Pastor Eric Chang | Manusia Baru (8) |

Persoalan serius dari dosa–dosa yang terjadi sesudah kelahiran kembali perlu disikapi dengan hati–hati: Mengapa orang Kristen masih melakukan dosa sesudah mereka lahir baru? Pertanyaan ini pasti pernah muncul dalam benak Anda dari waktu ke waktu. Mungkin Anda mengenal seseorang yang sudah dibaptis dan berkata bahwa ia sudah dilahirkan kembali. Anda tentunya tidak ingin meragukan pernyataan orang itu, tetapi yang Anda lihat di dalam kehidupannya adalah ketidaksempurnaan yang mencolok, bahkan dalam hal yang jelas–jelas melanggar firman Tuhan. Atau, Anda menemui hal ini bahkan dalam hidup Anda sendiri, lalu Anda bertanya, “Jika saya sudah dilahirkan kembali, mengapa saya masih melakukan hal yang tidak menyenangkan hati Tuhan? Mengapa saya masih melakukan dosa padahal saya sudah dilahirkan kembali?

Saya ingin membahas permasalahan ini di bawah terang 1 Yohanes 3.9.,

“Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.”

Ayat ini sangat penting dalam pembahasan kita tentang kesempurnaan (atau kekudusan) di dalam kehidupan  Kristen. Kita tak dapat berbicara tentang pembaruan dan kesempurnaan tanpa memahami ayat yang penting ini. Penjelasan atau eksposisi yang tidak benar akan mengakibatkan kesalahan yang berbahaya.

Beberapa orang Kristen mengartikan ayat ini sebagai eradikasi dosa secara total. Jika kita membaca pernyataan, “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi” dan “ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah”, kita harus mengakui bahwa prima facie (sekilas pandang) ayat ini memang menyatakan bahwa Anda secara absolut tidak dapat berdosa lagi. Dalam kasus ini, jika Anda melakukan dosa apa pun, Anda tidak lahir dari Allah. Ini merupakan dasar pandangan dari teologi eradicationist. Ajaran mereka mengatakan bahwa natur Anda yang berdosa telah dihapuskan dan diganti dengan natur yang baru yang ilahi, menjadikan Anda tak dapat berbuat dosa lagi. Jadi jika Anda melakukan dosa, Anda dianggap belum dilahirkan dari Allah.


Pandangan Yuridis tentang Keselamatan

Mari kita telusuri pertanyaan yang lebih mendasar lagi: Apa yang terjadi pada diri kita saat diselamatkan? Ada dua pendapat ekstrim. Pendapat pertama, yang diterima oleh mayoritas kalangan Kristen masa kini, yaitu keselamatan adalah murni persoalan yuridis atau hukum. Kristus mati bagi kita dan kita mati bersama dengan dia dalam suatu pengertian hukum. Sesudah mati bersama-sama dengan dia dalam pengertian tersebut, kita dibenarkan, dan dengan demikian dibebaskan dari kesalahan dosa. Definisi pembenaran seperti ini, yang dianut secara meluas sekarang ini, menempatkan pembenaran sebagai sesuatu yang sepenuhnya dalam bidang hukum.

Berdasarkan pemahaman ini, tidak menjadi soal apakah orang yang sudah dibenarkan itu dalam kenyataannya masih hidup di dalam dosa atau tidak, atau apakah kehidupan orang itu mengalami perubahan atau tidak. Menurut pemahaman ini, pembenaran hanya dilihat dari sisi hukum saja.

Anda tentunya sangat mengenali ajaran ini. Penjelasannya dapat dibuat seperti ini: Ketika pertama kali saya menyatakan percaya, suatu proses hukum terjadi di mana saya diampuni dan dibebaskan dari dosa. Di dalam kenyataan tidak ada suatu pun yang terjadi kepada saya, atau dalam diri saya, kecuali sekarang saya percaya kepada Yesus. Satu-satunya hal yang berbeda adalah sekarang saya percaya, dan oleh karena itu saya berada di dalam satu posisi hukum yang baru di hadapan Allah. Dalam kehidupan sehari–hari, saya masih seorang pendosa seperti sebelumnya. Mungkin suatu saat, sebelum saya mati, saya dapat melihat sedikit perbaikan moral.

Kalau ditanya mengapa orang Kristen terus berbuat dosa, jawabannya sederhana: Saya berbuat dosa karena tidak ada yang berubah secara aktual di dalam diri saya sejak menjadi orang Kristen. Jika Anda menanyakan mereka apakah “kekudusan” itu esensial, jawaban mereka adalah “tidak”, karena dalam pandangan mereka keselamatan itu murni masalah hukum saja. Menurut mereka, dalam kehidupan sehari–hari, tidak menjadi persoalan apakah saya menjadi lebih rohani atau lebih seperti Kristus, atau bahkan apakah saya menjadi orang yang lebih baik atau tidak.

Kemajuan rohani dan moral merupakan sesuatu yang baik, tentu saja, tetapi tidak ada hubungannya dengan pembenaran, pengampunan atau keselamatan. Tidak menjadi soal apakah Anda kudus atau tidak. Kenyataannya, beberapa orang memandang bahwa mengejar kekudusan itu berbahaya karena dapat menjerumuskan orang pada upaya memperoleh keselamatan lewat usaha manusia dan perbuatan baik; jadi lebih aman menahan diri dari perbuatan baik, dan sepenuhnya berlindung di bawah keamanan posisi hukum.


Pandangan Ekstrim yang Lain: Eradikasionisme

Lawan dari pandangan yuridis ini adalah pandangan eradikasionis yang mengatakan bahwa orang Kristen sama sekali tidak dapat berbuat dosa lagi, karena ia secara sempurna dan absolut tanpa dosa. Ajaran ini terkenal di antara Gerakan-gerakan Kekudusan (Holiness Movements). Mengutip 1 Yohanes 3.9, mereka akan berkata, “Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa mereka yang lahir dari Allah tidak berbuat dosa lagi. Ia secara mutlak tidak dapat berbuat dosa. Anda tidak boleh mengaburkan arti dari kata–kata tersebut.”

Ada yang mencoba melunakkan pernyataan tersebut dengan penjelasan ini: Yohanes menggunakan present continuous tense (“Setiap orang yang lahir dari Allah tidak terus menerus berbuat dosa lagi), dengan demikian pernyataan tersebut perlu diartikan sebagai, “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak memiliki kebiasaan berbuat dosa lagi”. Ia mungkin saja dari waktu ke waktu melakukan perbuatan dosa, tetapi ia tidak lagi memiliki kebiasaan berbuat dosa.

Walaupun sudah dilunakkan, pandangan ini masih menetapkan standar yang jauh lebih tinggi ketimbang pandangan yuridis. Mereka yang tidak memiliki kebiasaan berbuat dosa lagi tentunya lebih banyak menjalani kehidupannya di dalam kekudusan. Standar yang lebih tinggi ini bertentangan dengan ajaran standar yang menyingkirkan kekudusan dari keselamatan.

Menurut pandangan yang kedua ini, seorang Kristen sejati tidak memiliki kebiasaan berbuat dosa karena natur Allah (“benih”) tinggal di dalam dia. Akan tetapi, ini menimbulkan suatu masalah: Bagaimana untuk mencocokkannya dengan bagian kedua dari pernyataan Yohanes (“ia tidak dapat berbuat dosa”)? Bagian yang pertama (“Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi”) dapat dijelaskan dengan menambahkan kata “kebiasaan”, tetapi bagian kedua dari pernyataan itu nampaknya menegaskan bahwa orang Kristen tidak dapat berbuat dosa.

Tidak heran kalau banyak orang mendapati pernyataan di 1 Yohanes 3.9 ini menimbulkan banyak pertanyaan. Mungkin Anda belum pernah mendengar ayat ini dibahas di gereja. Bagaimana kita harus mengartikan ayat ini? Jika kita berkata orang Kristen sejati tidak mempunyai kebiasaan untuk berdosa lagi, kita mendapat masalah karena ayat yang sama berkata ia “tidak dapat” berbuat dosa. Nampaknya ini mengkorsleting argumen dari present continuous tense.

Kita harus menanganinya dengan hati–hati karena kita dapat terayun–ayun antara ekstrim yang satu dengan yang lain. Beberapa pendukung gerakan Methodis yang awal sangat bersemangat untuk mengajukan doktrin kekudusan berdasarkan ayat ini (ayat yang sering dikutip oleh John Wesley). Bahayanya adalah kita bisa dengan mudah bergeser ke doktrin eradikasionis yang mengatakan bahwa orang yang lahir dari Allah tidak pernah dapat berbuat dosa lagi. Bagaimana itu bisa terjadi melainkan kita menjadi sempurna tanpa dosa? Mereka yang berani menyatakan bahwa mereka sudah sempurna tanpa dosa dan tidak dapat berbuat dosa lagi adalah orang yang lebih banyak semangatnya ketimbang pengetahuan.


Keselamatan Bukan Sekadar Urusan Yuridis

Mungkinkah orang Kristen berbuat dosa lagi? Sebagaimana yang sudah kita ungkapkan, pertanyaan yang lebih mendasar adalah: Apakah yang terjadi saat kita menjadi Kristen? Apakah kita secara hukum diampuni dan dibenarkan sekalipun kita tidak diubahkan dalam kenyataan? Apakah kita mengaku memiliki Roh Kudus, tetapi menjalani hidup yang kalah terus menerus, mempermalukan Tuhan setiap hari? Apakah kita mengakui bahwa kemajuan rohani itu baik, tetapi mengira bahwa hal itu merupakan suatu opsi, yang cocok hanya bagi orang Kristen yang berambisi? Apakah kita menganggap bahwa orang Kristen biasa–biasa tidak perlu mengejar kekudusan?

Bagi kebanyakan orang, menjadi orang Kristen tidak lebih dari sekadar berganti label: Sebelumnya kita bukan Kristen, tetapi sekarang kita memiliki label yang baru. Kita melepaskan label lama dan mengenakan label baru yang tertulis “Kristen”. Namun, secara batiniah kita belum berubah. Semuanya masih tetap sama seperti sebelumnya.

Gambaran Kekristenan seperti ini sangat menyedihkan. Jadi, apakah keselamatan itu hanya sekadar suatu tindakan yuridis? Ketika Anda menjadi orang Kristen, apakah Allah sekadar berkata, “Bagus, engkau sekarang sudah percaya kepada Yesus. Ini daftar dosa–dosamu yang dulu; Aku mencoret dan membatalkannya”?

Memang benar Kolose 2:4 mengatakan, “Ia… menghapuskan surat hutang yang oleh ketentuan–ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita.” Tidak diragukan lagi, keselamatan memang memiliki suatu aspek legal; keselamatan memang melibatkan suatu prosedur hukum, suatu transaksi legal. Di dalam pembenaran, kita memang secara hukum dibebaskan oleh Hakim dan diberikan pengampunan. Kita bersalah karena dosa–dosa yang sangat banyak, tetapi oleh karena Yesus telah mati untuk kita, Allah Bapa menyatakan pembebasan kita dari dosa.

Itu semua memang benar. Persoalannya muncul jika kita berhenti di sana dan mengatakan bahwa pembenaran itu semata-mata suatu persoalan legal dan tidak ada hubungannya dengan pengubahan karakter kita yang berdosa. John Wesley menghindari kesalahan ini.

Setiap gereja yang hanya mengajarkan pembenaran yuridis ini membuka diri kepada bahaya kemunafikan. Tanpa kekudusan sejati, gereja akan kehilangan kuasa. Di dalam ajaran yuridis ini, Anda dapat melakukan suatu transaksi legal dan tetap menjadi manusia lama seperti sebelumnya. Dosa–dosa Anda selanjutnya akan dilunasi oleh ‘rekening’ Yesus karena ia akan terus melunasi hutang–hutang Anda. Banyak orang Kristen mengira bahwa mereka dapat terus melakukan dosa karena Yesus akan terus melunasi hutang mereka di masa depan sama seperti yang dilakukannya atas hutang masa lalu.

Memang benar Yesus telah membayar hutang kita, tetapi apakah ceritanya berhenti di titik itu? Jika kita selamat berdasarkan kedudukan yuridis kita, bagaimana mungkin gereja dapat menjadi terang dunia? Dengan cara apa gereja menjalankan fungsinya sebagai terang dunia? Apakah gereja sekarang sudah menjadi terang dunia (Mat 5:14)? Masih dapatkah kita berbicara tentang kemuliaan gereja sebagaimana yang dibicarakan Paulus (Ef 3:21; 5:27)? Dapatkah Paulus berbicara tentang kemuliaan Allah di dalam gereja jika ia melihat keadaan gereja–gereja  sekarang? Gereja seharusnya mencerminkan kemuliaan, kuasa dan kekudusan Kristus.


Pembebasan Tanpa Transformasi

Izinkan saya menggunakan suatu analogi untuk menggambarkan betapa seriusnya persoalan ini. Bayangkan Anda seorang pecandu narkoba, dan suatu hari polisi mengerebek rumah Anda serta menemukan obat–obat terlarang itu dalam jumlah besar di rumah Anda. Lalu Anda diseret ke pengadilan. Kemudian pengadilan memutuskan untuk mendenda Anda dalam jumlah milyaran rupiah, dan kegagalan untuk melunasinya akan mengakibatkan hukuman penjara yang amat panjang. Mari kita bayangkan ada seseorang yang baik hati yang, di luar dugaan, mau membayar denda Anda. Anda sekarang dibebaskan secara hukum, atau diampuni, dan dilepaskan karena ada yang membayar denda tersebut untuk Anda. Sangat luar biasa! Itulah bagian yuridis dari kasus itu.

Namun, apakah pembebasan itu berguna jika Anda belum lepas dari kecanduan tersebut? Anda akan kembali kepada narkoba. Bukankah kisah sedih itu akan terulang lagi? Tidakkah akan Anda kembali kepada narkoba, ditangkap sekali lagi, mengharapkan kawan Anda untuk membantu Anda sekali lagi? Ini menjadi suatu lingkaran yang tiada akhirnya.

Itukah gambaran kehidupan Kristen? Apakah Anda akan terus menerus di dalam hidup Anda berkata, “Tuhan, ampuni saya yang berbuat dosa lagi. Ada sesuatu yang memaksa saya untuk berbuat dosa.” Yesus membayar dendanya, tetapi kemudian Anda berbuat dosa lagi. Inikah hidup berkelimpahan yang Yesus janjikan?

Jika seorang pecandu dibebaskan karena ada pihak ketiga membayar dendanya, apakah si pembayar denda ini sudah berbuat baik kepada si pecandu? Namun, apa gunanya pengampunan jika saya masih berada di bawah belenggu dosa? Jika keselamatan hanya merupakan persoalan yuridis semata–mata, bagaimana kita dapat berbicara tentang keselamatan yang mulia? Jika seorang Kristen masih diperbudak oleh dosa, ia tidak lebih baik daripada si pecandu yang terikat pada narkoba.

Oleh karena itu, bahaya dari doktrin keselamatan yang murni yuridis seharusnya jelas terpampang dan dapat dilihat semua orang. Ajaran ini membiarkan orang Kristen tetap berada di bawah kendali dosa. Ia terus berbuat dosa karena paksaan dari sifat lamanya. Ia masih terus melakukan yang jahat yang tidak ingin ia lakukan (Rm 7:19). Seperti seorang pecandu narkoba, ia mau tidak mau tetap berbuat dosa karena ia dipaksa oleh kuasa ketagihan dosa yang diam di dalam dagingnya. “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Rm 7:24). Pembebasan secara yuridis belaka tidak menyelesaikan akar persoalan. Saya mungkin berterima kasih pada Yesus karena telah membayar hutang saya, tetapi akar persoalannya masih ada di sana. Apa yang pernah mengendalikan saya dulunya masih mengendalikan saya sekarang. Saya masih tetap menjadi hamba dosa.


Kebebasan dari Kuasa Dosa

Namun, Kitab Suci memberi gambaran yang sangat berbeda tentang keselamatan. Berdasarkan firman Allah, saya berani menegaskan bahwa keselamatan tidak sekadar pembebasan dari kesalahan dosa, tetapi juga dari kuasa dosa. Jika saya masih belum dibebaskan dari kuasa dosa, saya belum diselamatkan dari dosa sama sekali.

Kita menyatakan dengan nyaring kemerdekaan dari kesalahan dosa, tetapi itu hanya menyelesaikan sebagian dari persoalan. Kemerdekaan dari kesalahan dosa memang sesuatu yang mengagumkan, tetapi saya belum benar–benar diselamatkan dari dosa kecuali Tuhan juga membebaskan saya dari kuasa dosa yang ada di dalam diri saya. Kasarnya, jika Tuhan tidak ingin atau tidak dapat membebaskan saya dari kecanduan dosa, maka Penyelamat macam apa Dia itu? Bagaimana kata “Penyelamat” dapat diberlakukan  kepada Dia? Apakah Ia menyelamatkan kita hanya dari satu aspek dosa, yakni kesalahan dosa, tetapi membiarkan kita masih di bawah kuasanya? Dapatkah ini disebut “keselamatan”?

Lagi pula, jika Ia tidak mematahkan kuasa dosa di dalam diri saya, berarti Ia yang akan selama-lamanya melunasi hutang saya. Keselamatan macam ini justru membuat saya lebih melarat dari sebelumnya. Saya tenggelam dalam kehidupan yang menyengsarakan, karena saya akan senantiasa mendukakan Tuhan yang saya kasihi. Saya akan terus mengeluh, “Aku, manusia celaka!” (Rm 7:24).

Banyak orang yang dibesarkan di dalam doktrin keselamatan yang semata-mata yuridis. Banyak yang menjalani hidup Kekristenan yang selalu kalah, selalu memohon pengampunan, karena tidak berdaya untuk hidup berkemenangan. Mereka jatuh dari satu kekalahan kepada kekalahan yang lain, gagal bahkan di dalam hal-hal paling mendasar seperti hubungan antar-perseorangan. Hubungan dengan keluarga di rumah berantakan, demikian pula dengan hubungan di antara teman-teman—yang akhirnya menimbulkan rasa frustrasi, bahkan putus asa.

Terus terang saja, kecuali kalau keselamatan membebaskan kita dari kuasa dosa di dalam hidup saya dan Anda, maka kita tidak membutuhkan “keselamatan” yang semacam ini, sebagaimana seorang pencandu narkotik tidak membutuhkan pengampunan yang tidak membebaskan dia dari kecanduannya.

Paulus  memiliki kabar baik bagi kita,

“Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut” (Rm 8:2).

Keseluruhan Roma 8 menguraikan tentang hal ini. Jika Roh yang memberi hidup dalam Kristus bekerja di dalam diri kita, kita akan mengalahkan dosa. Terlalu banyak orang Kristen  yang kehilangan pandangan tentang kabar baik di dalam pasal ini, yang memberi kita kunci kepada kemenangan rohani.

Kita perlu ingat bahwa Kitab Suci tidak mengajar tentang eradikasi dosa, tetapi mengajarkan suatu doktrin kemenangan. Kemenangan menyatakan kehadiran musuh, dan musuh itu adalah dosa. Walaupun dosa tinggal di dalam daging kita, kita dapat berkemenangan atasnya karena Roh Allah dan natur-Nya ada di dalam kita.

Jika keselamatan itu semata-mata suatu persoalan yuridis, kita tak perlu berbicara tentang kehidupan atau pertumbuhan atau kemenangan dalam kehidupan kita sehari–hari karena konsep–konsep tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan konsep keselamatan yuridis, yang menurunkan keselamatan kepada pengampunan.

Akan tetapi, kehidupan jauh lebih banyak kaitannya dengan kekuatan—kekuatan Allah—yang memberikan dinamisme baru kepada kita. Hidup baru itu dimulai dari lahir baru (kelahiran kembali), memasuki proses pertumbuhan (pembaruan), dan bertumbuh menuju kedewasaan (kesempurnaan, keserupaan dengan Kristus).

Dalam firman Allah, keselamatan itu jauh melebihi pengampunan, walaupun pengampunan sendiri memang merupakan hal yang cukup luar biasa. Lagi pula, pengampunan tidak dapat disamakan dengan kelahiran kembali, tetapi pengampunan membuka pintu kepada hidup baru di dalam Kristus dan keseluruhan proses yang mengikuti. Oleh karena itu, jika kita menyamakan keselamatan hanya dengan pengampunan, dengan demikian kita mengeluarkan kelahiran kembali dari keselamatan, dan jatuh ke dalam kesalahan yang berbahaya. Keselamatan dari Allah mencakup jauh lebih banyak hal ketimbang pengampunan, tetapi mewujudkan suatu manusia baru di dalam Kristus. Keselamatan jauh melebihi suatu tindakan yuridis; tetapi suatu karya kreatif yang mewujudkan “ciptaan baru” (2Kor 5:17; Gal 6:15). Keselamatan bukan sekadar masalah yuridis, tetapi masalah kehidupan.


Bahaya Masa Bayi Rohani

Meskipun kita sudah dilahirkan kembali, bukankah kita masih jatuh dari waktu ke waktu? Hal ini bisa saja terjadi lebih sering dari yang kita ingini. Mengapa kita masih berbuat dosa walaupun kita sudah memiliki natur yang baru di dalam diri kita?

Kita sudah membahas tentang bahayanya jika kita tetap bertahan sebagai bayi rohani. Walaupun setiap orang harus melalui masa bayi, kita tidak ingin menjadi bayi lebih lama dari yang diperlukan.

Mari kita lihat tiga bahaya utama yang mengancam bayi rohani.


Bahaya Pertama: Ketidaktahuan

Bahaya pertama adalah ketidaktahuan. Anak kecil tidak mengetahui banyak hal tentang kehidupan, dan oleh karena itu mereka sering disebut naif. Mereka berpikir dengan cara yang sederhana walaupun persoalan yang dihadapinya rumit. Ketidaktahuan memimpin orang kepada dosa akibat kurangnya pengetahuan. Mereka melakukan hal–hal yang tidak mereka ketahui sebagai perbuatan dosa.

Paulus tidak menyebut orang–orang Korintus sebagai “manusia rohani”, tetapi sebagai “manusia duniawi” dan “bayi dalam Kristus” (1Kor 3:1). Tiga pasal kemudian, pertanyaan “Tidak tahukah kamu?” diulangi sebanyak enam kali hanya dalam satu pasal saja (1Kor 6:2,3,9,15,16,19). Ketidak-tahuan mereka akan hal-hal rohani menimbulkan rasa prihatin yang mendalam pada sang rasul. Ia menunjukkan enam hal yang seharusnya telah diketahui oleh orang–orang Korintus, tetapi ternyata tidak. “…tidak tahukah kamu, bahwa orang–orang kudus akan menghakimi dunia?” (ay.2); atau bahwa “orang–orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah?” (ay.9); atau bahwa “tubuhmu adalah anggota Kristus?” (ay.15); dan sebagainya. Orang–orang Korintus belum menangkap kebenaran–kebenaran rohani yang mendasar ini karena mereka adalah “bayi dalam Kristus”. Masih kedagingan dan tidak dewasa, mereka tidak memahami kebenaran–kebenaran yang penting dalam kehidupan  rohani.

Ketidaktahuan pada masa bayi rohani dapat dilihat terutamanya dari kurangnya pengetahuan akan firman Allah. Yohanes berkata, “Anak–anakku, hal–hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa” (1Yoh 2:1). Bagaimana surat Yohanes dapat membuat orang berhenti berbuat dosa? Dengan cara mengajarkan kebenaran–kebenaran rohani yang penting kepada mereka yang tidak tahu firman Allah.


Bahaya Kedua: Kebiasaan Daging yang Lama

Bahaya kedua dalam masa bayi rohani adalah pola pikir kita belum diperbarui. Anak–anak secara alami bersikap egois dan kedagingan. Pusat perhatian mereka adalah aku dan milikku. Segala ucapan dan tindakan mereka hanya seputar diri mereka sendiri. Mereka nyaris tidak mampu untuk memikirkan hal–hal lain di luar diri dan kepentingan mereka.

Demikian pula, ketika Anda pertama kali menjadi orang Kristen, cara hidup lama Anda yang mementingkan diri sendiri itu masih memiliki pengaruh yang kuat. Dalam hidup lama Anda, yang menjadi pusat di dalam setiap pikiran dan tindakan adalah diri Anda sendiri. Pikiran Anda berputar di sekitar diri Anda sendiri: studi Anda, masa depan Anda, profesi Anda, keluarga Anda, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan Anda. Kebiasaan dan pola pikir ini sukar untuk dipatahkan, dan dapat membawa kita untuk berbuat dosa di dalam kehidupan baru. Itu sebabnya mengapa akal budi harus diperbarui (Rm 12:2; Ef 4:23).

Ketika saya pertama datang ke Hong Kong dari China, saya membawa kebiasaan berbicara bahasa Mandarin kepada semua orang. Hampir setiap orang di China mengerti bahasa Mandarin, dan sebagian besar dari mereka menggunakannya dalam percakapan sehari–hari, dengan logat daerah masing-masing. Saya mengira setiap orang di Hong Kong mengerti bahasa Mandarin. Namun, ketika saya menggunakan bahasa Mandarin, ternyata mereka tidak mengerti apa yang saya ucapkan! Saya berpikir, “Apakah saya berada di negara asing? Mereka kelihatannya seperti orang China, tetapi mereka tidak berbahasa China!” Bagi saya, sangat berat untuk mematahkan kebiasaan berbicara menggunakan bahasa Mandarin.

Ada lagi kebiasaan saya yang lain. Di China pada masa itu, kami saling menyapa dengan sebutan tongzhi (kamerad). Dengan rasa percaya diri, ketika di Hong Kong, saya menyapa setiap orang dengan sebutan tongzhi. Ketika saya naik bus, saya berkata kepada kondektur, “Tongzhi, saya mau ke…” lalu ia menatap saya dengan pandangan aneh. Saya sering tertanya-tanya, apakah saya telah melakukan hal yang salah? Kebiasaan itu sudah sangat mengakar di dalam diri saya, dan saya terus memakai sapaan seperti itu walau sudah berada di Hong Kong, di mana sapaan seperti itu justru tidak disukai oleh warga setempat.

Demikian juga, kita membawa kebiasaan lama kita ke dalam hidup baru di dalam Kristus. Akibatnya, kita sering melakukan hal yang menyinggung perasaan orang lain, dan kadang kala menyakiti hati mereka tanpa disengaja. Kita perlu diperbarui di dalam roh dan pikiran kita (Ef 4:23). Agar hal ini bisa terjadi, kita perlu menanggalkan manusia lama yang biasa kita pakai, dan hidup sebagai pribadi baru yang telah diciptakan menurut kehendak Allah (Ef  4:22-24; bdk. Kol 3:1-17).


Bahaya Ketiga: Tidak Tinggal di dalam Tuhan

Bahaya ketiga pada masa bayi rohani adalah orang Kristen yang baru belum belajar bagaimana tinggal di dalam Kristus (yaitu, hidup di dalam Kristus). Ada kalanya kita tinggal di dalamnya, ada kalanya tidak. Akibatnya, kita mengalami pasang–surut, ke sana ke mari, susah–senang, membaik dan memburuk. Kita senantiasa menghadapi masalah karena kita belum belajar untuk secara konsisten tinggal di dalam dia, yaitu di dalam persekutuan yang terus menerus dengan Kristus. Kita masih belum tahu bagaimana berkomunikasi.

Menjalin persahabatan itu memakan waktu. Pada masa bayi, kita masih memandang Tuhan sebagai teman yang tidak akrab. Kita belum mengenal Dia dengan baik, dan belum bisa bercakap–cakap dengan Dia seperti bercakap–cakap dengan seorang sahabat akrab. Kita berbicara pada-Nya dengan kekakuan yang tinggi.


“Anak-anak”

Sekarang kita berada dalam posisi yang lebih baik untuk memahami ayat ini: “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah” (1Yoh.3.9).

Jika ayat ini diartikan sebagai kemustahilan untuk berbuat dosa, kita akan masuk ke dalam kontradiksi dengan pernyataan–pernyataan lainnya, seperti 1 Yohanes 2:1,

“Anak–anakku, hal–hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara kepada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil.”

Justru karena anak–anak dapat dan memang berbuat dosa yang mendorong Yohanes untuk menulis kepada mereka untuk memperingatkan mereka akan bahaya jebakan dosa. 1 Yohanes 3:9 tidak boleh dilihat secara terpisah dari ayat-ayat lainnya, tetapi dalam konteks keseluruhan surat Yohanes.

Ayat yang baru saja kita kutip berisi istilah yang menarik: anak–anak. Kata itu berasal dari kata Yunani teknion (jamak: teknia) yang merupakan sapaan akrab (diminutive) dari kata teknon. Kata ini muncul tujuh kali dalam surat Yohanes yang pertama (2:1,12,28; 3:7,18; 4.4; 5.21).

Yang menarik adalah, surat Yohanes ini ditujukan terutama kepada “anak–anak”, yaitu orang-orang Kristen baru. Surat Yohanes ini dituliskan terutamanya kepada “bayi–bayi rohani”. Jika kita mencermati ketujuh pemunculan kata “anak–anak” dalam suratnya ini, kita dapat melihat bahwa Yohanes terutama memberi mereka peringatan, anjuran dan wejangan. Ia memprihatinkan keamanan rohani mereka.


Tujuh Kebenaran Penting Bagi “Anak-anak”

Para “anak-anak” berulangkali diingatkan tentang kebenaran–kebenaran dasar yang perlu diterapkan. Mengingat adalah bagian yang penting dalam pembelajaran. Mari kita telusuri ayat–ayat yang memuat kata “anak-anak” ini untuk melihat pola umum dari kebenaran yang ingin disampaikannya:

Yohanes menyapa “little children” pertama kali di 1 Yohanes 2:1:

“Anak–anakku, hal–hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara kepada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil”.

Berbuat dosa akan memberi Iblis, yaitu “pendakwa saudara–saudara kita” (Why 12:10) kesempatan yang dia cari–cari. Mereka diingatkan bahwa terhadap pendakwa yang tak kenal lelah dan juga tak kenal ampun ini, “yang mendakwa mereka siang dan malam di hadapan Allah kita” (Why 12:10), satu-satunya harapan mereka ada pada Yesus, Pengantara kita.

“Aku menulis kepadamu, hai anak–anak, sebab dosamu telah diampuni oleh karena nama-Nya” (1Yoh 2:12).

Mereka diingatkan akan kebaikan Allah kepada mereka demi Yesus. Kebaikan-Nya tidak boleh dianggap pasti begitu saja.

“Maka sekarang, anak–anakku, tinggallah di dalam Kristus, supaya apabila Ia menyatakan diri-Nya, kita beroleh keberanian percaya dan tidak usah malu terhadap Dia pada hari kedatangan-Nya.” (1Yoh 2:28)

Mereka diingatkan tentang hari penghakiman.

“Anak–anakku, janganlah membiarkan seorangpun menyesatkan kamu. Barangsiapa yang berbuat kebenaran adalah benar, sama seperti Kristus adalah benar.” (1Yoh 3:7)

Anak–anak rawan terhadap penyesatan. Mereka diingatkan untuk melakukan kebenaran. Ini tentunya bukan hal baru bagi mereka. Perlu diperhatikan juga, bahwa pernyataan ini menolak pandangan keselamatan yang semata-mata yuridis ketika disebutkan bahwa “orang yang benar” adalah orang yang “berbuat kebenaran”. Ayat yang berikutnya (ay.8) menyatakan dengan tegas bahwa “barangsiapa yang tetap berbuat dosa, berasal dari Iblis.” Barangsiapa yang secara ekslusif (yakni meniadakan keperluan untuk “berbuat kebenaran”) berpegang pada pandangan yuridis tentang keselamatan dan “tetap berbuat dosa” haruslah mencermati kata-kata ini, karena mereka sedang hidup menipu diri sendiri.

“Anak–anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1Yoh 3:18)

Kasih adalah unsur sentral dalam berbuat kebenaran. Perhatikan penekanannya yang terus menerus pada tindakan dan bukannya pada kata–kata.

“Kamu berasal dari Allah, anak–anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi–nabi palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia.” (1Yoh 4:4)

Mereka diingatkan bahwa mereka telah mengalahkan roh–roh nabi palsu (4.1) dan roh antikristus, yang sudah ada di dalam dunia (4.3). Ini bisa terjadi karena Roh Kudus sudah diam di dalam diri mereka (“Roh yang ada dalam kamu”).

Bagaimana mungkin mereka dapat lahir dari Allah dan menjadi “anak-anak” kalau mereka belum, oleh anugerah Allah, mengalahkan roh–roh kegelapan? Bukankah fakta bahwa kita telah dilahirkan baru membuktikan kemenangan Allah di dalam kita atas kuasa kegelapan? Itu sebabnya, hidup baru dimulai dengan suatu kemenangan yang mulia, dan kemudian berlanjut dalam kemenangan–kemenangan yang secara progresif meningkat sampai pada kemenangan akhir.

Ayat terakhir dari surat Yohanes ini ditujukan kepada “anak–anak”. Mereka dengan penuh kasih namun juga dengan tegas, diingatkan terhadap bahaya berhala–berhala yang mengancam kehidupan rohani mereka. Berhala memutuskan hubungan kita dengan Allah. Anak–anak sangat mudah tertarik kepada godaan berhala-berhala yang memikat, entah itu berupa godaan kekayaan materi, ataupun ajaran sesat yang menggelorakan kedagingan, atau apa saja yang dapat mengalihkan perhatian mereka dari Tuhan. Karena itu, adalah persoalan hidup atau mati bagi “anak-anak” diingatkan untuk

“waspadalah terhadap segala berhala” (1Yoh 5:21).


Tinggal di dalam Tuhan

Sekarang kita memiliki pemahaman yang lebih baik untuk membahas kembali pertanyaan semula: Dalam terang 1 Yohanes 3:9, apakah orang Kristen dapat atau tidak dapat berbuat dosa? Sebagian dari pertanyaan itu sudah terjawab. Sebagaimana yang sudah kita lihat, anak-anak dalam Kristus dapat berbuat dosa (1Yoh 2:1) dan dapat digoda oleh segala macam berhala (1Yoh 5:21). Peringatan terhadap bahaya berhala menunjukkan bahwa anak-anak secara khusus sangat rawan terhadap bahaya penyembahan berhala. Jika orang Kristen tidak dapat berbuat dosa, peringatan ini tidak relevan. Demikian juga, tidak ada gunanya Yohanes menulis, “…hal-hal ini kutuliskan padamu supaya kamu jangan berbuat dosa” (1Yoh 2:1)

Maka jelas berdasarkan konteks yang lebih luas dari surat Yohanes, pernyataan di 1 Yohanes 3:9 tidaklah mendukung pandangan kaum eradicationist. Yohanes tidak mengajarkan bahwa mereka yang lahir dari Allah tidak dapat berbuat dosa.

Lalu bagaimana kita memahami pernyataan “ia tidak dapat berbuat dosa?” Kuncinya terletak pada kata abide yang berarti “tinggal, diam, atau tetap berada di dalam” (lihat 1Yoh 3:6, “setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi”). Kata ini memegang peranan yang terpenting di dalam tulisan-tulisan Yohanes. Kata “tinggal, tetap berada di dalam” (kata Yunaninya, menō) muncul 40 kali di dalam Injil Yohanes, dan 24 kali di dalam surat 1 Yohanes, surat singkat yang hanya berisi lima pasal. Sebagai perbandingan, kata ini hanya muncul 17 kali di dalam semua surat–surat Paulus.


Jika Kita Tinggal di dalam Dia, Kita Tidak Dapat Berbuat Dosa

Mari kita susun kesimpulannya. Apakah yang diajarkan oleh Yohanes kepada kita? Prinsip utamanya adalah: Jika kita tinggal di dalam Dia dan Ia di dalam kita, kita tidak dapat berbuat dosa. Ini terlihat dari 1 Yohanes 3:6,

“Karena itu setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi.”

Sangat sederhana. Jika kita tetap berada di dalam Dia, kita tidak berbuat dosa lagi. Karena jika kita hidup di dalam Dia, kita memang tidak dapat pada saat yang bersamaan terus hidup di dalam dosa. Adalah hal yang mustahil untuk dapat sekaligus tinggal di dalam Allah dan di dalam dosa. Sayang sekali orang-orang Kristen tidak selalu tinggal di dalam Dia secara konsisten, terutama pada masa bayi rohani, sehingga mereka tergelincir ke dalam dosa dari waktu ke waktu.

Jadi adalah jelas bahwa Yohanes tidak mengajarkan tentang eradikasi natur dosa kita secara total. Ia menegaskan bahwa adalah mungkin untuk tidak berbuat dosa, tetapi hanya jika kita tinggal di dalam Dia, dan Ia di dalam kita. Jika Allah tinggal di dalam kita, jika Roh Kudus-Nya tinggal di dalam kita, jika natur-Nya tinggal di dalam kita, kita tidak dapat berbuat dosa. Kata abide juga muncul di dalam pernyataan kunci itu, ayat ke-9, “sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.” (Di sini kata “benih” sperma, merujuk kepada hidup baru yang ditanamkan Allah dalam diri kita saat kita dilahirkan kembali).

Kemerdekaan dari dosa datang jika kita tinggal di dalam Allah. Kita tidak dapat berbuat dosa jika kita tetap di dalam Dia, hidup di dalam persekutuan dengan-Nya. Sebaliknya, jika kita tidak tinggal di dalam Dia, kita akan berbuat dosa. Ini adalah masalah pengalaman, bukan sekadar teori. Terapkan prinsip ini ke dalam hidup Anda, dan Anda akan membuktikan sendiri kebenarannya. Tinggal di dalam Allah, dengan demikian, bukanlah suatu pilihan tetapi merupakan suatu keharusan.

 

Berikan Komentar Anda: