Pastor Eric Chang | Markus 4:26-29 |

“Lalu kata Yesus: “Beginilah hal Kerajaan Allah itu: seumpama orang yang menaburkan benih di tanah, lalu pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas dan tunas itu makin tinggi, bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu. Bumi dengan sendirinya mengeluarkan buah, mula-mula tangkainya, lalu bulirnya, kemudian butir-butir yang penuh isinya dalam bulir itu. Apabila buah itu sudah cukup masak, orang itu segera menyabit, sebab musim menuai sudah tiba.”

Yesus sedang berkata bahwa hal kerajaan surga itu seperti orang yang menaburkan benih di tanah. Kemudian ia pergi tidur, dan bangun pada esok paginya, dan ia tidur lagi malamnya, lalu bangun keesokan harinya. Hal ini berjalan terus sepanjang musim panas sampai benih itu mulai bertumbuh; bertunas, bertangkai, berbulir dan akhirnya berbuah. Lalu orang itu memanen hasilnya. Benih itu tumbuh sendiri; si penabur tidak tahu bagaimana benih itu bertumbuh. Tugasnya adalah menabur di musim tanam dan memanen di musim tuai. Itulah isi dari perumpamaan ini.

Anda mungkin bertanya, lalu apa yang bisa kita pelajari dari sini? Tampaknya tidak banyak yang bisa diambil dari perumpamaan seperti ini. Akan tetapi setiap perkataan Yesus mengandung kekayaan makna yang sangat besar, dan perumpamaan ini bukan merupakan suatu pengeculian. Membandingkan perumpamaan ini dengan perumpamaan tentang penabur, kita akan melihat ada banyak poin yang mirip dan juga terdapat banyak perbedaan juga. Apa contoh-contoh perbedaannya?

Hal pertama yang perlu kita tanyakan adalah, siapa si penabur dalam perumpamaan ini? Kita cenderung untuk berkata, “Oh, itu Yesus.” Tetapi orang ini menaburkan benih dan ia tidak tahu bagaimana pertumbuhan benih itu. Apakah Anda pikir kata-kata seperti itu dapat diterapkan pada Yesus? Ayat 27 berkata, “Pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas dan tunas itu makin tinggi, bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu.” Setiap orang yang mempelajari ayat ini segera memahami bahwa si penabur itu tidak dapat diartikan sebagai Yesus. Bagaimana mungkin kita berkata bahwa Yesus tidak tahu bagaimana Firman Allah bertumbuh?

Lagipula, ada beberapa perbedaan antara ayat ini dan Lukas 8:5, di mana dalam ayat itu disebutkan, “Adalah seorang penabur keluar untuk menaburkan benihnya.” Di dalam perumpamaan kali ini, benih yang ditabur tidak disebut sebagai miliknya. Ia menaburkan benih; akan tetapi benih itu tidak harus merupakan miliknya. Jika seorang pengkhotbah menyampaikan Firman Allah, ia tidak sedang menyampaikan kata-kata karangannya sendiri melainkan Firman Allah.

Si penabur adalah setiap orang yang menaburkan Firman Allah. Di dalam Perjanjian Baru, sangat sering ditemukan penabur yang bukan Yesus. Yesus adalah penabur yang pertama; Ia adalah Penabur dengan huruf ‘P’ yang besar, akan tetapi kita pun juga penabur, yang menabur sebagai hamba atau pekerjanya. Itu sebabnya mengapa Paulus menggambarkan dirinya sedang menanam atau menabur (1 Korintus 3:6-7). Apolos menyirami benih akan tetapi Allahlah yang memberi pertumbuhan. Jadi siapa yang memberi pertumbuhan? Allah yang memberi pertumbuhan. Hal ini sangat cocok dengan isi perumpamaan di dalam Markus. Paulus tidak tahu bagaimana benih itu bertumbuh, demikian pula halnya dengan Apolos. Yang tahu adalah Allah, karena Dialah yang memberi pertumbuhan.

Kita mendapati ide yang sama di  2 Timotius 2:6 di mana Timotius digambarkan seperti petani yang bekerja keras. Apa yang dikerjakan oleh petani? Ia menabur benih. Seperti yang Paulus katakan kepada Timotius,

“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya [KJV: Preach the word; be instant in season, out of season = cocok atau tidak cocok musimnya]” (2 Tim.4:2).

Kata cocok atau tidak cocok musimnya adalah istilah yang berkaitan dengan bidang pertanian. Di dalam hal ini Paulus menggabungkan dua macam gambaran yaitu hal memberitakan Firman dan menaburkan benih. Pada umumnya kita menaburkan benih pada saat-saat yang sudah ditentukan setiap tahun. Sebagai contoh, kita tidak akan menabur di musim dingin. Akan tetapi jika hal ini dikaitkan dengan Firman Allah, kita harus menabur setiap saat – cocok atau tidak cocok musimnya. Jadi, Paulus menghendaki agar Timotius memahami bahwa memberitakan Firman Allah itu mirip dengan menabur benih. Gambaran yang sama diberikan di Yakobus 5:7 di mana orang Kristen disebut sebagai petani yang menantikan panen yang akan tiba. Jadi pandangan bahwa si penabur adalah orang Kristen – terutama yang memberitakan Firman Allah – sangat lazim kita temui di dalam Alkitab.

Hal selanjutnya adalah si petani disebutkan tidur pada malam hari dan bangun keesokan paginya. Tidak ada hal yang dapat ia lakukan untuk dapat memastikan pertumbuhan benih itu selain berusaha agar kondisi yang ada sangat mendukung bagi pertumbuhan itu, namun ia tidak dapat menumbuhkan benih itu. Kehidupan ada di dalam benih itu. Si petani tidak dapat berbuat apa-apa bagi kehidupan itu dan ia tidak tahu bagaimana kehidupan bekerja namun ia dapat melihat apakah kehidupan itu berfungsi atau tidak. Jadi apa yang dapat ia lakukan? Kita tidak  boleh beranggapan bahwa dia hanya duduk dan bersantai-santai. Saya mengamati uraian yang diberikan oleh beberapa pengulas, dan mereka benar-benar membuat saya sangat terkejut karena tampaknya mereka kurang memahami kehidupan di lahan pertanian. Dapatkah Anda membayangkan jika seorang petani menabur benih dan selanjutnya hanya bersantai-santai saja menunggu saat panen tiba? Yang ia lakukan hanya makan dan tidur sampai tibanya masa panen. Ini adalah suatu pandangan yang sangat mengejutkan, dan beberapa cendekiwan tampaknya berpegang pada pandangan ini. Saya rasa jika Anda ingin mempelajari Firman Allah, sangatlah bermanfaat meluangkan waktu untuk tinggal sementara bersama petani, serta mengamati kehidupannya. Anda akan melihat betapa banyaknya hal yang harus ia kerjakan.

Meskipun seorang petani tidak dapat menumbuhkan benih sesudah ditanam, ia harus mengupayakan supaya benih itu tidak diganggu hama yang akan menghentikan pertumbuhan benih tersebut. Ia harus memastikan bahwa ladangnya mendapat air yang cukup karena di daerah Timur Tengah memang ada hujan awal dan akhir musim namun di antara hujan awal dan akhir itu biasanya tidak banyak hujan turun. Para petani harus menyiram ladangnya setiap hari; tanahnya harus diirigasi. Mereka yang pernah ke Israel tahu bahwa sebagian besar ladang di Israel sangat mengandalkan irigasi. Anda tidak dapat hanya bergantung pada hujan. Memang ada hujan turun, namun seringkali hanya hujan di awal dan di akhir musim. Hujan awal dan hujan akhir musim memang sangat penting bagi tanaman, namun petani tidak dapat hanya bergantung kepada hujan tersebut. Ini berarti para petani harus bekerja keras. Kegiatan Apolos yang menyirami benih adalah suatu pekerjaan yang besar, pekerjaan mengairi tanaman. Menabur benih adalah pekerjaan yang penting dan menyirami tanaman memiliki nilai yang sama. Orang yang membayangkan bahwa para petani hanya berpangku tangan menunggu masa panen adalah orang yang tidak memahami kehidupan seorang petani. Lebih dari itu, mereka juga harus menjaga supaya ternak tetangga tidak menginjak atau memakan tanaman di ladang mereka. Ia harus menjaga supaya burung-burung dan hama tumbuhan tidak memakan atau merusak tanamannya. Mereka memasang orang-orangan, dan juga benda-benda lainnya untuk mengamankan benih yang baru ditabur.

Bukankah itu yang dilakukan seorang pengajar dan pendeta? Tidak ada alasan untuk berpangku tangan. Namun kebenaran yang utama tidak boleh dilupakan yaitu jika bukan Allah yang membangun rumah, maka sia-sialah usaha orang yang melakukannya (lihat Maz.127:1-2). Jika Allah tidak menumbuhkan benih itu, segala upaya si petani akan sia-sia. Walaupun petani itu tidak dapat menumbuhkan benih, akan tetapi ia dapat mengusahakan agar lingkungan lahan itu menunjang pertumbuhan benih dengan melindungi serta memberinya pupuk. Bagaimanapun juga, pada saat benih itu mulai bertunas, ia tak dapat menarik tunas itu agar bertumbuh lebih cepat. Tidak ada yang dapat dilakukannya dalam hal kecepatan pertumbuhan ini.

Apa hal yang ingin disampaikan oleh Yesus kepada kita? Apakah yang ingin disampaikan adalah jika benih Firman Allah sudah ditaburkan, maka perkaranya sudah selesai dan tidak ada lagi hal yang perlu dikerjakan? Apakah jika benih Firman Allah sudah ditaburkan di dalam hidup Anda, maka Anda boleh duduk dan bersantai? Semuanya adalah anugerah dan Anda tidak perlu mempertanggungjawabkan apapun? Belakangan ini ada kecenderungan di kalangan gereja-gereja untuk mengajarkan tentang kasih karunia di mana sama sekali tidak ada peran manusia; manusia tidak perlu berbuat apa-apa. Ini bukanlah pengajaran yang alkitabiah. Ada banyak ajaran yang kedengarannya sangat rohaniah namun sebenarnya tidak alkitabiah dan tidak benar. Berhati-hatilah terhadap ajaran yang terdengar sangat rohaniah. Semakin banyak orang sekarang ini yang tertipu oleh pengajaran yang kedengaran sangat rohani ketimbang oleh ajaran palsu. Tidaklah mudah untuk menjatuhkan seorang Kristen lewat kepalsuan karena ia setidaknya mempunyai sedikit penilaian akan apa yang salah dan yang benar. Namun nampaknya orang mudah jatuh saat berhadapan dengan tipuan yang kedengarannya sangat rohani padahal sesat.

Iblis mencoba perangkap ini terhadap Yesus ketika ia mengutip ayat-ayat Alkitab. Iblis mengutip Mazmur 91 dan mencobai Yesus untuk melompat dari atap Bait Allah. “Sebab malaikat-malaikat akan diperintahkan untuk menjaga engkau di segala jalanmu. Mereka akan menatang engkau di atas tangannya, supaya kakimu tidak terantuk batu,” kata Iblis mengutip Mzm.91:11-12. Adakah yang salah dengan kutipan itu? Tidak. Saya sudah memeriksa kutipan itu ke bahasa sumbernya dan kutipan itu memang benar, kata demi kata. Iblis tidak memakai kata-katanya karangannya sendiri ketika ia mengutip ayat Alkitab. Kutipan itu mengikuti ayat yang tertulis dalam Septuaginta, kata demi kata dalam bahasa Yunani, persis sama sampai setiap hurufnya. Tidak ada satu kata pun yang hasil karangannya sendiri. Ini menunjukkan bahwa Iblis bukanlah makhluk yang bodoh. Ia tahu saat berhadapan dengan Yesus, dia tidak boleh salah dalam mengutip Alkitab. Ia tahu kutipannya itu harus akurat.

Lalu, apanya yang salah? Yang salah adalah penempatan, atau pemakaian dari ayat Alkitab itu. Mazmur 91 berbicara bagi mereka yang berdiam di dalam lindungan Yang Mahatinggi yang akan mendapat perlindungan dari Allah seperti biji mataNya sendiri. Ia akan melindungi mereka sehingga kaki mereka tidak akan terantuk batu. Ia sangat memperhatikan mereka. Hal ini memang benar sekali jika Anda berjalan mengikuti kehendakNya, berjalan di dalam bayang-bayang Yang Mahatinggi. Ia akan melindungi Anda siang dan malam. Namun ini tidak berarti bahwa dengan demikian Anda bisa melanggar kehendakNya dan tetap berharap Ia masih akan melindungi Anda. Tidak, ini akan berarti bahwa Anda sedang mencobai Allah, hal yang merupakan isi dari jawaban Yesus kepada Iblis, “Aku akan berjalan di dalam kehendak Bapaku, dan apa yang engkau katakan itu bukanlah kehendak Bapaku. Ayat yang engkau kutip memang akurat akan tetapi tidak berlaku, karena jika hal itu kulakukan, akibatnnya adalah aku tidak berdiam di dalam perlindungan Yang Mahatinggi. Aku tidak berada di dalam kehendakNya lagi.” Tidak sulit untuk melihat bahwa godaan itu sendiri ditujukan untuk mendorong ke arah kerohanian yang salah. Cobaan ini merayu pada aspek kerohanian dari manusia. Untuk memperjelasnya, saya akan menyampaikan kata-kata Iblis dengan memakai kalimat yang berbeda, “Allahmu akan memperhatikanmu. Tidakkah kau ingin mengalami langsung perlindunganNya? Tidakkah kau ingin mengalami langsung bagaimana Dia akan bertindak untuk melindungimu? Sekarang, lakukanlah langkah pembuktiannya: lompatlah, dan lihat apa yang akan terjadi.” Demikianlah, kita harus waspada terhadap kata-kata yang kedengarannya rohani dan mengutip ayat-ayat dari Alkitab keluar dari konteksnya.

Terdapat begitu banyak ajaran yang kedengarannya rohani. Sebagai contoh, kita sering diberitahu bahwa iman adalah karunia/hadiah (gift) dari Allah. Kedengarannya sangat rohani, akan tetapi tidak ada kebenaran sedikitpun di dalamnya. Apakah hal ini membuat Anda terkejut? “Jika iman adalah karunia dari Allah,” sebagaimana ucapan Sidlow Baxter dalam bukunya yang sangat penting, The New Call to Holiness (Panggilan Baru Menuju Kekudusan, pent), “maka keselamatan menjadi suatu lawakan yang tidak masuk akal bagi kemanusiaan.” Karena ini berarti Anda tidak akan dapat diselamatkan jika Allah tidak memberi Anda iman. Artinya, jika Allah tidak memberi Anda iman, maka tamatlah riwayat Anda. Anda boleh saja menjadi orang yang baik akan tetapi jika Allah tidak ingin memberi Anda iman itu, maka Anda tidak punya pilihan lain kecuali masuk neraka. Namun dikatakan bahwa Allah tidak menghendaki seorangpun binasa – semua ini akan membuat Anda merasa sedang berada di atas panggung sandiwara yang kejam, demikianlah penegasan dari Baxter.

Alkitab tidak pernah berkata bahwa iman percaya adalah karunia dari Allah. Jika memang demikian, ini berarti di satu kesempatan Allah berkata bahwa Ia tidak menghendaki seorangpun binasa, namun di satu sisi, Dia hanya memberi iman kepada sekumpulan orang saja. Sebagian besar orang tidak memiliki iman karena Allah tidak memberikannya kepada mereka. Apa yang sedang kita bicarakan ini? Di satu sisi, Allah tidak menghendaki seorangpun binasa; di sisi lain, Ia mencampakkan sebagian besar orang ke neraka! Di sini kita melihat adanya pemahaman yang salah namun kedengaran rohani yang mengacau-balaukan pemahaman Injil. Menjadikan Injil terlihat sangat ngawur di mata orang yang ingin mengejar kebenaran dengan serius. Kita harus mewaspadai ajaran yang terdengar rohani, dan sangatlah penting memahami hubungan antara kasih karunia dengan tanggungjawab. Jika iman adalah kasih karunia sepenuhnya, dan manusia tidak memiliki peran apapun di sana, maka kita hanya perlu duduk santai, dan menunggu sampai Allah memberikan kita iman itu.

Di banyak tempat, jumlah petani makin lama semakin sedikit karena kerja di pertanian sangatlah berat. Ada banyak pekerjaan lain yang lebih ringan. Pekerjaan seorang petani tidak ada habis-habisnya. Banyak sekali hal yang harus dilakukan. Paulus berbicara tentang kerja keras seorang petani di 2 Timotius 2:6. Petani bekerja tidak hanya di saat menabur; ia bekerja keras sepanjang tahun. Setiap orang yang tahu bagaimana kehidupan seorang petani akan memahami seperti apa beratnya pekerjaan itu. Tanggungjawab seorang petani masih jauh dari selesai pada saat ia sudah menabur benih. Hal yang sama berlaku bagi setiap orang Kristen yang menginjil. Tanggungjawab mereka tidak berakhir ketika orang sudah percaya kepada Tuhan.

Paulus adalah contoh orang yang bekerja sangat keras. Ia berkata, “Aku bekerja lebih giat dari mereka semua. Akan tetapi aku melakukan semua ini oleh kasih karunia Allah” (lihat 1 Korintus 15:10). Ia berbicara tentang perjuangan siang dan malam. Di dalam gereja-gereja sekarang ini kita melihat banyaknya orang Kristen yang malas, yang berkata, “Semuanya berdasarkan kasih karunia Allah; tidak ada satu hal pun yang perlu saya lakukan.” Kasih karunia tidak diarahkan untuk menimbulkan kemalasan.


Pertumbuhan Rohani bergantung pada Tanggapan kita

Mari kita lihat Kolose 1:28-29.

Dialah yang kami beritakan, apabila tiap-tiap orang kami nasihati dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus. Itulah yang kuusahakan dan kupergumulkan dengan segala tenaga sesuai dengan kuasa-Nya, yang bekerja dengan kuat di dalam aku.

Ayat ini sangat dekat di hati saya, dan saya ingin agar Anda merenungkannya. Paulus menanam dan merawat benih, yaitu Firman Allah. Perhatikan bahwa ia tidak sekadar ingin menyelamatkan orang. Penekanan gereja-gereja sekarang ini hanya sekadar mencari orang yang mau mengacungkan tangan untuk menerima keselamatan. Beberapa penginjil tampaknya hanya memikirkan perkara ini saja – mendorong orang untuk mengambil keputusan untuk dibaptis. Sesudah mereka dibaptis, para penginjil ini menganggap bahwa tugas mereka sudah selesai. Akan tetapi Paulus bukanlah jenis penginjil seperti ini. Ia tidak sekadar mencari orang yang mau berpindah agama. Ia berjuang keras untuk memimpin setiap orang pada kesempurnaan di dalam Kristus. Kata ‘sempurna’, ‘dewasa’ dan ‘penuh’ dapat diterapkan dalam ayat ini. Jadi, ia ingin membantu setiap orang untuk dapat menjadi sempurna, dewasa, dan penuh di dalam Kristus. Saya berdoa semoga Allah memberi kita penginjil yang seperti Paulus sekarang ini – penginjil yang tidak sekadar mengobral keselamatan, tidak sekadar mengejar jumlah baptisan, namun yang ingin memimpin semua orang kepada kesempurnaan di dalam Kristus. Dan itulah hal yang dibicarakan di Markus 4.

Ada beberapa kata di Kolose 1:29 yang perlu kita perhatikan baik-baik. Ayat ini menyebutkan, “Itulah yang kuusahakan dan kupergumulkan dengan segala tenaga sesuai dengan kuasa-Nya,…” kata ‘usahakan’ (toil) berarti ‘mengerjakan/memperjuangkan‘. Kata ini memiliki arti dasar ‘kerja keras’. Selanjutnya adalah kata ‘kupergumulkan’. Adakah Anda melihat kemalasan dari Paulus? Tidak sama sekali. Ia bergumul dengan segenap tenaganya. Dan ia berkata bahwa tenaganya berasal dari Allah. Alkitab menyatakan Paulus mengusahakan dengan “kuasaNya, yang bekerja dengan kuat di dalam aku.” Kalau saja kita memiliki lebih banyak lagi orang-orang seperti Paulus di dalam generasi ini – orang-orang yang tidak lagi berkata bahwa mempercayai Yesus adalah perkara karunia. Tentu saja hal ini adalah kasih karunia. Namun beberapa orang hanya mendapatkan satu karunia sementara yang lainnya mendapatkan karunia demi karunia – yaitu karunia yang berkelimpahan.

Disebutkan bahwa “siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya” (Markus 4:25). Bagaimana kita dapat memperoleh karunia yang berlimpah seperti yang dimiliki oleh Paulus. Apakah Allah hanya memakai Paulus? Bagaimana Ia memakai Paulus? Apa peran karunia? Karunia yang diterimanya membuat Paulus giat berusaha dengan segala tenaganya. Perhatikan bahwa pemahaman Paulus tentang karunia sangat berbeda dengan pemahaman karunia sekarang ini. Di zaman sekarang, makna dari karunia adalah duduk santai dan tidak berbuat apa-apa. Bagi Paulus, karunia mendorongnya untuk mengerjakan hal-hal yang luar biasa. Ia berkata, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13). Ke mana perginya Kekristenan semacam ini sekarang? Karunia yang mendorong kita untuk mengerjakan hal-hal yang luar biasa, itulah artinya karunia yang alkitabiah.

Sungguh menjemukan mendengar pengajaran tentang karunia yang menyuruh kita untuk menganggur. Ketika saya berbicara tentang banyaknya pekerjaan, saya dibilang sebagai orang yang mengajarkan keselamatan berdasarkan perbuatan. Apa yang Yesus ajarkan adalah keselamatan berdasarkan karunia yang mendorong kita untuk bertindak. Paulus berkata, “Kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya” (Efesus 2:10). Allah menyelamatkan kita agar kita dapat menghasilkan pekerjaan baik. Bagaimana kita akan melakukannya? Dengan kasih karuniaNya, suatu kasih karunia yang dinamis. Itulah perbedaannya. Kasih karunia yang disebut oleh Alkitab adalah kasih karunia yang dinamis sementara kasih karunia yang dikhotbahkan sekarang ini adalah kasih karunia yang statis yang menyuruh kita untuk menganggur.

Yesus mengungkapkan hal ini dengan sangat luar biasa di dalam perumpamaan ini. Perhatikan baik-baik kata-kata, “dan benih itu mengeluarkan tunas dan tunas itu makin tinggi” di Markus 4:27. Lalu ayat 28 mengatakan, “Bumi dengan sendirinya mengeluarkan buah, mula-mula tangkainya, lalu bulirnya, kemudian butir-butir yang penuh isinya dalam bulir itu.” Adakah Anda melihat sesuatu di sini? Benih itu mengeluarkan tunas, ini berarti ada kehidupan di dalamnya. Namun ayat yang selanjutnya tidak dilanjutkan dengan berkata, “Benih itu menghasilkan buah, mula-mula tangkainya, lalu bulirnya, kemudian butir-butir yang penuh isinya dalam bulir itu.” Bukankah kalimat seperti itu yang kita harapkan menjadi kelanjutannya? Namun kita tidak melihat kelanjutan yang seperti itu. Sungguh mengejutkan, bumilah yang menghasilkan buah. Jika kita menuntut suatu konsistensi, maka kita berharap bahwa ayat 28  akan berkata, “Dan benih itu memberikan hasil dengan sendirinya.” Kata ‘dengan sendirinya’ akan cocok jika dikaitkan dengan ungkapan ‘tidak diketahui orang itu‘ di dalam ayat 27. Benih tidak menghasilkan buah; bumilah yang menghasilkannya. Apa arti bumi di dalam pengajaran Yesus kali ini? Dari perumpamaan tentang penabur benih kita memahami bahwa bumi berbicara tentang tanah yang berarti hati manusia, orang yang menerima benih yang ditabur.

Kehidupan ada di dalam benih itu, dan benih harus bertumbuh. Akan tetapi dapatkah ia bertumbuh di luar tanah? Jika Anda meletakkan sebuah benih di atas meja, akankah ia bertumbuh? Bahkan benih yang paling subur pun tidak akan tumbuh. Ia hanya dapat bertumbuh di tanah. Pikirkanlah baik-baik. Apakah Firman Allah mau bertumbuh jika kita membiarkannya tersimpan di dalam Alkitab, dan tidak membuka serta membacanya? Hanya jika kita membawa Firman Allah ini dan menaburkannya ke dalam hati, maka ia akan bertumbuh. Bumilah yang membuatnya bertumbuh.

Benih yang ditaburkan ke dalam hati kita adalah karunia dari Allah. Ia adalah hadiah kasih karunia. Kita tidak layak menerima benih dan kehidupan – hidup kekal dari Allah – yang ada di dalam benih itu. Akan tetapi kehidupan itu harus masuk ke dalam hati kita untuk dapat menghasilkan kehidupan dalam diri kita. Jika ia tidak masuk ke dalam hati kita, maka hidup yang kekal itu tidak dapat menghasilkan apa-apa. Jika sebuah benih tidak ditabur, maka ia tidak bertumbuh. Namun ketika ia ditabur, ia mati dan menghasilkan banyak buah (lihat Yohanes 12). Jika ia tidak ditabur dan tidak mati, maka ia tidak akan menghasilkan buah. Ketika ia mati, bumi menutupinya dan melakukan karya pengubahan, mengubah tanah yang tandus menjadi lahan yang menghasilkan banyak buah. Dapatkah tanah – tanpa benih – menghasilkan buah sendiri? Tidak. Tanpa benih, bumi akan menjadi mandul. Jadi kita perlu keduanya, benih dan tanah untuk dapat memanen di masa panen. Ini berarti bahwa diperlukan kasih karunia Allah dan juga tanggapan dari manusia sebelum kita dapat mengambil hasil panen.


Memegang Peran di dalam Rencana Keselamatan Allah

Jika kita berbicara tentang tanggapan, apakah kita sedang membahas tentang keselamatan berdasarkan perbuatan? Sangat berbahaya jika berpikir seperti itu. Tidakkah Yesus berkata, “Datanglah kepadaku”? Bukankah Yesus berdiri di muka pintu dan mengetuk, dan menghendaki tanggapan? Jika kita tidak membuka pintu, maka Yesus tidak akan masuk. Jelaslah bahwa kasih karunia Allah harus diimbangi dengan tanggapan dan tanggungjawab kita.

Kita perlu memahami bahwa kasih karunia di dalam Alkitab bukanlah hal yang statis. Kasih karunia adalah hal yang dinamis. Ketika kita membuka hati kita pada Firman, kita akan mulai mengalami keajaibannya. Jika kita tidak membuka hati kita pada Firman, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa di dalam hati kita. Yesus akan tidak mendobrak pintu hati kita. Ia berdiri di muka pintu dan mengetuk. Jika kita tidak membuka pintu, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa bagi kita.

Memang benih itu memiliki kuasa untuk mengubah. Ia mengubah tanah mandul menjadi tanah yang penuh buah. Ketika seorang menaburkan benih, apa yang ia harapkan? Ia tidak mengharapkan tunas. Ia juga tidak mengharapkan tangkai. Yang diharapkan adalah panen – buah yang keluar dari benih yang sudah melewati berbagai tingkatan pertumbuhan itu.

Semua ini membawa kita pada satu pertanyaan penting: Pada tingkatan mana kita akan diselamatkan? Pada tingkatan mana keselamatan itu diteguhkan? Banyak penginjil yang berkata bahwa seseorang diselamatkan ketika ia menerima Firman Allah. Anda mungkin berkata, “Ya, begitulah yang benar.” Betulkah demikian? Jika benar, maka itu berarti bahwa seseorang diselamatkan ketika ia mulai bertunas. Benih itu masuk ke dalam hidupnya dan ia mulai menghasilkan pucuk tunas baru. Atau keselamatan terjadi, saat benih ditaburkan dan orang itu menghasilkan tanaman yang sudah hampir lengkap, sudah ada tangkai, daun dan akar. Saya yakin Anda sudah sangat terbiasa dengan pemikiran seperti ini, yaitu Anda akan berkata bahwa seseorang diselamatkan pada saat ia menerima Firman Allah. Pikirkan sekali lagi baik-baik.

Apa arti kerajaan Allah di dalam perumpamaan? Kerajaan Allah disebutkan di dalam Yohanes sebagai hidup yang kekal. Bagaimana kita dapat memperoleh hidup yang kekal? Ini adalah pertanyaan yang sedang kita gumuli sekarang – pertanyaan ini menyangkut kerajaan Allah, keselamatan dan hidup yang kekal. Pada tingkatan yang mana kita mendapat hidup yang kekal itu? Menurut kebanyakan penginjil di zaman sekarang ini, seseorang diselamatkan ketika ia menerima Firman Allah. Akan tetapi apakah Yesus berkata seperti itu?

Pada titik ini, mari kita ingat kembali apa yang disampaikan dalam perumpamaan tentang penabur benih untuk membantu kita supaya bisa sampai pada jawabannya. Di dalam perumpamaan ini, benih (yang melambangkan berbagai kelompok orang) layu tersengat panas matahari. Kata layu berarti ‘mati atau mengering’. Jadi ada orang-orang yang menerima Firman Allah dengan sukacita; mereka menerima Firman ke dalam hati mereka. Lalu apa yang terjadi? Mereka mati secara rohani. Apakah mereka diselamatkan? Tidak. Bagaimana dengan mereka yang digambarkan dengan benih yang jatuh di semak belukar? Mereka juga menerima Firman Allah; dan mereka juga bertumbuh. Namun sejalan dengaan waktu, mereka juga murtad. (Gambaran yang diberikan dalam perumpamaan ini adalah tentang benih yang dicekik oleh semak belukar). Karena mereka sudah menerima Firman Allah, apakah mereka selamat? Sekali lagi, tidak.

Sebagai orang Kristen, kita sangat mahir menciptakan teori kita sendiri, bukankah demikian? Namun kita tidak tahu bagaimana mencocokkannya ke dalam Firman Allah, dan semuanya berakhir dalam kekacauan. Apa yang disampaikan oleh Yesus kepada kita? Ia berkata bahwa hanya mereka yang digambarkan oleh benih yang jatuh ke tanah yang baik dan menghasilkan buah – ada yang tigapuluh, enam puluh dan seratus kali lipat – yang diperbolehkan masuk ke dalam kerajaan Allah. Hanya mereka yang dapat masuk ke dalam kerajaan Allah. Bagaimana dengan yang lainnya? Tidakkah mereka juga menerima Firman Allah? Jawabannya sangat jelas.


Mengejar Kesempurnaan Rohani

Masih ada perkara yang perlu kita tuntaskan. Markus 4:29 berkata, “Apabila buah itu sudah cukup masak, orang itu segera menyabit, sebab musim menuai sudah tiba.” Apabila buah itu sudah muncul dan matang, si petani akan menyabit. Dan sabit dipakai untuk memanen ke dalam kerajaan Allah. Apa makna kata panen ini? Jika Anda berkata bahwa panen itu adalah penghakiman terakhir, maka Anda keliru. Di Matius 13:30, kita juga melihat kata panen (tuai), namun itu adalah panen yang mengacu kepada akhir zaman dan dilakukan oleh malaikat, bukan manusia. Perhatikan betapa kita harus berhati-hati di dalam mencari kejelasan. Di dalam perumpamaan ini, ketika kita membaca kalimat, “…orang itu segera menyabit…” kita harus mengartikan kata orang itu dengan tepat. Di dalam hal ini, orang itulah yang melakukan panen. Apakah ia Yesus? Bukan. Orang ini tidak tahu bagaimana benih itu bertumbuh, mungkin ia seorang pendeta atau penginjil. Jadi siapa yang menyabit? Di sini, orang yang menabur adalah orang yang memanen juga. Jadi orang itulah yang menyabit. Pada akhir zaman, malaikatlah yang memanen, bukan manusia. Panen yang disebutkan di dalam perumpamaan ini bukanlah panen yang merujuk kepada akhir zaman, namun yang terjadi di masa ini.

Adakah panen semacam itu di dalam Alkitab? Tentu saja. Ada peristiwa di mana Yesus berkata kepada murid-muridnya,

“Bukankah kamu mengatakan: Empat bulan lagi tibalah musim menuai? Tetapi Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai. Sekarang juga penuai telah menerima upahnya dan ia mengumpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita” (Yoh.4:35-36).

Kita tidak perlu menunggu sampai akhir zaman karena sekarang ini pun ada sesuatu yang harus dipanen. “Sekarang juga penuai telah menerima upahnya dan ia mengumpulkan buah untuk hidup yang kekal” (ay.36).

Lalu apa yang dipanen? Itulah buah untuk kehidupan yang kekal yang membuat penabur dan penuai bersama-sama bersukacita. Di sini yang dipanen adalah hidup yang kekal. Buah melambangkan orang-orang yang dibawa masuk ke dalam hidup yang kekal. Mereka adalah orang-orang yang sudah dewasa atau sempurna di dalam Kristus. Itu sebabnya, kita semua sekarang ini juga harus memanen. Kita menabur sekaligus memanen di masa sekarang ini. Penginjil yang mengkhotbahkan Firman Allah – seorang pendeta, misalnya – tidak hanya menabur, tetapi juga memanen. Saya menikmati sukacita menabur dan sekaligus memanen ketika orang menerima Firman Allah dan dibaptiskan. Saya menikmati sukacita melihat kehidupan mereka diubah. Dan saya melihat beberapa dari antaranya menghasilkan buah, dan bertumbuh menuju kedewasaan rohani. Mereka adalah orang yang akan dibawa masuk ke dalam kerajaan Allah, ke dalam hidup yang kekal.

Pada titik ini, kita kembali pada pertanyaan penting: pada tingkatan mana kita dituai dan dibawa masuk ke dalam hidup yang kekal? Apakah pada waktu kita menerima Firman Allah? Jika demikian, maka itu berarti pada waktu kita menghasilkan tunas. Atau, mungkin, pada waktu kita sudah menghasilkan tangkai atau saat kita berbuah? Apa arti buah? Ketika tanaman mencapai kedewasaannya, ia dapat menghasilkan buah tigapuluh kali lipat, enam puluh atau bahkan seratus kali lipat. Tidak masalah berapa banyak buah yang dihasilkannya. Yang penting adalah bahwa ia menghasilkan buah.

Jika kita kilas balik pada Paulus yang berusaha sangat keras untuk memimpin setiap orang ke dalam kesempurnaan (perhatikan kata ‘sempurna’ juga memiliki arti ‘matang’, selain arti lainnya seperti ‘dewasa’ atau ‘penuh’) di dalam Kristus (Kolose 1:29), maka sekarang kita akan dapat dengan baik memahami apa yang ia maksudkan. Karena kita tahu bahwa buah yang sudah matang itulah yang siap untuk dipanen. Pengajaran yang sering kita dengar sekarang ini hanya membawa kita ke tingkatan menerima Firman Allah. Akibatnya, tidak ada dorongan untuk mengejar kesempurnaan dalam Kristus pada diri setiap orang, malahan tidak terasa sama sekali kebutuhan akan hal itu. Siapa yang peduli pada masalah kesempurnaan di dalam Kristus? Kebanyakan orang Kristen cenderung berkata, “Saya sudah selamat. Jika saya sudah diselamatkan saat ini, berarti tidak menjadi masalah lagi bagaimana nanti kelakuan saya, juga apakah saya akan memiliki buah Roh atau tidak, apakah kehidupan saya selanjutnya memuliakan Allah atau tidak. Apa bedanya? Bukankah saya sudah diselamatkan?” Sikap seperti itu menunjukkan betapa bahayanya pengajaran yang keliru.

Kita masih belum ‘dituai’ ke dalam kerajaan Allah pada saat kita menerima Firman Allah. Jangan puas dulu. Kita juga belum diselamatkan ketika proses perubahan dimulai, dan kita mulai menghasilkan tunas. Dan kita juga tidak dipanen pada waktu menghasilkan tangkai. Memang kita sangat bersyukur kepada Allah karena boleh bertunas dan menghasilkan tangkai, akan tetapi kita harus melangkah terus menuju titik akhir panggilan kita.

Di dalam kebanyakan gereja sekarang ini, melangkah ke titik akhir panggilan kita menjadi suatu hal yang diidamkan tetapi tidak dianggap perlu. Memang sangat baik, akan tetapi tidak masalah jika kita tidak berupaya menjangkaunya. Melangkah ke garis akhir tidak lagi merupakan perkara yang penting. Kita sudah diselamatkan, tidak masalah apakah kita berlari atau berjalan kaki dalam perlombaan ini. Yang penting kita sudah terdaftar di surga. Akan tetapi kita akan tersesat jika berpikiran seperti itu. Renungkanlah pengajaran Yesus dan Anda akan memahami mengapa Paulus berbuat seperti itu. Ia selalu berusaha untuk memimpin setiap orang ke dalam kesempurnaan di dalam Kristus. Ia berkata, “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuan kita” (1 Tesalonika 5:23). Mengapa ia prihatinkan masalah itu? Jika kita sudah diselamatkan, maka kita pasti selamat. Lalu bagaimana jika  hidup yang kita jalankan sedemikian mempermalukan gereja? Menurut mereka, kami sudah diselamatkan karena kami sudah menerima Firman Allah, dan itu sudah cukup. Akan tetapi apakah itu ajaran yang alkitabiah? Yang benar adalah kita belum ‘dipanen’ sebelum kita masuk ke dalam kasih karunia Allah, dan buahnya terlihat di dalam kehidupan kita.

Kita melihat bahwa segera sesudah buahnya muncul, si petani mulai menyabit. Jika Anda adalah seorang petani, maka Anda akan tahu mengapa hal ini dilakukan. Jika buahnya sudah matang, buah itu akan membusuk jika dibiarkan di sana. Jika hujan turun, maka buah-buah itu akan membusuk. Atau burung-burung memakannya, karena burung juga suka akan buah-buah yang sudah matang. Dan hewan-hewan yang lain juga dapat saja memakannya. Jika Anda segera mulai menyabit, maka Anda sedang memanen ke dalam hidup yang kekal. Jadi kejarlah kesempurnaan rohani.

Jika kita berbicara tentang kedewasaan, kita tidak berkata bahwa orang-orang Kristen disempurnakan sepenuhnya di dalam kehidupan ini. Paulus berkata, “Karena itu marilah kita, yang sempurna, berpikir demikian” (Filipi 3:15). Namun ia tidak bermaksud untuk berkata bahwa kita sudah sempurna tanpa berbuat dosa lagi. Kedewasaan datang dari pengudusan atau komitmen total kepada Kristus yang menghasilkan buah Roh. Dan komitmen total tidak berarti kita harus menjadi hamba Allah yang full-time. Kita juga tidak dipaksa untuk menjadi penginjil atau pengajar Alkitab. Setiap dari kita diperintahkan untuk mengasihi Tuhan, Allah kita, dengan segenap hati, akal, tenaga dan jiwa. Sama dengan perintah bagi setiap orang Israel. Namun tidak berarti jika mereka ingin melakukan hal ini, maka mereka semua harus menjadi hamba Tuhan. Yang penting adalah kualitas kehidupan kita.

Komitmen total kepada Tuhan adalah unsur mendasar dalam hidup kita. Apakah kita akan menghasilkan buah atau tidak, akan ditentukan olehnya. Untuk dapat diselamatkan dan memperoleh hidup yang kekal, kita tidak boleh sekadar menerima Firman Allah. Kita memang perlu bersyukur akan FirmanNya. Namun kita tidak boleh puas diri hanya karena melihat telah terjadi beberapa perubahan dalam hidup kita. Kita berterima kasih kepada Allah atas perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup kita, akan tetapi kita harus maju terus sampai di garis akhir. Paulus menyebut proses ini sebagai “menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah” (lihat 2 Korintus 7:1-2). Apakah kita memiliki rasa takut akan Allah? Ia juga menyuruh kita untuk mengerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar karena Allah sedang mengerjakan keselamatan itu di dalam kita (Filipi 2:12-13). Dan kita membutuhkan kasih karunia dari Tuhan yang dapat mendorong dan memampukan kita untuk mengerjakan ini.

Menjadi seorang Kristen berarti diubahkan oleh Tuhan. Tidak seorangpun yang tidak berubah kalau sudah masuk ke dalam keselamatan ini. Paulus berkata, “Kita diubah dari satu tingkat kemuliaan menuju ke tingkat kemuliaan yang lain oleh Roh Tuhan” (lihat 2 Korintus 3:18). Itulah isi dari Kekristenan. Kita diubah dari satu kemuliaan menuju kemuliaan yang lain menurut gambar AnakNya. Paulus menyuruh kita untuk mengenakan Yesus Kristus (Efesus 4:24). Kita harus mengenakan manusia baru yang diciptakan olehNya di dalam gambarNya. Tidak ada orang yang boleh duduk santai di gereja dan berkata, “Sekarang saya selamat. Saya sudah dapat karcis untuk masuk ke surga, dan sekarang saya boleh bersantai.” Renungkan segala yang dinyatakan oleh perumpamaan ini kepada kita. Perhatikan bahwa panen terjadi kalau sudah ada buah.

 

Berikan Komentar Anda: