Pastor Eric Chang | Manusia Baru  (15b) |

Bersambung dari Melihat Yang Tidak Kelihatan

Yang membuat bingung banyak orang sekarang ini adalah terdapatnya dua hal yang disebut dengan istilah yang sama yaitu “iman”, tetapi isinya sangatlah berbeda. Yang satu penglihatan secara intelektual, sedangkan yang lain penglihatan secara rohani. Oleh karena keduanya dinamakan “iman”, perbedaan fundamental antara keduanya menjadi sangat kabur. Kedua hal ini tidak boleh dikelirukan. Penglihatan intelektual tidaklah sama dengan penglihatan rohani. “Iman” yang dipegang oleh kebanyakan orang Kristen sekarang ini sebenarnya adalah penglihatan intelektual, bukan penglihatan rohani.

Apa itu penglihatan intelektual? Jika saya menjelaskan sesuatu kepada Anda dan Anda menjawab, “Nah, saya lihat maksud Anda,” itu menunjukkan bahwa Anda mengerti dengan pikiran Anda apa yang saya bicarakan. Ini adalah penglihatan intelektual; tetapi ini bukanlah apa yang dimaksudkan dengan “iman” Perjanjian Baru.

Banyak orang mengaku percaya kepada Yesus, tetapi jika Anda menanyakan kepada mereka mengapa mereka percaya, jawabannya mungkin, “Karena teman saya percaya kepada Yesus.” Atau mereka bahkan berkata, “Teman saya sangat layak dipercaya dan saya percaya penuh kepada perkataannya. Ia bahkan bercerita tentang pengalaman rohaninya. Suatu kali ia mendengar suara Allah berbicara kepadanya! Sangat luar biasa ada orang yang masih mendengar suara Allah pada abad ke-21 ini. Teman saya tidak mungkin berdusta. Ia benar–benar mendengar suara Allah dan itu menjadi bukti buat saya bahwa Allah itu nyata.”

Penalaran Anda dapat diterima. Kita tidak perlu meragukan pengalaman teman Anda. Namun, ada satu perbedaan yang sangat mendasar di sini. Teman Anda memiliki iman tangan-pertama (first-hand) kepada Allah, tetapi Anda iman tangan-kedua (second-hand).  Iman Anda didasarkan pada iman teman Anda. Iman Anda bersifat intelektual, iman teman Anda bersifat rohani. Itulah perbedaan kuncinya. Tidak ada salahnya mempercayai kesaksiannya, tetapi itu bukanlah iman seperti yang didefinisikan di Ibrani 11:1. Iman intelektual dapat menjadi langkah awal menuju iman rohani, tetapi tidak dapat menjadi penggantinya. Banyak Kristen yang mengalami kebingungan dalam hal ini.

Beberapa orang menjadi Kristen sesudah membaca kisah hidup orang–orang seperti Sundar Singh, hamba Allah yang luar biasa dari India yang mengalami banyak hal yang mengherankan. Allah melakukan banyak mukjizat melalui dia dan saya tidak meragukan kisah–kisah dalam kehidupannya. Sebagai orang yang sudah mengalami beberapa mukjizat seperti itu, saya tahu Allah memang benar–benar melakukan mukjizat.

Barangkali Anda pernah menyaksikan orang sakit disembuhkan dalam sebuah acara kebaktian. Tidak perlu kita meragukan hal itu, walaupun kita harus tetap waspada pada kenyataan bahwa beberapa mukjizat memang benar–benar terjadi, dan beberapa yang lain mungkin tipuan belaka. Itu bukti yang terpampang di depan mata Anda. “Percaya setelah melihat”, yaitu iman semacam ini timbul dari melihat. Mata Anda memberitahu Anda bahwa suatu mukjizat telah terjadi.

Banyak orang, sesudah melihat mukjizat, berseru, “Haleluyah! Saya percaya kepada Allah sekarang!” Sekarang mereka percaya kepada Allah yang melakukan mukjizat. Itu memang boleh disebut semacam iman, tetapi apakah itu iman yang menyelamatkan?

Kita mungkin terkejut jika mengetahui bahwa iman seperti itu belum dapat disebut iman yang menyelamatkan. Di sepanjang tanah Israel, Yesus menyembuhkan banyak orang di hadapan banyak saksi mata. Sebagai contoh, mereka melihatnya menyembuhkan orang buta. Banyak orang yang percaya kepada Yesus setelah menyaksikan ia melakukan hal ini dan berbagai mukjizat yang lain. Mereka melihat Yesus berkata kepada orang lumpuh, “Bangun, angkatlah tempat tidurmu, dan berjalanlah.” (Mrk 2:9-11; Mat 9:6). Orang itu bangkit dan mulai berjalan di hadapan banyak orang.

Ketika Lazarus mati, semua tetangga mengetahui hal itu. Sesudah ia mati selama empat hari, Yesus berkata kepadanya, “Lazarus, keluarlah,” dan ia benar–benar keluar dari kuburnya. Banyak orang menyaksikan peristiwa ini dan mereka jadi percaya kepada Yesus karena apa yang dilihat oleh mata jasmani mereka. Akan tetapi, menurut Ibrani 11:1, iman sejati adalah iman yang melihat apa yang tidak terlihat oleh mata jasmani.

Tentu saja, tidak ada salahnya untuk mempercayai Allah sesudah menyaksikan mukjizat. Namun, itu hanyalah persiapan untuk iman dan bukan iman keselamatan itu sendiri. Iman seperti apa yang Anda miliki? Apakah Anda menjadi Kristen karena membaca sebuah biografi? Itu memang baik, tetapi jika iman Anda dibangun di atas pengalaman orang lain, bahkan pengalaman ajaib sekalipun, iman Anda masih di tahap tangan-kedua. Iman yang menyelamatkan, menurut Perjanjian Baru, berkaitan secara langsung dengan Allah. Seperti Musa, Anda bertahan karena melihat Dia yang tidak kelihatan.

Iman intelektual melibatkan analisis atas data dan fakta. Anda menimbang berbagai dalil lalu menarik suatu kesimpulan logis. Anda menyaksikan suatu mukjizat, lalu Anda menyimpulkan melalui suatu proses logis bahwa Allah itu nyata dan memiliki kuasa untuk menyembuhkan. Itu ialah iman intelektual. Ia didasarkan pada prosedur penyelidikan yang mirip dengan yang digunakan di bidang hukum, di mana hakim dan juri mendengarkan saksi-saksi. Mereka menimbang bukti–bukti, argumentasi-argumentasi dan kredibilitas para saksi, dan kemudian mereka mengambil kesimpulan atau keputusan. Iman intelektual juga didasarkan pada analisa intelektual. Tidak ada yang salah dengan itu semua. Di dunia ini, kita tidak dapat melakukan banyak hal tanpa analisa intelektual. Setiap hari kita harus menilai apakah sesuatu itu benar atau salah, lalu menerima atau menolaknya.

Akan tetapi, kita harus membedakan kedua jenis iman yang sangat jauh berbeda ini. Yang pertama adalah penerimaan intelektual atas beberapa pernyataan. Itu bukanlah hal yang salah, tetapi hanya merupakan mukadimah, atau persiapan, kepada iman rohani. Iman yang menyelamatkan, sebaliknya, adalah kemampuan untuk melihat perkara–perkara yang kekal yang tak terlihat oleh mata jasmani.


Dua Macam Pengenalan

Perbedaan antara kedua macam iman itu dapat juga dijelaskan melalui perbedaan penting antara “mengenal” dan “mengenal tentang”. Jika saya berkata, “Saya mengenal tentang John” itu tidak berarti saya mengenal dia secara pribadi, tetapi saya mengetahui sesuatu tentang dia. Namun, jika saya berkata, “Saya mengenal John”, itu berarti saya mengenalnya secara pribadi. Meskipun demikian, sekalipun saya pernah bertemu, berjabat tangan dan bercakap–cakap dengan John, tetap saja masih salah jika saya berkata saya mengenalnya. “Mengenal” di dalam Kitab Suci menunjukkan adanya hubungan berdasarkan pengalaman pribadi seseorang dengan yang lain. Mengenal secara langsung berbeda dari “mengenal tentang”. “Mengenal tentang” ialah pengenalan tangan-kedua yang diperoleh melalui informasi yang disampaikan oleh seseorang atau media tertentu (buku atau yang lainnya).

Ketika kita menyaksikan suatu mukjizat, kita memperoleh beberapa pengetahuan penting tentang kasih, kuasa dan keagungan Allah. Jika pengetahuan ini mendorong kita untuk menjalin hubungan yang hidup dengan Allah secara langsung, kita melangkah dari ‘mengetahui tentang’ menjadi benar-benar mengenal Allah. Ini merupakan perpindahan yang penting dari iman tangan-kedua menuju iman tangan-pertama. Melihat ialah cara penting kita dapat mengenal seseorang atau sesuatu. Sebagaimana yang telah kita ketahui, iman dapat dianalogikan dengan melihat secara rohani, jadi melalui iman jugalah kita dapat mengenal Allah, atau menjalin hubungan yang nyata dengan-Nya.

Apakah Kitab Suci memberi petunjuk yang lebih jelas bagaimana kita harus memahami hubungan yang nyata dengan Allah ini? Pada titik mana kita boleh sesungguhnya berkata kita sudah mengenal Allah? Kita mengetahui bahwa jika kita telah bertemu seseorang, berjabat tangan, dan bahkan bercakap–cakap dengannya, kita masih belum dapat dikatakan telah mengenalnya sampai suatu hubungan atau persahabatan terjalin.

Di dalam hidup ini kita sudah bertemu, berjabat tangan dan bercakap-cakap dengan banyak orang. Namun, sebagian besar dari mereka tidak dapat dikatakan kita kenal. Hanya apabila persahabatan atau hubungan yang akrab terjalin, baru kita dapat mengatakan bahwa kita mengenal mereka atau mereka mengenal kita. Jika seseorang berkata bahwa ia mengenal Anda, tetapi Anda tidak mengenalnya, apakah pernyataan orang itu memiliki arti? Pengenalan Anda akan dia sama pentingnya dengan pengenalan dia akan Anda jika kata “kenal” harus diberi arti yang nyata. Dengan kata lain, mengenal harus melibatkan kedua pihak, yaitu keduanya harus saling mengenal.

Dengan cara yang sama, Kitab Suci menjelaskan bahwa kata ‘mengenal’ dalam kaitannya dengan hubungan kita dengan Allah juga merupakan sesuatu yang melibatkan kedua pihak. Sebagai contoh,

“Tuhan mengenal siapa yang menjadi milik-Nya” (2Tim 2:19)

“Namun, jika seseorang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah” (1Kor 8:3)

“Namun, sekarang, setelah kamu mengenal Allah atau lebih tepatnya dikenal oleh Allah…” (Gal 4:9)

Yesus sendiri menyatakan,

“Akulah gembala yang baik. Aku mengenal domba-dombaku dan domba-dombaku mengenal aku” (Yoh 10:14).

Kita juga sempat menyinggung sekilas perkataan Yesus di Matius 7:21-23. Di sana ia menyebutkan tentang orang–orang yang mengaku mengenalnya karena mereka mengakuinya sebagai “Tuhan” dan bahkan melakukan banyak mukjizat dalam nama-Nya, tetapi ia berkata kepada mereka, “Aku tidak pernah mengenal kamu”. Dalam kasus orang–orang ini, hubungan mereka dengan Yesus hanya sepihak dan dengan demikian, tidak diakui olehnya.

Sama seperti persoalan tentang penerimaan yang telah kita pertimbangkan sebelum ini, hal yang sama berlaku pada pengenalan. Persoalannya bukanlah apakah kita pikir kita mengenal Allah, tetapi apakah Ia mengenal kita sebagai milik-Nya.


Yang Jasmani Menghalangi Kita dari Melihat yang Rohani

Kita sampai pada pokok yang kedua: Unsur–unsur jasmani manusia cenderung menghalanginya dari melihat hal–hal yang rohani. Mari kita gunakan baptisan untuk menjelaskan pokok  ini.

Baptisan melambangkan kematian. Mati terhadap diri dan cara hidup yang lama di dalam daging. Mengapa kematian begitu penting? Anda mungkin menjawab, “Oh, gampang. Melaluinya kita mati bagi dosa.” Anda benar, tetapi perkaranya tidak sesederhana itu. Itu karena Anda tidak akan dapat mati bagi dosa kecuali Anda terlebih dahulu mati terhadap daging.


(1) Perhambaan pada Daging 

Roma pasal 6 menguraikan arti baptisan dalam istilah mati bagi dosa. Topik ini berlanjut ke Roma 7. Di pasal 7 hubungan antara daging dan dosa jelas kelihatan: kita tak dapat mati bagi dosa kecuali jika kita mati bagi daging.

Di pasal 7 Paulus menjelaskan keadaan dirinya yang menyedihkan pada waktu ia masih “di dalam daging”: Ia tidak melakukan yang baik yang ingin dilakukannya, tetapi melakukan yang jahat yang dibencinya.

14  Sebab kita tahu bahwa hukum Taurat bersifat rohani, tetapi aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa. 15  Sebab apa yang aku lakukan, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku lakukan, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku lakukan. 16  Jadi, jika aku melakukan apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui bahwa hukum Taurat itu baik. 17  Kalau demikian bukan aku lagi yang melakukannya, tetapi dosa yang ada di dalam aku. 18  Sebab aku tahu bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai yang bersifat daging, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab menghendaki yang baik memang ada padaku, tetapi melakukan apa yang baik, tidak.

Itu mengingatkan kita pada orang–orang yang membuat azam Tahun Baru, tetapi tak dapat memeliharanya. Mereka mendapati diri mereka terjerat dalam dilema: Mereka ingin melakukan hal yang baik, tetapi mereka tidak bisa. “Manusia lama”, manusia yang belum dilahirkan kembali, mendapati dirinya ditakluki oelh suatu kekuatan yang diam di dalam dirinya, sehingga ia tidak dapat melakukan yang baik yang diniatkannya, malahan melakukan yang jahat.

Paulus berkata di ayat 16-17: “Jadi, jika aku melakukan apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui bahwa hukum Taurat itu baik. Kalau demikian bukan aku lagi yang melakukannya, tetapi dosa yang ada di dalam aku.”

Apa yang dimaksudkan Paulus? Ada sesuatu yang menghalangi saya melakukan hal baik yang ingin saya lakukan. Apa itu tepatnya? Dosa yang tinggal di dalam aku. Dosa bukan sekadar suatu tindakan atau perbuatan; dosa ialah suatu kekuatan yang menekan saya untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hasrat dan kehendak saya. Di ayat 18-20 Paulus melanjutkan:

18  Sebab aku tahu bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai yang bersifat daging, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab menghendaki yang baik memang ada padaku, tetapi melakukan apa yang baik, tidak. 19  Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku lakukan, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku lakukan. 20  Jadi, jika aku melakukan apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang melakukannya, tetapi dosa yang tinggal di dalam aku.

Melanjutkan dari pokok ini, Paulus berkata di ayat 23:

tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku.

Di sini Paulus berbicara tentang “anggota-anggota tubuh”, yaitu anggota-anggota tubuh jasmaninya—tangan, kaki, dan sebagainya. Dalam bentuk jamak, “anggota–anggota tubuh” secara kolektif menunjuk kepada tubuh. Dengan kata lain, “hukum dosa” yang ada di dalam “anggota–anggota tubuhku” berperang melawan “hukum yang ada di dalam pikiranku”  dan telah menjadikan aku orang tawanan. Paulus kemudian menutup pasal ini dengan kata–kata yang menusuk:

sebagai manusia yang bersifat daging aku melayani hukum dosa.

Ini meneguhkan pengamatan kita sebelumnya: Anda tak dapat mati bagi dosa kecuali jika Anda mati bagi daging. Sangat sederhana dan jelas. Itu sebabnya mengapa baptisan melibatkan kematian. Kematian pada baptisan menandakan penyingkiran daging, dan berakhirnya kehidupan di dalam daging. Apabila kita mengalami kematian ini dan menerima Roh Kudus, apa yang akan terjadi selanjutnya? Roma 8:9 mengatakan kepada kita,

“Namun demikian, kamu tidak hidup dalam daging, tetapi dalam Roh jika Roh Allah memang tinggal di dalam kamu.”

“Kamu tidak hidup di dalam daging”! Pernyataan yang membingungkan, bukankah demikian? Karena, yang jelas, tubuh Anda belum lenyap. Namun, sang rasul sedang berbicara secara rohaniah dan bermaksud mengatakan bahwa kita tidak lagi dikendalikan oleh daging, tidak lagi hidup di bawah kuasanya. Ia sangat menekankan kontras antara “di dalam daging” melawan “di dalam Roh”. Kita berada dalam Roh jika kita telah menjadi manusia baru di dalam Kristus, dan sekarang kita hidup oleh kuasa-Nya.

(2) Selubung Daging

Banyak orang Kristen yang hidup dalam kekalahan dan mereka berkata pada diri mereka, “Roma pasal 7 memang benar. Itu menjelaskan keadaan saya dengan tepat. Saya ingin melakukan yang baik, tetapi malahan berbuat yang jahat.” Penilaian ini benar jika Anda masih berada di bawah kendali daging, dan oleh sebab itu masih di bawah kuasa dosa. Jika demikian halnya, Anda belum berpindah dari situasi yang digambarkan di Roma pasal 7 ke dalam hidup baru yang digambarkan di Roma pasal 8.

Daging adalah selubung yang menutupi wajah Anda dan mencegah Anda dari melihat hal-hal rohani. Tidak ada orang yang di dalam daging yang dapat melihat hal–hal yang berasal dari Allah. Kita dapat mengetahui apakah kita di dalam daging atau di dalam Roh dengan menanyakan apakah perkara–perkara rohani nyata bagi kita. Bagi manusia yang di dalam daging, perkara–perkara rohani hanya dipahami sebatas konsep, abstrak atau bahkan dogengan. Yang penting baginya adalah kenyataan material: mobil, rumah, warung es krim—segala yang dapat dilihat dan didengar, atau dirasakan dan dicium, atau diraba dengan jari. Bagi manusia natural, hal–hal rohani yang berasal dari Allah tidak dapat diterima oleh akal mereka, dan tak jarang dianggap sebagai suatu kebodohan (1Kor 2:10-14). Hanya kenyataan fisik yang dapat diterima oleh akal mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu transformasi yang radikal dan mendasar untuk dapat menjadi manusia yang sama sekali baru di dalam Kristus.

Pada baptisan kita “menanggalkan daging”. Ini tidak berarti baptisan memiliki unsur-unsur gaib. Kita juga tidak mencampurkan larutan asam ke dalam kolam baptisan untuk melarutkan daging! Ahli kimia tidak akan menemukan larutan khusus apa pun di dalam kolam baptisan. Pada baptisan, suatu transisi rohani terjadi melalui iman. Oleh anugerah Allah, kekuasaan atau tirani daging atas kita “ditanggalkan”, atau disingkirkan, oleh kuasa Roh Kudus. Kita sekarang dengan penuh sukacita menempatkan diri kita di bawah kendali Roh. Ini adalah perpindahan radikal dari satu wilayah kekuasaan ke wilayah kekuasaan yang lain. Namun, jika Anda memilih untuk tetap “di dalam daging”, daging akan menutup penglihatan rohani Anda seperti tirai yang tebal, membutakan mata Anda kepada hal–hal rohani.

Mari kita perhatikan baik–baik apa yang dikatakan Paulus di 2 Korintus 3:15-16:

15  Bahkan sampai hari ini, ketika kitab Musa dibaca, sebuah selubung menutupi hati mereka. 16  Namun, saat seseorang berbalik kepada Tuhan, selubung itu akan diangkat. 17  Tuhan adalah Roh dan di tempat Roh Tuhan hadir, di sana ada kemerdekaan. 18  Dan, kita semua, yang dengan wajah tidak terselubung mencerminkan kemuliaan Tuhan, sedang diubah kepada gambar yang sama dari kemuliaan kepada kemuliaan, sama seperti Tuhan, yang adalah Roh itu.

Dapatkah kita melihat kemuliaan Tuhan? Kita tak dapat memahami atau “melihat” kemuliaan-Nya selama selubung daging yang menutupi mata rohani kita belum disingkirkan.

Paulus melanjutkan pembahasan tentang selubung pada pasal berikutnya:

Namun, jika injil kami masih terselubung juga, dia terselubung bagi mereka yang sedang binasa,  yang di antara mereka, ilah zaman ini telah membutakan akal mereka yang tidak percaya, sehingga terang injil kemuliaan Kristus yang adalah gambar Allah, tidak menyinari mereka.” (2Kor 4:3-4 MILT)

Injil itu terselubung bagi mereka yang sedang binasa. Injil tidak masuk akal bagi mereka yang wajahnya diselubungi. Mereka hidup di dalam daging dan dosa berkuasa atas daging. Mereka akan binasa karena upah dosa adalah maut (6:23). Tetapi syukur kepada Allah, selubung daging itu disingkirkan di dalam Kristus.

Sebab itu, saudara-saudaraku, karena sekarang kita memiliki keberanian untuk masuk ke dalam Ruang Mahakudus oleh pengurbanan darah Yesus, dengan jalan yang baru dan hidup, yang telah dibukakan oleh Yesus bagi kita melalui tirai, yaitu tubuhnya, (Ibrani 10.19-20).

Bahkan tubuh Yesus pun digambarkan sebagai selubung (tirai). Ketika tubuhnya tercabik dan robek di atas salib, kita diberi jalan untuk masuk ke tempat kudus di mana hadirat Allah berada. Dalam kenyataannya, tubuh Yesus sendiri adalah bait atau “tempat kudus” Allah karena “dalam dialah berdiam seluruh kepenuhan keilahian yang hidup dalam bentuk jasmani” (Kol 2:9). Saat “selubung” tubuh Yesus dirobek, jalan masuk ke dalam hadirat Allah dibuka. Jadi di dalam dan melalui Kristus kita menemukan jalan menuju Allah.


Iman Tangan-Kedua Tidak Menuntut Apa pun

Sekarang kita mengerti mengapa kita harus menanggalkan cara hidup lama kita yang dikuasai daging, atau suatu pola hidup yang disibukkan dan didorong oleh pengejaran akan hal–hal material dan duniawi seperti mobil, rumah, komputer—hal-hal yang di dalam jangkauan panca indera kita; atau jika bukan hal–hal seperti itu, perkara–perkara lain dari dunia ini seperti pujian atau aplus dari manusia, atau penghormatan dari manusia, atau segala macam kepentingan dan aspirasi duniawi

Bagi seseorang yang berpikiran duniawi, yang kurang memiliki persepsi rohani, dan mereka yang tetap berkubang dalam iman tangan-kedua, perkara–perkara rohani tampak kabur, abstrak,  jauh dan remang-remang.

Ada satu lagi yang cacat tentang iman tangan-kedua: ia tidak menuntut apa–apa dari Anda. Padahal orang yang dapat melihat kemuliaan Allah akan menanggalkan daging, dan mereka berbuat demikian dengan pengorbanan yang sangat besar. Kepercayaan tangan-kedua yang berdasarkan pada iman orang lain tidak melibatkan pengorbanan apa pun. Iman intelektual tidak menuntut Anda untuk bertindak atas daging. Selubung daging masih melekat tak terganggu. Memiliki iman tangan-kedua tidak melibatkan penglihatan akan realitas-realitas kekal yang menarik kita untuk menjauhi daging.

“Jika ada yang mau mengikuti aku, ia harus menyangkal dirinya sendiri, memikul salibnya, dan mengikut aku” (Mat 16:24).

Jika Anda memikul salib, Anda sudah selesai dengan daging. Di sisi lain, iman intelektual tidak membutuhkan Anda untuk menyangkal diri. Daripada membayar harga yang mahal, iman intelektual dalam kenyataannya sangat menyenangkan. Ia bermain–main dengan konsep–konsep teologis yang menarik, dan hal itu dapat menjadi penawar yang sempurna bagi kebosanan intelektual!

Kerohanian sejati terjadi apabila selubung daging disingkirkan lewat kematian, yaitu mati terhadap hidup lama di dalam daging.

Ibrani 12:2 menyuruh kita untuk menetapkan pandangan kita kepada Yesus, pendahulu dan penyempurna iman kita. Tentu saja mustahil untuk “menujukan mata” kita kepadanya jika selubung daging ini belum disingkirkan.


Penglihatan adalah Bukti Nyata

Iman Perjanjian Baru adalah penglihatan rohani. Penglihatan rohani berbeda dari penglihatan jasmani, tetapi memiliki kemiripan yang signifikan. Seperti penglihatan fisik, ia berfungsi sebagai bukti bahwa apa yang dilihatnya adalah nyata (atau, “self-verifying”). Jika Anda menanyakan kepada saya, bagaimana saya tahu bahwa seseorang itu eksis, saya akan menjawab, saya sudah melihatnya dengan mata saya sendiri. Melihat adalah bukti seorang saksi mata; dan bukti ini menjadi dasar bagi jaminan. Bagaimana lagi kita dapat secara langsung mengetahui bahwa sesuatu itu nyata atau benar?

Setelah kita memahami kebenaran bahwa iman adalah penglihatan rohani, dan penglihatan itu dengan tersendirinya bertindak sebagai bukti (dalam pengertian bahwa kita pasti apa yang telah kita lihat dengan mata kita sendiri adalah nyata dan bukan suatu kilasan khayalan), kita tidak akan mempunyai kesulitan untuk memahami arti dari Ibrani 11:1,

Iman adalah jaminan atas segala sesuatu yang kita harapkan, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kelihatan.

Penglihatan adalah dasar bagi pengenalan, berbeda dari pengenalan tentang sesuatu. Ketajaman dan kedalaman penglihatan kita tentunya mempengaruhi kualitas dari pengenalan kita. Dengan kata lain, semakin dangkal saya melihat, semakin dangkal pengenalan saya; semakin sedikit saya melihat, semakin sedikit yang saya kenal. Tentu saja, yang sebaliknya juga benar: Semakin tajam penglihatan saya, semakin baik pengenalan saya; semakin luas jangkauan penglihatan saya, semakin lengkap pengenalan saya.

Hubungan antara iman, penglihatan dan pengenalan seharusnya sudah jelas sekarang. Kita sekarang dapat memahami mengapa sang rasul berkata dengan penuh keyakinan “aku mengenal dia yang kupercayai”dan bukan hanya, “aku beriman kepada dia yang kupercayai” (2Tim 1:12 FAYH). Imannya sebagai penglihatan rohani telah memampukannya untuk mengenal dengan penuh keyakinan dia yang sekarang berada di tangan kanan Bapa dan tidak dapat dilihat oleh penglihatan jasmani pada zaman ini.

“Marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita… Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr 12:1,2).

 

Berikan Komentar Anda: