SC Chuah |

Jawaban kepada pertanyaan di atas adalah “ya” dan “tidak”, tergantung bagaimana seseorang memahami konsep pra-ada. Jika dipahami menurut cara pikir umat Yahudi dan alkitabiah, jawabannya “ya”, tetapi jika dipahami menurut sudut pandang orang Yunani, jawabannya “tidak”.

Satu alur utama yang dipakai oleh kaum Trinitarian untuk membuktikan keilahian Yesus adalah dengan membuktikan bahwa Yesus itu pra-ada, khususnya dari Injil Yohanes. Banyak yang termakan oleh argumentasi ini karena kurang memahami konsep pra-ada dalam Perjanjian Baru. Tujuan artikel ini adalah untuk menyelidiki pernyataan-pernyataan pra-ada sebagaimana dipakai oleh umat Yahudi pada zamannya. Kita harus selalu mengingat bahwa Alkitab adalah sekumpulan tulisan yang ditulis pada zaman tertentu dan di tengah-tengah budaya tertentu. Kita harus berupaya memahami isi Alkitab berdasarkan apa yang dimengerti oleh para pembaca pada zaman itu dari budaya tersebut. 

Sebelum kita menyelidiki hal tersebut, ada baiknya kita menangani beberapa persoalan logika simpel terlebih dulu. Kepra-adaan bukan bukti keilahian! Sekalipun dapat dibuktikan bahwa Yesus itu pra-ada secara harfiah sebelum dunia dijadikan, itu tidak membuktikan Yesus adalah Allah. Itu sebuah asumsi belaka. Para malaikat dan makhluk-makhluk lain termasuk Iblis sudah pra-ada sebelum dunia dijadikan, tetapi tidak ada orang yang berakal sehat akan memperjuangkan keilahian mereka. Namun, umat Trinitarian tidak berpikir dua kali untuk mengutip Yohanes 8:58 seolah-olah ayat itu terang-terangan menyatakan keilahian Yesus!

Karena kita kurang memahami konsep pra-ada di dalam Perjanjian Baru, maka timbul pelbagai spekulasi tentang siapa Yesus itu sebelum dunia dijadikan. Umat Trinitarian menegaskan bahwa dia adalah pribadi kedua dari ke-Allahan. Saksi-saksi Yehowa, demi melindungi keesaan Allah, bersikeras bahwa dia adalah penghulu malaikat, Mikhael, yang diciptakan pada suatu waktu sebelum dunia dijadikan. Banyak juga yang berpandangan bahwa dialah Malaikat Yahweh yang sering menampakkan diri di sepanjang sejarah bangsa Israel. Ada pula yang lebih gila lagi, berspekulasi bahwa dia adalah Yahweh itu sendiri. Pelbagai usaha dilakukan untuk mencocokkan Yesus dengan suatu sosok yang pernah muncul sebelum kelahirannya.

Namun, jika Yesus itu pra-ada, ini menimbulkan masalah logika kedua, yaitu apakah dia masih layak disebut seorang manusia? Dalam pengertian apa, dia dapat disebut seorang manusia jika dia memiliki kesadaran penuh sebagai suatu sosok non-manusia sebelum dia dilahirkan? Bukankah kemanusiaannya telah dikompromikan melalui paham ini? Kepra-adaan tidak kompatibel dengan keadaan sebagai seorang manusia, dan menimbulkan banyak pertanyaan antropologis dan psikologis. Orang yang merenungkan hal ini secara mendalam akan bersetuju dengan William Barclay yang mengatakan bahwa, “salah satu gagasan yang paling sulit dari semua gagasan adalah gagasan tentang kepra-adaan Yesus.” Memang mustahil untuk merukunkan konsep kemanusiaannya dan kepra-adaannya. Oleh karena itu, John Knox dalam bukunya, The Humanity and Divinity of Christ, tegas menyatakan, “Kita dapat menerima kemanusiaannya tanpa kepra-adaan dan kita dapat menerima kepra-adaannya tanpa kemanusiaan. Kita sama sekali tidak dapat sekaligus menerima keduanya.”

Suatu pribadi yang pra-ada sebelum dia ada (perhatikan ketidaklogisan dari pernyataan tersebut, karena bagaimana sesuatu itu ada sebelum ia ada?) dalam pengertian apa pun tidak dapat disebut seorang manusia. Siapa saja yang pernah menonton film Men in Black akan memahami hal sederhana ini. Alien yang muncul dalam bentuk manusia tetap dianggap alien. Malaikat yang tampil sebagai manusia tetap adalah malaikat, bukan manusia. Allah yang tampil sebagai manusia adalah Allah, bukan manusia. Doktrin kepra-adaan Yesus cenderung mengurangi kemanusiaan Yesus di pikiran orang-orang percaya, meskipun kemanusiaannya merupakan pokok vital yang paling ditekankan oleh Perjanjian Baru karena pentingnya hal tersebut bagi keselamatan umat manusia. Paulus memberitakan kepada kita bahwa kita diselamatkan oleh Adam yang akhir, atau Adam yang kedua yang membatalkan efek dari perbuatan Adam yang pertama:

Sebab, sama seperti melalui ketidaktaatan satu orang banyak orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula melalui ketaatan satu orang banyak orang menjadi orang benar.

Bagaimana mungkin Yesus dapat disebut sebagai “orang” jika dia itu pra-ada dalam bentuk apa pun? Apakah kita diselamatkan oleh ketaatan seorang malaikat? Apakah kita diselamatkan oleh ketaatan Allah kepada Allah? Dalam pengertian apa Yesus dapat diperbandingkan dengan Adam? Bukankah doktrin keselamatan benar-benar telah dikacaukan oleh teologia kita?

Sehubungan dengan arti kepra-adaan dalam Perjanjian Baru, berikut pernyataan E.G. Selwyn dalam bukunya First Epistle of St. Peter (Baker Book House, 1983), hlm. 124:

Kala seorang Yahudi ingin menandakan bahwa sesuatu itu sudah ditetapkan, dia membicarakan hal tersebut sebagai sudah ‘ada’ di surga.

Ini merupakan konsep yang baru bagi kita! Jika benar, pernyataan-pernyataan “pra-ada” di Perjanjian Baru sebenarnya berhubungan dengan ketentuan dan ketetapan rencana Allah. Jika kita salah memahami cara berpikir orang Yahudi ini, kita akan mengubah Yesus menjadi suatu figur kosmik yang memasuki dunia dari angkasa luar. Yang jelas, jika umat Yahudi zaman itu tidak memahami bahasa-bahasa pra-ada sebagaimana kita memahaminya sekarang, kita sudah pasti akan salah memahami pertanyaan-pertanyaan dasar seperti siapakah Yesus itu. Perbedaan antara sesuatu yang ditetapkan atau ditentukan dari yang pra-ada secara harfiah sangatlah besar. Yang menjadi persoalan di sini adalah kepra-adaan dalam bentuk apa? “Ideal” atau “harfiah”? “Ada” dalam rencana Allah, atau “ada” secara leterlek?

Konsep “pra-ada ideal” ini mewarnai seluruh Perjanjian Baru sehubungan dengan keselamatan orang-orang percaya. Dalam Perjanjian Baru, orang-orang percaya juga telah “pra-ada” sebelum dunia dijadikan.

Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya. (Roma 8:29-30)

Kedua ayat di atas menggambarkan seluruh proses keselamatan yang diawali dari “dipilih-Nya dari semula” sehingga “dimuliakan-Nya” yang mencakup waktu dari “sebelum dunia dijadikan” sehingga “masa depan” yang kekal. Allah sudah mengenal dan memilih orang percaya “sebelum dunia dijadikan”, yaitu jauh sebelum orang percaya itu benar-benar ada. Orang-orang percaya sudah ada, dan bahkan telah dimuliakan, dalam pikiran Allah yang mahatahu jauh sebelum dia benar-benar hadir di dunia ini.

Berikut satu lagi contoh:

Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman (2Ti 1:9)

Anugrah-Nya telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman! Kita juga pra-ada, sama seperti Yesus Kristus pra-ada! Oleh karena itu, saya tidak masalah jika ada yang bersikeras menegaskan kepra-adaan Yesus, asalkan dia juga menerima bahwa kita semua juga pra-ada. Orang-orang percaya telah dipilih dari semula, ditentukan dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, dipanggil, dibenarkan dan dimuliakan bahkan sebelum dunia dijadikan. Tentu saja akal sehat mengharuskan kita memahami semua pernyataan semacam ini sebagai pernyataan yang mengungkapkan tujuan dan rencana Allah. Kita semua belum ada meskipun meskipun bahasa-bahasa pra-ada dipakai untuk melukiskan keselamatan kita dalam rencana Allah.

Rencana dan tujuan Allah itu demikian pasti sehingga kita dapat membicarakannya seolah-olah sudah ada. Berikut komentar E.C. Dewick, dalam Primitive Christian Eschatology, The Hulsean Prize Essay for 1908 (Cambridge University Press, 1912), hlm 253-254:

Ketika seorang Yahudi mengatakan bahwa sesuatu itu sudah “dipredestinasi,” dia memikirkan hal tersebut sebagai “sudah ada” di alam kehidupan yang lebih tinggi. Sejarah dunia dengan demikian sudah dipredestinasi karena sudah, dalam pengertian tertentu, pra-ada dan dengan demikian ditetapkan.

Dalam pikiran orang Yahudi pada zaman Perjanjian Baru, sesuatu atau seseorang bisa “pra-ada” sebagai bagian dari rencana dan tujuan Allah sebagaimana tabernakel, Bait Suci, pertobatan dll sudah ada sebelum dunia dijadikan. Bahkan nabi Musa dan Taurat juga disebut pra-ada dalam tulisan-tulisan orang Yahudi. Penulis selanjutnya memberitahu kita bahwa cara berpikir seperti ini sangat kental dalam surat Petrus yang pertama. Surat Petrus dialamatkan kepada “orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita (1Pe 1:2), tetapi dia tidak bermaksud bahwa kita semua “pra-ada”. Menurut Petrus, Sang Mesias sendiri “telah dipilih sebelum dunia dijadikan”  (1Pe 1:20). Petrus menggunakan kata yang sama untuk menggambarkan “kepra-adaan” Anak Allah sebagaimana dia menggambarkan “kepra-adaan” jemaat Allah.

Untuk meletakkan pokok ini di luar keraguan, kita hanya perlu membaca Wahyu 13:8[1]:

the Lamb who was slain from the creation of the world. (Rev 13:8 NIV)

Anak Domba yang disembelih sejak dunia diciptakan. (Why 13:8)

Anak Domba telah disembelih sejak dunia diciptakan? Berdasarkan pembacaan ini, Yesus telah disalibkan sejak dunia diciptakan, yaitu dalam pikiran dan rencana penyelamatan Allah, jauh sebelum dia dilahirkan di Israel. Yesus, Anak Domba Allah, disalibkan atau disembelih pada suatu titik dalam sejarah dunia. Yesus, memang pra-ada sebelum dunia dijadikan. Bahkan, peristiwa penyaliban juga sudah terjadi sebelum dunia dijadikan… tentu saja, bukan secara harfiah, tetapi dalam rencana dan tujuan kekal Allah!

 


[1] Terjemahan alternatif berbunyi seperti berikut, “setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan (Why 13:8). Bagaimana pun ayat ini diterjemahkan, tidak mempengaruhi pokok pembahasan. Jika terjemahan alternatif ini dipilih, kita dapat menarik kesimpulan bahwa nama-nama orang percaya sudah ada di dalam kitab kehidupan bahkan sejak dunia dijadikan. Apakah orang-orang percaya “pra-ada” dalam arti “ideal” atau secara “harfiah”? Tentu saja, secara “ideal”, yaitu dalam pikiran dan pengetahuan Allah yang mahatahu.

Berikan Komentar Anda: