Pastor Eric Chang | Lukas 14:33 |

Banyak orang Kristen yang menjalani kehidupan dalam kelemahan, tanpa kuasa, tanpa sukacita dan damai sejahtera. Lalu mereka bertanya-tanya, “Apa yang menjadi masalahnya? Mengapa saya tidak mengalami kesempurnaan hidup baru di dalam Kristus? Hal ini dijanjikan Firman Tuhan, tetapi mengapa saya tidak pernah mengalaminya?

Banyak jemaat yang mengaku bahwa mereka belum pernah mati secara rohani. Karena mereka belum mati, maka belum terjadi kelahiran baru itu. Namun, bukankah ketika dibaptis dulu, mereka seharusnya sudah mati bersama Kristus? Akan tetapi, kenyataannya adalah perilaku dan cara bertindak mereka sesudah itu menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka sesungguhnya belum mati. Jika memang sudah mati, mungkin masih belum sepenuhnya. Jika belum mati sepenuhnya, apakah itu dapat disebut mati? Jika kenyataannya memang belum mati, tidaklah mungkin untuk mereka memperoleh kesempurnaan hidup baru di dalam Kristus.


Komitmen P
arsial adalah Musuh Kita

Kenapa mereka belum pernah mati secara rohani? Seringkali alasannya adalah mereka belum pernah berkomitmen total kepada Tuhan. Komitmen mereka ternyata hanya mencakup sebagian dari hidup mereka saja. Komitmen yang sifatnya sebagian merupakan musuh bagi komitmen yang total. Jika Anda sudah membuat komitmen dalam satu area, lalu menganggap bahwa hal yang sebagian itu sudah mewakili seluruh hidup Anda, tindakan Anda itu sangat berbahaya.

Apa bahaya dari komitmen yang parsial atau setengah-setengah? Sebagai contoh, seseorang melepaskan pekerjaannya untuk melayani Tuhan. Dengan melepaskan pekerjaannya, ia merasa sudah menunjukkan keutuhan komitmennya. Hal itu memang sebuah komitmen, tetapi apakah itu total? Seseorang dapat saja melepaskan pekerjaannya, tetapi apa artinya jika di dalam melepaskan pekerjaannya ataupun kekayaannya itu, ia tidak melepaskan kebiasaan marahnya atau keegoisannya? Apa yang sudah ia korbankan itu sebenarnya justru lebih kecil nilainya dibandingkan dengan apa yang ia pertahankan. Apa gunanya melepaskan pekerjaan jika Anda masih memelihara keegoisan, kejahatan dan watak pemarah Anda? Apakah hal yang Anda lepaskan itu dipandang berarti oleh Allah? Itulah maksud dari pernyataan: Yang sebagian itu menjadi musuh bagi yang total. Kebanyakan orang mengira bahwa dengan mengorbankan pekerjaannya, maka itu sudah merupakan pengorbanan segala-galanya. Sama sekali belum, jika mereka belum mengucapkan selamat tinggal kepada sikap mereka yang lama. Mereka masuk ke ladang Allah dengan masih membawa sikap egoisnya, satu-satunya perbedaan adalah mereka sudah melepaskan pekerjaannya.

Banyak juga orang yang menjadi Kristen, atau bahkan masuk dalam pelayanan full-time, hanya untuk mengejar kepuasan batin yang tidak dapat diberikan oleh pekerjaan mereka. Hal ini tidak salah. Memang benar, ada kepuasan yang didapat dari melayani Allah, suatu hal yang tidak dapat diberikan oleh pekerjaan apa pun di dunia ini! Ketika mereka menyaksikan bagaimana kuasa Allah mengubah kehidupan orang-orang yang melayani-Nya dan memberikan kepuasan yang tidak dapat diberikan oleh pekerjaan apa pun, mereka juga jadi tertarik. Tidak ada salahnya masuk ke ladang Allah dengan tujuan mencari kepuasan batin, tetapi bahaya masih mengancam jika mentalitas yang lama belum ditinggalkan. Hasilnya adalah perilaku para hamba Tuhan yang jauh menyimpang dari apa yang seharusnya.

Saya mengunjungi seorang saudara yang dulunya adalah seorang peneliti biokimia dan ia melepaskan gelar doktornya dalam bidang biokimia untuk melayani Tuhan. Ia memberitahu saya bahwa ia pernah datang ke sebuah pertemuan yang khusus bagi para pendeta dan hamba Tuhan. Di pertemuan itu, ia sangat terkejut melihat kelakuan para pendeta dan hamba Tuhan itu. Ia baru masuk ke dalam pelayanan selama setahun, jadi apa yang ia saksikan adalah suatu pengalaman yang membuka matanya. Ia terkejut melihat cara mereka berbicara antara sesama, cara mereka memaksakan pendapat, dan juga kesombongan mereka. Ketika ia sudah tidak tahan lagi, ia berdiri dan menegur para pendeta itu, “Saya malu berada di tengah-tengah Anda saat ini! Kelakuan Anda benar-benar mempermalukan Injil!” Mengapa orang yang sudah membuat komitmen melayani secara full-time berperilaku seperti itu? Alasannya sederhana: mereka memang sudah membuat satu komitmen, mereka memang sudah meninggalkan pekerjaan lamanya, akan tetapi mereka tidak meninggalkan watak lamanya yang pemarah dan mentalitas lamanya. Mereka membawa semua itu ke dalam pelayanan, dan hasilnya adalah bencana!

Bagaimana dengan Anda? Anda mungkin sudah membuat komitmen kepada Tuhan sewaktu dibaptis dan berkata, “Baik Tuhan, saya akan menyerahkan hidup saya ke dalam tangan-Mu, dan mulai sekarang diri saya ini sepenuhnya menjadi milik-Mu.” Akan tetapi, Anda membawa serta watak lama Anda — suka mencari-cari kesalahan orang lain, penggerutu, pemarah, dan kepentingan pribadi — ke dalam ‘kehidupan Kristen yang baru’. Bagaimana mungkin hidup Anda menjadi benar-benar baru jika semua sampah masa lalu ini masih Anda pertahankan? Kemudian Anda bingung, “Mengapa saya tidak tahu apakah saya sudah mati atau belum? Mungkinkah orang yang sudah mati tidak tahu bahwa ia sudah mati? Atau dengan kata lain, tahukah Anda apakah Anda sekarang ini hidup atau tidak? Saya dapat berkata dengan terus terang tanpa takut keliru bahwa pada saat ini, saya hidup. Saya dapat berkata dengan penuh keyakinan, dengan penuh kepercayaan, bahwa oleh kasih karunia Allah, saya masih hidup. Saya tidak mati. Akan tetapi, jika Anda tidak tahu apakah Anda mati, Anda juga tidak tahu apakah Anda hidup, Anda tidak tahu sedang berada di mana. Lalu, orang Kristen macam apakah Anda ini?

Mungkinkah ada orang yang membuat komitmen dan tidak tahu apakah ia sudah membuat komitmen itu atau belum? Mungkinkah seseorang masuk ke dalam baptisan untuk mati bersama Kristus dan kemudian berkata, “Saya tidak tahu apakah saya sudah mati atau belum”? Tampaknya jawaban bagi pertanyaan tersebut adalah, “Ya”, dan ini adalah salah satu perkara yang aneh dalam dunia rohani!


Harga
untuk Menjadi Murid

Hal ini membawa kita kepada pertanyaan penting lainnya: Apakah pengudusan di dalam hidup yang baru itu bersifat seketika atau bertahap (progresif)? Atau, apakah seorang Kristen itu akan masuk ke dalam suatu proses kematian yang bertahap sehingga jalan hidup seorang Kristen bukan merupakan suatu proses pertumbuhan dan kehidupan melainkan suatu proses kematian? Atau apakah mungkin sebagian waktu kita menjalani proses kematian, dan sebagian waktu yang lain kita menjalani kehidupan; atau mungkin saat kita mati kita hidup, apapun artinya. Konsepnya jadi sulit dipahami.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita kembali kepada pengajaran Yesus di Lukas 14:33 yang merupakan kesimpulan dari paragraf yang berbunyi, “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridku.”

Mari kita baca Lukas 14:25-33 untuk melihat seluruh konteksnya.

25 Banyak orang berjalan bersama-sama dengan Yesus. Kemudian Yesus menoleh kepada mereka dan berkata,
26 “Jika seseorang datang kepada-Ku tetapi tidak membenci ayah dan ibunya, istri dan anak-anaknya, saudara laki-laki dan saudara perempuannya, bahkan hidupnya sendiri, ia tidak bisa menjadi murid-Ku.
27 Siapa pun yang tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak bisa menjadi murid-Ku.
28 Siapakah di antara kamu yang ingin mendirikan sebuah menara, tetapi tidak duduk terlebih dahulu dan menghitung biaya untuk mengetahui apakah ia memiliki cukup uang untuk menyelesaikannya?
29 Jika tidak demikian, ketika ia meletakkan fondasi dan tidak sanggup menyelesaikannya, semua orang yang melihatnya akan menertawakan dia.
30 Orang-orang itu akan berkata, ‘Orang ini mulai membangun, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.’
31 Atau, raja manakah yang akan pergi berperang melawan raja lain tetapi tidak duduk terlebih dahulu dan mempertimbangkan apakah ia bersama 10 ribu tentaranya dapat melawan musuhnya yang memiliki 20 ribu tentara?
32 Jika ia tidak dapat mengalahkan raja lain itu, ia akan mengirim seorang utusan dan menanyakan syarat-syarat perdamaian ketika pasukan lawannya itu masih jauh.
33 Begitu juga dengan kamu masing-masing, tidak ada seorang pun di antaramu yang dapat menjadi murid-Ku jika ia tidak menyerahkan seluruh kepunyaannya.”

Cermati ayat 33 yang berbunyi, “…tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya“. Kemutlakan kalimat ini membuat kita merasa sangat tidak nyaman. Tuntutannya terlalu mutlak. Tuntutan yang tanpa batas. Ia menuntut segalanya. Perhatikan kata-kata, “melepaskan diri dari segala miliknya“.  Kata ‘segala’ yang membuat kita merasa tidak nyaman. Tidak ada cara kita bisa menghindari kata ‘segala’ ini. Keselamatan dari Allah adalah anugerah dari kasih karunia, tetapi begitu Anda menerima karunia ini, Anda harus mengorbankan segala yang lainnya. Mutiara yang harganya tak ternilai itu, mungkin merupakan suatu anugerah, tetapi Anda harus menjual segala yang Anda miliki untuk bisa mendapatkannya. Kasih karunia yang diberitakan dalam Alkitab sangatlah ‘mahal’.

Namun di zaman ini, gereja terlalu sering memberitakan kasih karunia yang sangat ‘murah’, yaitu kasih karunia yang begitu murahnya sampai-sampai menjadi barang gratisan, obralan yang tidak mungkin bisa disaingi oleh toko mana pun. Pemberitaan seperti ini hanya sedikit sekali kemiripannya dengan apa yang Yesus sampaikan. Perhatikan baik-baik kata: tiap-tiap orang di antara kamu — tidak peduli siapa pun Anda, bukan sekadar rasul, nabi atau orang Kristen yang punya standar tinggi, melainkan — tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya…

Mengapa saya kembali kepada kalimat tersebut? Karena jika Anda berkata, “Saya akan menjadi orang Kristen yang moderat. Saya tidak ingin menjadi orang Kristen yang fanatik yang serba ‘segalanya’, saya mau yang sedang-sedang saja,” maka Anda tidak akan mengalami kelimpahan yang Yesus janjikan. Anda justru harus membayar harga lebih tinggi ke depannya. Apa harga yang lebih tinggi itu? Kebanyakan orang Kristen mendapati bahwa mereka justru terpuruk di dalam “kematian” dan bukannya hidup yang berkelimpahan seperti yang dijanjikan oleh Yesus. Ringkasnya, menolak perkataan Yesus berarti maut. Lalu di dalam keseharian Anda, pengalaman yang akan Anda dapatkan adalah kekalahan demi kekalahan, kegagalan demi kegagalan, yang berujung kepada maut!

Namun, jika Anda menerima perkataan Yesus dan menerapkannya, Anda akan mengalami realitas dari Yohanes 10:10, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Untuk memperolehnya, Anda harus mengorbankan segala-galanya. Jika Anda mencoba untuk berdiri di tengah dan berkata, “Baiklah, ajaran Yesus sangat ekstrim, dan gereja ini terlalu ekstrim. Yang satu bilang itu adalah hadiah gratis, sementara yang satunya lagi bilang bahwa itu akan menuntut pengorbanan segala-galanya, jadi lebih baik saya pilih tempat yang di tengah saja supaya aman.” Dengan membuat pilihan seperti itu, Anda tidak akan mendapatkan apa-apa. Anda akan masuk ke dalam suatu kehidupan Kristen yang sangat menyedihkan, mungkin lebih baik jika Anda kembali ke kehidupan duniawi saja. Nikmatilah kehidupan dunia selagi bisa! Kalau tidak, Anda hanya akan mengalami kesengsaraan pada masa kini dan juga pada masa yang akan datang, pada saat penghakiman. Paling tidak, nikmati saja hidup yang ada sekarang ini, sekalipun Anda harus menghadapi kesengsaraan pada masa nanti, saat Penghakiman nanti. Akan tetapi, jika Anda memilih untuk menjalani kesengsaraan di masa kini sekaligus pada masa yang akan datang, sudah pasti ini adalah pilihan yang paling bodoh.

Pilihan orang dunia masih lebih bijak. Ia memperhitungkan bahwa jika nanti harus menghadapi Penghakiman, hukuman kekal, ia akan mengejar kepuasan hidup duniawi semaksimal mungkin, walau hanya untuk 20 atau 30 tahun saja. Paling tidak, masih ada bagian kehidupan yang bisa dinikmatinya. Namun, apa gunanya menjalani kesengsaraan pada masa kini dan tetap harus menerima hukuman kekal nantinya? Logika macam apa ini? Ini adalah suatu kebodohan! Kebebalan! Itu sebabnya mengapa Yesus berkata, “Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang” (Luk 16:8). Menyedihkan sekali jika kita nanti melihat: “anak-anak Kerajaan itu akan dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap” (Mat 9:12)! Namun, masih ada juga orang Kristen yang bertanya, “Mengapa kehidupan Kristen itu tidak seindah yang Yesus katakan?” Jawabannya sederhana, karena Anda tidak memenuhi persyaratannya.


Apa yang
Tercakup di dalam Kata “Segalanya”?

Setelah memeriksa kata ‘segala’, mari kita perhatikan kalimat, “tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridku.” Kita memahami kata ‘segala miliknya’ sebagai mengacu pada harta benda. Kenyataanya, konteks ayat ini tidak terlalu berkaitan dengan harta benda. Saat kita membaca ungkapan “melepaskan diri dari segala miliknya”, maka yang segera terbayang di dalam otak adalah rumah, rekening bank, penghasilan, uang yang saya tabung untuk masa depan dan harta di dunia ini. Ungkapan ‘segala miliknya’ memang mencakup harta benda, tetapi itu bukanlah rujukan utamanya. Anda bisa saja mengorbankan segala harta itu dan bahkan sampai mengorbankan tubuh Anda sebagai kurban bakaran. Namun, tidak akan ada gunanya jika penyerahan harta benda itu menjadi pengganti dari penyerahan sesuatu yang sebenarnya jauh lebih penting, yakni cara hidup kita yang mementingkan diri sendiri.

Sangat mudah untuk mengorbankan harta benda jika kekayaan Anda tidak seberapa. Jika saya hanya memiliki 100 dolar di tangan, dan Allah berkata, “Serahkanlah segala milikmu,” dengan mudah saya akan menyerahkan 100 dolar itu. Jika pekerjaan Anda tidak terlalu memuaskan, Anda sudah muak dengan bos Anda yang selalu menekan bawahannya, dan juga rekan-rekan sekerja yang selalu mencemari paru-paru saya dengan asap rokoknya, maka saya akan berkata, “Melepaskan pekerjaan? Haleluyah! Saya akan meninggalkannya. Saya siap mengorbankan segalanya!” Sangat gampang, tidak berat sama sekali. Namun, saya masih mempertahankan sifat pemarah saya, keegoisan saya, dan kesombongan saya dan membawa semua itu masuk ke dalam gereja.

Anda tidak dapat berurusan dengan Allah dengan cara seperti ini. Anda sedang berhadapan dengan Allah yang hidup, Allah yang penuh hikmat. Ia menilik jauh lebih dalam dibandingkan sekadar harta benda dan pekerjaan Anda. Pekerjaan Anda mungkin berharga bagi Anda, tetapi Allah tidak memandangnya seperti itu. Bagi Allah, yang lebih berharga adalah jiwa Anda, hidup Anda. Sangat mungkin untuk orang mengorbankan pekerjaan mereka, tetapi tetap mempertahankan hidup yang lama. Rasul Paulus mengalami kenyataan ini saat dia berkata, di antara semua rekan sekerjanya hanya Timotius yang dengan setulus hati mengutamakan kepentingan jemaat (Flp 2:19). Rekan sekerja yang luar bisa! Paulus mendapati bahwa di antara sebanyak itu orang yang melepaskan segala harta dan pekerjaannya untuk mengikut Tuhan, hampir semuanya masih membawa keegoisan dan keangkuhan mereka. Mereka mengangkut kehidupan yang lama itu ke dalam komitmen kepada Allah. Apakah Anda sudah benar-benar berkomitmen total seperti yang Anda akui? Sudahkah? Itu pertanyaan yang terpenting!

Seorang jemaat pernah memberitahu saya bahwa dia tidak sulit melepaskan pekerjaan dan harta benda. Namun, masalah muncul ketika ia harus melepaskan manusia lama, cara hidup yang mementingkan diri sendiri. Jika Anda meminta dia untuk merelakan pekerjaannya, ia akan berkata, “Boleh saja, dengan senang hati! Tidak ada masalah buat saya. Tuhan juga boleh menyuruh saya untuk melepaskan kekayaan saya. Namun, memberikan diri saya? Tidak!” Ingatlah pada apa yang Yesus katakan, “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena aku – (bukan harta benda, tetapi nyawanya, kehidupannya) – ia akan memperolehnya.” Akan tetapi, barangsiapa mencoba untuk mempertahankan nyawanya, kehidupannya demi kepentingan sendiri, ia akan kehilangannya, sekalipun ia sudah merelakan harta bendanya (Mat 16:25).

Saya akan merangkum dulu poin ini sebelum kita lanjutkan pembahasan. Untuk menjadi murid Yesus dan mengalami kehidupannya yang berkelimpahan, Anda tidak boleh hanya berkata, “Saya bersedia mengorbankan harta milik saya,” tetapi Anda harus berkata, “Saya bersedia mengorbankan nyawa saya.” Itu berarti, dari sekarang, jalani hidup yang sepenuhnya bagi dia dan bagi orang lain. Kepentingan orang lain, dan bukan kepentingan saya pribadi yang mendapat perhatian utama. Jika pengajaran dari Yesus tidak dijalankan, kehidupan surgawi yang berkelimpahan, hidup yang dipenuhi oleh Roh Kudus akan berada di luar jangkauan Anda. Hanya akan menjadi angan-angan semata.

Paulus berkata di Filipi 3:8, “aku telah melepaskan semuanya itu.” Ia tidak berat melepaskan semua itu karena ia berkata, “Dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.” Anda mungkin berkata, “Itu berlaku untuk Paulus, bukan saya.” Di ayat 15 ia melanjutkan, “Karena itu marilah kita, yang sempurna, berpikir demikian. Dan jikalau lain pikiranmu tentang salah satu hal, hal itu akan dinyatakan Allah juga kepadamu.” Artinya, “Marilah kalian semua berpikir seperti aku. Jika Anda adalah murid Kristus, maka Anda harus berpikir seperti aku.” Apakah Anda sudah melepaskan semuanya? Apakah Anda memandang semua itu sebagai sampah? Di ayat 17, Paulus melanjutkan, “Saudara-saudara, ikutilah teladanku,” artinya adalah, “Kerjakanlah hal yang sama dengan apa yang aku kerjakan.”

Jika Paulus dapat diselamatkan dan menikmati kehidupan Kristen yang berkelimpahan tanpa harus berkorban apa pun juga, maka Paulus tentulah orang yang paling bodoh di dunia ini.


Melepaskan D
iri: Pamit dengan Kehidupan yang Dibelenggu oleh Dosa

Perhatikan kalimat di Lukas 13:33,

“Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridku.”

Kata ‘melepaskan diri’ di sini secara harfiah adalah ‘mengucapkan selamat tinggal’. Ini adalah suatu ungkapan yang lazim dipakai dalam Perjanjian Baru berbahasa Yunani. ‘Selamat tinggal’ adalah kata-kata yang biasanya dipakai dalam konteks kepergian. Pada saat Anda sudah mengenakan mantel, membuka pintu dan melangkah keluar, maka Anda akan mengucapkan, “Selamat tinggal.” Kata Yunani yang sama dipakai di Kisah 18:18 & 21 yang bermakna ‘selamat tinggal selama-lamanya’. Saat itu Paulus berkata, “Selamat tinggal, kita tidak akan berjumpa lagi.” Ia sedang mengucapkan kata selamat tinggal yang terakhir kepada jemaat-jemaat di Efesus sebelum dia berangkat ke Yerusalem.

Jadi, bagaimana cara memahami pernyataan, “Tiap-tiap orang di antara kamu yang tidak mengucapkan selamat tinggal dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridku“? Peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir di dalam Perjanjian Lama dengan baik menggambarkan hal ini. Apa arti penting dari Perjanjian Lama? Mengapa kita masih memerlukan Perjanjian Lama? Paulus di 1 Korintus 10:11 memberitahu kita bahwa Perjanjian Lama adalah peringatan dan pedoman bagi kita semua. Di sana tertulis hal-hal yang terjadi pada mereka yang hidup tidak sesuai dengan ajaran Allah. Kalau kita tidak mau jadi seperti mereka, belajarlah dari pengalaman mereka.

‘Keluaran’ berarti kepergian. Allah berkata kepada bangsa Israel, “Kalian akan mengikuti Aku keluar dari Mesir. Kalian harus mengucapkan ‘selamat tinggal’ selama-lamanya kepada Mesir. Meninggalkan segala-galanya di belakang.” Orang-orang Israel jelas tidak bisa membawa serta rumah mereka, sekalipun itu hanya gubuk kecil. Akankah mereka membawa serta meja-kursi dalam perjalanan melintasi padang gurun ini? Apakah mereka akan membawa serta kursi kesayangan, warisan dari ayah dan kakek mereka? Tentu saja tidak! Ketika meninggalkan Mesir, mereka harus mengucapkan selamat tinggal kepada segala yang mereka pandang berharga di sana, termasuk kebun sayur mereka. Mereka harus meninggalkan semua itu; mereka harus mengucapkan selamat tinggal kepada semuanya. Di Lukas 14.33, Yesus memakai istilah ‘mengucapkan selamat tinggal’ bagi segala milik yang ada, yaitu meninggalkan segala milik yang ada di belakang. Mengucapkan selamat tinggal memiliki arti yang dinamis. Jika Anda tidak bergerak meninggalkan sesuatu, Anda tidak perlu mengatakan selamat tinggal. Saat Anda mengatakan selamat tinggal, itu berarti bahwa Anda akan pergi. Ucapan selamat tinggal memuat pengertian suatu perpindahan, berpindah meninggalkan sesuatu. Yesus berkata, “Kecuali engkau mengucapkan selamat tinggal kepada segala milikmu, sama seperti orang-orang Israel yang meninggalkan segala milik mereka di Mesir, engkau tidak akan dapat menjadi muridku.” Akan tetapi, mereka tidak meninggalkan Mesir dalam keadaan telanjang. Mereka pergi dengan berpakaian dan tetap ada barang-barang tertentu yang harus mereka bawa demi kelangsungan hidup mereka. Yesus tidak ingin Anda tidur di jalanan dan menjadi tontonan orang banyak.

Namun, kita keliru saat kita berpikir secara eksklusif tentang harta benda. Kita mengucapkan selamat tinggal kepada seluruh cara hidup kita yang lama yang terbelenggu kepada dosa. Ketika bangsa Israel mengucapkan selamat tinggal kepada segala sesuatu yang mereka miliki di Mesir, mereka tidak lagi berada di bawah kendali bangsa Mesir. Saat bangsa Israel meninggalkan Mesir, mereka meninggalkan segala jalan hidup mereka yang lama di Mesir. Itulah gambarannya.


Melepaskan D
iri Berarti: Mati Terhadap Cara Hidup yang Egois

Kata ‘keluaran’ (exodus) punya makna ganda di dalam Perjanjian Baru. Ia dipakai saat menjelaskan kepergian bangsa Israel dari Mesir, dan kata yang sama juga mempunyai arti kematian. Ibrani 11:22 adalah satu contohnya. Ayat ini memakai kata ‘keluarnya’ (exodus) untuk merujuk kepada peristiwa kepergian bangsa Israel dari Mesir. Kata yang sama (exodus) dipakai dalam menjelaskan kematian Yesus di Lukas 9:31. Kata ini juga secara umum dipakai untuk menggambarkan kematian orang-orang Kristen. Petrus memakai kata exodus dalam pengertian ini di 2 Petrus 1.15. Dengan demikian, kata ‘melepaskan diri’ di Lukas 14:33 memiliki kaitan dengan kematian karena kata Yunaninya memiliki arti ‘mengucapkan selamat tinggal’ yang merujuk kepada exodus.

Arti penting secara eksegetis dari semua ini adalah: keluar atau kepergian dari Mesir itu merupakan simbol rohani bagi kematian kita pada dunia ini. Demikianlah, di 1 Korintus 10:2, Paulus dengan sengaja membandingkan baptisan dengan keluaran (exodus) Israel dari Mesir, dan di Roma 6:4, baptisan itu dibandingkan dengan kematian. Bangsa Israel dibaptis ke dalam Musa di Laut Merah (1Kor 10:2). Ini berarti mereka yang meninggalkan Mesir itu dibaptis ke dalam Perjanjian Lama dengan menyeberangi Laut Merah, karena Musa mewakili Perjanjian Lama. Lalu mereka masuk ke dalam hidup yang baru di bawah kedaulatan Allah. Ini poin yang sangat penting.

Berlatarbelakangkan ini, lalu bagaimana penerapannya bagi kita? Apakah Anda mengucapkan selamat tinggal buat selama-lamanya kepada hidup yang lama ketika Anda dibaptis, seperti yang sudah dilakukan oleh orang-orang Israel ketika meninggalkan Mesir dan dibaptis di Laut Merah? Jika tidak, Anda masih berada di bawah level orang-orang Israel dari Perjanjian Lama, level Perjanjian Baru masih terlalu jauh buat Anda! Apa yang sudah Anda tinggalkan ketika Anda menjadi Kristen dan masuk ke dalam hidup yang baru di bawah Allah dalam Perjanjian Baru? Apa yang sudah Anda tinggalkan? Kebanyakan orang tidak meninggalkan apa pun! Anda masih bertahan di dalam jabatan Anda, Anda masih melanjutkan pendidikan Anda, dan Anda juga tidak meninggalkan harta benda Anda. Lalu apa yang sudah Anda tinggalkan? Orang-orang Israel, paling tidak, telah meninggalkan harta bendanya. Sementara Anda tidak meninggalkan apa-apa. Sekalipun Anda mungkin sudah meninggalkan pekerjaan, kuliah mau pun harta benda Anda, tetapi sudahkah Anda meninggalkan hidup lama Anda? Jika belum, tidak heran jika Anda kalah jauh dibandingkan dengan orang-orang dari Perjanjian Lama dalam hal kekuatan dan semangat rohani, apalagi dengan orang-orang Perjanjian Baru! Akhirnya, gagasan bahwa setiap orang Kristen dari Perjanjian Baru dapat menjadi lebih besar daripada Yohanes Pembaptis  jadi tinggal mimpi saja!

Mungkin Anda diberitahu bahwa keselamatan itu adalah anugerah yang gratis, Anda tidak perlu berkorban apa-apa. Namun, apakah ini sesuai dengan ajaran Yesus? Mungkin mereka akan mengatakan bahwa pemuridan adalah Kekristenan pada tingkat yang lebih tinggi, bahwa murid-murid adalah orang-orang elit di kalangan Kristen. Ini adalah omong kosong yang luar biasa. Jangan memelintir dan bermain-main dengan Firman Allah! Setiap orang Kristen di dalam Alkitab adalah seorang murid juga. Para murid pertama kali disebut orang Kristen di Antiokia. Murid bukanlah orang Kristen kelas atas. Janganlah kita menipu diri sendiri dengan memutar-balik Firman Allah.

Setiap orang Israel, bukan hanya Musa, harus meninggalkan Mesir. Mereka harus angkat kaki dan tidak kembali lagi. Mereka harus meninggalkan pondok-pondok kecil mereka. Bagi Anda, pondok seperti itu mungkin tidak ada artinya. Namun, bagi mereka itu adalah tempat kelahiran dan tempat bernaung mereka. Pondok-pondok kecil itu sangat berharga buat mereka. Meja, kursi, pisau, peralatan makan, dan segala yang tidak dapat diangkut sangatlah berharga buat mereka, tetapi semua itu harus ditinggalkan. Tentunya banyak dari antara mereka yang menangisi perpisahan dengan segala harta benda itu. “Selamat tinggal kebunku yang mungil dan juga pondok kecilku, sekalipun tidak besar nilainya, tetapi sangat berarti bagiku.” Sesudah itu mereka segera berangkat. Mereka harus pergi. Setiap orang Israel meninggalkan segala hartanya di belakang kecuali pakaian yang melekat di badan, dan beberapa barang yang mereka perlukan di perjalanan. Mereka benar-benar meninggalkan segala miliknya.

Apa yang sudah Anda tinggalkan buat selama-lamanya? Tolong beritahu saya, apa yang sudah Anda tinggalkan? Saya cenderung berpikir bahwa bagi sebagian besar orang Kristen, jawaban yang jujur adalah tidak ada yang mereka tinggalkan! Bagi beberapa yang lainnya, sangat sedikit yang sudah ditinggalkan. Lalu, mereka bertanya-tanya, “Mengapa Firman Tuhan tidak terwujud di dalam hidup saya?” Yesus berkata, “Aku datang untuk memberi hidup yang berkelimpahan.” Anda berkata, “Hidup saja saya tidak punya, apa lagi berkelimpahan!” Tanpa pernah meninggalkan Mesir, bagaimana Anda dapat mengalami pimpinan Allah di padang gurun? Padang gurun adalah tempat yang indah jika Allah ada bersama Anda di sana. Banyak orang yang mengira bahwa pengembaraan bangsa Israel di padang gurun adalah pengalaman yang mengerikan. Saya pikir tidak begitu. Padang gurun memang adalah tempat yang mengerikan. Akan tetapi, padang gurun akan menjadi tempat yang sangat indah jika Anda bersama Allah di sana! Dalam perjalanan di padang gurun itu mereka disertai Allah dalam bentuk tiang api pada malam hari dan tiang awan pada siang hari. Apakah itu merupakan pengalaman yang mengerikan? Justru sangat mengagumkan! Allah hadir memimpin di depan. Ketika bangsa Israel kehausan, air memancar keluar dari batu. Ketika mereka butuh makanan, tersedia manna dan burung puyuh. Berjalan bersama Allah di tengah padang gurun jelas merupakan pengalaman yang luar biasa. Pemandangan padang gurun memang akan segera menciutkan nyali Anda jika harus melintasinya sendirian, atau bahkan jika ditemani banyak orang sekalipun. Namun, bersama dengan Allah, padang gurun terasa seperti surga! Taman Eden sekalipun akan kalah dari padang gurun jika Allah hadir di padang gurun.


P
adang Gurun Bisa Menjadi Neraka di Bumi

Namun, mengapa padang gurun yang luar biasa dengan adanya Hadirat Allah itu menjadi tempat yang sangat mengerikan? Karena orang Israel hanya meninggalkan harta milik mereka di Mesir, sedangkan watak lamanya tetap ikut bersama mereka. Mereka mengangkut keegoisan, sikap menggerutu dan bersungut-sungut ke padang gurun. Semua itu segera menghancurkan pengalaman indah yang seharusnya mereka dapatkan bersama Allah di padang gurun. Mereka membawa serta sikap lama yang mencelakakan itu ke padang gurun, dan mengubahnya menjadi neraka. Pengembaraan mereka yang seharusnya berlangsung kurang dari setahun, akhirnya berubah menjadi 40 tahun!

Begitukah pengalaman kehidupan Kristen Anda? Jika Anda memang sudah meninggalkan Mesir, saya katakan ‘jika’ karena saya tidak tahu apakah Anda sudah melakukannya atau belum. Hanya Anda yang tahu akan hal itu. Namun, jika Anda memang sudah meninggalkan Mesir, seperti apa kehidupan Kristen Anda sekarang? Apakah berupa padang gurun yang gersang atau apakah hadirat Allah ada dan membuat padang gurun dunia ini menjadi seperti Taman Eden? Apakah Anda mengalami hadirat-Nya, tiang api dan tiang awan itu? Atau, apakah Anda selalu gagal di dalam setiap ujian yang diberikan-Nya? Orang-orang Israel sebetulnya hanya perlu menunggu sedikit lagi sementara Tuhan menguji kesetiaan mereka. Ketika musuh menyerang, tidakkah Allah membela mereka? Ketika mereka kehausan, tidakkah Ia memberi mereka air?

Apakah Anda selalu tersandung dan jatuh setiap kali melewati batu-batu kecil dan selokan yang ada di padang gurun dunia ini? Apakah Anda seperti orang Israel yang berkata, “Mengapa Allah membawa saya ke padang gurun ini?” Allah membawa orang-orang Israel melintasi padang gurun karena Ia mau membawa mereka masuk ke Tanah Perjanjian. Akan tetapi, mereka segera lupa tujuan melintasi padang gurun itu. Banyak orang Kristen yang bereaksi dengan cara yang sama dengan orang-orang Israel itu ketika mereka berhadapan dengan tantangan, kesulitan dan ujian. Mereka bersungut-sungut. “Mengapa Allah membawa kita ke sini? Mengapa kita menjadi orang Kristen?” Mereka lupa arah tujuan mereka. Mereka kehilangan tujuan. Mereka tidak tahu mengapa mereka harus berada di padang gurun dan akibatnya mereka juga tidak dapat melihat bagaimana Allah akan membuat padang gurun itu menjadi Taman Eden.


Sudahkah Anda M
ati?

Sudahkah Anda mati atau masih belum? Saya tidak dapat mewakili Anda untuk menjawabnya. Namun, Anda akan tahu sendiri jika Anda memang sudah mati. Sudahkah Anda meninggalkan Mesir atau masih belum? Sudahkah Anda meninggalkan dunia yang berada di bawah kendali dosa dan Iblis, sang ‘firaun’ dari dunia ini? Anda sendiri harus menjawab pertanyaan ini. Saya tahu saya sudah meninggalkan “Mesir” dunia ini. Bagaimana dengan Anda?

Saya mohon kepada mereka yang akan dibaptis, tolong, jika Anda tidak tahu apakah Anda sudah meninggalkan Mesir atau belum, janganlah masuk ke Laut Merah. Karena sesudah Anda melewati Laut Merah, suatu hari nanti Anda akan berkata, “Saya sudah melintasi Laut Merah, tetapi sepertinya wilayah Mesir itu juga mencakup bagian di seberang Laut Merah. Mungkin perbatasannya sudah bergeser jauh.” Kelihatannya ini merupakan keadaan yang dialami oleh sebagian besar orang Kristen sekarang ini. Beberapa perkembangan baru telah terjadi ketika mereka berjalan melintasi Laut Merah. Mesir telah menguasai daerah di seberang semenanjung Laut Merah, seperti keadaan negara itu sekarang ini. Jika Anda melintasi Laut Merah, Anda tetap berada di wilayah Mesir sekarang ini. Kelihatannya dunia (wilayah dosa dan Iblis) itu selalu memperluas perbatasan, dan orang-orang Kristen selalu terperangkap di dalamnya.

Mari kita rangkum dalam kesimpulan yang jelas. Mengucapkan selamat tinggal berarti keluar dari, meninggalkan, berangkat, atau seperti istilah Paulus, ‘mati’. Jika kita berbicara tentang ‘mati secara rohani’, jelas bahwa kita sedang berbicara dalam sebuah perlambangan. Namun, walaupun ini adalah perlambangan, hal ini tidak mengurangi kenyataannya.

Roh tidak mungkin mati. Pada saat kita berbicara tentang ‘kematian’,  kita tidak memaksudkannya dalam pengertian mati secara fisik. Anda tidak mengalami kematian fisik pada saat dibaptis. Orang-orang yang mempercayakan saya untuk melakukan baptisan tahu bahwa saya tidak akan membiarkan mereka tetap di dalam air, kalau tidak tentunya Anda mungkin saja benar-benar mati secara fisik. Lalu, apa arti mati itu? Artinya Anda mati secara rohani. Mungkin akan lebih mudah memahami gambaran dengan memakai gambaran dari Keluaran di mana Anda mengucapkan ‘selamat tinggal’ kepada Mesir. Anda melintasi Laut Merah dan segala kehidupan lama Anda sekarang ditinggal di belakang; menjadi masa lalu. Inilah pengertian baptisan menurut Paulus. Ia berkata di Galatia 6.14,

“Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuan (Lord) kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.”

Bagi Paulus, baptisan sama dengan kematian. Ia tidak berhubungan lagi dengan dunia. Kehidupan duniawi baginya sudah berakhir. Sudah lewat! Ia juga berkata di Roma 6: 4 dan 13,

“Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru. Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran.”


Mati Berarti
Berpamitan dengan Segalanya

Apa yang terjadi ketika Anda mati? Baik dengan gambaran ‘selamat tinggal’ maupun gambaran ‘kematian’, makna yang terkandung sama saja. Pikirkan sendiri: jika Anda mati, apa yang akan terjadi? Bagaimana dengan pekerjaan Anda? Uang yang Anda tabung di bank? Apa gunanya uang itu saat Anda mati? Pikirkanlah hal itu. Apa yang akan terjadi dengan hubungan Anda dengan istri Anda? Apa dampak kematian terhadap hubungan itu? Apa yang akan terjadi atas hubungan Anda dengan suami, anak-anak dan teman-teman Anda? Apa yang akan terjadi dengan diri Anda? Kematian berarti mengucapkan selamat tinggal dengan semua itu. Jadi ‘selamat tinggal’ dan ‘kematian’ memiliki arti yang sama. Anda mengucapkan selamat tinggal menjelang kematian, jika sempat. Namun, entah Anda sempat mengatakan atau tidak, kematian tetap berarti perpisahan. Menerapkan hal ini ke dalam hidup Anda berarti saat Anda melangkah untuk dibaptis, Anda harus bertanya: “Saya sedang melangkah untuk mati bagi dunia, terhadap seluruh sistem yang menentang Allah. Saya sedang mengucapkan selamat tinggal bagi semuanya — ayah, ibu, sahabat, pekerjaan, profesi, masa depan saya di dunia ini, kesombongan, keegoisan dan kepentingan pribadi saya. Ini adalah perpisahan dengan semuanya. Apakah saya bersedia?”

Tidak ada yang boleh melangkah menuju baptisan sebelum ia dengan jelas memahami pokok ini. Bacalah Galatia 6:14,

Melalui salib-Nya, dunia sudah disalibkan untuk aku, dan aku untuk dunia.

Aku mati bagi dunia dan dunia mati bagi aku. Berapa banyak orang Kristen yang sanggup mengucapkan hal ini di dalam generasi kita? Gereja dipenuhi oleh orang-orang yang berkompromi dengan dunia. Mereka melayani Allah dan mamon. Mamon bukan hanya uang, tetapi termasuk barang atau orang lain yang kita berhalakan dan yang menggusur Allah dari hati mereka. Yesus mengingatkan kita, “Engkau tidak akan dapat menjadi muridku jika belum mengucapkan selamat tinggal kepada semuanya itu.” Jadi, apa yang terjadi ketika mengucapkan selamat tinggal atau mati? Tidak ada pekerjaan, tidak ada profesi, tidak ada harta, Anda tidak lagi bisa berpikir dengan cara biasanya, dan Anda tidak lagi mementingkan diri sendiri serta bertindak semaunya sendiri. Tidak ada lagi yang tersisa buat Anda!

Namun, kebanyakan orang Kristen sekarang berpikir, “Ah, saya berhasil mendapat pilihan yang bagus! Saya mendapatkan Allah dan mamon!” Justru yang terjadi adalah mereka tidak mendapatkan Allah maupun mamon. Kapan kita mau mengerti apa yang sedang disampaikan oleh Yesus ini? Sampai kapan baru kita mau mengerti?

Ada sebuah kisah tentang seorang yang kaya raya dari keluarga Borden di Boston (Amerika) yang menjadi Kristen. Pada suatu hari ia melihat sebuah mobil mewah, dan ia mengagumi mobil itu sambil berkata pada diri sendiri, “Seandainya saja saya mampu membeli mobil itu!” Nah, dia sendiri adalah seorang milyuner yang sangat kaya. Ia mampu membeli mobil seperti itu sampai selusin! Namun, apa yang terjadi? Ia sudah ‘mati’ dan tidak lagi memiliki kekayaan itu. Semua uangnya yang tersimpan di bank sudah tidak menjadi miliknya lagi. Ia tidak dapat membeli mobil tersebut karena uang yang ada di bank sudah bukan miliknya lagi. Ia hanya bertindak sebagai seorang pelaksana kehendak Allah dan pengurus atas harta yang sedang dalam proses untuk disingkirkan itu.


Proses Terus-menerus M
elepaskan diri dari Segala-galanya

Kata ‘melepaskan diri’ atau ‘mengucapkan selamat tinggal’ di dalam naskah sumbernya yang berbahasa Yunani ditulis dalam bentuk present tense (bentuk kata kerja masa sekarang), yang menunjukkan proses yang berkelanjutan. Yesus tidak sekadar menyuruh Anda untuk mengatakan selamat tinggal bagi segala-galanya hanya di dalam satu ketika saja, tetapi itu merupakan tindakan memberi yang berkelanjutan. Kita disuruh menjadi pengurus yang baik, jadi kita harus mengucapkan selamat tinggal kepada segala milik kita secara bertahap, dengan persiapan yang cukup, sama seperti orang-orang Israel harus mempersiapkan keberangkatan mereka keluar dari Mesir.

Mengapa ditulis dalam present tense? Sebagai contoh, misalnya saya sudah melepaskan segala-galanya sekarang, tetapi kemudian tiba-tiba saya mendapat warisan sebesar $100.000 dolar. Saya dapat saja mengatakan bahwa saya sudah melepaskan uang saya pada masa lalu, dan yang saya terima sekarang ini tidak termasuk yang harus dilepaskan. Berarti, saya tidak perlu membayar pajak surgawi lagi karena sudah saya bayar dulu. Namun, karena kata ‘melepaskan diri’ atau ‘mengucapkan selamat tinggal’ yang ditulis dalam present tense berarti hal ini berlangsung secara terus menerus. Kita tetap harus mengucapkan selamat tinggal pada segalanya.

Jangan pernah berpikir bahwa Tuhan adalah petugas pajak dari surga yang sedang berupaya untuk memeras semua uang dari dompet kita. Pemahaman seperti itu tidaklah benar. Tujuan dibaliknya adalah untuk melindungi kita karena barang-barang yang tidak berguna yang kita bawa serta keluar dari Mesir akan membinasakan kita di padang gurun.

Ketika saya masih bersekolah di Swiss (ayah saya bertugas di markas PBB di Jenewa, sebelum markas itu berpindah ke New York), kami sering bepergian selama beberapa hari dengan berjalan kaki. Jadi kami senang membawa berbagai macam barang — kamera, obor, dan perlengkapan lainnya. Akan tetapi, guru kami biasanya berkata, “Jangan membawa barang-barang seperti itu.” Ketika kami tanyakan, “Mengapa?” ia berkata, “Barang-barang yang terasa hanya setengah kilogram sekarang ini akan terasa seberat lima kilo beberapa hari kemudian.” Murid-murid yang tidak peduli dengan peringatan itu, belakangan sangat menyesali keputusan mereka. Pada awal keberangkatan, beban sebuah kamera sama sekali tidak terasa. Satu jam kemudian, tali penggantungnya terasa begitu menusuk di pundak. Dua jam kemudian, kamera itu terasa seperti dua kilo beratnya, dan dalam beberapa jam berikutnya, Anda sudah begitu muak dengan kamera tersebut! Sungguh hal yang sangat menarik. Pak guru memperingatkan, “Seiring dengan perjalanan nanti, apa yang tampaknya tidak berat sama sekali, akan menjadi semakin berat di sepanjang perjalanan.” Itu jugalah alasan mengapa Allah berkata, “Tinggalkan semuanya.” Bayangkanlah, misalnya, seorang Israel membawa serta kursi kesayangannya keluar dari Mesir ke padang gurun. Pada hari-hari awal, kursi itu tidak menjadi beban buatnya. Namun, beberapa hari berikutnya, ia mulai merasakan betapa kursi itu berat seperti besi. Satu bulan kemudian, Anda boleh yakin bahwa kursi itu telah menjadi kayu bakar. Kursi itu sudah berubah menjadi beban. Ingatlah apa yang dikatakan di Ibrani 12.1,

…marilah kita menanggalkan semua beban yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.

Tinggalkan semua itu. Karena dosa keserakahan dan harta benda kita akan menjadi sumber bencana.


Apakah Kematian
itu Terjadi Seketika atau Secara bertahap?

Kita akan masuk ke satu poin terakhir sebelum kita tutup. Apakah mati itu terjadi secara bertahap atau seketika? Apakah kita akan menghabiskan seluruh kehidupan Kristen kita dalam kematian yang berkelanjutan bagi dosa-dosa, sehingga kehidupan Kristen itu lebih berupa kematian dan bukannya kehidupan? Ataukah ini proses sekali mati untuk selamanya? Kita harus menjawab pertanyaan ini dengan sangat hati-hati agar tidak salah memahami Firman Allah.

Menurut Alkitab, manusia itu terdiri dari tubuh dan roh. Pelajarilah konkordansi dan teliti kata “roh”. Anda akan melihat bahwa di dalam Kitab Suci, roh manusia sangat sering dipakai untuk merujuk pada manusia. Di samping itu, kita juga memiliki tubuh. Pembedaan ini sangatlah penting dalam memahami perkara kematian. Apanya yang mati ketika Paulus berbicara, “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Gal 6:14)? Apakah tubuh Paulus disalibkan? Tentu saja tidak. Tubuhnya tidak tergantung di salib. Lalu apa yang disalibkan? Rohnyalah yang disalibkan. Ia mati bersama Kristus secara rohani namun tubuhnya masih tetap hidup. Lalu, apakah mati itu bersifat seketika? Memang bersifat seketika karena Anda mengucapkan selamat tinggal secara tegas dan hanya sekali pada saat dibaptis, yakni Anda mengucapkan selamat tinggal bagi dunia, mati bagi dunia. Ini bukanlah suatu proses yang bertahap. Galatia 6.14 bukanlah suatu proses yang bertahap. “Aku telah disalibkan bagi dunia”, di dalam bentuk aorist di dalam bahasa Yunani berarti hal ini hanya terjadi sekali untuk selamanya.

Akan tetapi, tubuh tidaklah mati dan dengan demikian daging masih ada bersama kita. Ini adalah apa yang Paulus sampaikan di Roma 7:17, “dosa yang ada di dalam aku,” yaitu di dalam tubuh ini. Mata air dosa itu terdapat di dalam daging, jika saya boleh menyebutnya dengan istilah “mata air”, dan dia akan tetap ada bersama kita sampai tubuh daging ini nanti mati juga. Jadi saya mati secara rohani sekali untuk selamanya. Saya membuat komitmen dan itu adalah total. Akan tetapi, daging masih ada bersama saya, dan dosa itu masih berdiam di dalam daging. Itu sebabnya mengapa Paulus berkata di Roma 8:13 bahwa kita harus mematikan perbuatan daging. Jika kita terus mematikan perbuatan daging dengan kuasa Allah di dalam Roh-Nya, dan bukan dengan kekuatan kita, maka kita akan masuk dalam hidup. Akan tetapi, jika kita tidak mematikan perbuatan daging, kita akan mati. Itulah isi Roma pasal 8.

Ia menyampaikan hal yang sama di Kolose 3.5, Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi,” yakni mematikan daging. Jadi, di dalam kehidupan rohani, kematian itu bersifat seketika dan tegas. Namun, dari segi jasmani, tubuh ini selalu siap untuk menanggapi godaan dan dosa, dan karena itu perlu untuk dimatikan. Di Kolose 3:5 dan Roma 8:13, ‘mematikan’ ditulis dalam present tense yang berarti suatu proses kematian yang berkelanjutan. Lantas, kematian itu bersifat seketika atau bertahap? Ia bersifat seketika dan terjadi hanya sekali di tingkat rohani, tetapi berkelanjutan di tingkat daging.


Mengalami K
uasa Allah!

Menurut Alkitab, manusia terutamanya terdiri dari roh. Ketika Paulus berkata, “Aku telah mati,” ia sedang menunjuk kepada rohnya. Saya adalah roh dan tubuh saya adalah sesuatu yang ada bersama dengan saya. Di dalam Kitab Suci, seseorang disamakan dengan rohnya. Ini berarti bahwa jika Anda belum mati di dalam roh kepada ‘diri’, Anda tidak akan menang menghadapi dosa karena dosa berdiam di dalam daging Anda; selamanya Anda akan menjalani kehidupan yang kalah melawan dosa. Akan tetapi, jika diri Anda, roh Anda telah mati bersama dengan Kristus (sudah secara total berkomitmen kepada Kristus dan telah mengucapkan selamat tinggal buat selamanya kepada dunia dan kehendak-diri), maka Anda akan hidup dalam kemenangan yang berkelanjutan. Sekalipun dosa bermarkas di dalam daging dan secara terus menerus dimatikan, Anda akan selalu menjalani hidup yang berkemenangan. Anda akan memiliki hidup yang berkelimpahan.

Tidak ada orang yang harus hidup dalam kekalahan. Apakah saya sudah sempurna? Tentu saja tidak! Apakah hidup saya berkemenangan? Puji syukur bagi Allah, ya, hidup saya berkemenangan! Paulus berkata di 1 Korintus 15:57, “Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuan kita.” Itulah yang disebut hidup yang berkelimpahan. Harap dipahami dengan baik-baik makna kata ‘pengudusan’. Pengudusan atau kekudusan di dalam hidup Kristen bukan berarti terhapusnya dosa-dosa secara mutlak, melainkan kemenangan atas dosa. Kesalahan ini telah menimbulkan banyak kesulitan bagi mereka yang memberitakan kekudusan.

Saya ulangi. Kekudusan tidak berarti terhapusnya (eradikasi) dosa dari kehidupan seorang Kristen — kita akan selalu memiliki dosa di dalam diri kita — kekudusan adalah kemenangan atas dosa. Ini adalah janji Allah, seperti yang tertulis di Roma 8:2 dan di sepanjang Kitab Suci, bahwa kita tidak akan lagi berada di bawah kuasa dosa di dalam hidup kita. Kita akan selalu menang karena kita sudah mati bagi hidup yang lama dan menerima hidup yang baru. Kita tidak dapat hidup di dalam kebangkitan itu tanpa kematian. Bukankah benar bahwa Anda tidak akan dibangkitkan kecuali jika Anda sudah mati? Jika Anda sudah mati, Anda akan mengalami kuasa kebangkitan. Sekalipun dosa akan tetap bersarang di dalam daging, Anda akan secara progresif mematikan dosa di dalam daging dan mengalami kemenangan yang terus menerus. Dan kemenangan itu tidak ada artinya tanpa adanya perjuangan. Bagaimana mungkin Anda dapat meraih kemenangan tanpa perjuangan? Justru karena kita harus berperang melawan dosa dan daging maka kita akan mengalami kenyataan dari kemenangan itu. Kemenangan akan diraih hanya dengan memiliki kuasa yang memberi kekuatan.

Sebagai penutup, saya ingin sampaikan bahwa kuasa ini tidak akan pernah Anda alami melainkan Anda sudah mengucapkan selamat tinggal kepada segala milik Anda, bukan sekadar harta benda, melainkan seluruh manusia lama Anda — sikap mental Anda yang berpusat pada diri sendiri dan mengikuti kemauan sendiri. Jika Anda sudah meninggalkan semua ini, Anda akan mengalami kuasa kebangkitan dari Allah. Inilah ajaran Yesus.

Ada beberapa bagian dalam penjelasan tentang kematian ini yang akan terasa sulit untuk dipahami, terutama oleh orang-orang non-Kristen. Namun, saya harap sekalipun Anda belum menjadi Kristen dan karena itu belum mengetahui tentang peperangan rohani di dalam kehidupan manusia secara pribadi, Anda mau bersabar mendengarnya. Kitab Suci tidak memberikan janji-janji palsu. Jika Anda menjadi Kristen, Anda akan mengalami kemenangan dan kemuliaan jika Anda sudah memenuhi apa yang Yesus sampaikan, “Katakan selamat tinggal pada cara hidupmu yang lama, dan masuklah ke dalam kesempurnaan Perjanjian Baru dengan segala kemuliaannya.” Perhatikanlah bahwa Kristus tidak akan berdiam di dalam Anda sampai Anda memenuhi perkataan tersebut. Jika dengan kasih karunia Allah Anda telah melakukan hal yang satu ini, Anda akan dapat segera mengalami, “Kristus tinggal di dalam aku!” seperti yang tertulis di dalam Galatia 2.19-20. Iman yang berkemenangan akan berkata:

“Aku telah disalibkan dengan Kristus. Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan dirinya untuk aku.”

Berikan Komentar Anda: