Pastor Eric Chang | Matius 16:18 |

Ucapan bahagia menggambarkan kepenuhan karakter Yesus Kristus

Hari ini, kita lanjutkan pembahasan di Matius pasal 16. Kita baru selesai membahas tentang ucapan bahagia. Saya harap kita telah memahami dengan jelas akan satu hal, yakni ucapan bahagia menggambarkan kepribadian Yesus Kristus. Semua ucapan bahagia itu mengungkapkan kepada kita seperti apa Yesus itu karena Yesus tidak pernah mengajarkan kita tentang hal-hal yang dia sendiri tidak kerjakan. Saya selalu meratapi kenyataan betapa kebanyakan orang Kristen hebat dalam berbicara namun buruk sekali di dalam pelaksanaannya. Kita berbicara banyak tentang kasih, kekudusan dan sebagainya, namun ketika masuk ke bagian praktek, sayang sekali, kita masih sangat jauh dari apa yang kita ucapkan. Saya tidak pernah berhenti meratapi kelemahan dan kegagalan kita dalam hal ini.

Apa yang bisa kita katakan mengenai ucapan bahagia? Ucapan bahagia menggambarkan bagi kita seperti apa seorang murid itu. Dan sering kali, saat kita membandingkan diri kita dengan isi dari ucapan bahagia itu, kita mungkin akan bertanya apakah kita ini orang Kristen atau bukan? Ada kalanya kita merasa putus asa, mengapakah setelah sekian lama melangkah di jalur pemuridan ini, tampaknya kita masih begitu jauh dari gambaran ideal yang digambarkan di ucapan bahagia.

Jadi, sangatlah penting untuk mencamkan satu hal. Ucapan bahagia itu berisi gambaran ideal yang seharusnya mencirikan setiap orang Kristen. Itulah tujuan dari panggilan surgawi yang kita terima. Saat Paulus berkata bahwa kita harus maju terus mengejar sasaran, apakah sasaran yang sedang kita kejar itu? Apakah tujuan yang sedang dikejar oleh Paulus itu? Dia melanjutkan uraiannya dengan berkata, “Bukan karena aku ini sudah sempurna tetapi aku terus berlari-lari menuju sasaran (gol).” Ucapan bahagia adalah sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan di hadapan kita. Bukan berarti kita akan memiliki semua itu secara sempurna; bukan bahwa kita sudah miskin secara rohani dengan sempurna; bukan bahwa kita sudah lemah lembut; sudah suci di dalam hati sehingga tidak pernah terlintas lagi pikiran jahat di benak kita; dan tak ada lagi godaan yang bisa menembus perisai rohani kita. Bukan itu.

Kita menerima semua itu belum secara sempurna. Seperti yang dikatakan oleh Paulus, “Bukan karena aku sudah mencapainya,” karena kesempurnaan itu adalah sasarannya. Sekarang kita tahu apa tujuan yang dikejar oleh Paulus. Itu jugalah tujuan yang harus kita kejar dengan gigih, penuh tekad dan juga dengan air mata karena kita sering jatuh. Kita memang belum mencapai kepenuhan kedewasaan Kristus yang digambarkan di sana. Sasaran itu adalah kepenuhan dari kedewasaan Kristus. Apakah kepenuhan dari kedewasaan itu? Kepenuhan dari kedewasaan itu adalah semua hal yang diuraikan dalam ucapan bahagia.

Akan tetapi, keadaan kita ini yang masih jauh dari sempurna bukan alasan untuk mengatakan bahwa kita ini bukanlah murid. Ciri pokok seorang murid adalah bahwa dia sudah berpaling dari cara hidup lamanya, dan dia terus melangkah mengejar tujuan; dia sedang dalam perjalanan; masih di tengah jalan. Ini adalah hal yang sangat penting.

Di dalam Alkitab, jalan hidup orang Kristen atau jalan Injil, disebut ‘Jalan Tuhan’; ini adalah jalan hidup. Ini bukan garis atau jembatan yang hanya perlu diseberangi. Ini adalah jalan yang harus ditempuh. Demikianlah, di dalam kitab Kisah Para Rasul, Anda akan sering menemukan bahwa orang Kristen disebut sebagai ‘pengikut Jalan Tuhan’.

Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa Anda sedang berada di tengah perjalanan; Anda sedang melangkah maju mengejar tujuan, ini bukan masalah apakah Anda sudah sampai atau belum. Anda tidak sampai pada tujuan itu di dalam hidup Anda sekarang ini, akan tetapi tujuan itu adalah sasaran yang terus kita kejar dengan teguh. Artinya, Anda mungkin sudah menjadi miskin di hadapan Allah, akan tetapi belum sempurna di dalam pokok ini. Anda sekarang baru mulai secara tulus menjadi miskin di hadapan Allah. Kenyataan bahwa Anda masih belum sempurna dalam hal miskin di hadapan Allah ini bukan berarti bahwa Anda tidak secara tulus menjadi miskin di hadapan Allah. Kenyataan bahwa Anda masih belum sempurna di dalam kelemah-lembutan bukan berarti bahwa Anda tidak tulus dalam hal kelemah-lembutan. Kenyataan bahwa Anda tidak sempurna di dalam kesucian hati bukan berarti bahwa Anda tidak tulus mengejar kesucian hati. Anda sedang di tengah perjalanan, Anda sedang melangkah maju mengejar tujuan. Ini adalah hal penting yang perlu dipegang dalam memahami ucapan bahagia.

Ini bukan masalah apakah Anda sudah memilikinya secara sempurna atau tidak punya sama sekali. Cara pandang “sempurna atau tidak ada sama sekali” tidak berlaku di dalam kemajuan rohani karena kemajuan rohani itu seperti suatu pertumbuhan. Seorang anak mungkin bukan manusia yang sudah dewasa penuh, akan tetapi dia tetaplah manusia; dia tetaplah manusia sekalipun masih belum dewasa. Dia tetap berhak untuk disebut manusia. Anda mungkin belum mencapai kepenuhan kedewasaan Kristus namun Anda tetap berhak disebut sebagai anak Allah jika Anda berserah kepada Allah sepenuhnya.

Jadi kita harus pahami betul-betul bahwa ucapan bahagia itu adalah tujuan yang harus kita kejar. Itulah jalan yang harus kita tempuh. Kita harus terus melangkah ke arah sana, dan selama kita masih melangkah ke arah sana, kita berhak disebut sebagai anak. Dan ini adalah pokok yang penting untuk dipahami. Karena kodrat baru yang ada di dalam diri kita itu perlu bertumbuh. Ia memerlukan waktu untuk bertumbuh dan karena itulah dipakai istilah anak. Kita adalah anak-anak Tuhan yang sebenarnya, sekalipun kita masih belum mencapai kedewasaan penuh Kristus. Kita sedang bertumbuh ke arah sana dan kita menjadikan sasaran itu sebagai tujuan pertumbuhan kita dengan kasih karunia Allah.

Semua hal ini berkaitan dengan perikop yang sedang kita bahas di Matius pasal 16 sekarang ini. Mari kita masuk ke dalam Matius pasal 16. Ucapan bahagia sebenarnya sangat berkaitan dengan setiap bagian dari pengajaran Tuhan karena ucapan bahagia ini merupakan dasar dari semua ajarnya. Bisa Anda katakan bahwa setiap ajaran Yesus bisa ditelusuri kembali ke ucapan bahagia. Ucapan bahagia ini merupakan intisari dari semua ajarannya. Ucapan bahagia itu merupakan rangkuman dan kejelasan dari segenap ajarannya. Jika Anda ingin menelaah segenap ajaran Yesus dalam satu rangkuman utuh, semua itu ada di dalam ucapan bahagia. Bagian pengajaran Yesus yang lainnya merupakan pengembangan dari ucapan bahagia dan Khotbah di Bukit.

Baiklah sekarang kita masuk ke dalam Matius 16, dan hari ini kita akan renungkan tentang masalah landasan. Sejauh ini kita telah berbicara tentang dasar, yaitu dasar pengajaran Yesus, lalu apakah yang menjadi dasar bagi gereja? Mari kita baca dari Matius 16:13 dan ayat-ayat selanjutnya, kita akan baca sampai ayat 23 untuk melihat konteksnya.

Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus” (Harap diperhatikan bahwa Yesus menyebut Petrus dengan nama lamanya, Simon bin Yunus. Kata ‘bin’ berarti putra, putra Yunus.) “Sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” Lalu Yesus melarang murid-murid-Nya supaya jangan memberitahukan kepada siapapun bahwa Ia Mesias. Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”

Ini adalah perikop yang sangat penting dan kita akan memusatkan perhatian kita pada ayat 18 hari ini: “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.

Suatu ayat yang sukar dan suatu perikop yang sulit dipahami. Ayat ini tidak sulit dari segi eksegesis, akan tetapi karena para ahli teologi berusaha memakai ayat ini untuk kepentingan dogma mereka, maka ayat ini menjadi sulit. Ini adalah perkara dalam kekristenan yang sangat mengusik hati saya. Alkitab sekadar dipakai sebagai senjata untuk melindungi paham teologi mereka. Saya memohon agar sikap hati kita ketika menghampiri Alkitab, janganlah dengan niat untuk mempertahankan paham teologi apapun, bukan untuk menyerang orang lain, bukan dengan membawa praduga tertentu, biarkanlah Firman Allah menyampaikan kepada kita apapun hal yang ingin disampaikannya. Namun jika kita menghampiri Alkitab sudah dengan kaku membawa satu paham teologi tertentu dan kita sekadar mencari ayat-ayat di dalam Alkitab untuk mempertahankan paham kita, berarti kita sedang menyalahgunakan Firman Allah. Kita sedang memperlakukan Firman Allah sekadar sebagaimana barang milik manusia lainnya yang bebas diperlakukan sesuka hati. Kita tidak boleh memperlakukan Firman Allah seperti ini.

Akibatnya adalah, orang-orang non-Kristen berkata, “Kalian lihat, semua itu hanya masalah penafsiran. Teolog yang satu berkata seperti ini sedangkan teolog yang lainnya berkata seperti itu. Semua itu hanya masalah penafsiran.” Tak ada satu hal pun di dalam Alkitab yang, setahu saya, maknanya bebas ditafsirkan secara eksegesis. Setahu saya, tak ada dua makna yang bisa ditarik dari suatu teks yang sama. Akan tetapi sudah tentu kita bisa menyelewengkan makna setiap ayat untuk memenuhi kepentingan kita, jika ‘masalah penafsiran’ ini Anda artikan sebagai Anda bebas memutarbalikkan makna setiap ayat sesuka hati Anda, silakan Anda melakukannya. Namun itu bukanlah suatu penafsiran. Setidaknya bukan penafsiran menurut apa yang saya ketahui. Penafsiran berarti secara tulus menyampaikan apa yang ada di dalam sebuah ayat. Kita tidak bisa semaunya menetapkan suatu makna mengikuti paham teologi yang kita pegang.


Siapa, atau, apakah batu karang itu? Kristus atau Petrus?

Apa yang menjadi masalah dengan ayat ini? Teolog Protestan dan Katolik bertentangan pendapat tepat di ayat ini. Para teolog Katolik tentu saja memandang bahwa batu karang itu adalah Petrus, dan bahwa jemaat akan dibangun di atas dasar Petrus. Mengapa? Karena mereka ingin membenarkan klaim mereka bahwa Petrus adalah Paus yang pertama. Mungkin saja kata batu karang itu memang mengacu pada Petrus. Bisa jadi. Akan tetapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan ini karena paham teologi yang kita anut. Itu bisa saja membuat Anda mengambil kesimpulan yang benar tetapi karena pemahaman yang salah. Dan, seringkali, para teolog melakukan itu. Apakah kata batu karang itu memang mengacu kepada Petrus atau bukan, kita perlu menyelidikinya.

Para teolog Protestan sejak dulu telah berusaha menyatakan bahwa kata batu karang itu tidak mengacu kepada Petrus. Kata ini mengacu kepada Kristus. Dan mereka sangat senang karena salah satu teolog Katolik paling terkemuka, yang sudah membahas tentang hal ini jauh sebelum munculnya perselisihan pendapat tentang kedudukan Petrus sebagai uskup Roma, yaitu Augustinus, mengeluarkan pendapat yang tulus akan hal ini. Pemikiran Agustinus tidak terikat pada prasangka apapun maupun oleh kepentingan untuk membela sistem kepausan. Demikianlah, Augustinus sendiri menyatakan bahwa batu karang itu mengacu kepada Kristus, hal yang mempermalukan para teolog Katolik yang gemar mengutip pendapat Augustinus, yang merupakan teolog jenius mereka yang paling terkemuka. Akan tetapi Augustinus tidak mendukung mereka dalam perkara yang satu ini karena Agustinus meneguhkan bahwa batu karang itu adalah Kristus.


Kalimat “Engkau adalah Petrus” dan kalimat “di atas batu karang ini Aku akan mendirikan” tidak saling berkaitan jika batu karang itu adalah Kristus

Apakah batu karang itu? Di atas dasar apakah jemaat akan didirikan? Menurut Yesus, di atas dasar apakah dia akan mendirikan Jemaatnya? Apakah Yesus berkata, “Aku akan mendirikan Jemaatku di atas dasar diriku sendiri karena aku adalah batu karang”? atau “Aku akan mendirikan jemaatku di atas dasar Petrus karena Petrus adalah batu karang”? Itulah persoalannya. Mari kita teliti masalah-masalah yang terkait dengan persoalan ini, yang sebenarnya tidak begitu rumit untuk dipahami.

Mari kita teliti ayat ini. Pertama-tama, jika batu karang itu mengacu kepada Yesus, lantas, apakah maksud dari ucapan, “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Jemaat-Ku”? Hubungan antara keduanya jadi sirna. Apa gunanya berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku”? Dengan kata lain, jika Yesus ingin berkata, “Aku akan mendirikan jemaat-Ku di atas batu karang,” Dia tidak perlu berkata, “Kamu adalah Petrus,” karena hubungan antara kedua anak kalimat itu menjadi tidak relevan. Harus ada semacam penghubung di antara anak kalimat, “Engkau adalah Petrus” dan anak kalimat “di atas batu karang ini,” jika tidak ada penghubungnya, maka ucapan, “Engkau adalah Petrus,” menjadi tidak relevan. Kedua anak kalimat itu menjadi berbeda konteksnya. Inilah persoalan besar yang menghadang mereka yang mengatakan bahwa batu karang itu adalah Kristus.

Saya memulai pembahasan dari sisi pihak Protestan yang dalam versi yang sedikit berbeda-beda, menekankan bahwa batu karang itu mengacu kepada Kristus. Jika batu karang itu mengacu kepada Kristus, persoalan mengenai anak kalimat, “Engkau adalah Petrus,” akan menghadang kita. Buat apa memakai pembukaan dengan kalimat semacam itu? Buat apa memakai pengantar semacam itu? Tentunya ada penjelasan atas pemakaian anak kalimat itu.

Dan untuk alasan inilah maka bukan hanya para teolog Katolik Roma yang mendukung bahwa kata batu karang itu mengacu kepada Petrus, bahkan teolog Protestan seperti Eduard Schweitzer dari Zurich, dalam buku tafsiran terbarunya tentang Injil Matius ikut mendukungnya. Jadi, bukan hanya teolog Katolik Roma, bahkan beberapa teolog Prostestan menerima bahwa kata batu karang di dalam konteks ini, dengan mempertimbangkan konteks kalimatnya, demikian kata Schweitzer, kata batu karang ini mestinya mengacu kepada Petrus. Di sini kita melihat adanya masalah jika membuat acuan bahwa batu karang di dalam ayat ini adalah Kristus.


Pandangan Luther: Batu karang adalah pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Kristus

Martin Luther menyatakan bahwa batu karang itu mengacu pada pengakuan Petrus, yang berarti kata batu karang itu tidak secara langsung menunjuk kepada Kristus. Dengan kata lain, kalimat itu akan berbunyi seperti ini, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini, yaitu di atas pengakuanmu itu, Aku akan mendirikan jemaat-ku.” Ini adalah suatu upaya untuk menghubungkan anak kalimat “Engkau adalah Petrus” dengan anak kalimat “di atas batu karang ini.” Usaha ini sedikit berhasil, akan tetapi bahkan teolog Protestan seperti H.A.W. Meyer menolak pandangan Luther dan menyatakannya tidak alkitabiah, tidak bersifat eksegetik – walau secara linguis (bahasa) bisa diterima dengan melihat konteks kalimatnya.

Anda lihat, jika jemaat didirikan di atas dasar pengakuan Petrus, maka kita harus mempertanyakan – dalam rangka memperjelas analisisnya – apakah berdasarkan tindakan pengakuan atau berdasarkan isi dari pengakuan itu? Mana yang benar? “Aku akan mendirikan Jemaatku di atas pengakuanmu”? Atau “Aku akan mendirikan Jemaatku di atas isi dari pengakuanmu”? Apakah jemaat dibangun berdasarkan tindakan pengakuan, yaitu sesuatu yang kita perbuat? Itu akan berarti bahwa Kristus akan mendirikan Jemaatnya berdasarkan fakta bahwa kita mengakui dia atau berdasarkan tindakan kita mengakui dia. Hal ini akan menambah banyak pertanyaan, apakah Jemaat itu dibangun berdasarkan satu tindakan pengakuan atau berdasarkan tindakan pengakuan yang berkelanjutan? Pertanyaan-pertanyaan yang muncul akhirnya menjadi semakin rumit. Namun apapun jawabannya, dampak jawaban ini akan menyatakan bahwa Jemaat didirikan berdasarkan fakta bahwa kita mengerjakan sesuatu. Jemaat dibangun berdasarkan usaha kita, berdasarkan pengakuan kita tentang Kristus. Hal ini tidak bisa diterima secara alkitabiah karena Jemaat mungkin saja bisa didirikan atas usaha kita akan tetapi usaha kita itu tidak bisa menjadi dasar dan pengikat seluruh jemaat. Sangat kecil kemungkinan hal itu bisa terjadi. Bagaimana Anda akan membela pandangan ini berdasarkan Kitab Suci? Bagaimana Anda bisa membuktikannya dari Kitab Suci? Jelas hal itu tidak bisa dijalankan.

Namun jika Jemaat itu dibangun tidak berdasarkan tindakan pengakuan itu, melainkan berdasarkan isi dari pengakuan, dan isi dari pengakuan itu adalah, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup,” dalam hal ini, maka makna batu karang itu bukanlah tindakan pengakuan melainkan isinya, yaitu Kristus sendiri yang adalah Mesias, Anak Allah yang hidup. Jemaat didirikan di atas Kristus, Anak Allah yang hidup, yang dalam hal ini tidak berbeda dengan pendapat yang sudah kita bahas, yaitu bahwa Kristus adalah batu karang itu.

Dari sini, Anda bisa melihat bahwa Meyer cukup benar di dalam menolak pendapat Luther, yaitu bahwa batu karang itu adalah pengakuan Petrus. Pendapat Luther ini memang memberikan penghubung yang lebih baik antara anak kalimat yang pertama dengan yang kedua, akan tetapi, masalahnya adalah bahwa anak kalimat yang pertama itu berbunyi, “Engkau adalah Petrus.” Dia tidak berkata, “Engkau telah berkata benar, Petrus, dan di atas batu karang ini.” Namun dengan mengatakan, “Engkau adalah Petrus,” berarti meniadakan rujukan terhadap pengakuannya. Dan kita terpaksa harus menyimpulkan bahwa ada rujukan terhadap pengakuan itu di dalam anak kalimat, “di atas batu karang ini,” suatu hal yang tidak dapat ditegaskan dari ayat itu sendiri. Akibatnya, cara menyimpulkan seperti ini juga tidak memuaskan karena didasarkan pada hal yang tidak jelas. Jadi Anda bisa melihat bahwa pendapat yang menyatakan bahwa Kristus adalah batu karang itu menghadapi masalah serius secara eksegetik.

Di sini kita tidak akan berbicara sebagai orang Katolik Roma atau pun sebagai orang Protestan. Kita singkirkan segala macam bias dan prasangka teologis dan berusaha sekadar meneliti apa yang dikatakan oleh Yesus. Dan saya siap untuk menerima apabila pendapat Katolik Roma yang benar, kami akan mendukung bahwa mereka benar. Kami tidak akan berkata, “Yah, sekalipun kalian benar, namun kalian tetap harus salah karena kami adalah orang Protestan.” Menurut saya sikap seperti itu jelas sangat keterlaluan. Kami tidak berdebat dengan sikap semacam itu. Jika mereka memang benar secara alkitabiah, maka mereka tetap benar. Itulah sikap yang perlu ditegaskan.


Mengapa Yesus berkata, “Di atas batu karang ini…” dan bukannya, “Di atas kamu”?

Lantas apakah alternatifnya? Alternatifnya adalah Kristus bukanlah batu karang dan Petrus adalah batu karang tersebut. Mari kita uji jawaban ini. Apakah persoalan yang menghadang pandangan bahwa Petrus adalah batu karangnya? Kita akan temukan bahwa pendapat yang satu ini juga sama-sama dihadang oleh berbagai masalah. Mari kita periksa tiga dari sekian banyak persoalan  itu.


(1) “Petrus” adalah petros dan “batu karang” adalah petra

Jika Petrus adalah batu karangnya, maka bukankah bentuk kalimatnya akan seperti ini, “Engkau adalah Petrus dan di atas kamu aku akan mendirikan Jemaatku.” Sudah jelas mestinya seperti itu. Bukankah memang kalimat semacam itu yang seharusnya Yesus ucapkan? “Engkau adalah Petrus dan di atas kamu akanku dirikan Jemaatku.” Akan tetapi Yesus tidak berkata seperti itu.

Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini…” Kita sudah tahu bahwa petros berarti kerikil atau pecahan batu. Namun Yesus beralih dari kata petros ke kata petra, batu besar atau batu karang: “Engkau adalah Petrus,” petros, kerikil, pecahan batu, dan kata petros ini berjenis maskulin.  Lalu anak kalimat, “dan di atas batu karang ini,” petra, batu besar atau batu karang, dan kata petra berjenis feminin; jadi Yesus beralih dari bentuk maskulin ke bentuk feminin, “Aku akan mendirikan Jemaat-Ku.”

Apakah batu besar atau batu karang itu? Itulah sebabnya mengapa teolog Protestan bersikeras bahwa batu karang itu mestinya mengacu pada Kristus karena yang disebut adalah batu besar, petra. Kata ini berbeda dengan kata petros. Anda bisa lihat bahwa dari segi bahasa, posisi Petrus sebagai batu karang menghadapi persoalan yang serius.


(2) Jemaat dibangun di atas dasar para rasul dan nabi dengan Kristus Yesus sebagai batu penjurunya

Kedua, Paulus dengan jelas menyatakan bahwa landasan gereja adalah Kristus. Kita bisa membaca hal tersebut di 1 Korintus 3:11, dan di sana Paulus mengucapkan perkataannya yang terkenal itu, “Tak ada landasan lain yang diletakkan atau bisa diletakkan selain apa yang sudah diletakkan di sana, yaitu Kristus Yesus.” Kristus adalah batu karang itu. Tak ada landasan lain. Dialah landasan itu. Dan ayat ini adalah alasan kedua yang dipakai oleh teolog Protestan dalam menetapkan bahwa Kristus adalah dasar Jemaat, yaitu batu karangnya.

Namun Anda bisa lihat, segera setelah kita baca ayat ini, muncul masalah lain karena di Efesus 2:20, Paulus melanjutkan dengan berkata bahwa Yesus bukanlah satu-satunya landasan Gereja, setidaknya bukan landasan tunggal bagi Gereja. Di Efesus 2:20, berkenaan dengan rumah tangga Allah, Paulus mengucapkan hal ini,

“Yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.”

Setelah Paulus berkata bahwa Yesus adalah landasan, bahwa Kristus adalah batu karang yang menjadi dasar bagi pembangunan jemaat, lalu dia melanjutkan dengan berkata bahwa sebenarnya Yesus bukanlah satu-satunya landasan, bahwa para rasul dan nabi-nabi juga menjadi semacam landasan. Bisa Anda katakan sebagai landasan kedua, namun tetaplah landasan juga. Inilah persoalan yang mengganjal pendapat yang membatasi makna ‘batu karang’ itu pada Kristus saja. Secara eksegetik, Kristus di sini tidak dikatakan sebagai landasan tunggal.


(3) Tidak ada pengajaran di dalam Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa Petrus adalah landasan jemaat

Yang ketiga dan juga sangat penting, penolakan terhadap penetapan Petrus sebagai landasan jemaat adalah ini – tidak ada pengajaran di dalam Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa Petrus adalah landasan jemaat. Tidak ada ajaran di dalam Perjanjian Baru yang menegaskan hal ini. Akan sia-sia saja Anda berusaha mencari bukti bahwa Petrus disebutkan sebagai landasan Jemaat. Tidak disebutkan di tempat lain bahwa landasan itu hanya Petrus saja. Memang tidak ada bukti semacam itu di dalam Alkitab. Ini adalah gempuran yang mendasar dan sangat telak terhadap pendapat bahwa Petrus adalah dasar, adalah batu karang. Tidak ada doktrin besar yang bisa dibangun berdasarkan satu ayat saja di dalam Alkitab, khususnya jika ayat tersebut tidak memberi penegasan yang memuaskan dari segi maknanya. Hal itu hanya akan memancing keberatan mengenai makna ayat tersebut. Dan kita telah melihat bahwa tidak ada, saya ulangi lagi, tidak ada pernyataan di dalam Kitab Suci yang mengatakan bahwa Petrus adalah landasan tunggal bagi Gereja. Hal ini tidak dapat diterima.

Jika pendapat kedua kubu ternyata bermasalah, lalu bagaimana seharusnya kita memahami apa landasan tersebut? Apakah batu karang tersebut? Apakah landasan yang sebenarnya? Jika bukan Kristus saja, dan bukan Petrus saja, lalu apa? Apakah gabungan dari keduanya? Lagi pula, memang hal itu yang disampaikan oleh Paulus. Apakah landasan itu adalah gabungan dari keduanya? Lalu bagaimana cara untuk menjawab pertanyaan ini? Sebagaimana yang telah saya sampaikan, bagi saya, ini bukanlah masalah yang sulit. Bagaimana cara menjawab pertanyaan ini? Apakah batu karang itu? Mari kita pertimbangkan pendapat dari Kitab Suci mengenai batu karang itu.


Di dalam Perjanjian Lama hanya Allah yang digambarkan sebagai batu karang

Pertama-tama, kita lihat bahwa di dalam Perjanjian Lama, berulang kali Allah disebut sebagai batu karang atau gunung batu. Yahweh adalah batu karang. Ada begitu banyak referensi di dalam Perjanjian Lama, Anda cukup membuka buku konkordansi dan Anda akan lihat sejumlah besar rujukan ayat yang menyebutkan Allah sebagai batu karang atau gunung batu. Mazmur 18:3, misalnya, ayat ini memakai kata Ibrani sila, yang berarti batu karang atau bukit batu atau juga gunung batu. Dan ayat 32 digunakan kata Ibrani yang lain, yaitu toor, untuk menyebut Allah sebagai gunung batu – kata toor ini lebih jamak digunakan dalam bahasa Ibrani. Demikianlah, ada dua macam kata yang dipakai dalam satu Mazmur yang memiliki makna ‘batu karang atau gunung batu’, keduanya dipakai untuk menggambarkan Allah sebagai gunung batu.

Hal yang sama juga terdapat di Mazmur 31:3, di sini dipakai kata toor – ‘gunung batu’. Dan di dalam ayat berikutnya, Anda temukan kata sila, kata Ibrani lainnya yang juga berarti ‘gunung batu’. Dan rujukan-rujukan ini terus berlanjut di sepanjang kitab Mazmur. Di 2 Samuel, misalnya, Daud menyebut Allah sebagai gunung batu – “Gunung batuku dan tanduk keselamatanku,” “Gunung batu tempat perlindungan,” dan sebagainya. Dan kita tidak menemukan rujukan ke arah lain di dalam Perjanjian Lama, hanya kepada Allah, tidak pernah manusia digambarkan sebagai gunung batu. Selalu Allah yang digambarkan sebagai gunung batu.


Bangsa Israel adalah anak-anak dari gunung batu itu, anak-anak Allah

Ada satu rujukan yang sangat menarik di Ulangan 32:18, yang menyebutkan Allah sebagai “Gunung batu yang memperanakkan” kamu atau “Yang melahirkan” kamu. Ini adalah istilah yang tidak lazim. Gunung batu tidak melahirkan anak. Akan tetapi ayat ini menggambarkan Allah seperti itu, seperti ayah atau ibu yang melahirkan anak. Gunung batu yang memperanakkanmu, gunung batu yang melahirkanmu. Ini adalah ungkapan yang sangat luar biasa, menyebut bangsa Israel sebagai anak-anak dari gunung batu. Artinya, mereka – dalam pengertian tertentu – ikut memiliki kodrat ilahi karena dilahirkan oleh Allah. Dan sejauh yang saya ketahui, inilah pernyataan pertama dari Alkitab yang menyebut tentang hal dilahirkan oleh Allah, tentang Gunung batu yang memperanakkan Anda. Dan ini berarti bahwa siapapun yang dilahirkan dari Allah tentu saja akan ikut memiliki kodrat ilahi seperti Allah. Jika Anda dilahirkan oleh gunung batu, maka kodrat Anda juga adalah batu. Yang dilahirkan oleh Roh adalah roh.


Di dalam Perjanjian Baru, hanya Yesus yang disebut sebagai batu karang atau gunung batu

Poin kedua yang ingin saya ajukan adalah bahwa di dalam Perjanjian Baru, kata batu karang atau gunung batu itu berkali-kali mengacu kepada Yesus. Sebagai contoh, batu karang di padang gurun yang disebut dalam 1 Korintus 10:4 mengacu pada Kristus. Dan lagi, Yesus disebut sebagai batu sandungan dan juga batu sentuhan di Roma 9:33, 1 Petrus 2:8, dan sebagainya. Jadi, di dalam Perjanjian Baru, Yesus disebut sebagai batu karang. Dengan menggabungkan kedua poin itu, sangat mudah bagi kita untuk mengingatnya, di dalam Perjanjian Lama, Allah adalah batu karang atau gunung batu itu, dan di dalam Perjanjian Baru, hanya Yesus yang disebut sebagai batu karang. Dengan demikian, kedudukan Petrus sebagai batu karang atau landasan tunggal bagi pembangunan Jemaat menjadi semakin tidak didukung oleh bukti-bukti alkitabiah.


Apakah yang dimaksudkan adalah, “Aku akan mendirikan Jemaat-Ku di atas dasar Allah”? Lalu bagaimana dikaitkan dengan “Engkau adalah Petrus”?

Namun yang ketiga, Kristus tidak sekadar disebut sebagai batu karang melainkan juga sebagai landasan, batu karang yang merupakan landasan, hal ini bisa dilihat di 1 Korintus 3:11.

Bagaimana menyimpulkan semua ini? Kita telah melihat bahwa Kristus adalah batu karang di dalam rujukan-rujukan Perjanjian Baru, dan Allah adalah batu karang di dalam rujukan-rujukan di Perjanjian Lama. Apakah ketika Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini,” sebenarnya Yesus sedang bermaksud untuk berkata, “Di atas batu karang, yang adalah Allah, Aku akan mendirikan Jemaatku,” jadi Yesus tidak sedang menunjuk kepada dirinya sendiri? “Aku akan mendirikan Jemaatku di atas dasar Allah.”

Eksegesis ini masih menghadapi masalah yang sama dengan pendapat bahwa batu karang itu adalah Kristus, karena Anda masih harus menjelaskan tentang anak kalimat, “Engkau adalah Petrus. Bagaimana penjelasan Anda terhadap anak kalimat tersebut? Apakah tujuan mengucapkan, “Engkau adalah Petrus” 


Batu karang itu mengacu pada kodrat ilahi: kodrat yang tak berubah, yang kekal

Batu karang itu mengacu pada kodrat ilahi: kodrat yang tak berubah, yang kekal. “Aku akan mendirikan Jemaatku di atas dasar kodrat ilahi.” Jika kita mengerti akan hal ini, persoalan-persoalan itu akan segera sirna. Karena bahkan di dalam Perjanjian Baru, kata batu karang itu mencerminkan tentang kodrat ilahi. Kata ini tidak pernah mengacu pada manusia dalam kodrat alamiahnya, yaitu kodratnya sebagai manusia; kata ‘batu karang’ tak pernah menunjuk kepada manusia karena kodrat manusia, watak manusia, sangatlah lemah. Roh memang penurut tetapi daging lemah. Anda tidak bisa membangun Jemaat Anda di atas dasar daging, atau usaha manusia, atau pengakuan manusia, atau bahkan ungkapan iman manusia! Karena iman manusia itu tidak tetap dan selalu goyah.


Makna batu karang tidak pernah diterapkan pada kodrat manusia yang lemah dan goyah

Itulah sebabnya kita bisa lihat kejadian dari ayat 21 dan seterusnya. Petrus, tak lama setelah dia membuat pernyataan iman yang hebat, pengakuan yang besar, ia melanjutkan dengan menegur Yesus yang berkata bahwa dia akan pergi ke kayu salib dan mati. Petrus berkata, “Kiranya Allah menjauhkan hal itu!” Pernyataan macam apa ini? Segera setelah membuat pengakuan yang hebat, dia malah jatuh. Akankah kita membangun Jemaat di atas dasar manusia yang sering jatuh ini? Dan orang ini telah menyangkal Yesus sampai tiga kali. Tidak, tidak. Kita tidak akan berhasil membangun Jemaat di atas dasar manusia. Apakah Yesus akan mendirikan Jemaatnya di atas dasar Petrus? Bahkan sekiranya Petrus tidak pernah gagal, landasan yang kita dapat ini tidaklah teguh. Maksud saya, mengapa Jemaat harus didirikan di atas Petrus? Lebih baik membangun Jemaat di atas dasar Yohanes, karena tidak ada catatan yang menunjukkan bahwa rasul Yohanes goyah di saat-saat sekitar penyaliban. Malahan, rasul Yohanes adalah orang yang mengikuti Yesus sampai ke dalam ruang pengadilan. Dia tidak pernah menyangkal Yesus. Saya akan merasa lebih aman jika Jemaat dibangun di atas dasar rasul Yohanes ketimbang Petrus.

Bagaimana dengan rasul Paulus? Maksud saya, di sini ada contoh gemilang dari kebesaran rohani, akankah Anda merasa lebih aman jika yang menjadi dasar itu Paulus? Tidak, tidak. Jemaat tidak akan dibangun berdasarkan pada orang-orang tertentu. Hal ini malah akan menyesatkan. Tidak bisa, karena manusia dan juga daging itu lemah, walaupun roh mungkin mau menurut. Petrus memiliki roh yang sangat penurut, namun celaka, apakah dia tahu betapa lemah dagingnya? Cobalah bayangkan, jika Petrus berpikir bahwa Jemaat akan didirikan atas dasar dia, saya rasa dialah orang pertama yang akan melarikan diri secepat mungkin! “Janganlah dirikan jemaat atas dasar diriku, Tuhan! Hal itu tidak akan berhasil!”

Lagi pula, apa gunanya mendirikan Jemaat di atas dasar seseorang yang telah mati dan belum dibangkitkan kembali itu? Hal apakah yang disampaikan di dalam ayat ini? “Alam maut (atau kuasa maut) tidak akan menguasainya.” Bagaimana hal ini bisa diterapkan pada diri Petrus, Yohanes atau Paulus? Alam maut sangat berkuasa atas mereka. Kristuslah yang telah bangkit dari antara orang mati dan mematahkan kuasa alam maut dan telah hidup kembali. Alam maut tidak mampu menguasainya. Akan tetapi alam maut berkuasa, setidaknya untuk sementara waktu – sampai dengan saatnya kebangkitan orang mati, sampai Yesus membangkitkan kita lagi. Alam maut telah berkuasa atas Petrus, Yohanes dan Paulus. Jadi batu karang itu bukanlah Petrus.


Paulus mengerti bahwa yang dimaksudkan oleh Yesus dengan batu karang ini adalah kodrat ilahi

Jika kita menyadari bahwa batu karang ini mengacu pada kodrat ilahi di dalam Kristus termasuk kita, maka kita akan mengerti dengan sempurna apa yang Paulus maksudkan. Tidak ada pertentangan saat dia berkata bahwa gereja didirikan di atas dasar Yesus di 1 Korintus 3:11. Dan di dalam suratnya yang lain, dia berkata bahwa gereja didirikan di atas dasar para rasul dan nabi.

Paulus adalah seorang ahli ekseget yang terbaik. Dia mengerti dengan baik apa yang Yesus maksudkan. Dia paham bahwa batu karang ini adalah kodrat ilahi, dan kodrat ilahi ini bukan saja ada secara sempurna di dalam diri Yesus melainkan juga ada di dalam diri kita. Jemaat terdiri dari unsur ilahi yang ada di dalam diri kita, yaitu kodrat yang baru. Yang lahir dari Roh adalah roh. Barangsiapa lahir dari Allah adalah anak Allah. Jadi, dalam satu langkah kita bisa dengan sempurna memahami apa yang Yesus maksudkan di Matius, dan juga maksud dari pernyataan Paulus, yang awalnya terlihat saling bertentangan, namun ternyata secara tepat sejalan dengan pernyataan Yesus sendiri.

Namun ada hal lain yang perlu untuk diperhatikan baik-baik, di Efesus 2:20, Paulus bukan sekadar menyatakan bahwa para rasul menjadi landasannya, melainkan para rasul dan para nabi. Ini membuat ruang lingkupnya menjadi jauh lebih besar. Bukan sekadar kedua belas rasul itu yang menjadi dasar, akan tetapi para rasul dan para nabi, dan ini mencakup berbagai macam orang.


Istilah unik ‘kodrat ilahi’ dari Petrus mendukung eksposisi Paulus

Eksposisi dari Paulus ini didukung langsung oleh Petrus sendiri. Malahan, Petrus adalah satu-satunya penulis di dalam Perjanjian Baru yang memakai istilah ‘kodrat ilahi’ dan saya rasa ini adalah istilah yang sangat menyolok. Saya pikir Petrus tahu persis apa yang Yesus maksudkan. Dia tahu persisi bahwa Yesus tidak bermaksud berkata, “Aku akan mendirikan jemaatku di atas dasar kamu.” Hal itu bukanlah maksud ucapan Yesus. Yang Yesus maksudkan adalah, “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini.”


Petrus: nama Simon setelah menjadi manusia baru

Perhatikan baik-baik, saat Yesus memulai kalimatnya, dia berkata, “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus, Simon putra Yunus.” Ini adalah pokok yang perlu untuk diperhatikan karena di ayat 18,  Yesus mengganti namanya. “Engkau adalah Petrus.” Simon bin Yunus adalah cara Yesus memanggil nama Petrus yang asli, yaitu Simon, Petrus di dalam keadaannya sebagai manusia duniawi, manusia yang belum dilahirkan kembali. Namun ketika masuk ke ayat 18, Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus,” maksudnya adalah, “Engkau adalah batu.” Petrus adalah nama baru bagi Simon, nama yang dia terima ketika menjadi murid, saat dia menerima kodrat yang baru.

Mari kita beralih ke Yohanes 1:42. Petrus bukanlah nama aslinya. Nama aslinya adalah Simon bin Yunus. Nama Simon adalah nama yang dia sandang sejak lahirnya. Namun ketika dia menjadi seorang murid, Yesus mengganti namanya di Yohanes 1:42. Kita terlanjur terbiasa menyebut dia sebagai Petrus sehingga kita lupa bahwa nama ini bukanlah nama aslinya. Ini adalah namanya setelah dilahirkan kembali, namanya ketika dia menjadi manusia baru setelah bertemu dengan Kristus. Yohanes 1:42 – Ia (Andreas, saudara Simon) membawanya kepada Yesus. Yesus memandang dia dan berkata: “Engkau Simon, anak Yohanes (Yohanes – John – sama dengan Yunus – Jonah), engkau akan dinamakan Kefas (artinya: Petrus).” Perhatikan kata, “Engkau akan dinamakan.” Petrus masih belum ditransformasi pada tahap itu, tetapi “engkau akan dinamakan” – engkau akan menjadi manusia baru. Dan ketika engkau menjadi manusia baru, maka namamu pada saat menjadi manusia baru adalah Kefas, yang berarti Petrus (jika Anda membaca terjemahan versi RSV, di bagian catatan pinggirnya disebutkan bahwa kata ini bermakna ‘batu’ di dalam bahasa Aram. Dalam bahasa Aramnya adalah Kefas, sedangkan dalam bahasa Yunaninya adalah Petrus, Petros). Jadi di sini kita temukan bahwa ‘Petrus’ adalah nama barunya, namanya setelah menjadi manusia yang telah dilahirkan kembali.

Pokok yang sama juga diungkapkan di Markus 3:16. Di sini ada daftar kedua belas rasul, dan disebutkan tentang, Simon, yang diberi-Nya nama Petrus. Dia diberi nama baru karena dia akan menjadi manusia baru, manusia dengan kodrat ilahi, kodrat yang baru di dalam dirinya. Dan kodrat yang baru ini adalah kodrat ilahi.


Saat kita dilahirkan kembali oleh Roh Allah, kita menjadi batu: batu-batu hidup

Petrus adalah satu-satunya orang di dalam Perjanjian Baru yang memakai istilah ‘kodrat ilahi’. Hal ini terdapat di 2 Petrus 1:4. Di dalam suratnya yang kedua Petrus berkata,

Supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi.”

Dengan kata lain, tadinya Anda adalah manusia duniawi, dan yang dilahirkan oleh daging adalah daging. Akan tetapi sekarang Anda telah dilahirkan oleh Roh, dan yang dilahirkan oleh Roh adalah roh. Anda ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi, dan karena Allah adalah gunung batu, dan Anda dilahirkan oleh gunung batu itu, maka terjadilah hal seperti yang tertulis di Ulangan 32:18, “Diperanakkan oleh gunung batu.” Oleh karena itu, karena kita dilahirkan oleh Allah yang adalah gunung batu, maka kita menjadi teguh, tetap dan tidak berubah.

Gunung batu adalah gambaran dari Allah karena bersifat kekal, gunung batu adalah benda yang paling cocok kita katakan kekal. “The eternal and the everlasting hills (bukit batu yang kekal dan abadi)” adalah ungkapan dalam bahasa Inggris tentang kekekalan karena bukit-bukit batu itu tampaknya merupakan benda yang tidak pernah berubah. Segala sesuatu di dunia ini berubah, akan tetapi gunung batu terlihat seperti tidak pernah berubah; benda yang kekal. Terpujilah TUHAN, Allah Israel, dari selama-lamanya sampai selama-lamanya! Amin, ya amin (Mazmur 41:14), dan gunung batu melambangkan hal-hal yang tidak berubah, teguh, pasti, tidak goyah, berlawanan dengan kelemahan dan kefanaan tubuh manusia. Di sisi lain, Kitab Suci menyamakan manusia dengan bunga rumput. Manusia seperti bunga di padang yang semarak, indah, cantik, sedap dipandang, segar dan sangat hidup hari ini, akan tetapi esoknya mati, layu dan lenyap. Gunung batu tetap tinggal – kekal.

Dan ketika kita lahir baru, saat kita dilahirkan oleh Roh Allah, kita menjadi batu, kita menjadi batu karang. Dan poin inilah yang dinyatakan oleh Petrus sendiri. Dia sendiri yang berulang kali berkata kepada kita di dalam suratnya yang pertama, bahwa kita ini adalah batu-batu hidup di 1 Petrus 2:4, dan perhatikanlah, Petrus sendiri telah memahami hal ini dengan sangat baik sehingga dia sendiri menggambarkan Yesus sebagai Batu yang hidup, dan bahwa kita memperoleh kodrat yang sama seperti dia. Kita juga adalah batu-batu hidup atau batu-batu karang yang hidup yang dipakai untuk membangun rumah rohani bagi Tuhan. Kita bisa menemukan semua ini di 1 Petrus 2:4 dan seterusnya. Dan beginilah bunyinya:

Dan datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormat di hadirat Allah. Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah.

Ini adalah hal yang sangat indah.

Petrus telah memahami hal ini dengan sempurna. Dia telah mengerti. Dia melihat bahwa Yesus memanggilnya dengan nama yang baru, “Engkau adalah Petrus, yang ikut memiliki kodrat ilahi. Aku tidak akan memanggilmu Simon. Tetapi engkau adalah Petrus, manusia dengan kodrat yang baru, yang seperti batu karang. Dan di atas kodrat baru yang serupa dengan batu karang ini, yaitu kodrat ilahi ini, aku akan membangun Jemaatku. Dan alam maut tidak akan menguasai kodrat yang baru ini karena apa yang dilahirkan oleh Roh adalah roh, dan Roh Allah itu kekal.” Kita memiliki hidup yang kekal. Alam maut tidak akan menguasainya.


Kita diubah menuju kodrat ilahi yang mengalahkan dunia, si jahat, nabi-nabi palsu dan dosa lewat iman pada Kristus

Fakta ini sangat didukung oleh rasul Yohanes, dia menyatakan hal yang persis sama. Alam maut tidak akan menguasai kodrat baru di dalam diri kita. Malahan kitalah yang menang atas alam maut. Mari kita lihat di 1 Yohanes 5 mengenai konteks ini, dan melihat betapa eksposisi ini didukung penuh entah oleh Petrus, Paulus maupun Yohanes. 1 Yohanes 5:4 berkata,

Sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia  Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita.

Dunia tidak menguasainya. Alam maut tidak menguasainya. Apa yang dilahirkan dari Allah, kodrat yang baru ini, mengalahkan dunia. Dengan iman, melalui komitmen total bahwa Allah menjadikan kita baru lagi. Akan tetapi jemaat tidak dibangun di atas dasar iman kita. Gereja dibangun di atas dasar kodrat ilahi. Melalui iman, kita masuk ke dalam kodrat ilahi ini. Jika Jemaat dibangun di atas dasar iman kita yang goyah ini, maka landasanya akan menjadi sangat rapuh. Bukan di atas dasar iman kita, bukan di atas dasar amal baik kita, bukan di atas dasar komitmen kita melainkan di atas dasar hasil karya Allah yang dikerjakan lewat Roh Kudus di dalam diri kita. Inilah landasan di atas mana Gereja dibangun. Semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Tidak akan bisa dikalahkan oleh dunia. Daging kita, bahkan iman kita bisa dikalahkan oleh dunia, akan tetapi kodrat ilahi di dalam diri kita tidak akan kalah. Selama kita memiliki kodrat ilahi di dalam diri ini, kita akan menang.

Dan tentu saja, sebenarnya kita bukan sekadar mengalahkan dunia, tetapi kita juga mengalahkan si jahat oleh karena kodrat ilahi ini. Inilah hal yang disampaikan oleh Yohanes di 1 Yoh 2:13-14. Yohanes berbicara tentang hal mengalahkan si jahat.

“Aku menulis kepada kamu, hai bapa-bapa, karena kamu telah mengenal Dia, yang ada dari mulanya. Aku menulis kepada kamu, hai orang-orang muda, karena kamu telah mengalahkan yang jahat.”

Jika Anda mengalahkan si jahat, berarti Anda mengalahkan alam maut, dan Anda pasti mengalahkan kuasa-kuasa maut yang bekerja melalui si jahat. Dan di ayat 14, dia mengulangi hal yang sama. Di bagian akhir dari ayat ini, dia berkata, “Aku menulis kepada kamu, hai orang-orang muda, karena kamu kuat dan firman Allah diam di dalam kamu dan kamu telah mengalahkan yang jahat.” Kita tidak dikalahkan oleh kuasa-kuasa maut. Dan apakah kuasa-kuasa (perhatikan bentuk jamak ini) maut atau pintu-pintu gerbang maut itu? Itulah si jahat. Itulah dunia, dan itulah daging. Mereka itulah kuasa-kuasa maut. Setanlah yang mendatangkan maut kepada kita. Dunialah yang mendatangkan maut kepada kita.

Perhatikan juga hal yang lain, yaitu nabi-nabi palsu, guru-guru palsu yang berkeliaran di dunia ini. Di 1 Yoh 4:4, ada sangat banyak kuasa maut yang perlu kita kalahkan dan mereka itu adalah salah satunya. Rasul Yohanes menulis kepada kita di 1 Yoh 4:4, 

“Kamu berasal dari Allah, anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia.”

“Kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu” – yaitu nabi-nabi palsu yang disebutkan di ayat 1, yang mewakili roh Antikristus, segala sesuatu yang menentang Kristus.

Jadi kuasa-kuasa maut mewakili segala sesuatu yang menentang hidup, yang menentang Allah. Akan tetapi segala kuasa gelap tidak akan mengalahkan Jemaat yang dibangun di atas dasar kodrat ilahi yang ada di dalam diri kita. Barangsiapa lahir dari Allah mengalahkan semua itu. Semua yang lahir dari Allah mengalahkan setan, mengalahkan nabi-nabi palsu, mengalahkan dunia, dan oleh karena itu mengalahkan dosa. Semua itu sangat indah untuk dicamkan.


Ciri kodrat ilahi: kasih

Lalu apakah tanda dari kodrat ilahi itu? Apakah ciri dari kodrat ilahi itu? Apa itu kodrat ilahi yang ada di dalam diri kita? Kualitas apa yang terdapat di dalam kodrat ilahi itu? Kita akan menemukan bahwa di dalam lima ayat pertama dari 1 Yoh pasal 5, Yohanes telah menjelaskan semua itu. Apakah tanda dari orang yang lahir dari Allah? Baik di dalam bagian bacaan yang ini dan juga di dalam seluruh isi surat 1 Yohanes, Yohanes memberitahu kita bahwa setiap orang yang tidak mengasihi tidak berasal dari Allah. Akan tetapi setiap orang yang mengasihi berasal dari Allah. Itulah tanda dari kodrat yang baru di dalam diri kita, dalam uraian yang paling sederhana.

Jika Anda bertanya, bagaimana saya bisa tahu bahwa saya memiliki kodrat yang baru itu atau tidak? Bagaimana saya bisa tahu bahwa saya ini adalah salah satu batu hidup di tengah bangunan jemaat secara keseluruhan? Yohanes menjelaskannya secara sederhana kepada kita. Lihat saja apakah Anda mengasihi atau tidak. Itulah tandanya. Itulah bentuk ujian yang paling pasti. Jika Anda tidak mengasihi, Anda tahu bahwa sehebat apapun pemahaman Alkitab Anda, seberapa besar pengetahuan Anda, Anda tidak memiliki kodrat yang baru itu karena siapapun yang lahir dari Allah akan memiliki kepribadian Allah. Apakah kepribadian Allah itu? Di 1 Yohanes 4:8 Yohanes memberitahu kita bahwa Allah menurut kodrat-Nya adalah kasih. Dan dia mengulanginya lagi di 1 Yoh 4:16. Allah, menurut kodrat-Nya, adalah kasih. Dan oleh karena itu, di mana ada kasih surgawi ini, maka Anda akan tahu bahwa di sana ada kodrat yang baru.

Sebagai rangkumannya, Marilah kita lihat lagi gambarannya, kita tahu bahwa Yesus membangun Jemaatnya di atas dasar kodrat ilahi yang mewujudkan dirinya dalam bentuk kasih. Itulah sebabnya Yesus berulang kali memerintahkan murid-muridnya, “Dengan inilah maka seluruh dunia akan tahu bahwa kamu adalah murid-muridku, yaitu jika kamu saling mengasihi satu dengan yang lain.”

Namun di sanalah kesulitan mulai muncul. Karena siapapun yang pernah mencoba untuk secara serius mengasihi seperti cara Yesus mengasihi akan segera tahu bahwa roh memang penurut akan tetapi daging ini luar biasa lemahnya. Daging sangatlah lemah. Kita ini selalu saja egois. Daging selalu menguasai kita. Itulah masalah yang membuat kita tidak bisa mengalahkan dunia. Kita tidak bisa mengalahkan si jahat. Kita tidak bisa mengalahkan nabi palsu. Ketika nabi-nabi palsu datang dan mengajarkan kepada kita berbagai hal yang sangat sesat, kita bahkan tidak tahu bagaimana membedakan yang benar dari yang salah. Mengapa? Karena walaupun roh kita memang penurut akan tetapi daging kita sangat lemah sehingga kita menjalani kehidupan Kristen yang kalah. Karena kasih Allah tidak meluap di dalam hidup kita. Kasih Allah, kodrat ilahi-Nya tidak sepenuhnya mengendalikan hidup kita dan akibatnya kita dikalahkan. Lihatlah orang-orang kalah di gereja. Kalah, tidak tahu apa itu sukacita, apa itu damai sejahtera, karena kasih, sukacita dan damai sejahtera itu berjalan beriringan. Kita tidak tahu apa arti semua itu. Kita mengalami kegelisahan di dalam batin kita. Kita menjadi murung, kekurangan sukacita karena kasih tidak meluap di dalam hati kita. Kita tidak bisa berkata seperti pemazmur, “Cawanku meluap-luap.” Cawan kasih kita tidak meluap-luap. Kita hanya memiliki isi yang sedikit; tidak sampai meluap.

Yesus berkata di Yohanes pasal 7, ayat yang sering saya kutip: Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup. Ada di manakah kekristenan yang semacam ini? Di mana kita dapat menemukannya? Di mana kita bisa melihat kodrat ilahi di dalam diri kita ini berjaya? Yang kita lihat sekarang ini malah kekristenan yang kalah telak, merangkak di lantai sambil bertanya-tanya, “Apakah kekristenan yang semacam ini akan berhasil, yang kurasakan sekarang ini justru kemacetan. Aku sudah dikalahkan. Ada tertulis, ‘dia mengalahkan dunia,’ tetapi aku tidak mengalahkan dunia, aku dihantam oleh dunia setiap minggu. Lalu dikatakan, ‘ia mengalahkan setan,’ padahal setan justru mempermainkanku seperti kucing mempermainkan tikus! Dia bukan sekadar mengunyah kuping dan ekorku, nantinya dia mungkin malah mengunyah leherku juga!” Mengalahkan setan! Di manakah para pemenang itu? Kita semua berada dalam keadaan yang menyedihkan! 

Apa yang sedang terjadi? Bukankah itu karena kita tidak mengizinkan kodrat ilahi untuk bekerja secara penuh di dalam diri kita? Kita belum berkomitmen sepenuhnya kepada pekerjaan Allah di dalam hati kita. Dengan mulut kita berkata bahwa kita berkomitmen total, tetapi ketika sampai pada pelaksanaannya, Anda bisa tahu apakah Anda telah mengalami kodrat ilahi ini atau belum dengan menguji apakah Anda berkemenangan atau tidak di dalam kehidupan Kristen Anda. Jika memang berkemenangan, puji Tuhan! Anda adalah salah satu dari sedikit pemenang di tengah angkatan ini. Anda adalah salah satu dari sedikit orang yang kodrat ilahinya bekerja secara penuh dan kasih Allah meluap dari dalam diri Anda seperti aliran-aliran air hidup, bukankah begitu? Atau, apakah Anda harus diperas sekuat tenaga untuk bisa menghasilkan beberapa tetes kasih? Mungkin sekalipun sudah diperas, bahkan satu tetes pun tidak keluar juga. Jalanilah kekristenan yang berkelimpahan!


Dapatkah kita menemukan
Kasih yang seperti Kasih Kristus?

Saat membaca firman serta ajaran Yesus dan membandingkannya dengan kehidupan Kekristenan di sekeliling kita, kita akan mendapati bahwa kita ternyata masih belum mengerti apa itu kekristenan. Kita belum mengerti ajaran Tuhan. Oleh karenanya, ketika Yesus berkata, “Aku akan mendirikan Jemaayku di atas dasar kodrat ilahi yang indah ini, Jemaat yang dibangun di atas dasar kelimpahan kasih,” tidak heran jika Paulus bisa berbicara tentang gereja sebagai satu tubuh di mana setiap anggotanya saling peduli dengan saling memberi antara satu dengan yang lain, saling memperhatikan, komitmen yang sejati, siap mencurahkan hidup bagi sesama. Di manakah kita bisa melihat hal ini? Ada di mana?

Sebagai satu Jemaat, kita bertemu seminggu sekali dan kita saling menyapa dengan sangat sopan, saling berbasa-basi dan selanjutnya berpisah sampai minggu depan. Itu saja! Begitulah keadaannya. Kita bahkan masih jauh dari pemahaman tentang dasar bagi gereja. Kita masih jauh dari sana karena kita bahkan tidak tahu seperti apa kasih itu di dalam prakteknya. Dan seperti yang kita baca di 1 Yoh 3:16, Yohanes berkata kepada orang-orang Kristen,

“Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.”

Oh! Saya tidak berani membacanya lagi. Saya tidak berani membacanya. Ayat ini menyangkut di tenggorokan saya. Saya tidak bisa menelannya. Karena untuk saling tersenyum saja kita sudah kesulitan apalagi sampai mengorbankan nyawa! Ibarat seorang anak SD yang mencoba mengerjakan ujian di Universitas! Sungguh menggelikan! Kita bahkan tidak tahu bagaimana harus mulai bersikap lebih baik antara satu dengan yang lain, sedikit lebih peduli, bahkan belum sampai pada mengangkat telepon sewaktu-waktu, menanyakan kepada saudara yang lain, “Bagaimana keadaanmu hari ini? Adakah sesuatu yang bisa saya doakan buatmu?” Oh! Anda bahkan belum sampai di sana. Kepedulian semacam itu saja sudah sangat melelahkan Anda. Percakapan selama lima menit sudah terlalu banyak buat Anda. Bagaimana mau berbicara tentang hal mengorbankan nyawa demi orang lain?

Apakah yang terungkap dari ini semua? Yang ditunjukkan adalah apakah kodrat ilahi itu ada atau tidak ada di dalam diri kita. Apakah kita ini dilahirkan dari Roh Allah atau tidak? Sudah adakah perubahan yang mendasar di dalam diri kita, revolusi kasih ilahi? Kita tidak sanggup berbicara tentang aliran-aliran air hidup yang mengalir dari dalam diri kita. Bahkan untuk melihat beberapa tetes air hidup dari dalam diri kita ini sudah sangat susah, apa lagi aliran-aliran air hidup? Kekristenan macam apakah yang sedang kita bicarakan ini? Kadang kala, saya begitu tertekan dan patah semangat sampai-sampai saya ingin berlibur untuk waktu yang sangat lama. Saya mau mencari tempat yang sepi di sebuah puncak gunung dan bersaat teduh di hadapan Allah dan merenungkan, “Apakah saya sedang membahas hal yang cuma berisi omong kosong? Saya memberitakan Injil tentang revolusi ilahi di dalam jiwa manusia, tetapi yang saya lihat adalah pertengkaran, keluhan, sungut-sungutan serta masalah tanpa akhir yang harus dihadapi setiap saat. Hari ini, ada yang sedang patah semangat, di hari lain, ada lagi yang sedang depresi, dan ada lagi yang sedang … oh, tiada akhirnya!” Kami harus menangani depresi yang tiada akhir, bukannya aliran-aliran air hidup! Untuk bisa berdiri saja sudah sangat susah, apa lagi untuk berlari!


Mintalah pertolongan dengan sangat kepada Allah

Kita harus memohon dengan sangat kepada Allah di zaman sekarang ini, kita harus memohon dengan sangat agar Allah menolong kita untuk tidak menjadi munafik dan tidak tertipu, tanyakanlah pada diri Anda, “Apakah saya telah menjalani kehidupan Kristen sebagaimana mestinya? Atau apakah saya harus berhenti menipu diri sendiri?” Saya selalu menghadap kepada Allah berulang kali mengenai masalah ini, setiap hari saya melakukannya, saya menghadap kepada Allah dan bertanya kepada Tuhan, “Sudah adakah luapan yang sepenuhnya melalui saya hari ini? Atau saya hanya sekadar berjuang untuk bisa selamat saja?” Saya hanya sekadar berjuang untuk selamat karena kekuatan si jahat menyerang saya dari berbagai penjuru. Saya mendapati bahwa dunia sedang menerpa masuk. Setan sedang bergerak masuk. Lalu bagaimana dengan nabi-nabi palsu? Semua tekanan itu datang dari berbagai penjuru. Dan kita hanya bisa berjuang sekadar untuk tetap selamat, bukannya mengubah padang gurun menjadi tanah subur dengan aliran-aliran air hidup kita. Kita bergumul hanya untuk bisa mempertahankan sebidang kecil lahan, berharap agar lahan ini bisa menghasilkan sedikit panen pada Hari Penghakiman nanti, supaya kita bisa menunjukkan sesuatu kepada Tuhan dan berkata, “Tuhan, ini ada sedikit panenan.” Kita berjuang hanya untuk menjaga supaya lahan yang kecil ini bisa tetap menghijau, sekadar membuat ‘oasis‘, tindakan mengalahkan padang gurun jelas jauh dari bayangan, padang gurun yang bisa bersemi seperti bunga mawar, padang gurun yang diubah menjadi dataran subur. Kapankah itu bisa terjadi?


Membangun gereja dengan memberitakan Firman Allah dan hidup di dalam kodrat ilahi

Gereja dibangun di atas dasar kodrat ilahi, kodrat ilahi itu adalah Kristus dan Yesus ada di dalam diri kita. Gereja dibangun di atas dasar Kristus dan rasul-rasul dan nabi-nabi. Siapakah nabi-nabi itu? Para nabi adalah para pemberita Firman Allah. Itulah mereka. Dan di manapun Firman Allah diberitakan, jika Anda yang memberitakan Firman Allah itu, maka Anda termasuk nabi dan gereja dibangun di atas dasar Anda juga. Misalnya, mereka yang melayani untuk membangun Jemaat, mereka berfungsi sebagai rasul-rasul dan nabi-nabi. Mereka menjadi dasar di mana Jemaat itu sedang dibangun, bukan pembangunan organisasi, melainkan pendirian bangunan yang hidup yaitu pembangunan tubuh Kristus. Di manapun para rasul dan nabi yang setia memberitakan Firman, yang setia menjalani hidup yang menjadi panggilannya – yaitu di dalam kodrat ilahi, di sanalah Jemaat dibangun. Itulah yang sedang disampaikan oleh Yesus. Itulah hal yang dipahami dengan baik oleh Petrus, dilihat dari apa yang dia sampaikan kepada kita melalui surat-suratnya. Itulah hal yang dipahami dengan sempurna oleh Paulus. Itulah hal yang dipahami dengan sempurna oleh rasul Yohanes.

Setelah menyampaikan semua ini, kita harus menanyakan diri kita, apakah kodrat ilahi itu bekerja aktif di dalam diri kita? Dan kita bisa megujinya dengan bertanya: apakah saya bisa mengasihi? Apakah saya mengasihi? Apakah saya mengasihi Anda semua, saudara-saudari, apakah saya mengasihi keluarga saya sebagaimana mestinya, apakah saya mengasihi mereka yang menentang Kristus sebagaimana mestinya? Itulah pertanyaannya. Itulah cara cepat untuk bisa mengetahui apakah kita ini benar-benar Kristen atau bukan. Kiranya Allah menolong kita. Kita wajib untuk saling membangun, yaitu saling mengasihi satu dengan yang lain dalam praktek.

 

Berikan Komentar Anda: