SC Chuah |

Trinitarian selalu mengutip Ibrani 1:8 untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah. Dari beberapa ayat yang ditengarai menyebut Yesus “Allah”, ini merupakan satu-satunya yang dikutip dari Perjanjian Lama, yaitu Mazmur 45:7, yang justru melemahkan klaim trinitarian karena Perjanjian Lama sering memakai kata elohim atau “Allah” bukan untuk mengacu kepada “Allah yang Mahatinggi”, tetapi kepada wakil-wakil Allah.

Beberapa contoh dapat dikutip tetapi yang paling jelas adalah pernyataan Yesus di Yohanes 10:34, “Kamu adalah allah” dengan mengutip Mazmur 82:6. Siapa yang dimaksud Yesus dengan “kamu”? Yohanes 10:35 menjelaskan, “kepada siapa firman itu disampaikan”. Konteks Mazmur 82:6 juga menjelaskan bahwa yang disebut “para allah” (ay.1) itu adalah hakim-hakim Israel yang bertindak sebagai wakil Allah, yang “seperti manusia kamu akan mati” (ay.7). Dengan kata lain, karena luasnya arti kata elohim dalam Kitab Suci Ibrani (PL), Ibrani 1:8 tidak dapat dipakai untuk membuktikan keilahian Yesus, atau bahwa Yesus adalah Allah yang Mahatinggi itu.

Klaim trinitarian juga diperlemahkan lebih lanjut oleh teks dan konteks dari Mazmur 45:7 itu sendiri. Mazmur 45:7 dalam bahasa Ibrani biasanya diterjemahkan seperti berikut:

Takhtamu kepunyaan Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat kerajaanmu adalah tongkat kebenaran.

Dengan kata lain, menurut tafsiran kebanyakan penerjemah, teks Ibrani dari Mazmur 45:7 tidak menyapa sang raja yang ditakhtakan itu sebagai “Allah”. Sebenarnya para sarjana PL menganggap Mazmur 45:7a sebagai salah satu kalimat PL yang paling sulit untuk baik diterjemahkan maupun ditafsirkan. Mereka tidak pasti apakah kata elohim atau ho theos (Septuaginta) harus diperlakukan sebagai vokatif (sapaan) atau nominatif (nomina).

Namun, terlepas dari faktor tatabahasa yang rumit yang sulit dipahami oleh orang awam, sebenarnya tidak rumit untuk memastikan dari konteks apakah pemazmur bermaksud untuk menyebut sang raja yang diurapi itu sebagai “Allah yang Mahatinggi”. Konteks menjelaskan bahwa raja itu adalah seorang manusia, karena dialah yang “terelok di antara anak-anak manusia” (ay.3) dan Allah adalah Allahnya (“Allah, Allahmu”, ay.8). Para sarjana Perjanjian Lama pun rata-rata mengakui bahwa raja yang dimaksud di Mazmur itu adalah seorang manusia biasa, bukan Allah yang Mahatinggi.

Jadi, teks Mazmur 45:7 mengandung ambiguitas tatabahasa yang meragukan apakah raja yang diurapi itu disapa sebagai Allah; dan konteksnya pula menutup kemungkinan kalau raja itu adalah “Allah yang Maha Tinggi” sekalipun dia disapa sebagai Allah.

Akan tetapi, bukti yang paling kuat adalah konteks dari Ibrani pasal 1 dan keseluruhan kitab Ibrani itu sendiri. Kitab Ibrani ditulis kepada orang-orang Ibrani yang mengalami penganiayaan berat demi Kristus. Surat ini ditulis supaya mereka tetap setia,  dan mereka harus dikuatkan untuk melihat bahwa Kristus lebih superior dari sistem peribadahan Yahudi yang lama. Kristus lebih superior daripada para malaikat; lebih superior daripada Abraham, Musa dan Yosua. Kristus lebih superior daripada imamat Lewi dan ritual-ritual dan semua kurban di Bait Allah. Superioritas ini didasari oleh fakta bahwa Yesus adalah Anak Allah yang telah dibangkitkan dari kematian, bukan karena dia Allah yang Mahatinggi. Jika Yesus adalah Allah yang Mahatinggi dalam bentuk manusia, penulis Ibrani seharusnya dapat menghemat banyak tenaga, papirus (kertas) dan tinta. Dia hanya perlu menyatakan Yesus itu superior di atas segala sesuatu karena dia adalah Allah. Habis cerita. Hanya orang bebal yang membutuhkan penjelasan lanjutan, dan seluruh kitab Ibrani akan tampak berlebihan.

Singkat kata, sebagian besar dari Ibrani 1 membandingkan Anak dengan para malaikat. Jadi Anak tidak mungkin seorang malaikat, dan dia juga tidak mungkin Allah!

Catatan Tambahan: Mazmur 45 adalah sebuah nyanyian perkawinan yang diberi judul “nyanyian kasih”, yaitu sebuah himne puitis. Para sarjana Alkitab pada umumnya tidak menganggap genre puitis sebagai sumber yang teguh untuk membangun teologi.

 

Berikan Komentar Anda: