Pastor Eric Chang | Manusia Baru (16) |
Penderitaan, kesakitan dan kematian merupakan masalah–masalah yang tergolong paling sulit dalam pembahasan filsafat. Para ahli filsafat sejak dahulu kala bergumul dengan pertanyaan tentang penderitaan, tetapi jawabannya belum juga didapatkan. Mengapa ada begitu banyak penderitaan di dunia ini? Apa makna dari suatu penderitaan, jika penderitaan memang mengandung makna? Banyak ahli filsafat yang bergumul dengan masalah ini tidak dapat menemukan makna dalam penderitaan.
Namun, kita terus menemukan penderitaan setiap hari, apakah yang dilaporkan dalam surat kabar atau yang dialami orang–orang yang kita kenal secara pribadi. Atau bahkan pada burung yang mati. Kita dapat merasakan sekaligus kepedihan dan kesedihan atas seekor burung yang tak berdosa, yang seharusnya sedang berkicau merdu di atas dahan dan berlompatan riang gembira di atas rumput. Sekarang ia tergeletak mati di atas rumput, tak pernah lagi merasakan kehangatan sinar mentari, keharuman bunga, dan kelembutan hembusan angin.
Saya berbicara tentang burung yang mati karena beberapa waktu yang lalu, kami menemukan dua anak burung di halaman, yang satu sudah mati dan yang satunya lagi masih hidup. Anak burung yang masih hidup itu terluka, karena jatuh dari atas pohon, jadi kami mengambil dan merawatnya. Betapa senangnya kami melihat ia dapat sembuh. Anak burung ini tampaknya mengenali kami, ia berkicau riang setiap kali melihat kami. Ketika ia sudah cukup besar dan tampaknya sudah mampu untuk mengurus dirinya sendiri, kami melepaskannya ke alam bebas. Akan tetapi, anak burung yang satunya mati. Ketika kami melihat si induk burung menatapi anaknya yang mati, kami bertanya dalam hati, bagaimana perasaannya?
PENDERITAAN DALAM HUBUNGAN SESAMA MANUSIA
Penderitaan bukan sekadar tentang kecelakaan mobil ataupun kematian di dalam keluarga. Lingkup penderitaan jauh lebih luas dari itu. Ia melibatkan rasa sakit emosional dan jasmani, salah satu atau keduanya sekaligus, yang merupakan kenyataan yang tidak dapat disingkirkan dari kehidupan di dunia ini. Di dunia yang dikuasai dosa, penderitaan ikut mengisi kehidupan kita sehari–hari.
Sebagai contoh, tidakkah Anda menderita ketika seseorang berbicara dengan kasar kepada Anda? Anda menderita karena satu atau beberapa alasan setiap hari. Mungkin ada orang di rumah Anda yang kurang menaruh perhatian terhadap Anda, atau salah mengerti Anda atau mengucapkan sesuatu yang mempermalukan Anda di depan orang lain (atau menurut Anda begitu).
Penderitaan merupakan pengalaman setiap hari yang, sebagian besarnya, melibatkan hubungan antar manusia. Ia biasanya muncul ketika terjadi gesekan kepentingan antar individu, mungkin di rumah, di sekolah atau di tempat kerja. Orang lain menjadi sumber yang paling umum dari penderitaan dan ketidakbahagiaan. Banyak yang lebih suka menjauhkan diri dari orang lain dan ditinggalkan sendirian. Akan tetapi, itu tidak mungkin menyelesaikan masalah, karena mereka lalu tertimpa masalah kesepian. Tanpa adanya orang lain untuk diajak bicara, atau berbagi beban, melarikan diri tidak memecahkan masalah. Namun, diam di tempat juga tidak. Bagaimanapun juga, kepedihan dan penderitaan tampaknya tidak dapat dihindari.
Banyak orang telah berusaha untuk memberi suatu penjelasan tentang keberadaan penderitaan. Apakah penderitaan benar–benar tidak memiliki makna apa pun? Kalau tidak, lalu apa makna yang dimilikinya?
DISEMPURNAKAN MELALUI PENDERITAAN KRISTUS
Dalam kaitannya dengan keselamatan dan kesempurnaanlah, penderitaan mulai menampakkan maknanya. Dalam mengejar kesempurnaan, kita tak dapat menghindar dari realitas kepedihan dan kesedihan. Pertama-tama, kita disempurnakan—disucikan dari dosa—melalui penderitaan dan kematian Kristus (Ibr 10:14). Jika penderitaan memang memiliki makna, tentunya makna itu terlihat pada pribadi Kristus dan karya keselamatannya bagi umat manusia. Oleh sebab itu, kita tak dapat menjadi Kristen tanpa mempercayai bahwa penderitaan memiliki nilai, arti dan tujuan.
Dalam terang salib Kristus, kita dapat mengatakan bahwa penderitaan mengandungi lebih dari semacam nilai. Salib memampukan kita untuk melihat hal itu karena Kristus telah menderita untuk menebus kita, makanya penderitaan merupakan hal yang paling bermakna bagi kehidupan Kristen. Ini adalah pernyataan yang sangat mengejutkan, tetapi didukung sepenuhnya oleh Kitab Suci. Sementara bagi orang non-Kristen penderitaan merupakan gangguan yang tidak bermakna apa–apa, kepada orang Kristen penderitaan memiliki makna yang tertinggi justru karena kita ditebus oleh penderitaan dan kematian Kristus. Dengan cara demikian kita disempurnakan, dibersihkan dari dosa, dan dimerdekakan dari kuasanya.
DISEMPURNAKAN MELALUI PENDERITAAN
Namun, penderitaan memiliki signifikansi terbesar bagi kita bukan hanya karena apa yang Yesus Kristus lakukan bagi kita di salib, penderitaan juga amat berarti karena olehnya kita akan dibawa pada kesempurnaan rohani di dalam Kristus. Demi kehidupan rohani kita, amat penting bagi kita untuk memahami kebenaran yang luarbiasa ini. Kita akan menguji pernyataan ini berdasarkan Kitab Suci, karena tujuan kami bukan untuk menyampaikan opini kami sendiri.
Ibrani 2:10, sebuah ayat yang pentingnya hampir tak dapat dibesar-besarkan, mengatakan ini:
Sudah selayaknya Ia — yang bagi Dia dan melalui Dia segala sesuatu ada — menyempurnakan Perintis Keselamatan anak-anak-Nya melalui penderitaan, untuk membawa mereka kepada kemuliaan.
Siapa lagi Perintis Keselamatan kita kalau bukan Yesus Kristus? Namun, Allah harus menyempurnakannya melalui penderitaan. Pikirkan itu. Jika menjadi sempurna dapat dicapai tanpa penderitaan, lalu apa gunanya menempatkan Yesus dalam penderitaan?
Perhatikan apa yang tidak disebutkan oleh ayat ini; ia tidak mengatakan bahwa Yesus menderita dengan tujuan untuk menebus kita. Sebaliknya, yang dikatakan justru adalah ia menderita supaya ia disempurnakan! Hanya setelah ia disempurnakan, ia dapat mati di atas salib bagi kita dan dengan demikian menjadi Perintis Keselamatan kita.
Yesus harus “disempurnakan” melalui satu–satunya jalan yang tersedia: penderitaan. Dengan pernyataan yang jelas dan pasti, Kitab Suci menegaskan bahwa Allah menyempurnakan Yesus melalui penderitaan. Ini dinyatakan sekali lagi di Ibrani 5:8-9:
“Walaupun Yesus adalah Anak, tetapi ia belajar untuk taat melalui penderitaan yang dialaminya. Dengan setelah disempurnakan, ia menjadi sumber keselamatan kekal bagi semua orang yang taat kepadanya,”
Kita dapat berulang-ulang kali merenungkan pernyataan yang menakjubkan ini tanpa menanduskan kekayaannya. Yesus adalah Anak Allah, tetapi ia “belajar untuk taat” melalui penderitaan, dan dengan demikian “dijadikan sempurna”. Betapa lebih lagi kita perlu disempurnakan lewat penderitaan!
BUKAN SEMUA PENDERITAAN BERKAITAN DENGAN DOSA
Penting bagi kita untuk menghargai nilai penderitaan karena dengan demikian kita terlindung dari bahaya kemurtadan. Banyak Kristen berpaling dari Kristus karena kepahitan yang timbul akibat penderitaan. Oleh karena tidak memahami makna penderitaan, mereka bertanya-tanya mengapa mereka harus menderita. Di benak kebanyakan orang, penderitaan adalah musibah atau nasib sial yang menimpa umat manusia yang seharusnya tidak terjadi.
Keadaan ini diperburuk oleh orang-orang Kristen yang mengajarkan bahwa setiap penderitaan diakibatkan oleh dosa. Jika dosa harus dibenci, demikian juga penderitaan. Menyamakan dosa dengan penderitaan dan sebaliknya adalah kesimpulan yang sama sekali keliru. Yesus sama sekali tidak berbuat dosa, tetapi itu tidak mencegahnya dari penderitaan. Justru karena ia tanpa dosa, ia jauh lebih menderita daripada mereka yang sudah terbiasa berbuat dosa. Penderitaan yang dialami Kristus demi kita menunjukkan bahwa penderitaan memiliki nilai dan makna yang terlepas dari dosa.
Lagi pula, penderitaan tidak semestinya disebabkan dosa. Di dalam rumah tangga umpamanya, mengapa terjadi banyak salah paham yang menimbulkan begitu banyak kesedihan dan penderitaan? Persoalannya seringkali disebabkan oleh perbedaan watak atau perbedaan cara kerja masing–masing orang. Sang suami memiliki caranya sendiri dalam menangani suatu persoalan, sang istri punya cara yang berbeda, lalu mungkin ada lagi orang lain dengan cara yang berbeda pula. Jika dinilai secara objektif, seringkali persoalannya bukan persoalan siapa yang salah, siapa yang benar. Perbedaan watak menimbulkan perbedaan pola kerja yang dapat menciptakan kesalahpahaman. Perbedaan karakter adalah penyebab utama ketidakbahagiaan sehari–hari.
Bisakah kita menyalahkah penderitaan semacam ini pada dosa? Apakah berdosa jika kita memiliki kepribadian dan cara kerja yang berbeda? Apakah orang lain tidak memiliki hak untuk berbeda watak dan kepribadian dari kita? Kita cenderung menyombongkan diri sendiri dan berpikir, “Watak saya adalah patokan bagi perilaku yang beradab. Jika kepribadianmu seperti saya, tidak akan ada kesalah-pahaman.” Sebaliknya yang lain berpikir, “Cara saya yang paling benar dan caramu salah.” Memaksakan cara kita sendiri akan membawa kita ke dalam dosa, tetapi perselisihan pendapat itu sendiri bukanlah dosa.
Siapa yang salah dan siapa yang benar? Bagaimana kita menyelesaikan persoalan ini? Memang sudah menjadi kenyataan hidup bahwa masalah timbul akibat perbedaan dalam cara kita berpikir. Setiap orang yang sudah bernikah, atau yang berkeluarga, atau bersama-sama mendiami sebuah apartemen, sangat menyadari kenyataan ini. Persoalan yang muncul tidak selamanya berkaitan dengan dosa, tetapi karena adanya perbedaan dalam kepribadian, yang mengakibatkan perbedaan dalam perspektif. Perbedaan-perbedaan itu tidak selalunya perlu menimbulkan perselisihan atau ketegangan, tetapi sering terjadi karena kita memang belum sempurna sepenuhnya. Akan tetapi, bahkan di tengah ketidak-sempurnaan kitapun, Allah dapat memanfaatkan perbedaan kita untuk saling mengimbangi satu dengan yang lain, dan membuahkan hasil yang bermanfaat. Tidak selamanya kita harus mencari tahu siapa yang benar dan siapa yang salah.
PENDERITAAN BISA DIAKIBATKAN OLEH KASIH, BUKAN DOSA
Dosa dan penderitaan tidak semestinya berhubungan. Jika suatu hari, atas alasan apapun, kita harus berpisah dengan orang yang kita kasihi, apakah kita tidak menderita? Jelas kita menderita. Penderitaan semacam itu tidak berkaitan dengan dosa. Sebaliknya, penderitaan timbul karena adanya kasih yang sejati. Penderitaan karena perpisahan terjadi karena kasih, bukan dosa. Hati kita sedih apabila berpisah dengan orang yang kita kasihi. Sebaliknya, jika kita tidak saling mengasihi, kita mungkin akan berkata, atau berpikir, “Kamu mau pergi? Bagus sekali! Kapan berangkat? Sebaiknya secepat mungkin!”
Penting untuk menyingkirkan pandangan yang sudah terpatri bahwa dosa dan penderitaan selalu berhubungan. Memang benar bahwa keduanya sering saling berkaitan, tetapi tidak selalunya.
Inilah salah satu pesan utama dari kitab Ayub. “Sahabat–sahabat” Ayub berpandangan bahwa segala bentuk penderitaan diakibatkan oleh dosa. Oleh karena itu, ketika segala macam kemalangan menimpa Ayub, mereka langsung menganggap Ayub telah melakukan beberapa dosa keji, atau bahkan mungkin banyak dosa besar, dan menekan Ayub untuk bertobat dalam debu dan abu. Ketika Ayub berkeras bahwa ia tidak bersalah, mereka terus menerus menegurnya dengan keras.
Akibatnya, di bawah tekanan penderitaan yang amat besar, Ayub menjadi putus asa. Bahkan imannya kepada Allah yang dulunya teguh mulai goyah sampai ke fondasinya. Ini menunjukkan betapa berbahayanya mengaitkan dosa dengan penderitaan. Hal ini dapat, dan sudah, menghancurkan iman banyak orang.
PANDANGAN BAHWA SEMUA PENYAKIT DIAKIBATKAN OLEH DOSA
Namun, tidak sedikit orang Kristen zaman sekarang ini yang ternyata gagal menangkap pesan dari kitab Ayub. Sebagai contoh, anggapan keliru yang mengaitkan dosa dengan penderitaan menjadi dasar pandangan banyak aliran karismatik yang menyatakan bahwa bukanlah kehendak Allah bagi orang percaya untuk mengalami penderitaan dari sakit penyakit. Seluruh pelayanan penyembuhan mereka didasarkan pada asumsi ini. Kehendak Allah, menurut pandangan mereka, adalah agar kita semua sehat dan makmur.
Seorang pemimpin gereja karismatik yang terkenal, yang saya kenal secara pribadi di Inggris, ketika ia sedang sekarat karena penyakit kanker, tampaknya berada dalam keadaan berputus asa, bukan karena takut akan penderitaan itu sendiri, tetapi takut karena mengira ditolak Allah karena Allah tidak memenuhi sekian banyak doa bagi kesembuhannya. Ia belum mencapai usia 50 tahun pada waktu itu. Hal ini juga menimbulkan gejolak kepada gereja–gereja dan orang-orang Kristen yang bergaul dengannya. Ketika mereka melihat bahwa Allah ternyata tidak selalu mencegah atau menyembuhkan penyakit dan penderitaan, landasan pemahaman mereka yang keliru yang menjadi pijakan mereka, mulai goyah.
Kita seharusnya dapat melihat sekarang betapa besarnya konsekwensi dari kekeliruan ini, dan kekeliruan dari mengabaikan atau bahkan menolak panggilan Yesus untuk memikul salib.
ALLAH SENDIRI MENDERITA KARENA KASIHNYA BAGI KITA
Kita perlu menyadari bahwa Allah sendiri menderita dengan hebatnya, walaupun Ia tidak ada hubungan apa–apa dengan dosa. Tentu saja, Ia menderita karena dosa–dosa kita, tetapi itu disebabkan oleh kasih-Nya kepada kita. “Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan” (Ef 4:30). Semakin Anda mengasihi seseorang, semakin Anda menderita.
Kita sekarang lebih mengerti kata-kata di Yesaya 63:9 yang berbicara tentang Allah dalam hubungan-Nya dengan Israel bahwa,
“Dalam semua penderitaan mereka, Ia juga menderita… Dalam kasih dan belas kasihan-Nya, Ia menebus mereka.”
Secara signifikan, ayat selanjutnya berkata, “Akan tetapi, mereka memberontak dan mendukakan Roh Kudus-Nya”, yang justru merupakan peringatan dari Efesus 4.30.
Jika kita menantikan kepulangan seseorang yang kita kasihi pada jam tertentu, tetapi ia belum muncul juga, kita menderita karena kita mencemaskan keselamatannya. Apakah saudara ini baik–baik saja? Apakah ia tersesat atau celaka? Kita menderita bukan karena dosa tetapi karena kasih; kita mencemaskan keselamatan dan kesejahteraan orang lain.
PENDERITAAN MEMILIKI MAKNA YANG SANGAT DALAM
Barangkali Anda masih belum yakin bahwa penderitaan memiliki nilai sama sekali. Akan tetapi, kebenaran alkitabiah adalah: penderitaan itu esensial bagi kesempurnaan rohani. Kita harus memahami prinsip ini dengan sejelasnya supaya kita tidak merasa pahit atau marah apabila penderitaan itu datang. Jauh dari merasa pahit, Paulus malah berkata,
“Aku bersukacita dalam penderitaanku demi kamu” (Kol 1:24).
Apakah kita bersukacita dalam penderitaan? Hal itu mustahil terjadi kalau kita belum memahami makna dan nilai penting dari penderitaan.
Kita tidak lagi memahami arti penderitaan sekarang ini, kita juga tidak lagi bersukacita dalam penderitaan. Kita hanya tahu bagaimana caranya bersukacita di dalam keadaan yang serba gemerlapan.
Saya berharap ada orang yang mau mengajarkan orang-orang Kristen yang masih muda tentang betapa tingginya nilai dari penderitaan. Dengan demikian, mereka mau belajar untuk menerima penderitaan dengan sukacita, sebagaimana rasul Paulus. Akan tetapi, jika kita diajarkan untuk mempercayai bahwa semua penderitaan diakibatkan oleh dosa, kita akan memelihara pandangan yang negatif tentang penderitaan. Memang benar kita harus membenci dosa, tetapi mengikatkan semua penderitaan kepada dosa akan mengakibatkan kebencian terhadap penderitaan juga, dan itu adalah kekeliruan yang sangat serius.
Di sini sangatlah esensial untuk membedakan yang baik daripada yang jahat: Dosa adalah jahat, tetapi penderitaan bisa saja baik (tergantung pada sikap kita menghadapinya). Dosa membawa kesakitan dan penderitaan; tetapi penderitaan dapat mengajar kita untuk menjadi benar dan sempurna. Di dalam hikmat Allah, penderitaan dapat juga berfungsi sebagai suatu penawar dan pencegah dosa.
Kita tidak dapat mengeklaim sudah memahami segala yang perlu dipahami tentang makna dan tujuan penderitaan pada masa kini, karena pengetahuan kita masih belum sempurna (1Kor 13:12). Oleh karena itu, beberapa penderitaan akan tetap sulit dimengerti oleh pengertian kita yang terbatas, terutamanya penderitaan orang yang tidak bersalah, dan khususnya apabila kita menganggap diri kita tidak bersalah. Keadaan tidak dapat mengerti itu sendiri merupakan suatu bentuk penderitaan. Namun, yang kita ketahui dari Kitab Suci adalah: mengelompokkan semua penderitaan secara sembarangan bersama dosa menunjukkan bahwa kita tidak mampu untuk membedakan antara yang baik dari yang jahat.
Kita mungkin bertanya–tanya dosa apakah yang sudah kita lakukan sehingga kita layak mengalami penderitaan. Sikap semacam ini bisa berbahaya karena dapat berakibat pada timbulnya rasa marah terhadap Allah yang bertindak tidak adil, terutamanya apabila kita (seperti Ayub) sesungguhnya tidak tahu telah melakukan dosa apa yang karenanya kita sepertinya dihukum.
Kitab Suci mengajarkan kita bahwa hubungan antara penderitaan dan dosa tidak dapat disederhanakan seperti berikut: Penderitaan selalu diakibatkan oleh dosa. Persoalannya jauh lebih rumit daripada itu. Demi kejelasan kita dapat menggunakan perincian berikut:
(1) Saya menderita karena saya telah berbuat dosa. Roh Kudus menginsafkan saya akan dosa–dosa saya, dan Allah sebagai Bapa yang penuh kasih, mendisiplin saya demi kebaikan saya (Ibr 12:5-6). Penderitaan, di dalam hal ini, adalah panggilan untuk bertobat.
(2) Saya menderita, bukan karena saya berbuat dosa, tetapi karena orang lain berbuat dosa terhadap saya. Penderitaan semacam ini membuka kesempatan bagi kita untuk belajar mengampuni, sebagaimana saya sudah menerima pengampunan dari Allah.
(3) Saya menderita karena pendirian orang lain sama sekali berbeda dari saya. Ini menimbulkan kepedihan pada kedua belah pihak, walaupun tidak ada yang berbuat dosa (sebagaimana kasus Paulus dan Barnabas). Dalam situasi seperti ini, saya harus mengevaluasi apakah pendirian saya benar di hadapan Tuhan. Pada saat yang bersamaan, saya harus ingat bahwa sekalipun pendirian saya benar dari perspektif saya, itu tidak semestinya berarti bahwa orang lain salah. Jadi saya belajar untuk memiliki sikap berdamai sekalipun persetujuan tidak selalunya dapat diraih. Jika kesepakatan memang tidak dapat diraih, saya belajar untuk tidak memupuk kepahitan ataupun dendam.
(4) Saya menderita karena kasih saya kepada orang lain. Ini membuat saya menaruh perhatian kepada mereka, menderita bersama mereka yang menderita, menangis bersama mereka yang menangis (Rm 12:15), dan saling membantu menanggung beban mereka (Gal 6:2). Kasih juga menimbulkan kesedihan yang mendalam saat harus berpisah dengan seseorang (Kis 20:37-38). Atau, seperti halnya Paulus dan hamba–hamba Allah yang lain, menderita kesusahan dan segala bentuk sengsara untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia, dan untuk membangun tubuh Kristus (lihat daftar panjang penderitaan di 2Kor 11:23-28).
(5) Saya menderita karena saya mengasihi Allah, dan dengan sukacita menghadapi segala kesukaran dan akhirnya mungkin kematian demi Dia. Penderitaan sejenis ini seringkali tidak dapat dipisahkan dari jenis yang sebelumnya. Stefanus merupakan orang pertama di dalam daftar panjang orang-orang yang sudah menderita dan mati demi Tuhan yang mereka cintai (Kis 7). Beberapa martir menderita siksaan yang tak terbayangkan sebelum mereka mati, tetapi di bawah keadaan apa pun mereka tidak menyangkali Tuhan yang mengasihi mereka, dan yang mereka kasihi.
Seringkali, atau bahkan selalunya, karena kita mengasihi Allah, maka kita juga mengasihi sesama. Di dalam kasus ini pokok (4) dan (5) di atas saling berkait.
Ada banyak macam penyebab penderitaan, dan beberapa yang paling berat tidak memiliki hubungan sama sekali dengan dosa, apakah dosa yang saya lakukan atau yang dilakukan orang lain. Akan tetapi, apapun penyebabnya, penderitaan tak pernah sia–sia atau tak bermakna. Kesakitan dan penderitaan selalu memiliki nilai yang tak terhitung tingginya dalam proses menyerupakan kita ke dalam gambar Allah. Justru karena alasan inilah penderitaan amat diperlukan, sebagaimana terlihat dari kenyataan bahwa bahkan Anak Allah sendiri harus disempurnakan dengan penderitaan.
SETIAP MURID DIPANGGIL UNTUK MEMIKUL SALIB PENDERITAAN
Saudara–saudara, kita perlu menggali lebih dalam lagi sampai kita menangkap nilai penting dari penderitaan, dan sampai kita juga menjadi seperti Paulus yang bersukacita dalam penderitaannya demi umat Allah (Kol 1:24). Kita harus memahami prinsip vital ini jika kita ingin memahami inti dari Injil. Karena Injil yang disampaikan oleh Yesus adalah Injil penderitaan. Jika kita tidak siap untuk menerima penderitaan, berarti kita tidak siap untuk menjadi murid-murid Yesus.
Injil yang diajarkan Yesus sangat jauh berbeda dari injil yang kita dengar hari ini. Injil terlalu sering dipasarkan—di radio, televisi dan literatur—sebagai injil yang memberi sukacita dan kelegaan dalam hidup Anda, dan menghapuskan segala macam penderitaan. Jangan mempercayai dusta itu. Yang diajarkan Yesus bertolak belakang dengan itu:
24 Kemudian Yesus berkata kepada murid-muridnya, “Jika ada yang mau mengikuti aku, ia harus menyangkal dirinya sendiri, memikul salibnya, dan mengikut aku.
25 Karena siapa yang ingin menyelamatkan nyawanya akan kehilangan nyawanya. Akan tetapi, siapa yang kehilangan nyawanya karena aku, ia akan mendapatkannya.
26 Apa untungnya jika seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya? Atau, apa yang bisa seseorang berikan sebagai ganti nyawanya?” (Mat 16:24-26)
Tidak ada lambang penderitaan yang lebih manjur daripada salib. Kita dipanggil untuk menderita sebagaimana kita dipanggil untuk menjadi sempurna, karena kesempurnaan datang melalui penderitaan.
Penyaliban adalah bentuk hukuman mati yang paling menyakitkan dan berpanjangan yang pernah diciptakan manusia. Bentuk hukuman mati yang lain biasanya berlangsung singkat dan mudah. Hukuman penggal berlangsung dalam satu kali ayunan pedang, membuat Anda tidak punya banyak kesempatan untuk merasa sakit. Sebutir peluru di kepala merupakan cara kilat untuk mati.
Salib, di sisi lain, adalah gabungan dari alat siksaan-eksekusi yang paling mengerikan dan yang paling lama yang pernah diciptakan manusia. Pemerintah Roma sering menggunakan bentuk hukuman ini. Kadang–kadang seseorang harus menanggung rasa sakit yang tak tertahankan selama dua atau tiga hari di atas kayu salib sebelum ia mati.
Yesus tidak berkata, “Setiap orang yang mau mengikut aku harus menjalani hukuman tembak atau kursi listrik.” Mungkin kita bersedia untuk mati jika tidak melibatkan terlalu banyak penderitaan. Penderitaan adalah aspek yang paling menakutkan dari kematian, dan jika penderitaan itu dapat dikurangi atau bahkan dihapuskan, kematian bukanlah hal yang sulit diterima. Namun, Yesus justru berbicara tentang memikul salib, sesuatu yang sangat mengejutkan dan menakutkan kita.
Jadi kita mencoba membuat penawaran kepada Yesus, “Bagaimana kalau saya memilih untuk berdiri di depan regu tembak saja?” Hukuman tembak biasanya melibatkan satu regu karena jika satu orang saja yang menembak, ia mungkin tidak mengenai sasaran, biasanya jantung, dalam satu kali tembak. Namun, jika yang menembak itu satu regu ahli menembak dengan senapan yang canggih, Anda boleh yakin bahwa eksekusi akan berjalan singkat. Kita mungkin lebih memilih eksekusi dengan cara ditembak, tetapi Yesus memanggil kita ke salib! “Apa? Penyaliban? Harus ada cara yang lebih mudah.” Jadi kita terus tawar menawar dengan Yesus: “Yesus, saya ingin mengikuti engkau, tetapi memikul salib itu sedikit berlebihan. Engkau terlalu tinggi memasang harga. Mengapa tidak mempermudahkan sedikit?”
Kita sudah banyak kali membaca pernyataan Yesus tentang memikul salib, tetapi kita menutup mata terhadap artinya yang begitu jelas. Sekalipun melihat, kita tidak melihat; sekalipun mendengar, kita tidak mendengar dan mengerti (Mat 13:13).
Mengapa Yesus bersikeras tentang salib? Apakah ia menikmati melihat kita tersiksa sampai mati? Tidak, dunialah, dan bukan Yesus, yang akan menyalibkan kita. Yesus tidak menyalibkan dirinya sendiri; para imam di bait suci dan penguasa Romalah yang menyalibkan dia. Demikian pula, kalau kita disalibkan, bukan Yesus yang menyalibkan kita melainkan dunia yang melakukan hal itu terhadap kita.
Dalam membicarakan hal ini, kita tidak boleh lupa bahwa pada saat berbicara tentang salib, Yesus tidak menekankan pada aspek jasmaninya secara eksklusif, atau bahkan mengutamakannya. Panggilan untuk memikul salib adalah panggilan untuk mati terhadap manusia lama dan memasuki hidup yang baru, yaitu berjalan bersama Tuhan. Kemartiran bisa saja terjadi, tetapi menjadi martir tanpa dilahirkan kembali secara rohani oleh Roh Kudus, merupakan tindakan kepahlawanan manusiawi, seperti seorang prajurit yang mati demi ideologi atau negaranya. Patroitisme dan kepahlawanan memang memiliki nilai, tetapi kita dipanggil Yesus bukan untuk itu.
Kita dipanggil untuk berpisah dari kehidupan kita yang lama untuk mengabdi sepenuhnya kepada Allah dan umat-Nya, sekalipun itu berarti mengalami penderitaan sebanding dengan penyaliban. Sebagai suatu bentuk hukuman mati, penyaliban tidak dipraktekkan lagi sekarang ini, jadi orang-orang Kristen pada zaman sekarang kecil kemungkinannya untuk disalibkan secara jasmani. Namun, sekalipun pada masa ia masih dipraktekkan, Yesus tentu saja tidak bermaksud bahwa setiap murid harus menjadi martir dengan mati tergantung di kayu salib.
Kenyataannya, dalam sejarah gereja sangat sedikit orang Kristen yang mati di kayu salib. Rasul Petrus dilaporkan sebagai salah seorang yang menjalani hukuman ini. Stefanus, martir pertama, mengalami kematian akibat dirajam. Paulus mungkin dihukum penggal; ia adalah warga negara Roma dan hukum Roma melarang penyaliban terhadap warga negara Roma. Pokoknya ketika Yesus berbicara tentang salib, pengertiannya yang paling utama terletak di tingkat rohani. Kita dipanggil untuk mengikuti jejaknya terutama sekali dengan hati kita.
INJIL MASA KINI MENOLAK PENDERITAAN
Namun, panggilan Yesus sedang ditolak. Banyak orang sekarang mengajarkan injil tentang kemakmuran jasmani dan kesenangan, dan juga kebebasan dari segala bentuk penderitaan, termasuk kemiskinan dan penyakit. Beberapa hari yang lalu saya menonton seorang penginjil televisi yang berbicara tentang betapa indahnya percaya kepada Allah. Ia bercerita tentang seseorang yang percaya kepada Allah. Ketika orang itu menginginkan sebuah mobil bagus, dari model dan merek tertentu, apa yang terjadi? Tuhan memberinya sebuah mobil mewah tepat seperti yang diinginkan orang itu!
Sementara orang yang menerima mobil itu duduk di atas podium mengagumi keberuntungannya, si penginjil melanjutkan ceramahnya, “Jika Anda berdoa, jangan hanya meminta mobil. Katakan kepada Allah tentang model dan warna yang Anda inginkan.” Allah siap untuk memuaskan keinginan kita. Inilah yang disebut “iman”, menurut penginjil itu, yaitu percaya bahwa Allah akan memenuhi apa yang Anda inginkan dan Anda akan mendapatkannya!
Nah, maafkan saya karena menyela pemikiran yang sangat memikat, tetapi amat egois ini, dan bertanya kepada Anda, “Sejak kapan kita boleh menyuruh Allah untuk memberikan apa yang kita inginkan, atau memerintah Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan?”
Baiklah kita biarkan dulu sang penginjil melanjutkan “injil”nya: Kalau Anda memasuki sebuah restoran, katanya, jangan memesan perkedel. Perkedel itu untuk orang miskin, tetapi kita adalah anak–anak Allah. Allah adalah Raja besar dan kita anak–anak-Nya—kita adalah “anak–anak Raja”—jadi pesanlah hidangan termahal yang ada di restoran itu.
Saya tidak membesar–besarkan pernyataan sang penginjil itu, yang namanya tidak akan saya sebutkan. Ia memiliki ratusan ribu pemirsa setia, dan menggaruk ratusan juta dolar per tahun melalui pelayanan televisinya. Tidak mungkin Anda memperoleh pemasukan jutaan dolar kecuali Anda memberitakan injil bistik dan bukan perkedel, atau injil tentang mobil mewah.
“Yesus yang malang”, tentunya si penginjil ini berpikir demikian, “Jika injil yang disampaikan aku sama seperti Injil yang diajarkan Yesus, hasil yang didapat paling–paling hanya perkedel, atau bahkan mungkin akan turut disalibkan juga! Namun, jika injil yang disampaikan bercerita tentang hidangan mewah dan mobil mewah, hasilnya adalah kerumunan orang dan timbunan uang”. Akan tetapi, Yesus tidak tertarik pada uang atau menyenangkan telinga pendengarnya. Tidak heran jika hanya sedikit orang yang mau mengajarkan Injil yang dikabarkan Yesus.
Pada saat mendengarkan sang televangelist (penginjil TV) tersebut, saya tidak dapat mempercayai telinga saya sendiri. Untuk meyakinkan bahwa saya tidak salah mendengar, saya meningkatkan konsentrasi, dan ternyata ia mengatakannya berulang kali, “Orang ini meminta mobil mewah, dan Allah memberi kepadanya!”
Saya berpikir, “Apakah Anda yakin bahwa Allahlah yang memberikan itu kepadanya?” Saya tahu ada satu tokoh lain yang pernah berkata kepada Yesus, “Aku akan memberikan semua kerajaan di dunia ini dengan segala kekayaannya asalkan engkau mau sujud kepadaku” (Mat 4:8-9). Pesan sang televangelist ini kedengarannya amat mirip dengan perkataan Iblis. Iblislah yang berkata, “Aku berkuasa untuk memberikan semua kerajaan di dunia dengan segala kekayaannya, jadi apalah artinya hidangan mewah dan mobil mewah bagiku? Itu semua sudah termasuk dalam paket yang disebut ‘dunia’.” Iblis dengan senang hati akan mengesahkan pesan pengkhotbah ini, yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Yesus. Iblis dengan secepat mungkin akan memenuhi perkataan pengkhotbah itu.
Injil yang mana yang kita kabarkan, Injil Yesus Kristus atau injil yang lain (Gal 1:6-8)? Mungkinkah ia yang berkata, “Pikul salibmu dan ikutlah aku,” akan berkata, “Datanglah padaku dan aku akan memberikan kamu hidup yang mewah”? Apakah kita sedang mendengarkan suara yang sama? Yesus berkata, “Domba-dombaku mendengarkan suaraku” (Yoh 10:27). Dapatkah kita membedakan suara Gembala dari suara-suara lain yang menawarkan dunia kepada kita? Dapatkah kita membedakan yang baik daripada yang jahat?
LOGIKA DALAM MENOLAK PENDERITAAN
Logika dalam menolak penderitaan adalah seperti berikut: Jika dosa memimpin kepada penderitaan, dan jika dosa adalah penyebab tunggal dari penderitaan, berikut dari itu, jika kita diselamatkan dari dosa, berarti kita juga diselamatkan dari penderitaan. Masuk akal, bukan? Sebagaimana Yesus menyelamatkan kita dari dosa, maka ia juga menyelamatkan kita dari penderitaan. Jika dosa dan penderitaan berhubungan secara hakikat dan tak terpisahkan, kesimpulannya memang benar dan tak dapat dibantah.
Namun, itu merupakan suatu kekeliruan yang paling mendasar, yang dilandasi oleh pra-anggapan yang keliru. Dosa dan penderitaan, seperti yang sudah kita lihat, tidak berkaitan secara hakiki. Benar, kita memang menderita karena dosa, tetapi kita juga menderita karena kasih dan kebenaran. Kasih membuat kita rentan terhadap penderitaan berat, sampai sejauh ada yang memilih untuk tidak mengasihi. Apabila Anda mengasihi seseorang dengan mendalam, Anda rawan terhadap kepedihan dan penderitaan.
Saya kehilangan sedikit jam tidur atas burung kecil yang saya temukan di halaman karena saya memprihatinkan kesejahteraannya (burung ini berbeda dari burung yang saya ceritakan pada bagian sebelumnya). Saya sempat berkata pada diri sendiri, “Jangan bodoh. Masih banyak urusan lain yang lebih penting ketimbang seekor burung kecil yang jatuh dari sarangnya. Ada beberapa gereja yang harus diperhatikan, buat apa buang–buang waktu untuk seekor burung kecil?” Penalaran seperti itu tidak dapat menjauhkan pikiran saya dari burung itu. Akhirnya saya berkata kepada diri sendiri, “Kasih itu menyakitkan.” Saya kehilangan sedikit waktu dari jam tidur saya karena seekor burung kecil, mencoba mencari jalan untuk mengembalikannya ke habitat alaminya, dan membantu si induk burung menemukan anaknya sehingga ia dapat membimbingnya untuk hidup sebagai seekor burung. Saya tidak dapat melakukannya karena saya bukan burung!
Apakah dosa terlibat di sini? Tentu tidak, saya menderita hanya karena saya menyayangi burung itu. Betapa jauh lebih besar lagi, tentunya, penderitaan yang timbul karena kasih terhadap sesama manusia!
Tidakkah Yesus memberitahu murid-muridnya, ketika ia mengutus mereka untuk perjalanan misi yang pertama, bahwa Bapa mempedulikan bahkan tentang burung-burung pipit, jadi terlebih lagi Ia mempedulikan mereka? (Mat 10:29-31)
Saya merencanakan untuk menaruh burung ini di dalam sebuah sarang, tetapi saya kuatir jika kucing tetangga nanti mendapatkannya. Sesudah mengamati pohon–pohon di sekitar rumah, saya menemukan beberapa kemungkinan. Bisakah saya memasang jaring di sekeliling pohon tempat sarang burung itu untuk mencegah kucing memanjat pohon tersebut? Saya juga bisa menyemprotkan aroma anti-kucing pada dahannya, tetapi ternyata hal itu tidak menyurutkan si kucing. Saya membutuhkan solusi yang lebih baik. Akhirnya saya diberitahu bahwa kucing umumnya entah mengapa tidak memanjat pohon cemara, jadi saya menempatkan burung itu di pohon cemara. Persoalannya terpecahkan! Kucing itu memang tidak mau memanjatnya.
Masalah selanjutnya adalah mengembalikan burung itu kepada induknya. Wah, ada banyak hal yang harus dipecahkan, seperti apa makanan burung kecil ini dan berapa sering harus diberikan? Dapatkah ia melewati malam tanpa makan? Ketika pertanyaan–pertanyaan itu melayang–layang di benak saya, saya berkata pada diri saya, “Tidur sajalah. Masih banyak hal lain yang lebih penting yang harus diurusi.” Namun, saya tidak dapat berhenti memikirkan burung itu, dan akibatnya saya menderita kekurangan tidur.
Jangan terjebak dalam pemikiran bahwa segala penderitaan pasti berkaitan dengan dosa. Sebaliknya, penderitaan, persoalan dan kesukaran membuka peluang bagi pelaksanaan kasih. Jika tidak ada masalah di dunia ini, bagaimana kasih dapat menyatakan dirinya? Kasih bersukacita setiap kali ada kesempatan untuk menolong. Kasih tidak mengeluh karena harus menolong orang lain, ia juga tidak menganggap hina orang yang terlalu lemah untuk menolong dirinya sendiri. Kasih bersukacita atas setiap kesempatan yang terbuka untuk mengasihi dan menyayangi. Apabila Anda melihat ada orang yang bersusah payah mengangkat beban yang berat, sebagai orang yang lebih kuat, Anda menawarkan diri untuk membantu mengangkatnya.
Sangat mudah bagi kita untuk mengeluh, “Mengapa orang–orang ini tidak mau belajar isi Alkitab sendiri supaya saya tidak perlu membuang begitu banyak waktu untuk mengajar mereka firman Allah?” Fakta bahwa mereka tidak memahami Kitab Suci memberi Anda peluang untuk melayani mereka, sekalipun hal ini sangat melelahkan Anda. Sebagai contoh, saya perhatikan bahwa saudara Joe sangat kelelahan setiap kali selesai mengajar dalam sesi pelatihan Alkitab, tetapi ia tidak pernah mengeluh, atau berkata, “Mengapa hanya saya yang mengerjakan hal ini? Tidak adakah orang lain untuk mengajar mereka tentang Alkitab?” Keadaan yang sangat meletihkan ini timbul bukan karena dosa melainkan kasih, dan kesediaan untuk saling melayani.
Situasi–situasi yang menimbulkan penderitaan adalah situasi-situasi yang membuka kesempatan untuk mengasihi. Kasih tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan dirinya jika keadaan-keadaan kurang menyenangkan tidak eksis. Jika tidak ada kesempatan untuk memberi kepada orang miskin, apakah itu baik? Orang yang egois berpikir seperti itu, tetapi kasih berpikir sebaliknya. Jika ada kebutuhan yang muncul, keuangan ataupun yang lainnya, kasih bersukacita karena ada kesempatan untuk memberi. Apabila kasih tidak diberi kesempatan untuk bertindak secara praktis, ia menjadi kecewa. Jika tidak ada orang di dunia yang kehausan, tidak akan ada kesempatan untuk menawarkan segelas air minum.
DUA INJIL YANG BERTOLAK BELAKANG
Begitu banyak yang diajarkan sekarang ini bersifat egosentris tanpa kenal malu dengan penekanan yang terus menerus pada berkat–berkat material dan kemakmuran duniawi. Injil yang mengatakan bahwa jika Anda menjadi orang Kristen, Anda tidak akan mengalami masalah fisik dan keuangan. Atau jika Anda sakit, Allah akan segera menyembuhkan Anda.
Allah mungkin menyembuhkan Anda, atau Ia mungkin menunda penyembuhan itu, atau Ia mungkin tidak menyembuhkan Anda sama sekali. Jalan-Nya bukanlah jalan kita, pemikiran-Nya juga bukanlah pemikiran kita (Yes 55:8). Jika bahkan Anak-Nya yang tunggal disempurnakan melalui penderitaan (Ibr 2:10), tidakkah Allah akan juga menyempurnakan kita dengan penderitaan?
Penderitaan diperlukan untuk mencapai kesempurnaan karena kesempurnaan rohani dan moral tidak dapat diciptakan begitu saja, hanya dengan menjentikkan jari. Jika hal itu mungkin, tentulah Yesus akan dilahirkan ke dunia sebagai manusia yang sempurna. Namun, Kitab Suci dengan gamblang menyatakan bahwa ia disempurnakan melalui proses penderitaan. Kesempurnaan di tingkat rohani adalah suatu pencapaian, bukan diciptakan.
Sebagai manusia, kesempurnaan harus dicapai melalui ketaatan dan penderitaan. Yang jelas, jika ia dilahirkan dalam keadaan sempurna, Allah tidak perlu menyempurnakan dia. Kesempurnaan dari ketaatan yang setia itu merupakan sesuatu yang dipelajari, bukannya diciptakan.
Demi kelangsungan kehidupan rohani kita harus membedakan dua injil yang bertentangan ini. Pada hari–hari terakhir ini, akan menjadi semakin sulit untuk membedakan siapa yang berbicara kebenaran dan siapa yang mengajarkan kepalsuan. Mereka yang berbicara tentang kebenaran akan dipojokkan. Mereka yang lahir dari daging akan selalu menganiaya mereka yang lahir dari Roh, seperti yang sudah diperingatkan Paulus kepada kita (Gal 4:29). Mereka yang menolak penderitaan tidak pernah ragu untuk membuat orang lain menderita!
Namun, Anda tidak perlu takut jika orang lain berbicara yang buruk–buruk tentang Anda, karena itu adalah bagian dari penderitaan yang menjadi panggilan kita. Mereka yang mencintai kebenaran tidak perlu takut pada kesusahan atau celaan. Seperti yang dikatakan Yesus dalam Khotbah di Bukit, Bersukacitalah jika kamu dianiaya! (Mat 5:11,12). Untuk dapat bersukacita di bawah penganiayaan bertolak belakang dengan sifat dan cara pikir kita. Tentu saja, Yesus tidak menyuruh kita sengaja mencari masalah. Apabila penganiayaan datang menimpa kita, kita dapat bersukacita karena nabi–nabi dulu diperlakukan dengan cara yang sama (ay.12). Kita berada di dalam kumpulan orang yang sempurna, kumpulan umat Allah yang mengerti nilai penderitaan.
Injil palsu menolak segala bentuk penderitaan dan mengambil sikap yang ambivalen terhadap kekudusan dan kebenaran. Injil Yesus Kristus, sebagai kontras, menyambut penderitaan demi kebenaran. Dalam kenyataannya, kita memang dipanggil untuk menderita:
“Sebab demi Kristus kamu telah dikaruniakan bukan hanya untuk percaya kepadanya, tetapi juga untuk menderita bagi dia.” (Flp 1:29).
KEDUA INJIL ITU BERBEDA DALAM SEMANGAT, BUKAN DALAM DOKTRIN
Kedua macam injil ini berbagi dogma dasar yang sama. Keduanya setuju bahwa Yesuslah Sang Mesias, bahwa ia mati bagi dosa kita, bahwa kita ditebus oleh darahnya, bahwa ia telah bangkit dari antara orang mati, bahwa ia akan kembali lagi untuk memerintah. Itu semua merupakan doktrin dasar iman Kristen yang kita pegang bersama–sama. Sebagian besar dari mereka yang mengajarkan injil kemakmuran dan sebagainya yang berpusat pada manusia, mengaku menerima doktrin–doktrin dasar tersebut.
Lalu di mana perbedaannya? Yang berbeda adalah pada semangat dan rohnya, bukan pada dogmanya. Di dalam doktrin dasarnya, terjadi kesamaan pandangan. Yang menarik, rasul Paulus sendiri memegang doktrin yang sama dengan orang Farisi. Paulus tidak berbeda pandangan dengan orang Farisi dalam hal doktrin yang mendasar. Paulus sendiri adalah orang Farisi, dan ia tetap menjadi orang Farisi sampai akhir hayatnya. Di hadapan banyak orang Farisi dan Saduki, Paulus mengaku, “Aku adalah orang Farisi” (Kis 23:6)—menggunakan bentuk present tense. Ia sudah menjadi orang Kristen pada saat itu, jadi ia sekaligus adalah orang Kristen dan Farisi. Ini dapat terjadi karena ia menganut doktrin dasar yang sama dengan orang–orang Farisi.
Demikian pula, Yesus tidak bertentangan dengan orang Farisi dalam hal doktrin dasar. Pada kenyataannya, Yesus menyuruh orang banyak untuk menaati pengajaran orang Farisi: “Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mat 23:3). Yesus menerima pengajaran mereka, tetapi menolak perilaku mereka.
Perbedaannya bukan terletak pada doktrin dasar melainkan pada semangatnya. Di setiap gereja selalu ada orang–orang yang, walaupun menganut doktrin yang sama, memiliki semangat yang berbeda. Yesus berbeda dalam hal semangat dengan lembaga keagamaan pada zamannya. Paulus juga, seperti Gurunya, berbeda dengan kaum Farisi bukan dalam hal doktrin, tetapi dalam semangat. Di dalam kehidupan rohani sangat penting untuk menangkap kebenaran bahwa faktor yang terpenting adalah memiliki (atau tidak memiliki) hubungan dengan Allah di dalam hati kita. Segala sesuatu yang mempunyai signifikansi kekal berkisar di atas pokok ini.
Di mana hubungan hati-ke-hati dengan Allah tidak eksis, maka sekalipun kita berpegang pada doktrin yang paling fundamental dan ortodoks, kita akan berakhir dengan nihil dalam kutuk, karena hanya melalui suatu hubungan yang hidup dengan Allah kita memiliki hidup kekal.
Kaleb dan Yosua merupakan dua orang yang diizinkan masuk ke Tanah Perjanjian dari sekian banyak orang Israel yang keluar dari Mesir. Apa yang membuat Kaleb dan Yosua begitu berbeda dari umat Israel lainnya? Apakah karena perbedaan doktrin, atau perbedaan mode menyembah Allah atau perbedaan perjanjian? Apakah mereka percaya pada Allah yang berbeda? Tidak, Kaleb dan Yosua berada di bawah perjanjian yang sama dengan orang Israel lainnya. Mereka menyembah Allah yang sama dan diajarkan doktrin yang sama pula, tetapi Kaleb memiliki “roh yang berbeda” dari generasinya (Bil 14:24); ia dan Yosua dengan sepenuh hati mengikuti Allah, tidak mempertahankan apa-apa pun dari-Nya (Bil 32:12).
NILAI DAN KEMULIAAN DARI PENDERITAAN
Jika kita ingin memiliki roh yang lain, kita harus belajar untuk memahami nilai penderitaan. Jangan pernah mengira bahwa penderitaan itu tidak memiliki nilai atau makna. Di dalam Kitab Suci, tak seorang pun yang mencapai kesempurnaan atau keserupaan dengan Kristus tanpa penderitaan. Bila orang salah paham atau berbicara yang tidak enak tentang kita, marilah kita menerimanya sebagai satu kesempatan untuk melangkah lebih dekat kepada kesempurnaan.
Penderitaan itu seperti batu asah yang menggosok intan, mengasahnya dan menampilkan kecantikannya. Kita perlu menangkap nilai penebusannya—bersifat menebus karena menderita dengan sikap benar akan menghasilkan keserupaan dengan Kristus, seraya secara progresif mengikis ego kita yang lama dan dengan demikian membebaskan kita darinya. Batu asah penderitaan akan menampilkan kualitas dan kecantikan rohani dalam hidup kita.
Beberapa waktu yang lalu Terry Fox meninggal dunia sesudah mengumpulkan sejumlah besar dana bagi penelitian kanker. Setiap jiwa tersentuh oleh keteguhan agung seorang korban kanker berkaki-satu yang mencoba berlari melintasi Kanada untuk mengumpulkan dana. Dapatkah kebesaran jiwanya diwujudkan tanpa adanya penderitaan? Ia menunjukkan bahwa kebesaran lahir dari penderitaan.
Banyak cerita gemilang yang lahir di medan perang, khususnya pada saat seorang prajurit mengorbankan nyawa demi rekannya, atau kehilangan kaki demi menyelamatkan anggota pasukannya. Kita mengagumi kebesaran jiwa manusia yang timbul dari penderitaan di medan perang.
Penderitaan mengerikan yang terjadi di kamp–kamp konsentrasi selama Perang Dunia II juga memberikan kesempatan bagi kemuliaan dan keindahan jiwa untuk tampil melalui penderitaan. Banyak kisah keberanian, belas kasih dan kemurahan tanpa egois lahir di tengah–tengah kengerian kamp. Pada saat kita menyaksikan kejelekan kejahatan yang begitu menjijikkan, kita juga melihat kecantikan kebaikan dalam penampilannya yang terbaik. Namun, jika segala sesuatu terasa enak dan menyenangkan, apabila kesempatan untuk berkemenangan atas penderitaan dan kejahatan dihilangkan, peluang untuk kemenangan kebaikan juga ikut dihilangkan.
Hidup di tengah kenyamanan dan kemudahan masyarakat makmur dan menikmati kemakmuran berakibat pada kemerosotan dalam kehidupan rohani. Kita harus menaruh perhatian pada peringatan Firman Tuhan bahwa kekayaan Babel, pusat perdagangan dunia, tidak menjadi berkat baginya, tetapi merupakan kutuk yang menandai kejatuhannya (Wahyu 18). Karena tidak memahami pesan dari kejatuhan Babel, orang banyak di gereja-gereja Barat diajar untuk bergumul dalam doa dan “iman” untuk membuat Allah memberkati mereka dengan kemakmuran yang mereka dambakan. Mereka menutup telinga kepada peringatan,
“Orang yang ingin menjadi kaya jatuh ke dalam pencobaan dan jebakan, serta berbagai nafsu yang bodoh dan membahayakan yang akan menenggelamkan orang-orang ke dalam kehancuran dan kebinasaan.” (1Tim 6:9)
Kita tersentuh apabila kita bertemu seseorang yang dapat mengatasi hambatan yang tampaknya mustahil dilewati, termasuk kemiskinan, dan berhasil meraih cita–cita yang besar. Akan tetapi, adakah orang yang terkesan melihat seseorang berhasil lulus dari sebuah universitas terkenal karena ia mampu membiayai pendidikannya berkat dukungan dana dari orang tuanya yang kaya raya? Dengan uang yang cukup, hampir siapa saja bisa memperoleh gelar sarjana. Saya mengenal seorang anak orang kaya yang kuliah selama sebelas tahun untuk meraih ijazah sarjana hukum di Cambridge University di Inggris. Ia dapat bertahan sekian lama di Cambridge hanya karena ayahnya seorang pejabat tinggi yang kaya di Asia, dan dengan demikian mampu untuk membiayai pendidikannya—termasuk mobil mewahnya.
Namun, jika seseorang harus bergumul dengan kemiskinan atau kesukaran atau cacat tubuh atau bahkan ejekan sebelum meraih sukses—orang ini layak dikagumi, karena ia telah berhasil mengatasi kesulitan yang besar.
Kesengsaraan mempunyai nilai tertinggi karena ia membuka peluang kepada Allah untuk menyempurnakan kita. Akan tetapi, secara realistis, karena pikiran kita sudah begitu terlatih untuk menolak penderitaan, kita tidak mudah diyakinkan akan nilai dan artinya, sekalipun sesudah dibuktikan dari Kitab Suci bahwa kita tidak akan dapat disempurnakan tanpa penderitaan.
Namun, sangatlah penting bagi kita untuk meyakini nilainya. Karena penderitaan tidak secara otomatis memberi manfaat atau menyempurnakan kita. Apakah ia memberi manfaat atau tidak tergantung pada sikap kita terhadapnya. Jika kita menerimanya sebagai sarana penting yang dipakai Allah untuk memurnikan, membentuk dan mengubah kita, kita akan tunduk kepada kehendak dan hikmat Allah dengan kerendahan hati dan sukacita, mengikuti apa yang Yesus lakukan pada momen yang bersejarah di Getsemani—momen yang paling signifikan bagi keselamatan kita—ketika ia menyerahkan dirinya pada Bapa dengan kata–kata berikut, “tetapi bukanlah kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk 22:42).
Jika pada saat menghadapi penderitaan, kita menolaknya dengan sikap marah atau bahkan pahit, jauh dari memanfaatkan kita, sikap negatif tersebut akan merusak kita, dan jika dibiarkan, akan membawa bencana. Inilah yang terjadi atas umat Israel di padang gurun. Mereka menanggapi setiap kesulitan dan pencobaan di padang gurun dengan sikap yang negatif yang tercermin dari sungut–sungut, kejengkelan, pembangkangan, dan bahkan pemberontakan terbuka. Akibatnya mereka musnah di padang gurun; padahal mereka sudah menyaksikan berbagai mukjizat yang Allah lakukan di sepanjang perjalanan yang menunjukkan bahwa Ia hadir di tengah mereka.
Dengan semangat seperti apa kita menghadapi penderitaan, itulah yang menentukan apakah Allah dapat memakainya untuk memberi manfaat dan menyempurnakan kita.
MENGIKUTI YESUS BERSAMA-SAMA
Kesempurnaan di dalam Alkitab bukanlah hasil usaha perorangan di mana saya mengurung diri dalam sebuah ruangan khusus untuk menyempurnakan diri saya. Dalam keadaan terkurung, hari demi hari, bulan demi bulan, saya berusaha untuk mencapai kesempurnaan dengan menenggelamkan diri dalam meditasi, duduk bersila dengan mata tertutup, dan memusatkan pikiran pada perkara rohani. Tidak ditemukan di dalam Injil bahwa Yesus pernah melakukan hal yang demikian.
Menurut Kitab Suci, itu bukan caranya bagaimana kesempurnaan dapat dicapai. Cara mengejar kesempurnaan yang begini seringkali merupakan pelarian dari kenyataan dan penderitaan. Ketika Yesus berkata, “Pikullah salibmu dan ikutlah aku,” ia bukan mempromosikan injil escapism (pelarian). Sebaliknya ia memanggil kita, “Ikutlah aku ke dalam dunia yang penuh konflik dan permusuhan. Aku akan memimpin jalan dan engkau ikut di belakang. Bersama–sama kita akan menghadapi segala bentuk kejahatan dan kebusukan yang menghadang kita, dan kita akan menderita di perjalanan ini. Kita melakukan hal ini untuk membawa hidup kekal kepada mereka yang terhilang dalam kegelapan dunia ini.”
Yesus tidak berkata, “Sebagai panglima perang, aku memerintahkan kamu untuk maju berperang, dan aku akan memberi semangat dari belakang.” Tidak, Yesus berkata, “Ikutlah aku maju ke medan perang. Bersama–sama kita akan melewati penderitaan berat, tetapi itu adalah penderitaan yang menyelamatkan yang akan mengalahkan kejahatan. Jika engkau ingin menjadi muridku—engkau harus ikut bersamaku. Bersama–sama kita akan mengalahkan kejahatan dan meneguhkan kebenaran dalam rangka menyelamatkan umat manusia.”
Yesus mati untuk menebus kita, dan kita juga harus mati untuk memberitakan Injil penebusan itu (Yoh 12:24). Jika ajaran ini tidak dapat kita terima, kita bisa menyalakan televisi dan mendengarkan injil tentang Allah yang menyediakan mobil mewah serta makanan-makanan yang mahal.
Dengarkan dengan teliti dan bedakanlah suara kebenaran. Kecuali kita dapat memilah nilai penderitaan, kita tidak akan pernah tahu apa artinya menjadi murid Yesus.
BERTUMBUH MENJADI SERUPA DENGAN KRISTUS BERSAMA-SAMA
Menurut Kitab Suci, bertumbuh menjadi serupa dengan Kristus bukanlah hasil pencapaian pribadi, melainkan penyempurnaan sebuah masyarakat umat Allah. Anggota-anggota tubuh Kristus yang berbeda–beda perlu bertumbuh menuju kesempurnaan bersama–sama; atau, seperti yang ditegaskan Paulus, “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef 4:13; bdk. Kol 4:12). Perhatikan bagaimana kata “kita semua” secara kolektif mencapai “kedewasaan penuh”. Bentuk majemuk berubah menjadi bentuk tunggal!
Kesatuan merupakan inti dari kesempurnaan atau kedewasaan. Di mana ada iman yang sejati di situ ada juga kesatuan—“kesatuan iman” yang dibicarakan Paulus dalam ayat ini. Iman ini berkaitan dengan “pengetahuan yang benar tentang Anak Allah” yang dilandasi oleh pengalaman hidup. Dengan kata lain, iman yang hidup kepada Allah yang hidup merupakan prasyarat untuk disempurnakan.
Jelas bukan merupakan kehendak Tuhan untuk memiliki tangan yang sempurna, tetapi badan yang kerdil. Bagaimana itu bisa disebut manusia yang utuh atau sempurna? Alkitab menghendaki tubuh yang sempurna dari umat Tuhan, di mana setiap orang mencapai kesatuan, harmoni, dan kedewasaan seorang “manusia yang sempurna”.
Lagi pula, hal ini tidak sekadar melibatkan beberapa anggota dari tubuh Kristus. Semuanya harus sempurna atau tidak ada yang sempurna. Kalau hanya tiga atau empat orang di dalam jemaat yang sempurna, gereja itu secara keseluruhan belumlah menjadi “seorang manusia yang sempurna”. Kesempurnaan melibatkan seluruh tubuh Kristus.
Akan tetapi, kita semua menyadari bahwa setiap komunitas memiliki masalahnya sendiri–sendiri. Oleh sebab itu, banyak orang yang menghindari kehidupan bermasyarakat. Jika lima orang tinggal bersama–sama, mereka akan menciptakan lima sumber masalah, dengan lima kepribadian dan cara kerja yang berbeda—dan akibatnya terdapat lima potensial sumber pergesekan.
Kita bisa memilih untuk melarikan diri, atau menghadapi kenyataan secara jujur. Jika kita mengetahui nilai penderitaan, kita akan berkata, “Saya akan tetap tinggal karena hal ini akan memurnikan saya. Saya juga akan berusaha untuk memberi sumbangan untuk menguatkan dan membangun orang lain. Bersama–sama kami akan mengatasi kelemahan kami, dan bersama–sama pula kami akan bertumbuh menuju kesempurnaan—bertumbuh menjadi serupa Kristus”.
Tentu saja, jika kita tidak menghargai kesempurnaan atau kerukunan, atau jika kita tidak ingin menghadapi persoalan yang seringkali menyakitkan dan menuntaskannya, kita tidak akan menghendaki kehidupan bermasyarakat. Jika Anda memutuskan untuk menjalani kehidupan yang menyendiri, Anda hanya akan menghadapi satu sumber masalah: Anda sendiri. Ini tampaknya lebih mudah untuk ditangani ketimbang lima sumber masalah. Namun, dengan memisahkan diri Anda, dan dengan demikian melarikan diri dari persoalan, Anda sudah lari dari perintah Tuhan untuk mengasihi dan ini adalah suatu bentuk ketidak-tundukan. Orang yang tidak tunduk tidak akan melihat kemuliaan yang sudah Allah rencanakan bagi tubuh Kristus. Lebih buruk lagi, dengan mengasingkan diri berarti kita juga memisahkan diri dari tubuh Kristus. Bagaimana kita bisa diselamatkan jika kita tidak menjadi anggota tubuh Kristus?
Terserah kepada kita untuk memilih jalan yang lebar atau yang sempit. Allah memanggil kita untuk berjalan melalui jalan yang sempit karena itulah jalan menuju hidup yang kekal.