kita tidak datang ke dalam dunia untuk dilayani, tetapi untuk melayani, apakah kita berpikir bahwa kita berada di dunia ini untuk dilayani dan bukan untuk melayani? Dan apa yang dimaksudkan Yesus dengan melayani? Ia menjelaskannya dengan cara ini: memberi hidup kita kepada orang lain. Melayani dengan cara ini, yaitu memberikan hidupnya sebagai tebusan bagi banyak orang, inilah “pekerjaannya”.

Barangsiapa yang percaya padaku, kata Yesus, akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang aku lakukan. Perkataannya tidak dibatasi pada segelintir kelompok elit di kalangan Kristen. Firman itu berlaku kepada semua murid-muridnya. Sejalan dengan itu, kita juga telah diberi bagian dalam pelayanan penyelamatan Kristus.


Mengambil Bagian dalam Pekerjaan Keselamatan Kristus

Yesus berkata kepada Bapa dalam doanya,

“Aku telah memuliakan Engkau di bumi dengan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepadaku untuk dikerjakan.” (Yoh.17.4).

Bagaimana caranya Yesus memuliakan Bapa di bumi? Dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang telah dipercayakan Bapa kepadanya. Pekerjaan itu adalah memberikan dirinya bagi keselamatan umat manusia, baik melalui kehidupan, pengajaran maupun kematiannya. Kita dipanggil untuk mengerjakan hal yang sama. Pelayanan penyelamatan yang telah dipercayakan Bapa kepada Yesus, sekarang diberikannya kepada kita. Dalam doa Yesus untuk murid–muridnya (Yohanes 17), Yesus berkata,

“Seperti Engkau telah mengutus aku ke dalam dunia, demikianlah aku mengutus mereka ke dalam dunia.” (17:18)

Ucapan ini diulanginya lagi sesudah kebangkitannya,

“Kemudian, Yesus berkata kepada mereka lagi, ‘Damai sejahtera bagi kamu. Sama seperti Bapa telah mengutus aku, demikian juga sekarang aku mengutus kamu.’” (Yoh 20:21).

Menjadi serupa dengan Kristus berarti memiliki mentalitas penyelamat yang dimiliki Kristus. Pola pemikiran Kristus dinyatakan dengan kuat dalam kata–kata Paulus, “supaya dengan segala cara aku dapat menyelamatkan beberapa orang” (1Kor 9:22). Ini adalah slogan kehidupan Paulus. Ia ingin menyelamatkan orang–orang dengan cara apa pun juga, sama seperti Tuannya datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia dengan cara apa pun juga.

Yesus menebus umat manusia dari dosa dengan darahnya yang tercurah di atas salib, dengan demikian mendamaikan manusia dengan Allah, dan memungkinkan manusia menjadi manusia baru yang hidup di dalam persekutuan dengan Allah, dan melalui karunia Roh Kudus menghasilkan buah yang berlimpah bagi kemuliaan Allah. Namun, bagaimana mereka yang tidak mendapat kesempatan untuk mendengar kabar baik ini dapat menjadi percaya? Bagaimana mungkin mereka dapat mendengar jika kita tidak membawa kabar baik ini kepada mereka? Menjadi tanggung jawab siapa nanti jika mereka binasa tanpa mendapat kesempatan untuk mendengar? Bukankah itu tanggung jawab kita? Kristus menyediakan air hidup, dan merupakan tanggung jawab kita untuk membawa air itu kepada mereka yang akan binasa. Itulah bagian kita di dalam pekerjaan keselamatan Kristus.

Lagi pula, Paulus tidak seperti para penginjil zaman modern yang puas dengan mendapatkan jiwa-jiwa baru. Banyak penginjil meninggalkan jiwa–jiwa baru untuk menjaga diri mereka sendiri, dan banyak yang tidak dapat bertahan. Paulus  tidak bekerja seperti itu. Ketika orang–orang menyerahkan diri mereka kepada Tuhan, Paulus berjuang untuk mendewasakan mereka (menjadikan mereka sempurna) di dalam Kristus (Kol 1:28). Ia berusaha keras supaya mereka menjadi serupa dengan Kristus, supaya pikiran Kristus ditanamkan dalam mereka sehingga mereka juga menjalani hidup yang penuh pengorbanan diri dan menyalurkan kehidupan Kristus kepada orang lain. Tujuannya adalah untuk membentuk suatu masyarakat baru—suatu jemaat—yang bukan sekadar merupakan masyarakat yang diselamatkan, tetapi masyarakat yang menyelamatkan; bukan sekadar masyarakat yang dikasihi, tetapi masyarakat yang mengasihi.

Bersambung… 

 

Berikan Komentar Anda: