Pastor Eric Chang | Lukas 14:25-33 |

Hari ini, kita membahas salah satu perumpamaan yang sukar dari Yesus di Lukas 14:25-30:

Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanannya. Sambil berpaling ia berkata kepada mereka: “Jikalau seorang datang kepadaku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut aku, ia tidak dapat menjadi muridku. Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.”

Kita sering mengira bahwa jika sudah memulai maka itu sama artinya dengan kita sudah menyelesaikannya, jika kita sudah membuat keputusan bagi Kristus maka itu berarti bahwa kita sudah mencapai titik akhir dari perjalanan keselamatan. Namun lihatlah, betapa berbedanya hal yang disampaikan oleh Yesus. Pada kesempatan ini, kita akan mengupas ucapan yang sangat sulit ini.

Visi Yesus bagi gereja adalah supaya gereja diisi oleh para raksasa-raksasa rohani. Kualitas setiap umat Allah, sekalipun ia akan menjadi yang terkecil dalam Kerajaan, tetap harus lebih besar dari Yohanes Pembaptis. Itulah yang diharapkan oleh Yesus dari gereja. Jika kita mengamati keadaan gereja sekarang ini, kenyataan yang kita lihat sangat jauh berbeda dengan apa yang diharapkan oleh Yesus. Apa yang dapat kita lihat dari gereja sekarang ini adalah sebagian besar Jemaat yang terdiri dari orang-orang yang sangat kerdil secara rohani. Semuanya dijalankan dengan standar yang sangat rendah. Kasih karunia sudah diobral sampai telah menjadi barang gratisan. Padahal di Lukas 14:28 Yesus berkata, “Duduk dahulu membuat anggaran biayanya.” Namun kita malah sering diajari bahwa kita tidak perlu menghitung apapun. Harganya murah. Bukan sekadar murah, malahan gratis! Demikianlah, kebenaran yang utama tentang kasih karunia Allah telah diturunkan nilainya ke tingkat yang tidak pernah diniatkan oleh Yesus. Karena dinyatakan gratis, maka biaya apa yang harus kita anggarkan? Akibat dari pengajaran tentang kekristenan yang murahan, atau gratisan, maka gereja sekarang diserbu oleh para pemburu karunia gratis. Dan gereja malah menyatakan bahwa inilah aspek yang luar biasa dari kasih karunia Allah. Ada beberapa bagian yang benar dari pernyataan itu. Tentu saja, ada aspek yang luar biasa dari kasih karunia, yaitu nilainya yang tak terkira, dan karena itu kita tidak akan mungkin dapat memperolehnya. Namun menurut pemikiran kita, jika sesuatu tidak mungkin diraih, maka dengan itu ia gratis. Itulah logika yang menjadi dasar pemahaman kita. Namun benarkah jika sesuatu itu tidak dapat diperoleh, maka ia hanya dapat dimiliki jika dijadikan barang gratisan? Ini bukan pemahaman yang alkitabiah. Suatu benda bisa saja berharga sangat mahal sehingga kita tidak dapat membelinya, akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa benda itu harus gratis. Sebuah karunia mungkin satu pemberian tetapi penerimaan karunia itu mungkin menuntut kita harus mengorbankan segala milik kita, sehingga dari segi konsekuensinya hadiah itu sendiri ternyata tidak dapat dipandang sebagai hal yang gratis.

Akan tetapi kita semua telah dibentuk sedemikian rupa, bahkan termasuk diri saya dulu, oleh kekristenan yang mengajarkan kita untuk meraih barang gratisan. Kita datang untuk menerima sesuatu yang gratis. Jika mereka datang karena ajaran seperti itu, maka orang-orang semacam apa yang kita harapkan akan memenuhi gereja? Kita mungkin harus menanggung resiko dianggap telah menghina, jika kita menyebut mereka sebagai orang “Kristen antrian”. Di Tiongkok dan di Timur Jauh, sering terjadi kelaparan hebat, dan gereja-gereja sering bertindak memberi bantuan pangan dan lain-lain. Mereka membagikan beras dan bahan pangan dalam jumlah besar, atas nama gereja, ke daerah-daerah yang terserang bencana kelaparan. Dan orang banyak akan berbondong-bondong datang ke gereja, untuk apa? Untuk mengambil hadiah gratisan yakni beras. Dan kemudian kita mulai memandang dengan rasa tidak senang kepada “orang-orang Kristen antrian” yang datang ke gereja demi beras, padahal kita sendiri yang menjadikan mereka seperti itu. Apakah kita sendiri lebih baik dari mereka? Untuk apa kita datang ke gereja? Kita juga datang demi barang gratisan, sama seperti mereka datang demi barang gratisan. Gereja-gereja dipenuhi oleh mereka yang mengejar barang gratisan, tidak ada gunanya berharap untuk mendapatkan raksasa rohani di dalam gereja. Perlu banyak perubahan untuk mentransformasi para pemburu hadiah itu menjadi raksasa rohani! 

Injil menuntut pengorbanan segala-galanya dari Anda. Kita harus meluruskan hal ini di dalam hati dan pikiran kita. Apakah ia gratis atau tidak? “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut aku, ia tidak dapat menjadi murid-ku.” Apa arti salib? Kematian! Kita semua tentu tahu hal itu. Dalam kata lain, Yesus sedang berkata, “Barangsiapa tidak memikul alat eksekusi hukuman mati buat dirinya, ia tidak dapat menjadi muridku.” Apakah ini gratis? Salib itulah hadiah gratis yang tersedia buat Anda! Anda tidak perlu pergi membeli salib buat Anda. Yesus sendiri tidak membeli salib buat dirinya. Salib yang dipikul Yesus adalah hadiah yang benar-benar gratis dari pemerintah Roma. Ia tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun. Akan tetapi Yesus harus menyerahkan nyawanya! Salib itu merupakan pemberian gratis dan sukarela dari penguasa Yahudi dan Roma. Hanya saja, satu-satunya masalah berkaitan dengan salib yang gratis itu adalah Anda harus menyerahkan nyawa Anda. Yesus berkata, “Pikullah salibmu.” Ia tidak menyuruh Anda untuk membuat salib. Tidak ada orang yang disuruh untuk membuat salibnya. Sebenarnya, ketika Anda melangkah di jalan yang sesuai dengan panggilan Yesus bagi Anda, maka dunia akan membebankan salib ke pundak Anda. Ia selalu berkata, “Engkau harus siap menerimanya.” Yesus tidak berkata, “Pergi dan buatlah.” Salib itulah ‘hadiah’ gratis buat Anda, yang diserahkan dengan senang hati oleh dunia. Kita harus membuat keputusan. Kekristenan macam apa yang ingin kita bicarakan? Kita diberi hadiah ‘gratis’ – hadiah itu berupa salib akan tetapi kita menghendaki sesuatu yang lebih menyenangkan dibandingkan salib. Yesus berkata, “Tanpa salib engkau tidak akan dapat menjadi muridku. Tanpa salib engkau tidak akan memiliki keselamatan.” Bukankah itu yang sedang Yesus katakan? Bagaimana mungkin Anda bisa mendapatkan keselamatan tanpa menjadi seorang murid? Jika kita bisa mendapatkan keselamatan tanpa harus menjadi seorang murid, maka kita semua bisa menjadi orang-orang Kristen tanpa harus menjadi murid-murid, atau menjadi ‘orang Kristen’ tanpa harus menjadi orang Kristen, karena ungkapan ‘orang Kristen’ dan ‘murid’ di dalam Kitab Suci memiliki arti yang sama.

Marilah kita hadapi ucapan sulit yang biasanya lebih suka dihindari oleh sebagian besar orang:

“Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridku.” (Lukas 14.26)

O! Ucapan yang sangat mengerikan! Di antara sekian banyak ucapan Yesus yang keras, yang satu ini termasuk yang paling keras. Di Yohanes 6.60 dan 66, banyak di antara murid-murid yang sangat tersinggung karena apa yang disampaikan oleh Yesus sehingga mereka meninggalkan dia. Mereka berkata, “Lihat! Sebelum ini, engkau selalu menyampaikan hal-hal yang enak didengar, tetapi yang kali ini benar-benar tidak dapat kami terima, dan kami sudah tidak tahan lagi. Selamat tinggal Yesus, kami muak dengan apa yang kami dengar barusan!” Apa sebenarnya hal yang disampaikan oleh Yesus di Yohanes pasal 6 itu? Pada dasarnya isi pasal tersebut masih terbilang lunak jika dibandingkan dengan yang sekarang ini. Yang diucapkan Yesus di Yohanes 6.53-56 adalah, “Jika kalian tidak memakan dagingku dan meminum darahku, maka kalian tidak akan diselamatkan. Kalian tidak akan memperoleh hidup yang kekal. Hidup yang kekal itu datang jika kalian memakan dagingku dan meminum darahku.” Pernyataan seperti ini bisa membuat perut terasa mual, akan tetapi orang mungkin masih bisa mengatasinya karena, paling tidak, Yesus akan memberikan hidup yang kekal sebagai anugerah ‘cuma-cuma’. Perhatikan baik-baik, Yesus sedang memberi Anda daging dan darahnya sebagai anugerah ‘cuma-cuma’! Namun, kenapa kita harus menanggung rasa mual untuk menerima hadiah ‘gratis’ ini? Anda bisa lihat di sini, bahkan hadiah atau anugerah yang diberikan secara ‘gratis’ itu pun ternyata tidak mudah ditelan, bukankah begitu? Kita cenderung lebih suka memilih hadiah ‘gratis’ mengikuti selera kita sendiri, akan tetapi sebenarnya pilihan yang tersedia adalah apa yang ia berikan, jika tidak mau berarti Anda tidak mendapat apa-apa. Jadi inilah anugerah ‘gratis’ itu: Dagingnya, darahnya, dan salib buat Anda. Apa lagi yang Anda cari? Apakah Anda tidak menyukai hadiah-hadiah ‘gratis’ ini? Ketiga hal itulah anugerah atau hadiah gratis keselamatan buat Anda.


Setiap orang perlu tahu

Banyak murid yang merasa mual mendengar pernyataan di Yohanes 6.51 itu, tetapi bagaimana dengan pernyataan yang di Lukas 14.26? Bagi saya, membenci ayah dan ibu saya terasa jauh lebih sulit lagi! Apakah Yesus serius dengan pernyataan ini? Pernyataan macam apa ini? Beberapa orang akan berkata, “Akan lebih baik jika pernyataan seperti ini tidak disampaikan dalam sebuah khotbah. Penyampaiannya akan lebih cocok jika diberikan kepada sekumpulan orang Kristen yang berdedikasi tinggi, di tempat yang terpisah dari orang banyak. Mereka punya selera yang lebih bagus. Mereka sudah terbiasa menelan hal-hal yang keras seperti ini. Jangan menyampaikan pernyataan keras seperti ini di depan orang-orang non-Kristen dan orang banyak karena itu malah akan membuat mereka pergi.” Ide seperti ini terdengar sangat masuk akal, sayangnya tidak cocok dengan apa yang dikisahkan oleh ayat 25. Kepada siapa Yesus menyampaikan ucapan ini? Ia menujukannya kepada orang banyak, kepada kerumunan orang-orang itu. Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanannya. Sambil berpaling Yesus berkata kepada mereka: “Jikalau seorang datang kepadaku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya…”. Karena Yesus menyatakan hal ini kepada setiap orang, bagaimana mungkin saya berani menyatakannya hanya kepada orang-orang tertentu, kepada mereka yang sudah teruji saja? Yesus menyampaikannya di hadapan orang banyak. Bagaimana mungkin saya menyampaikannya dengan cara lain?

Yang lebih mengagumkan, Yesus bahkan tidak memberi penjelasan atas pernyataan itu sekalipun dia tahu bahwa hal ini sangat menusuk perasaan. Ia tidak berkata, “Tunggu, sebelum kalian salah paham dengan apa yang aku maksudkan, kalimat ini tidak harus diartikan apa adanya. Jadi jangan salah mengerti. Jangan pergi dulu. Tunggu dulu. Masih ada pengajaran yang enak didengar sebentar lagi.” Yesus langsung menyampaikan perkataan yang keras ini, dan itu saja. Akan sia-sia jika Anda berusaha mencari penjelasan tambahan. Sepertinya Yesus dengan sengaja mendorong orang-orang itu untuk pergi. Orang berbondong-bondong mendatangi Yesus dan dia justru mendorong mereka pergi karena Yesus tahu bahwa orang-orang yang setelah mendengar pernyataan seperti ini tetapi tidak pergi, pastilah orang-orang yang sedang meresponi Allah yang hidup dan yang serius mencari kebenaran.


Dukungan Alkitabiah bagi penghapusan kata ‘membenci’

Begitu susah dan kerasnya pernyataan ini sehingga di dalam terjemahannya ke dalam bahasa Tionghoa, kata ‘membenci’ dihilangkan. Mereka telah mengeluarkan kata ‘membenci’ dan membuangnya ke tong sampah. Terima kasih! Indah sekali! Para penerjemah itu sangat baik! Mereka telah memutuskan bahwa karena kita tidak akan mampu menelannya, maka mereka perlu menolong kita dengan menyingkirkan kata yang sangat menusuk perasaan itu. Suatu ketika, saya sedang mempersiapkan khotbah tentang perumpamaan ini di Taiwan, dan saya terkejut, kata yang akan saya bahas ini tidak ada di dalam Alkitab berbahasa Tionghoa karena para penerjemah itu sudah menolong kita dengan menyingkirkan kata ‘membenci’  dan menerjemahkannya dengan kata ‘kurang mengasihi’. Atau dalam suatu pengertian “mengasihi lebih“. “Jika engkau mengasihi ayah dan ibumu lebih dari aku, maka engkau tidak dapat menjadi muridku. Jika engkau mengasihi saudaramu dan yang lain-lainnya lebih dari aku, maka engkau tidak dapat menjadi muridku.” Dengan pernyataan seperti ini, kita pasti dapat menerimanya. Terdengar sangat adil. Anda, tentu saja, harus lebih mengasihi Allah ketimbang yang lain-lainnya. Bahkan orang-orang Farisi pun akan sangat setuju dengan pernyataan seperti ini. Tidak ada yang susah dengan pernyataan ini. Jika itu yang Yesus maksudkan, tentunya baik sekali, tidak susah untuk menyetujuinya. Orang-orang Farisi akan bertepuk tangan dan berkata, “Ya, itu benar sekali! Kita harus mengasihi Allah lebih dari yang lainnya.” Apakah mereka akan menjalankannya atau tidak, itu lain soal, namun secara prinsip mereka akan setuju sekali. Para penerjemah Alkitab berbahasa Tionghoa melakukan hal ini, mereka sudah menyingkirkan kata ‘membenci’ dan menaruhnya di dalam catatan kaki yang tercetak sangat kecil – jika Alkitab berbahasa Tionghoa milik Anda dilengkapi dengan referensi dan catatan kaki, Anda akan menemukan kalimat – “kata aslinya berarti ‘membenci’“. Namun biasanya Anda tidak meneliti catatan kaki saat sedang membaca Alkitab. Inilah hal yang biasa kita lakukan di gereja, ketika kita mendapati pernyataan di dalam Firman Allah yang sangat sulit untuk diterima, kita langsung membuangnya ke tong sampah, membuat penyelesaian yang tercepat dan termudah. Kita merasa berhak untuk mengubah perkataan Yesus.

Anda mungkin berkata, “Jangan menuduh sembarangan. Anda sudah memperlakukan para penerjemah dengan tidak adil karena, bagaimana pun juga, Yesus memang berkata seperti itu di Matius 10.37. Jadi mereka tidak salah dalam menerjemahkan Lukas 14.26 dengan kata-kata yang lebih enak didengar.” Di dalam Matius, Yesus berkata, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari padaku, ia tidak layak bagiku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari padaku, ia tidak layak bagiku.” Jadi, Anda akan berkata, “Nah! Ini lebih gampang diterima. Tidak ada masalah.” Begitulah, para penerjemah itu merasa punya dasar dari Matius 10.37 untuk membuang kata ‘membenci’ di Lukas 14.26.

Masih ada lagi pembenaran lain bagi pengubahan pernyataan itu. Para penerjemah mungkin berpikir, “Jika kita tidak mengganti kata ‘membenci’, maka kita akan menempatkan Yesus dalam kontradiksi dengan pernyataannya sendiri di bagian yang lain. Ia sendiri menyuruh kita untuk menghormati ayah dan ibu kita.” Di Matius 15.3-4, Yesus mengecam orang-orang Farisi karena memelihara tradisi yang bisa membuat mereka tidak perlu menghormati orang tua mereka: “Tetapi jawab Yesus kepada mereka: ‘Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati.’” Jadi, bagaimana mungkin Yesus berkata hormatilah ayah dan ibumu di dalam satu kesempatan, dan dalam kesempatan yang lain berkata bencilah ayah dan ibumu? Ini adalah kontradiksi yang mutlak! Yesus tidak mungkin melakukan kontradiksi. Jadi, walau pun Yesus menyebutkan kata ‘membenci’, para penerjemah segera menyingkirkan kata itu.

Di bagian mana lagi Yesus menyuruh kita untuk menghormati orang tua kita? Ia mengulangi perintah ini di Matius 19.19, jadi Matius 15.4 bukanlah suatu pernyataan tunggal. Ketika Yesus berbicara dengan orang kaya yang muda, orang kaya itu bertanya, “Perintah yang mana?” Lalu Yesus mengutip beberapa perintah, dan di antaranya adalah, “Hormatilah ayahmu dan ibumu.” Tidak perlu diragukan lagi, orang Kristen memang harus menghormati ayah dan ibunya. Lalu bagaimana caranya membenci orang yang dihormati? Ini pasti sebuah ‘kontradiksi’, dan untuk mengatasi kontradiksi itu, para penerjemah menyingkirkan kata ‘membenci’.


Keberatan-keberatan

Akan tetapi, perbuatan ini justru sangat merugikan. Ini hanya sekadar suatu tindakan melarikan diri dari permasalahan dan bukannya menghadapi kebenaran. Secara eksegetik, kita tidak boleh melakukan hal itu dengan alasan-alasan berikut:

Pertama, sangat penting untuk dipahami bahwa konteks kedua ayat, yaitu Lukas 14.26 dan Matius 10.37, tidaklah sama. Matius 10.37 berada dalam konteks pengutusan saat kedua belas rasul diutus, dan ucapan itu hanya disampaikan kepada para rasul, bukannya kepada orang banyak. Berdasarkan perhitungan waktu, beberapa cendekiawan menempatkan peristiwa di Matius 10.37 di sekitar musim semi tahun 29 sesudah Masehi, atau kira-kira pada pertengahan dari 3 tahun masa pelayanan Yesus. Jadi, Matius pasal 10 terjadi di tengah-tengah masa pelayanan dan ditujukan kepada para rasul. Lukas 14.26 terletak di masa akhir pelayanan Yesus dan ditujukan kepada orang banyak. Konteksnya menunjukkan kepada kita bahwa ucapan ini disampaikan pada akhir masa Yesus mengajar. Kedua ayat itu berada di dalam periode yang sangat berbeda, dalam konteks yang sangat berbeda. Keduanya sama sekali tidak sejajar. Langkah pertama di dalam memahami isi Alkitab adalah bahwa Anda harus memperhatikan konteksnya. Anda tidak dapat begitu saja mencomot beberapa ayat dan berkata bahwa karena mereka memiliki kemiripan, maka mereka boleh dianggap sama.

Apa artinya? Artinya bahwa seringkali, seorang pengajar memperdalam makna sebuah kebenaran beberapa waktu kemudian. Ia mungkin saja sedang mengajarkan hal yang sama, akan tetapi ia menguraikannya pada tingkat yang lebih dalam. Pada akhir masa pelayanannya, Yesus mengangkat pokok kebenaran yang memang sama, namun pada tingkat yang lebih mendalam. Seberapa jauh pendalamannya, kita akan melihat hal itu sebentar lagi.

Kedua, jika hal yang ingin disampaikan oleh Yesus hanya sekadar mengasihi Allah lebih dari kasih Anda terhadap ayah dan ibu, pemakaian kata ‘membenci’ membuat ide tersebut menjadi tidak jelas. Jika Yesus bermaksud untuk berkata, “kurang mengasihi atau menomor-duakan (love less)”, sebagaimana yang pernah ia sampaikan sebelumnya, Yesus dapat saja memakai ungkapan “kurang mengasihi”. Jika Anda bermaksud berkata, “kurang mengasihi”, Anda tentu tidak akan memakai kata ‘membenci’ karena kata ‘membenci’ tidak memiliki arti ‘kurang mengasihi atau menomor-duakan’. Ini adalah suatu ungkapan yang sangat tegas, dan Anda tidak perlu menjadi seorang ahli bahasa untuk dapat memahaminya. Kata ‘membenci’ adalah sebuah kata yang sangat tegas, dan akan sangat mudah menimbulkan salah paham, jika yang dimaksudkan oleh Yesus hanya sekadar ‘menomor-duakan’, bukankah begitu? Jika niatnya hanya untuk membangunkan orang-orang yang sedang mengantuk, sehingga ia tiba-tiba berkata, “Jikalau seorang datang kepada-ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya…,” maka Anda akan menyatakan bahwa ini hanya sekadar permainan kata. Orang banyak itu akan terbangun kaget dan bertanya, “Hah? Kenapa Yesus berkata seperti itu? Apa saya tidak salah dengar? Apakah dia memang berkata seperti itu?” Sementara jika ia berkata ‘menomor-duakan,’ maka orang banyak itu tidak terlalu mempedulikannya. Akan tetapi sangat tidak masuk di akal bahwa Yesus akan memanfaatkan cara seperti itu karena orang-orang sangat memperhatikan apa yang dia ucapkan. “Perkataan-perkataan yang kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup,” kata Yesus di Yohanes 6.63. Anda sendiri tentu tidak akan memakai permainan kata seperti ini jika sedang menyampaikan kebenaran. Perkara yang sedang disampaikan terlalu penting untuk diucapkan hanya dengan niat untuk menarik perhatian orang-orang.

Ketiga, metode eksegetis yang lazim adalah dengan melihat bagaimana Yesus memakai kata ‘membenci’ di ayat-ayat yang lain. Pada bagian lain dari Alkitab, saat Yesus memakai kata ‘membenci’, apakah dia mengartikannya sebagai ‘menomor-duakan’? Karena jika Yesus secara konsisten memakai kata tersebut dalam artian ‘menomor-duakan’, maka dapat saja kata itu memang berarti demikian. Jadi prosedur yang lazim adalah dengan memeriksa pemakaian kata tersebut di ayat-ayat yang lain. Dan yang perlu Anda lakukan adalah membuka buku konkordansi serta mencari kata ‘membenci atau benci’ seperti yang diucapkan oleh Yesus, dan Anda akan melihat bahwa maknanya memang bukan ‘menomor-duakan’. Setiap kali Yesus memakai kata ‘membenci’, maka makna yang terkandung memanglah ‘membenci’. Mari kita periksa isi Injil Lukas sendiri.

Sebagai contoh, di Lukas 6.22 –

“Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat.”

Apa arti kata ‘membenci’? Apakah itu berarti bahwa mereka menomor-duakan atau kurang mengasihi Anda? Tidak sama sekali! Itu berarti bahwa mereka mengucilkan, mencela dan memfitnah Anda: “Karena Anak manusia…mereka…menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat.” Apakah itu terdengar seperti ‘kurang mengasihi’? Kata ‘membenci’ persisnya berisi hal-hal yang mengecilkan hati seperti itu. Akan tetapi Yesus berkata, jika mereka melakukan hal-hal tersebut kepada Anda, berbahagialah! Karena Anda diberkati di dalam hadirat Tuhan.

Lukas 21.17 membuat makna kata ini lebih khusus lagi. Mari kita baca dari ayat 16 untuk melihat konteksnya. Seberapa besar kebencian mereka terhadap Anda?

“Dan kamu akan diserahkan juga oleh orang tuamu, saudara-saudaramu, kaum keluargamu dan sahabat-sahabatmu dan beberapa orang di antara kamu akan dibunuh dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena namaku.”

Perhatikan relevansi dari ayat ini karena ia berbicara tentang ayah, ibu, saudara, kaum keluarga dan para sahabat. Apa yang akan terjadi ketika mereka membenci Anda? Mereka akan menyerahkan Anda. Kepada siapa? Akan tiba saatnya ketika kebencian mereka terhadap Anda sangat besar sehingga mereka akan mengkhianati dan menyerahkan Anda kepada para penguasa sekalipun mereka adalah ayah, ibu, saudara, atau siapapun juga. Hal ini sudah terjadi di Tiongkok berkali-kali, darah tidak lebih kental dari air; tidak peduli sedekat apapun hubungan itu, orang-orang menyerahkan sanak keluarganya kepada penguasa dan mereka dikirim ke tempat kerja paksa. Dan bukan sekadar tempat kerja paksa, tetapi juga “beberapa orang di antara kamu akan dibunuh” (Lukas 21.17). Sejauh itulah mereka akan membenci Anda. Apakah Yesus memakai kata ‘membenci’ dengan makna ‘kurang mengasihi’? Dengan tindakan seperti itu, mereka tidak sedang menomor-duakan, namun menomor-sekiankan Anda karena mereka akan menyerah Anda ke dalam maut!

Anda akan dapat melihat lebih banyak contoh bagaimana Yesus memakai kata ‘membenci’ di dalam Matius 10.21,22; 24.9 yang sejajar dengan Lukas 21. Jadi, seiring dengan pemeriksaan kita terhadap pemakaian kata ‘membenci’ oleh Yesus, kata ini selalu memang bermakna ‘membenci’. Tidak hanya di dalam Perjanjian Baru, akan tetapi juga secara konsisten memiliki makna demikian di dalam Perjanjian Lama. Kata ‘membenci’ sering digunakan di dalam Perjanjian Lama, dan tidak dipakai dengan makna ‘kurang mengasihi atau menomor-duakan’.


Kata ‘membenci’ di Perjanjian Lama berarti penolakan, pengabaian, dan bahkan pembunuhan

Tetapi mungkin ada orang yang akan mengingatkan kita tentang Kejadian 29.31, kata membenci tampaknya memang bermakna ‘kurang mengasihi atau menomor-duakan’ saat Yakub berkata bahwa dia mencintai Rahel dan membenci Lea. Tidakkah kata itu bermakna ‘menomor-duakan’? Setidaknya, beberapa terjemahan (termasuk terjemahan LAI) memakai ungkapan yang bermakna ‘kurang mengasihi’. Akan tetapi jika kita memeriksa isi kejadian pasal 29, kata ‘benci’ di sini jelaslah tidak bermakna ‘kurang mengasihi’. Tidak diragukan lagi, kata itu bermakna suatu penolakan, ketidaksukaan, dan malahan pengabaian. Semuanya merupakan ungkapan paralel yang sangat tegas. Terjemahan RSV (Revised Standard Version) memakai kata ‘dislike” (tidak suka) di Ulangan 21.15-17: “Apabila seorang mempunyai dua orang isteri, yang seorang dicintai dan yang lain tidak dicintainya” Anda dapat meneliti ayat itu.

Tidak sulit untuk memahami perasaan Yakub dalam persoalan ini. Ia memang sangat mencintai Rahel, sampai-sampai ia rela bekerja selama tujuh tahun bagi mertuanya untuk mendapatkan Rahel. Masa kerja ini jika dinilai dengan uang nilainya tinggi. Jika memakai standar upah paling rendah (di Kanada) untuk zaman ini, katakanlah Anda berpendapatan $12.000 atau $13.000 per tahun, penghasilan yang jauh di bawah pendapatan rata-rata, maka dalam waktu tujuh tahun sudah terkumpul uang sekitar $100.000. Pengeluaran sebesar $100.000 demi mendapatkan seorang istri bukanlah jumlah yang kecil! Yakub benar-benar sangat mencintai Rahel sehingga baginya masa tujuh tahun sama seperti beberapa hari saja. Akan tetapi masalahnya kemudian menjadi rumit. Setelah bekerja selama tujuh tahun, ia mengira akan segera mendapatkan Rahel. Jadi ketika pemimpin upacara bertanya, “Apakah engkau bersedia menikahi perempuan ini sebagai istrimu yang sah?” Ia segera menjawab, “Ya, saya bersedia!” Mungkin sebelum pertanyaan itu selesai diucapkan, Yakub sudah berkata, “Ya, saya bersedia!” Masalahnya, ketika ia mebuka kerudung mempelainya, yang ia lihat bukanlah Rahel! Tetapi Lea! Ia tertipu oleh mertuanya, dan yang dinikahi saat itu ternyata Lea! Dan ketika ia menuntut penjelasan atas penipuan ini, mertuanya menjawab, “Ya, bukan kebiasaan kami untuk menikahkan anak perempuan yang lebih muda.” Jadi, supaya bisa menikahi anak perempuan yang lebih muda, maka ia harus bekerja selama tujuh tahun lagi! Masa kerjanya sekarang menjadi 14 tahun! Tidak sulit untuk memahami berdasarkan konteks ini mengapa ia membenci Lea. Karena Lea, maka ia harus bekerja selama 14 tahun, bukannya tujuh tahun. Ia tidak pernah mencintai Lea. Ia diperdayai untuk menikahi Lea. Jadi ia membenci Lea, mungkin ada alasan lain selain ini, akan tetapi kemungkinan hal inilah yang menjadi alasan utama. Jadi kata ‘membenci’ memiliki makna yang jauh lebih kuat ketimbang ‘kurang mengasihi’. Tentu saja benar bahwa Yakub ‘kurang mengasihi’ Lea, akan tetapi perasaan itu sedemikian kuatnya hingga mencapai tingkat ketidaksukaan dan bahkan penolakan.

Lalu Lea mengeluh kepada Tuhan dan berkata, “Aku dibenci oleh suamiku.”  Ia sedang mengungkapkan kepedihan hatinya di Kejadian 29.33. Dan Tuhan menerima keluhannya di dalam ayat 31. Tuhan melihat bahwa Lea memang dibenci, ditolak sepenuhnya oleh Yakub. Pemakaian kata ‘benci’ di kitab Kejadian ini tidak dalam artian yang lunak. Jadi, jika Anda ingin mengambil makna dari contoh Lea ini, dan memasukkannya ke dalam Lukas 14.26, maka ayat tersebut akan berbunyi seperti ini: “Kecuali jika seseorang tidak suka atau menolak ayah dan ibunya, maka ia tidak dapat menjadi muridku.” Saya tidak tahu apakah hal ini akan membuat ayat tersebut menjadi lebih mudah Anda terima. Saya sendiri tidak melihat adanya perbedaan makna di sini. Mungkin sedikit melunakkan ketegasannya, akan tetapi maknanya tetap sama saja.

Di Kejadian pasal 37, ada lagi kata ‘benci’. Saudara-saudara Yusuf membenci dirinya, dan hanya karena usulan dari saudara yang tertua sajalah maka saudara-saudara yang lain tidak membunuhnya. Anda dapat melihat kata ‘benci’ ini di ayat 4, 5 dan 8, dan kemudian Anda dapat melihat kata ‘bunuh’ di ayat 20,26,18 dan sebagainya. [Saya menyusunnya dalam urutan seperti itu karena adanya beberapa kata Ibrani yang berbeda yang dipakai untuk kata ‘bunuh’]. Di sini kita mendapati bahwa ‘kebencian’ mengekspresikan dirinya lewat ‘pembunuhan’, dan dalam ‘kematian’. Hal ini sangat penting untuk dipahami karena alasan yang akan kita bahas sebentar lagi.

Ulangan 19.4-10 juga membahas hubungan antara ‘kebencian’ dan ‘pembunuhan’, tentang bagaimana menangani masalah pembunuhan yang tidak dilandasi oleh kebencian, atau yang tidak disengaja. Pada umumnya Anda membunuh karena dorongan kebencian, akan tetapi bagaimana proses hukumnya jika ada peristiwa pembunuhan yang terjadi bukan karena kebencian? Persoalan yang sama juga dibahas di Yosua 20.3-9.

Di dalam Alkitab, kata ‘benci’ merupakan lawan dari kata ‘cinta atau kasih’. Definisi dari kedua kata tersebut juga menunjukkan makna yang berlawanan. Kita dapat melihat hal itu di dalam Hakim-hakim 14.16 di mana istri Simson berkata kepadanya, “Engkau benci saja kepadaku, dan tidak cinta kepadaku…” Saya rasa kita tidak perlu memperbanyak contohnya. Dari referensi tentang kata ‘membenci’ kita dapat menetapkan dasar pengertiannya secara ekseget untuk dapat memahami bahwa pemakaian kata ini, baik oleh Yesus mau pun dalam Perjanjian Lama, memang berisi makna ‘membenci’, bahkan membenci sampai ke tingkat membunuh. Hal ini tidak perlu diragukan lagi. Pada saat ini, Anda mungkin mulai gemetaran. Anda bertanya-tanya, “Saya harap ini bukan pernyataan bahwa Yesus menyuruh kita untuk pergi membunuh orang tua sendiri, bukankah begitu? Anda pasti sedang bercanda!”

Kemudian Yesus menambahkan, “bahkan membenci nyawamu sendiri.” Kalau sudah begini, berarti kita perlu melakukan bunuh diri supaya bisa menjadi murid. Murid-murid yang terbaik pastilah pasien dokter jiwa yang sedang mencoba untuk bunuh diri! Mungkin tempat yang paling tepat untuk mendapatkan murid yang baik adalah di rumah sakit jiwa, di mana kita bisa menanyakan dokter di sana, “Ada pasien dengan kasus percobaan bunuh diri?” Selanjutnya kita segera saja mengabarkan Injil kepada pasien tersebut karena calon yang paling cocok untuk pemuridan adalah orang-orang seperti mereka, apa lagi para pembunuh. Mungkin kita juga perlu datang ke penjara untuk mencari tahanan dengan kasus pembunuhan anggota keluarga sendiri. Kita perlu ke sana dan menginjili mereka karena mereka adalah calon murid yang ideal. Satu-satunya masalah adalah, kemungkinan besar, mereka harus menjadi murid di dalam penjara sampai seumur hidup, karena mereka tidak dapat keluar dari penjara akibat beratnya kasus mereka!


“Pengorbanan terjadi saat engkau mempersembahkan apa yang sangat engkau kasihi”

Apa sebenarnya yang sedang disampaikan oleh Yesus? Apakah Yesus sedang mengatakan bahwa hanya mereka yang membenci diri sendiri saja yang merupakan murid yang sempurna? Haruskah kita membenci diri sendiri karena hanya dengan cara itu kita dapat menjadi murid yang sempurna? Jika demikian halnya, maka kita harus menjalani hidup ini dengan cara pandang yang sangat negatif. Kita harus memenuhi diri ini dengan kebencian supaya bisa menjadi orang Kristen yang baik! Membenci semua orang. Membenci ayah, ibu, istri, anak-anak, saudara dan bahkan diri sendiri! Lalu doktrin dari pengajaran Yesus tentang kasih segera berubah menjadi doktrin membenci, dan murid yang terbaik adalah yang bisa membenci semua orang. Sesungguhnya, jika Anda bisa membenci ayah dan ibu Anda, maka akan mudah bagi Anda untuk membenci orang lain di jalanan! Mereka tidak ada hubungan apa-apa dengan Anda, jadi dengan gampang Anda bisa membenci mereka semua. Mungkin suatu saat nanti Anda perlu membeli sebuah senapan mesin dan menembak semua orang, untuk membuktikan bahwa Anda adalah murid yang baik. Dan Anda bisa berkata, “Lihat, Yesus, aku sudah memenuhi ajaranmu. Engkau menyuruhku untuk berbuat seperti ini, dan aku sudah melakukannya.”

Apa sebenarnya yang sedang disampaikan oleh Yesus? Mungkin Anda akan berkata, “Pak Pendeta, Anda mengatakan bahwa perkataan Yesus kali ini sangat keras, akan tetapi ternyata bukan sekadar keras, malahan mustahil! Saya benar-benar tidak mengerti ajaran ini. Mungkin memang sebetulnya para penerjemah alkitab bahasa Tionghoa itu benar, dan kita memang harus membuang kata ‘membenci’ ini ke dalam tong sampah supaya masalahnya bisa diatasi. Kita abaikan saja yang satu ini, karena semakin diteliti ternyata malah semakin susah dipahami!”

Lalu apa sesungguhnya yang sedang disampaikan oleh Yesus? Mari saya mulai penjelasannya dengan kalimat ini: Tidak sulit untuk mengasihi apa yang kita cintai, namun akan sangat sulit untuk membenci apa yang kita cintai. Apa artinya ini? Dapat dibayangkan seperti jika saya meminta sesuatu dari Anda, dan hal yang saya minta itu sangatlah Anda cintai. Sangat sulit untuk memenuhinya bukan? Contohnya seperti putri saya, ia punya banyak boneka binatang, semuanya diberi nama dan merupakan milik yang sangat berharga buatnya. Kamarnya penuh dengan boneka semacam itu, dan terkadang kita bisa mengalami kemacetan lalu lintas di dalam kamarnya. Ia juga memberi pelajaran buat mereka! Di kamarnya ada sebuah papan tulis, tempat ia menulis dan mengajar mereka. Dan tentu saja, para boneka ini akan duduk manis dan mendengarkan dengan tekun. Mereka tidak pernah berisik ataupun memotong pembicaraan, murid-murid yang ideal. Semua boneka binatang itu sangat berharga baginya.

Jika Anda berkata, “Bolehkah saya minta satu?”

“Ini? O! Tidak, tidak! Tidak boleh!”

“Bagaimana dengan yang itu?”

“O, tidak, tidak, tidak! Tidak boleh!” Dia mungkin tidak keberatan jika yang diminta adalah boneka yang bukan model binatang dan yang sudah robek, yang sudah tersingkir ke gudang. Mengapa? Karena dia memang tidak begitu suka dengan model yang bukan binatang. Ia sangat menyayangi binatang, jadi boneka-boneka jenis yang lain tidak begitu diminatinya. Jadi jika Anda meminta boneka biasa, maka dia akan berkata, “Baiklah, yang itu boleh diambil, tapi jangan yang ini.” Mengapa ia bersedia memberikan boneka itu buat Anda? Karena tidak begitu berharga baginya. Ia tidak seberapa mengasihi barang-barang tersebut. Akan tetapi ia sangat mengasihi boneka binatang, dan mereka dianggap sebagai anak-anaknya.

Apa yang sedang kita bicarakan? Jika kita memang membenci hidup kita dan kita memang berniat bunuh diri, maka akan menjadi sangat mudah bagi kita untuk menyerahkan nyawa kita. Jika Anda membenci diri sendiri, Anda akan berkata, “Engkau menginginkan nyawaku? Ambil saja. Aku sendiri memang mau bunuh diri, jadi kalau engkau mau membunuhku, itu sangat membantu. Kenapa tidak kau lakukan sekarang saja?” Jika Anda sudah membenci diri sendiri, dengan alasan apa pun, maka akan sangat mudah bagi Anda untuk merelakannya. Jika Anda membenci orang tua Anda, maka akan sangat mudah untuk merelakan orang tua Anda karena Anda memang benci kepada mereka. “Tolong singkirkan mereka. Saya tidak suka dengan mereka. Bunuh sajalah.” Akan tetapi jika Anda mengasihi orang tua Anda, akan sangat sulit untuk merelakan mereka, bukankah begitu? Sangat sulit sekali.

Hal yang membuat ajaran Yesus ini terasa sangat sulit adalah justru karena saya sangat mengasihi diri saya sendiri. Memang wajar jika saya mengasihi diri sendiri, jika tidak, maka tentu ada yang salah dengan mental saya. Mengapa masyarakat memasukkan orang yang punya kecenderungan untuk bunuh diri ke dalam rumah sakit jiwa? Karena hal itu menunjukkan adanya suatu ketidak-seimbangan jiwa. Ada yang salah dengan mereka. Dan tentu saja, Yesus tidak menyarankan bahwa calon murid yang paling cocok adalah orang yang punya masalah kejiwaan. Jika Anda membenci saudara Anda, dan ada orang yang meminta kerelaan Anda untuk menyerahkannya, Anda akan berkata, “Tidak masalah. Ambil saja. Saya tidak punya waktu untuk dia. Dia sangat menyebalkan. Ambil saja!” Sangat mudah untuk memberikan apa yang tidak Anda sukai.

Itu sebabnya mengapa di dalam Perjanjian Lama, pada bagian yang mengatur tentang persembahan, hewan yang dipersembahkan kepada Allah haruslah sempurna. Jika ada cacat sekecil apa pun, Anda tidak boleh mempersembahkannya kepada Allah. Si gembala tidak boleh berkata, “Dari semua dombaku, yang lumpuh itulah yang akan kupersembahkan di bait Allah nanti.” Tidak boleh begitu. Anda akan dapat menemui ayat-ayat yang mengatur hal ini berulang kali di dalam Perjanjian Lama. Bukan sekadar yang lumpuh, bahkan ketidaksempurnaan sekecil apa pun sudah membuatnya tidak layak untuk dipersembahkan. Hewan persembahan Anda harus yang tidak bercacat. Harus yang terbaik. Hanya yang terbaik yang boleh dipersembahkan kepada Allah. Apakah Anda mulai dapat memahaminya?

Apa yang sedang kita bicarakan? Mari kita rangkai semua fakta ini, dan gambarannya akan segera muncul. Pertama, jika Anda mempersembahkan sesuatu yang memang Anda benci, itu berarti Anda tidak mempersembahkan apa-apa. Hanya jika Anda mempersembahkan apa yang Anda kasihi, barulah muncul suatu pengorbanan. Yesus sedang berbicara tentang anggaran biaya di sini, bukankah begitu? Jika Anda mempersembahkan sesuatu yang memang Anda benci, tidak ada pengorbanan yang terjadi, Anda justru senang akan hal itu. Jika Anda membenci sampah, apakah membuang sampah itu suatu pengorbanan? Pengorbanan itu baru terasa jika yang Anda korbankan adalah apa yang sangat Anda kasihi, misalnya orang tua Anda. Semakin besar kasih Anda terhadap sesuatu, semakin sulit untuk merelakannya. Karena saya sangat mengasihi diri sendiri, maka ketika Yesus berkata, “Engkau harus menyangkal dirimu,” urusannya jadi sangat sulit! Jika saya muak dengan diri sendiri, tidak susah untuk menyangkal diri ini. Semakin besar kasih pada diri sendiri, akan semakin sulit dalam bergumul dengan ucapan yang disampaikan di sini. Namun kasih kepada diri sendiri adalah perkara yang normal. Saya pun mengasihi diri saya ini, dan saya tidak merasa malu untuk menyatakannya. Apakah Anda mengasihi diri Anda sendiri? Anda mungkin tergolong sebagai orang yang sangat munafik atau justru punya masalah kejiwaan jika Anda mengaku tidak mengasihi diri sendiri. Tidak ada kemungkinan yang lain. Anda pasti mengasihi diri sendiri!

Kenyatannya, Kitab Suci memberitahu kita: Kasihilah sesamamu manusia seperti diri sendiri. Jika saya mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, maka semakin besar kasih ini kepada diri sendiri seharusnya semakin besar pula kasih saya kepada sesama manusia. Inti dari seluruh Perintah Allah, bahkan seluruh Perjanjian Lama, dirangkum dalam pernyataan ini:

“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Ul. 6.4, Mat. 22.37-39).

Jadi di dalam perintah Allah, mengasihi diri diperbolehkan asal dijalankan dengan benar. Allah tidak menghendaki kita menjadi orang yang membenci diri sendiri. Karena jika begitu, setiap kali kita merasa senang kita akan selanjutnya dilanda rasa bersalah, saya melihat ada cukup banyak orang Kristen yang mengalami persoalan seperti ini. Anda bangun di pagi hari dan Anda merasa sangat senang sehingga Anda terdorong untuk memuji Tuhan, lalu Anda mendadak berkata, “Maafkan saya Tuhan. Seharusnya saya tidak membiarkan perasaan seperti ini muncul. Seharusnya saya membenci diri sendiri.” Atau ketika Anda sedang berjalan di taman kota, menikmati pemandangan dan burung-burung, sangat indah dan Anda mulai merasa senang, lalu Anda berkata, “Aku harus membenci diri sendiri, menyangkal diri. Aku tidak boleh menikmati pemandangan dan burung-burung. Jauhi semua ini!” Sambil menggigit bibir, Anda menjalankan tekad itu. Ini tentu saja omong kosong! Kita tidak perlu meminta maaf karena sudah menikmati hidup ini, Paulus sendiri sangat menikmati hidupnya. Ia berkata, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Filipi 4.4). Seolah-olah ia khawatir bahwa Anda tidak dapat memahami kalimat yang pertama, sampai-sampai ia berkata, “Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” Apa yang salah dengan sukacita? Buah Roh mencakup kasih, sukacita, damai sejahtera. Lalu bagaimana kita akan memahami hal ini? Tentu saja tidak ada salahnya mengasihi diri sendiri jika caranya benar. Kesulitannya memang terletak pada pernyataan Yesus, “Bencilah apa yang kau kasihi.” Dan Anda menjawab, “Saya bingung, bagaimana saya bisa membenci apa yang saya kasihi?”


Keselamatan dan Iman Abraham: Persembahkanlah ‘Ishak’-mu kepada Allah.

Apa maksudnya membenci apa yang kita kasihi? Rahasia untuk memahami ayat ini, Lukas 14.25-33, adalah dengan memahami apa yang terdapat di dalam Kejadian 22.10 –

Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya.

Di situ terlihat contoh klasik dari iman. Kita diselamatkan oleh iman, dan di dalam bagian yang sedang kita pelajari ini, Yesus berkata, “Tanpa iman, engkau tidak dapat menjadi muridku.” Rasul Paulus tahu persis apa yang dimaksudkan oleh Yesus. Akan tetapi bagaimana iman itu diwujudkan? Iman diwujudkan dengan mempersembahkan hal yang paling Anda kasihi kepada Allah.

Allah berkata kepada Abraham, “Persembahkanlah Ishak.” Jika Abraham memang membenci Ishak, dan Allah berkata, “Persembahkanlah Ishak,” maka Abraham akan menjawab, “Beres, Tuhan. Engkau menghendaki Ishak? Boleh saya bunuh sekarang? Apa saya harus menunggu tiga hari lagi? Itu terlalu lama. Bagaimana kalau sekarang saja?” Kenyataannya tidak seperti itu. Karena Abraham sangat mencintai Ishak- ‘amat sangat mengasihi’ – maka Allah berkata, “Engkau harus membenci apa yang kau kasihi-bunuhlah dia.” Dan di dalam Kejadian 22.10, Abraham mengambil pisau untuk menyembelih anaknya. Ini merupakan ungkapan puncak dari ‘kebencian’. Perhatikan, kebencian dalam hal ini tidak dikaitkan dengan perasaan; ia menyangkut tindakan membunuh seseorang yang Anda kasihi. Anda tidak akan membunuh orang yang Anda kasihi, bukankah begitu? Tentu Anda tidak mau. Akan tetapi Abraham disuruh membunuh anak yang sangat dikasihinya; ia harus membenci apa yang ia kasihi. Tindakan ini tidak berkaitan dengan perasaan, tetapi dengan perbuatan. Inilah ungkapan yang paling puncak dari iman, dan diulangi berkali-kali di dalam Perjanjian Baru. Perhatikan baik-baik: kita disuruh membenci bukan dalam kaitannya dengan perasaan, melainkan dalam arti mempersembahkannya kepada Allah. Kita harus membenci diri kita, bukan dalam arti kita kemudian tidak menyukai diri kita lagi, karena kita tidak mungkin dapat melakukannya. Hanya orang tidak waras yang berpikiran seperti itu. Akan terdengar sangat konyol! Terlebih lagi kita tahu bahwa di dalam Alkitab diajarkan bahwa kita harus mengasihi, menghargai diri sendiri, istri, anak-anak, saudara dan orang tua. Mereka pasti sangat berharga bagi kita. Akan tetapi Yesus berkata, “Aku ingin agar engkau mempersembahkan apa yang paling berharga bagimu, bahkan dirimu sekalian, seperti Abraham telah mempersembahkan Ishak.” Memang, Yesus tidak menyuruh kita untuk mempersembahkan manusia atau barang-barang yang kita kasihi secara harfiah atau jasmani.

Saya sering bertanya-tanya, dari mana Paulus mendapatkan ide tentang kurban rohani di dalam Roma 12.1-2, ayat yang sering kita kutip. Dari mana ia mendapat ide itu? Seringkali saya menjadi kagum dengan kedalaman pemahaman dari Paulus. Dari peristiwa pengorbanan Ishak itulah Paulus menguraikan pandangannya: seperti Abraham telah mempersembahkan Ishak, maka kita juga harus mempersembahkan segala yang kita kasihi – termasuk diri sendiri. Mengapa saya menjelaskan seperti ini? Karena Paulus menjelaskan berulang kali bahwa kita diselamatkan oleh iman yang seperti yang dimiliki Abraham. Itu sebabnya mengapa Abraham sering disebut di dalam Perjanjian Baru. Di Roma 4.16, Paulus berbicara tentang ‘hidup dari iman Abraham’ atau “kita mengambil bagian dalam iman Abraham” (RSV) karena kita diselamatkan oleh iman yang sama dengan iman yang dimiliki oleh Abraham.

Apa arti semua ini? Reformasi gereja telah menyingkapkan satu kebenaran besar yang sudah lama terkubur. Ketika orang-orang berjuang mengejar keselamatan mereka dengan perbuatan baik, Martin Luther menemukan satu pemahaman yang penting dari penelitiannya terhadap surat Galatia secara khusus, dan juga terhadap surat Roma. Kita tidak diselamatkan oleh perbuatan yang kita lakukan, seperti memberi sedekah, berpuasa, makan ikan di hari Jumat dan sebagainya, akan tetapi kita diselamatkan oleh iman – dan ini adalah satu pemahaman yang sangat tepat. Akan tetapi, sesudah menyingkapkan betapa pentingnya iman, Reformasi itu ternyata gagal memberi kejelasan kepada kita tentang apa arti iman itu – dan ini berakibat sangat fatal bagi kita-hal yang belakangan ini baru kita ketahui. Akibatnya hari ini, terdapat begitu banyak tesis doktoral yang ditulis tentang subyek iman. Reformasi telah membuat orang berusaha untuk menemukan apa artinya iman. Jika Anda berkata bahwa iman itu adalah percaya, sejauh mana lingkup percaya itu? Apakah segala macam percaya menyelamatkan? Sering kali kita mendengar pengkhotbah mendefinisikan iman dalam pengertian percaya. Kita percaya pada pengemudi mobil atau bis, atau pilot pesawat, dan kita semua mempunyai iman dalam pengertian bahwa kita percaya pada operator-operator ini.

Apa arti ‘kita diselamatkan oleh iman’? Dalam artian apa kita percaya kepada Allah? Definisi yang diberikan sangat kabur dan tidak jelas. Dalam pengertian itu, kita tertanya-tanya apakah kita diselamatkan dengan berbekal kepercayaan model apapun kepada Allah. Dengan pemahaman seperti itu, akibatnya hampir setiap orang mempunyai kepercayaan yang kabur kepada Allah. Anda nyaris dapat berkata bahwa beberapa orang mempunyai iman yang mendekati takhyul. Ada yang menggantung sebuah salib kecil di dalam mobilnya dengan harapan supaya tidak mendapat kecelakaan di tengah jalan. Mereka mengira bahwa Allah tidak akan membiarkan salib itu tertimpa kecelakaan, dan karena mereka berada bersama salib tersebut, maka mereka juga ikut terlindungi. Mereka pikir Allah tentu tidak akan mau Nama-Nya dipermalukan oleh peristiwa kecelakaan yang menimpa salib itu. Inikah iman? Mereka percaya bahwa Allah akan melindungi salib tersebut. Inikah yang disebut percaya? Inikah iman yang menyelamatkan? Anda mungkin akan berkata, “Tidak.” Mengapa tidak? Jawab Anda, “Ada yang salah dalam kepercayaannya.” Bagaimana salahnya? Apakah itu hanya masalah seberapa besar kepercayaan yang harus dimiliki? Lalu, berapa besar kepercayaan yang mencukupi untuk dapat diselamatkan?

Ini adalah persoalan yang belum dituntaskan dari Reformasi itu, dan kita sekarang ini mewarisi persoalan itu. Penginjil merasa sangat yakin saat berkata, “Percayalah kepada Yesus, dan Anda akan diselamatkan.” Apa arti percaya kepada Yesus? Apakah itu berarti bahwa Anda percaya bahwa pernah ada seseorang bernama Yesus di dunia ini? Atau percaya bahwa dia sudah mati di kayu salib? Tidak susah untuk mempercayai hal-hal ini. Anda cukup mempelajari fakta sejarah, dan itu semua akan dapat dibuktikan. Anda juga dapat mempercayai ia mati di kayu salib, dan bukan sekadar itu, Yesus juga mati bagi semua orang di dunia termasuk Anda. Apakah Anda akan percaya bahwa Yesus dibangkitkan dari antara orang mati? Anda bisa juga mempercayai hal itu. Lalu Anda bertanya, “Apa lagi yang harus saya percayai? Sebutkan saja, saya bersedia mempercayainya. Saya percaya pada Kredo Nicene, Kredo Konstantinopel, dan kredo-kredo lainnya, tinggal sebut saja, saya mau percaya. Apa dengan begitu saya sudah diselamatkan? Apa lagi yang harus saya lakukan?” Inilah persoalan yang kita warisi dari Reformasi.

Kenyataannya, sebagaimana yang sudah saya bahas, persoalan ini sedemikian besar sehingga begitu banyak orang yang menulis buku atau disertasi doktoral atas masalah ini. Saya sendiri membahas hal itu dalam disertasi yang saya rencanakan dulu. Sekitar tiga ratus halaman saya habiskan untuk membahas persoalan: “Arti Iman di dalam Perjanjian Baru.” Semakin saya menelitinya, semakin rumit masalah arti iman ini, semakin saya tidak mengerti apa artinya iman. Kita diselamatkan oleh iman, tetapi kita tidak tahu apa arti iman itu. Tentu saja, sebagian dari Anda sudah mendengar bahwa saya tidak jadi menyerahkan tesis itu, walau pun sudah saya selesaikan sebelum keberangkatan saya ke Zurich. Saya harus mengesampingkan niat untuk tinggal di Zurich selama sekitar tiga tahun karena alasan keuangan dan yang lain-lainnya. Namun tiga ratus halaman itu masih tersimpan rapi.

Beberapa waktu kemudian, seorang teman saya di Manchester menulis tesis doktoralnya dengan subyek yang sama persis, arti iman. Ada begitu banyak tesis tentang arti iman, jumlah yang akan mengejutkan Anda. Mengapa ada begitu banyak tesis tentang hal ini disusun? Karena tesis-tesis yang pernah disusun sebelumnya ternyata tidak memecahkan persoalan, jadi Anda akan menemukan tesis yang baru lagi, dan yang lebih baru lagi, sampai akhirnya semua orang menulis tesis tentang pokok ini. Dan sekalipun seseorang tidak dapat menjawab persoalannya, ia tetap mendapatkan gelar doktornya, karena sang profesornya sendiri ternyata tidak tahu definisi yang pasti. Seseorang membuat satu langkah ke depan, dan yang satu lagi menambahkan langkah tersebut.

Akan tetapi pertanyaan, “Apa itu iman yang menyelamatkan?” tidak dapat dibiarkan berlalu tanpa jawaban. Apa jawaban Alkitab untuk pertanyaan ini? Apa jawaban Yesus? Jawabannya sederhana saja, jika kita mengerti ajaran Alkitab. Iman yang menyelamatkan adalah iman yang dimiliki Abraham. Dan inilah alasan mengapa nama Abraham begitu sering disebut di dalam Perjanjian Baru. Iman seperti Abraham, yang membenci apa yang dikasihinya, itulah iman yang menyelamatkan. Mempersembahkan Ishak adalah hal yang sangat menyedihkan hatinya karena ia sangat mengasihi Ishak. Di dalam surat Ibrani, Abraham melakukan dua hal yang membuat dia menjadi teladan iman. Dan Abraham dipanggil sebagai “Bapa orang-orang beriman” di dalam Alkitab. Artinya, jika Anda adalah anak Abraham, maka Anda akan memiliki iman seperti dia, dan melakukan hal yang sama dengan dia. Ini adalah hal yang disampaikan oleh Yesus kepada orang-orang Yahudi di Yohanes 8.39:

“Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham.”

Apa yang Abraham kerjakan? Ia melakukan dua hal, yang diambil sebagai contoh iman di dalam Ibrani. Pertama, di Ibrani 11.8, ketika Allah memanggilnya keluar dari Haran, ia langsung meninggalkan Haran dan semua yang dia punyai di sana dan mengikuti perintah Allah. Kedua, di Ibrani 11.17, ketika ia mempersembahkan Ishak. Dalam kedua hal tersebut, langkah yang dia tempuh adalah cerminan dari komitmen total untuk mentaati perintah Allah. Langkah yang pertama adalah meninggalkan segalanya di belakang dan pergi dari negerinya menuju tanah baru yang disebut Kanaan, dan langkah yang lainnya adalah mempersembahkan Ishak. Itulah kedua contoh iman Abraham yang dikutip di dalam Alkitab. Contoh-contoh itu juga dikutip di surat Roma 4.12,16. Yakobus pun mengutipnya di Yak.2:21-23 sebagai contoh iman. Yakobus mengutip peristiwa Abraham mempersembahkan Ishak sebagai contoh iman.

Dan hal inilah persisnya yang sedang disampaikan oleh Yesus, “Sama seperti Abraham membenci apa yang dikasihinya, jadi tidak ada orang yang dapat menjadi muridku jika ia tidak dengan komitmen yang total membenci apa yang dikasihinya.” Apakah Anda mengasihi diri Anda? Jadi Anda harus membenci diri Anda, yaitu dengan mempersembahkannya kepada Allah. Apakah Anda mengasihi orang tua Anda? Persembahkanlah hubungan itu kepada Allah. Apakah Anda mengasihi istri Anda? Alkitab menyuruh Anda untuk mengasihi istri Anda, akan tetapi dikatakan di sini juga ‘melainkan Anda membenci istri Anda’. Alkitab menyuruh kita untuk mengasihi anak-anak kita, tetapi di sini juga dikatakan bahwa kita harus membenci mereka. Apa artinya itu? Kita mempersembahkan mereka kepada Tuhan. Hal ini sangat penting. Banyak orang berkata, “Kalau saja saya tidak menikah, saya pasti bisa melayani Tuhan.” Dengan kata lain sebenarnya ia sedang berkata, “Saya tidak melayani Tuhan karena sudah beristri.” Berarti mereka tidak memahami ajaran Alkitab. Anda harus mengasihi istri Anda, akan tetapi kasih Anda kepada sang istri tidak boleh menghambat jalannya pemuridan. Kasih Anda kepada Allah tidak boleh terhalang oleh kasih Anda kepada istri. Jadi, persembahkanlah kasih Anda terhadap sang istri itu kepada Allah. Banyak orang juga berkata, “Seandainya saya tidak punya anak, pasti saya bisa melayani Tuhan.” Kasih Anda terhadap anak-anak harus dipersembahkan juga kepada Allah. Membenci apa yang Anda kasihi berarti Anda harus mempersembahkan hal itu kepada Allah supaya kasih Anda kepada Allah tidak terhalang.

Apakah perkataan ini masih sulit ditelan? Perkataan ini akan sangat sulit ditelan kalau Anda masih belum siap untuk menjadi seorang murid. Anda tidak akan dapat menelannya. Namun jika Anda memiliki iman seperti iman Abraham, yang tidak ragu-ragu untuk mematuhi ketika Allah menyuruhnya untuk mempersembahkan anak yang sangat ia kasihi, maka Lukas 14.26 ini tidak akan menyangkut di tenggorokan Anda. Bencilah apa yang Anda kasihi, dan persembahkan itu kepada Allah sepenuhnya, dan arahkan hubungan Anda kepada Allah. Persembahkanlah apa yang Anda kasihi, berikan itu kepada Allah dan jangan terikat lagi padanya selamanya. Hal ini dinyatakan dengan sangat indah di dalam Ibrani 11.19: Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali, yakni Abraham menerima Ishak kembali dari antara orang mati dalam pengertian Ishak bukan lagi kepunyaannya. Ia sudah membunuh Ishak, walaupun tidak secara jasmani. Di dalam hatinya, ia sudah membuang keterikatan yang lama dan memandang Ishak bukan lagi sebagai miliknya. Abraham sudah mempersembahkan Ishak kepada Allah, dan sejak itu, maka Ishak menjadi milik Allah selamanya. Semoga kita dapat mempersembahkan apa yang kita kasihi kepada Allah di dalam pengertian yang sama, memutuskan sama sekali keterikatan perasaan, membuang hasrat untuk memandangnya sebagai milik pribadi, dan mempersembahkannya secara penuh kepada Allah. Dalam konteks itulah Yesus menyampaikan,

“Jikalau seorang datang kepada-ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-ku.”

Berikan Komentar Anda: