Pastor Eric Chang | Markus 4:21-25 |

Perumpamaan tentang pelita ini – Markus 4:21-25 – disampaikan langsung sesudah perumpamaan tentang penabur benih. Pertama-tama, mari kita lihat ayat-ayatnya:

Lalu Yesus berkata kepada mereka: “Orang membawa pelita bukan supaya ditempatkan di bawah gantang atau di bawah tempat tidur, melainkan supaya ditaruh di atas kaki dian. Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan tersingkap. Barangsiapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!”

Lalu Ia berkata lagi: “Camkanlah apa yang kamu dengar! Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu, dan di samping itu akan ditambah lagi kepadamu. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.”

Saya juga ingin menyajikan ayat-ayat yang sejajar yang ada di Lukas 8:16-18 supaya Firman dari Yesus dapat disampaikan dengan lebih jelas lagi.

Tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu menutupinya dengan tempayan atau menempatkannya di bawah tempat tidur, tetapi ia menempatkannya di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya.

Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan.

Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ia anggap ada padanya.


Menangkap Visinya

Saya memiliki visi tentang gereja yang menjadi terang dunia. Dapatkah Anda membayangkannya untuk sejenak saja? Cobalah pikirkan keadaan gereja Anda sebagai terang dunia. Bayangkan gereja membawa terang kepada dunia yang sedang berjalan di dalam kegelapan ini. Sebuah gereja yang memancarkan kecantikan, terang, kehangatan, kekudusan dan hidup Allah. Dapatkah Anda membayangkan gereja yang berfungsi seperti itu?

Ketika matahari terbenam, keadaan menjadi gelap; Anda tidak akan dapat melihat warna-warna, sinar, atau apapun. Namun di pagi hari, khususnya di hari yang cerah, bukalah jendela dan lihatlah. Sinar matahari membanjiri kamar Anda, dan membawa bersamany – keceriaan, kehangatan, dan keindahan pagi hari. Jika Anda sedang memotret, maka Anda akan tahu bahwa ketika sinar matahari tidak ikut berperan – sekalipun Anda memakai film dengan kualitas yang bagus – hasilnya akan buram dan kurang warna. Tapi jika sinar matahari, atau sinar lampu, ikut andil, maka hasilnya akan sangat meriah dan bersinar dengan keindahan yang menawan. Dapatkah Anda menggambarkan gereja sebagai terang dunia, yang sedang diselimuti oleh kegelapan ini?

Saya berangan-angan tentang gereja yang seperti itu, dan saya berharap agar visi ini dapat segera dijalankan. Jika saja kita mampu membangun ulang gereja, dan mengembalikannnya ke posisi yang semula. Sekarang ini tidak ada orang yang memandang gereja dan melihatnya sebagai terang dunia. Lebih buruk lagi, dunia meremehkannya. Gereja sudah berhenti menjadi terang dunia yang mencurahkan kemuliaan Allah. Apa itu terang kalau bukan kemuliaan Allah? Pada zaman dulu, orang-orang melihat ke arah murid-murid awal Yesus, yaitu para nelayan kecil, dan berkata, “Orang-orang ini berjalan bersama Yesus. Mereka memancarkan kemuliaan Allah.” Mereka dapat melihat bahwa para murid itu berjalan bersama Yesus. Saya bertanya-tanya, jika orang lain melihat ke arah kita, dapatkah mereka melihat kemuliaan Allah di dalam kita? Jika mereka tidak dapat melihatnya, lalu kita ini sedang berfungsi sebagai apa?

Yesus berkata kita diselamatkan untuk suatu tujuan. Bukan sekadar agar kita mendapat satu tempat pasti di surga namun kita membiarkan dunia dalam keadaan hancur. Kita diselamatkan agar kita dapat berfungsi sebagai terang bagi dunia ini. Ia ingin mendandani kita dengan kemuliaan Allah. Rasul Pulus berkata, “kenakanlah Kristus.” Apa yang akan terjadi kalau kita mengenakan Kristus? Orang hanya akan melihat Yesus di dalam diri kita.

Namun siapa sekarang ini yang masih berkhotbah tentang hal itu? Yang gemar kita bicarakan sekarang ini adalah keselamatan yang gratis, seperti membagi-bagikan manisan dan permen saja. Tidak peduli apakah orang lain di dunia ini akan masuk ke neraka, yang penting diri sendiri diselamatkan. Kita lupa bahwa kita diselamatkan untuk menjadi terang. Namun saya masih memegang visi tentang gereja sebagai terang dan bekerja untuk mewujudkannnya, tidak peduli apapun yang akan terjadi nanti. Saya berdoa agar gereja dibangun ulang sehingga ia dapat bersinar lagi sebagai terang dunia, dengan kemuliaan dan kasih Allah terpancar darinya. Dengan begini, mereka yang dingin dan terjerat kepahitan dan kebencian dapat dihangatkan oleh kasih Allah yang mengalir melalui kita. Ketika orang mengenal kita, mereka akan berkata, “Ada sesuatu yang berbeda darimu. Saya tidak tahu apa itu, namun saya bisa melihatnya seperti kemuliaan Allah hadir melalui kamu.” Jika hal itu terjadi, maka Anda sedang berfungsi sebagaimana harusnya seorang Kristen.


Diselamatkan untuk Satu Tujuan

Ada satu macam khotbah tentang keselamatan yang sering muncul belakangan ini. Beberapa pengkhotbah berkata bahwa dalam urusan keselamatan, yang penting adalah sampai ke surga. Hal yang penting hanyalah bagaimana menyelamatkan diri Anda sendiri. Seolah-olah si pengkhotbah itu sedang berkata, “Tidak peduli bagaimana kelakuan Anda selanjutnya, Anda tetap akan diselamatkan. Tidak peduli apakah Anda menekuni dosa atau tidak.” Jelas sekali, tujuan Allah menyelamatkan kita adalah supaya kita dapat dikuduskkan (Efesus 1:13-14). Menjadi kudus berarti memancarkan kemuliaan Allah melalui kita. Karena itu kita disuruh untuk mengenakan Yesus Kristus (Efesus 4:24). Itulah perintah Paulus kepada jemaat di Efesus, ini bukan hanya sekadar saran atau ide, tapi satu perintah.

Kita diselamatkan agar kita dapat mewujudkan kemuliaan Allah bagi dunia. Paulus berkata, “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang” (Efesus 5:8). Itulah Injil yang layak dikhotbahkan. Injil yang dapat mengubah gelap menjadi terang, mengubah kebencian menjadi kasih, menjamah orang berdosa dan menguduskannya.

Jenis injil yang dikhotbahkan sekarang ini tidak benar-benar mengubah kita. Yang berubah hanyalah agama kita karena kehidupan kita masih tetap saja sekalipun kita sudah mendengar injil dikhotbahkan. Kita harus bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya ini terang dunia? Apakah saya bersinar? Jika orang menatap ke arah saya, apakah mereka melihat terang itu?” Namun, pada kenyataannya, kita sering kali melihat orang Kristen yang kalah; mereka selalu kalah melawan kegelapan.

Ambillah sebatang lilin, lilin ulang tahun misalnya. Ia begitu tipis dan kecil, dan hanya memberikan sinar yang redup. Nyalakanlah lilin kecil itu di kamar pada waktu malam dan perhatikan apakah kegelapan dapat menelan cahayanya. Walaupun lilin itu begitu kecil dan kamar Anda jauh lebih besar, kegelapan tidak akan mampu menelan cahaya lilin itu. Tidak ada cara bagi kegelapan untuk mengalahkan cahaya karena terang memang tidak dapat ditelan atau dikalahkan oleh gelap secara alami. Kegelapan pasti kalah oleh terang. Sekalipun cahaya yang muncul itu redup dan berasal dari sebatang lilin ulang tahun yang kecil, ia tetap tidak dapat dikalahkan oleh kegelapan.

Namun, tidak dapat disangkal, orang Kristen justru lebih sering dikalahkan oleh dunia. Jika seseorang bersikap tidak baik kepada kita, bagaimana reaksi kita? Wajah kita menjadi merah padam dan semakin gelap sehingga tak seorangpun berani berbicara dengan kita sampai dua hari. Namun Paulus berkata, “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan” (Roma 12:21). Karena itu, kita tidak boleh membiarkan kegelapan mengalahkan kita. Jika ada orang yang tidak baik terhadap kita, itulah saatnya bagi kita untuk memancarkan terang yang lebih besar. Karena terang akan menjadi semakin nyata saat berada di di tengah kegelapan.

Beberapa orang Kristen mungkin berkata, “Tidak ada orang di kampus saya yang Kristen.” Apa gunanya mengeluh? Jika tidak ada orang Kristen di sekitar Anda, maka keberadaan Anda lebih dibutuhkan lagi di sana. Beberapa orang Kristen berkata, “Aku satu-satunya orang Kristen di kantor ini.” Maka seharusnya ia bersyukur kepada Allah! Jika kantor itu dipenuhi oleh orang Kristen, apakah keberadaannya sangat dibutuhkan di sana? Jika sebuah ruangan dipenuhi oleh cahaya, masih perlukah diberi cahaya tambahan? Namun jika suatu ruangan tidak mendapat cahaya, betapa berharganya sebuah cahaya yang bersinar!

Apa yang terjadi jika orang menertawai kita? Apakah sinar kita akan memancar? Atau jika ada orang Kristen lain yang menyinggung perasaan kita, apakah kita akan marah? Sering kita berkata, “Tidak masalah jika yang berbuat itu bukan orang Kristen, tapi kalau yang berbuat itu orang Kristen, awas!” Jika itu masalahnya, maka kita sudah kalah; terang kita dipadamkan. Terang kita tidak akan padam karena kegelapan, entah kegelapan itu berasal dari orang Kristen atau bukan. Semua kegelapan itu sama saja. Justru kegelapan malah seharusnya membuat terang semakin bersinar.

Saya harap kita dapat menangkap visi ini di tengah kegelapan yang semakin pekat ini. Setiap orang memperkirakan bahwa bencana akan datang. Bukan orang Kristen, tetapi orang non-Kristen, yang berkata bahwa perangkat nuklir dan peralatan perang lainnya akan segera menghancurkan dunia ini. Biarlah mereka berkata seperti itu. Poinnya adalah bahwa mereka melihat bahwa dunia sedang bergerak ke arah akhir dari peradaban. Sejarah umat manusia sedang menuju malapetaka dan inilah saatnya bagi gereja untuk memancarkan sinar. Dapatkah Anda memahaminya? Anda mungkin berkata, “Percuma saja. Lihatlah, kita hanya sekumpulan kecil orang di tengah dunia yang begitu besar ini. Persoalannya terlalu besar bagi kita.” Memang benar bahwa orang Kristen hanyalah sekumpulan kecil orang di tengah dunia yang sangat besar ini. Namun apakah hal itu menjadi penyebab tidak bersinarnya orang Krisen?


Kuasa Terang

Perang Jepang-Tiongkok terjadi ketika saya masih kecil. Walaupun masih kecil saat itu, saya masih dapat mengingat banyak hal yang terjadi di masa itu. Di Shanghai, kami menjadi sasaran penboman besar-besaran – mulanya oleh armada Jepang, belakangan oleh armada Amerika. Itulah nasib penduduk sipil yang terjerat di tengah-tengah peperangan. Jika pemboman terjadi, biasanya kami tidak mendapat aliran listrik. Semua cahaya di kota padam. Pusat tenaga listrik dimatikan dan kota berada dalam kegelapan total. Jadi ketika pesawat pembom datang, mereka mengalami kesulitan dalam mencari sasaran. Ketika melihat ke bawah, yang ada hanyalah kegelapan, hal ini membuat mereka menjadi sulit untuk memutuskan di mana akan menjatuhkan bomnya. Mereka tidak dapat memastikan sasaran.

Pada saat itu, jika ada orang yang menyulut rokok akan ditembak. Anda mungkin berkata, “Ini keterlaluan.” Namun memang demikian. Walaupun cahaya sebatang rokok sangat kecil, seorang awak pesawat pembom yang berada ratusan meter di atas sana masih tetap dapat melihat kedipan cahaya itu di tengah kegelapan. Kegelapan membuat satu cahaya kecil saja akan terlihat sangat menyolok. Jika Anda menyalakan sebatang lilin – itu cukup untuk mengundang kedatangan pesawat pembom.

Jumlah orang Kristen sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dunia. Namun apakah hal itu menjadi masalah? Kita hadir untuk memancarkan sinar dan kita harus melakukannya dengan baik. Saya merasa sangat tertantang dengan penilaian bahwa kita dianggap sangat sedikit dan lemah. Cahaya kita mungkin sekecil cahaya sebatang lilin ulang tahun namun kita tetap harus tampil dan memancarkan terang. Inilah poin dari kutipan yang sedang kita bahas sekarang.

Bagaimana kita menjalankan fungsi sebagai terang? Bagaimana kita dapat menjadi terang dan dapat berfungsi dengan baik? Bagaimana supaya terang kita dapat menguat? Perumpamaan ini akan menjawab semua itu dan pembahasannya akan dibagi ke dalam tiga poin. Pertama, pelita itu dinyalakan. Ini adalah suatu pernyataan yang berbicara tentang fakta. Tidak peduli apakah sinarnya kecil dan redup, pelita itu telah dinyalakan. Xin xing zhi huo ke yi liao yuan, begitulah kami biasa menyatakannya dalam bahasa China. Artinya, cukup satu percikan api dapat membakar seluruh padang. Kedua, jika pelita itu sudah dinyalakan, apinya tidak boleh dipadamkan. Di sini kita akan memeriksa, mengapa cahayanya tidak memancar? Mengapa gereja tidak bersinar? Apa penyebabnya? Ketiga, semakin kita memancarkan sinar, semakin terang jadinya; jika kita tidak mau bersinar, maka kita justru akan kehilangan terang yang ada pada kita.


Pelita itu sudah dinyalakan

Poin penting pertama adalah terang sudah dinyalakan di dunia ini.

“Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah aku harapkan, api itu telah menyala” (Lukas 12:49).

Pelita sudah dinyalakan. Sekalipun mengalami saat-saat yang sangat redup, ia masih menyala di sepanjang sejarah. Tidak peduli berapa banyak upaya sudah dilakukan anak-anak kegelapan untuk memadamkannya dan berapa banyak kegagalan yang terjadi di antara anak-anak terang itu sendiri, pelita itu masih menyala. Dan kita perlu bersyukur kepada Allah akan hal itu. Bangkitkanlah semangat karena pelita itu masih menyala, dan akan terus menyala. Karena Yesus telah berjanji bahwa segala kuasa dari neraka dan kegelapan tidak akan dapat memadamkan terang itu.

Terang itu, di dalam konteks perumpamaan ini, mengacu pada Firman Allah. Namun di Matius 5, terang itu juga mengacu kepada jemaat Allah. Kedua ayat yang sama ini dipakai dalam berbagai konteks. Bagaimana memahaminya? Jawabannya terletak pada fakta bahwa berbagai macam konteks tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya.

Urutan pemikirannya sangatlah jelas dan sederhana. Pertama, Firman Allah adalah pelita bagi kita.

“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm.119:105).

Firman Allah adalah api yang akan memancarkan sinarnya di dalam hati kita. Rasul Petrus berkata bahwa kita dilahirkan kembali oleh Firman Allah (1 Petrus 1:23). Firman Allahlah yang memantik cahaya kehidupan di dalam diri kita. Dengan cara itulah kita – sebagai orang Kristen yang membentuk Jemaat Allah – menjadi terang. Dengan kata lain, gereja adalah terang bagi dunia.

Firman Allah bukan sekadar apa yang tertulis saja. Firman itu datang ke dalam kehidupan kita melalui kehidupan dan pengajaran Yesus. Sekarang ini, ada begitu banyak pengajar yang terampil berbicara. Namun jika kita uji kehidupannya, kita akan mendapati bahwa mereka tidak hidup sesuai dengan perkataannya. Sangat sering terjadi, mulut dan kehidupan kita saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Karena itulah kita akan dipandang sebagai orang munafik karena ketidak-cocokan ini. Sangat mudah merangkai kata-kata akan tetapi ketika orang menguji langsung pada kehidupan kita, akankah mereka mendapatkan cahaya di sana? Yesus bukan jenis yang seperti ini. Bukan hanya kata-katanya saja yang merupakan Firman Allah; kehidupannyapun demikian. Kehidupan Yesuslah yang menerangi pengajarannya.

“Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan” (Yoh. 8:12).

Firman Allah adalah terang, baik sebagai Firman yang hidup di dalam Yesus maupun sebagai Firman yang tertulis di dalam Alkitab. Itu sebabnya mengapa rasul Paulus berkata, “Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu” (Kolose 3:16). Firman Allah adalah terang, baik yang ada di dalam Yesus ataupun Firman yang tertulis.

Hati adalah terang bagi kehidupan kita. Saya menyatakan ini di dalam kaitannya dengan pengajaran Yesus di Lukas 11:34-36: Matamu adalah pelita tubuhmu. Hati adalah mata bagi hidup seseorang, sama seperti mata jasmani yang menjadi terang bagi tubuh jasmani. Sebagai contoh, jika Anda buta, maka Anda berada di dalam kegelapan dan tidak dapat melihat arah jalan. Mata Anda adalah pelita bagi tubuh Anda dan mata Anda akan membantu Anda untuk dapat melihat ke mana arah jalan Anda. Mata memasukkan cahaya sehingga Anda dapat melihat dan tidak sampai terjerumus ke dalam lubang atau menabrak tembok. Dengan cara yang sama, hati Anda menjadi terang bagi jiwa Anda, menjadi pelita bagi hidup Anda. Dan Firman Allah adalah pelita bagi hati Anda. Pelita itu menjangkau Anda melalui hati Anda.

Dalam menyimpulkan apa yang sudah dibicarakan, kita dapat menjabarkan langkah demi langkah dari pernyataan itu. Pertama, Firman Allah datang – pelita itu dinyalakan sejak kedatangan Yesus ke dunia. Lalu terangnya sampai kepada kita melalui hati kita, dan sebagai akibat dari masuknya terang itu, maka kita juga menjadi terang. Tahap-tahap ini dinyatakan kepada kita di dalam Firman Allah. Dulu kita adalah kegelapan tetapi sekarang kita adalah terang di dalam Tuhan (Efesus 5:8)


Terang ini harus Bersinar

Kedua, ketika Allah menyalakan pelita, Ia tidak ingin pelita itu disembunyikan. Ketika Allah memberi terang di dalam hidup kita, terang itu bukan untuk ditutupi. Bagaimana terang itu dapat ditutupi, jika memang terjadi? Bukan Allah yang menutupi kita, tetapi kitalah yang menutupi diri sendiri.

Ada beberapa hal yang menghalangi fungsi kita dalam memancarkan terang. Rasul Lukas menyebutkan tempayan: jika Anda menyalakan pelita, Anda tidak akan menutupinya dengan tempayan. Rasul Markus menyebut tentang gantang: jika Anda menyalakan pelita, Anda tidak akan menutupinya dengan gantang. Markus dan Lukas menyebutkan tempat tidur juga: jika Anda menyalakan pelita, maka Anda tidak akan meletakkannya di bawah tempat tidur. Mereka sedang berusaha mengatakan kepada kita bahwa kita tidak boleh membiarkan dunia mengambil kedudukan di atas kita. Jika kita mengizinkan hal itu terjadi, maka terang kita tidak akan bersinar. Perhatikan bahwa benda-benda tersebut secara harfiah berada di atas pelita – tempayan, gantang dan tempat tidur itu. Apakah kita membiarkan dunia berada di atas kita?

Bagaimana orang memakai gantang? Pada zaman itu gantang dipakai untuk mengangkut gandum. Gantang dipakai untuk menakar gandum, jagung dan biji-bijian lainnya. Jika kita membiarkan perhatian kita tersita oleh urusan perut, perkara mencari makanan, maka itu berarti bahwa kita sedang membiarkan terang dipadamkan. Tidak heran jika gereja sekarang ini tidak bersinar. Karena orang-orang yang mengisinya sangat tersita perhatian oleh dunia. Mereka berusaha untuk meraih isi dunia. Dunia sudah benar-benar merasuk ke gereja. Anda yang rajin ke gereja akan segera melihat betapa duniawinya gereja. Saat orang-orang Kristen berkumpul, yang sering mereka bicarakan adalah tentang kesuksesan bisnis dan perkara uang. Sangat mudah untuk melihat perkara apa yang menguasai pikiran mereka. Dunia sudah berada di atas mereka; gantang sudah menutupi pelita. Bukan ini tujuan gereja dibentuk. Karena Allah berkata, “Aku menyalakan pelita bukan untuk menutupinya dengan gantang.”

Benda kedua yang menutupi pelita, seperti yang kita lihat di Lukas 8:16, adalah tempayan. Tempayan adalah wadah yang dipakai untuk menampung air sedangkan gantang untuk menampung bahan yang kering. Makanan dan minuman adalah kebutuhan dasar bagi hidup dan kita cenderung untuk menghabiskan waktu hanya untuk kedua urusan tersebut. Karena itulah Yesus berkata kepada kita, “Jangan kuatir akan kebutuhan jasmanimu – akan apa yang kau makan, minum dan pakaianmu. Dan jangan kuatir juga akan pekerjaan dan pendidikanmu. Apakah hal itu semua begitu penting bagimu? Kamu akan membuat pelitamu padam jika membiarkan dunia mengambil kedudukan di atasmu” (lihat Matius 6:25-34).

Dan apa arti tempat tidur? Di dalam Alkitab, tempat tidur melambangkan pernikahan. Sangat sering pernikahan menguasai hati seseorang dan menutupi pelita. Saat seseorang menikah, ia mulai dikurung oleh perkara rumah tangga – urusan istri dan anak – berikut urusan pengeluaran untuk rumah, mobil, dan sebagainya. Jika seseorang membujang, kehidupannya lebih sederhana. Ia dapat makan seadanya dan mungkin cukup sekali makan sehari. Ketika ia menikah, maka ia harus memikirkan urusan istri dan anak-anak. Ia harus bersiap-siap menyambut kunjungan dari mertua. Ia harus berusaha untuk memberi kesan yang baik di hadapan mertuanya. Sebagai contoh, sangat mudah baginya untuk terjebak dalam pikiran yang tidak sehat seperti, “Saya harap mereka akan menyukai rumah saya. Dan juga mobil saya. Itulah barang-barang yang mencerminkan keberadaan saya dan saya harap mereka akan menilai saya sangat baik. Bagaimanapun juga, Allah memberikan berkatNya kepada orang-orang Kristen dan mereka tahu bahwa saya ini orang Kristen…” Begitulah, jika kita membiarkan pikiran-pikiran tersebut menjerat kita, maka itu berarti bahwa kita sedang meletakkan tempat tidur di atas kita.

Ada lagi cara lain yang membuat tempat tidur mengambil kedudukan di atas kita. Kedua orang yang menjalani pernikahan akan mendapati bahwa perbedaan kepribadian bisa menimbulkan konflik yang menghancurkan mereka. Bagaimanapun juga, sisi tajam dari karakter pasangan mereka dapat menimbulkan kepedihan yang mendalam dan pertengkaran, dan mereka mungkin akan segera saling menghancurkan. Dan sebelum mereka menyadari akan hal itu, tempat tidur sudah mengambil posisi di atas mereka. Jika pernikahan melahirkan banyak persoalan, itu berarti pelita sudah diletakkan di bawah tempat tidur. Pernahkah Anda mendengar tentang orang yang meletakkan lilin di kolong tempat tidur? Hal itu terjadi di dalam beberapa kasus pernikahan.

Tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah tempat tidur, gantang atau tempayan. Pelita biasanya ditaruh di atas kaki dian supaya setiap orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat terangnya. Walaupun Allah sudah menyalakan pelita bagi dunia, terangnya tidak bersinar karena gereja telah membiarkan dunia mengambil kedudukan di atasnya. Dan akibatnya, dunia mendominasi Gereja.

Saya sudah berkunjung ke banyak gereja dan mendapati bahwa dunia sudah menguasai kebanyakan dari mereka. Siapa yang menjadi tua-tua di dalam gereja? Mereka adalah para pengusaha, manajer dan direktur perusahaan. Siapa yang menjadi anggota majelis di gereja? Mereka adalah orang-orang kaya dari kalangan jemaat. Mereka datang kepada pendeta dan berkata, “Kami tidak suka dengan khotbah Anda. Jika Anda tidak melembutkannya, maka Anda harus keluar. Jika Anda melakukan apa yang kami sarankan, maka gaji Anda kami naikkan. Mau ikut saran kami?”

Saya kenal seseorang yang menolak untuk menjadi pendeta di sebuah gereja di Hong Kong. Waktu saya tanyakan padanya, ia berkata, “Karena saya tidak mau orang-orang bisnis menentukan bagaimana saya harus mengabarkan Injil. Saya mengabarkan Injil sebagaimana yang Allah kehendaki. Saya tidak akan membiarkan dunia mengatur saya tentang cara mengabarkan Injil.” Orang-orang seperti dia sangat langka dan mereka biasanya dilempar keluar dari gereja. Tampaknya setiap orang yang ingin menjadi pendeta yang baik, harus belajar untuk bisa mengakrabi orang-orang penting di gereja. Ia harus tahu bagaimana cara menjilat yang benar. Dunia akan segera menduduki tempat di atas gereja karena pendeta-pendeta seperti itu cenderung membawa masuk keduniawian dengan menunjuk orang-orang penting dunia sebagai tua-tua gereja dan anggota majelis.

Sekarang ini, jika Anda hanya seorang pembuat sepatu atau penjaga toko, jangan terlalu berharap untuk bisa menjadi tua-tua gereja karena Anda mungkin tidak memenuhi syarat. Anda harus menjadi orang besar di dunia untuk bisa memenuhi syarat. Peluang Anda untuk menjadi tua-tua akan lebih baik jika Anda adalah seorang dokter, insinyur atau pengacara, sebagai contoh. Peluangnya juga membaik jika Anda sudah lama menjadi anggota gereja tersebut, dan jika Anda memasukkan cukup uang ke dalam kotak persembahan. Jika Anda tidak memenuhi salah satu dari hal-hal tersebut, peluang Anda untuk menjadi anggota majelis atau tua-tua gereja akan mengecil. Mereka yang sedang dan pernah aktif di gereja akan tahu bahwa apa yang saya sampaikan ini benar. Beberapa dari antara kita bahkan pernah duduk dalam posisi itu di gereja. Dan kami bersyukur kepada Allah bahwa beberapa gereja tidak mengalami hal ini. Mereka adalah gereja-gereja yang belum didominasi oleh dunia. Namun, berapa banyak gereja semacam itu yang masih kita miliki sekarang?

Cara kita menanggapi Firman Allah akan membuat perbedaan besar pada kehidupan tiap-tiap orang dari kita. Yesus berkata,

“Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan. Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ia anggap ada padanya” (Lukas 8:17-18).

Ini adalah kata-kata penghakiman karena Allah akan menghakimi kita jika kita membiarkan terang di dalam diri kita ditutupi.

Pada hari penghakiman, segalanya akan diungkapkan, termasuk segala kegagalan dan kesalahan. Tidak ada perkara tersembunyi yang tidak akan diterangi. Jika gereja tidak menyingkapkan dosa pada dunia, maka Allahlah yang akan melakukannya. Seperti yang disampaikan oleh rasul Petrus, “Penghakiman itu akan dimulai dari dalam gereja” (lihat 1 Petrus 4:17). Karena Allah adalah Allah yang adil, maka Ia akan menghakimi gereja. Jika gereja tidak bersinar dan menyingkapkan kegelapan, maka Allah akan menghakimi gereja. Sama seperti caraNya dalam menangani orang Israel, maka Ia juga akan menangani kita seperti itu.

Prinsip apa yang perlu dipegang? Yesus berkata bahwa kita harus memperhatikan cara kita mendengar, karena Firman Allah dapat datang kepada kita dalam bentuk kasih karunia dan keselamatan atau dalam bentuk penghakiman dan kutukan (Lukas 8:18). Kitalah yang akan menentukan dalam bentuk apakah FirmanNya datang kepada kita. Bagi mereka yang memiliki, akan diberikan lebih; bagi mereka yang tidak memiliki, bahkan apa yang anggap ada padanya akan diambil. Tanggungjawabnya diletakkan di pundak kita.

Ayat ini – Lukas 8:18 – sedemikian pentingnya sehingga Yesus memberikan dua perumpamaan untuk menggambarkan pokok ini. Perumpamaan tentang talenta disimpulkan dengan kata-kata yang sama dengan yang tertulis di Lukas 8:18 ini. Matius 25:29 berkata,

“Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.”

Sang majikan membagikan beberapa talenta uang sebelum ia berangkat. Pada saat ia kembali, ia menanyakan pertanggungjawaban dari para hambanya akan uang tersebut. Yang pertama berhasil melipatgandakan uang yang dipercayakan dalam jumlah besar; yang kedua juga berhasil melakukannya, walaupun lebih sedikit, sesuai dengan jumlah yang dipercayakan padanya. Akan tetapi yang satu lagi tidak menghasilkan apa-apa dengan satu talenta yang diberikan padanya. Akibatnya, bahkan satu talenta yang ada padanya itu diambil darinya. Hal ini juga terjadi di dalam perumpamaan tentang uang mina (Lukas 19:26). Itu sebabnya kita tidak dapat berkata bahwa kita dibiarkan dalam ketidaktahuan akan kehendak Yesus karena ia sudah memakai kata-kata yang sangat jelas akan hal itu. Jika kita harus menyatakan apa yang dia ucapkan dalam kalimat lain, maka kalimatnya akan berbunyi seperti ini, “Aku sudah memberimu uang sejumlah sekian talenta atau sekian mina ini sebagai kasih karunia yang gratis; itu bukan hasil perjuanganmu. Akan tetapi, walaupun itu adalah kasih karunia yang gratis, bukan berarti engkau bebas untuk berbuat apa saja dengannya.”

Karena kita telah diberikan hidup yang kekal, jangan menganggap bahwa kita boleh terus berbuat sesuka hati. Kita akan mempertanggungjawabkan talenta atau mina yang kita terima. Ketika ia memberi kita terang, Ia ingin melihat apa yang akan kita lakukan dengan terang itu. Kita dapat melipatgandakan talenta yang sudah kita terima, atau tidak melipatgandakannya, dan ini adalah poin dari perumpamaan itu. Jika kita mengambil pilihan yang kedua, kita akan kehilangan sampai kepada apa yang pernah kita terima. Apa yang terjadi dengan hamba yang disita uangnya? Ia dicampakkan ke dalam kegelapan di luar, dan binasa, sekalipun ia adalah hamba Allah. Pengajaran ini berasal dari Alkitab, bukan dari saya.


Menjadi Pengurus Kasih Karunia Allah

Hubungan antara kasih karunia dari Allah dengan tanggungjawab di pihak kita adalah hal yang harus kita pahami dengan jelas karena begitu meluasnya kesalahpahaman dan pengabaian akan hal ini. Pandangan yang beredar sekarang ini adalah kita tidak perlu berbuat apa-apa setelah menerima kasih karunia yang telah dianugerahkan kepada kita. Hubungan di antara tanggungjawab di pihak kita dalam menerima kasih kasih karunia dari Allah sudah begitu jelas ditegaskan pada kita, dan akan merupakan suatu kebutaan yang disengajakan jika kita mengabaikannya. Sebagai contoh, rasul Paulus berkata kepada Timotius, seorang hamba Allah,

“Karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu” (2 Timotius 1:6).

Alkitab berbahasa Inggris versi Revised Standard Version menyebutkan, “Rekindle the gift of God that is within you… (Kobarkan lagi karunia Allah yang ada padamu…)“. Allah telah memberi karunia kepada Timotius, akan tetapi tampaknya ia membiarkan karunia itu menganggur, sehingga Paulus menyuruhnya untuk mengobarkan lagi (=rekindle) karunia itu. Karunia dari Allah tidak secara otomatis bekerja; kita harus memakainya. Allah mungkin telah memberikan Anda karunia tetapi jika Anda tidak memakainya, maka Anda akan kehilangan karunia itu.

Hal yang sama berlaku juga pada keselamatan. Itu adalah karunia dari Allah, akan tetapi Paulus berkata bahwa kita harus mengerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar (lihat Filipi 2:12). Jika tidak ada bahaya kehilangan, lalu mengapa kita harus takut dan gentar? Sekalipun keselamatan adalah karunia dari Allah, kita harus mengerjakannya. Gereja-gereja sekarang ini seringkali tidak menyampaikan pesan keselamatan seutuhnya; mereka cenderung memberi kita separuh saja dari pesan tersebut.

Pesan keselamatan tidak dapat disampaikan dengan lebih tegas ketimbang apa yang disampaikan oleh rasul Petrus kepada kita: Orang Kristen harus menjadi pengurus yang baik dari kasih karunia Allah (1 Petrus 4:10). Kasih karunia adalah hadiah gratis kepada kita, akan tetapi kita tetap harus menjadi pengurus yang baik dari kasih karunia itu. Seorang pengurus adalah orang yang mengelola sesuatu. Kasih karunia diberikan bukan untuk kita masukkan ke dalam kantong dan berkata, “Nah, urusannya selesai sudah.” Kasih karunia diberikan kepada kita supaya kita dapat berbuat sesuatu dengannya. Ada dua perumpamaan yang mengingatkan kita pada akibat yang harus dihadapi jika kita tidak melakukan apa-apa dengan kasih karunia itu, – perumpamaan tentang talenta (Matius 25) dan perumpamaan tentang uang mina (Lukas 19). Kedua perumpamaan itu mengingatkan kita bahwa jika kita tidak memanfaatkan kasih karunia yang diberikan kepada kita secara cuma-cuma itu, maka ia akan diambil dari kita.

Bukankah di dalam kehidupan jasmanipun hal ini berlaku juga? Apakah hidup yang kita miliki ini adalah hasil dari permintaan kita? Apakah kita meminta untuk dilahirkan? Tidak. Kehidupan yang kita jalani sekarang ini – kemampuan untuk bekerja atau belajar, kemampuan untuk menikmati sinar matahari, menikmati makanan dan persahabatan – apakah itu semua hasil usaha kita? Tidak. Kehidupan yang kita miliki sekarang ini adalah karunia. Akan tetapi, apakah itu berarti bahwa karena saya menerima karunia hidup ini maka segalanya akan baik-baik saja? Saya harus berbuat sesuatu dengan hidup saya. Itu sebabnya mengapa kita belajar di universitas, supaya memperoleh pendidikan yang lebih baik. Itu sebabnya mengapa kita berolah raga demi mempertahankan kesehatan, dan mengikuti kursus untuk meningkatkan keterampilan, dan belajar menyembah Tuhan untuk meningkatkan kualitas kehidupan rohani kita. Jika kita tidak memupuk hidup ini, kita akan mengalami kemunduran secara fisik, mental dan rohani. Kehidupan hanya mengenal bertumbuh atau mati. Terserah pada kita untuk menjadi pengurus yang baik dari karunia itu. (Kata ‘pengurus’ sebenarnya adalah kata yang digunakan di dalam perumpamaan tentang talenta dan uang mina.) Kehidupan mengalami kemerosotan atau pertumbuhan dari satu tingkat kekuatan menuju tingkat kekuatan yang lain.

Hal yang sama berlaku ketika Allah memberikan hidupNya – hidup yang kekal. Sama seperti kehidupan jasmani yang berasal dari Allah, kehidupan rohani pun demikian. Allahlah yang menghembuskan nafas kehidupan ke hidung manusia (lihat kitab Kejadian). Kehidupan jasmani kita adalah karunia dari Allah, dan kita adalah pengurusnya. Kita memiliki kehidupan rohani yang merupakan karunia dari Allah juga. Kehidupan rohani kita tidak bertumbuh secara otomatis, ia akan merosot jika tidak dipelihara. Itu sebabnya Paulus berkata bahwa kita harus berjuang mengejar kekudusan (Ibrani 12:14).

Paulus menggunakan gambaran tentang pemeliharaan tanaman dalam menjelaskan kehidupan rohani kita. Ia berbicara tentang dirinya yang menanam dan Apolos yang menyiram. Allah yang memberi pertumbuhan. Tidak ada yang dapat ditumbuhkan jika tidak ada benih yang ditabur dan tidak ada penyiraman. Tanpa keduanya, maka tidak ada tanaman untuk ditumbuhkan oleh Allah.

Serupa dengan itu, kita bertanggungjawab atas kehidupan rohani kita, yaitu hidup kekal yang telah diberikan oleh Allah kepada kita. Apapun yang kita perbuat dengannya, kita harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah nanti. Karena Allah yang memberikan, maka Ia juga dapat mengambilnya kembali. Apa yang diberikanNya, dapat diambilNya kembali, seperti yang kita lihat dalam kasus Ayub (lihat Ayub 1:21). Lalu apa yang membuat kita berpikir bahwa Ia tidak akan mengambil kembali apa yang telah diberikanNya jika kita memang terbukti tidak setia? Ini adalah logika aneh yang sangat diyakini oleh beberapa orang – bahwa Allah tidak dapat mengambil kembali apa yang sudah diberikannya. Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang mengambil. Lihatlah perumpamaan-perumpamaan tentang uang mina dan talenta. Para pengurus, dan di dalam perumpamaan itu kehilangan talenta dan mina yang telah diberikan ketika mereka tidak setia. Jadi, kita harus berhati-hati dalam menjalani hidup ini. Kita sudah diingatkan untuk memperhatikan cara kita mendengar (Markus 4:21), dan untuk berwaspada dan berdoa agar kita tidak jatuh dalam pencobaan (Lukas 21:36).

Jika saya memiliki kesehatan yang bagus, apa yang perlu saya lakukan? Saya harus berolah raga lebih lagi supaya saya dapat meningkatkan kesehatan saya. Semakin saya berolah raga, semakin baik kesehatan saya. Jika saya memiliki kekuatan dan saya memanfaatkannya, maka saya akan menjadi lebih kuat lagi. Jika saya memiliki sedikit kekuatan, dan saya mampu untuk mengangkat 1kg beban. Sesudah beberapa waktu, saya akan mendapati bahwa saya dapat mengangkat beban 10kg, dan selanjutnya saya terus melatih diri dengan yang 10 kg ini. Anda lihat, apa yang terjadi? Dalam beberapa waktu, kemampuan saya mungkin mencapai beban 100kg. jika Anda terus berlatih, maka kemampuan itu akan terus meningkat, 200 bahkan 300kg. akan tetapi, dapatkah Anda langsung mengangkat beban yang 300kg tanpa latihan? Tidak, membuatnya sedikit terangkat saja Anda tidak akan mampu. Akan tetapi Anda dapat memulai dari yang 1kg, meningkat kepada yang 10kg. Selanjutnya, Anda dapat terus menaikkan beban angkatan Anda. Dan pada suatu saat, Anda dapat berkata, “Oh, 300kg? Bisa saja.” Prinsip yang sama berlaku juga di dalam memanfaatkan karunia rohani yang diberikan oleh Tuhan kepada kita.

Bukankah hal ini juga merupakan suatu kebenaran dalam perkara dunia? Cobalah memecahkan suatu soal matematika. Pada awalnya Anda harus berpikir keras. Perhatikan bagaimana seorang anak kecil mengalami kesulitan menambahkan angka tiga dengan lima. Anda harus duduk menunggu dia menghitung jarinya. “Satu, dua, tiga, empat,…sembilan!” katanya. Anda menyahut, “Bukan sembilan. Coba dihitung lagi.” Akan tetapi anak ini, yang menjumlahkan angka tiga dengan lima saja sudah kesulitan, dapat menjadi seorang jenius matematika di kemudian hari. Di masa depannya, ia mungkin dapat memecahkan perhitungan yang sangat rumit. Bagaimana itu bisa terjadi? Jika Anda terus melakukan sesuatu, maka Anda akan menjadi mahir akan hal tersebut. Sangat sederhana.

Ini adalah prinsip yang berlaku di dalam setiap aspek kehidupan kita. Sebagai contoh, Anda mungkin pernah mendengar seorang pengusaha berkata, “Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.” Seseorang dengan simpanan $100.000 di bank akan mendapatkan bunga $9.000 setiap tahunnya. Bagi orang yang tidak punya uang, jumlah sebesar $9.000 harus diraih dengan penuh perjuangan. Akan tetapi bagi orang kaya, ia cukup menjentikkan jarinya dan ia sudah mendapatkan bunga $9.000. Karena kepada yang memiliki akan diberi lebih lagi. Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang memiliki simpanan sejuta dolar di bank. Jika suku bunga yang berlaku adalah 9%, maka orang itu akan mendapatkan $90.000 setahun tanpa melakukan apa pun.

Beberapa orang yang tidak punya cukup uang mengandalkan hidupnya pada hutang. Bagi mereka, akhir bulan adalah saat yang penuh dengan urusan tagihan. Mereka merasa mampu untuk membeli segalanya dengan mengandalkan kartu kredit. Namun mereka tidak menyadari bahwa kartu kredit bekerja di atas suatu prinsip yang berbahaya yaitu jika mereka tidak mampu untuk membayar belanja mereka, maka mereka dapat kehilangan segala yang mereka miliki.

Saat kita mengisi permohonan kartu kredit di bank, manajer bank itu menanyakan berbagai hal kepada kita seperti, “Apakah Anda memiliki rumah? Berapa nilainya? Berapa cicilan lagi yang harus Anda bayar untuk rumah itu? Apakah Anda punya mobil? Berapa nilainya?” Kita akan bertanya-tanya, “Buat apa dia menanyakan semua ini? Saya kan hanya meminta kartu kredit saja.” Ini karena jika kita tidak mampu membayar tagihan maka bank akan mengambil segala yang kita punyai, termasuk rumah, mobil dan yang lainnya.

Ketika Allah memberikan hidup yang kekal bagi kita, Ia ingin agar kita bersinar di dunia ini. Jika kita tidak memanfaatkan terang yang kita terima – dengan menaruhnya di bawah gantang atau membiarkan dunia berada di atas kita – maka kita akan kehilangan terang itu. Tuhan akan berkata, “Aku memberimu terang bukan untuk ditaruh di bawah gantang. Aku juga tidak ingin terang itu kau taruh di bawah tempat tidur. Karena engkau tidak memakai pelita itu, maka Aku akan mengambilnya.” Tidakkah kita melihat kata-kata yang sama di dalam Wahyu? Di sini Ia memperingatkan jemaat di Efesus, “Aku akan mengambil kaki dianmu dari tempatnya…” (lihat Wahyu 2:5). Saya prihatin pada mereka yang diberitahu bahwa mereka akan tetap berangkat ke surga, tidak peduli seperti apa kehidupan yang mereka jalani, karena mereka sudah diselamatkan. Allah tidak pernah berkata seperti itu.

Keindahan perumpamaan ini terletak pada fakta bahwa semakin Anda bersinar, semakin terang Anda jadinya. Markus 4:25 menjelaskan tentang ayat sebelumnya (Markus 4:24). Itu sebabnya disebutkan, “Karena siapa yang mempunyai…” Untuk memperingatkan kita bahwa ini adalah konsep dinamis: semakin banyak Anda memberi, semakin banyak Anda menerima; jika Anda tidak memberi, maka Anda justru akan kehilangan apa yang Anda miliki.

Pernahkah Anda memperhatikan sifat cahaya? Ia memancar ke segala arah. Selain itu, ia selalu memberi; cahaya selalu memancar dan tidak pernah menarik. Kita mungkin berkata, “Kalau saya memberi terus, saya bisa bangkrut.” Ini adalah hal yang tidak perlu kita kuatirkan. Prinsip yang berlaku bagi terang adalah semakin banyak memberi, semakin banyak menerima. Hal ini adalah prinsip yang berlaku dalam kehidupan rohani. Allah tidak akan pernah kehabisan dalam menyediakan apa yang akan kita beri. Apakah yang akan diberi itu berupa uang, waktu, tenaga atau nyawa kita, ukuran yang kita terapkan akan dikenakan pada kita. Sejalan dengan pemanfaatan hidup baru yang telah diberikan oleh Allah, pastikan bahwa pemanfaatannya berada pada tingkat maksimal, sekalipun terang yang diberikan kepada kita mungkin sangat kecil. Jika kita memakainya pada tingkat maksimum, maka kita akan melihat bahwa terang itu akan semakin cerah dan kuat.

Setiap orang Kristen adalah obor. Allah telah memberi kita cahaya kehidupan. Yang perlu kita lakukan adalah memastikan bahwa kita memang bersinar. Karena semakin kita bersinar, di kampus, rumah atau tempat kerja, semakin cerah terang yang kita pancarkan. Mungkin kita masih berupa cahaya yang redup pada saat ini, akan tetapi semakin kita menjalani hidup dalam komitmen total kepadaNya, semakin kuat terang milik kita memancar.

Prinsip dalam kehidupan ini adalah tidak ada hal yang tetap. Sebagai orang Kristen, terang milik kita akan bertambah kuat atau melemah seiring dengan waktu. Tidak ada yang berjalan begitu-begitu saja setiap saat. Hanya ada kemungkinan untuk bersinar atau memudar di tengah kegelapan – semuanya bergantung kepada kita. Karena tanggungjawabnya terletak pada kita, maka kita perlu kasih karunia Allah untuk dapat menunaikan peranan kita di dunia ini. Yaitu, untuk menjadi terang dunia.

 

Berikan Komentar Anda: