Pastor Eric Chang | Manusia Baru (14) |

Kelahiran kembali, pembaruan, dan kesempurnaan mencakup seluruh kehidupan kekristenan mulai dari awal sampai akhir.

Orang-orang Kristen hari ini tidak banyak mendengar tentang ajaran alkitabiah tentang kesempurnaan, dan mereka dibiarkan terpaku hanya pada kelahiran baru. Akan tetapi, dalam hal kelahiran baru juga, mereka jarang menerima pengarahan yang memadai.  Di mana kelahiran kembali diajarkan, biasanya tidak banyak lagi yang diajarkan sehubungan dengan keselamatan, jadi kita dibiarkan bertanya-tanya apakah kehidupan Kristen memiliki sesuatu selain dilahirkan kembali.

Apa yang akan terjadi sesudah Anda dilahirkan kembali? Kita sering mendapat kesan bahwa tidak ada lagi yang akan terjadi sesudah itu, dan bahwa kelahiran kembali kurang lebih merupakan akhir dari persoalan. Namun, di dalam pembahasan kita tentang firman Allah, kita sudah melihat bahwa kelahiran kembali hanya sekadar titik permulaan dari proses yang disebut pembaruan, yang mengarah kepada kesempurnaan.


Sistem Persembahan Dalam Perjanjian Lama

Mari kita lanjutkan pembahasan tentang kesempurnaan di dalam terang firman Allah, terutama dari kitab Ibrani. Saya bertanya-tanya apakah subjek ini mungkin terlalu dalam bagi kebanyakan orang Kristen saat ini. Banyak orang Kristen yang terbiasa dengan pengajaran dasar dan dangkal, dan apa pun yang melebihi itu dianggap terlalu sulit bagi mereka.

Saya akan menyinggung tentang sistem persembahan dalam Perjanjian Lama serta pengajaran yang terkait dengan hal tersebut dalam Perjanjian Baru, karena itu saya bimbang apakah subjek ini terlalu sulit bagi sebagian pembaca. Akan tetapi, bagaimana mungkin kita dapat memahami Alkitab dengan benar jika kita sama sekali tidak memahami sistem persembahan? Kita nyaris tidak dapat membuka Perjanjian Lama tanpa membaca sesuatu tentang sistem persembahan. Perjanjian Baru juga terkait dengan sistem persembahan, di mana surat Ibrani memberikan penjelasan yang panjang lebar tentang hal itu.


Mengapa Yesus Harus Mati?

Mari kita mulai dengan pertanyaan yang sering muncul: Mengapa Yesus harus mati untuk menyelamatkan kita? Mengapa Allah tidak dapat menyelamatkan kita cukup dengan mengampuni saja dosa kita? Tak dapatkah Ia berkata kepada kita, “Aku mengampuni dosa–dosamu,” dan menutup perkaranya saat itu juga? Mengapa kematian Yesus diperlukan?

Jika kekudusan, kebenaran dan kesucian merupakan hal yang asing bagi kita, dan kita tidak memahami tujuan dari sistem persembahan, jelaslah kita tidak akan mengerti mengapa perlu bagi Yesus untuk mati demi menyelamatkan kita. Itu sebabnya, dalam ketidak-tahuan kita, kita berpikir, “Mengapa Allah tidak mengampuni saja tanpa harus ada pengorbanan Yesus?” Jika urusannya dapat diselesaikan dengan cara seperti itu, apakah Allah tidak pernah memikirkannya? Dalam kebutaan kita, kadang–kadang kita mengira bahwa kita melihat sesuatu yang terlewatkan oleh Allah!

Dalam membahas pertanyaan ini, kita tidak berurusan dengan topik tingkat lanjutan melainkan tingkat dasar dari keselamatan. Saya akan mencoba menjelaskan persoalan ini sesederhana mungkin, tanpa seluk beluk teknis, jika memang memungkinkan. Saya hendak menyederhanakan pembahasan subjek yang rumit ini sejauh saya dimampukan oleh Tuhan.


Persoalannya Bukan Pada Apakah Kita Menerima Allah, Tetapi Apakah Allah Menerima Kita

Poin pertama yang perlu kita ketahui tentang sistem persembahan ialah: Yang penting dalam Kitab Suci bukanlah apa kita menerima Allah, tetapi apakah Allah menerima kita. Banyak penginjil mungkin dengan niat hati yang baik telah menjungkir-balikkan perkara ini. Mereka selalu berbicara tentang menerima Kristus, menerima keselamatan, seolah–olah segala sesuatu tergantung pada penerimaan kita akan Yesus. Yesus sering digambarkan sebagai pribadi menyedihkan yang berdiri di depan pintu hati kita. Ia terus mengetuk pintu hati kita—pintu yang sering diganjal dan tidak memiliki gagang di sebelah luar sehingga ia dapat membukanya. Mereka menyatakan bahwa gambaran ini diambil dari Wahyu 3:20, “Lihatlah! Aku berdiri di depan pintu dan mengetuk. Jika ada orang mendengar suaraku dan membukakan pintu, aku akan masuk kepadanya dan makan bersamanya, dan dia bersamaku.”

Menggunakan ayat ini dengan cara seperti itu sama dengan mencabutnya keluar dari konteks yang seharusnya, karena ucapan Yesus di situ ditujukan pada orang Kristen dan bukannya orang non-Kristen. Di sini Yesus berbicara kepada orang-orang Kristen yang dalam perbuatan sudah menolak dia dari kehidupan mereka, walaupun mereka pernah “menerimanya”. Di sini Yesus pada dasarnya berkata kepada jemaat di Laodikia: “Kalian yang mengaku sebagai umatku dalam kenyataannya menjalani hidup tanpa aku, telah menyingkirkan aku dari hidupmu. Namun, jika masih ada di antara kalian yang mendengar panggilanku dan membuka hatinya kepadaku, ia akan mendapatkan persekutuan yang indah denganku.”

Gambaran yang menyedihkan ini sering muncul dalam tulisan–tulisan kenabian dalam Perjanjian Lama. Itu adalah tuduhan yang diarahkan kepada orang Israel berkali–kali. Nabi Yeremia, Yesaya, Yehezkiel dan banyak lagi yang lainnya secara konsisten menyatakan kepada Israel: “Kamu mengaku sebagai umat-Ku, dan memang Aku telah menyebut kamu sebagai umat-Ku. Kamu adalah umat perjanjian-Ku, tetapi kamu telah menyingkirkan Aku dari kehidupanmu, walaupun tidak di dalam kata-kata, tetapi di dalam keseharianmu.”

Keliru jika kita mengutip ayat seperti Wahyu 3:20 dan menerapkannya kepada non-Kristen. Namun, banyak penginjil dan pengajar yang menjungkir-balikkan persoalan, menggambarkan Allah sebagai pribadi yang patut dikasihani yang memohon penerimaan di pintu hati orang-orang non-Kristen. Sebaliknya, Kitab Suci menggambarkan Allah sebagai Raja besar yang berdaulat.

Dalam kenyataannya, kitalah, bukan Allah, yang perlu dikasihani. Kitalah yang perlu memohon kemurahan dan penerimaan-Nya, karena diterima oleh-Nya berarti hidup dan penolakan oleh-Nya adalah maut. Allah yang adalah kasih, adil dan kudus akan menerima kita hanya jika kita datang kepada-Nya sesuai dengan persyaratan-Nya. Para rasul tidak memberitakan Kristus yang menyedihkan yang memohon di pintu hati kita. Paulus memproklamir bahwa Allah, sebagai Tuhan atas segalanya, “memerintahkan ” semua orang di mana–mana harus bertobat (Kis 17:30). Dalam kemurahan-Nya, Ia memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bertobat.

Dalam hal Wahyu 3:20, kita hanya perlu bertanya, “Apakah harus ada pintu yang tertutup di antara Kristus dengan jemaat (di Laodikia atau di mana pun)?” Seperti apa kondisi kerohanian jemaat itu? Jika pintu ditutup, bukan Kristus yang menutupnya karena ia sendiri menyuruh mereka untuk membukanya. Jika mereka membukanya, persekutuan dengannya dapat diperbarui, sebagaimana digambarkan dengan makan bersama.

Jemaat yang menutup pintu terhadap kepalanya! Kristus dalam kemurahannya memanggil mereka untuk menyingkirkan rintangan tersebut dengan membuka pintu. Panggilan untuk membuka pintu adalah suatu teguran karena telah menutup pintu, suatu peringatan akan tindakan disiplin jika mereka tetap keras kepala, dan suatu panggilan untuk bertobat. Semuanya ini dijelaskan dengan sempurna di ayat yang sebelumnya, 

“Mereka yang kukasihi, kutegur dan kuhajar; karena itu, relakanlah hatimu dan bertobatlah!”

Kristus memang amat bermurah hati dalam memanggil mereka untuk bertobat sesudah memberikan teguran keras (ay.15-18). Mereka dipanggil untuk mengalahkan dosa (ay.21). Pintu yang tertutup mewakili rintangan yang muncul akibat dosa–dosa yang disebutkan di ayat–ayat sebelumnya, yang memisahkan mereka dari Allah mereka (Yes 59:2). Ini bukanlah permohonan yang mengiba–iba supaya kita menerima Dia, tetapi suatu panggilan untuk memperbarui persekutuan dengan-Nya melalui pertobatan yang penuh kerendahan diri, diikuti dengan suatu peringatan akan akibat-akibat dari kegagalan untuk bertobat.


Referensi-referensi Perjanjian Baru

Perjanjian Baru berisi banyak referensi tentang penerimaan oleh Allah atau diterima oleh-Nya, tetapi sedikit sekali tentang penerimaan kita akan Allah.

Dengan satu pengecualian, semua referensi Perjanjian Baru untuk menerima atau tidak menerima Yesus ditemukan dalam Injil. Ada satu referensi di Markus, tetapi tidak secara langsung: “Siapa saja yang menyambut seorang anak kecil seperti ini dalam namaku, ia menyambut aku” (9:37). Ayat ini tidak memiliki kaitan langsung dengan subjek saat ini. Juga hanya ada satu referensi dalam Lukas yang melaporkan bahwa orang Samaria tidak mau menerima Yesus ke desa mereka (9:53). Yohanes menyebutkan tentang orang Galilea yang mau menerimanya (4:45). Akan tetapi, Yohanes 1:11 dan 5:43 menyatakan bahwa orang Yahudi secara umum enggan menerimanya. Namun, mereka yang menerimanya diberikan hak untuk menjadi anak-anak Allah (1:12). Itulah semua referensi yang ada di dalam keempat kitab Injil, dan hanya tiga terakhir yang berkaitan langsung dengan hal menerima Yesus ke dalam hati kita.

Hanya ada satu referensi di luar kitab Injil yang relevan dengan “menerima Yesus”:

“Jadi, karena kamu telah menerima Yesus Kristus sebagai Tuan, hiduplah terus dalam dia” (Kol 2:6).

Ini bukan sekadar tentang “menerima Yesus”, tetapi tentang menerimanya sebagai “Tuan” .

Sebaliknya, terdapat setidaknya enam kata Yunani yang berbeda yang digunakan untuk mengungkapkan ide tentang kita berkenan kepada-Nya atau diterima oleh-Nya, dan semua ayat yang mengandungi kata-kata itu merupakan bagian yang sangat penting bagi kita. Contohnya:

“Karena itu, terimalah satu dengan yang lain, sama seperti Kristus juga menerima kita demi kemuliaan Allah” (Rm 15:7).

“kamu juga …imamat yang kudus untuk mempersembahkan kurban-kurban rohani yang berkenan kepada Allah melalui Yesus Kristus” (1Ptr 2:5).

Alkitab versi King James dan New King James menyajikan terjemahan yang indah bagi Efesus 1:6,

He has made us accepted in the Beloved.”

“Ia telah menjadikan kita diterima di dalam Kekasih-Nya”.

Sepenting-pentingnya hal menerima Allah, jauh lebih penting lagi adalah apakah kita diterima oleh Allah. Sebagai orang-orang berdosa, hal ini sama sekali mustahil tanpa kematian Yesus di kayu salib, di mana ia mati untuk memperdamaikan kita dengan Allah. Kematiannya bagi kita sangat dibutuhkan untuk membuka jalan bagi Allah untuk menerima kita. Jika Allah tidak menerima kita, apa gunanya kita menerima Dia? Tidakkah kita melihat bahwa segalanya tergantung pada penerimaan-Nya akan kita sebelum kita dapat memulai pembicaraan yang berarti tentang penerimaan kita akan Dia? Penerimaan-Nya akan kita merupakan tindakan penuh kemurahan; dan penerimaan kita akan Dia merupakan tindakan ketaatan iman dalam meresponi anugerah-Nya.

Lagi pula, walaupun kita berkata bahwa kita “menerima-Nya”, masih tersisa pertanyaan apa arti sesungguhnya dari ungkapan itu. Oleh karena itu, masih tergantung pada Allah apakah Ia mendapati “penerimaan kita” itu benar–benar dapat diterima oleh-Nya. Marilah berhati–hati agar kita tidak sampai menipu diri sendiri dan meyakinkan diri bahwa kita selamat karena kita sudah “menerima Dia” tanpa memastikan apakah penerimaan kita itu dapat diterima oleh Dia atau tidak. Pokoknya penerimaan itu tidak bergantung pada kita, tetapi selalu pada Allah.

Hanya apabila kita menerima Yesus sebagai Tuan atas hidup kita barulah penerimaan kita itu mulai dapat diterima oleh Allah. Mengapa dikatakan “mulai dapat diterima”? Sebagaimana yang kita lihat di Kolose 2:6, jika kita sesungguhnya menerima Kristus sebagai Tuan, kita harus “tetap hidup di dalam dia” sebagai Kepala kita. Itu berarti, hidup kita harus sesuai dengan pengakuan bahwa Kristus adalah Tuan kita. Jika hidup kita tidak sepadan dengan pengakuan kita, jelaslah kita masih belum dapat diterima oleh-Nya.


Sistem Persembahan Membuka Jalan Untuk Diterima Oleh Allah

Sekarang seharusnya menjadi jelas bagi kita bahwa persoalan yang fundamental bukan apakah kita menerima Allah, tetapi apakah Allah menerima kita. Kita harus dengan jelas menangkap pokok ini jika kita ingin memahami sistem persembahan. Tujuan dari sistem ini adalah untuk menyediakan satu jalan bagi orang-orang berdosa seperti kita untuk dapat diterima oleh-Nya.

Akan tetapi, jika kita menyelewengkan gambarannya dan membuat segalanya jadi bergantung pada penerimaan kita akan Allah, pertanyaan mengapa Yesus harus mati akan tetap menjadi satu misteri bagi kita.


Pelayanan purna-waktu juga mensyaratkan penerimaan Allah 

Kita perlu menjelaskan kebenaran penting ini bahwa segala sesuatu bergantung secara fundamental pada penerimaan Allah. Hal ini berlaku pada setiap sisi kehidupan kekristenan kita. Sebagai contoh, hal ini berlaku bukan hanya pada perkara keselamatan, tetapi juga pada apakah kita melayani Allah sepenuh waktu atau tidak. Kita cenderung berpikir bahwa kita yang memutuskan apakah kita melayani Allah atau tidak. Saya jarang mendengar orang berkata bahwa Allah telah menerima mereka ke dalam pelayanan sepenuh waktu. Beberapa orang tampaknya berpendapat bahwa sepenuhnya terserah mereka untuk memutuskan untuk melayani Allah atau tidak, dan ada yang bahkan mengira bahwa pelayanan penuh waktu yang kita lakukan merupakan bonus bagi Allah—Ia seharusnya sangat senang karena seseorang seperti saya telah memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk Dia! Berlawanan dengan itu, di dalam Kitab Suci kita melihat tokoh-tokoh yang berkualitas tinggi yang berharap Allah berkenan menganggap mereka layak melayani-Nya.

Allah melihat ke dalam hati orang-orang yang ingin melayani-Nya. Ia mengamati cara hidup dan cara mereka melakukan segala sesuatu. Sebagai contoh, cara mereka menggunakan uang, karunia dan tanggungjawab yang dipercayakan kepada mereka (Luk 16:9,10; bdk. 19:17). Mereka yang setia dan rajin dalam suatu bidang pasti akan melayani dengan cara yang sama dalam bidang yang lain. Hal yang sama berlaku kepada mereka yang tidak setia. Tentunya jelas orang–orang seperti apa yang akan dipilih Allah untuk melayani-Nya. Ia memilih kita bukan karena kita menganggap diri sendiri setia, sebab Ia lebih tahu tentang kita daripada kita sendiri. Barangkali kita mengira diri kita tidak berguna, tetapi cara Allah menilai kita sangatlah berbeda dari penilaian kita. Jalan-Nya bukan jalan kita (Yes 55:8,9).

Saat seseorang dengan status rohani seperti Yesaya dipanggil untuk melayani Allah, ia segera menyadari ketidak-layakannya. Ia tidak berkata, “Ini aku, Tuhan, siap melayani-Mu.” Tidak, sebelum ia berani berkata seperti itu dalam menanggapi panggilan Allah, ia menyadari sepenuhnya keberadaan dirinya yang sama sekali tidak layak. Di hadapan Allah yang hidup ia melihat keadaannya yang celaka dan berteriak, “Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir” (Yes.6.5). Bagaimana mungkin seseorang yang najis bibirnya diterima Allah menjadi juru bicara-Nya? Allah harus mentahirkan Yesaya, orang yang dipandang sebagai nabi terbesar, sebelum ia menjadi layak untuk melayani Allah. Bukankah sekarang ini banyak orang di gereja yang mengajar dan berkhotbah dengan bibir yang najis, lalu menimbulkan kekacauan, perselisihan dan bahkan perpecahan dalam gereja?

Mari kita menangkap hal ini dengan jelas. Di dalam kehidupan rohani, bukan kita yang menentukan nada, kita bukan bos. Janganlah kita jatuh ke dalam pemikiran Yunani kuno yang menyatakan bahwa manusia adalah patokan bagi segala sesuatu. Allah, bukan manusia, yang menjadi patokan bagi segala sesuatu. Dialah yang menentukan segalanya. Dari Dialah segala yang hidup berasal. “Sebab, bersama dengan-Mu ada sumber kehidupan” (Mzm 36:9). Allahlah Yang memutuskan apakah kita akan diterima di dalam kerajaan-Nya, atau ke dalam pelayanan-Nya.

Bukan kita yang menentukan nada. Kami juga tidak berani menggambarkan Allah sebagai pribadi yang menyedihkan yang memohon penerimaan di depan pintu hati manusia. Namun, apa yang telah dilakukan oleh banyak pengajar? Dalam memberitakan firman, mereka telah menjungkir-balikkan gambaran-Nya. Kebenarannya adalah: Allah adalah Raja di atas segala raja, Tuan di atas segala tuan. Bersama Dia adalah setiap keputusan yang menentukan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.


Diterima Melalui Darah Pengorbanan Yesus

Sistem persembahan dilembagakan sedemikian agar orang Israel dapat mendatangi Allah, tetapi hanya dari jarak tertentu. Mereka tidak dapat mendekat. Hanya satu orang—imam besar—yang bisa masuk ke hadirat Allah, dan itu pun hanya setahun sekali. Bahkan imam besar juga tidak dapat masuk ke hadirat Allah tanpa percikan darah kurban persembahan sebagai pendamai dosanya. Ia tak dapat—tak berani—masuk ke ruang maha kudus tanpa darah. Orang Israel akan menjauh pada jarak tertentu, bahkan pada hari Pendamaian, meskipun banyak kurban persembahan telah dipersembahkan. Tidak ada yang berani datang ke hadirat Allah; hanya imam besar yang dapat masuk, dan bahkan bagi dia, hanya sesudah ada percikan darah.

Mari kita menegaskan sekali lagi: kita perlu menangkap prinsip dasar dalam Kitab Suci bahwa yang menjadi pokok utama bukanlah apakah kita menerima Allah, tetapi apakah Allah menerima kita. Tanpa darah kurban persembahan, mustahil bagi orang berdosa untuk mendekat kepada-Nya. Hal ini merupakan kebenaran pada masa lalu, tetap benar pada masa kini dan masa yang akan datang. Yesus mati untuk membuat kita dapat diterima oleh Allah karena kita tak akan pernah dapat diterima oleh-Nya dengan dosa–dosa kita.


Menjadi Sempurna Adalah Persyaratan Dasar

Ada satu lagi kebenaran penting lainnya. Allah yang memutuskan apakah kita akan diterima oleh-Nya, lalu orang macam apa yang dapat diterima oleh-Nya? Jawabannya terdapat pada topik yang sedang kita bahas: kesempurnaan. Satu–satunya tipe orang yang dapat diterima Allah adalah manusia yang sempurna. Benar, Allah tidak menerima yang kurang dari sempurna! Kita perlu mempelajari lebih jauh prinsip yang mengherankan dari firman Allah ini.

Kesempurnaan dalam pengertian yang alkitabiah, dalam kenyataannya bukanlah ideal tertinggi yang seharusnya dicapai kita. Kesempurnaan itu tidak lebih dari persyaratan dasar yang diperintahkan kepada setiap orang Kristen.

“Karena itu, kamu harus menjadi sempurna, seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna.” (Mat 5:48).

Sebagaimana yang sudah kita lihat, ini juga berarti bahwa kita haruslah kudus sebab Ia kudus. Allah menyuruh Israel untuk menjadi kudus; jika tidak, mereka tidak akan dapat diterima-Nya. Hal yang sama berlaku juga kepada kita. Ibrani 12:14 menyatakan dengan jelas,

“Kejarlah perdamaian dengan semua orang, dan kejarlah kekudusan sebab tanpa kekudusan, tidak seorang pun dapat melihat Tuhan.”

Tidak diizinkan untuk melihat Tuhan pada akhirnya—apa lagi artinya kecuali orang tersebut ditolak oleh-Nya? Dan apa artinya ditolak selain tidak diselamatkan? Kekudusan dan keselamatan merupakan hal yang tak terpisahkan.


Tiga Aspek dari Sistem Persembahan

Mari kita pertimbangkan tiga aspek utama dari sistem persembahan. Pertama, adanya kurban. Kedua, ada imam yang mempersembahkan kurban. Ketiga, adanya pendosa yang di pihaknya imam mempersembahkan kurban.

Tentu saja masih ada pihak keempat—Allah—yang menerima (atau menolak) persembahan. Namun, di sini kita akan membahas subjek ini dari sudut pandang manusia dan memeriksa ketiga aspek tersebut: kurban, imam dan pendosa.


(1) Kurban Harus Sempurna: Tanpa Cacat

Kurban. Menurut hukum Taurat, tidak ada kurban yang dapat diterima melainkan yang sempurna, yaitu tidak ada bintik atau noda atau cacat. Setiap kurban yang kita persembahkan kepada Allah haruslah yang sempurna untuk dapat diterima. Persyaratan ini disebutkan dalam banyak ayat. Sebagai contoh, Imamat 22:20-21:

“Semua hewan yang bercacat tidak boleh dipersembahkan. Sebab, itu tidak berkenan untukmu. Apabila seseorang mempersembahkan kurban pendamaian kepada YAHWEH untuk memenuhi nazarnya, atau sebagai persembahan sukarela, yang diambil dari antara ternaknya, ternak itu haruslah yang terbaik dan tidak bercacat supaya berkenan.”

“Semua anak sulung ternak jantan dan kambing dombamu adalah khusus. Kamu harus memberikan itu untuk YAHWEH… Namun jika terdapat cacat pada ternak itu, lumpuh atau buta atau cacat lainnya, janganlah persembahkan binatang itu kepada YAHWEH, Allahmu.” (Ul 15:19,21)

“Janganlah kamu mempersembahkan kepada YAHWEH, Allahmu, lembu atau domba yang bercacat atau yang buruk. Itu adalah kebencian terhadap YAHWEH, Allahmu.” (Ul 17:1)

Berulang–kali dan secara tegas dinyatakan bahwa kurban persembahan haruslah sempurna agar dapat diterima oleh Allah. Tidak boleh ada cacat atau kekurangan sedikit pun. Kurban yang kita persembahkan kepada Allah akan ditolak walaupun hanya sedikit tidak sempurna.

Di dalam sistem persembahan kurban, jika seekor hewan dibawa ke bait Allah sebagai persembahan bagi Allah, imam akan memeriksa hewan tersebut. Jika ada satu saja kekurangan atau cacat pada tubuh hewan kurban persembahan, imam akan berkata, “Bawa pulang. Hewan ini tidak dapat diterima.”

Ini dirancang untuk mengajar bangsa Israel bahwa hanya yang terbaik dan sempurnalah yang berkenan pada Allah. Kurban persembahan dipersembahkan di bait Allah setiap hari. Dengan demikian, pelajaran ini dipertegaskan setiap hari bahwa umat Israel harus mempersembahkan kepada Allah hanya kurban yang tak bercela, tanpa noda ; apa pun yang kurang dari sempurna pasti ditolak.

Umat Israel diajarkan pelajaran ini hari demi hari; tetapi tampaknya orang Kristen masih belum dapat memahaminya walaupun mereka juga membaca Perjanjian Lama. Entah bagaimana, kita sampai pada kesimpulan bahwa pada masa Perjanjian Baru apa saja dapat diterima Allah, sedangkan pada masa Perjanjian Lama hanya yang sempurna dapat diterima Allah. Konsep macam apa yang kita miliki tentang Perjanjian Baru? Konsep macam apa yang kita miliki tentang Allah?

Beberapa orang tampaknya berpikir bahwa sudah cukup baik kalau mereka mempersembahkan sedikit waktu luangnya. Apakah mungkin mereka tidak tahu bahwa kita menjadi milik Allah karena kita telah dibeli dengan harga yang mahal —darah Kristus—sehingga kita menjadi milik-Nya sepenuhnya? Itu berarti dalam kehidupan seharian kita, kita hidup bagi Dia sepanjang waktu, tidak  peduli apa pun pekerjaan kita.

Banyak orang Kristen bahkan tidak mempersembahkan perpuluhan kepada Allah (bdk. Mal 3:8-9). Sekalipun mereka memberikan sesuatu kepada Allah, mereka sepertinya mengira bahwa mereka telah menunjukkan kemurahan besar kepada-Nya karena Allah dipandang sebagai pengemis yang memohon di depan pintu hati kita. Anda tidak akan memberikan yang terbaik kepada pengemis, bukan? Jika Anda memberinya sesuatu, Anda sudah berbaik hati kepadanya. Tidak ada orang yang memberikan yang terbaik kepada pengemis. Si pengemis cukup senang menerima satu dolar uang yang robek, bukankah demikian?

Tentu saja, kita tidak akan berani secara terbuka menyebut Allah sebagai pengemis karena hal itu kelihatannya seperti menghujat. Akan tetapi, dalam kenyataannya bukankah itu caranya Ia seringkali diperlakukan? Kita bisa saja melakukan kesalahan menghujat, tetapi bukan karena apa yang kita katakan, tetapi apa yang kita lakukan. Kita dapat menghina seseorang tanpa mengucapkan sepatah kata pun.  Sebagai contoh, kita menghina seseorang cukup dengan mengabaikannya—sebagaimana kita mengabaikan seorang pengemis.

Dari sejarah Israel yang dicatat demi kebaikan kita, kita melihat bahwa selama waktu bilamana hubungan mereka dengan Allah mulai renggang dan semakin lemah dan jauh, kehidupan rohani mereka mulai ambruk tak terkendali. Dalam keadaan itu, bahkan para imam juga “menghina” Allah. Jika para imam sebagai pemimpin agama berbuat demikian, apa yang dapat diharapkan dari bangsa itu secara keseluruhan? Dengarlah kata–kata mengagetkan yang diucapkan melalui nabi Maleakhi:

“Jikalau Aku ini Tuan, di manakah rasa takutmu kepada-Ku? firman YAHWEH semesta alam, kepadamu, hai para imam yang menghina nama-Ku. Akan tetapi, kamu bertanya, “Bagaimana kami menghina nama-Mu?” Kamu membawa roti cemar ke atas mezbah-Ku, lalu kamu berkata, “Bagaimana kami mencemarkannya?” Dengan berpikir, “Meja YAHWEH boleh dihinakan!” Apabila kamu mempersembahkan hewan yang buta sebagai persembahan kurban, bukankah itu kejahatan? Apabila kamu mempersembahkan hewan yang timpang dan sakit, bukankah itu kejahatan? Cobalah sampaikan kepada Bupatimu, apakah ia berkenan kepadamu atau menyambutmu dengan baik? firman YAHWEH semesta alam.” (Mal 1:6-8, bdk.juga ay.13).

Allah diperlakukan seolah-olah seperti pengemis oleh iman-iman yang tidak setia ini, yang mempersembahkan kepada-Nya hewan–hewan yang tidak dikehendaki siapa pun. Alangkah kurang ajarnya! Seberapa jauh sikap mereka terhadap Allah sudah merosot? Tidak heranlah kalau bukan saja persembahan mereka, tetapi seluruh bangsa ditolak oleh Allah dan dibuang ke pengasingan.

Saudara-saudara, jika Anda berniat untuk mempersembahkan kepada Allah sesuatu yang kurang dari sempurna, sebaiknya Anda jangan menyusahkan diri sama sekali; persembahan itu pasti akan ditolak. Dalam beberapa kasus, Ia bahkan akan menilai persembahan yang sedemikian sebagai kekejian, seperti yang diungkapkan dengan jelas oleh Maleakhi. Mengingat semua ini, masihkah kita bersikeras untuk tetap mengira bahwa walau hidup kita masih kurang kudus, atau kurang sempurna, kita akan tetap berkenan di hadapan Allah?

Baik orang Israel maupun orang Kristen semestinya tahu pasti bahwa hanya persembahan tanpa cacatlah yang berkenan kepada Allah, sebab hal itu sudah diketahui jauh sebelum sistem persembahan dilembagakan. Sejak Kejadian pasal 4, ketika Kain dan Habel memberikan persembahan mereka masing-masing, Allah menolak persembahan Kain. Ia menjelaskan kepada Kain bahwa jika Kain “melakukan yang baik”, persembahannya pasti diterima (Kej 4:7). Habel, di sisi lain, melakukan yang benar, mempersembahkan yang terbaik dari miliknya dan persembahannya diterima. Kebenaran tentang apa yang dapat diterima Allah telah diketahui manusia sejak permulaan sejarah manusia.


(2) Imam Harus Sempurna 

Imam. Bukan sekadar kurban persembahan, tetapi imam itu sendiri harus sempurna sebelum ia dapat diterima ke dalam pelayanan Allah. Hal ini disampaikan berulang kali di Imamat 21. Sebagai contoh, Allah memberi perintah berikut kepada Musa:

17  “Katakanlah kepada Harun: ‘Jika salah satu keturunanmu ada yang cacat fisik, ia tidak boleh mempersembahkan hidangan bagi Allah.
18  Sebab, orang yang cacat tidak boleh mendekat: orang buta, orang lumpuh, orang yang mempunyai cacat pada wajahnya, orang yang mempunyai lengan, atau kaki yang terlalu panjang,
19  orang yang kaki atau tangannya patah,
20  orang yang bungkuk, orang kerdil, orang yang bermata juling, orang yang berbintil-bintil atau berpenyakit kulit, dan orang yang rusak buah pelirnya.
21  Jika ada keturunan Harun yang bercacat tubuhnya, ia tidak boleh mendekati mezbah untuk mempersembahkan kurban bakaran bagi YAHWEH. Karena ia cacat, ia tidak boleh mendekat untuk mempersembahkan hidangan bagi Allah.

Pesannya jelas. Yang memiliki cacat walaupun sedikit saja, tidak boleh mempersembahkan kurban kepada Allah. Baik kurban persembahan maupun imamnya haruslah sempurna.

Allah tentu saja tidak terutamanya memprihatinkan kecacatan jasmani. Semua ini dirancang untuk mengajarkan bahwa apa pun yang kurang dari sempurna tidak akan berkenan pada Allah. Inilah pelajaran yang digemakan terus ke dalam pikiran umat Israel. Setiap imam harus diteliti dengan cermat sebelum ia dapat diterima melayani Allah. Ia tidak boleh dikecualikan dari pemeriksaan hanya karena ia adalah keturunan imam.

Harun adalah imam besar, tetapi tidak seorang pun dari keturunannya boleh menjadi imam kalau memiliki cacat. Menjadi anak seorang imam dan berasal dari suku yang sudah ditetapkan untuk melayani Allah sebagai imam, tidak secara otomatis melayakkan dia untuk melayani di bait Allah. Bahkan orang yang keturunan imamat harus menjalani pemeriksaan untuk menentukan bahwa ia sempurna dan tanpa cacat. Jika ia tidak sempurna, ia tak boleh masuk ke hadirat Allah atau melayani Allah. Apakah kita memahami hal ini? Tidak satu pun yang kurang dari sempurna yang berkenan pada Allah yang kudus, yang adalah Raja segala raja dan Tuan atas segala tuan.

Lalu, mengapa begitu banyak penginjil dan pengajar menggambarkan Yesus seperti pengemis yang sedang mengetuk pintu hati kita sambil berharap kita mau membuka pintu karena kasihan? Barangkali kita akan tergerak untuk mengizinkan dia masuk ke dalam istana kehidupan kita? Kita sudah menjungkir–balikkan segalanya menjadi tidak karuan. Yang benar adalah: tak seorang pun kecuali mereka yang sempurna yang akan diterima ke dalam hadirat Allah yang kudus dan agung.

Saudara-saudara, kesempurnaan di dalam Alkitab bukanlah suatu ideal tinggi menjulang yang tak tercapai di dalam hidup ini. Kita berbicara tentang sesuatu yang diharapkan Allah dari semua orang, suatu kesempurnaan yang tanpanya kita akan ditolak. Perhatikan bagaimana fakta ini terkait dengan pelayanan purna waktu di gereja. Para imam adalah “pekerja-pekerja purna waktu” di pelayanan bait Allah.


(3) Kurban ‘Menyempurnakan’ Kita

Orang berdosa. Pokok ketiga berkaitan dengan orang berdosa yang diwakili oleh kurban persembahan. Persembahan dirancang untuk membuat orang yang mempersembahkannya diterima oleh Allah, dengan menjadikannya sempurna. Apa maksudnya “sempurna”? Kitab Ibrani memberi kita pengertian dari kata “sempurna” yang sangat relevan karena digunakan dalam konteks sistem persembahan.

Ibrani pertama-tama menegaskan bahwa,

“Karena Hukum Taurat hanya memiliki bayangan tentang hal-hal baik yang akan datang dan bukan gambaran sesungguhnya dari hal-hal itu, maka dengan kurban-kurban yang sama, yang mereka persembahkan terus-menerus setiap tahun, hukum itu takkan pernah dapat menyempurnakan mereka yang datang mendekat.” (10.1; lihat juga 7.11).

Jika tujuan kurban persembahan bukan untuk menjadikan sempurna mereka yang mempersembahkannya, pernyataan tersebut tidak relevan. Keseluruhan pokok bergantung pada fakta bahwa persembahan kurban dipersembahkan untuk menjadikan orang-orang berdosa sempurna.

Akan tetapi, sistem persembahan dalam Perjanjian Lama tidak dapat mencapai tujuan ini karena

“hal itu adalah kiasan mengenai zaman ini. Demikian juga berbagai pemberian dan kurban-kurban yang dipersembahkan tidak dapat menyempurnakan nurani orang-orang yang beribadah,” (9:9)

Persembahan kurban tidak dapat membebaskan para penyembah dari kesalahan dosa di dalam hatinya karena ia belum dibebaskan dari kuasa dosa. Akibatnya, sebagaimana di Roma 7, ia melakukan kejahatan yang tak ingin dilakukannya dan tidak mampu melakukan kebaikan yang ingin dilakukannya. Walaupun ia terus mempersembahkan kurban persembahan, ia tidak sedikit pun menjadi lebih baik daripada sebelumnya karena ia terus berbuat dosa. “Aku manusia celaka!” (Rm 7:24) merupakan pernyataan pedih dari kenyataan bahwa orang yang menyembah tidak dijadikan “sempurna dalam hati nurani” karena kekuasaan dosa masih bercokol dalam mereka.

Dengan demikian, kesempurnaan berarti kemerdekaan dari kesalahan dosa dan kuasa dosa. Siapa saja yang sudah dibebaskan dari dosa dalam kedua pengertian itu—kesalahan dan kuasa—telah disempurnakan. Jika Anda sudah dibebaskan dari kuasa dosa dan tidak lagi diperbudakkan dosa, jika dosa–dosa Anda sudah diampuni dan Anda telah ditahirkan oleh darah kurban, keadaan rohani Anda ada dalam keadaan yang sempurna. Jika Anda tidak lagi dipaksa untuk berbuat dosa, Anda jelas sudah bebas dari kuasanya. Sekarang Anda dapat menjalani hidup yang kudus dan benar, yang menyenangkan dan berkenan kepada Allah.

Kurban dipersembahkan di bait Allah untuk menghapus kesalahan dosa yang mencengkeram hati nurani. “Saya sudah berdosa! Apa yang harus saya lakukan?” Mereka yang berada dalam belenggu dosa biasanya lumpuh secara rohani akibat tekanan rasa bersalah. Kurban dipersembahkan untuk membebaskan hati nurani dari tekanan rasa bersalah yang melemaskan.

Namun, itu masih belum cukup. Kita sudah melihat bahwa tidak cukup untuk dibebaskan dari kesalahan dosa. Meskipun seorang pecandu narkotik diampuni, pengampunan itu tidak menyelesaikan masalahnya, karena ia masih berada di bawah kendali bahan terlarang itu. Mengampuninya tanpa membebaskannya dari kuasa dosa bukanlah kemurahan yang bermakna, karena ia tetap akan terus kembali pada narkotik, lalu menambah dosa dan kesalahannya.

Agar kurban persembahan dapat menjadi efektif, ia harus menghapuskan kesalahan dosa dan membebaskan orang itu dari kuasa dosa. Kita tak dapat menjadi sempurna kecuali kita dibebaskan dari kedua hal tersebut. Mengajarkan pengampunan dosa tanpa kebebasan dari tirani kuasa dosa bukanlah kabar baik sama sekali.

Apakah si pecandu narkoba sesungguhnya bersukacita kalau ia diberitahu bahwa ia sudah ampuni sedangkan ia masih berada dalam cengkeraman kecanduannya? Jika ia masih terpaksa kembali ke obat kokain atau terus menyuntikkan jarum najis ke dalam lengannya, di mana kabar baiknya? Ia masih diperbudak oleh obat terlarang. Tidak ada injil atau kabar baik untuk dibicarakan kecuali kita memberitakan kemerdekaan dari keduanya: kesalahan dosa dan kuasa dosa, yang “menyempurnakan”.


Kurban Persembahan Tidak Dapat Membebaskan Kita dari Kuasa Dosa

Ini menjelaskan mengapa persembahan kurban dalam Perjanjian Lama harus digantikan oleh persembahan Kristus. Jika hukum Taurat dapat memberi hidup dan kemerdekaan sejati, hukum Taurat saja sudah cukup, dan kematian Kristus bagi kita tidak diperlukan. Namun dalam kenyataannya, hukum Taurat tak dapat membebaskan kita dari kuasa dosa. Oleh karena itu, hukum Taurat pada akhirnya juga tak dapat membebaskan kita dari kesalahan dosa. Siapa saja yang masih berada di bawah kuasa dosa akan terus berbuat dosa dan menambah–nambahkan kesalahannya.

Ibrani 7:19 mengatakan bahwa

“hukum itu tidak menyempurnakan apa pun.”

Oleh karena itu,

“peraturan yang lama sudah berakhir karena memiliki kelemahan dan tidak berguna” (7:18).

Deskripsi “memiliki kelemahan dan tidak berguna” menunjukkan bahwa kurban persembahan di bait Allah tidak dapat menangani masalah kuasa dosa. Oleh karena itu, hukum Taurat tidak dapat “menyempurnakan” apa pun. Akan tetapi, pengharapan yang lebih baik telah tiba di mana kita dapat mendekati Allah dengan cara dibuat berkenan pada-Nya. Inilah Kabar Baik itu,

“Oleh kehendak-Nya, kita dikuduskan melalui pengurbanan tubuh Yesus Kristus, sekali untuk selama-lamanya.”

“Dengan satu kurban, Kristus menyempurnakan mereka yang telah disucikan-Nya untuk selama-lamanya.” (Ibr 10:10, 14).


Persembahan Kristus Membebaskan Kita Dari Kuasa Dosa

 “Dijadikan sempurna” bukanlah sekadar ideal yang bersifat hipotesis, tetapi sesuatu yang dapat kita alami dalam kehidupan sehari–hari kita. Diampuni dari kesalahan dosa merupakan hal yang perlu disyukuri. Namun, kecuali kita juga dibebaskan dari kuasa dosa, kesalahan kita akan segera kembali. Jika kematian Kristus hanya membebaskan kita dari kesalahan dosa, tetapi tidak dari kuasa dosa, itu tidak ada bedanya dengan kurban persembahan dalam Perjanjian Lama. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Ibrani, persembahan–persembahan itu harus diganti justru karena alasan tersebut. Kalau tidak, orang–orang berdosa, seperti pecandu narkoba, walaupun diberikan pengampunan, tetap akan selalu berada di dalam cengkeraman dosa.

Untuk alasan ini, Allah tidak akan membenarkan kita dari dosa hanya dengan menyatakan bahwa kita diampuni tanpa membebaskan kita dari tirani dosa dan menjadikan kita manusia baru “yang diciptakan dalam rupa Allah dalam keadilan dan kekudusan yang sejati” (Ef 4:24). Dengan kata lain, di dalam konteks Perjanjian Baru, pembenaran oleh iman tidak dapat secara sempit diartikan sebagai “dinyatakan benar”, tetapi harus  juga mencakup “dijadikan benar”.

Dibebaskan dari kesalahan dosa dapat digambarkan dengan istilah “dinyatakan benar”, dan dibebaskan dari kuasa dosa pula sebagai “dijadikan benar”. “Dijadikan sempurna” secara alkitabiah tidak terbatas pada pengumuman pengampunan, tetapi tercakup di dalamnya ialah pembebasan yang efektif dari kekuasaan dosa.

“Jadi, apabila Anak membebaskan kamu, kamu benar-benar bebas.” (Yoh 8:36)

Bebas untuk menjalani hidup baru sebagai manusia baru dalam Kristus.

Apakah kita hidup di dalam kemerdekaan ini? Janganlah ada yang menipu diri sendiri, mengira dirinya seorang Kristen sementara hidupnya jauh di bawah standar alkitabiah. Kita boleh menyebut diri “Kristen”; kita mungkin saja sudah dibaptis; tetapi pertanyaan pokoknya ialah: Sudahkan Allah menerima kita? Ia akan menerima kita hanya jika kita menerima pengorbanan Kristus begitu rupa sehingga ia berdampak nyata dalam kehidupan kita, membebaskan kita dari kesalahan dosa dan kuasa dosa.

Kebenaran yang berharga ini diuraikan dalam Roma pasal 6 dan 8. Kemerdekaan dari kuasa dosa yang menindas diberikan kepada setiap murid Kristus yang sejati sebagai hak kesulungan dan warisannya. Hukum dosa dan maut pernah membelenggu kita semua, tetapi sekarang hukum Roh dan kehidupan di dalam Kristus Yesus memampukan kita untuk hidup dalam kemerdekaan.


Kemerdekaan dan Jaminan

Jika kemerdekaan ini tidak menjadi kenyataan dalam hidup kita, dalam arti apakah pengorbanan Kristus menyempurnakan kita? Jika kita belum disempurnakan, bagaimana mungkin kita dapat diterima oleh Allah? Kita boleh saja menerima Dia, tetapi apakah Ia menerima kita? Kita mendapat jaminan penerimaan-Nya jika kita mengalami kuasa penyempurnaan dari pengorbanan Kristus di dalam kita. Itu bermakna secara praktis, sekarang kita menjalani hidup yang “dipimpin Roh Allah,” dan “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah” (Rm 8:14, 16). Di sinilah letaknya jaminan sejati di dalam hati.

Apakah kita mudah marah karena kurangnya pengendalian diri? Apakah kita mengejar uang sebagai motivasi utama dari hidup kita? Apakah kita masih memelihara sikap kritis terhadap orang lain, mengungkit–ungkit setiap kesalahan orang lain? Apakah kita melihat selumbar di mata orang, tetapi tidak melihat balok di mata sendiri? Jika begitu, bagaimana mungkin kita mengaku sudah dibebaskan dari hukum dosa dan maut dan sedang mengalami hidup baru?

Yesus dalam kasihnya menyambut kita. Ia mewakili Bapa merentangkan tangannya di kayu salib untuk menyatakan keinginan-Nya untuk menerima kita orang-orang berdosa. Jika kita gagal untuk datang ke dalam pelukan-Nya, itu bukan karena Ia tidak menginginkannya, tetapi karena kitalah yang enggan.

“Karena itu, terimalah satu dengan yang lain, sama seperti Kristus juga menerima kita demi kemuliaan Allah.” (Rm 15:7)

“sebab Allah telah menerima orang itu” (Rm 14:3).

 

Berikan Komentar Anda: