Pastor Eric Chang | Lukas 15:1-7 |

Hari ini kita akan melanjutkan pembahasan tentang firman di Lukas 15:1-7, suatu perumpamaan yang sangat terkenal, yaitu perumpamaan tentang domba yang hilang. Ayat-ayat yang sejajar dengan bagian ini ada di Matius 18:10-14. Isi dari Lukas 15:1-7 adalah sebagai berikut:

Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.”

Lalu ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka: “Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya? Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan.

Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.”


Siapakah orang-orang berdosa menurut Perjanjian Lama?

Ini adalah salah satu perumpamaan yang indah yang disampaikan oleh Yesus di mana “para pemungut cukai dan orang-orang berdosa … datang kepada Yesus untuk mendengarkan dia.” Dan poin pertama yang ingin saya sampaikan adalah, siapa itu para pemungut cukai dan orang-orang berdosa? Para pemungut cukai adalah orang-orang yang bekerja untuk pemerintahan Romawi, mereka mengumpulkan pajak dari masyarakat Yahudi yang berada di bawah kekuasaan Roma pada saat itu. Seringkali mereka dipandang sebagai pengkhianat bangsa dan sebab itu mereka dibenci oleh masyarakat Yahudi. Mereka dikucilkan oleh orang banyak.

Dan siapa itu orang-orang berdosa? Sangatlah penting untuk dipahami bahwa istilah ‘orang berdosa’ menurut Alkitab tidak hanya menunjuk kepada para pezinah, pembunuh dan yang sejenisnya. Sebenarnya, istilah ‘orang berdosa’ di masa Perjanjian Lama mencakup kalangan yang lebih luas lagi. Sebagai contoh, para penggembala dipandang sebagai orang berdosa, demikian juga dengan pengendara keledai. Pada zaman itu tidak ada truk ataupun mobil angkutan umum untuk mengangkut barang-barang, dan para pengendara keledai menjual jasa pengangkutan barang buat penduduk. Para penyamak kulit binatang juga disebut orang berdosa, orang-orang yang najis. Jadi, kita perlu memahami bahwa istilah ‘orang-orang berdosa’ di dalam Alkitab mencakup makna yang sangat luas.

Mengapa orang-orang itu disebut berdosa? Karena mereka menjalankan usaha yang biasanya dilakukan secara tidak jujur. Para gembala dipandang sebagai orang berdosa karena kadang-kadang mereka membawa dombanya merumput di tanah milik orang lain tanpa minta ijin. Mereka juga dituduh sering berlaku tidak jujur. Jadi masyarakat memandang mereka, secara pukul rata, sebagai orang-orang berdosa, anggapan ini diberlakukan terhadap semua gembala. Alasan lain lagi yang membuat mereka dipandang sebagai orang berdosa adalah karena mereka sering berhubungan dengan orang asing, orang-orang yang bukan Yahudi.  Seorang pedagang yang sering berhubungan dengan orang asing juga akan dipandang sebagai orang berdosa, sebagai orang yang najis. Ada pemisahan yang tegas antara orang Yahudi dengan orang asing di dalam hukum agama Yahudi.


Yesus mengidentifikasikan dirinya dengan Orang-orang berdosa

Kita harus paham akan masalah ini karena Yesus bercerita tentang seorang gembala di dalam perumpamaan ini, seorang yang berdosa menurut Mishnah, hukum agama Yahudi. Jadi orang-orang Farisi yang memandang dirinya sebagai yang ‘paling suci’ menganggap remeh para gembala, penyamak kulit, pengendara keledai, pedagang kaki lima, pedagang besar dan pemungut cukai. Semua kelompok itu dipandang sebagai orang-orang yang najis, orang-orang berdosa. Di kalangan masyarakat mereka tergolong kelas bawah, kelas pinggiran. Ini sebabnya mengapa Yesus memakai gambaran tentang seorang gembala di dalam perumpamaan kali ini.

Seorang gembala adalah pekerjaan yang sangat penting di dalam Perjanjian Lama, Allah sendiri digambarkan sebagai gembala: Tuhan (Yahweh) adalah gembalaku (Maz.23). Namun, sejalan dengan waktu, orang-orang Farisi dan para ahli kitab, para ‘cendekiawan Alkitab’ mulai menyusun berbagai macam peraturan dan pengaturan dan tradisi manusia sendiri, dan segera mencap sebagian anggota masyarakat, sampai para gembala, sebagai orang-orang berdosa. Di antara yang terkena cap tersebut, tentu saja, adalah para pemungut cukai, karena mereka bekerjasama dengan pemerintah Romawi, dan mereka dianggap sebagai pengkhianat. Demikianlah, Yesus menggambarkan dirinya sebagai seorang gembala.

Perhatikan Lukas 15:2, orang-orang Farisi bersungut-sungut kepada Yesus yang, sebagai rabi, pengajar Firman Allah, bergaul dengan kelompok orang-orang pinggiran, kelas bawah, orang-orang yang najis. Mereka beranggapan bahwa Yesus, sebagai seorang pengajar Alkitab yang mesti menghargai kehormatannya, seharusnya tidak bergaul dengan mereka. Jadi tindakan Yesus di dalam penilaian mereka menunjukkan bahwa dia tidak menghargai kedudukannya sebagai pengajar Alkitab, serta tidak menghargai tradisi orang-orang Farisi serta ahli kitab. Mengapa mereka berpikir seperti itu? Orang-orang Yahudi beranggapan bahwa untuk menjaga kemurnian mereka, seseorang tidak boleh bergaul dengan orang-orang berdosa. Ia harus menjaga jarak dari mereka agar tidak tercemar. Akan tetapi Yesus tidak takut tercemar. Mengapa Yesus tidak takut tercemar? Karena kekudusannya tidak akan dapat dicemari. Jika Anda membaca Injil, Anda akan melihat Yesus adalah Pribadi yang sangat mudah didekati dan setiap orang Kristen seharusnya berlaku seperti ini. Yesus tidak pernah tinggi hati. Ia tidak memilih hanya mau berhubungan dengan orang-orang kelas atas saja. Kenyataannya, Anda justru dapat melihat bahwa Yesus selalu mengecam orang-orang kalangan atas. Ia adalah seorang yang sangat luwes dan mampu bercampur dengan masyarakat bawah, apa yang disebut kaum marhean (proletariat)  sekarang ini: para pekerja kasar, golongan rendahan. Yesus mengasihi orang-orang ini jadi ia bertindak menjangkau mereka.

Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, setiap kali Yesus berurusan dengan orang-orang terpelajar, dengan masyarakat kelas atas, Anda akan melihat perlakuannya yang cenderung keras terhadap mereka. Sebagai contoh, ketika Nikodemus, seorang pemimpin Yahudi yang berkedudukan sangat tinggi, pejabat penting negara, datang menemuinya, Yesus tidak menyambut dengan pesta yang meriah, malahan dia tidak memberi muka kepada Nikodemus. Kepada orang-orang seperti Nikodemus, pemimpin penting di antara orang-orang Farisi itulah Yesus dengan nada yang tajam berkata, “Engkau adalah pengajar Israel, dan engkau tidak mengerti hal-hal itu?” Dia sangat tegas menghadapi mereka. Namun dia tidak akan mematahkan “buluh yang terkulai,” kaum pinggiran. Ia tidak memadamkan sumbu yang pudar nyalanya karena kekurangan minyak, ia lemah. Ia berlaku sangat lembut kepada orang-orang yang terkulai dan lemah. Apakah kita memiliki hati seperti Yesus? Ia tidak pernah takut untuk bercampur dengan orang-orang dunia karena dia tidak takut tercemar.

Pernah, di Inggris, saya mengerahkan segenap keberanian saya untuk mengunjungi sebuah pub [public house, tempat orang Inggris berkumpul untuk santai dan mencicipi minuman keras]. Pub adalah tempat orang minum-minum, tempat berkumpulnya ‘orang-orang berdosa’. Tempat mereka saling bertemu. Saya masuk dan memesan minuman, hanya minuman ringan. Minuman ringan juga tersedia di sana. Saat itu saya masih ingat saya bertanya-tanya apakah saya akan tercemar atau tidak dengan masuk ke dalam pub! Saya khawatir apa penilaian orang-orang nanti jika tahu bahwa saya sebagai seorang Kristen malah mengunjungi pub. Kemudian saya merasa mendapat teguran yang sangat keras karena sikap hati semacam ini. Saya berpikir bahwa kita orang Kristen sudah menjadi sama seperti orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Kita sudah menganggap bahwa orang yang pergi ke pub adalah orang-orang berdosa dan secara moral merupakan orang kelas rendah, dengan demikian kita menjauhi orang-orang seperti itu karena jika tidak kita akan tercemar. Kekudusan macam apa yang kita miliki? Apakah itu termasuk jenis yang sangat mudah dicemari? Sangat mudah dinodai?


Yesus Mencari dan Mengubah Orang-orang Berdosa

Tidak. Saya melihat bahwa kekudusan milik Yesus tidak akan tercemar. Kenyataannya, kekudusan itu membuat setiap orang yang menyentuhnya menjadi kudus. Dan ketika saya merenung tentang kekudusan yang berkuasa untuk menaklukkan ini, pikiran saya kembali kepada satu-satunya benda di dalam Perjanjian Lama yang menguduskan setiap benda dan setiap orang yang menyentuhnya. Tahukah Anda apa benda itu? Itulah mezbah persembahan tempat kurban bakaran dipersembahkan kepada Allah. Setiap orang yang menyentuh mezbah persembahan menjadi kudus. Dengan kata lain, Anda tidak akan dapat mencemari mezbah persembahan dengan menyentuhnya. Sebaliknya, justru mezbah itu menjadikan Anda kudus sekalipun Anda dalam keadaan cemar. Sebagai contoh, kita membaca tentang mezbah yang kudus ini di dalam Keluaran 29:37. Kenyataannya, setiap peralatan yang dipakai di mezbah itu akan menjadikan Anda kudus jika Anda menyentuhnya. Di Keluaran 30:29, bahkan persembahan yang ditaruh di atas mezbah itu akan menjadikan Anda kudus jika Anda bersentuhan dengannya. Segala sesuatu yang berkaitan dengan mezbah tersebut akan menguduskan barangsiapa yang menyentuhnya.

Dan di dalam Perjanjian Baru, saya menemukan bahwa Yesus adalah perwujudan dari itu semua. Ia adalah Mezbah dan dia juga adalah Kurban itu. Setiap orang yang menyentuhnya akan menjadi kudus. Anda tidak akan dapat mencemari Yesus jika menyentuhnya. Ia akan membuat Anda menjadi kudus. Itu sebabnya dia bergerak di antara orang-orang berdosa, dia mengubah mereka menjadi orang-orang kudus. Mereka tidak dapat membuatnya menjadi seorang berdosa, ia justru menjadikan mereka kudus karena ia sendiri adalah Kurban persembahan itu.

Kekudusan macam apa yang Anda miliki? Jika Anda, sebagai seorang Kristen, telah menjadi kurban persembahan yang hidup bagi Allah (Roma 12:1-2), maka Anda tidak akan tercemar oleh dosa-dosa orang lain pada saat berhubungan dengan mereka. Anda seharusnya dapat menjadikan mereka kudus dengan kuasa Allah yang bekerja melalui Anda. Orang-orang Kristen tidak perlu bersembunyi. Sayang sekali, orang-orang Kristen sedemikian lemah, penakut dan cenderung menutup diri. Orang Kristen yang lemah dan cenderung menutup diri tidak akan pernah menjadi persembahan yang tercurah bagi Allah. Orang Kristen yang sudah menjadi persembahan bagi Allah tidak pernah menutup diri. Ia tidak pernah takut untuk berhubungan dengan orang dunia dan tidak takut akan kehilangan imannya, ia tidak takut akan pencemaran. Kekudusan macam apa yang Anda miliki? Jika yang Anda miliki adalah kekudusan mezbah persembahan karena Anda sudah menjadi persembahan di atas mezbah Allah, maka Anda akan menjadikan orang lain kudus. Saya memohon kepada Allah, kiranya kita, sebagai jemaat, menjadi orang-orang Kristen yang akan menjadikan orang lain kudus, yang tidak takut untuk berhubungan dengan orang-orang berdosa, dengan orang-orang non-Kristen. Mengapa kita harus takut berhubungan dengan mereka? Apakah Anda mengira bahwa kuasa mereka lebih besar dari pada kuasa yang ada di dalam diri Anda?  Kekristenan macam apa yang kita miliki? Jika kuasa Allah ada di dalam diri kita, Roh Kudus ada di dalam diri kita, dan kita adalah persembahan yang hidup, bagaimana mungkin kita bisa dicemari oleh orang-orang non-Kristen? Merekalah yang seharusnya terpengaruh dan diubah, kecuali jika kita memandang bahwa kuasa mereka lebih besar.

Ambillah sebagai contoh Yesus dan perempuan yang menderita pendarahan di Markus 5:25-34. Menurut hukum agama Yahudi, perempuan ini najis dan setiap orang yang bersentuhan dengannya akan menjadi najis. Juga, jika dia duduk di sebuah kursi, maka kursi itu menjadi najis, dan setiap orang yang duduk di kursi itu sesudah dia akan menjadi najis juga. Betapa rumitnya keadaan ini. Itulah ‘kenajisan yang penuh kuasa’. Ia menjadikan segalanya najis. Jadi di bawah hukum agama Yahudi, perempuan ini akan membuat Yesus menjadi najis jika ia menyentuh Yesus. Tetapi tidak, hal itu tidak terjadi. Yang terjadi malah hal yang sebaliknya. Ketika dia menyentuh Yesus, ia menjadi tahir karena kuasa dari Yesus keluar dan mentahirkan dia. Ingatkah Anda akan apa yang diucapkan Yesus, “Ada kuasa yang keluar dariku. Siapa yang telah menjamah aku?” Dan para murid menjawab, “Apa maksudmu bertanya seperti itu? Semua orang menyentuh engkau. Semua orang di sini berdesak-desakan di sekitarmu.” Dan Yesus berkata, “Aku tidak berbicara tentang masalah itu. Ada orang yang telah menyalurkan kuasa dariku.” Lalu perempuan itu mengaku, “Akulah orang yang menjamah engkau dan mendapat kesembuhan.” Kekudusan Yesus adalah ‘kekudusan yang penuh kuasa’. Kekudusan yang menguduskan orang lain. Kekudusan yang memberi perubahan. Seperti itukah kekudusan Anda?

Saya mendapati betapa banyak orang-orang Kristen yang begitu takut. Jika ada teman yang mengundang Anda ke pesta sherry [semacam minuman anggur yang manis], Anda lalu merasa, “Ah, jika saya ke sana, saya akan menjadi seorang yang berdosa. Saya akan terkontaminasi. Dan saya tidak boleh pergi ke tempat itu maupun tempat ini.” Kekudusan macam apakah yang Anda miliki? Seharusnya Anda memiliki kekudusan yang mampu mentransformasi setiap orang yang datang berhubungan dengan Anda, sehingga mereka akan berkata, “Ada sesuatu dengan orang ini.” Saya berdoa agar Allah mengubah kita semua sehingga kita paham bagaimana menjadi persembahan yang hidup. Itu sebabnya saya terus menerus berbicara tentang komitmen total karena itulah arti persembahan. Jika Anda sudah mempersembahkan diri Anda sepenuhnya kepada Allah, maka Anda akan menjadi persembahan yang hidup. Lalu Anda akan memiliki kekudusan yang mengatasi kenajisan.

Saya tidak takut untuk pergi ke pub, atau ke mana pun, karena saya tahu bahwa kuasa Allah yang ada di dalam saya, Roh Kudus, akan mengatasi segala kenajisan di sekitar saya. Dan bagaimanapun juga, sudah lupakah kita bahwa kita sebelumnya juga adalah orang-orang berdosa? Sudah lupakah kita bahwa kita sendiri tidak lebih baik dari pada mereka? Kita harus camkan bahwa kekudusan tidak takut untuk menjangkau orang-orang berdosa, tidak meremehkan orang lain karena mereka belum percaya. Sangatlah memalukan jika kita meremehkan orang-orang non-Kristen! Satu hal yang tidak dapat saya toleransi dari Plymouth Brethern (sebuah aliran di Inggris yang didirikan sekitar 1830an) adalah rasa superioritas mereka, semua yang lain adalah orang-orang najis dan hanya mereka yang bersih. Mereka tidak boleh bersentuhan dengan orang lain karena orang-orang itu akan menajiskan mereka. Nah, jika orang lain itu najis, maka sebetulnya mereka justru harus mentahirkan orang-orang itu. Itulah pekerjaan orang Kristen karena ia juga dulunya adalah orang najis akan tetapi sudah ditahirkan. Ia harus menyalurkan kekudusan yang mentahirkan itu kepada orang lain. Itulah kehidupan seorang Kristen. Kehidupan Kristen bukanlah kehidupan yang dengan gemetar ketakutan bersembunyi di belakang tembok pelindung diri, harus menyembunyikan diri, namun sebaliknya, orang Kristen seharusnya menjangkau keluar, menaklukkan dan mentransformasi segala sesuatu yang datang berhubungan dengannya.

Dan di dalam ayat-ayat kali ini, orang-orang Farisi tersebut sangat mirip dengan orang-orang Kristen di zaman sekarang. Kita memandang orang lain sebagai pendosa dan memutuskan untuk tidak berurusan dengan mereka. Kita tidak mau berbicara dengan seorang perokok; dengan para peminum; dengan orang yang gemar menonton film duniawi; dan juga dengan orang-orang yang gemar membaca tabloid pada Hari Minggu karena mereka adalah orang-orang berdosa. Karena seluruh dunia ini penuh dengan orang-orang berdosa, lalu kita mau ke mana? Saya rasa mungkin kita perlu mendaftarkan diri dalam penerbangan ke bulan dan membangun pemukiman di sana! Akan tetapi, kita ditempatkan di bumi ini untuk menjangkau orang-orang berdosa dengan kekudusan yang berisi kuasa untuk mentransformasikan, untuk merangkul dan memimpin mereka pada kebenaran di dalam Kristus Yesus. Itulah kehidupan Kristen.

Allah tidak hanya berdiam di surga sana dan berkata, “Orang-orang ini penuh dengan dosa dan Aku kudus, Aku tidak sudi berurusan dengan mereka.” Allah datang ke bumi dan berkemah di antara umatnya di dalam diri Yesus. Allah melalui Yesus mau menjangkau orang-orang seperti Anda dan saya – orang-orang yang diremukkan oleh dosa, yang seharusnya tidak tertolong lagi. Dan Ia mengangkat kita keluar dari lumpur dosa itu.

Ketika Tuhan mengangkat saya, keadaan saya secara harfiah memang sudah hampir berada di jurang yang dalam. Sungguh luar biasa kasih karunia-Nya! Keadaan yang saya alami sangatlah menyedihkan saat itu. Saya jatuh dari posisi yang sangat tinggi menjunam menjadi orang yang tenggelam dalam jurang kemiskinan. Saya kehilangan segala-galanya di masa pemerintahan kaum komunis. Saya sudah merasakan sendiri seperti apa hidup sebagai gelandangan. Saya tidak pernah lagi memandang rendah orang-orang miskin karena saya sendiri sudah pernah mengalami hidup seperti mereka. Kemudian, ketika saya sedang tertidur di antara sepeda-sepeda di sebuah gudang, Allah merentangkan tangannya dan membawa saya mendekat pada-Nya. Saya tidak terlalu kotor, tidak terlalu rendah bagi Dia bahkan pada waktu itu. Kita layak bersyukur pada Allah karena Ia melalui Yesus adalah Gembala yang berkeliling mencari domba yang sesat, seperti yang diceritakan dalam perumpamaan ini.


Kehidupan Gembala di zaman Yesus

Saya akan menggambarkan tentang seperti apa keadaan di zaman Yesus itu. Mulai dari ayat ke-4 dan seterusnya, Yesus menceritakan kepada kita tentang seorang gembala yang memiliki kawanan domba sebanyak 100 ekor, jumlah yang menunjukkan kemakmuran tingkat menengah menurut ukuran di Palestina zaman itu. Yang tergolong miskin memiliki antara 20 sampai 30 ekor, sedangkan yang kaya bisa memiliki antara 200 sampai 300 ekor domba. Menurut tradisi Yahudi di dalam Talmud, seseorang yang memiliki kawanan domba sebanyak 300 ekor dianggap sudah sangat kaya. Gembala yang diceritakan oleh Yesus ini memiliki 100 ekor domba, itu berarti ia masih dapat memberi perhatian kepada setiap dombanya satu per satu. Dengan demikian maka ia masih dapat menggembalai sendiri domba-dombanya tanpa harus mencari pekerja upahan.

Di dalam ayat 4, kata yang diterjemahkan dengan ‘padang gurun’ bukanlah padang pasir karena domba-domba tentunya tidak merumput di padang pasir. “Padang gurun” dalam ayat ini menunjuk kepada daerah di luar pemukiman penduduk, daerah merumput di sekitar pemukiman yang tidak didiami. Biasanya daerah itu berupa perbukitan di wilayah Yudea, di daerah di sekitar Yerusalem dan Bethlehem. Jika Anda pernah mengunjungi daerah tersebut, atau pernah melihatnya di dalam peta, Anda akan mendapatkan bahwa daerah-daerah tersebut biasanya terdiri dari bukit-bukit dan banyak bebatuan. Secara sederhana, dapat kita katakan bahwa ‘padang gurun’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah daerah bukit yang berbatu-batu, yang tidak bisa dipakai untuk bercocok-tanam karena tanahnya dangkal. Akan tetapi rerumputan yang terdapat di sana sangat cocok bagi domba-domba. Jadi kata ‘padang gurun’ ini menunjuk kepada daerah perbukitan yang berbatu-batu dan bukannya padang pasir. Sebagai orang Kristen yang masih baru, saya tidak pernah diberitahu tentang hal ini, lalu saya sering bertanya-tanya, apa yang dikerjakan oleh domba-domba itu di padang pasir? Bagaimana cara memberi makan domba di padang pasir?

Dan karena kawanan domba itu dilepas berkeliaran sambil merumput di daerah perbukitan, sangat besar peluang seekor domba untuk bergerak menjauh dari kawanannya. Jadi seorang gembala harus menghitung domba-dombanya setiap hari untuk memastikan bahwa semuanya sudah terkumpul. Seratus ekor domba memang merupakan jumlah yang cukup banyak, akan tetapi masih bisa ditangani sendirian. Akan tetapi Anda tidak akan dapat memastikan jumlahnya jika hanya melihat dengan sekilas saja. Anda harus menghitung mereka satu per satu. Biasanya, penghitungan dilakukan pada malam hari, ketika domba-domba itu sudah dimasukkan ke dalam kandang sementara.

Apa itu kandang sementara? Kandang tersebut terbuat secara sederhana dari batu-batu yang ditumpuk memagari sebuah tempat. Para gembala memasukkan domba-dombanya ke tempat tersebut setiap malam. Batu-batu sangat mudah didapatkan di Yudea, jadi para gembala dapat membangun kandang sementara di sembarang lokasi. Dalam waktu singkat tumpukan batu-batu itu sudah siap untuk melindungi domba-domba yang akan ditempatkan di sana. Dengan cara ini, si gembala bisa tidur dengan tenang, domba-dombanya tidak akan berkeliaran selama ia tidur, dan jika ia bangun keesokan harinya, ia tidak bangun sendirian tanpa domba di sana. Keuntungan lainnya adalah dalam hal melindungi domba-domba dari serangan serigala. Memang tidak banyak serigala di Yudea, akan tetapi sewaktu-waktu bisa saja sekawanan serigala muncul dan mengincar domba-domba tersebut. Jadi, para gembala juga harus berjaga-jaga dari kemungkinan ancaman serigala. Pada malam hari, si gembala akan memasukkan domba-dombanya ke dalam kandang sementara, dan saat itu ia akan menghitung jumlah dombanya untuk memastikan bahwa semuanya sudah terkumpul.


Ada seekor Domba yang Hilang!

Pada malam itu, ketika si gembala itu menghitung jumlah dombanya sampai yang ke-99, ia mendapati ada satu yang hilang. Ke mana domba yang ke seratus? Apa yang harus ia lakukan? Ia harus meninggalkan domba-domba yang lain, mungkin ia segera mengambil beberapa buah batu dan menumpuknya sehingga menutup jalan keluar dari kandang sementara itu. Dengan demikian domba-domba yang sudah terkumpul tidak dapat berkeliaran sementara ditinggalkan, lalu ia pergi mencari domba yang hilang itu. Ini adalah kejadian yang sudah biasa di kalangan penggembala. Peristiwa yang dimengerti oleh setiap orang Yahudi karena begitu banyaknya jumlah domba dan penggembala di negeri itu. Setiap orang di sana tahu cara kerja seperti ini.

Saya rasa ada banyak di antara Anda yang pernah mendengar tentang dokumen-dokumen dari Qumran atau yang disebut sebagai Gulungan Naskah Laut Mati, yang ditemukan di tahun 1947. Hal yang menarik adalah bahwa naskah-naskah itu ditemukan oleh seorang gembala kambing yang sedang mencari kambingnya yang hilang. Di zaman sekarang ini, banyak orang di Palestina yang lebih suka memelihara kambing ketimbang domba karena kambing adalah hewan yang lebih kuat. Mereka dapat memakan rumput yang lebih keras yang tumbuh di tanah tandus dekat padang pasir. Akan tetapi kambing merupakan hewan yang dapat merusak lingkungan karena mereka menarik rumput sampai tercabut ke akar-akarnya. Seekor domba yang merumput akan memotong bagian atas dari rumput yang dimakannya dan tidak merusak akar dari rumput tersebut. Jadi, jika kambing-kambing dibiarkan merumput di suatu tempat dalam waktu cukup lama, maka daerah itu akan menjadi tandus karena kebiasaan kambing yang mencabuti rumput. Ini menyebabkan para penggembala kambing di Palestina sering berpindah-pindah tempat penggembalaan. Di tahun 1947, ketika seorang gembala cilik selesai menghitung kambingnya yang berjumlah 55, ia mendapati bahwa kambing gembalaannya hilang satu. Dan ia bertindak dengan cara yang sama dengan gembala domba di dalam perumpamaan ini. Dititipkannya kambing-kambing yang sudah terkumpul kepada seorang temannya, dan ia beranjak pergi mencari kambing yang hilang itu. Ketika sedang mengamati daerah bukit-bukit batu di tepian Laut Mati, ia melihat sesuatu di sekitar sebuah gua di atas bukit dan ia berpikir bahwa kambingnya mungkin berada di sana, karena kambing sangat pandai memanjat tebing. Lalu ia mulai mendaki dan mecari kambingnya di sana, dan di sana ia menemukan gua yang sekarang diberi nama “Gua Qumran nomor 1.” Diberi nomor 1 karena para arkeolog kemudian menemukan banyak gua lagi di sana yang juga berisi banyak dokumen penting di dalamnya. Dokumen-dokumen yang dikenal sebagai Gulungan Laut Mati ini ditemukan oleh gembala yang sedang mencari kambingnya yang hilang. Jadi bahkan sampai di zaman sekarang ini, kegiatan mencari kambing atau domba yang hilang masih merupakan kegiatan yang lazim dilakukan oleh para gembala.

Arti penting yang utama dari Gulungan Laut Mati adalah bahwa naskah-naskah itu mengkonfirmasikan ketepatan penulisan isi Perjanjian Lama. Isi Alkitab yang kita pegang sekarang ini sangatlah akurat karena cocok dengan isi gulungan Laut Mati, naskah Perjanjian Lama yang berusia paling tua, yang ditulis sejak dua abad sebelum Yesus. Demikianlah arti penting dari dokumen-dokumen yang sangat tua itu. Tentu saja, si gembala kambing yang menemukan gua dengan tumpukan naskah kuno tersebut tidak memahami arti penting gulungan-gulungan tersebut. Dia bukan seorang pakar ilmu pengetahuan, dia tidak tahu apa arti tulisan yang ada di dalam naskah-naskah itu. Ia hanya menganggap bahwa naskah-naskah itu mungkin dapat dijual sebagai barang antik di Yerusalem, mungkin ada beberapa pedagang barang antik di sana yang berminat untuk membeli hasil temuannya. Dan ketika beberapa potong naskah yang diperdagangkan itu sampai ke tangan seorang pakar naskah kuno di Yerusalem, pakar ini segera mencari tahu dari mana naskah-naskah yang sangat kuno ini berasal. Ia lalu menelusuri asal-usul naskah tersebut, sampai akhirnya ia menemukan gua tempat penyimpanannya. Dan hasilnya, sekarang ini kita dapat melihat Gulungan-gulungan Laut Mati yang terkenal itu.


Si Gembala Mencari Sampai Ketemu dan Menggendong Domba itu Pulang

Hal berikut yang menarik perhatian adalah keindahan kata-kata yang tertulis di akhir ayat ke-4, “sampai ia menemukannya“. Si gembala itu mencari terus sampai menemukan dombanya; ia tidak mau menyerah. Ia mencari di setiap gua ataupun di setiap lubang yang ditemuinya, mungkin saja domba itu terjatuh di salah satu lubang yang ada. Ia mencari di setiap balik semak belukar dan di mana saja. Ia tidak menyerah sampai akhirnya menemukan kembali domba itu. Saya teringat pada keindahan kata-kata yang mengungkapkan kasih Yesus pada murid-muridnya di dalam Yohanes 13:1,

Ia senantiasa mengasihi murid-murid-nya demikianlah sekarang ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya.

Ia terus mencari dan mencari. Ia pantang menyerah. Kasihnya kepada kita sangat teguh, tidak membiarkan kita hilang.

Sesudah menemukan kembali dombanya yang hilang, si gembala itu menggendongnya pulang. Para peternak domba memberitahu saya, bahwa seekor domba yang tersesat akan begitu ketakutan dan kehilangan semangat, sehingga ia hanya terduduk diam di tempatnya tak berdaya. Domba itu tidak tahu harus berbuat apa. Jadi, alasan mengapa si gembala itu menggendong dombanya pulang adalah karena domba itu sedang dalam keadaan lemas ketakutan, tidak mampu menggerakkan kakinya dan hanya duduk diam bersembunyi di balik semak.

Selanjutnya, di ayat 5 dan 6, kita diberitahu bahwa si gembala itu tidak menggendong dombanya kembali ke kandang di padang, akan tetapi membawanya pulang ke rumah. Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan. Lukisan tentang domba yang digendong di pundak si gembala sering terlihat dalam karya seni Kristen. Si gembala menaruh dombanya di pundak, kaki depan dan kaki belakangnya melingkari pundak gembala tersebut. Si gembala memegang dua kaki di sebelah kanan dan dua lagi di sebelah kiri serta membawanya pulang. Perlu untuk kita ingat bahwa domba yang hilang itu dibawa pulang ke rumah di dalam perumpamaan ini.


Perumpamaan ini Bercerita tentang seorang Kristen yang Tersesat

Mari kita masuk ke dalam makna spiritual dari perumpamaan ini. Yang dibahas di dalam perumpamaan ini adalah seekor domba. Menurut Alkitab, domba tidak mengacu kepada orang non-Kristen melainkan kepada orang Kristen. Di setiap ayat dalam Perjanjian Lama yang memakai ungkapan ‘domba’, rujukannya selalu kepada umat Israel, umat Allah, dan bukan kepada umat lain di dunia. Di dalam Yehezkiel pasal 34 sebagai contoh, Allah berbicara tentang orang-orang Israel sebagai domba-Nya. Dan di dalam Mazmur 23, Raja Daud berkata, “Tuhan adalah gembalaku.”

Di dalam Matius 18:10-14, ayat-ayat yang paralel dengan perumpamaan ini, perhatikanlah konteks ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, dan Anda akan melihat bahwa konteks tersebut berbicara tentang orang Kristen. Seluruh Matius pasal 18 berbicara tentang orang Kristen yang tersesat, itu sebabnya mengapa masalah tentang orang yang jatuh ke dalam pencobaan dibicarakan di ayat-ayat sebelum ayat 10-14. Mengapa seekor domba dapat tersesat? Kemungkinan pada saat sedang merumput, perhatiannya tertuju pada rumput hijau yang lezat itu, jadi ia akan terus mengikuti jalur rumput yang hijau itu. Ketika ia selesai merumput di satu jalur, ia melihat jalur lain yang ditumbuhi oleh rumput yang segar, dan ia pergi untuk merumput di jalur itu. Demikianlah selanjutnya, ia melihat ada lagi jalur rumput yang lain dan berpindah lagi, ia tidak menyadari bahwa dirinya sudah terpisah jauh dari kawanan domba yang lain. Ia tersesat karena tergoda pada apa yang dilihatnya. Sekarang kita tahu bahwa domba yang dibahas di dalam Matius pasal 18 itu adalah orang Kristen yang tersesat. Perumpamaan ini tidak ada hubungan apa-apa dengan orang non-Kristen.

Di dalam perumpamaan yang tercatat dalam Injil Lukas, kita juga mendapati konteks yang sama di ayat-ayat sesudah dan sebelum perumpamaan itu. Sebagai contoh, di dalam dua ayat sebelum perumpamaan ini, Yesus berkata, “Garam memang baik, tetapi jika garam juga menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya baik untuk ladang maupun untuk pupuk, dan orang membuangnya saja.” Dari ayat-ayat yang sejajar di Matius 5:13, garam itu merujuk kepada orang Kristen. Jadi Lukas 14:34-35 juga mengacu kepada orang Kristen. Sesudah perumpamaan tentang Domba yang Hilang, maka ayat selanjutnya berbicara tentang Anak yang Hilang. Nah, jika si anak itu bukan milik Allah sebagai Bapa, bagaimana mungkin ia disebut sebagai anak? Jadi, perlu untuk kita perhatikan bahwa keseluruhan gambaran yang diberikan dalam perumpamaan ini adalah mengenai orang Kristen yang tersesat, yang tergoda untuk melakukan dosa yang seharusnya tidak mereka lakukan, melakukan hal-hal yang terlarang karena dorongan kepentingan tertentu.

Akan tetapi poin dari perumpamaan ini adalah kita tidak boleh mengutuk atau sekadar menyalahkan mereka, melainkan harus berbelas kasih kepada mereka. Kita tidak boleh memutuskan bahwa mereka tidak layak lagi untuk dikasihi. Kita harus berusaha untuk menarik mereka kembali. Dengan segenap hati, kita harus mengupayakan kembalinya mereka itu. Kita harus pergi mencari mereka dan membawa mereka kembali ke kandang.

Memang benar bahwa kasih Allah, yang menjangkau ke mana-mana ini, dapat berlaku pada orang non-Kristen juga. Namun yang hendak saya tegaskan adalah berdasarkan konteks yang ada, penerapan utama dari perumpamaan ini adalah kepada orang Kristen, dan sesudahnya, kasih Allah yang sama ini melebar dan menjangkau orang-orang non-Kristen yang belum pernah menjadi milik-Nya. Anda tentunya tidak akan dapat kehilangan sesuatu yang tidak pernah menjadi milik Anda. Jika saya berkata bahwa jam tangan saya hilang, itu berarti bahwa saya harus memiliki jam tangan terlebih dahulu sebelum bisa kehilangan. Jika saya tidak pernah memiliki jam tangan, saya tidak akan berkata, “Saya sudah menemukan kembali jam tangan saya.” Jika saya tidak pernah memilikinya, bagaimana saya dapat menemukannya kembali? Jadi sangatlah penting untuk memperhatikan ayat 6, “Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan.” Domba itu sejak awal memang milik Allah.


Tersesat: Tidak Tahu atau Tidak melakukan Firman Allah

Sesudah memegang prinsip ini, kita harus melanjutkan dengan memahami mengapa seseorang dapat tersesat. Kita sudah melihat sebelumnya bahwa hal ini berkaitan dengan godaan. Akan tetapi hal ini mempunyai akar yang lebih mendalam.

Yesus berkata di Markus 12:24,

“Kamu sesat, justru karena kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah.”

Kata ‘sesat’ di dalam Injil Markus ini, di dalam bahasa sumbernya – yaitu bahasa Yunani, sama dengan kata ‘sesat’ yang tertulis di Matius 18:12, “…jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya sesat…” Mengapa seseorang tersesat? Karena mereka tidak tahu Firman Allah dan mereka belum mengalami kuasa-Nya. Jika Anda menganali kedua hal itu, maka dengan kasih karunia Allah, Anda tidak akan tersesat.

Banyak orang Kristen yang tidak berakar dalam Firman Allah. Itu sebabnya mengapa saya begitu prihatin bahwa kita terus menggali Firman Allah agar Anda mengetahui Firman-Nya. Bukan karena saya ingin menjadikan Anda sebagai cendekiawan atau pakar Alkitab, tetapi karena hal ini dapat mencegah Anda dari kesesatan. Anda tidak akan tersesat jika Anda mengerti apa kata Firman-Nya berkaitan dengan sesuatu hal. Banyak orang Kristen yang melakukan suatu tindakan secara keliru karena mereka belum menghayati dan menyerap Firman-Nya ke dalam kehidupan mereka agar Firman itu mengubah mereka.

Hal kedua yang menyebabkan kesesatan adalah karena mereka belum mengalami kuasa-Nya. Sudahkah Anda mengalami kuasa-Nya? Saya selalu berharap agar semua orang Kristen mengetahui kuasa-Nya. “Anda tidak mengetahui Firman Allah dan juga kuasa-Nya”. Jika Anda mempraktikkan ajaran dari Firman Allah, Anda akan mengalami pergerakan dari kuasa Allah. Hanya jika Anda mengerti Firman-Nyalah maka Anda dapat melakukan Firman-Nya itu. Dan melalui pelaksanaan Firman-Nya kita mengetahui kuasa-Nya.

Sebagai contoh, saya membaca di dalam Matius pasal 6 bahwa Allah memberi makan burung-burung di udara, dan Ia mendandani bunga bakung di padang, dan kemudian saya mempraktikkan ajaran itu ke dalam hidup saya. Saya tidak berbicara berdasarkan teori saja. Saya mempertaruhkan nyawa saya langsung dalam praktik. Saya berkata, “Ya Tuhan, inilah saya. Saya akan mempercayakan kebutuhan jasmani, makanan dan pakaian saya ke dalam pemeliharaan-Mu.” Dan apa yang saya temukan? Saya menemukan kuasa-Nya ketika saya mempraktikkan Firman-Nya. Nah, itulah cara untuk belajar mengenali kuasa-Nya.

Akan tetapi banyak sekali orang Kristen yang tidak melakukan kedua hal ini. Mereka tidak mempelajari Firman-Nya dan mereka juga tidak mempraktikkannya di dalam kehidupan mereka, akibatnya – sejalan dengan waktu, mereka semakin menjauh, mereka tersesat. Dan sangat sering terjadi, untuk mendapatkan dan membawa mereka kembali merupakan hal yang sangat sulit.


Allah sedang Mencari mereka yang Tidak Taat

Keindahan dari perumpamaan ini adalah bahwa ia berkisah tentang kebaikan kasih Allah, yang sekalipun kita sudah tersesat, sekalipun kita sudah sangat jauh, Allah tetap mencari kita. Hati-Nya selalu tertuju pada kita. Ia tetap mempedulikan kita. Mungkin orang lain sudah tidak lagi menaruh harapan pada kita, tetapi Allah tidak begitu. Ia akan terus mencari kita sampai memang tidak ada jalan yang tersisa. Ada satu keindahan sifat Allah yang tercatat di dalam Alkitab. Di dalam Mikha 7:18-19, terdapat pernyataan yang sangat saya cintai, dan seringkali saya renungkan. Inilah hal yang diucapkan oleh Mikha, seorang nabi besar dari Allah, di dalam doanya,

“Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut.”

Allah adalah Allah yang Maha Pengampun. Ia selalu merindukan kita. Dan Ia akan mengampuni kita.

Tidak ada yang lebih buruk dari melarikan diri ketika kita berbuat dosa kepada Allah. Ini justru merupakan saat di mana kita paling membutuhkan-Nya. Namun setiap kali kita berbuat dosa, kita tenggelam dalam rasa bersalah, dan kita takut untuk kembali kepada Allah. Pernahkah Anda merasakan hal itu ketika Anda berbuat salah dan Anda takut untuk kembali kepada Allah? Anda berkata, “Saya tidak berani berdoa. Allah tidak akan mendengarkan doa saya.” Ingatlah akan dua ayat di dalam Mikha 7:18-19,

“Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut.”

Kembalilah kepada-Nya dan Ia akan memberi pengampunan yang berlimpah.

Ayat-ayat itu mengingatkan saya pada Yesaya 55:7. Ini pun adalah ayat yang sangat indah, di mana tertulis kata-kata “memberi pengampunan dengan limpahnya”. Tidak hanya mengampuni, akan tetapi Ia memberi pengampunan dengan limpahnya. Dengan kata lain, kita cenderung menduga bahwa Allah akan berkata, “Baiklah, kali ini Ku-ampuni, tetapi jangan coba-coba berbuat seperti itu lagi.” Anda tentunya sudah hafal sikap manusia yang mengampuni tetapi bersifat menghakimi pada saat memberi pengampunan. Padahal, dari yang kita baca tentang Allah di dalam ayat ini adalah,

“Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya, dan orang jahat meninggalkan rancangannya; baiklah ia kembali kepada TUHAN, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya.”

Allah akan memberi pengampunan dengan limpahnya jika kita meninggalkan jalan kefasikan, dan juga pikiran yang jahat.

Ini membawa saya pada gambaran yang lain, yang terdapat di dalam Yesaya 65:2 dan juga dikutip dalam Roma 10:21, ayat-ayat tentang kasih Allah yang selalu membuat saya terharu. Roma 10:21 merupakan gambaran tentang Allah yang dilukiskan oleh Paulus sebagai berikut,

“Sepanjang hari Aku telah mengulurkan tangan-Ku kepada bangsa yang tidak taat dan yang membantah.”

Cobalah bayangkan bagaimana Allah mengulurkan tangan-Nya sepanjang hari. Dapatkah Anda membayangkan Allah sedang berdiri dan mengulurkan tangan-Nya? Kepada siapa? Kepada bangsa yang tidak taat dan membantah. Hal ini sangat mengharukan saya. Sebelumnya saya tidak pernah membayangkan Allah seperti ini. Dulu saya terbiasa membayangkan Allah sebagai Pribadi yang keras. Dari atas takhta-Nya, Ia melotot ke arah seorang pendosa, membuat orang ini gemetar setengah mati. Akan tetapi gambaran tentang Allah yang sedang mengulurkan tangan-Nya kepada seorang yang tegar tengkuk sangatlah berbeda. Ini justru gambaran tentang manusia yang sangat angkuh di hadapan Allah yang dengan lemah lembut sedang mengulurkan tangan-Nya. Dapatkah Anda membayangkan kejadian seperti itu di dalam benak Anda? Berkali-kali saya harus mengakui di dalam hati ini, “Saya tidak pernah membayangkan Allah seperti itu.” Dan kemudian saya teringat pada kata-kata dari Yesus, “Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya” (Mat. 23:37). Tangan Allah yang terulur itu benar-benar sangat mengharukan hati saya. Begitu besar kebaikan kasih-Nya!


Kunci dari Perumpamaan ini: Manusia harus Bertobat

Akan tetapi Ia tidak mengampuni kita tanpa syarat. Ia tidak berkata, “Baiklah, Aku akan membutakan mata-Ku terhadap dosa-dosamu.” Memang benar bahwa Ia akan mengampuni kita jika kita meninggalkan jalan kefasikan. Dan hal ini membawa kita pada poin yang terakhir dari perumpamaan ini: pertobatan. Ide kunci dari perumpamaan ini adalah tentang pertobatan. Kita tidak boleh melewatkannya! Dan ini adalah perbedaan utama antara manusia dengan domba. Anda dapat menggendong seekor domba, dan domba itu tidak akan melawan, ia memang tidak dapat melawan. Anda dapat mengangkat dan menggendongnya pulang. Namun jika Anda mengira bahwa ini merupakan penjelasan tentang kasih karunia yang tidak dapat ditentang atau ditolak, maka Anda sudah keliru memahami gambaran yang diberikan!

Perhatikan kata-kata kunci yang tertulis di bagian akhir dari perumpamaan ini, di ayat 7,

“Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.”

Di ayat ini, dimasukkan ide kunci tentang pertobatan. Seekor domba tidak dapat bertobat, akan tetapi kita harus bertobat sebelum Yesus dapat membawa kita pulang ke rumah Bapa. Di manakah rumah Bapa? Di surga. Ia akan membawa kita pulang ke surga. Kita mungkin akan mengira karena seekor domba tidak dapat bertobat, maka Yesus akan menyelamatkan kita tanpa peduli apakah kita bertobat atau tidak. Akan tetapi hal itu tidaklah mungkin. Itu sebabnya, di dalam Lukas 15:7, Yesus berkata, “karena satu orang berdosa yang bertobat.” Di dalam ayat ini, tercatat sekaligus kata kerja ‘bertobat’ dan kata benda ‘pertobatan’.


Bertobat: Berubah secara Mendasar di dalam Cara Berpikir dan Berperilaku

Sebagai orang-orang Kristen, sangatlah penting bagi kita untuk memahami makna dari pertobatan, dan saya akan mengurai lebih rinci lagi tentang hal ini. Tahukah Anda apa arti pertobatan itu? Banyak orang yang mengira bahwa pertobatan itu sekadar suatu penyesalan atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Itu bukanlah suatu pertobatan menurut Alkitab. Penyesalan atas dosa-dosa yang telah diperbuat bukanlah makna dasar dari pertobatan. Pertobatan memang berhubungan dengan rasa duka, akan tetapi bukan itu isi utamanya.

Kata ‘pertobatan’ di dalam bahasa sumbernya (bahasa Yunani) berarti perubahan pikiran, metanoeiameta, satu perubahan, noeia, pikiran. Pertobatan adalah perubahan pikiran, perubahan dalam cara berpikir. Jauh lebih mendalam ketimbang sekadar perubahan perasaan. Sangatlah penting bagi kita untuk dapat memahami hal ini jika kita ingin menjadi orang Kristen di dalam arti yang sejati. Ada begitu banyak orang yang menjadi Kristen tanpa sesungguhnya bertobat.

Kata pertama yang dikhotbahkan oleh Yesus adalah ‘bertobat’. Ini adalah kata kunci di dalam pemberitaan Injil. Di Matius 4:17 sebagai contoh, dan Markus 1:15, Yesus memulai pelayanannya dengan kata-kata,

“Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat.”

Dan Lukas 5:23 menyampaikan hal yang mirip,

“Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.”

Pekabaran Injil yang dilakukan oleh para rasul juga menekankan hal pertobatan ini. Di Kisah 2:38 dan Kisah 3:19, rasul-rasul menyatakan tentang pertobatan dalam kedua ayat itu. Dan lagi di Kisah 17:30, rasul Paulus memberitahu kita bahwa

“Allah memberitakan kepada manusia, bahwa di mana-mana semua mereka harus bertobat.”

Dan Allah memerintahkan kita untuk bertobat karena Ia tidak ingin ada satu pun di antara kita yang binasa. Jika Anda tidak bertobat, maka Anda akan binasa. Itu sebabnya mengapa 2 Petrus 3:9 menyampaikan hal yang sangat penting ini:

Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.

Allah sangat bermurah hati dan sangat sabar, Ia memberi kita waktu untuk bertobat karena Ia menghendaki agar setiap manusia mendapat kesempatan untuk bertobat.


Orang-orang Kristen Juga Harus Bertobat

Lebih dari itu, pertobatan bukan hanya untuk orang-orang non-Kristen. Banyak orang yang mengira bahwa yang perlu bertobat itu hanya orang non-Kristen saja, sedangkan orang Kristen tidak perlu. Kata ‘pertobatan’ berlaku bagi orang Kristen juga, sama seperti terhadap orang non-Kristen. Dan itu sebabnya Anda mendapati begitu banyak kata ‘bertobat’ dituliskan dalam surat kepada tujuh jemaat. Sebagai contoh, di Wahyu 2:5, 16, 21, 22 dan 3:3,19, ayat-ayat itu menyuruh orang Kristen untuk bertobat dari dosa mereka masing-masing. Kita memang harus bertobat secara umum, akan tetapi kita juga harus bertobat akan hal-hal yang khusus. Saya sendiri mendapati bahwa saya harus bertobat akan berbagai macam hal dari minggu ke minggu. Saya harus mengubah sikap saya sepenuhnya terhadap banyak hal.

Tetapi itu membawa kita kepada ide dasar dari pertobatan. Pertobatan mencakup perubahan pikiran yang mendasar, pembaharuan akal budi, perubahan sikap, perubahan perilaku. Itu berarti bahwa sejak saat pertobatan, terjadi suatu perubahan di dalam watak kita. Jika Anda mengubah sikap dan perilaku Anda, maka seluruh kepribadian Anda akan berubah! Begitulah caranya Anda untuk dapat sampai kepada 2 Korintus 5:17, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” Anda menjadi ciptaan baru. Anda mengalami perubahan secara mendasar.

Pemahaman ini jelas sangat berbeda dengan pekabaran Injil yang menyatakan bahwa Anda akan diselamatkan cukup dengan mempercayai bahwa Yesus sudah mati bagi dosa-dosa Anda. Mengabarkan Injil dengan cara seperti itu berarti tidak mengabarkan pertobatan sama sekali. Berarti tidak memberitakan pesan yang berasal dari Yesus; tidak memberitakan pesan-pesan dari para rasul yang mengabarkan pertobatan yang bukan sekadar kepercayaan pada hal-hal tertentu saja. Tidak seorang pun, yang sekadar percaya bahwa Yesus telah mati bagi dosa-dosanya, akan diselamatkan. Saya mohon Anda mau mengerti bahwa yang terpenting adalah terjadinya perubahan secara fundamental di dalam hati Anda, di dalam sikap Anda terhadap kehidupan ini, di dalam cara Anda menilai persoalan, di dalam cara berpikir Anda dan di dalam cara Anda berperilaku. Jika seseorang berkata kepada saya bahwa ia adalah seorang Kristen dan ia sudah diselamatkan karena ia telah percaya bahwa Yesus telah mati bagi dosa-dosanya, namun saya tidak melihat adanya perubahan di dalam sikap dan perilakunya, saya tidak akan mempercayai perkataannya. Itu bukanlah Kekristenan. Akan tetapi, jika saya melihat orang yang sikap dan perilakunya berubah, maka saya segera tahu bahwa orang itu memang orang Kristen.


Perubahan akal budi

Nah, jika Anda merasa diri Anda adalah seorang Kristen, sudahkah terjadi suatu perubahan yang mendasar di dalam cara berpikir Anda, di dalam sikap Anda terhadap orang lain dan di dalam cara bertindak Anda sejak Anda menjadi Kristen? Jika tidak, maka Anda masih belum mengerti apa arti pertobatan yang sesungguhnya. Anda masih belum menjadi orang Kristen sesuai dengan isi Alkitab.

Dan saya sangat prihatin akan hal ini karena belakangan ini, saya memperhatikan adanya beberapa orang yang sudah mulai menjauhkan diri dari Tuhan. Dan saya tahu bahwa hal itu terjadi karena mereka belum bertobat. Mereka kembali kepada dosa-dosa yang dulu mereka laakukan, seperti babi yang kembali ke kubangannya. Hal ini dapat terjadi pada diri Anda juga. Anda dapat menjadi Kristen, dan untuk beberapa waktu Anda mejauhkan diri dari dosa-dosa Anda serta tidak melakukannya lagi. Akan tetapi berhenti melakukan hal-hal itu bukan berarti bahwa Anda sudah bertobat, karena sikap Anda terhadap hal-hal tersebut masih belum berubah.

Sebagai contoh, Anda mungkin menikmati beberapa bentuk pikiran yang penuh dosa ketika masih belum menjadi Kristen. Beberapa orang terbiasa menikmati pornografi ketika masih belum menjadi Kristen. Sangat memuaskan hasrat mereka. Mereka sudah kecanduan pada pornografi. Ketika menjadi Kristen, mereka berhenti melihat pornografi, akan tetapi sikap dasar mereka terhadap pornografi masih belum berubah, karena hati mereka masih menyukai kecabulan tersebut. Mereka menyingkirkan barang-barang yang bersifat porno karena merasa bahwa hal itu tidak baik, “Dapat merusak pikiran saya. Mungkin saya harus berhenti untuk sementara waktu.” Namun sikap mereka terhadap berahi masih belum berubah secara mendasar. Kecintaan mereka terhadap dosa masih belum mengalami perubahan sepenuhnya. Dan suatu saat mereka akan kembali kepada dosa tersebut. Jadi jika sikap Anda terhadap dosa-dosa Anda belum berubah, itu berarti bahwa Anda masih belum bertobat. Tidak ada perubahan dalam cara berpikir. Anda mungkin menyesali dosa-dosa Anda, akan tetapi penyesalan bisa saja terjadi tanpa diikuti oleh perubahan sikap. Anda pasti akan kembali dan melakukannya lagi pada suatu saat, dan pada saat lainnya lagi, dan begitu seterusnya. Dapatkah Anda melihat betapa pentingnya membedakan antara sekadar penyesalan dengan perubahan cara berpikir? Ketika Anda melihat ke dosa-dosa Anda dan berkata, “Tidak, semuanya sudah berakhir! Saya tidak lagi menyukai hal-hal semacam itu lagi. Saya tidak menyukai lagi dosa saya karena sikap saya terhadapnya sudah berubah. Saya tidak sekadar hanya sedang menjaga jarak antara diri saya dengan hal-hal tersebut karena jika hanya menjauhkan diri maka jarak pemisah itu sangat mudah dihilangkan.”

Jika pikiran Anda sudah berubah dan Anda tahu mengapa pikiran Anda itu berubah, itu berarti Anda sudah bertobat. Dengan kata lain, seorang Kristen harus memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar dorongan perasaan. Ia harus merenungkan benar-benar, “Saya harus mengubah pikiran saya terhadap dosa saya dan saya harus memahami juga mengapa saya harus mengubah pikiran saya.” Sudahkah Anda menjalankannya? Pernahkah Anda menghadapi godaan dosa dan Anda tidak hanya sekadar berkata, “Tidak sepantasnya saya berpikir seperti itu.”? Tidak ada gunanya berkata bahwa Anda tidak boleh berpikir seperti itu, karena Anda akan segera kembali memikirkan hal itu, bukankah demikian? Anda harus menelaah dosa-dosa Anda, menelitinya dan berpikir dengan tenang, “Apakah saya masih menyukai hal ini? Ya, saya masih suka. Mengapa saya masih suka memikirkan hal itu? Mengapa saya masih belum dapat melihat betapa kotornya dosa itu?” Tanganilah masalah ini secara mendasar. Kendalikan situasinya. Pisahkanlah antara yang najis dengan yang benar dan tolaklah yang najis.

Tentu saja, seks tidak selalu berkaitan dengan dosa. Seks itu sendiri adalah hal yang wajar. Akan tetapi jika benak Anda terisi oleh pikiran yang najis, jika otak Anda terisi oleh percabulan dan perzinahan, atau perbuatan-perbuatan yang melanggar batasan, maka Anda harus segera mengatasinya. Sebaliknya, jika Anda tidak pernah berpikir tentang seks, Anda pasti bukan manusia normal. Ada banyak orang muda yang mengeluhkan persoalan ini kepada saya. Mereka datang dan berkata, “Saya sangat berdosa karena berkali-kali memikirkan masalah seks.” Tidak ada yang salah dengan urusan seks selama Anda masih mampu mengendalikannya. Kita diciptakan dengan naluri untuk tertarik pada masalah seks dan kita tidak perlu berpura-pura untuk tidak tertarik pada masalah itu, selama kita tidak membiarkannya lepas kendali. Akan tetapi jika kita menghayalkan percabulan, perzinahan, dan menikmati khayalan seperti itu atau ingin melampiaskan nafsu di tempat pelacuran, sudah pasti ini adalah persoalan yang berbeda. Tidak masalah jika di pikiran kita terlintas tentang seks, dan kekudusan kita tetap terjaga. Tidak ada yang berdosa tentang hal ini sama sekali.

Saya harap Anda dapat memahami bahwa harus terjadi suatu perubahan pikiran sehingga kita tidak terperosok lagi ke dalam dosa. Harus ada transformasi di dalam sikap batin. Anda harus menangani dosa. Anda harus melawan dan mengalahkannya. Hal ini sangatlah penting.

Dengan demikian kita akan masuk ke dalam bentuk sikap seperti yang kita baca di dalam Mazmur 45:8, mencintai keadilan dan membenci kefasikan. Kita yang sebelumnya mencintai kejahatan dan membenci kebenaran (Yoh.3:20), harus mengubah sikap kita menjadi seperti yang terdapat di Mazmur 45:8 itu, di mana kita jadi membenci dosa dan kefasikan, dan kita tahu mengapa kita membencinya. Kita membenci dosa karena kita tahu apa yang diperbuat oleh dosa terhadap kita. Sama seperti seorang bekas pecandu narkoba yang belajar untuk membenci bahan yang mematikan itu. Sia-sia saja jika ia berkata, “Memakai narkoba itu salah.” Mengapa salah? Ia tidak tahu mengapa salah. Jadi ia harus mengerti persoalannya dan mampu untuk berkata, “Sekarang saya sudah tidak mau berurusan lagi dengan narkoba. Dulu saya menyukainya, namun sekarang saya sudah tahu seperti apa kehancuran yang diakibatkannya. Saya sudah tahu seberapa besar bahaya yang ditimbulkannya terhadap saya dan orang lain.” Pandangannya berubah, pikirannya terhadap hal itu sudah berubah. Ia sekarang tahu mengapa ia harus bersikap seperti itu sesudah memikirkannya secara mendalam. Pertobatan yang sejati mengubah pikiran dan perilaku orang itu sepenuhnya terhadap dosa. Saya berdoa semoga Allah berkarya dengan penuh kuasa di dalam hati kita semua supaya kita dapat belajar untuk benar-benar bertobat dari segala macam dosa kita. Jangan sekadar menjauhkannya. Jangan sekadar membungkusnya rapat-rapat, karena ia akan segera muncul kembali. Tidak ada gunanya. Anda harus menanganinya dengan penuh kesadaran, tekad dan dengan kasih karunia serta kuasa dari Allah.


Kemurahan Allah Bertujuan untuk Membawa kita kepada Pertobatan

Sekarang kita sudah melihat, dari perumpamaan ini, di satu sisi tentang indahnya kebaikan dan kasih Allah, dan di sisi lain, tentang perlunya suatu pertobatan. Dan sebenarnya, seluruh perumpamaan ini dapat kita rangkum dalam kalimat seperti yang tertulis di dalam Roma 2:4,

“Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?”

 

Berikan Komentar Anda: