Pastor Eric Chang | Manusia Baru (15a) |
Iman merupakan pokok utama dalam setiap pembahasan tentang kelahiran kembali dan pembaruan. Akan tetapi, menjelaskan arti iman bukanlah tugas yang mudah. Banyak buku telah ditulis tentang subyek ini. Iman dapat dijabarkan dalam istilah suatu komitmen total kepada Allah atau kesetiaan penuh kepada-Nya. Kita setia kepada-Nya karena kita mempercayai-Nya. Mempercayai-Nya berarti mempunyai iman dalam Dia. Jadi, iman dan kesetiaan terhubung tanpa dapat dipisahkan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa kata Yunani bagi iman di Perjanjian Baru (pistis) bisa berarti salah satu atau kedua-duanya. Kita harus beriman kepada Allah dan setia kepada-Nya.
Dalam pesan ini, kita akan membahas tentang iman Perjanjian Baru dengan kembali pada sesuatu yang bahkan lebih mendasar. Tujuannya bukanlah sekadar untuk memperoleh suatu pemahaman intelektual, tetapi untuk secara aktual masuk ke dalam iman itu. Penekanannya adalah pada penerapan praktis daripada pengetahuan intelektual. Tanpa iman yang benar, kita tidak dapat mengenal Allah. Oleh karena itu, kita sedang berurusan dengan suatu persoalan yang sangat mendasar dan vital dalam kehidupan Kristen.
Definisi Iman dalam Ibrani 11
Untuk memahami iman, mari kita lihat Ibrani pasal 11, pasal yang tak tertandingi (par excellence) tentang iman. Ibrani 11 merupakan satu pasal dalam Alkitab yang memberi satu penjelasan yang mendekati definisi iman. Bagian lain dalam Perjanjian Baru juga berbicara tentang iman, tetapi dengan asumsi bahwa pembacanya sudah memiliki iman, atau mengerti apa itu iman.
Sangat sedikit orang sekarang ini yang mengerti apa itu iman. Reformasi Protestan sangat berjasa kepada kita karena menunjukkan kepada kita betapa pentingnya iman dan prinsip pembenaran oleh iman. Apa yang tidak dilakukan oleh Reformasi adalah menerangkan dengan jelas apa itu iman.
Bahkan sampai sekarang ini, walaupun iman sudah didiskusikan, dianalisa, dan diteliti dengan cermat dalam tumpukan disertasi-disertasi doktoral, tulisan–tulisan terpelajar dan buku–buku kesarjanaan, orang-orang Kristen masih saja belum memahami dengan jelas apa itu iman. Barangkali ini menunjukkan bahwa iman bukanlah sesuatu yang setuju untuk dianalisa secara akademis. Iman berkaitan dengan hubungan yang hidup dengan Allah, dan tak dapat dijangkau dengan mengandalkan prosedur pembedahan intelektual.
Kebanyakan dari kita memiliki pemahaman yang agak umum tentang iman, tetapi kita membutuhkan sesuatu yang lebih tepat. Saya tidak begitu berani untuk membayangkan bahwa semua pertanyaan tentang iman dapat dijawab di dalam pesan ini. Meskipun demikian, Tuhan akan berkenan untuk mengaruniakan kepada kita beberapa pengertian penting yang akan memberi dampak nyata atas kehidupan kita.
Di dalam satu pasal ini, yaitu Ibrani 11, kata “iman” (faith) muncul 23 kali, dan “percaya” (believe)” satu kali (ay.6). Banyak contoh dari tokoh-tokoh iman yang luar biasa diberikan. Gelora iman, yang berakar pada hubungan dengan Allah yang hidup, mendapatkan wujudnya dari contoh–teladan gemilang tersebut. Penggunaan contoh teladan merupakan cara yang efektif untuk menggambarkan iman. Kita memperoleh pemahaman yang mendalam akan iman, bukan melalui prosedur analitis, tetapi dengan melihat apa yang iman lakukan, atau apa yang terjadi dalam kehidupan orang yang memilikinya.
Iman: Memperoleh Penerimaan dan Pujian dari Allah
Ibrani 11:1-2 berkata,
Iman adalah jaminan atas segala sesuatu yang kita harapkan, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kelihatan. Sebab, oleh iman merekalah orang-orang pada zaman dulu memperoleh pujian.
Dalam pesan yang lalu kita melihat bahwa yang diperhitungkan bukan apakah kita menerima Allah, tetapi apakah Allah menerima kita. Merupakan suatu kesalahan besar untuk mengira bahwa Allah akan menerima kita hanya karena kita menerima Dia. Harga dari kesalahan ini tak terhitung mahalnya. Dengan kata lain, persoalan yang penting bukanlah apakah kita mengakui iman Kristen, tetapi apakah Allah mengakui kita.
Pada suatu kesempatan, ketika kami berada di Eropa, saya bertanya kepada seorang wanita apakah ia seorang Kristen. Saya dihadiahi jawaban yang pedas, “Tentu saja saya Kristen! Kamu pikir saya apa, orang fasik?” Mereka semua dibaptis saat masih bayi di gereja resmi. Jadi, jika mereka bukan orang Kristen, lalu mereka itu siapa? Orang fasik? Nah, jawaban terus terang dalam banyak atau sebagian besar kasus, sayangnya adalah “Ya”. Di Barat di mana Kekristenan telah menjadi suatu tradisi budaya, menjadi Kristen tidak selalunya berarti apa–apa dalam pandangan Allah, maupun memberi jaminan akan penerimaan-Nya.
Iman: Melihat yang Tidak Kelihatan
“Iman adalah jaminan atas segala sesuatu yang kita harapkan, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kelihatan.” Memang tidak mudah menerjemahkan teks naskah Yunaninya secara memuaskan, tetapi ide umumnya sudah cukup jelas. Di sini dikatakan bahwa iman ialah “jaminan atas segala sesuatu yang kita harapkan”. Apa yang kita harapkan? Roma 8:24-25 menyediakan jawabannya:
Sebab, kita diselamatkan di dalam pengharapan. Akan tetapi, pengharapan yang terlihat bukan lagi pengharapan, sebab siapakah yang berharap atas sesuatu yang sudah dilihatnya? Akan tetapi, jika kita mengharapkan sesuatu yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun.
Keselamatan secara erat berkaitan dengan pengharapan. Oleh karena anugerah dan iman, kita sudah masuk ke dalam keselamatan Allah yang disediakan di dalam Kristus bagi kita. Namun, kita belum lagi melihat hasil akhir dari program keselamatan Allah bagi kita. Ayat di atas berbicara berulang–ulang tentang melihat, dalam rangka menekankan bahwa kita mengharapkan hal–hal yang tidak kita lihat, bukannya hal–hal yang sudah kita lihat pada masa kini.
Menurut definisi, pengharapan berkaitan dengan hal–hal yang tidak kita lihat. Beberapa waktu yang lalu, kami mengharapkan untuk dapat bertemu dengan seorang kawan baik, dan kami tidak melihatnya sampai saat pertemuan. Jika ia sudah bersama kami, tentu kami tidak lagi mengharapkan kedatangannya. Kita mengharapkan sesuatu yang tidak kelihatan, dan kita menunggu “dengan tekun”. Iman, dengan demikian, adalah jaminan dari hal–hal yang diharapkan, keyakinan akan segala sesuatu yang tidak kita lihat—segala sesuatu yang tidak kita lihat pada masa hidup kita, tetapi kita akan melihatnya pada zaman akan datang.
Paulus berkata,
Kami tidak memperhatikan hal-hal yang kelihatan, melainkan hal-hal yang tidak kelihatan. Sebab, hal-hal yang kelihatan adalah sementara sedangkan hal-hal yang tidak kelihatan adalah kekal. (2Kor 4:18).
Ya, hal–hal yang kelihatan bersifat sementara. Segala benda yang Anda lihat di sekitar Anda adalah hal yang sifatnya sementara. Tidak satu pun dari hal–hal tersebut yang akan bertahan selamanya. Tubuh jasmani kita pun bersifat sementara. Kita diingatkan akan hal ini setiap kali kita bertemu orang yang bertahun-tahun tidak kita jumpai. Sejalan dengan pertambahan usia, rambut kita akan semakin memutih atau menipis. Wajah kita mendapatkan “hiasan” garis–garis di dahi dan tempat lainnya—kaum wanita mungkin ada yang kurang menyukai hiasan tambahan ini!
Tidak ada yang permanen dari segala yang terlihat oleh mata kita. Kefanaan hal–hal fisik merupakan fakta yang tak dapat dibantah.
Akan tetapi, jika kita memiliki iman, kita mengarahkan perhatian kita bukan kepada hal–hal yang kelihatan (sementara), tetapi kepada hal–hal yang tak kelihatan (kekal). Hal–hal yang tidak kelihatan, yang tidak nampak oleh mata jasmani kita, adalah kekal.
Gedung gereja ini akan hilang satu hari nanti. Tiang–tiangnya yang besar akan berlalu sebagaimana para pengajar dan orang–orang yang berkumpul di sini. Dalam seratus tahun ke depan, tidak seorang pun dari antara kita yang masih tinggal. Bukan niat saya untuk menakut–nakuti, tetapi sekadar menyatakan kenyataan hidup.
Lalu, iman berkaitan dengan hal-hal yang tak kelihatan, hal-hal rohani, kenyataan-kenyataan kekal, Allah yang kekal, Yesus Kristus, Roh Kudus, Yerusalem surgawi, Gereja sebagai tubuh rohani yang sudah ditebus—dan bukannya hal-hal yang sifatnya sementara. Pokok ini sangatlah pentingnya sebagai dasar untuk memahami sifat iman di dalam Alkitab.
Iman Dapat Dibandingkan dengan Penglihatan Jasmaniah
Iman—melihat yang tidak kelihatan—dapat dibandingkan dengan penglihatan jasmani. Mata jasmani kita melihat hal–hal yang tampak, tetapi orang buta tidak dapat melihatnya. Demikian pula, orang yang kurang imannya buta terhadap hal–hal rohani. Bagi orang yang buta secara rohaniah, Allah hanyalah sebatas teori atau konsep filosofis. Mungkin mereka percaya hal–hal tertentu tentang Yesus—bahwa ia dilahirkan di palungan, bahwa ia memiliki beberapa pengikut dan sebagainya—namun, inikah iman sejati? Apakah kita mendasarkan iman kita pada suatu kisah tentang palungan? Sebaliknya, iman berkaitan dengan persepsi rohani. Tanpa persepsi ini, hal–hal rohani dan kenyataan rohani akan menjadi hal-hal yang tidak masuk akal kepada kita.
Tanpa iman, hal–hal yang dipandang nyata bagi Anda hanyalah mobil, rumah, mebel dan yang sejenisnya. Namun, hal–hal rohani menjadi nyata bagi orang beriman, yang melihatnya bukan dengan mata jasmani, atau hanya sebagai ide–ide abstrak, tetapi dengan mata rohani.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan Kitab Suci membicarakan iman sebagai
(1) “melihat” hal-hal secara rohaniah, dan
(2) sebagai “melihat” hal-hal rohani.
Kedua hal ini tidaklah sama; tetapi mereka merupakan dua aspek dari cara iman berfungsi. Yang pertama berarti seorang yang beriman melihat segala sesuatu dengan mata iman, yakni ia melihat segala sesuatu dari sudut pandang rohani dan tidak hanya melihat pada bagaimana hal itu tampak secara eskternal. Pokok kedua berarti bahwa orang yang beriman melihat hal-hal yang sama sekali tidak tampak secara eksternal karena hal-hal tersebut merupakan kenyataan-kenyataan rohani yang hanya dapat dilihat dengan mata iman. Contoh dari kedua aspek ini dapat dilihat di Ibrani 11.
Oleh Iman Nuh Melihat apa yang Tidak Kelihatan
Oleh iman, setelah diperingatkan oleh Allah tentang peristiwa yang belum ia lihat, Nuh dengan gentar dan taat membangun sebuah bahtera untuk menyelamatkan keluarganya. Dengan ini, Nuh menghukum dunia dan menjadi pewaris kebenaran yang sesuai dengan imannya. (Ibrani 11:7)
Nuh diperingatkan tentang “peristiwa yang belum ia lihat” atau peristiwa pada masa depan yang tak dapat dijangkau oleh kelima panca inderanya. Namun, Nuh dapat melihat peristiwa yang tidak kelihatan itu. Lalu, bagaimana Nuh tahu bahwa semua hal itu akan terjadi? Apakah itu hanya semata-mata khayalannya?
Jika Anda mengaku sebagai orang Kristen, pertimbangkanlah doktrin Kristen yang berkaitan dengan hal yang belum kelihatan: kedatangan kembali Yesus Kristus. Apakah kedatangannya itu nyata atau tidak bagi Anda tergantung pada apakah Anda memiliki iman. Secara teoretis setiap orang Kristen tahu bahwa Yesus telah pernah datang ke dunia, bahwa ia mati, ia dibangkitkan, ia naik ke surga, dan ia akan datang kembali. Pada hari Yesus datang kedua kalinya, Anda mungkin berteriak, “Ini tidak masuk akal! Ia benar–benar kembali!”
Hal-hal yang tidak kelihatan adalah tidak nyata dan bahkan tidak masuk akal kecuali jika Anda memiliki persepsi rohani melalui hal yang menakjubkan yang disebut “iman”. Iman bukanlah perkara imaginasi, tetapi iman adalah mempercayai firman Allah apa adanya (seperti yang dilakukan Nuh), dan dengan berbuat demikian menerima pengertian rohani dari Allah.
Oleh Iman, Abraham Melihat apa yang Tidak Kelihatan
Oleh iman, Abraham ketika dipanggil Tuhan, taat untuk pergi ke suatu tempat yang akan diberikan sebagai milik pusakanya. Dan, ia berangkat, walaupun tidak tahu ke mana ia akan pergi. (Ibrani 11:8).
Abraham tidak tahu ke mana ia harus pergi ketika ia melangkah dalam ketaatan kepada panggilan Allah. Ketika ia menaati firman Allah kepadanya, Allah lalu menyuruhnya untuk pergi ke Kanaan, suatu tempat yang tidak pernah dilihat Abraham, suatu tempat yang asing baginya. Bagi Abraham, Kanaan itu seperti suatu tempat yang terletak di ujung dunia.
Lebih dari itu, riwayat Abraham menunjukkan bahwa ia memulai perjalanan dengan iman tanpa mengetahui sebelumnya apa yang menjadi destinasi akhirnya. Disebutkan bahwa “, ia berangkat, walaupun tidak tahu ke mana ia akan pergi”. Ini sesuai dengan pernyataan di Kejadian 12:1 di mana Tuhan berkata kepada Abraham, “Keluarlah dari negerimu… dan, pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu”. Pada waktu perintah ini diberikan, destinasi akhirnya masih belum diberitahukan.
Ini berarti ia harus melangkah dengan iman, ditunjukkan hanya satu tahap pada satu waktu. Kalau imannya gagal di tengah jalan, ia tidak akan pernah sampai ke “tempat yang akan diberikan sebagai milik pusakanya”, karena dua sebab: pertama, ia tak akan pernah tahu tempat apa yang telah ditentukan Allah bagi dia dan kedua, karena kurangnya ketekunan iman untuk mencapai milik pusaka yang dijanjikan.
Dalam kenyataannya, apa yang terpendam jauh di lubuk hati Abraham adalah hal yang kekal,
… menantikan sebuah kota yang mempunyai fondasi, yang perancang dan pembangunnya adalah Allah. (11:10).
Ia tidak merindukan warisan duniawi, tetapi kota surgawi, “sebab Ia sudah menyediakan sebuah kota bagi mereka” (ay.16), kota yang disebut “Yerusalem surgawi” di Ibrani 12:22 (bdk.Why 21:2). Ini bukanlah khayalan semata-mata. Abraham memang telah melihat kota Allah melalui mata imannya, dan akibatnya ia berpaling dari kekayaan duniawinya. Dunia tidak berarti baginya, karena ia merindukan hal-hal yang kekal. Menujukan matanya ke kota Allah, yang disiapkan untuk mereka yang berjalan bersama-Nya, Abraham tidak menghiraukan dunia bersama kekayaan dan kenikmatannya.
Apakah Anda seperti Abraham, atau Anda menemukan bahwa perkara–perkara rohani sangat samar-samar atau bahkan absurd? Apakah Anda menganggap kedatangan Yesus yang kedua kali dan kota surgawi sebagai dongengan Alkitab?
Iman melihat yang tidak kelihatan. Oleh karena kita diselamatkan oleh iman dan bukan dogma, keselamatan dianugerahkan kepada mereka yang, seperti Abraham dan Nuh, melihat hal yang tidak kelihatan dengan mata rohani, dan hidup dalam ketaatan kepada Allah oleh iman. Orang yang memiliki iman sejati akan menerima pengakuan Allah dan diselamatkan.
Oleh Iman, Musa Melihat apa yang Tak Kelihatan
Oleh iman, Musa meninggalkan Mesir tanpa rasa takut terhadap murka Raja Firaun seolah-olah ia dapat melihat Dia yang tidak kelihatan itu. (Ibrani 11:27)
Musa tidak takut terhadap murka Firaun, raja Mesir. Mengapa Musa harus melewati penderitaan padahal ia, sebagai pangeran di Mesir, dapat menikmati segala kenikmatan di Mesir? Akan tetapi, segala kenikmatan itu tak berarti baginya karena mata rohaninya tertuju pada hal–hal yang tidak kelihatan bagi mata jasmani.
Jika kita mengaku diselamatkan oleh iman, apakah kita juga dengan cara yang sama “bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan”? Ataukah iman kita tidak lebih dari sekadar mempercayai beberapa doktrin Kristen saja, sekalipun doktrin tentang Kristus yang tersalib? Mungkin doktrin–doktrin itu dipelajari dari orangtua atau guru kita. Jika itu adalah inti dari “iman”, yang kita butuhkan hanyalah tradisi budaya dan pendidikan agama Kristen untuk diselamatkan.
Dalam Kitab Suci, iman adalah kemampuan untuk melihat hal–hal rohani. Musa bertahan karena ia melihat melampaui hal yang sifatnya sementara. Dengan mata yang terarah pada Allah yang tidak kelihatan, Musa rela menjalani banyak penderitaan di padang gurun. Jika kita menerima ajaran pembenaran oleh iman, mari kita uji apakah iman kita sesuai dengan definisi Alkitab.
Oleh karena ia memiliki iman yang seperti ini, Musa dapat
… menganggap bahwa kehinaan Kristus lebih berharga daripada seluruh kekayaan Mesir sebab Musa memandang kepada pahala yang akan datang. (Ibr 11:26)
Memandang kepada Yesus
Ibrani 12:2 mengatakan,
“Biarlah mata kita tertuju pada Yesus, sang pencipta dan penyempurna iman kita, yang demi sukacita yang telah ditetapkan baginya, rela menanggung salib dan mengabaikan kehinaan salib itu. Dan, sekarang, ia duduk di sebelah kanan takhta Allah.”
Ayat ini menghimbau orang-orang Kristen untuk menjalani hidup mereka terus menerus dengan “mata yang tertuju kepada Yesus” (present participle). Akan tetapi, di mana Yesus sekarang? Kita tak dapat melihatnya sekarang karena ia duduk di sebelah kanan takhta Allah. Ayat ini tidak masuk akal jika “mata yang tertuju” menunjuk kepada mata jasmani. Referensi ini berkaitan dengan penglihatan rohani. Setiap orang Kristen dipanggil kepada ketekunan iman yang terus menerus memandang kepada Yesus.
Bersambung…