Pastor Eric Chang | Matius 16:13-20 |

Kita akan melanjutkan pembahasan di Matius 16:13 dan ayat-ayat selanjutnya. Apakah hal-hal penting yang ingin Yesus sampaikan kepada kita? Mari kita membaca dari Matius 16:13-20. Demikianlah bunyi ayat-ayat tersebut:

Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus (Yun. petros) dan di atas batu karang (Yun. petra) ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” Lalu Yesus melarang murid-murid-Nya supaya jangan memberitahukan kepada siapapun bahwa Ia Mesias.


Yesus tidak ingin
dipandang sebagai Mesias politis

Banyak yang bingung mengapa Yesus menyuruh murid-muridnya agar tidak memberitahu orang lain bahwa dia adalah Kristus (atau Mesias). Alasannya sederhana, karena orang-orang Yahudi pada saat itu memegang pemahaman yang salah tentang Kristus (Mesias). Mereka memahami Kristus sebagai pemimpin politik yang akan membebaskan mereka dari kekuasaan Roma dan membangun Israel sebagai satu kekuatan politik di dunia ini. Jika Anda memahami pandangan mereka ini, maka Anda akan mengerti mengapa Yesus melarang murid-muridnya untuk memberitahu bahwa dia adalah Kristus karena pada masa itu orang-orang Yahudi memegang konsep yang salah tentang Kristus.


Di atas apa  (bukan siapa),  gereja itu dibangun?

Hal khusus yang ingin saya bahas hari ini dari perikop ini adalah tentang Petrus. Mari kita beralih ke Matius 16:18, di mana Yesus berkata, “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus (Petros) dan di atas batu karang (Petra) ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.”

Hades (Alam maut) melambangkan dunia bawah, dunia roh, dunia bagi orang mati. Terjemahan RSV kuasa maut (the powers of death) hanya mencakup pemahaman yang sangat terbatas. Ada kata Ibrani dan Yunani yang memiliki arti ‘maut (death)’. Jika Yesus ingin berbicara tentang maut, dia bisa langsung menggunakan kata yang memiliki arti maut (death), akan tetapi Yesus memakai kata ‘Hades (alam maut)’ yang memperluas cakupan maknanya, yaitu semua kuasa yang berkaitan dengan maut. Semua kuasa di dunia bawah, semua kuasa kegelapan tidak akan bisa menguasai gereja. Mengapa? Karena gereja dibangun di atas batu karang.


Yesus tidak berkata, “Namamu sekarang adalah Petrus dan
aku akan membangun gerejaku di atas kamu.”

Pertanyaan selanjutnya, tentu saja adalah, apakah batu karang itu? Di atas apakah gereja itu dibangun? Ini adalah pokok yang sangat penting untuk dipahami.

Gereja Katolik Roma menjawab pertanyaan ini dengan berkata bahwa gereja dibangun di atas Petrus. Apakah Kristus membangun gerejanya di atas Petrus? Di manakah di dalam Kitab Suci, Anda bisa menemkan lagi ajaran bahwa gereja dibangun di atas Petrus? Tidak ada. Mengapa Gereja Katolik Roma menjawab seperti itu? Karena untuk mendukung sistem kepausan; ini menjelaskan mengapa ada Paus di Gereja Katolik Roma. Dan untuk membenarkan sistem kepausan ini, ayat ini dikutip. “Anda lihat, gereja dibangun di atas Petrus. Hal itu disebutkan di sini, ‘Kamu adalah Petrus dan aku akan membangun gereja-ku di atas kamu.'” Bukan itu yang sedang disampaikan oleh Yesus. Dia tidak berkata, “Kamu adalah Petrus dan aku akan membangun gereja-ku di atas kamu.” Bukan itu yang dikatakan oleh Yesus.


Gereja dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru

Jika Anda membandingkan ayat ini dengan bagian lain dari Kitab Suci, Anda akan menemukan bahwa gereja tidak dibangun berlandaskan Petrus saja, dia hanya salah satu dari “para rasul dan para nabi.” Efesus 2:20 berkata bahwa gereja dibangun “di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.” Gereja dibangun di atas dasar manusia-manusia Allah yang memang layak disebut sebagai rasul dan nabi, dan juga para pemimpin jemaat. Merekalah yang menjadi dasar bagi gereja.

Hal yang sama ditemukan di kitab Wahyu. Para hamba Allah, para rasul, merekalah yang menjadi dasar bagi gereja. Akan tetapi, landasan yang paling pokok adalah Yesus sendiri, karena dikatakan di 1 Korintus 3,

“Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus.”

Jadi, bangunan itu memiliki satu landasan pokok, yaitu Kristus, dan di atasnya terdapat landasan kedua yang terdiri dari para rasul dan nabi, dan di atasnya lagi berdirilah bangunannya, yaitu gereja.


Menurut Yesus, gerejanya akan dibangun di atas batu karang

Di atas apakah gereja itu dibangun? Jawaban Yesus adalah gereja dibangun di atas batu karang. Jadi, persoalannya adalah bukan siapa, melainkan apa yang menjadi landasan pembangunan gereja? Jawaban bagi pertanyaan ini adalah, gereja dibangun di atas batu karang. Lalu, apakah arti dari batu karang?

Yesus di Matius 7:24-25 menyuruh kita untuk membangun kehidupan kita di atas batu karang. Yesus berkata, “Orang yang mendengarkan ajaranku dan mengerjakannya, dia itu seperti seorang bijak yang membangun rumahnya di atas batu. Ketika hujan turun, banjir datang, dan angin bertiup melanda rumah itu; rumah itu tidak rubuh, karena dibangun di atas batu.” Yesus tidak seperti kebanyakan penginjil yang berkhotbah tentang satu hal tetapi mengerjakan hal yang lain. Saat dia mengajarkan kita untuk membangun kehidupan kita di atas batu karang, dia sendiri membangun rumahnya ataupun gerejannya di atas batu karang yang teguh.


Nama baru bagi Simon: Petrus, karena sejak saat itu dia akan menjadi manusia baru, seteguh karang

Sebelum kita mulai meneliti makna kata ‘batu karang’ ini, perhatikan apa yang Yesus katakan pada Petrus, “Engkau adalah Petrus.” Yang perlu kita ketahui dalam hal ini adalah bahwa nama Petrus itu bukanlah namanya yang asli. Sebelumnya, dia tidak dipanggil dengan nama Petrus. Siapakah nama aslinya? Simon. Mulanya dia dipanggil dengan nama Simon. Di Lukas 6:14 Anda akan temukan bahwa Yesus memberinya nama Petrus. “Namamu adalah Simon, namun sejak saat ini engkau akan dipanggil dengan nama Petrus, yaitu batu, batu kerikil, bagian dari batu karang yang besar.” Batu kerikil hanyalah sekeping pecahan dari batu besar. Ia berasal dari batu karang yang sangat besar, akan tetapi kerikil memiliki ciri yang sama dengan batu besar yang menjadi sumbernya.

Jadi, apakah sebenarnya yang sedang diperbuat oleh Yesus saat Ia mengganti nama Petrus? Saya pernah menguraikan poin ini sebelumnya dan saya tidak akan membahas perinciannya lagi. Perubahan nama itu, tentu saja, menegaskan bahwa karakter Petrus akan diubah. Di dalam Alkitab, nama menunjukkan karakter. Jadi, Yesus sedang berkata, “Sekarang ini namamu adalah Simon, namun nama itu akan berubah menjadi Petrus karena Aku akan mengubahmu sepenuhnya. Aku akan mengubahmu. Aku akan menjadikanmu manusia baru. Kamu akan menjadi manusia baru.” Ini adalah pokok yang penting untuk dipahami.

Namun tentunya bukan sembarang manusia baru. Manusia baru macam apa? Sesuai dengan nama barunya. Dia akan diubah dari Simon menjadi manusia baru yang bisa digambarkan seperti batu karang atau batu kerikil. Anda mungkin bertanya, “Sungguh lucu tindakan memberi nama baru ini. Apa yang salah dengan nama ‘Simon’? Anda tidak memanggilnya Simon lagi, melainkan Kerikil. Mulai saat ini, namamu akan menjadi ‘Kerikil.’ Apa bagusnya dipanggil kerikil?” Ada alasan untuk tindakan itu jika kita ingin memahami perikop ini.


Dua kata Ibrani, ‘Sila’ dan ‘Toor’
yang bermakna ‘batu karang’, dipakai untuk Allah

Untuk memahami makna batu karang itu, kita harus masuk ke dalam Perjanjian Lama. Di kitab Mazmur, Anda akan menemui ungkapan ‘batu karang’ atau ‘gunung batu’ berkali-kali. Kata ‘gunung batu’ selalu menjadi gelar bagi Allah sendiri. Ada sangat banyak rujukan akan hal itu.

Ada dua kata dalam bahasa Ibrani yang bermakna batu karang, yang dipakai untuk menyebut Allah di dalam Perjanjian Lama. Saya hanya akan mengajukan referensi dari kitab Mazmur saja. Rujukan-rujukan yang ada sebenarnya tidak terbatas dari kitab Mazmur saja.

Anda bisa menemukan kata sila di Mazmur 18:3; 31:4; 42:10. Satu lagi kata yang bermakna batu karang, kata yang lebih lazim dipakai dalam bahasa Ibrani modern adalah kata toor. Kata toor juga bermakna batu karang. Kata ini muncul di Mazmur 18:32,47; 28:1; dan 62:3.

Kita akan membaca 3 referensi dari Mazmur 18.

Di Mazmur 18:3 kita menemukan kata pertama bagi batu karang, yaitu sila,

“Ya TUHAN, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!”

Sungguh ayat yang sangat indah! Sangat indah! Allah adalah gunung batuku (my rock = batu karangku). Dua kali di dalam satu ayat ini, si pemazmur menyebut Allah sebagai gunung batu (batu karang). Kesan apakah yang Anda dapatkan jika Anda mendengar kata gunung batu atau batu karang? Mengapa dia menyebut Allah sebagai gunung batu? Apa bagusnya menyebut Allah sebagai gunung batu?

Gunung batu mengungkapkan keteguhan. Gunung batu mengungkapkan kekuatan. Ia juga mengungkapkan karakter yang tidak berubah. Bumi bergerak, tanah bergerak, pohon-pohon tumbang, akan tetapi gunung batu, ia menggambarkan kekuatan dan keteguhan, kemampuan untuk tetap teguh. Ia sama dari dulu, sekarang dan sampai di masa depan. Ia tidak berubah. Itulah gambaran yang diberikan di sini. Keteguhan, kesetiaan Allah. Kuasa-Nya, keadaan-Nya yang tidak berubah, semua ciri itu yang terdapat di dalam gunung batu.

Kemudian, di Mazmur 18:32, Mazmur yang sama, terdapat kata lain yang bermakna batu karang atau gunung batu ini – toor, dengan demikian ada dua kata yang dipakai untuk makna yang sama di dalam Mazmur yang sama.

Sebab siapakah Allah selain dari TUHAN, dan siapakah gunung batu kecuali Allah kita? Ayat 33: Allah, Dialah yang mengikat pinggangku dengan keperkasaan dan membuat jalanku rata.

Kembali terlihat, ungkapan tentang kuasa, keteguhan dan tentang kekuatan.

Selanjutnya di ayat 47, kita membaca hal yang sama lagi:

TUHAN hidup! Terpujilah gunung batuku, dan mulialah Allah Penyelamatku!

Sekali lagi, ungkapan kekuatan, keselamatan di mana Allah menjadi tempat perlindungan kita dan sumber kekuatan kita, gunung batu yang memberi perlindungan dan keamanan, ungkapan gunung batu ini menyatakan kepribadian Allah. Jika Anda telah memahami hal ini, maka apa yang dikatakan oleh Yesus di Matius 16:18 menjadi sangat jelas: “Gerejaku akan dibangun di atas batu karang.” Jadi, apakah batu karang itu? Batu karang itu tidak lain adalah Allah sendiri. Dialah batu karang atau gunung batu itu.

Sangat menyedihkan jika ada gereja yang dibangun di atas dasar satu orang, bahkan orang seperti Petrus sekalipun. Apakah Anda pikir Yesus akan membangun gerejanya di atas dasar satu orang? Dan satu orang itu adalah Petrus? Hal ini menunjukkan kepada Anda tentang bahayanya jika Anda membiarkan paham-paham teologi mengendalikan eksposisi Anda tentang isi Alkitab, karena Anda akan sepenuhnya melenceng dari jalur. Dan di sini, maafkan saya terpaksa mengatakannya, walaupun saya sangat mengasihi para saudara di Gereja Katolik Roma, saya harus menunjukkan adanya kesalahan ini. Dan janganlah salah sangka terhadap saya yang mengungkapkan kekeliruan ini. Saya juga mengungkapkan kekeliruan yang terdapat di dalam ajaran di lingkungan Protestan, bukan sekadar yang terdapat di dalam lingkungan Katolik Roma. Di dalam pemahaman ayat ini, mereka memang sudah keluar jalur.


Yesus membangun gereja di atas keteguhan Allah

Yesus bukan sekadar membangun gerejanya di atas dasar satu pribadi; makna dasar dari batu karang itu adalah Allah, tetapi juga di atas dasar para rasul dan nabi, dan hal ini membawa saya pada poin yang kedua. Mengapa? Karena mereka juga akan menjadi batu karang. Yaitu pada saat kita ditransformasi, pada saat kita diubah, kita akan menjadi seperti batu karang. Kita menerima kepribadian ilahi. Ini adalah hal yang sangat penting untuk dipahami. Bukan hanya Petrus saja yang menjadi batu di dalam ajaran Perjanjian Baru, setiap orang Kristen sejati adalah batu juga.

Saya akan tunjukkan hal ini dari 1 Petrus 2:4-5, agar kita bisa mengerti dengan jelas akan hal ini. Di sini, kita temukan bahwa Yesus sendiri adalah batu karang atau batu itu, yaitu batu yang hidup.

Dan datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormat di hadirat Allah.

Di sini, kita telah mengetahui bahwa Allah adalah batu karang, dan Yesus juga adalah batu karang, batu karang yang hidup atau batu yang hidup. Tidak masalah terjemahan apa yang Anda pakai. Kata ‘batu’ dan kata ‘batu karang’ bisa dipertukarkan. Kata aslinya di dalam bahasa Yunani memang memiliki makna batu dan batu karang sekaligus.

Lalu perhatikanlah ayat 5:

Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah.

Anda semua, orang-orang Kristen, adalah batu atau batu karang yang hidup juga, yang dipakai untuk membangun Bait Allah, membangun rumah rohani –

Menjadi seorang Kristen yang sejati, kepribadian Anda akan diubah menjadi ‘batu’, menjadi ‘Petrus’

Sudahkah Anda dapatkan gambarannya sekarang? Di atas dasar apakah Yesus membangun rumahnya? Saya tidak mengatakan di atas dasar siapa melainkan di atas dasar apa Yesus membangun rumahnya. Gerejanya dibangun di atas dasar batu karang. Dan batu karang itu pada dasarnya adalah Allah sendiri dan juga setiap orang yang menerima watak ilahi, karena jika Anda telah menjadi seorang Kristen yang sejati, maka kepribadian Anda akan diubah menjadi seperti kepribadian Petrus. Kepribadian Anda akan diubah menjadi batu, menjadi Petrus, menjadi petros, menjadi batu karang. Anda akan menjadi batu yang hidup yang Allah pakai untuk membangun gerejanya. Suatu hal yang sangat indah, dan sangat penting untuk dipahami. Dan semua ini diwujudkan lewat suatu transformasi kepribadian, saat Anda diubah menjadi batu karang, sehingga Anda ikut menerima watak ilahi dengan menjadi batu karang, menjadi tak dapat dirusak, menjadi teguh, menjadi setia dan menjadi kudus. Tak dapat dirusak jelas merupakan isi dari kekudusan. Ia tak dapat dirusak oleh dosa, itulah gambaran yang diberikan oleh batu karang.

Jadi, di 1 Petrus 1:4, rasul Petrus sendiri, yang telah diubah dan ikut memiliki watak ilahi dari batu karang berkata, “Kamu telah ikut memiliki watak ilahi, sama seperti aku. Aku telah diubah dari Simon menjadi batu yang hidup.” Sungguh sangat menarik, Petruslah yang berbicara tentang batu karang itu, bahwa bukan hanya dia saja yang menjadi batu yang hidup itu, tetapi Anda semua, orang-orang Kristen sejati, adalah batu-batu yang hidup seperti Kristus sendiri adalah batu atau batu karang yang hidup.

Jika kita mengerti akan hal ini, kita akan mengerti bahwa gereja dibangun di atas dasar watak ilahi, dibangun di atas dasar kepribadian Allah, dibangun di atas dasar Allah sendiri dan selanjutnya melibatkan mereka semua yang ikut berpartisipasi atau ikut memiliki watak ilahi itu. Jadi, di atas dasar apakah gereja itu dibangun? Tak heran jika gereja menjadi kuat. Karena jika Anda menjadi orang yang ikut memiliki watak ilahi, dan Anda menjadi batu karang, maka segenap bala tentara neraka tidak akan mampu menentang gereja. Mereka akan mampu menguasai Anda secara pribadi jika Anda ceroboh, akan tetapi tidak terhadap gereja secara keseluruhan.

Itu sebabnya sangatlah perlu untuk memahami ajaran yang memberi gambaran tentang tubuh, sebagaimana yang kita pelajari di dalam surat Efesus. Anda tidak bisa bertahan sebagai batu yang menyendiri. Tidak bisa begitu, melainkan sebagai batu-batu hidup secara bersama-sama, Anda dipakai dalam membangun rumah rohani Allah yang landasan utamanya adalah Kristus yang adalah Allah dan, dengan demikian, seluruh bagian bangunan itu, pada dasarnya, bersandar dengan aman pada Allah. Jadi, di atas “apakah” gereja dibangun? Jawabannya adalah pada watak ilahi!

Namun bagaimana cara hal ini terjadi? Bagaimana agar Kristus bisa membangun gerejanya di atas batu karang? Bagaimana hal itu bisa tercapai? Bagaimana pelaksanaannya? Fakta bahwa Yesus  akan mampu membangun gerejanya di atas dasar Allah bukanlah suatu persoalan. Akan tetapi gereja ini terdiri dari banyak orang, lalu bagaimana bangunan itu bisa kokoh? Tentu saja, Anda bisa membinasakan bangunannya, dan bangunan itu rubuh, akan tetapi dasarnya tetap kokoh. Gereja itu dibangun dengan dasar Allah. Allah akan tetap teguh di sana. Tidak jadi masalah, akan tetapi akankah bagian atasnya bisa bertahan? Di sanalah letak persoalannya. Ia tidak bisa bertahan jika bagian atas itu tidak disatukan pada landasan batu karang itu, dan jika bagian atas itu bukan diperbuat dari batu karang juga. Ini bukanlah pernyataan yang menolak Petrus sebagai bagian dari landasan itu, tetapi dia memang hanya satu bagian saja dari landasan itu. Dan ini adalah pokok yang sangat penting untuk dipahami, dia menjadi bagian dari landasan itu oleh kenyataan bahwa dia telah menjadi orang yang ikut memiliki watak ilahi.


Roh Kudus mengubah orang-orang percaya yang sejati menjadi batu (“menjadi Petrus-Petrus”)

Bagaimana Anda akan membentuk seorang Petrus? Seorang yang tidak seperti batu karang dan menjadikan dia batu karang? Anda tahu betapa lemahnya Petrus. Dia adalah orang yang paling keras berbicara tentang kesetiaan. Dialah orang yang memimpin orang lain untuk berkata, “Yesus, kami bersedia mati bagimu. Kami tidak akan pernah meninggalkan engkau. Kami akan terus bersamamu sampai mati.” Anda tentu ingat pada semua pernyataan dari Petrus itu. Dan ketika didatangi seorang perempuan yang bukan siapa-siapa, seorang hamba perempuan yang berkata, “Aha! Kamu adalah salah satu dari murid-murid Yesus!” Dan, di hadapan hamba perempuan itu dia goyah. Tiga kali dia menyangkal Yesus. Dia belum berhadapan dengan para pengawal Bait Allah. yang dia hadapi baru seorang hamba di halaman Bait Allah, bahkan yang ini cuma hamba perempuan, dan Petrus yang perkasa itu sudah tersungkur. Apakah Petrus ikut memiliki watak ilahi? Apakah Anda ingin mengatakan bahwa orang semacam itu ikut memiliki watak ilahi?

Oh, mari kita lebih berbaik hati lagi kepada Petrus. Saat itu dia belum mengalami Pentekosta. Roh Kudus belum tercurah atasnya. Dia masih belum mengalami kepenuhan watak ilahi. Dia belum mengalami transformasi itu. Dia masih belum diubah. Bagaimana mungkin dia bisa diubah tanpa peran Roh Kudus? Roh Kudus harus datang dulu untuk mengubahnya. Itulah sebabnya Yesus berkata, “Janganlah kalian pergi memberitakan Injil dulu, karena pertama-tama kalian harus diubah dahulu. Pertama-tama, kalian harus menerima kuasa dari atas dulu. Tanpa kuasa itu bagaimana mungkin kalian bisa menjadi batu karang?”

Kita sudah melihat bahwa makna dasar dari batu karang itu adalah ungkapan tentang keteguhan, kekuatan dan kuasa. Semua itu datang kepada kita hanya melalui Roh Kudus. Melalui Roh Kuduslah, demikian kata Petrus sendiri, maka kita bisa ikut memiliki watak ilahi. Jadi yang diperlukan adalah transformasi. Pertanyaan tentang ‘bagaimana’ dijawab dengan transformasi. Yesus, dalam rangka membangun gerejanya secara kokoh, harus membangun gerejanya itu bukan sekadar di atas dasar batu karang yang adalah Allah, tetapi juga di atas dasar kedua yaitu umat manusia. Bangunan ini tidak kokoh, bukankah begitu? Tentu saja tidak kokoh. Lalu bagaimana bangunan itu diperkokoh? Dengan mengubah para rasul dan nabi dan kita semua menjadi batu, menjadi batu karang, menjadi ‘Petrus-Petrus’. Itulah ajaran yang alkitabiah


Petrus pernah menjadi musuh salib karena dia mencoba mencegah Yesus

Namun kita masih belum selesai menjawab pertanyaan tentang hal ‘bagaimana’ ini. Anda mungkin berkata, “Mereka semua akan ditransformasi, dan itulah cara supaya gereja bisa menjadi kokoh menghadapi serangan dan kuasa-kuasa alam maut, karena gereja dibangun di atas batu karang.” Namun bagaimana transformasi ini bisa dijalankan? Itu pertanyaan penting. Memang bagus berkata bahwa mereka akan diubah, akan tetapi apakah perikop ini berbicara tentang transformasi? Perhatikan bahwa pada tahapan ini, betapa kecilnya transformasi pada diri Petrus. Dia masih belum berubah. Mari kita baca ayat 21:23, karena di sinilah dijelaskan bagaimana terjadi transformasi ke arah watak ilahi, bagaimana keikutsertaan di dalam memiliki watak ilahi itu terjadi. Matius 16:21

Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.

Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia – Petrus lupa pada kedudukannya – katanya: “Tuan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya, ini adalah pernyataan yang paling tidak berdasar yang pernah saya lihat, “Tuan (Lord), kiranya Allah menjauhkan hal itu!” Pernyataan macam apa ini? “Kiranya hal itu tidak akan pernah terjadi, Tuan. Tidak, Tuan.” Jika Anda berkata tidak kepada seseorang, apakah mungkin orang itu adalah majikan atau Tuan Anda. “Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” Apa yang sedang coba dia sampaikan? Apakah dia ingin bernubuat?

Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”

Sungguh sial Petrus! Sedikit sekali dia mengalami perubahan! Akan tetapi perhatikan hal penting ini, yang sangat berkaitan dengan keselamatan Anda. Harap diperhatikan. Apakah Petrus percaya kepada Yesus? Tentu saja dia percaya kepada Yesus. Apakah dia tidak memperoleh wahyu dari Allah? Tentu saja dia memperoleh wahyu dari Allah. Matanya sudah terbuka. Dia saat itu berkata, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup.” Suatu pengakuan yang luar biasa! Apakah dia memiliki iman? Jelas dia memiliki iman. Apakah dia memiliki pemahaman rohani dengan imannya itu? Sudah tentu dia punya.

Namun apakah dia menjadi lawan bagi salib? Jawablah hal ini dengan jujur. Apakah Petrus menjadi lawan bagi salib? Tentu saja dia menjadi lawan bagi salib. Dia mencoba untuk menghentikan Yesus. Dia keberatan dengan salib. Dia menentang salib. “Kiranya hal itu tidak akan pernah terjadi padamu! Kiranya Allah menjauhkan salib itu darimu! Kiranya Allah menjauhkan hal itu! Tuhan, hal itu tidak akan pernah terjadi!” Tak peduli apapun motivasinya, yang pada saat itu tidak menjadi masalah yang penting. Apapun yang menjadi motivasi Petrus, faktanya adalah bahwa dia saat itu menjadi lawan bagi salib dan Yesus menyebut dia dengan pernyataan, “Enyahlah iblis!” Kata ‘iblis’ berarti musuh atau lawan. “Engkau menjadi lawanku karena apa yang kau perbuat saat ini. Engkau adalah lawan bagi salib. Engkau menentangku Engkau menghadang di antara aku dan salib. Menyingkirlah setan.”

Jika pada saat itu Yesus berkata, “Enyahlah Petrus,” kalimat ini saja sebenarnya sudah cukup buruk. Jika saat itu dia berkata, “Engkau tidak memihak kepada Allah melainkan pada kedagingan manusia,” maka kalimat itu juga sudah cukup buruk. Akan tetapi Anda tidak menemukan kata ‘Petrus’ di kalimat itu. “Enyahlah iblis!” Jadi, Yesus sedang berkata kepada Petrus, “Enyahlah engkau, musuhKu!”


Apakah Anda adalah lawan bagi salib?

Inilah sebabnya mengapa saya minta Anda untuk memerhatikan hal ini dengan saksama, demi keselamatan Anda. Anda bisa saja beriman kepada Yesus. Anda bisa saja percaya kepadanya bukan hanya sebagai Juruselamat, melainkan sebagai Kristus Raja, Mesias, Anak Allah, tetapi Anda bisa saja masih menjadi lawan bagi salib! Inilah bagian yang sangat menakutkan! Sangat menakutkan! Hal itulah yang akan kita teliti dalam sisa waktu ini. Jangan berbangga bahwa Anda, seperti Petrus, percaya kepada Yesus sebagai Kristus, Mesias Raja, sebagai Anak Allah. jangan berbangga dulu karena Anda bisa saja, seperti Petrus, masih menjadi lawan dari salib. Apa yang akan terjadi pada musuh-musuh salib? Tahukah Anda apa yang akan terjadi pada lawan-lawan salib? Jangan mencari jawaban dari saya. Mari kita baca di dalam Galatia supaya kita bisa mengerti apa yang Yesus sampaikan kepada kita.


Ada apa dengan salib sehingga
membuat Petrus tersandung?

Namun pertama-tama, mari kita baca mengenai sandungan yang terdapat pada salib ini. Galatia 5:11 –

Dan lagi aku ini, saudara-saudara, jikalau aku masih memberitakan sunat, mengapakah aku masih dianiaya juga? Sebab kalau demikian, salib bukan batu sandungan lagi.

Pertama, mari kita ajukan satu pertanyaan dulu, apakah batu sandungan dari salib itu? Terdiri dari apakah batu sandungan salib itu? Saya ingin tahu apa jawaban Anda.

Petrus menentang Yesus karena dia telah tersandung oleh salib itu. Namun ada apa dengan salib itu sehingga membuat Petrus tersandung? Bagaimana menurut Anda? Sangatlah penting bagi Anda untuk memahami pertanyaan ini dengan baik, karena jika Anda tidak memahami pertanyaan ini, sebagaimana halnya dengan Petrus yang tidak memahami persoalan ini, Anda akan menjadi lawan pada rencana salib. Dan tentunya Petrus bukan dengan sengaja ingin menjadi lawan bagi salib. Tidak kira apa motivasinya, apapun alasannya, faktanya adalah bahwa dia telah menjadi lawan bagi salib!


Jika salib menjadi batu sandungan buat Anda, maka Anda akan binasa

Di surat Galatia, Paulus mengingatkan jemaat di Galatia tentang konsekuensi yang timbul jika salib menjadi batu sandungan bagi mereka. Mereka akan menghadapi masalah yang sangat berat. Dia berkata, “Aku tidak memberitakan sunat karena jika aku memberitakan sunat, maka salib tidak menjadi batu sandungan lagi. Akan tetapi kamu menerima sunat karena salib telah menjadi batu sandungan buatmu. Jika salib menjadi sandungan buatmu, maka kamu akan binasa.”

Mari mundur sedikit lagi dan membaca ayat-ayat di awal pasal 5. Ayat 11 itu menyimpulkan apa yang diuraikan dalam ayat-ayat sebelumnya, yaitu mengenai salib sebagai batu sandungan.

Kita baca Galatia 5:2-4,

Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu. Sekali lagi aku katakan kepada setiap orang yang menyunatkan dirinya, bahwa ia wajib melakukan seluruh hukum Taurat. Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia.

Persisnya, inilah masalah yang sedang melanda Petrus. Anda ingat bahwa di bagian awal surat Galatia ini, Paulus telah menegur Petrus karena Petrus masih membawa kecenderungan untuk tersandung pada salib. Sangatlah sulit bagi manusia duniawi untuk menerima salib.

Namun apakah batu sandungan salib itu? Waspadalah, karena sekalipun Anda percaya kepada Yesus, seperti yang dikatakan oleh Paulus kepada jemaat di Galatia, “Imanmu bisa sia-sia.” Apakah jemaat di Galatia percaya kepada Yesus? Jelas mereka percaya kepada Yesus. Namun Paulus memperingatkan mereka bahwa jika salib menjadi batu sandungan buat mereka, dan mereka berpaling dari salib kepada sunat, maka mereka akan terpisah dari Kristus dan iman mereka menjadi sia-sia. Dia tidak menolak fakta bahwa jemaat di Galatia percaya kepada Yesus dan bahwa mereka percaya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah. Akan tetapi sekalipun mereka percaya kepada Yesus, jika mereka menolak batu sandungan dari salib, maka iman mereka menjadi sia-sia. Mereka akan terpisah dari Kristus. Saya wajib menyampaikan kepada Anda segenap ajaran Allah, entah isinya menyenangkan atau tidak. Kebenaran harus disampaikan.

Baca sekali lagi Matius pasal 16 dan camkanlah baik-baik pengajaran penting yang Yesus sampaikan di sini. Yesus mengakui sepenuhnya iman Petrus, yaitu bahwa Petrus mempercayai Yesus sebagai Mesias. Tanamkanlah hal ini dalam-dalam di benak Anda. Yesus mengakui hal itu dan Yesus berkata, “Diberkatilah engkau Petrus karena engkau telah mengerti bahwa Akulah Kristus. Akan tetapi, hal itu masih belum cukup, Petrus. Masih belum cukup.”

Mungkin Anda berkata, “Wow! Masih belum cukup? Seberapa besar iman yang Engkau inginkan?” Hal itulah yang akan kita teliti nanti. “Hal itu masih belum cukup, Petrus.” Lalu apa lagi yang perlu kita tambahkan?


Apakah batu sandungan salib itu?

Cobalah renungkan, apakah batu sandungan dari salib ini? Paulus berkata bahwa jika salib menjadi batu sandungan buat Anda, menjadi penghalang bagi Anda, maka Kristus sama sekali tidak berguna bagi Anda. Anda terpisah dari Kristus. Anda telah terpisah dari kasih karunia. Apakah salib menjadi batu sandungan karena Yesus terbunuh di sana? Bagaimana kematian Anda terjadi bukanlah hal yang sangat penting. Socrates mati dengan meminum racun. Apakah kematian tersebut membuat Socrates tidak dihormati oleh orang Yunani? Kematian itu tidak merusak kehormatan Socrates di mata orang Yunani. Dia dipaksa untuk meminum racun. Dia dinyatakan sebagai musuh negara. Akan tetapi, orang Yunani masih tetap menghormati dia setelah kematiannya. Anda lihat, cara kematian seseorang tidak membuatnya kehilangan kehormatan. Fakta bahwa kematian tersebut terjadi di kayu salib juga tidak merusak kehormatan seseorang. Janganlah membuat anggapan bahwa cara kematian seseorang akan mempengaruhi kehormatan orang yang bersangkutan, lalu Anda menyampaikan khotbah yang salah arah.

Jika kita membaca isi Perjanjian Lama, apakah fakta bahwa seseorang yang mati bagi orang lain akan menjadi suatu batu sandungan? Sangat kecil kemungkinan peristiwa itu akan menjadi suatu batu sandungan. Orang Yahudi juga telah membaca Yesaya pasal 53. Mereka memang tidak tahu siapa orang yang akan mati bagi mereka. Mereka tidak tahu siapa orang yang akan mati demi keselamatan bangsa. Mereka telah membaca Yesaya pasal 53. Apakah kematian seseorang lantas menjadi batu sandungan buat mereka? Jika cara kematiannya yang dianggap menjadi batu sandungan, penyaliban itu sendiri sebenarnya bukanlah suatu batu sandungan, lalu bagaimana fakta kematian seseorang di kayu salib bisa menjadi batu sandungan buat Anda? Saya belum melihat bahwa hal semacam itu akan menjadi batu sandungan buat seseorang, apalagi bagi orang Yahudi.

Jadi, marilah kita tinggalkan jawaban enteng dan dangkal seperti ini dan langsung masuk kepada inti persoalannya: apakah batu sandungan dari salib itu? Saya mengangkat persoalan ini karena orang Yahudi cukup mengerti, melalui sistem persembahan korban mereka, tentang nilai kematian seseorang demi orang lain, atau kematian hewan korban bagi seseorang. ‘Kematian pengganti’ ini sudah mereka pahami di sepanjang hidup mereka. Mereka telah melihat hewan-hewan korban yang mati bagi mereka, jadi bukanlah hal yang aneh jika ada seseorang yang mati bagi mereka, karena Yesaya 53 telah menyiapkan pikiran mereka akan hal ini.

Atau, contoh yang lain adalah Zakharia 12:10. Di sana nabi Zakharia menyampaikan bahwa Yahweh berfirman, “…dan mereka akan memandang kepada dia yang telah mereka tikam.” Nah, di sini juga, para penafsir Yahudi tidak tahu siapa yang dimaksudkan dengan dia itu. Mereka tidak tahu siapa orang yang telah mereka tikam dan nantinya akan menjadi Juruselamat. Namun setidaknya, mereka cukup paham akan nilai pengorbanan walau tanpa pemahaman yang jeli tentang kitab Zakharia.

Dan fakta bahwa kematian seseorang bagi banyak orang itu tidak menjadi batu sandungan semakin diperkuat jika kita baca bahwa salah satu imam besar Yahudi di Yoh 11:50-51 menubuatkan bahwa seseorang harus mati demi keselamatan seluruh bangsa. Dan Anda tentu ingat pada kalimat penting tersebut. Saya akan bacakan Yoh 11:50-51 bagi Anda, dan akan dimulai dari ayat 49:

Tetapi seorang di antara mereka, yaitu Kayafas, Imam Besar pada tahun itu, berkata kepada mereka: “Kamu tidak tahu apa-apa,” Dia menegur mereka disaat mereka sedang berkumpul di dalam sidang Sanhedrin (para imam pimpinan di Bait Allah), dan sedang membicarakan tentang apa yang harus dilakukan terhadap Yesus. “Dan kamu tidak insaf, bahwa lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita dari pada seluruh bangsa kita ini binasa.” Hal itu dikatakannya bukan dari dirinya sendiri, tetapi sebagai Imam Besar pada tahun itu ia bernubuat, bahwa Yesus akan mati untuk bangsa itu.

Imam besar ini menubuatkan sesuatu tanpa memahami dampak dari nubuatannya bahwa Yesus akan mati demi seluruh bangsa itu. Jadi Anda bisa lihat, fakta bahwa seseorang mati demi bangsa, demi umat Yahudi, bukanlah hal yang asing di dalam alam pikiran orang Yahudi.

Pemikiran semacam ini juga tidak asing bagi orang Yunani. Mereka yang bergelut di bidang perbandingan agama akan tahu bahwa pandangan-pandangan mengenai dewa yang mati lalu bangkit kembali tidaklah asing di kalangan bangsa kafir termasuk Yunani. Dewa-dewa Yunani, jika Anda membaca karya-karya sastra Yunani, tidak bersifat kekal. Dan kadang kala, mereka meraih tingkatan dewa melalui kematian. Pandangan tentang kematian dan kebangkitan kembali bukanlah batu sandungan ataupun aneh bagi orang Yunani. Jika kita meneliti dengan cermat persoalan ini, baik dari sudut pandang Perjanjian Lama ataupun dari kesusasteraan Yunani, kita akan diperhadapkan dengan pertanyaan apakah batu sandungan yang sesungguhnya? Apakah karena orang akan keberatan untuk percaya kepada pribadi yang disalib? Jawaban ini jelas salah. Ambillah contoh tentang seorang budak Romawi, Spartacus. Dia hanyalah seorang budak. Dan dia disalibkan akibat pemberontakannya terhadap pemerintah Roma. Akan tetapi Spartacus masih dihormati sebagai seorang pahlawan besar sekalipun dia gagal dalam pemberontakannya terhadap pemerintah Roma. Lalu apa batu sandungan dari salib itu? Apakah itu?

Untuk bisa menjawab hal ini, mari kita beralih kepada Petrus. Batu sandungan apakah yang telah menjegal Petrus dalam hal salib ini? Apakah yang menjadi persoalan buatnya? Apakah Anda mengira bahwa Petrus menolak salib karena sulit bagi dia untuk mempercayai bahwa seseorang harus mati bagi semua orang? Kecil kemungkinan bahwa itu adalah persoalannya. Petrus juga tahu tentang Yesaya pasal 53. Dia juga tahu tentang Zakharia 12:10 dan ayat-ayat lainnya seperti Mazmur 22 dan sebagainya. Jadi, tentunya bukan itu yang menjadi persoalan buat dia. Lalu apakah batu sandungan dari salib itu? Saya perlu membiarkan Anda untuk bergumul sejenak dengan pertanyaan ini untuk sementara waktu, saya tidak ingin terburu-buru masuk ke dalam jawabannya. Mari kita buang kemungkinan-kemungkinan jawaban yang lainnya, sehingga pada akhirnya tinggal tersisa sedikit jawaban saja. Hal apakah yang telah menjegal Petrus, yang membuatnya tidak dapat menerima apa yang sedang Yesus katakan?

Apakah Anda mendapati salib itu membuat Anda tersandung? Mari kita renungkan. Jika Anda bukan seorang Kristen dan ada seseorang datang memberitakan kepada Anda bahwa Yesus telah mati bagi dosa-dosa kita, apakah Anda merasa bahwa hal itu merupakan penghalang? Apakah itu batu sandungan? Apakah Anda merasa sukar untuk mempercayai seseorang telah mati disalibkan? Oh, bagi saya itu bukan masalah. Orang Yahudi juga tidak bermasalah dengan hal itu. Dan orang Yunani juga tidak mempersoalkannya. Apakah menurut Anda itu merupakan masalah? Saya meragukannya. Bukankah fakta bahwa ada seseorang yang mati bagi semua orang itu justru sangat mengharukan hati kita? Jauh dari menjegal, hal tersebut malah menimbulkan kesan yang sangat mendalam di hati kita, bukankah begitu? Anda pernah mendengar orang berkhotbah tentang salib. Saya sendiri juga pernah berkhotbah tentang salib. Orang-orang menangis saat mendengarkan khotbah tentang salib. Pemberitaan tentang kematian Kristus jauh dari memberi sandungan, bahkan orang non-Kristen mendapati bahwa hal itu sangat mengharukan, sangat menyentuh perasaan.

Itulah sebabnya saya sangat menekankan bahwa jawaban dangkal tentang kesulitan orang-orang pada zaman itu untuk mempercayai seseorang yang telah disalibkan adalah jawaban yang salah. Tidak ada kesulitan semacam itu. Kecil kemungkinan adanya kesulitan semacam itu karena daya tarik dari kisah pengorbanan itu justru sangat besar, tak peduli mati dengan cara apapun, semakin buruk kematian yang terjadi, justru semakin mengharukan bagi saya, bahwa dia rela mati secara itu, sekalipun misalnya dia mati bukan untuk siapa-siapa. Apakah menurut Anda seorang maling yang disalibkan akan menanggung malu? Bukankah Anda justru akan merasa kasihan melihat penderitaannya di kayu salib? Orang-orang zaman dulu juga demikian. Mereka juga sedih melihat penderitaan semacam itu. Mereka sudah cukup banyak menderita dan mungkin mereka bahkan lebih mampu bersimpati pada penderitaan ketimbang kita yang belum mengalami penderitaan sebanyak mereka. Itu bukan masalahnya. Bahwa Kristus telah mati di kayu salib bukanlah suatu batu sandungan bagi seseorang. Mengapa hal itu harus jadi batu sandungan? Penyaliban itu justru menimbulkan daya tarik emosional yang sangat kuat. Jadi, kita masih tidak punya jawaban tentang apa batu sandungannya. Di titik ini, sangat baik bagi saya untuk mengakhirinya, dan memberi Anda waktu seminggu untuk merenungkannya: “Apakah batu sandungan dari salib itu?”

Tanyakanlah diri Anda dengan jujur, karena ini adalah pertanyaan yang perlu Anda renungkan. Apakah batu sandungan dari salib itu? Paulus berkata di Galatia 5:11, Dan lagi aku ini, saudara-saudara, jikalau aku masih memberitakan sunat, mengapakah aku masih dianiaya juga? Sebab kalau demikian, salib bukan batu sandungan lagi. Oh? Bagaimana bisa begitu? Padahal saat itu dia sedang berbicara kepada orang-orang Kristen yang sudah percaya pada kematian Kristus, bukan kepada orang-orang non-Kristen. Akan tetapi salib masih menjadi batu sandungan bagi mereka. Situasi ajaib yang sedang dihadapi , dan camkanlah hal ini baik-baik: Anda bisa saja percaya bahwa Yesus telah mati bagi Anda namun salib tetap menjadi batu sandungan bagi Anda. Itulah hal yang terjadi pada jemaat di Galatia. Mereka percaya kepada Yesus. Mereka adalah orang-orang Kristen. Jika mereka tidak percaya bahwa Yesus telah mati bagi mereka, mereka tidak akan jadi orang Kristen. Akan tetapi, entah bagaimana, salib tetap menjadi batu sandungan bagi mereka.


Salib Kristus menimbulkan penolakan bagi orang yang tidak rohani, bagi orang yang sekadar religius

Mengapa? Mari kita lihat Galatia pasal 6 untuk mulai menjawab persoalan ini. Jangan lupa bahwa yang sedang disebutkan di ayat ini adalah para penginjil yang sedang memberitakan Injil. Galatia 6:12 – 

Mereka yang secara lahiriah suka menonjolkan diri, merekalah yang berusaha memaksa kamu untuk bersunat, hanya dengan maksud, supaya mereka tidak dianiaya karena salib Kristus.

Renungkan baik-baik kalimat ini. Mereka ingin agar orang-orang Kristen di Galatia menyunatkan diri supaya mereka tidak dianiaya karena salib Kristus. Sudahkah Anda memahaminya? Jika mereka itu bukan orang Kristen, lalu siapa yang akan menganiaya mereka karena salib Kristus? Tak akan ada orang yang menganiaya mereka jika mereka bukan orang Kristen. Bagaimana bisa mereka dianiaya karena salib Kristus? Akan tetapi orang-orang Kristen ini lebih memilih untuk memberitakan sunat ketimbang salib karena mereka tidak ingin dianiaya oleh orang-orang Yahudi dan juga masyarakat yang lain karena salib Kristus. Paulus berkata, “Aku dianiaya karena salib Kristus karena aku tidak memberitakan sunat.”

Apakah sunat itu? Apakah Paulus memberitakan sunat? Dia memang memberitakan sunat, akan tetapi bukan sunat yang sama, yaitu bukan sunat yang lahiriah. Lalu apa yang diberitakan oleh Paulus? Paulus memberitakan keselamatan melalui salib.

Jadi apa itu sunat? Mengapa sunat dijadikan lawan dari salib? Sunat melambangkan segala sesuatu yang berkenaan dengan ibadah lahiriah, dengan peribadahan. Para penganiaya itu bukanlah orang yang tidak percaya, ingatlah hal ini, mereka adalah orang-orang percaya, orang-orang religius. Kita selalu lupa akan hal ini. Paulus tidak dianiaya oleh orang yang tidak percaya, dia dianiaya oleh orang-orang religius yang menjadi musuh salib, dan yang juga berkhotbah di tengah jemaat-jemaat. Lalu bagaimana cara pemberitaan mereka di gereja-gereja, misalnya di gereja-gereja di Galatia? Ingatlah bahwa surat kepada jemaat di Galatia tidak ditujukan kepada satu gereja saja, melainkan kepada banyak gereja, semua gereja di sana. Anda bisa baca hal ini di Galatia 1:2 – kepada jemaat-jemaat di Galatia. Dan di tengah gereja-gereja ini, ada orang-orang yang mendapati bahwa salib telah menjadi batu sandungan, dan kemudian memberitakan sunat yaitu ibadah lahiriah.

Sekarang, kita mulai mendapatkan petunjuk jawabannya. Salib selalu ditolak oleh orang yang mengandalkan ibadah lahiriah, yang mengandalkan kedagingan. Dengan kata lain, salib Kristus selalu ditolak oleh manusia duniawi, manusia yang tidak rohani. Camkanlah hal ini baik-baik. Salib selalu ditolak oleh manusia yang tidak rohani. Manusia yang tidak rohani tidak akan menyukai pemberitaan tentang salib. Jika Anda kembali ke surat Korintus, Anda akan melihat persoalan tersebut. Manusia yang tidak rohani tidak menyukai pemberitaan tentang salib. Ingatlah hal yang terjadi pada jemaat di Korintus, dan tentang mengapa Paulus menyampaikan kepada mereka mengenai batu sandungan dari salib di sana.

Apakah jemaat di Korintus itu percaya kepada Yesus? Sudah tentu mereka percaya kepada Yesus. Apakah mereka percaya bahwa Yesus telah mati bagi mereka? Jelas mereka percaya bahwa Yesus telah mati bagi mereka. Bagaimana bisa mereka menjadi Kristen jika mereka tidak percaya? Akan tetapi Paulus berkata kepada mereka di pasal 3, “Kalian adalah manusia duniawi.” Itu berarti bagi mereka salib telah menjadi batu sandungan juga. Itu sebabnya Paulus berkata bahwa dia sendiri tidak akan memberitakan apapun selain tentang salib, sekalipun orang-orang di Korintus tidak akan menyukainya. Sekarang kita mulai masuk ke akar persoalannya. Sudahkah Anda sudah mulai mengerti apa batu sandungan dari salib itu? Jika ada orang yang mati bagi saya, mengapa hal itu menjadi batu sandungan bagi saya? Saya justru akan berkata, “Terima kasih. Terima kasih. Kamu telah mati buatku, aku sangat berterima kasih kepadamu.” Tak ada batu sandungan di sana.

Untuk mengetahui apa batu sandungan dari salib, mari kita baca paragraf terakhir dari Matius pasal 16 ini. Waktu kita sudah hampir habis dan saya harus mengakhirinya. Mengapa salib menjadi batu sandungan bagi Petrus? Mengapa? Kita tidak perlu menebak-nebak. Jawabannya sudah diberikan oleh Yesus.

Perhatikan ayat 24 sampai ayat yang terakhir. Dan perhatikan juga kata ‘lalu’. ‘Lalu’ apa? Kata ‘lalu’ ini merupakan sambungan dari peristiwa yang baru saja terjadi: Karena Petrus menentang Yesus, menentang pelayanan keselamatannya, menentang salibnya dan telah menjadi setan (lawan) bagi Yesus.

‘Lalu’ Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?


Sandungan salib terletak pada fakta bahwa Anda harus memikul salib

Apakah batu sandungan dari salib itu? Bisakah Anda melihatnya? Ketika Petrus menjadi musuh salib, Yesus memberitahu dia mengapa dia adalah musuh bagi salib. “Tahukah kamu mengapa kamu menjadi musuh salib, Petrus?” Dan hubungan antara ayat 23 dengan ayat 24 terlihat lebih nyata di dalam ayat-ayat yang sejajar di Markus 8:34. Di sini, kata sambung yang digunakan (dalam naskah sumber) adalah ‘dan’ (dalam terjemahan LAI digunakan kata ‘lalu’), kata sambung ‘dan’ menunjukkan bahwa kedua peristiwa berhubungan lebih erat. Di Markus 8:34 disampaikan hal yang persis sama dengan Matius 16:24. Lalu apakah batu sandungan dari salib itu? Batu sandungan dari salib bukan pada kesediaan kita untuk percaya kepada salib. Persoalannya terletak pada fakta bahwa kita harus memikul salib. Di sanalah letaknya  batu sandungan dari salib.


Yesus tidak pernah memakai kata ‘salib’ untuk kematian
nya sendiri

Ingat ingat baik-baik akan satu hal penting. Yesus tidak pernah memakai kata ‘salib’ dalam kaitan dengan kematiannya sendiri. Dia memakai kata ‘salib’ beberapa kali, namun selalu berkenaan dengan para murid, bukan kepada dirinya sendiri. Batu sandungan salib itu adalah penolakan mereka untuk memikul salib.

Mengertikah Anda sekarang apa itu batu sandungan dari salib? Mempercayai bahwa Yesus telah mati bagi saya bukanlah suatu batu sandungan. Bahkan seorang non-Kristen juga tidak mendapati hal itu sebagai batu sandungan. Sebagai seorang non-Kristen, mempercayai bahwa Yesus telah mati bagi saya justru sangat mengharukan hati saya. Poin ini memiliki kesan emosional yang sangat mendalam sekalipun Anda mungkin tidak mempercayainya, mempercayai bahwa ini adalah peristiwa sejarah yang nyata. Namun, batu sandungan salib itu munculnya dari penolakan ketika Yesus berkata, “Pikullah salibmu dan ikutlah aku.”

Mengapa menjadi batu sandungan? Karena hal ini tidak akan sanggup dihadapi oleh manusia duniawi! Manusia duniawi tidak mau mati. Manusia duniawi tidak menghendaki salib. Salib tidak punya daya tarik bagi manusia duniawi jika dia diharuskan untuk memikulnya. Jika orang lain yang harus memikulnya, tidak akan jadi masalah. Yesus yang memikulnya. Baik sekali, “Terima kasih, Yesus. Terima kasih. Dan aku juga akan memperingati kejadian itu. Aku akan memperingatinya dan akan meneteskan air mata, saat mengenang betapa engkau telah mati bagiku, hal itu sangat menyentuh hatiku.” Akan tetapi Yesus datang bukan untuk membuat kita terharu. Dia berkata, “Aku akan mati dan kamu, jika kamu ingin diselamatkan, maka kamu harus memikul salibmu dan mengikut aku, langsung menuju salib.”

Di titik itulah kebanyakan murid akan berkata, “Cukup sudah. Engkau ingin agar aku percaya kepadamu? Baik, terima kasih. Namun engkau juga ingin agar aku mengikut engkau dengan memikul salib? Ayolah, kukira hanya engkau yang harus mati. Engkau tidak bisa memintaku untuk ikut mati. Engkau mati bagiku, jadi aku tidak perlu mati. Tapi sekarang engkau justru berkata bahwa engkau mati bagiku dan aku juga harus ikut  mati? Tidak, Tuhan, tidak. Lantas untuk apa engkau mati bagiku? Engkau telah mati bagiku supaya aku tidak usah mati. Bukankah itu yang diucapkan oleh para penginjil? Dia telah mati supaya aku tidak usah mati. Sekarang malah dikatakan bahwa Yesus mati dan aku juga harus ikut mati. Lalu untuk apa Yesus mati bagiku? Kukira tujuan kematiannya adalah supaya aku tidak usah mati. Namun sekarang engkau berkata bahwa aku harus memikul salib? Oh tidak, tidak.” Batu sandungan salib mulai terpasang.


Yesus mati supaya kita bisa mati bersama
nya

Poin yang satu ini mungkin akan menyita cukup banyak waktu Anda untuk bisa mencerna makananya; karena salib Kristus itu berarti kematian bagi Anda dan saya. Dan jangan hanya mencari penjelasannya dari saya. Mari kita beralih ke Galatia pasal 6, dan kita akan segera mengakhirinya dengan pembahasan mengenai pokok ini. Galatia pasal 6, ayat-ayat ini memang belum kita bahas.

Di Galatia 6:14, rasul Paulus mengatakan hal ini,

“Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan (Lord) kita Yesus Kristus,”

Dia berkata, “Aku tidak mau bermegah, menyombongkan diri dalam hal-hal yang lain kecuali satu. Apakah yang satu itu? Yaitu salib Tuhan kita Yesus Kristus.” Namun perhatikan apa yang dilakukan oleh salib Yesus terhadapnya. Salib itu menyalibkan Paulus.

“Sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.”

Paulus berkata, “Dunia telah disalibkan bagiku dan aku juga telah disalibkan bagi dunia.”

Apakah hal yang dikerjakan oleh salib Kristus? Dia telah mati supaya saya tidak usah mati? Maaf, bukan itu. Yesus telah mati bagi saya supaya saya bisa mati bersamanya. Saya mengambil salib saya dan berjalan bersama Yesus dan saya disalibkan bersama dia. Itulah hal yang terjadi pada saya. Inilah adalah bagian yang memberi sandungan. Tak heran, tidak heran, saudara-saudari, ada begitu banyak penginjil yang hanya mau menyampaikan satu bagiannya saja, tetapi bagian yang ini tidak. Anda harus memberitakan semua bagiannya. Itulah kebenaran.


Untuk menjadi ciptaan baru, dilahirkan kembali, manusia lama Anda harus mati bersama Kristus

Mari kita melanjutkan ke ayat 15:

Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya.

Sebab, karena, Anda mungkin bertanya, “Karena apa? Apakah hubungan antara ayat 15 dengan ayat 14?” Hubungannya terletak pada ungkapan ciptaan baru. Sangatlah penting untuk memahami hal ini. Bagaimana saya bisa menjadi ciptaan baru selama saya masih menjadi ciptaan lama? Bagaimana saya bisa menjadi ciptaan baru jika saya belum disalibkan bersama Kristus? Bagaimana saya bisa dilahirkan kembali? Itulah makna ciptaan baru. Dilahirkan kembali berarti Anda menjadi ciptaan baru.

Bagaimana saya bisa dilahirkan kembali kecuali jika saya disalibkan bersama dengan Kristus? Dan bagaimana saya bisa disalibkan bersama Kristus jika salib itu menjadi batu sandungan bagi saya? Bagaimana saya bisa disalibkan bersama Kristus jika saya tidak mau ikut dengan dia ke kayu salib? Dia berdiri di sana dan saya berdiri di sini. Dan saya melambaikan tangan kepadanya, “Hai, Yesus, terima kasih Engkau sudah bersedia mati untukku.” Paulus berkata, “Jangan berdiri saja di sini karena kamu tidak akan bisa menjadi ciptaan baru di sini. Pergilah ke sana, dan sambil pergi ke sana, pikullah salibmu, melangkahlah ke sana dan ikutlah disalib bersama Yesus. Dengan cara itulah kamu akan diselamatkan.” Akan tetapi, jika salib menjadi batu sandungan bagi Anda, seperti halnya dengan jemaat di Galatia, maka dia memperingatkan, “Imanmu akan sia-sia.”


Melalui salib menjadi orang yang ikut memiliki watak ilahi

Sekarang kita sudah menyelesaikan putaran pembahasannya, dan saya harap Anda bisa mengikuti putaran tersebut. Saya akan segarkan ingatan Anda.

Di atas dasar apakah Yesus membangun gerejanya? Di atas batu karang, di atas dasar watak ilahi.

Namun dalam rangka membangun gereja tersebut, bukan hanya batu karang saja – yaitu Allah, melainkan juga memakai landasan kedua yang terdiri dari orang-orang yang menjadi bahan bangunan gereja itu, yang juga harus menjadi sama dengan batu karang – yang memiliki watak ilahi, ikut menjadi pemilik watak ilahi.

Namun bagaimana Anda bisa ikut memiliki watak ilahi? Melalui salib. Itulah caranya. Itulah cara yang kita temukan di dalam Galatia. Karena hanya melalui saliblah kita disalibkan bagi dunia, kita mati terhadap cara hidup yang lama, kita sudah berhenti menjalani cara hidup yang lama. Dan karena kita telah berhenti dengan cara hidup kita yang lama, maka Allah bisa menjadikan kita ciptaan yang baru. Sunat tidak ada artinya, tidak disunat juga tidak ada artinya, menjadi ciptaan baru itulah yang berarti.


Iman yang menyelamatkan adalah Iman yang menjadikan manusia baru

Anda tidak akan diselamatkan hanya dengan modal kepercayaan saja. Anda diselamatkan melalui iman yang menjadikan Anda ciptaan baru melalui kuasa Allah. Ingatlah akan hal itu. Dan Anda tidak akan menjadi manusia baru jika manusia lama Anda belum disalibkan bersama dengan Kristus. Kecuali jika Anda telah mati bersama Kristus, Anda bersedia untuk mati bersamanya dan Anda mati bersamanya. Anda telah berhenti menjalankan kehidupan lama Anda. Anda memikul salib Anda.

Yesus berkata di dalam perikop ini, “Kalau kamu tidak mau kehilangan hidupmu, kamu tidak akan mendapatkan hidupmu.” Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan hidup Anda adalah dengan kehilangan hidup Anda. Satu-satunya cara untuk menjadi ciptaan baru adalah dengan disalbkan bersama dengan Kristus. Itulah jalur lingkaran penuhnya. Namun dengan disalibkan bersama Kristus, maka Anda menjadi ciptaan baru, Anda menjadi batu hidup, Anda menjadi batu karang. Dan jika Anda menjadi batu karang, maka Anda akan menjadi bagian dari gereja yang dibangun di atas dasar Allah, Sang Batu Karang.

Demikianlah, saudara-saudari, saya harap Anda memahami isi khotbah ini. Hari ini, kita hidup di dunia yang penuh kedangkalan, di mana para penginjilnya, sama seperti para penginjil di Galatia saat itu, meramaikan masalah peribadatan dan tidak memberitakan salib Kristus. Mereka tidak memberitakan tentang batu sandungan dari salib. Ini berarti mereka tidak menyampaikan bahwa Anda harus mati untuk bisa menjadi ciptaan baru, bahwa Anda harus memikul salib dan disalibkan bersama Kristus. Itulah jalur komitmen total. Komitmen yang sepenuhnya. Tak seorangpun yang siap untuk menyerahkan nyawanya jika dia tidak berkomitmen total, berkomitmen untuk disalibkan bersama Kristus.

Saat Paulus berkata, “Aku telah disalibkan bersama Kristus,” maksud perkataannya memang disalibkan sebagaimana adanya. Dia sudah tidak berarti lagi bagi dunia. Dia sudah benar-benar berpisah dengan dunia. Mati! Selanjutnya dia menjalani hidup sepenuhnya hanya untuk Allah. jika Anda disalibkan bagi dunia, maka dunia telah mati bagi Anda. Lalu apa yang Anda kerjakan? Anda menjalani hidup Anda bagi Allah! Di dalam setiap bidang pekerjaan Anda, Anda adalah milik Allah, Anda hidup buat Dia.

Jangan mengira bahwa setiap penginjil yang berkata bahwa Yesus telah mati bagi Anda itu adalah seorang manusia Allah, karena bagian yang ini bukanlah batu sandungan dari salib. Ingatlah hal ini baik-baik. Mempercayai seseorang yang telah disalibkan bukanlah suatu batu sandungan. Kematian yang mengerikan semacam itu ternyata tidak menjadi batu sandungan bagi siapa pun. Malahan, kematian yang mengerikan itu sangat mulia. Tidak ada sandungan di sana. Ingatlah selalu, batu sandungan dari salib adalah ketika Anda harus memikul salib. Itulah jalan menuju keselamatan.

 

Berikan Komentar Anda: