SC Chuah | 

2 Maka dibawa oranglah kepadanya seorang lumpuh yang terbaring di tempat tidurnya. Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah ia kepada orang lumpuh itu: “Percayalah, hai anakku, dosamu sudah diampuni.”
3 Maka berkatalah beberapa orang ahli Taurat dalam hatinya: “Ia menghujat Allah.”
4 Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka, lalu berkata: “Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu?
5 Manakah lebih mudah, mengatakan: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah dan berjalanlah?
6 Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa” lalu berkatalah ia kepada orang lumpuh itu :”Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!”
7 Dan orang itupun bangun lalu pulang. (Mat 9:2-7)

Menurut banyak pengamat, salah satu ciri khas dari pelayanan Yesus adalah pengampunan dosa. Tindakan Yesus mengampuni dosa juga tampaknya menimbulkan reaksi negatif yang keras dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Hal ini memberi kesan bahwa orang-orang berdosa tidak dapat atau mengalami kesulitan beroleh pengampunan dari agama orang Yahudi, Yudaisme. Pengampunan hanya diperoleh melalui kedatangan Yesus. Berikut dari itu, kesimpulannya adalah pengampunan dari Yesus merupakan bukti mutlak bahwa dia adalah Allah. Namun, apakah persoalan Kristologis yang dipikirkan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ketika mereka berpikir dalam hati, “Mengapa orang ini berkata begitu? Ia menghujat Allah. Siapa yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah sendiri?” (Markus 2:7, Lukas 5:21)

Kesimpulan seperti ini menunjukkan orang Kristen tidak terlalu memahami agama orang Yahudi. Janganlah terburu-buru menarik kesimpulan seperti itu karena para saksi yang menyaksikan perbuatan Yesus tidak menarik kesimpulan seperti itu sebagaimana dinyatakan di Matius 9:8,

Melihat hal itu, orang banyak itu takut lalu memuliakan Allah yang telah memberikan kuasa seperti itu kepada manusia.

Para saksi mata pada masa itu, yang rata-rata terdiri dari orang Yahudi tidak menarik kesimpulan yang ditarik oleh gereja non-Yahudi ratusan tahun kemudian. Mereka memuliakan Allah karena mereka menyaksikan bukti di depan mata bahwa Allah telah memberikan kuasa pengampunan itu kepada manusia. Tidak satu ayat pun di dalam Alkitab yang memperjuangkan keilahian Kristus karena pengampunan dosa. Ini merupakan bukti jelas bahwa audiens yang berbeda menarik kesimpulan yang berbeda karena cara pikir yang berbeda.

Menariknya, kata “manusia” di ayat ini ditulis dalam bentuk jamak dan diterjemahkan dengan tepat sebagai men dalam semua terjemahan Inggris. Setelah kebangkitannya, Yesus memberikan kuasa pengampunan yang sama kepada murid-muridnya, “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Baca juga Matius 16:19, 18:18) Jika Yesus adalah Allah karena dia berkuasa mengampuni dosa, bukankah argumen yang sama berlaku untuk murid-muridnya juga?

Untuk memahami tuduhan menghujat ini, kita harus memahami agama orang Yahudi. Yudaisme adalah agama pengampunan. Seluruh sistem persembahan di Bait Allah dimaksudkan untuk memulihkan hubungan antara Allah dan manusia lewat pengampunan. Di Imamat pasal 4-5, kalimat “Dengan demikian imam mengadakan pendamaian bagi orang itu karena dosanya, sehingga ia menerima pengampunan” muncul berulang kali (4:26,31,35; 5:10,16,18). Singkatnya, Yudaisme merupakan agama pertobatan dan pengampunan. Jadi, kalimat yang diucapkan Yesus yang menimbulkan tuduhan menghujat, “Dosamu sudah diampuni” merupakan sesuatu yang dapat diucapkan oleh seorang imam di Bait Allah kepada siapa saja yang telah membawa korban penghapus dosa.

Lalu, mengapa ucapan Yesus itu menjadi batu sandungan bagi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi? Yang menjadi persoalan adalah: Yesus bukan imam dan Yesus tidak berada di Bait Allah dan tidak ada korban penghapus dosa. Dengan kata lain, kalimat “dosamu sudah diampuni” diucapkan di luar sistem persembahan yang telah ditetapkan bagi pengampunan dosa oleh Allah. Yesus telah mengampuni orang itu di luar sistem persembahan yang telah ditetapkan Allah sebelumnya, yaitu Bait Allah, imamat dan korban penghapus dosa. Oleh karena itu, apa yang telah dilakukan Yesus dapat dianggap sebagai sebuah penghujatan. Ia dipandang telah mengambil-alih tugas seorang imam tanpa izin dari pihak yang berkuasa pada zaman itu, dan telah meremehkan fungsi Bait Allah sebagai satu-satunya tempat di mana pengampunan dinyatakan, dan menghapus prosedur bagi pengampunan dosa yang telah ditetapkan Allah. Apa yang dilakukan Yesus menguncang salah satu pilar yang paling penting dari Yudaisme, yaitu fungsi Bait Allah.

Yang menjadi persoalan di sini bukanlah apakah Yesus itu Allah atau tidak, melainkan siapa yang memberikan kuasa kepada dia untuk menyatakan pengampunan di luar dari apa yang telah ditetapkan sebelumnya. Yang dipersoalkan di sini adalah, siapa yang telah memberikan kepada Yesus peran sebagai mediator (pengantara) antara Allah dan manusia? Oleh karena itu, kesimpulan bahwa Yesus adalah Allah karena dia mengampuni dosa merupakan kesimpulan yang lahir dari ketidaktahuan akan budaya zaman itu.

 

Berikan Komentar Anda: