Pastor Eric Chang | Matius 14:22-33 |
Menjadi seorang Kristen adalah masalah mengenal Allah melalui Yesus. Mengenal Yesus bukan berarti tahu sesuatu tentang Yesus. Kita bisa tahu sesuatu tentang seseorang tanpa harus mengenal orang tersebut. Mengenal seseorang bukan sekadar mengetahui nama ataupun alamatnya. Mengenal seseorang berarti saya telah bertemu langsung dengannya dan saya telah bercakap-cakap dengannya.
Saya tidak bisa mengaku kenal jika yang saya maksudkan hanya sekadar tahu nama ataupun alamat Anda, untuk itu saya hanya bisa mengaku tahu tentang Anda. Untuk mengenal seseorang, berarti Anda harus bertemu langsung dengan orang itu.
Menjadi seorang Kristen adalah perkara perjumpaan dengan Yesus. Banyak orang Kristen adalah orang yang tahu sesuatu tentang Yesus, mereka tahu beberapa hal tentang Yesus, tetapi apakah mereka mengenal Yesus? Jika ditanya, “Apakah Anda kenal siapa Yesus itu?” Anda mungkin berkata, “Yah, saya tahu tentang dia. Saya tahu bahwa dia dilahirkan di suatu tempat di Timur Tengah. Di hidup di sebuah wilayah di Israel dan telah melakukan berbagai hal yang hebat, demikianlah kata orang.” Yang saya maksudkan bukan, “Apakah Anda tahu sesuatu tentang dia?” melainkan, “Apakah Anda sudah bertemu dengannya?”
Banyak yang percaya karena kawan mereka percaya kepada Yesus, mungkin karena ayah atau ibu mereka percaya kepada Yesus, sehingga mereka berkata, “Jika hal itu baik buat mereka, berarti baik juga buat saya. Jadi, jika mereka percaya kepadanya, saya akan percaya juga kepadanya.” Itulah iman tangan kedua. Itu bukan mengenal Yesus sama sekali. Yang menjadikan Anda Kristen adalah apakah Anda mengenal Yesus secara langsung atau tidak. Poin inilah yang ingin saya sampaikan.
Belajar dari Petrus
Di pesan ini kita akan berbicara tentang hal mengenal Yesus, dan mengenal dia secara sangat pribadi. Dan kita akan melakukan hal ini dengan meneliti apa yang diajarkan oleh seorang yang bernama Simon Petrus melalui kepribadian, kesalahan dan tindakan yang dilakukannya. Simon Petrus adalah pribadi yang sangat menarik perhatian. Menurut saya Petrus adalah pribadi yang cukup mempesona dan orang yang sangat menyenangkan, setidaknya saya sendiri menyukainya. Hal apa yang bisa kita pelajari tentang Yesus melalui kesalahan-kesalahan dan juga hal-hal benar yang Petrus lakukan?
Petrus bukanlah orang yang tindakannya selalu benar. Dia pernah berbuat salah dan pernah salah omong. Dia tidak sempurna. Yang istimewa dari Petrus adalah, ia orang baik yang selalu tersandung oleh tindakan yang salah. Dan setiap kali ada perbuatan yang salah, selalu saja Petrus yang melakukannya. Saya benar-benar bisa merasa diri saya ini seperti dia.
Petrus membuat kita merasa dekat dengannya karena dia memiliki permasalahan yang sama dengan kita. Orang yang bersemangat dan tulus akan tetapi selalu salah bertindak dan salah bicara. Kita bisa belajar sesuatu bukan saja dari tindakan-tindakan benar yang dilakukan orang lain, tetapi juga dari kesalahan-kesalahan mereka. Dan hal ini sangat melegakan karena ada juga beberapa orang Kristen yang sedemikian baiknya sehingga justru membuat kita merasa tidak enak hati. Karena setiap kali kita membandingkan diri kita dengan mereka, kita merasa bahwa diri ini jauh di bawah tingkatan mereka, sehingga kita sampai merasa, “Aku tidak akan pernah sampai ke sana.” Namun hal yang paling menghiburkan dari Petrus adalah Anda bisa berkata, “Wah, aku rasa, aku bisa sampai ke tingkatannya.”
Demikianlah kita bisa melihat dari pengalaman-pengalaman Petrus, bagaimana dia sampai mengenal Yesus sedemikian dekat? Bagaimana dia melangkah maju? Apa rahasianya? Apa yang membuat dia menjadi rasul yang besar? Dia adalah salah satu dari tiga rasul besar. Lalu Anda berkata, “Bagaimana bisa orang yang selalu bertindak keliru ini akhirnya menjadi salah satu dari rasul yang terbesar? Apakah rahasianya?” Dengan demikian, hari ini kita akan membahas tentang “Kunci Kerohanian Petrus.” Hal ini suatu pelajaran yang sangat berharga bagi saya.
Mari kita melihat catatan di Matius 14:22-33 dan coba bayangkan apa yang sedang terjadi dengan menempatkan diri kita di sana. Tanyakan pada diri Anda, apa yang bisa kita pelajari dari Perikop ini.
Matius 14:22-33.
22 Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-muridnya naik ke perahu dan mendahuluinya ke seberang, sementara itu ia menyuruh orang banyak pulang. 23 Dan setelah orang banyak itu disuruhnya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, ia sendirian di situ. 24 Perahu murid-muridnya sudah beberapa mil jauhnya dari pantai dan diombang-ambingkan gelombang, karena angin sakal. 25 Kira-kira jam tiga malam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air. 26 Ketika murid-muridnya melihat dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru: “Itu hantu!”, lalu berteriak-teriak karena takut. 27 Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” 28 Lalu Petrus berseru dan menjawab dia: “Tuan, apabila engkau itu, suruhlah aku datang kepada-mu berjalan di atas air.” 29 Kata Yesus: “Datanglah!” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus. 30 Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: “Tuan, tolonglah aku!” 31 Segera Yesus mengulurkan tangan-nya, memegang dia dan berkata: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” 32 Lalu mereka naik ke perahu dan anginpun redalah. 33 Dan orang-orang yang ada di perahu menyembah dia, katanya: “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.”
Dari rasa takut menuju iman
Dari rasa takut menuju iman. Sungguh kisah yang menarik! Saya suka ini. Kisah yang menakjubkan! Ini adalah catatan peristiwa yang luar biasa. Ini adalah catatan tentang Yesus yang datang menyelamatkan murid-muridnya. Mereka terjebak badai besar di tengah laut Galilea, yang juga disebut sebagai danau Galilea. Kadang-kadang danau ini disebut laut karena memang sangat besar, lebar sekitar enam hingga delapan mil, dan panjangnya tiga belas mil, sebuah danau yang sangat besar. Dan tentunya, bukanlah hal yang lucu jika terjebak di tengah danau ini dan harus berhadapan dengan badai dan gelombang-gelombang raksasa.
Petrus adalah seorang nelayan dan pelaut yang berpengalaman. Dia telah sering mengarungi danau ini. Dia tahu bahayanya. Ini adalah danau yang sangat berbahaya. Bahkan di zaman sekarang ini, kapal bisa tenggelam jika terhantam badai di sini. Badai tersebut muncul secara mendadak tanpa peringatan sama sekali. Tidak ada tanda-tanda yang memberi Anda petunjuk bahwa badai akan datang. Apa yang akan Anda lakukan jika Anda sedang berada di tengah danau itu?
Yesus baru saja selesai memberi makan 5,000 orang, belum termasuk perempuan dan anak-anak. Mukjizat yang hebat! Luar biasa! Setelah memberi makan orang-orang itu, mereka begitu bersemangat mendukung Yesus. “Ha! Yesus ini sangat hebat! Dia mengenyangkan perut kita. Setiap kali kamu merasa lapar, kamu cuma perlu datang kepada Yesus. Hmm, ini dia orang yang kita inginkan. Kita akan mendukung Yesus.” Ya, mereka akan mendukung Yesus sebagai raja. Mereka akan menjadikan dia raja, kata Yohanes. (Ada dua lagi catatan tentang peristiwa ini, Anda perlu membandingkan catatan-catatan tersebut untuk bisa mendapatkan gambaran keseluruhannya.)
Di Yohanes pasal 6, dikatakan bahwa mereka ingin menjadikan Yesus raja setelah peristiwa pemberian makan ini. Yesus tahu pemikiran mereka. Dia berkata, “Aku tahu persis mengapa kalian ingin menjadikan aku sebagai raja, karena perut kalian kenyang, bukankah begitu? Dan sekarang kalian ingin menjadikan aku sebagai raja untuk mengatasi semua persoalan ekonomi kalian, tidak usah bekerja lagi. Kalian berpikir, ‘Ini hebat! Inilah yang kita inginkan, kita duduk santai, menjentikkan jari, dan makanan tersedia di atas nampan di hadapan Anda, disajikan langsung oleh para rasul. Pelayanan yang sangat menyenangkan!'”
Yesus tidak akan mengizinkan hal ini terjadi. Jika kita mencoba untuk memperalat Yesus dan kuasanya untuk tujuan yang egois, maka Anda akan mendapati bahwa Yesus semakin menjauh dari kita.
Jangan memperalat Allah
Jika Anda ingin mengenal Allah, pelajarilah poin yang pertama: Jangan coba-coba memperalat Allah. Manusia sangat pandai mengeksploitasi. Mereka gemar memperalat orang lain, dan itu termasuk Tuhan. Setiap kali ada peluang, mereka akan segera memperalat orang lain. Dan jika Tuhan bisa diperalat, bagus sekali, mereka juga ingin memperalat Dia. Tuhan itu tahu persis apa yang terdapat di dalam benak Anda. Tidak ada gunanya datang dengan pikiran semacam itu.
Banyak orang (termasuk orang-orang Kristen, dan ini sangat memalukan) seringkali menganggap bahwa Allah itu semacam mesin makanan otomatis yang mulia, seperti mesin-mesin otomatis yang bisa Anda lihat di kota besar, Anda tinggal memasukkan koin dan mesin itu mengeluarkan makanan siap saji. Cara mereka berdoa kepada Allah lebih menimbulkan kesan bahwa doa itu seperti koin yang mereka masukkan dan mereka berharap jawaban akan segera keluar, “Sim Salabim!”, mirip mesin otomatis.
Jika Anda mencoba memperalat Allah dengan cara seperti ini, Anda akan mendapati bahwa Allah akan semakin menjauh dari Anda. Anda tidak akan mendapatkan hasil apa-apa dari Dia, karena Dia melihat langsung ke dalam hati Anda dan Dia tahu apa yang Anda pikirkan. Anda sedang menyia-nyiakan waktu Anda. Jika Anda benar-benar ingin mengenal Allah, jangan pernah mencoba melakukan hal-hal semacam itu.
Saya kenal beberapa orang yang mencoba bermain-main dengan Allah. Jika Anda bermain-main dengan Allah yang hidup, Anda sedang melakukan sesuatu hal yang sangat berbahaya. Saya kenal seseorang yang berdoa, “Tuhan, jika Engkau memberiku mobil, aku akan beribadah ke gereja. Aku tidak bisa membeli mobil sekarang ini, tetapi aku akan membuat perjanjian dengan-Mu. Jika Engkau memberiku mobil, maka aku akan pergi ke gereja.” Hei, apa yang Anda doakan? Ada apa ini? Apakah Allah memerlukan kehadiran Anda di gereja? Apakah Dia akan memohon kepada Anda dan berkata, “Tolonglah, kalau kamu tidak datang ke gereja, maka Aku akan sangat rugi”? Apa-apaan ini? Manfaat macam apa yang bisa Dia peroleh dari urusan seperti ini? Andalah yang rugi, bukannya Dia. Kitalah yang membutuhkan Dia. Jangan salah menilai fakta.
Demikianlah, orang-orang itu mencoba untuk memperalat Yesus. Mereka ingin menjadikan dia sebagai raja. Mereka ingin menjadikan dia sebagai raja demi kepentingan mereka sendiri, bukan karena mereka ingin memuliakan dia. Mereka ingin memperalat Yesus. Dan Yesus membubarkan mereka. Dia berkata, “Waktunya untuk pulang! Silakan pulang!” Dan dia juga berkata kepada murid-muridnya, “Kalian semua naik ke perahu dan menyeberanglah!” Sedangkan dia sendiri diam-diam naik ke pegunungan untuk berdoa. Dia adalah seseorang yang selalu rindu untuk dekat dengan Bapanya.
Para murid sudah berangkat dan Yesus sedang berdoa dengan tenang, malam pun tiba, cuaca menjadi gelap. Anda bisa membayangkan suasana saat itu. Yesus sedang berada di atas bukit di sisi timur danau Galilea, dan para murid sedang berdayung di tengah danau. Di bagian timur danau itu terdapat perbukitan dan Yesus sedang berada di daerah perbukitan dan berdoa, sementara para murid sedang mendayung perahu menyeberangi danau. Dan tepat di tengah-tengah danau, saat mereka sedang berada di jarak sekitar tiga atau empat mil di tengah danau sesuatu terjadi. Lebar danau ini sekitar enam hingga delapan mil, jadi mereka tepat berada di tengah-tengah danau itu saat mereka diterpa badai. Para nelayan yang berpengalaman ini berjuang keras, berdayung dengan segenap kekuatan otot mereka yang kekar itu; pekerjaan yang biasa mereka lakukan dulunya.
Sekarang bayangkan: di sebelah sini adalah sisi timur danau Galilea. Di daerah inilah 5,000 orang itu diberi makan. Para murid menyeberangi danau. Jika Anda mendayung, Anda akan duduk menghadap ke arah mana? Apakah Anda mendorong atau menarik dayung itu? Tentunya, Anda berdayung dengan duduk menghadap arah yang berlawanan dengan arah yang sedang dituju, betul? Setiap orang tahu bahwa otot-otot di punggung itu lebih kuat. Anda tidak bisa menghasilkan banyak tenaga dengan mendorong. Dengan menarik ke belakang, dan ditambah dengan tenaga dorongan kaki, maka Anda akan menghasilkan tenaga yang lebih besar. Terlebih lagi, dengan posisi duduk berarti titik berat tubuh Anda berada pada ketinggian yang rendah, dan ketika badai bertiup, Anda tidak akan terlempar keluar.
Badai yang melanda itu sangat hebat. Mereka tidak mengalami kemajuan sedikitpun. Selama berjam-jam, mereka berjuang melawan badai itu. Mereka semakin lelah tapi masih terjebak di tengah badai. Tidak maju-maju. Dan yang lebih berbahaya lagi, air membanjir masuk, harus ada orang yang mengurasnya. Tenaga pendayung berkurang, laju perahu berkurang. Situasi secara keseluruhan menjadi semakin gawat.
Sementara itu, waktu sudah menunjukkan jaga yang keempat, saat menjelang fajar. Langit mulai bersinar di bagian timur, benar bukan? Dapatkah Anda membayangkannya? Awalnya, keadaan gelap gulita, akan tetapi sekarang matahari secara perlahan naik di bagian timur. Para murid melihat langit mulai berwarna keperakan, lalu merah, matahari mulai terbit. Dan mereka terus mendayung dengan sekuat tenaga.
Suasana sekitar masih gelap, tetapi langit di sebelah timur sudah mulai terang, matahari masih belum muncul akan tetapi langit sudah mulai terang. Dan di tengah suasana seperti itu, tiba-tiba saja muncul sesosok tubuh yang berjalan dari arah timur membelakangi sinar pagi. Bisakah Anda bayangkan keadaan saat itu? Ada sesosok tubuh yang berjalan di atas air! Astaga! Cukup sudah! Mereka pasti mengejap-ngejapkan mata sambil bertanya-tanya, “Ada apa ini?” Ada sesosok tubuh yang berjalan di atas air! Dapatkah Anda bayangkan rasa ketakutan yang mereka rasakan pada saat itu? Terjangan badai itu saja sudah cukup buruk, akan tetapi ini ditambah dengan melihat sesosok tubuh berjalan di atas air. Mereka tidak bisa melihat wajahnya. Yang mereka lihat hanyalah berupa sesosok tubuh yang membelakangi sinar pagi. Mereka lalu berteriak ketakutan.
Apa Anda tidak akan takut? Jika Anda sedang berada di tengah danau tersebut, di dalam badai yang sedang mengamuk dan Anda melihat suatu sosok berjalan di atas air.
Iman menuntut keberanian
Para murid adalah orang-orang perkasa yang bertubuh kekar. Mereka dulunya bekerja di danau itu. Mereka kenal daerah ini. Tapi ini bukan main-main! Mereka melihat orang berjalan di atas air! Lalu orang itu berjalan semakin mendekat, dan mereka benar-benar ketakutan. Mereka menjerit-jerit ketakutan.
Terasa aneh juga karena Yesus datang untuk menyelamatkan mereka. Mereka takut karena badai dan juga takut pada orang yang mau menyelamatkan mereka. Ini adalah perlajaran yang perlu kita camkan juga. Saya menemukan satu pelajaran yang sangat penting dan sangat berharga yaitu: Iman menuntut keberanian.
Dibutuhkan keberanian yang sangat besar untuk bisa memiliki iman. Iman bukan untuk orang penakut. Hanya orang-orang pemberani yang bisa memiliki iman. Ini adalah suatu kenyataan. Namun manusia ketakutan pada hal-hal yang berasal dari Allah. Ini memang aneh.
Orang yang kurang nyali, tak akan bertemu dengan Allah
Saya akan berikan satu contoh. Beberapa tahun yang lalu, saya sempat berbincang-bincang dengan sekumpulan mahasiswa pasca sarjana. Mereka adalah para mahasiswa sayap kiri yang mendukung gagasan komunis, dan tentu saja mereka adalah ateis (tidak bertuhan). Yang satu adalah peneliti di bidang fisika, yang satu lagi adalah mahasiswa tingkat doktor di bidang kimia. Saat itu saya sendirian berhadapan dengan mereka. Saya berkata, “Anda ateis, yah? Baguslah. Saya sendiri dulunya seorang ateis, sampai akhirnya saya bertemu dengan Allah. Anda tidak menerima apa yang saya katakan. Saya akan memberikan satu ujian. Karena saya telah bertemu dengan Allah, maka saya mengenalNya. Saya tahu bahwa Dia sekarang ada di kamar ini.” Mereka menjawab, “Kami tidak kenal Allah dan kami tidak melihat ada Allah di sini.”
Saya berkata, “Baiklah, jadi Anda tidak percaya. Saya beri kalian kesempatan untuk menguji secara langsung.” Mereka berkata, “Ujian macam apa?” Saat itu, mereka mulai merasa tidak yakin. Saya berkata, “Saya sudah sampaikan bahwa Allah sekarang ada di kamar ini, bahwa dia adalah Pribadi yang hidup, Dia sedang mendengarkan apa yang kita bicarakan.” Lalu saya berkata, “Jika Anda berbicara kepada tembok ini, apakah tembok ini akan menjawab Anda?” “Tidak, tembok tidak akan memberi jawaban.” Saya berkata, “Jika Anda berbicara kepada meja ini, apakah meja ini akan menjawab Anda?” “Oh, tentu saja tidak. Bagaimana bisa meja menjawab pembicaraan?” Saya berkata, “Baik, tapi jika Anda berbicara kepada Allah, maka Dia akan menjawab. Anda siap untuk mulai?” Mereka berkata, “Hei! Tunggu dulu. Sebentar dulu. Tahan. Kami harus berpikir dulu.”
Saya berkata, “Jadi, apakah Anda takut pada sesuatu yang tidak Anda percayai?” Mereka menjawab, “Kami tidak takut. Saya berkata, “Tadi saya katakan bahwa kalau Anda berbicara pada tembok, maka tembok tidak akan bisa menjawab. Tetapi jika kalian berbicara kepada Allah, maka Dia bisa dan akan menjawab. Apakah bisa kita mulai? Apakah Anda siap menguji hal ini?”
Lalu mereka berkata, “Hei tunggu dulu. Apa maksudnya ini?” Saya berkata, “Saya sedang memberi Anda kesempatan yang adil untuk membuktikannya. Saya ada di sini. Jika Allah tidak menjawab kalian, silakan pukul saya. Saya ada di sini. Saya tidak melarikan diri. Saya bukan tukang obat yang setelah menjual obat palsu yang akan hilang entah ke mana.”
Saya ingat, di sekitar rumah kami, pernah ada seseorang yang berkeliling menjual sejenis pil, dan dia menjamin bahwa jika Anda menelan pil itu, maka tidak akan ada ular yang mau menggigit Anda. Hebat sekali! Tak ada ular di sekitar sana. Satu-satunya ular yang ada hanyalah ularnya sendiri, dan ular ini memang tidak menggigit orang. Lalu dia berkata, “Kalau kau minum obatku ini, tak akan ada ular yang mau menggigitmu.” Masalahnya, saat obat itu Anda uji ke kebun binatang dengan menjulurkan tangan Anda ke kandang ular, orang itu sudah melarikan diri. Saat Anda kembali esok harinya untuk berkata, “Hei kamu! Lihat apa yang terjadi pada tanganku!” dia sudah tidak ada di sana. Dia sudah pergi ke kota lain untuk menjual obat ajaibnya di sana.
“Nah,” saya berkata, “Saya tidak akan melarikan diri. Saya tetap di sini. Ini adalah ujian yang cukup adil, benar bukan?” Mereka berkata, “Katakan sekali lagi? Apa yang harus kami lakukan?” Saya menjawab, “Anda datang kepada Allah, yaitu Allah yang hidup, dan Anda berbicara kepada-Nya. Sampaikan kepada-Nya tentang persoalan yang telah Anda ajukan kepada saya tadi. Sampaikan pada-Nya bahwa Anda tidak percaya kepada-Nya. Jelaskan alasan mengapa Anda tidak percaya kepada-Nya. Nyatakan dengan jujur, tegas, dan dari lubuk hati Anda, dan dengan kerendahan hati juga. Anda sedang berurusan dengan Allah yang hidup. “
Lalu saya berkata, “Jika Anda tidak sekadar mau berdebat tapi benar-benar ingin dan tulus mencari kebenaran, inilah kesempatannya, inilah waktunya. Bagaimana? Jika Dia tidak menjawab kalian, saya masih akan ada di sini. Jika Anda memang benar-benar ingin mengenal Allah, katakan, ‘Ya Allah, aku tidak kenal Engkau, aku belum pernah bertemu dengan-Mu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana berkenalan dengan-Mu. Tetapi temanku di sini berkata bahwa jika aku berbicara kepada-Mu, kalau aku datang dengan rendah hati kepada-Mu, kalau aku siap untuk mengizinkan segala rintangan yang berdiri di antara Engkau dan aku disingkirkan, maka Engkau akan berbicara kepadaku, Engkau akan membuatku mengenal-Mu.’ Jika Anda siap untuk melakukan hal itu, maka Allah akan berbicara ke dalam hati Anda dengan cara yang membuat Anda tahu bahwa itu semua nyata. Apakah Anda bersedia menerima tantangan saya?”
Aneh, Anda tahu apa yang terjadi? Mereka semua berubah menjadi pengecut. Tak satupun yang bersedia menerima tantangan saya. Tak satupun! Mereka ketakutan karena saya berkata, “Inilah kebenarannya. Saya berpihak pada kebenaran ini. Saya tahu bahwa saya menyampaikan kebenaran. Jika kalian pikir saya menyampaikan kebenaran, ujilah pernyataan saya, bukankah begitu?” Apakah Anda pikir saya masih akan memberitakan Injil hari ini dan tidak mencari pekerjaan lain yang akan memberi saya penghasilan sampai empat atau lima kali lipat dari yang saya dapatkan sekarang ini, jika saya tidak percaya bahwa Allah itu nyata? Akan tetapi Anda tidak harus ikut keyakinan saya. Saya hanya akan mengundang Anda untuk menguji sendiri. Itu sudah cukup adil. Akan tetapi mereka ketakutan.
Iman menuntut keberanian, keberanian untuk menghadapi kebenaran sekalipun Anda mungkin tidak suka akan kebenaran itu. Anda harus siap berkata, “Baik, jika demikian halnya, jika aku harus berkorban sebesar itu, aku akan melakukannya.” Namun mereka semua yang mengaku ateis itu, berubah menjadi pengecut. Tak satupun yang meladeni tantangan saya.
Beberapa waktu kemudian, salah satu dari mereka, saat itu sudah mendapatkan gelar doktornya dan sudah mengajar di London University, datang menemui saya. Suatu hari, saya pulang dan dia sedang menunggu saya. Dia berkata, “Aku ingin bercakap-cakap denganmu.” Saya mengundang dia ke kamar saya. Dan dia memulai, “Tolong beritahu saya, bagaimana kamu sampai menjadi orang Kristen?” Lalu saya ceritakan padanya tentang bagaimana saya menjadi Kristen. Dan dia mengajukan banyak sekali pertanyaan. Kemudian, dia berkata, “Aku mau katakan sesuatu. Aku mau beritahu kamu bahwa aku benar-benar ingin berkenalan dengan Allah. Aku sangat menyadari bahwa bahwa apa yang kau sampaikan itu benar.”
Akan tetapi dia ketakutan. Bahkan sampai dengan hari itu, dia masih saja takut. Dia tidak berani mengambil langkah maju. Dia tidak berani meninggalkan keamanan, dia merasa aman berada di atas perahu kecilnya itu. Sekalipun perahu itu bisa tenggelam setiap saat, namun tetap saja itu adalah perahu! Jika dia melangkah keluar, dia akan tenggelam ke dalam air, tidak ada landasan untuk dia berpijak. Jadi, dia merasa lebih aman jika berada di dalam perahunya yang sebetulnya tidak aman itu. Dan sampai dengan malam itu, saya melihat terjadi pergumulan di dalam dirinya. Pada larut malam, dia pergi sambil berkata, “Saya benar-benar ingin mengenal Allah. Saya akan pulang dan memikirkan hal ini dengan lebih teliti.” Kekurangan yang saya ketahui tentang orang ini adalah ia tidak punya keberanian untuk menjadi orang Kristen. Penundaannya sangatlah merugikan karena belakangan saya dengar dia diusir karena kegiatan politiknya. Saya sangat menyesal, sangat sedih akan hal itu karena saya merasa bahwa dia sudah begitu dekat, untuk bisa bertemu dengan Allah. Namun sudah terlambat. Dia terusir dari Inggris, dan saya tidak tahu dia berada di mana sekarang ini.
Butuh keberanian untuk percaya
Namun di kesempatan yang lain, saya mengajukan tantangan yang sama pada seorang mahasiswa yang lain. Dia mengajukan banyak pertanyaan kepada saya. Selesai saya jawab satu pertanyaan, dia sudah mengajukan pertanyaan yang lainnya, belum sempat saya menarik nafas setelah menjawab yang itu, dia sudah mengajukan pertanyaan yang baru lagi. Saya berkata, “Tunggu dulu. Begitu banyak pertanyaanmu, dan aku mungkin harus berada di sini semalaman dan mungkin sampai beberapa hari untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu itu. Apakah kamu hanya ingin berdebat denganku atau kamu ingin benar-benar bertemu dengan Allah?” Dia menjawab, “Oh, aku tidak sedang mendebatmu, aku benar-benar ingin bertemu dengan Allah.”
Lalu saya bertanya, “Apa kamu serius?” Dia berkata, “Benar, aku serius.” Saya katakan, “Baik. Apakah kamu siap untuk melakukan apa yang akan kusampaikan?” Dia bertanya, “Apa itu?” “Berbicara dengan Allah.” “Berbicara dengan Allah? Bagaimana melakukannya?” Saya berkata, “Sama seperti kamu berbicara denganku, demikianlah kamu berbicara dengan-Nya.” “Oh,” katanya, “Maksudmu, Dia mendengarkan kita?” Saya jawab, “Sudah tentu, Dia mendengarkan kamu.” Saya berkata, “Perhatikan, jika engkau telah berbicara dengan-Nya dan Dia tidak menjawabmu, maka kamu pasti tahu, bukankah begitu?” Dia berkata, “Tentu saja, aku pasti tahu.” Saya katakan, “Baiklah, sekarang semua pertanyaan yang telah kau ajukan padaku, ajukanlah kepada-Nya. Sampaikan pada-Nya semua persoalanmu. Bahaslah bersama-Nya dengan cara yang sama seperti kamu sedang membahasnya bersamaku. Akan tetapi kamu harus datang kepada Allah dengan kerendahan hati.” Lalu kami berdua berlutut di hadapan Allah.
Tidak ada orang yang bisa masuk dengan keangkuhan di dalam hadirat Dia yang menciptakan langit dan bumi. Ingatlah, Anda sangatlah kecil dibandingkan dengan alam semesta ini. Datanglah dengan kerendahan hati di hadapan Allah. Jika Anda ingin mengenal kebenaran, singkirkan keangkuhan dari hati Anda. Kesombongan dan keangkuhan adalah penghalang utama dalam pengenalan akan kebenaran. Dalam mencari kebenaran, Anda harus selalu mendekatinya dengan ketulusan, kerendahan hati dan dengan tekad yang kuat. Dan kebenaran itu bisa meminta pengorbanan yang sangat besar – dari segi waktu dan tenaga!
Lalu saya berkata, “Apakah kamu siap?” Dia menjawab, “Baik.” Lalu kami berdua berlutut, dan saya berdoa buat dia dan saya berkata, “Ayo, berbicaralah kepada Allah, sampaikan pada-Nya permasalahanmu.” Kemudian dia mulai berbicara, sampai akhirnya selesai. Setelah beberapa saat dia berhenti, kami bangkit, dan dia berkata, “Kau tahu, ada sesuatu terjadi pada diriku.” Dia berkata, “Sesuatu terjadi. Aku tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi aku telah berubah.” Saya berkata, “Benar, kamu telah berubah. Kamu telah bertemu dengan Allah. Sudah aku katakan dari tadi, bahwa kamu sedang berurusan dengan Pribadi yang hidup!” Dia menjawab, “Aku tak pernah mengharapkan hal semacam ini. Di sepanjang hidupku aku selalu mencari hal ini, aku tidak tahu bagaimana menggambarkannya – Allah telah mengubah hidupku!” Dia sangat takjub. Dia terpesona, terkesima! Sampai dengan hari ini dia adalah seorang Kristen yang sangat aktif melayani Tuhan.
Pada saat itu, dia baru saja memulai kuliahnya di bidang kedokteran, akan tetapi begitu luar biasa pengalamannya bertemu dengan Allah sehingga dia tidak mau belajar kedokteran lagi dan mau ganti jurusan. Hal ini membangkitkan kemarahan keluarganya. Dia berkata, “Sekarang aku telah mengenal Allah, aku telah bertemu dengan-Nya. Aku benar-benar ingin lebih mengenal Dia. Bagiku, itulah yang paling penting sekarang ini.” Dia telah menangkap visi tersebut. Dia telah bertemu dengan Allah.
Jika Anda telah bertemu dengan Allah, Anda akan tahu. Tidak ada keraguan sama sekali. Apakah Anda jenis orang Kristen semacam itu? Atau, apakah Anda percaya karena orang lain percaya, dan Anda berpikir, “Oh, penjelasannya cukup bagus, aku akan menerima keyakinannya.” Jika demikian halnya Anda belum mengenal Allah; Anda baru tahu sesuatu tentang Dia. Jika Anda bukan seorang Kristen, ladeni tantangan saya! Saya bukan penjual obat palsu. Ucapan saya siap diuji.
Dosa bagaikan badai yang mengacaukan hidup kita
Mari kita melanjutkan pengamatan akan Perikop ini. Para murid sedang mendayung di tengah badai, sama seperti kita, kita sedang dilanda persoalan-persoalan hidup. Kita sedang mendayung di tengah badai. Badai di dunia ini, di dalam hidup kita, di tengah keluarga kita – badai yang ditimbulkan oleh dosa. Dosa menyebabkan badai mengamuk di dalam kehidupan kita. Orang-orang dilanda kegelisahan di dalam dirinya. Saat dosa melanda kehidupan mereka, ia bagaikan hama belalang atau seperti badai yang membuat kacau segala sesuatu di dalam hidup mereka. Sangat mengerikan. Lihat saja kehancuran yang telah ditimbulkan oleh dosa di dunia ini. Dan Allah telah mengutus Yesus untuk mengatasi masalah dosa di dalam pribadi setiap orang percaya. Demikianlah, mereka berada di tengah badai, dihantam oleh badai, lalu datanglah Juruselamat.
Dan ketika Juruselamat datang, apa yang terjadi? Mereka malah ketakutan, sama seperti para murid ini. Ketika Yesus mendekat dan berkata, “Marilah kepadaku,” apakah yang terjadi? Orang-orang itu ketakutan. Mereka tidak berani datang. Camkan pelajaran ini. Yesus berkata, “Jangan takut.” Dia tidak akan mencelakai Anda. Dia hanya ingin menyelamatkan dan memberi Anda damai sejahtera. Dia ingin mengubah Anda. Dia akan menyingkirkan dosa dari dalam hidup Anda dan menjadikan Anda pribadi yang baru – pribadi yang tidak lagi menempatkan dosa sebagai raja; yang tidak bisa lagi dipermainkan sesuka hati oleh dosa; pribadi yang memiliki sukacita bersekutu dengan Allah. Semua ini adalah hal yang bisa Anda buktikan sendiri.
Tujuan utama hal ini disampaikan adalah agar Anda bisa membuktikannya sendiri. Anda tidak perlu bergantung pada orang lain. Anda sendiri bisa bertemu dengan Allah dan mengenal Dia. Kita harus siap untuk mendekati–Nya, karena Dia selalu siap untuk mendekati kita. Anda sedang mendengarkan firman Injil, Allah sedang mendekati Anda lewat Firman–Nya. Janganlah takut.
Di dalam Perikop ini, saat Yesus menghampiri dan berkata-kata pada mereka, apa reaksi Petrus? Petrus mendengar suara itu dan dia mengenalinya. Itu memang suara Yesus. Benar, itu adalah dia! Saat kita angkat telpon, Anda tidak harus selalu bertanya siapa yang menelepon itu. Anda cukup mendengar suaranya dan segera tahu, “Ah, ini suara si Anu.” Anda mengenali suaranya. Namun yang tidak Petrus bayangkan adalah bahwa Yesus sedang berjalan di atas air! Terlebih lagi, dia bisa melihat sosok tubuh itu akan tetapi dia belum bisa mengenali secara jelas. Yesus membelakangi cahaya pagi dan hanya berbentuk bayangan gelap yang dikelilingi sinar langit pagi.
Di Markus 6:48, kita diberitahu bahwa Yesus tidak lurus mengarah ke perahu. Dia berjalan melewati perahu mereka, itu pun sudah membuat mereka sangat ketakutan. Jika dia lurus mengarah ke perahu, mereka mungkin akan melompat keluar dari perahu karena ketakutan! Mereka merasa terancam! Sangat ketakutan!
Bagi Petrus, “Lebih aman berada bersama Yesus.”
Petrus melihat Yesus mendekat namun bukan langsung ke arahnya, dan dia mendengar suaranya. Hal apakah yang terlintas di benak Petrus? “Hei, kalau itu Yesus, mestinya dia tidak akan melewati kita, bukankah begitu? Mestinya dia tidak meninggalkan kita di tengah badai ini!” “Yesus!” dia berseru, “Tentunya engkau tidak akan meninggalkan kami di tengah semua ini bukan?” Dan dia mendapat ide, “Jika itu engkau, suruhlah aku datang kepadamu. Katakan saja, ‘Datanglah’, maka aku akan datang berjalan di atas air ke arah engkau.” Dia tahu bahwa yang terbaik adalah berada bersama Yesus di mana pun Yesus berada. Perahu ini akan tenggelam. “Yesus akan berlalu. Jika itu Yesus, aku tidak akan berdiam di sini. Aku tidak mau.” Lalu ia berseru, “Yesus, jika itu engkau, suruhlah aku datang kepadamu. Aku ingin berada bersamamu.” Sungguh suatu hal yang hebat dan indah! Cara Petrus berpikir memang berbeda.
Yesus menanggapi Petrus
Namun murid-murid yang lain mungkin berpikir, “Yah, perahu ini mungkin akan tenggelam, namun untuk sementara ia masih mengapung.” Hal berjalan di atas air, sama sekali tidak terlintas di benak mereka.
Akan tetapi pemikiran Petrus tidak seperti itu. Dia berpikir, “Perahu ini memang mengapung untuk sementara ini, tapi tidak akan lama. Yang aman adalah berada bersama dengan Yesus.” Jadi dia ingin mendatangi Yesus. Dan dia mengucapkan kalimat yang luar biasa ini, “Tuan, apabila engkau itu, suruhlah aku datang kepada-mu berjalan di atas air.” Dan apa jawab Yesus? Yesus menyuruhnya datang! Sungguh mengesankan! Yesus bisa saja berkata, “Tetaplah di dalam perahu. Kamu akan baik-baik saja di sana. Aku ada di sini.” Ternyata tidak. Yesus meladeni Petrus. Yesus berkata, “Datanglah. Kamu berani melangkah keluar dari perahu dan melangkah di atas air? Datanglah.” Dan Petrus benar-benar melakukannya. Dia berkata, “Perkataanmu sudah merupakan jaminan buatku. Engkau sudah mengucapkannya, maka aku akan melakukannya.”
Kebesaran Petrus: “Engkau mengatakannya, aku akan melakukannya.”
Yesus juga mengatakan hal yang sama dalam kesempatan yang berbeda. Petrus pernah berkata bahwa mereka telah bekerja semalaman, dan tidak mendapatkan hasil apa-apapun, dan Yesus berkata, “Jalankan perahu dan buanglah jala ke sebelah kanan.” Petrus berkata, “Apa? Di siang hari? Tak ada orang menjala ikan di siang hari. Engkau boleh saja mengajarkan aku tentang Injil, tetapi jangan mengajariku cara menangkap ikan. Aku nelayan, dan tidak ada orang yang menjala ikan di siang bolong. Tidak, tidak. Ikannya terlalu jauh di bawah air. Malam hari adalah waktunya menjala ikan, bukankah begitu?”
Namun Petrus adalah orang yang bersedia merendahkan diri. Dia melakukan banyak kesalahan, akan tetapi dia memiliki kualitas ini. Apakah yang Petrus katakan? “Baiklah, aku menurut perintahmu, jika engkau menyatakannya, aku akan melakukannya.” Inilah kekuatan Petrus. “Engkau mengatakannya, aku akan melakukannya. Baiklah, aku akan datang.”
Kebesaran Petrus adalah: “Yesus, jika Engkau yang mengatakannya, aku akan melakukannya.” Dia tidak dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan pribadinya. Dia berangkat, dia menebarkan jala. Hasilnya? Dia tidak kuat mengangkat jalanya; jala itu penuh dengan ikan!
Petrus berkata, “Tuan, jika engkau menyuruhku.” Dia tidak mau berbuat bodoh. Dia tidak mau langsung melompat keluar dari perahu tanpa menanti perintah. Di dalam perahu saja keadaannya sudah cukup buruk, langsung melompat keluar dari perahu akan jauh lebih buruk lagi. Petrus belum sebodoh itu. Otaknya masih bisa bekerja dengan baik. Jadi dia tidak mau begitu saja berenang keluar perahu. Dalam keadaan seperti itu, sekalipun Anda adalah seorang perenang yang pandai, peluang Anda untuk tenggelam sangatlah besar. Petrus berkata, “Suruhlah aku untuk datang kepadamu, dan aku akan datang.” Yesus menjawab, “Datanglah.” Lalu Petrus melangkah keluar dari perahu dan berjalan melintasi air.
Iman adalah keberanian; tidak percaya adalah ketakutan
Sangat hebat! Tidak dikatakan bahwa Petrus mengambil satu atau dua langkah, akan tetapi dia berjalan! Wow! Dituliskan, bahwa Petrus berjalan di atas air mendapatkan Yesus. Dia berjalan menuju Yesus!
Tapi kemudian dia menoleh ke sekelilingnya. Di depan ada Yesus. Selama dia memusatkan perhatian kepada Yesus, keadaannya baik-baik saja. Akan tetapi saat dia memperhatikan badai dan keadaan di sekitarnya, apa yang terjadi? Tiba-tiba keadaan di sekitarnya membuat dia goyah.” Dia berkata, “Mengapa aku berada di tengah-tengah danau ini?” Dikatakan dia mulai kuatir dan ketakutan lagi.
Iman adalah keberanian, dan lawan dari iman adalah ketakutan. Ketidak-percayaan itu berkaitan dengan ketakutan, akan tetapi iman adalah keberanian. Begitu dia mulai ketakutan, dia mulai tenggelam.
Petrus tidak langsung tenggelam
Coba Anda renungkan. Kapankah dia mulai tenggelam? Ini adalah hal yang sangat menarik. Ayat 30 berkata: dan mulai tenggelam. Mulai tenggelam? Tunggu dulu. Pikirkan dengan baik. Coba pergi ke kolam renang, melangkah ke air dan lihat apa yang terjadi. Apa yang akan terjadi? Saat Anda melangkah ke dalam air, Anda langsung menghilang begitu saja! Anda tidak mulai tenggelam, melainkan langsung tenggelam. Tidak ada yang namanya mulai tenggelam. Berdasarkan prinsip gravitasi bumi, dia tidak akan pernah sempat berseru, “Tuan, tolong aku!” Kalimatnya terlalu panjang. Belum sempat dia berkata, “Tuan,” dia sudah tenggelam.
Tahukah Anda apa maksudnya? Di sinilah letak keindahannya. Alkitab ini sungguh hebat. Pada saat dia kehilangan imannya, dia mulai tenggelam dan buat beberapa saat Yesus mengizinkannya untuk tenggelam. Saat Petrus mulai ragu, Yesus memberi dia satu pelajaran. Dia membiarkan Petrus tenggelam secara perlahan. Secara perlahan-lahan Petrus mulai tenggelam. Petrus mendapati bahwa air mulai naik. Dan dia berkata, “Tuan, tolong aku.” Inilah keindahan dalam cara Yesus menangani kita. Jika kita dibiarkan jatuh setiap kali kita kekurangan iman, maka kita sudah langsung jatuh ke dasar laut! Yesus membiarkan dia tenggelam secara perlahan. Suatu pelajaran buat Petrus tapi dia tidak akan membiarkan Petrus untuk terus tenggelam. Ini adalah hal yang sangat indah. Dari catatan ini kita banyak belajar tentang cara Allah menangani kita.
Sebenarnya Petrus sudah sangat dekat dengan Yesus. Pernahkah Anda melihat anak kecil coba menyeberangi balok yang melintang di atas parit atau kali kecil? Mereka mulai melangkah dan dapat dengan baik menjaga keseimbangannya, namun tiba-tiba pada langkah-langkah terakhir mereka kehilangan nyali. Sama seperti Petrus, mereka jatuh ke parit. Jika mereka tetap tenang, mempertahankan keberanian, mereka akan bisa menyeberang dengan selamat. Jika Petrus memiliki keberanian iman yang cukup dan tetap berpegang teguh pada Kristus, maka dia akan berhasil sampai, akan tetapi dia ketakutan. Dia mulai tenggelam. Dia sudah sangat dekat karena kita tahu Yesus dapat langsung mengangkatnya.
Berseru pada Tuhan dalam kelemahan
Sekarang pikirkanlah: dia harus berjalan lagi di atas air untuk kembali ke perahu! Dia tidak sedang berada di samping perahu. Dia telah berjalan meninggalkan perahu menuju Yesus, dan dia harus berjalan kembali ke perahu bersama Yesus. Ini adalah pelajaran indah buat orang Kristen. Kadang kala, ketika iman Anda melemah, Anda terpuruk. Namun Allah tidak membiarkan Anda begitu saja tenggelam sampai ke dasar. Dia biarkan Anda tenggelam sedikit, dan ketika Anda berseru kepada-Nya, Dia mengangkat Anda kembali. Dan selanjutnya Anda berjalan bersama Dia selanjutnya.
Pokok pertama – kita harus menanggapi
Apa yang bisa kita pelajari dari Petrus? Pertama-tama, kita melihat bahwa Petrus, di dalam segala kelemahan dan kegagalannya, adalah orang yang sangat tanggap. Dalam hal menjadi seorang Kristen, hal yang paling pokok adalah kita harus tanggap. Bagaimana Anda bisa mencapai kemajuan jika Anda tidak tanggap terhadap segala sesuatu? Tidak ada gunanya. Saat berbicara dengan orang lain, Anda terasa mungkin seperti sedang berbicara dengan tembok karena tidak ada responnya. Setidaknya berbicara dengan tembok, Anda masih bisa mendengarkan gema dari tembok itu. Akan tetapi saat berbicara dengan orang lain, seringkali tidak ada hasil sama sekali. Mereka tidak menanggapi apa yang Anda katakan.
Mereka mendengarkan Firman Allah, “Baiklah, itu memang benar, khotbah yang menarik, enak didengar. Mari pulang dan menikmati makan malam.” Tak ada tanggapan! Orang yang tanggap akan berkata, “Jika demikian halnya, jika memang benar, aku harus berbuat sesuatu.”
Perlu keberanian iman untuk berpegang pada Allah
Hal kedua dari Petrus adalah, dia bukan sekadar tanggap, dia juga bersedia berpetualang. Dia bersedia mengambil resiko iman karena dia melangkah menuju hal yang tidak dia ketahui. Iman menuntut keberanian. Ketika Allah memanggil Abraham, dia tidak tahu kemana Allah akan mengutusnya. Dia berangkat tanpa tahu kemana arah tujuannya. Itulah keberanian iman. Melangkah bersama dengan Allah tanpa tahu apa yang akan dihadapi. Ini bukanlah iman yang buta. Ini bukan iman yang buta karena Anda mengarahkan pandangan Anda kepada Dia. Anda tidak tahu apa yang terdapat di masa depan, tetapi Anda tahu Siapa yang mengendalikan masa depan. Itulah iman.
Keberanian iman membuat kita teguh berpegang pada Allah. Keberanian iman berkata, “Jika demikian halnya, jika Engkau mengatakannya, maka aku akan melakukannya. Jika Tuhan berkata, ‘Datanglah,’ maka aku akan datang. Sekalipun aku tahu bahwa hal ini mungkin berbahaya.” Pikirkanlah keberanian yang dibutuhkan untuk melangkah ke air di tengah badai itu. Iman memang dibentuk oleh hal-hal semacam itu.
Petrus orang yang seperti itu. Dia adalah orang yang berani, mungkin bisa dikatakan orang bodoh yang berani. Namun itu adalah kelemahan sekaligus kekuatannya. Dan dia sangat diberkati. Dia selalu bersedia untuk berpetualang jika Yesus menyuruhnya. Dia adalah orang yang selalu ingin bersama dengan Yesus. Dia orang yang bersedia membayar harga tinggi untuk taat.
Ada sebagian orang yang ingin tahu kebenaran akan tetapi mereka tidak mau mengambil resiko. Tak akan ada penjelajah di dunia ini jika tak ada orang yang berani pergi melewati batas daerah yang mereka ketahui. Tak akan ada ilmu pengetahuan seperti yang sekarang ini jika tak ada orang yang berani bergerak melampaui batas pengetahuan yang mereka kenal. Anda menempuh resiko. Anda bertualang. Mungkin Anda harus mengeluarkan banyak uang dan tidak mendapatkan hasil apa-apa dari sana. Itulah resiko!
Penelitian ilmiah mengandung resiko yang besar. Untuk mencapai kebenaran, diperlukan kesediaan untuk mengambil resiko yang besar. Hasil yang didapat mungkin sangat berharga. Dan itulah yang disebut orang Kristen. Bagi Petrus, dia baru saja mengenal Yesus. Ada resiko yang ditempuh saat menapakkan kaki keluar perahu dan pergi mendapatkan Yesus. Dia kenal Yesus, tetapi dia belum cukup mengenalnya. Akan tetapi tingkat pengenalannya akan Yesus sudah cukup untuk memberanikan dia mempercayai ucapan Yesus, sekalipun hal itu melibatkan resiko menempuh keadaan yang baru, keadaan yang berbahaya.
Apakah Anda bersedia menempuh resiko demi kebenaran?
Sekarang tanyakan pada diri Anda: “Apakah Anda seorang yang tanggap? Apakah Anda jenis orang yang bersedia mengambil resiko untuk mengenal kebenaran?” Jika iya, berarti Anda adalah orang yang diberkati. Iman adalah keberanian untuk mengambil resiko dan berkata, “Ya Allah, jika itu kataMu, akan aku lakukan.” Itulah yang dilakukan oleh para manusia Allah yang perkasa. Mereka berpegang pada Firman yang disampaikan oleh Allah dan mereka mendapati bahwa Allah tak pernah gagal. Tak pernah gagal! Itu sebabnya saya berani menantang para mahasiswa yang skeptis itu. Saya berani membuat tantangan karena saya tahu, saya bukan sekadar percaya di dalam pengertian yang kabur, saya tidak sekadar mengkhayal, saya tahu bahwa Allah tak pernah gagal. Saya tantang mereka. Namun, mereka tidak berani menerima tantangan itu.
Tantangan yang sama saya berikan pada Anda sekarang. Jika Anda bersedia meresponi Firman Allah, jika Anda bersedia bertualang, maka sama halnya dengan Petrus, Anda akan tahu bahwa Firman Tuhan itu benar. Jika Anda adalah seorang non-Kristen, Anda mungkin merasa bahwa Anda sedang menempuh beberapa langkah yang gemetaran ke arah Tuhan. Jangan takut. Ambillah langkah-langkah itu. Dan jika Anda mulai tenggelam, Anda akan tahu bahwa Tuhan sangat baik, sangat bermurah hati. Dia tak akan membiarkan Anda langsung tenggelam ke dasar laut. Tidak sama sekali. Dia akan mengulurkan tangan-Nya dan mengangkat Anda. Dia akan berkata, “Mengapa kamu takut? Mengapa kamu ragu? Tidakkah kamu tahu bahwa aku setia pada firman-Ku? Mengapa kamu takut?”
Demikianlah, saya menghadapkan Anda dengan suatu tantangan dari perikop yang indah ini. Ketahuilah bahwa Allah itu baik. Anda mungkin berkata, “Yah, aku tidak yakin apakah yang kulakukan ini benar. Aku tidak yakin apakah aku cukup berani.” Jangan takut. Anda akan mendapati bahwa Allah sangat sabar dan sangat indah kasih-Nya. Anda tidak perlu takut untuk datang kepada Allah. Jadi, ulurkanlah tangan-mu dalam iman dan berpegang teguhlah kepada-Nya. Dan Anda akan mengerti apa yang telah saya sampaikan. Terimalah tantangan saya. Buktikan sendiri. Dan Anda akan tahu bahwa apa yang saya katakan itu benar: Allah tidak pernah gagal.