Pastor Eric Chang | Manusia Baru (17) |
Mari kita memulai dengan satu pertanyaan yang sangat mendasar: Untuk apa Yesus datang ke dunia ini? Jika Anda seorang Kristen, khususnya orang yang sudah lama menjadi Kristen, Anda mungkin mengira bahwa jawaban bagi pertanyaan ini sangatlah mudah. Dalam kenyataannya, jawabannya tidak begitu jelas bagi kebanyakan orang Kristen.
Untuk apa Yesus datang ke dunia? Kebanyakan orang Kristen sudah memiliki jawaban yang tersedia di ujung lidah mereka: “Yesus datang untuk mati bagi kita!” Itu memang benar. Yesus datang untuk mati bagi dosa kita, tetapi itu belum mencakup seluruh kebenarannya. Jika maksud kedatangannya hanya untuk mati bagi kita, mengapa kita diberikan empat kitab Injil? Mengapa kehidupan Kristus disampaikan kepada kita dalam empat macam suara? Jika tujuannya hanyalah untuk mati bagi kita, kita tidak perlu tahu perkara lain di luar kematiannya. Bahkan dalam hal ini juga, kita hanya perlu tahu bahwa ia sudah mati, bukannya bagaimana ia mati.
Yang perlu kita ketahui hanyalah bagian terakhir dari Matius atau satu kitab Injil yang lainnya, ditambah beberapa ayat dari surat Roma atau Efesus; sisa dari Perjanjian Baru dan sebagian besar dari Perjanjian Lama dapat kita buang.
Kita juga tidak perlu tahu tentang belas kasihannya kepada orang miskin, orang yang sakit dan yang sekarat. Atau bagaimana ia menangani orang-orang Farisi serta orang–orang munafik, di mana jumlahnya pada zaman sekarang ini sudah sedemikian banyak. Atau bagaimana ia mengusir para pedagang dari Bait Allah. Kita tidak perlu tahu semua itu kecuali untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektual kita.
Jawaban bagi pertanyaan, “Mengapa Yesus datang?” ternyata tidak begitu jelas. Memang benar bahwa ia mati bagi kita, tetapi itu belum mencakup seluruh kebenarannya.
YESUS DATANG BUKAN SEKADAR UNTUK MATI, TETAPI UNTUK MEMBERI HIDUP
Lebih dari itu, Alkitab memberitahu kita bahwa Yesus telah datang untuk memberi kita hidup. Hidup ini adalah hidup Allah sendiri, hidup yang keluar dari hati Allah ke dalam hati manusia, suatu kehidupan yang jauh melampaui kehidupan jasmani atau duniawi.
Allah telah memberikan kepada kita hadiah Natal yang terbaik yang dapat diberikan. Karunia hidup yang kekal ini jauh lebih baik daripada karunia hidup jasmani, yang pada dasarnya sudah cukup berharga. Orang–orang mempertahankan mati-matian kehidupan jasmaninya sekalipun ia merembes keluar melalui sela–sela jemarinya seperti pasir. Sejalan dengan pertambahan usia dan tubuh yang menua ini semakin lemah, letikan api kehidupan yang terakhir menghapus setiap upaya untuk memperpanjang nyawa.
Hidup jasmani jelas sangat berharga, tetapi Allah memiliki sesuatu yang lebih baik yang sudah disiapkan bagi kita: hidup kekal, yang tidak akan berlalu. Ia lebih baik bukan saja dari segi durasi, tetapi juga dari segi kualitas. Hidup baru dengan kualitas kekalnya ini merupakan sesuatu yang, sayangnya, tidak pernah benar–benar dialami oleh kebanyakan orang Kristen.
Betapa berharganya anugerah hidup ini, tetapi betapa sedikitnya orang yang mendapatkannya! Alasan yang utama adalah banyaknya pengajar, barangkali dengan niat untuk menarik lebih banyak orang ke dalam gerejanya, telah menjajakan hidup kekal ini dengan harga yang sudah dipangkas, mengajarkan kita bahwa tidak ada syarat apa pun selain “percaya”.
Pertanyaan yang sama pentingnya adalah, “Apa yang Anda kerjakan dengan hidup yang telah diberikan Allah kepada Anda?” Sedikit orang yang tahu apa yang harus mereka lakukan dengan kehidupan jasmani mereka, apalagi kehidupan rohani.
Allah telah memberi Anda hidup jasmani, dan Anda mungkin dapat hidup sampai usia enam puluh, tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Apa yang akan Anda lakukan dengan hidup Anda? Sejalan dengan usia, Anda mungkin tidak lagi mengejar prestasi baru. Ketika Anda masih muda, Anda bisa mengejar gelar kesarjanaan atau mengejar karir. Sesudah lulus, hidup menjadi rutinitas yang melelahkan dari sekian jam kerja di kantor, dan pulang ke rumah dalam keadaan letih pada malam harinya. Lalu Anda mulai bertanya–tanya, “Apa yang saya lakukan dengan hidup saya? Hanya sibuk dengan urusan perut. Akan tetapi, pilihan apa yang dapat saya ambil? Saya perlu memiliki penghasilan.”
Tidak ada yang salah dengan menempuh pendidikan atau memiliki pekerjaan. Namun, jika hidup tidak lebih dari sekadar belajar, bekerja, pensiun dan mati, cukup wajar jika kita bertanya apa artinya hidup ini. Apa artinya hidup ini jika tujuan kita hanyalah untuk mendapatkan uang yang lebih banyak untuk membeli mobil yang lebih mewah atau yang lebih cepat? Batas kecepatan di Kanada adalah 100 km/jam dan kecepatan 100 km/jam diizinkan di beberapa wilayah Amerika Serikat. Apa pentingnya memiliki mobil yang bisa mencapai kecepatan 100 km/jam dalam lima detik? Apakah memang ada kepuasannya?
Pertanyaan tentang arti hidup akan membawa kita pada pertanyaan tentang hidup yang kekal. Kabar baiknya adalah bahwa Allah berkenan menganugerahkan kepada kita karunia luar biasa tersebut, yaitu hidup yang kekal. Namun, sekalipun kita menerima karunia yang terbaik itu—hidup yang kekal—masih ada pertanyaan yang harus dijawab. “Apa yang akan kita kerjakan dengan itu?” Allah memiliki tujuan khusus bagi kita dalam hidup yang baru ini, tetapi sangat sedikit Kristen yang mengetahuinya.
YESUS DATANG UNTUK MELAKSANAKAN KEHENDAK ALLAH DI DUNIA
Yesus datang untuk mati bagi kita dan untuk memberi kita hidup yang baru. Kita diberikan empat Injil yang berbeda supaya kita dapat belajar dari perspektif yang multi-dimensional, tentang apa yang ia ingin kita kerjakan dengan hidup yang baru itu. Di dalam hidup yang baru ini, Allah telah mempersiapkan rencana yang lengkap bagi kita. Ia memanggil kita untuk mengikut Yesus supaya ia dapat menunjukkan kepada kita, langkah demi langkah, bagaimana untuk mencapai tujuan hidup itu.
Di dalam hidup yang baru, apakah saya hanya duduk saja sambil menunggu datangnya kerajaan surga? Jika saya sudah sampai di surga, apa yang harus saya lakukan di sana? Mengambil kursus tentang bagaimana bermain kecapi? Memainkan alat musik kecapi sampai selama-lamanya bukanlah hal yang menyenangkan bagi sebagian orang. Satu–satunya kegiatan di surga, sebagaimana yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, adalah bermain musik sakral! Para penggemar baseball mungkin akan disiksa kebosanan sampai selama-lamanya. Jika tidak ada televisi atau pemutar CD di surga, bagaimana Anda dapat mengisi waktu Anda dalam kekekalan?
Syukurlah, Allah sudah memberi kita sesuatu untuk dikerjakan di dalam hidup yang baru ini: Pada masa sekarang, Ia menugaskan kita dengan pekerjaan yang luar biasa, yaitu melakukan kehendak-Nya di dunia; dan kita boleh yakin bahwa Ia tidak akan membiarkan kita menganggur tanpa tanggung jawab yang berarti pada masa kekekalan nanti.
Akan tetapi, bagaimana kita dapat mengetahui apa kehendak-Nya? Apakah Ia memanggil kita ke kantor-Nya dan menjelaskan segalanya satu persatu? Tidak juga, karena Ia memiliki cara yang spesial dalam mengungkapkan kehendak-Nya. Kehidupan Yesus di bumi dicatat bagi kita di dalam keempat kitab Injil, dan Ia berkata kepada kita, “Lihatlah kehidupan dan perbuatan Anak-Ku. Kemudian ikutlah contoh yang telah dia berikan seraya Roh Kudus memimpin dan menguatkan kamu.”
Prinsip ini, sayangnya, terasa asing bagi kebanyakan orang Kristen karena pemuridan, seperti yang diajarkan Yesus, sudah lenyap dari sebagian besar gereja. Akan tetapi, setiap gereja yang tidak paham tentang pemuridan, atau tentang apa yang harus dilakukan dengan hidup yang baru, pada akhirnya akan mati. Hal ini benar dan berlaku juga di tingkat individu: Orang Kristen yang tidak memiliki arah tujuan akan menjadi frustrasi dan tidak akan dapat bertahan.
Ibrani 10:5-7 menjelaskan untuk apa Yesus datang ke dunia. Perhatikan baik–baik kata–kata yang tercetak tebal:
5 Karena itu, ketika Kristus datang ke dalam dunia, ia berkata, “Kurban dan persembahan tidak Kau inginkan, tetapi sebuah tubuh telah Kau siapkan bagiku; 6 Engkau tidak berkenan kepada kurban bakaran dan kurban penghapus dosa. 7 Lalu aku berkata, ‘Inilah aku: Ada tertulis tentang aku dalam gulungan kitab, aku datang untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah.’”
Dalam ayat–ayat yang luar biasa ini, kita melihat bahwa ketika Yesus datang ke dunia, dengan menggunakan kata–kata yang tertulis di Mazmur 40:6-8, ia berkata kepada Bapa, “Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah.”
Biarlah kuasa dari pernyataan itu tertanam di dalam hati kita. Saya merenungkan pernyataan itu sampai meneteskan air mata, karena saya mulai melihat suatu dimensi dari kehidupan Yesus yang tidak saya pahami dengan begitu jelas sebelumnya. Saya tertegun melihat komitmennya yang total dan mutlak terhadap kehendak Bapanya. Kehidupannya dipusatkan sepenuhnya pada satu titik fokal: melakukan kehendak Allah.
YESUS MEMILIH UNTUK MENJADI SEORANG HAMBA
Konsep menjadi hamba Allah merupakan unsur utama dalam pengajaran Yesus. Kegagalan dalam menangkap poin ini akan berakibat pada kegagalan dalam memahami pengajarannya dengan benar, dan ini termasuk memahami perkara menerima karunia hidup kekal.
Unsur apa yang paling mendefinisikan kehidupan seorang hamba? Bukankah seorang hamba harus selalu melakukan kehendak tuannya, entah ia menyukainya atau tidak? Dengan demikian, ciri dari seorang hamba Allah ialah bahwa ia selalu melakukan kehendak Allah. Sekarang jelas mengapa menjadi seorang hamba Allah sedemikian penting dalam pengajaran Paulus. Sebagaimana yang dapat dilihat dalam berbagai tulisannya, ia sangat menekankan fakta bahwa melakukan kehendak Allah adalah unsur yang fundamental dalam kehidupan seorang manusia baru di dalam Kristus.
Sebagaimana yang dapat kita duga, dengan pola pikirnya yang berpusat pada Kristus, pengajaran Paulus dalam hal ini berakar pada Kristus sendiri. Beginilah cara dia menyatakannya dalam tulisannya yang sangat terkenal, yang oleh banyak orang dipandang sebagai satu himne,
5 Karena apa yang ada di dalam Kristus Yesus, biarlah itu dipikirkan olehmu juga. 6 Dia, yang meskipun ada dalam rupa Allah, tidak menganggap bahwa menjadi setara dengan Allah adalah sesuatu yang harus dirampas. 7 Sebaliknya, dia sudah mengosongkan dirinya sendiri dengan mengambil rupa seorang hamba agar berada dalam keserupaan manusia. 8 Dan supaya didapati dalam pola seperti manusia, dia sudah merendahkan dirinya sendiri dengan menjadi taat sampai pada kematian, bahkan kematian di kayu salib. 9 Oleh karena itu pula, Allah telah meninggikan dia dan menganugerahkan kepadanya Nama itu, yang di atas segala nama; (Flp 2:5-9)
Selama kehidupan dan pelayanannya di bumi, Tuan kita memilih status sebagai hamba. Adakah murid yang berani melebihi Gurunya? Jika kita menolak untuk hidup sebagai hambanya, jelaslah kita bukan murid yang mengikuti jejaknya. Oleh karena seluruh kehidupan Yesus di bumi dikuasai oleh satu tujuan untuk melakukan kehendak Bapa, apakah mungkin hidup kita memiliki tujuan yang lain?
Oleh karena Yesus sendiri memilih untuk menjadi hamba, tidak heran jika Paulus memandang “hamba Yesus Kristus” sebagai gelar terhormat yang ia pakai bagi dirinya (Rm 1:1; Gal 1:10; Flp 1:1; Tit 1:1). Hasrat utamanya adalah untuk menjadi serupa dengan Pemiliknya dalam segala hal. Harus diperhatikan juga bahwa Paulus bukanlah satu-satunya yang menggambarkan dirinya sebagai hamba Yesus. Hamba–hamba Tuhan yang lain juga melakukan hal yang sama: Yakobus (1.1); Petrus (2Ptr 1:1); Yudas (1:1); dan Yohanes (Why 1:1). Bersukacita dalam hak istimewa menjadi hamba Allah, berkobar-kobar mengerjakan kehendak-Nya, mereka dipakai secara luar biasa oleh Allah, dan melakukan banyak hal bagi kemuliaan nama-Nya dalam hidup mereka.
SEDIKIT ORANG YANG AKAN MENCAPAI SESUATU. MENGAPA?
Hal yang menyedihkan adalah, hanya sedikit orang yang akan mencapai apa-apa di dunia ini, apalagi mengerjakan kehendak Allah. Bagaimana dengan kita, apakah kita akan mencapai sesuatu yang berarti di dalam hidup ini? Atau kita sedang mengikuti barisan panjang bersama rombongan terbesar manusia, milyaran dan milyaran jiwa, yang menjalani hidupnya tanpa mengetahui untuk apa mereka hidup, selain dari mencoba menyenangkan diri sendiri—walau dalam hal ini pun, mereka jarang yang berhasil? Tahukah kita dari mana kita berasal dan ke mana kita akan pergi? Yesus berkata, “Sebab aku tahu, dari mana aku datang dan ke mana aku pergi” (Yoh 8:14).
Hidup tanpa tujuan merupakan hidup yang paling menyedihkan. Banyak orang yang sudah dibaptis, dan beribadah di berbagai gereja, tetapi masih tidak tahu untuk apa mereka hidup. Itu sebabnya mengapa mereka tidak akan menghasilkan sesuatu yang bernilai rohani di dunia ini. Biarlah hal ini menjadi pokok doa kita bersama, yaitu kita tidak akan melewati hidup di dunia ini tanpa mencapai tujuan yang telah ditetapkan Allah bagi kita.
Fakta bahwa Allah memiliki tugas bagi setiap dari kita di dunia ini, merupakan suatu kepastian yang absolut. Marilah kita pikirkan hal ini: jika kita gagal menunaikan tugas kita, kita tidak akan mau menatap wajah-Nya pada Hari itu. Bayangkanlah betapa ngerinya suasana tatkala Allah bertanya, “Apa yang sudah engkau lakukan dengan hidup yang telah Kuberikan kepadamu? Sudahkah engkau menunaikan tugas yang Kuberikan kepadamu?” Tugas? Tugas apa? “Banyak sekali. Kamu punya Alkitab dengan ribuan halaman, sudahkah engkau mendengarkan isi hati dan pikiran Tuhan dari situ?” Beberapa orang Kristen mengaku bahwa mereka sudah membaca Alkitab mereka berulang-ulang kali, tetapi apakah kehidupan mereka sesuai dengan kehendak Allah yang disingkapkan di dalamnya?
Hal ini harus ditegaskan kepada setiap orang Kristen: Jika Anda menghamburkan hidup yang telah dianugerahkan Allah kepada Anda, Anda tidak dapat berdalih karena Anda pegang di dalam tangan Anda kitab yang menjelaskan apa yang Allah kehendaki supaya Anda kerjakan di dalam hidup Anda; dan Ia memberi kita Roh Kudus untuk memimpin dan menguatkan kita untuk menjalankannya.
Namun, malangnya, sangat banyak orang Kristen yang tidak akan menghasilkan apa-apa, dan akan berdiri dengan tangan kosong pada saat mereka menghadap Tuhan. Hal ini, sayang sekali, adalah suatu kepastian, dan seseorang tidak perlu menjadi nabi untuk dapat melihatnya. Kebanyakan orang Kristen tidak akan menghasilkan apa–apa atau hanya sedikit sekali dalam hidup ini, karena kebutaan yang tak terampuni terhadap kenyataan rohani. Mengapa? Karena kehidupan mereka tidak terfokus pada satu titik tajam: kehendak Allah.
FOKUSKAN HIDUP ANDA PADA KEHENDAK ALLAH
Jika Anda mengayunkan batangan besi ke pohon, Anda tidak akan mampu menebang pohon tersebut tidak peduli seberapa kuatnya Anda atau seberapa beratnya batang besi itu. Pohon tersebut akan tergores di sana sini, dan tangan Anda akan menjadi sakit sesudah beberapa ayunan. Akan tetapi, jika besi itu dilebur dan dicetak menjadi mata kapak, seluruh bobot kapak sekarang terpusat pada satu sisi yang tajam. Itu sebabnya kapak dapat menumbangkan pohon dalam waktu yang singkat.
Demikian pula, tidak akan terjadi sesuatu pun jika Anda meletakkan selembar kertas di bawah sinar matahari. Namun, jika Anda memusatkan cahaya ke satu titik dengan kaca pembesar, Anda dapat membakar kertas itu dalam waktu singkat.
Apabila kita mempelajari keempat kitab Injil, kita melihat bahwa kehidupan Yesus terfokus secara tajam pada satu hal: melakukan kehendak Bapa. “Sungguh, Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku.”
Yesus adalah terang dunia dan betapa terangnya pancaran sinarnya. Kita juga adalah terang dunia, tetapi betapa lemahnya cahaya kita. Terang Kristus yang kita pantulkan atau salurkan itu begitu tidak mencukupi. Akan tetapi, jika kita memusatkan cahaya kita, sekalipun lemah, ke satu titik, ia dapat melakukan perkara–perkara yang luar biasa!
Prinsip ini ditanamkan dalam benak saya ketika saya belajar menyelam. Penyelaman malam membawa saya ke dalam petualangan yang tak pernah saya alami sebelumnya: menyelam ke dalam lautan di tengah kegelapan malam. Perahu kami berangkat menuju ke tempat sebuah kapal karam, lima puluh kaki dalamnya. Angin, hujan dan gelombang mengguncang perahu kami. Suasana sangat gelap dan air laut terlihat seperti tinta hitam yang pekat.
Si pemandu berkata, “Apakah Anda pasti Anda ingin masuk?” Ketika melihat tidak seorang pun yang ingin mundur, ia berkata, “Pikirkan sekali lagi, cuaca sangat gelap, berangin dan hujan.” Masih belum ada yang mau mundur. Jadi, ia segera menyuruh kami untuk mengenakan perangkat selam kami. Satu demi satu kami turun ke air, turun sejauh lima puluh kaki ke bawah, untuk menelusuri bangkai kapal tersebut. Setiap orang yang mendapat giliran untuk turun diberi senter khusus. Senter itu tidak sebagus yang saya harapkan, hanya sepanjang enam atau tujuh inci. Saya berpikir sendiri, “Bagaimana mungkin kami dapat menjelajahi dasar laut dengan senter sekecil ini?” Namun, pada masa itu tidak ada waktu untuk mempertanyakan hal itu, setiap orang mengambil senternya dan langsung menyelam.
Sesudah masuk ke dalam laut, saya menjadi kagum mendapati bahwa senter itu dapat memancarkan cahaya yang kuat dan jauh. Saya dapat melihat benda dari kejauhan empat puluh kaki. Jika melihat pada senternya, Anda akan berpikir bahwa benda ini hanya akan menghasilkan sinar yang lemah. Namun, sinar yang lemah itu dapat melakukan perkara yang luar biasa di dalam lautan yang gelap karena difokuskan menjadi satu sinar yang tajam. Jika sinarnya terpencar, tidak terfokus, kita tidak akan dapat melihat apa pun dalam air yang legam seperti tinta.
Apa yang dapat kita lakukan dengan sinar yang lemah? Jika sinar itu difokuskan menjadi satu sinar yang tajam, ia akan melakukan hal–hal yang luar biasa. Jika kehidupan Anda terfokus dengan tajam pada kehendak Allah, kekuatan sinar itu akan mengherankan Anda. Terang Allah memang sudah masuk ke dalam hidup kita, tetapi kitalah yang harus memfokuskannya menjadi satu sinar yang tajam dan terpusat.
KEHIDUPAN YESUS TERFOKUS PADA KEHENDAK ALLAH
Jika Anda mempelajari kehidupan Yesus, Anda akan melihat rahasia dari pelayanannya di bumi. Cahayanya jauh lebih terang daripada kita, dan jika difokuskan menjadi satu sinar yang tajam, kita tak akan dapat mengukur kekuatannya yang begitu besar. Yesus datang ke dunia dengan satu tujuan yang intens dan terfokus: ”Sungguh, aku datang untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allahku.” (Ibr 10:7). Semangatnya yang membara untuk melakukan kehendak Bapa dapat dilihat dalam keempat kitab Injil.
Ke mana pun Yesus mengarahkan sinarnya, banyak orang akan berpaling kepada Allah. Beberapa orang membenci terang, tetapi banyak orang lain yang tertarik padanya. Di dunia ini, beberapa orang akan mencintai Yesus, dan beberapa yang lain akan membenci sampai menyalibkannya. Cahayanya yang intens akan menakutkan setiap orang yang ingin menyembunyikan dosanya. Namun, bagi mereka yang sedang mencari jalan keluar dari kegelapan, mereka menyambut terang yang menunjukkan arah kepada Allah dan keselamatan.
Pernah sekali, ketika Yesus berusia dua belas tahun, orang tuanya mencari–carinya di seluruh Yerusalem, tetapi tak dapat menemukannya sampai tiga hari (Luk 2:46). Mereka lalu memutuskan untuk mencarinya di bait Allah, yang seharusnya dijadikan sebagai titik awal pencarian. Menemukan ia di sana, mereka berkata, “Kami sangat cemas mencarimu ke mana-mana.” Namun, Yesus berkata kepada mereka, “Tidakkah kamu tahu bahwa aku harus berada di rumah Bapaku? Bahwa aku harus mengurus pekerjaan-Nya? Bahwa aku harus melakukan kehendak-Nya?” Sejak masa muda, Yesus memusatkan hidupnya pada kehendak Bapa.
Belakangan, ketika ia memulai pelayanannya, salah satu hal yang pertama-tama dilakukannya adalah membersihkan Bait Allah dari komersialisasi agama (Yoh 2:14-17). Terbakar oleh api semangat yang menyala-nyala, ia menjalin cambuk yang dipakainya untuk mengusir keluar hewan–hewan, sambil membolak-balikkan meja–meja para penukar uang.
Tidak ada yang lebih menjijikkan dalam kehidupan rohani daripada agama yang dikomersialkan. Komersialisasi agama adalah tindakan yang bodoh dan keji. Banyak gereja yang terjebak dalam kegiatan mengumpul dana dan membangun gedung. Orang–orang non-Kristen sering kali benar jika mereka menuduh gereja sebagai lembaga pengumpul dana.
Sesudah Yesus membersihkan Bait Allah, ada satu ayat yang menikam hati orang–orang yang memperhatikannya:
“Sebab, kegairahanku akan bait-Mu telah melahapku,” (Mzm 69:9)
Hatinya terbakar oleh api cinta pada kehendak dan pekerjaan Allah.
Pada masa sekarang yang dipenuhi oleh Kekristenan setengah hati, di mana kita dapat menemukan orang–orang Kristen dengan api cinta yang menyala-nyala seperti Yesus? Dalam generasi ini, saudara–saudaraku, kita tidak akan menghasilkan apa–apa dengan hidup yang telah Allah berikan kecuali kita memfokuskan hidup kita menjadi api cinta rohani kepada Allah. Semoga Tuhan membebaskan kita dari Kekristenan yang penuh basa-basi, yang dikomersialkan, dan yang gampangan.
Jika kehidupan Kristen Anda tidak terfokus, Anda akan menjadi lemah dan tidak terarah. Jika demikian, mungkin lebih baik jika Anda lupakan saja Kekristenan. Kehidupan Kristen yang plin-plan hanya akan mempermalukan Tuhan; tak dapat menyatakan kemuliaan Allah atau mengerjakan kehendak-Nya. Jika kita tidak mengerjakan kehendak Allah, kita sedang hidup dalam ketidaktaatan dan akibatnya, hanya penghakiman yang menanti kita.
Keempat kitab Injil memberi kita pandangan komprehensif berdimensi empat dari kehidupan Kristus. Di dalamnya kita dapat melihat bahwa ia dengan penuh tekad mengarahkan hidupnya pada penggenapan tujuan Allah. Komitmennya yang mutlak terhadap Bapanya, dan api cintanya yang menyala-nyala untuk menyelesaikan tujuannya, jelas menggelorakan dan menginspirasikan murid–muridnya seraya mereka mengamati dia. Dapatkah hidup kita memberi inspirasi bagi orang lain juga?
Keasyikan yang sama dengan kehendak Allah dicerminkan juga di dalam pengajarannya. Ia berkata bahwa tidak semua orang yang mempercayai dan mengakuinya akan memasuki kerajaan surga, tetapi hanya mereka yang melakukan kehendak Bapa (Mat 7:21).
Ia juga berkata,
“Makananku adalah melakukan kehendak Dia yang mengutus aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” (Yoh 4:34).
Apa yang mengenyangkanku, kata Yesus, dan yang menguatkanku sama seperti makanan, adalah melakukan kehendak Bapaku. Sementara banyak orang Kristen menolak kehendak Allah, melakukan kehendak Bapa justru menjadi makanan bagi Yesus. Kehendak Bapanya menjadi sumber gizi dan sukacitanya.
Itu sebabnya ia berkata,
“Aku tidak menuruti kehendakku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku” (Yoh 5:30).
Di pasal yang berikutnya, ia menjelaskan tujuan dari kedatangannya:
“Sebab aku telah turun dari surga bukan untuk melakukan kehendakku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus aku” (Yoh 6:38).
Fokus yang intens dalam melakukan kehendak Bapa secara nyata terwujud dalam kehidupan dan pengajarannya. Apa yang menjadi motivasi di balik semua ini? Seperti yang dijelaskan oleh Yesus, “Aku senantiasa berbuat apa yang menyenangkan Bapaku” (Yoh 8:29).
Hasrat-Nya yang intens untuk menyenangkan Bapa sangatlah sulit untuk kita pahami, bukankah demikian? Seluruh keberadaannya diwarnai oleh kasih yang berapi-api pada Bapa. Betapa lemahnya kasih kita, betapa kecilnya kerinduan kita untuk menyenangkan hati-Nya, betapa lemahnya kepedulian kita akan kemuliaan-Nya. Kita berada dalam bahaya melewati hidup ini tanpa meninggalkan setitik pun tanda di atas pasir demi kemuliaan-Nya. Pilihannya terletak pada kita. Jika kita hidup demi diri kita sendiri, kita akan ditiup seperti debu. Jika kita hidup bagi Allah, kita akan hidup selamanya, karena “orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya” (1Yoh 2:17).
Seraya ia mendekati hari-hari terakhirnya di bumi ini, dan salib mulai terbayang di hadapan dia, Yesus berbicara kepada Bapanya,
“Sekarang jiwaku terharu dan apakah yang akan kukatakan? Bapa, selamatkanlah aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah aku datang ke dalam saat ini” (Yoh 12:27).
Kemudian di tengah-tengah kemurungan dari kematiannya yang mendatang, ia menyatakan,
“Jangan kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi” (Luk 22:42).
Bahkan pada saat kegelapan yang terakhir, hati dan pikirannya tetap terfokus pada kehendak Bapa.
GETSEMANI
Kita cenderung memegang pandangan yang salah bahwa karena Yesus tidak berdosa dan mengabdikan diri untuk melakukan kehendak Bapa, maka melakukan kehendak Allah merupakan hal yang mudah baginya. Betapa kelirunya pandangan ini dapat kita lihat dari catatan kejadian di taman Getsemani dan pergumulan dahsyat yang dilaluinya di sana, yang membuatnya meneteskan “keringat seperti darah” sebagaimana yang tercatat di dalam salah satu Injil. Keseluruhan ayat itu berbunyi, “Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluhnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Luk 22:44).
Apa artinya itu? Kata–kata tersebut menunjukkan bahwa penderitaan batiniah yang ditanggungnya sedemikian besar sehingga keringat yang mengalir keluar itu seolah–olah darah yang tercurah. Ia mengeluarkan keringat seperti mengeluarkan darah. Ketika paku menancap di kaki dan tangannya, ia mengeluarkan darah. Namun, sebelum paku itu menancapnya di Golgota, hatinya sudah terluka di Getsemani. Darah mengalir dari luka jasmani, tetapi keringat mengalir keluar sebagai pengganti darah dari rohnya yang tertikam.
Bersedia dan bahkan mengabdikan diri untuk melakukan kehendak Allah sama sekali tidak berarti melakukan kehendak-Nya menjadi gampang.
Apa sebetulnya yang berlangsung di taman Getsemani, apa yang menyebabkan ketakutan Yesus yang mengerikan itu—disalibkan demi dosa-dosa kita—tidak diceritakan kepada kita. Bagaimana kalau kengerian dari “dibuat menjadi dosa” bagi dia “yang tidak mengenal dosa” (2Kor 5:21) melampaui batas kemampuannya? Apa yang akan terjadi dengan keselamatan kita? Keselamatan kita secara definitif dan riil tergantung pada keputusan akhirnya “Bukanlah kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk 22:42). Tanpa penundukan terakhir yang menentukan itu pada kehendak Bapa, maka tidak akan ada salib dan, dengan demikian, tidak ada keselamatan bagi kita. Tanpa Getsemani, maka tidak akan terjadi Golgota—dan tidak ada penebusan bagi kita. Pertanyaan tentang keselamatan manusia dijamin dalam kata–kata yang menentukan itu di mana Yesus merangkul kematiannya dalam merangkul kehendak Bapa.
Getsemani—yang selamanya secara unik melambangkan apa artinya melakukan kehendak Allah—dengan demikian menjadi sangat penting bagi keselamatan kita, dan barangkali bahkan lebih penting dari Golgota. Salib merupakan kelanjutan dari penerimaan yang menentukan akan kehendak Allah. Proses melakukan kehendak Allah ini mencapai klimaksnya di taman Getsemani, dan diungkapkan sepenuhnya di kayu salib. Di Getsemani, penderitaan dan kesedihannya membawanya ke titik kematian: “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (Mat 26:38; Mrk 14:34).
Kita kehilangan kesejahteraan kekal kita di sebuah taman, Taman Eden, di mana Adam dan Hawa jatuh karena tidak menaati kehendak Allah. Apa yang hilang diperoleh kembali di taman yang lain, taman Getsemani, di mana Penyelamat kita yang mulia mulai mencurahkan darahnya bagi kita dalam bentuk keringat yang diperas dari “kesusahan jiwanya” (Yes 53:11); keringat yang mewakili “darah” dari manusia batiniahnya.
Krisis di Getsemani mengungkapkan kelemahan Yesus sebagai manusia sejati. Kelemahannya terungkap dari kenyataan bahwa “seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepadanya untuk memberi kekuatan kepadanya” (Luk 22:43; bdk. 2Kor 13:4), meskipun hal ini terjadi sesudah ia menyerahkan segalanya kepada kehendak Bapa (ay.42). Intensitas penderitaannya dalam menjalankan kehendak Allah secara unik melayakkannya untuk menjadi seorang Imam Besar yang dapat bersimpati dengan kelemahan kita (Ibr 4:15).
Oleh karena itu, walaupun kita tak dapat sepenuhnya mengerti kedalaman peristiwa Getsemani, krisis yang dihadapinya di sana, di dalam kelemahan dan kemudian di dalam kekuatan, menjadikannya jauh lebih mudah bagi kita untuk meminta pertolongannya apabila kita juga bergumul dengan kehendak Allah dalam situasi yang sulit.
Yesus memulai pelayanannya, sebagaimana yang dikatakan dalam surat Ibrani, dengan doa, “Sungguh, aku datang untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allahku.” Ia menutup pelayanannya dengan doa, “Kehendak-Mulah yang terjadi”. Kehendak Bapa “yang baik, yang berkenan dan yang sempurna” (Rm 12:2) mengarahkannya dari awal hingga akhir.
BAGAIMANA KITA DAPAT MENGETAHUI KEHENDAK ALLAH?
Anda mungkin berkata, “Saya tidak tahu apa kehendak Allah bagi hidup saya. Jika Anda dapat mengatakannya kepada saya, saya akan segera melakukannya.” Mungkinkah kita tidak mengetahui apa kehendak-Nya? Setiap halaman dalam Alkitab mengungkapkan sesuatu tentang kehendak-Nya. Jika kita membaca Alkitab untuk mencari jawaban bagi pertanyaan, “Tuhan, apakah kehendak-Mu bagi saya?” jawabannya berteriak kepada kita dari setiap halaman.
Mari kita meminta Roh Kudus untuk membuka mata dan hati kita agar dapat mengerti apa yang Ia kehendaki. Jika sesudah ini kita masih juga belum mengetahui apa kehendak Allah bagi kita, itu adalah karena kita tidak benar-benar mau tahu.
George Mueller, seorang hamba Allah yang setia, suatu kali pernah ditanya bagaimana ia bisa tahu kehendak Allah dengan pasti. Ia menjawab, “Sejak awal saya menyelidiki hati saya sampai saya yakin bahwa tidak ada lagi kehendak pribadi saya atas sesuatu hal.” Sembilan puluh persen dari persoalannya terletak di sana. Jika hati kita siap untuk melakukan kehendak Allah, apa pun yang akan terjadi, pintu hati kita terbuka untuk mengetahui apa kehendak-Nya. Seperti yang dikatakan oleh Mueller kepada kita, alasan mengapa Anda tidak mengetahui kehendak Allah adalah karena Anda tidak benar–benar ingin melakukannya.
Banyak orang yang ingin tahu apa kehendak Allah, tetapi hanya untuk melihat apakah kehendak-Nya bertepatan dengan kehendak mereka sendiri. Mereka akan memutuskan untuk melakukannya atau tidak, tergantung pada apakah hal itu sesuai atau tidak dengan kehendak mereka. Namun, kehendak Allah tidak tergantung pada penilaian dan persetujuan kita terlebih dulu. Kecuali kita berkomitmen untuk melakukan kehendak-Nya dan dengan tulus berkata, “Sungguh, aku datang untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-ku,” kita tidak akan mengetahui apa kehendak-Nya.
SATU TANTANGAN
Jika Anda seorang non-Kristen atau seorang Kristen yang nominal, saya punya satu tantangan untuk Anda. Saya menantang Anda untuk berdiri dan berkata, “Saya tidak tahu apakah Allah ada atau tidak, tetapi jika Ia benar–benar ada, saya akan melakukan kehendak-Nya secara total dan tanpa syarat.” Jika Anda mengucapkan hal itu dengan setulus hati, saya jamin bahwa Ia akan menyatakan diri-Nya—dan kehendak-Nya—kepada Anda, seterang siang dari malam. Namun, jika Anda ingin mempermainkan Allah yang hidup, Anda akan mengalami masalah besar.
Kehidupan Kristen bukan suatu masalah agama atau filsafat, tetapi berjalan bersama Allah yang hidup. Jika Anda serius ingin mengenal-Nya, saya menantang Anda untuk berkata, “Sungguh, aku datang untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-ku.” Pernyataan komitmen seperti itu sangat besar kuasanya, karena orang yang melakukan kehendak Allah akan mengalami realitas Allah. Jika Anda berani mengatakan ini dengan setulus hati, Allah akan menyatakan kehendak-Nya kepada Anda dengan kejelasan yang mengherankan Anda. Jika Anda bertekad untuk melakukan kehendak Allah, Ia akan menyatakannya kepada Anda.
Hasilnya, Anda juga akan mengetahui apakah Yesus berasal dari Allah atau tidak, karena Anda akan mengetahui apakah pengajarannya berasal dari Allah atau tidak. Seperti yang Yesus katakan, “Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaranku ini berasal dari Allah, entah aku berkata-kata dari diriku sendiri” (Yoh 7:17).
Entah Anda seorang Kristen atau bukan, saya berharap Anda dapat melihat kuasa dari kata–kata ini, “Sungguh, aku datang untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allahku.” Jika Anda mengucapkannya dari lubuk hati kepada Allah, “Aku bersedia, ya Allahku, untuk melakukan kehendak-Mu, apa pun kehendak-Mu itu”, Anda pasti akan masuk ke jalan menuju hidup yang kekal, dan Anda akan mengalami keberadaan Allah di sepanjang jalan.
Sungguhpun saya tidak berarti apa–apa, saya mengetahui dan dapat bersaksi berdasarkan pengalaman yang panjang bahwa Allah menyatakan kehendak-Nya kepada mereka yang bersedia untuk melakukannya dengan sepenuh hati. Banyak orang yang mengaku memiliki iman Kristen, tetapi Allah merupakan hal yang tidak nyata bagi mereka karena mereka masih bergumul apakah mau melakukan kehendak-Nya dengan sepenuhnya atau tidak. Saya tegaskan “sepenuhnya”. Kita harus melakukan kehendak Allah sepenuhnya, atau kita tidak melakukan kehendak-Nya sama sekali. Sebagaimana yang telah kita lihat pada bagian–bagian yang lalu, ketaatan sebagian adalah ketidaktaatan sebagian. Dan ketidaktaatan sebagian tetap adalah ketidaktaatan. Kita tak dapat berkata kepada Allah bahwa kita bersedia melakukan hanya bagian ini atau bagian itu dari kehendak Allah. Kita harus melakukan semuanya atau tidak usah sama sekali. Allah tidak menerima yang setengah–setengah.
YESUS DATANG SUPAYA KITA DAPAT MENGENAL ALLAH SECARA INTIM
Beberapa orang mungkin berpikir, “Yesus dapat melakukan kehendak Bapanya karena ia menikmati persekutuan yang intim dengan Bapa. Jika saya memiliki tingkat keintiman seperti itu dengan Bapa, saya juga akan melakukan kehendak-Nya.” Namun, kenyataannya adalah kita juga dapat mengenal Allah dengan sangat baik, sebagaimana yang akan saya jelaskan nanti.
Namun, orang lain lagi mungkin akan berkata, “Situasi Anda berbeda dari saya. Anda mengenal Allah karena Anda sudah mengikuti-Nya selama empatpuluhan tahun. Gampang bagi Anda untuk berdiri di sana dan berbicara tentang memusatkan perhatian pada kehendak-Nya.” Itu bukan gambaran yang tepat, karena pada awalnya saya juga tidak mengenal Allah. Namun, pengenalan kita akan Allah akan meningkat sejalan dengan waktu, dengan bergantung pada kekuatan yang diberikan-Nya kepada kita, ketika kita berteguh dalam melakukan kehendak-Nya.
Saat saya sedang merenung pada suatu hari, saya sampai pada satu kesimpulan yang mengejutkan: Dalam kenyataannya saya mengetahui lebih banyak tentang Allah ketimbang istri saya dalam hal riwayat hidupnya! Kedengarannya luar biasa, tetapi semakin saya memikirkannya semakin saya menyadari bahwa hal ini benar. Saya lebih banyak mengetahui kepribadian dan cara kerja Allah ketimbang istri saya, Helen, yang merupakan orang yang terdekat kepada saya. Pada dasarnya saya hanya tahu sedikit, sebagai contoh, tentang dua puluh tahun pertama dari kehidupannya. Saya tahu bahwa ia lahir di Shanghai, dan juga di mana ia tinggal selama di Hong Kong, dan di mana ia bersekolah. Saya pernah bertemu orangtuanya dan saudaranya dan beberapa temannya. Namun, jika saya harus menuliskan seluruh perincian kehidupannya yang saya ketahui selama dua puluh tahun pertama kehidupannya, saya tidak yakin apakah saya dapat memenuhi satu halaman kecil saja.
Namun, saya mengetahui banyak tentang Allah, dan dalam perincian yang sangat detail. Dari Alkitab saya belajar banyak tentang apa yang Ia katakan dan bagaimana Ia berurusan dengan orang–orang tertentu dan bangsa–bangsa tertentu. Sebaliknya, saya tidak tahu suatu pernyataan pun dari istri saya selama dua puluh tahun pertama dalam hidupnya. Saya mengetahui halaman demi halaman dari perkataan Allah, apa yang sudah Ia lakukan; tetapi saya tidak mengetahui perihal istri saya sebanyak itu!
Dalam suatu keadaan, saya dapat dengan lebih akurat memperkirakan apa yang akan Tuhan lakukan, ketimbang apa yang akan istri saya lakukan. Saya dapat menduga apa yang akan istri saya lakukan, tetapi tidak dengan ketepatan yang tinggi, karena manusia tidak selalunya konsisten. Namun, Tuhan tetap sama baik kemarin, maupun hari ini dan sampai selama-lamanya, dan jalan–jalan-Nya sering dapat diduga dengan ketepatan yang mengejutkan jika kita memahami prinsip–prinsip yang mendasari tindakan-Nya sebagaimana yang sudah tercatat di dalam Alkitab, dan sejalan dengan pelajaran yang kita dapat dari pengalaman selama mengikut Dia.
Istri saya dapat menjadi saksi atas hal ini. Dalam suatu peristiwa, dalam suatu situasi yang cukup sulit, saya membuat perkiraan dengan jadwal waktu yang tepat tentang apa yang akan dilakukan Tuhan dalam beberapa hari berikutnya untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Saya berkata kepada Helen, “Besok, Tuhan akan melakukan hal ini; lusa Tuhan akan melakukan hal itu.” Saya berikan kepadanya seluruh jadwal waktu tentang apa yang akan dilakukan Tuhan dalam empat hari ke depan untuk memecahkan persoalan itu. Saya berkata kepadanya, “Saya sampaikan semua ini sebelumnya kepadamu supaya kamu dapat menjadi saksi tentang bagaimana Allah kita akan dengan ajaib melakukan semua ini.” Dan ia menjadi saksi bahwa peristiwa–peristiwa yang kemudian terjadi berlangsung tepat seperti yang sudah saya perkirakan.
Anda mungkin bertanya–tanya bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi. Saya mengenali pikiran dan karakter Allah sampai sejauh itu karena Ia mengajar saya oleh Roh-Nya yang tinggal di dalam diri saya untuk membedakan perkara-perkara dari firman-Nya. Itu sebabnya mengapa Alkitab diberikan kepada kita. Kesadaran bahwa saya mengenali Allah lebih dari siapa pun di dunia memenuhi saya dengan sukacita sehingga saya berjalan mundar mandir memikirkan hal ini di dapur rumah saya. Oleh karena karakter Allah tidak berubah, dan karena Alkitab mengungkapkan diri-Nya dengan perincian yang sangat detail, mungkin bagi kita untuk mengenal-Nya lebih dari siapa pun di dunia ini.
Bukan maksud saya untuk mengatakan bahwa kita selalu dapat meramalkan segala sesuatu yang akan Allah lakukan dengan ketepatan yang sempurna. Ini adalah karena, sekalipun, oleh anugerah, kita memang mengenal-Nya, kita tidak mengenal-Nya dengan sempurna; pada masa kini kita hanya “mengenal-Nya dengan tidak sempurna” (1Kor 13:12). Namun, bahkan ini sudah cukup banyak dibandingkan dengan orang-orang Kristen (atau orang agamawi seperti Nikodemus) yang tidak mengenal-Nya secara pribadi sama sekali, dan bagi mereka yang jalan-Nya Tuhan tidak dapat dipahami dan diramalkan sama seperti pergerakan angin (Yoh 3:8).
Bukankah menakjubkan karena satu-satunya pribadi yang diperhitungkan di dunia ini, yakni Yesus Kristus, telah menyatakan diri-Nya sepenuhnya kepada kita? Melalui Yesus kita mengenal Bapa (Yoh 1:18). Di pihak kita, kita harus melakukan kehendak-Nya dengan sepenuh hati jika kita ingin mengenal Bapa dan mengalami realitas-Nya.
Semoga Allah menganugerahkan kasih karunia kepada kita untuk menjadikan pernyataan berikut ini menjadi titik fokal yang dinamis dari seluruh kehidupan kita: “Sungguh, aku datang untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allahku.”