Pastor Eric Chang | Matius 15:1-9 | Markus 7:1-13 |

Kita akan melanjutkan uraian kita tentang pengajaran Yesus di Markus 7:1-13. Ayat-ayat yang sejajar dengan ini terdapat di dalam Matius 15:1-9, tetapi kita akan baca yang ada di Markus 7:1-13. Kita akan membahas apa pelajaran, pinsip rohani yang penting yang ingin disampaikan oleh Yesus melalui ayat-ayat ini.

Pada suatu kali serombongan orang Farisi dari Yerusalem datang menemui Yesus. Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh.  Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka; dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membasuh dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas perunggu serta tempat pembaringan. Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepadanya: “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” Jawab-Nya kepada mereka: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.  Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.  Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” Yesus berkata pula kepada mereka: “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri.

Bisakah Anda merasakan intensitas di dalam perikop ini? Ini adalah perikop yang sangat intens – intens karena cara Yesus menyampaikan kata-katanya dan juga suasana pada waktu itu juga tegang karena orang-orang Farisi sedang menentang Yesus. Mereka menentangnya karena dia tidak menuruti adat istiadat yang ditetapkan oleh para pemuka agama, para guru agama di Israel.

Apa pokok penting yang muncul dari perikop ini dan apa pelajaran rohani yang dapat kita tarik dari perikop ini? Hal apakah yang mau disampaikan oleh Yesus pada kita? Yesus mengucapkan sesuatu hal kepada orang-orang Farisi, tetapi kita bukanlah orang Farisi, setidaknya kita harap bukan. Karena itu kita merasa kata-kata itu bukan untuk kita. Anda mungkin berkata, “Yah, semuanya berkenaan dengan orang Farisi. Mari kita melanjutkan dengan ayat-ayat berikutnya.” Jangan terburu-buru. Yesus sedang menyampaikan sesuatu yang bernilai kekal karena ada satu prinsip kekal di sini.

Ada kekayaan makna di dalam perikop ini dan saya akan membagi uraian tentang ayat-ayat ini ke dalam dua sesi pembahasan. Sesi pembahasan pertama akan menguraikan tentang hubungan kita dengan Allah. Dan yang kedua akan menguraikan tentang hubungan kita dengan manusia.

Bagian yang kedua akan berkaitan dengan hal menghormati ayah dan ibu, bagaimanakah hubungan kita dengan orang tua kita menurut ajaran alkitabiah dan dari sana, bagaimana pula hubungan kita dengan orang lain, di tingkat lahiriah? Ada kesalahpahaman yang besar atau mungkin ketidaktahuan mengenai apa itu ajaran alkitabiah mengenai hubungan kita dengan orang tua kita. Dan karena gereja kita sebagian besar terdiri dari orang-orang muda, sangatlah penting bagi Anda untuk tahu bagaimana berperilaku sebagai seorang Kristen dalam hubungannya dengan orang tua Anda. Ketidaktahuan di bidang ini, bahkan di lingkungan para pendeta, sangat mengejutkan.

Sebagai contoh, seorang saudari ingin melayani Tuhan sebagai seorang misionaris. Orang tuanya bukan Kristen, suatu keadaan yang cukup lazim di belahan bumi sini. Dia mendatangi orang tuanya dan berkata, “Aku mau menjadi misionaris.” Menurut Anda, apakah yang akan dikatakan oleh kedua orang tuanya? “Oh, bagus sekali! Silakan, jadilah misionaris.” Tentu saja tidak. Orang tuanya berkata, “Tidak! Kamu tidak boleh menjadi misionaris.” Gadis ini tidak tahu apa yang harus diperbuat. Dia baru saja lulus sebagai perawat pada saat itu. Dia tidak tahu apa yang harus diperbuat, jadi dia mengunjungi pendeta dan bertanya, “Saya mau melayani Tuhan. Tuhan sudah memanggil saya akan tetapi orang tua saya tidak mengizinkan. Apa yang harus saya perbuat?” Apakah jawaban sang pendeta? Pendeta ini mengutip Perintah Kelima: Hormatilah ayahmu dan ibumu. Dia berkata, “jika orang tuamu tidak mengijinkanmu melayani Tuhan, janganlah melayani Tuhan.” Sampai dengan hari ini, dan ini sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun, dia tidak melayani Tuhan karena sang pendeta memberitahu bahwa dia tidak seharusnya melayani Tuhan, karena orang tuanya tidak setuju dia melayani Tuhan. Begitulah keadaannya. Sang pendeta mengira bahwa Perintah Kelima itu memberi arti bahwa gadis ini tidak boleh melayani Tuhan. Itukah yang diajarkan oleh Alkitab? Kita akan meneliti pertanyaan penting ini secara terperinci berdasarkan pengajaran yang alkitabiah di dalam dua sesi.

Namun hari ini, kita akan masuk ke aspek yang pertama dari perikop ini, yaitu aspek vertikalnya: hubungan kita dengan Allah. aspek yang lain adalah aspek horisontal: hubungan kita dengan orang tua kita dan sesama manusia. Saya juga ingin agar Anda perhatikan, sambil kita pelajari perikop ini, bahwa Yesus tidak sedang berbicara kepada orang non-Kristen, orang yang tidak percaya, orang yang tidak percaya kepada Allah. Dia sedang berbicara kepada orang-orang yang bukan saja religius, melainkan sangat religius. Akan tetapi Yesus tidak memuji mereka: “Memang benar apa yang dikatakan oleh Yesaya tentang kalian orang-orang munafik, mereka ini memuliakan Allah dengan bibir mereka tetapi hati mereka jauh dari-Nya. Pemahaman Alkitab kalian tidak membuat hati kalian lebih dekat dengan Allah, bukankah begitu? Kalian adalah para teolog akan tetapi apakah studi kalian tentang Firman Allah telah membawa hati kalian menjadi lebih dekat dengan Allah? Kalian menghormati Allah dengan bibir kalian, kalian menguasai seluk-beluk teologi, kalian tahu semua hal yang benar, tetapi hati kalian jauh dari Allah. Apakah yang kalian kerjakan sebagai pengajar Firman Allah? Kalian mengajarkan doktrin manusia sambil mengaku sedang mengajarkan Alkitab. Kalian seharusnya menjadi pengajar Firman Allah tetapi apa yang kalian ajarkan? Yang kalian ajarkan adalah doktrin perintah-perintah (precepts).” (kata ‘precept‘ secara harfiah berarti perintah, aturan, aturan yang dibuat oleh manusia, maknanya sama baik dalam bahasa Inggris maupun Yunani). Dan Anda berkata, “Ah, perikop ini tidak berkaitan dengan kami. Kami mengajarkan isi Alkitab. Bukankah demikian?”


Arti Kemunafikan

Inilah pokok yang akan kita teliti. Saya akan menguraikan pokok ini dengan tegas dan tanpa basa basi, sama seperti yang Yesus lakukan saat menguraikan persoalan kemunafikan. Kemunafikan terjadi saat seseorang mengira bahwa dia sedang mengajarkan Firman Allah padahal sebenarnya dia sekadar mengajarkan ajaran manusia. Dan tidak heran jika di zaman sekarang ini orang non-Kristen menatap orang Kristen dengan rasa jijik yang teramat sangat. Dan sama seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, dan saya ucapkan sekali lagi, bahwa simpati saya tertuju kepada orang non-Kristen. Gereja tidak layak dihormati. Di zaman ini, orang non-Kristen memang telah meremehkan Gereja.

Dan betapa sering Anda dan saya mendengar perkataan, “Di mana letak perbedaan antara seorang Kristen dengan saya? Dia berperilaku sama seperti saya, dia berpikir sama seperti saya, di mana letak perbedaannya dengan saya?” Dan terlalu sering, kita berada dalam posisi terpaksa berkata, “Benar juga. Saya tidak tahu di mana bedanya selain perbedaan nama. Saya juga tidak melihat adanya perbedaan yang mendasar.” Itulah kemunafikan. Kemunafikan adalah menghormati Allah dengan bibir kita, akan tetapi di dalam hidup kita, baik sengaja atau tidak sengaja, kita mempermalukan nama-Nya.

Jangan mengira bahwa kemunafikan adalah kepalsuan yang disengajakan. Di dalam Kitab Suci, perkaranya tidak selalu demikian. Kualitas seorang aktor bergantung pada seberapa tulus dia bisa berperan, seberapa baik dia bisa menyamakan diri dengan tokoh yang dia perankan. Semakin kurang ketulusannya di dalam menjalankan peranannya, semakin buruk aktingnya. Kemunafikan tidak bisa dipandang sebagai ketidak-sungguhan yang disengajakan. Tidak harus begitu. Dan jika Anda pelajari bagaimana pemakaian kata ‘munafik’ ini di dalam Alkitab, Anda akan bisa memahaminya dengan jelas.

Orang-orang Farisi tidak berpura-pura menjadi religius, mereka memang sangat religius. Mereka yang memahami latar belakang dan suasana kehidupan di zaman Perjanjian Baru tidak akan memandang orang-orang Farisi sebagai kumpulan orang yang tidak tulus. Akan tetapi, dan ini dia Masalahnya – mereka mengira bahwa mereka sedang menjalankan kehendak Allah padahal sebenarnya yang mereka kerjakan itu hanyalah kehendak mereka sendiri. Mereka telah menipu diri mereka sendiri. Dan tidak ada hal yang lebih menyedihkan dibandingkan dengan orang yang masuk dalam keadaan menipu diri sendiri.


Seorang Kristen memiliki cara berpikir yang sepenuhnya baru

Apakah perbedaan antara seorang Kristen dengan yang non-Kristen di dalam Kitab Suci? Apakah perbedaan itu hanya dalam bentuk Anda telah dibaptis dan yang non-Kristen belum dibaptis? Apakah perbedaan itu hanya dalam bentuk kepercayaan Anda pada beberapa hal yang telah terjadi sekitar 2000 tahun yang lalu di Galilea dan kebetulan mereka tidak percaya akan hal-hal tersebut? Hanya itukah perbedaannya?

Jika perbedaannya hanya itu saja, saya pikir tidak ada gunanya menjadi orang Kristen. Tidak peduli apakah Anda seorang Kristen atau bukan, karena satu-satunya perbedaan hanya dari segi nama saja. Mungkin perbedaannya juga adalah sebagian orang percaya bahwa beberapa peristiwa di masa lalu itu adalah peristiwa sejarah sementara sebagian yang lainnya tidak. Siapa yang mau jadi orang Kristen jika persoalannya hanya sebatas itu? Lebih baik Anda menjadi ahli sejarah saja. Di dalam Alkitab, perbedaan antara seorang Kristen dengan yang non-Kristen adalah perbedaan dalam bentuk cara berpikir yang sepenuhnya baru.


“Lahir kembali”: mengalami perubahan mendasar dan menjadi pribadi yang baru

Kaum Injili sering menggunakan istilah “lahir kembali”, tapi apakah yang sebenarnya mereka maksudkan? Mereka mengumbar istilah “lahir kembali.” Mereka bertanya, “Apakah Anda sudah dilahirkan kembali?” Dan sebagian orang menjawab, “Aku sudah dilahirkan kembali.” Apakah artinya itu? Apa maksud Anda ketika berkata bahwa Anda “dilahirkan kembali”? Saat Anda bertanya, “Apakah Anda sudah dilahirkan kembali?” Jawaban macam apakah yang Anda harapkan? Tahukah Anda hal apa yang sedang Anda tanyakan itu?

“Dilahirkan kembali” berarti Anda telah menjadi manusia baru. Menjadi manusia yang baru berarti Anda sekarang berbeda dengan diri Anda yang lama. Anda belum ‘dilahirkan kembali’ jika belum terjadi perubahan mendasar di dalam diri Anda.

Suatu hari pernah ada orang yang datang kemari dan berkata, “Aku percaya kepada Yesus, dengan begitu aku sudah dilahirkan kembali.” Anda mempercayai Yesus tidak selalu berarti bahwa Anda telah dilahirkan kembali. Tidak harus berarti seperti itu. Beberapa saat kemudian, sebelum saya memberi tanggapan, dia menggaruk-garuk kepalanya dan berkata, “Mungkin aku belum dilahirkan kembali.” Nah, pada akhirnya dia sendiri tidak tahu apakah dia sudah ‘dilahirkan kembali’ atau belum karena dia tidak tahu apa itu ‘dilahirkan kembali.’ Itu adalah tragedi. Tahukah Anda apakah Anda sudah ‘dilahirkan kembali’? Atau, apakah Anda akan berkata, “Aku sudah dilahirkan kembali karena aku percaya kepada Yesus?”

Percaya kepada Yesus tidak selalu berarti bahwa Anda sudah ‘dilahirkan kembali’. Anda tahu bahwa setan juga percaya kepada Yesus. Mereka percaya kepada Yesus jauh melebihi Anda dan saya karena mereka tahu persis bahwa Dia itu nyata. Mungkin Anda tidak yakin akan tetapi mereka sangat yakin. Apakah Anda berpikir bahwa semua setan itu ‘dilahirkan kembali’? Tentu saja tidak. Itulah yang disebutkan dalam Yakobus 2:19, “Kalian percaya kepada Allah? Baguslah. Setan juga percaya kepada Allah. Dia mempercayai Allah lebih daripada kalian.”

Lalu apa bedanya dengan dia? Kepercayaan itu tidak menyelamatkannya. Persoalannya bukan pada apakah Anda percaya kepada Yesus melainkan bagaimana cara Anda mempercayai Yesus. Dan apakah kepercayaan kepada Yesus itu melibatkan komitmen total kepada Dia yang menghasilkan transformasi di dalam hidup Anda, di mana Roh Allah masuk ke dalam hidup Anda dan menjadikan Anda orang yang berbeda dari sebelumnya. Jika Anda tidak berbeda dari sebelumnya, lalu bagaimana Anda bisa berkata bahwa Anda adalah ciptaan yang baru?


Perubahan di dalam cara berpikir dan berperilaku

Apakah tanda dari orang yang sudah diubah? Hal pertama yang langsung Anda lihat adalah cara berpikirnya yang sudah berubah sepenuhnya. Dia tidak berpikir sebagaimana dulunya. Jika Anda masih berpikir dengan cara yang sama seperti sebelumnya, lantas apanya yang baru dari Anda? Tata rambut Anda? Dasi yang baru? Apa yang baru? Jika kita katakan bahwa seseorang itu adalah manusia baru, menurut Kitab Suci itu berarti bahwa cara Anda berpikir sudah berbeda sepenuhnya. Itulah yang dikatakan oleh rasul Paulus di Roma 12:2. Dia berkata kepada jemaat di Roma, “Jika Anda berkata bahwa Anda adalah orang Kristen, maka seharusnya itu berarti bahwa cara berpikir Anda telah diubah. Berubahlah di dalam pembaruan akal budi Anda. Akal budi Anda sudah berubah. Anda berpikir dalam cara yang berbeda.

Jika cara berpikir Anda belum berubah, lalu apanya yang baru dari Anda?” Saat kita telah diubah, maka itu berarti bahwa cara berpikir kita telah sepenuhnya berubah yang berhujunga pada perilaku yang diubahkan. Orang akan melihat Anda dan berkata, “Ada sesuatu yang berbeda dari orang ini. Aku kenal orang ini dulunya tetapi dia sekarang berbeda. Sesuatu telah berubah. Ada perubahan yang mendasar dalam diri orang ini.” Namun apakah Anda melihat ada perubahan tersebut di dalam diri banyak orang yang menyebut dirinya Kristen? Atau, apakah Anda sudah melihat perubahan itu dalam cara Anda berperilaku terhadap orang lain, terhadap istri, suami, anak-anak atau teman-teman Anda? Apa perbedaan yang muncul di dalam keadaan Anda sebagai seorang Kristen?


“Orang Kristen” yang belum “dilahirkan kembali” tidak merasa punya jaminan

Ada banyak orang Kristen di mana-mana, dan mereka belum berubah sama sekali. Hal yang menyedihkan adalah bahwa mereka mengira sudah ‘dilahirkan kembali’ dan bahwa mereka akan masuk ke surga. Dan jika Anda katakan kepada mereka, “Jangan terlalu yakin,” mereka akan berkata, “Ah! Kamu mengusik rasa aman kami!” Jika Anda sangat yakin bahwa Anda sudah ‘lahir kembali’, maka tak seorangpun yang akan bisa mengusik rasa aman Anda. Jika saya bertanya kepada Anda, “Sudahkah kamu dilahirkan? Mungkin kamu belum dilahirkan.” Lantas Anda berkata, “Karena Anda mempertanyakan kelahiran saya, maka sekarang saya tidak yakin apakah saya ini hidup atau tidak sekarang ini. Anda telah mengusik rasa aman saya akan keselamatan saya. Saya merasa menjadi orang malang yang selalu bimbang. Saya akan mengalami kehancuran mental karena saya menjadi tidak yakin apakah saya ini sudah dilahirkan atau belum.” Kalau kita sudah dilahirkan, kita akan tahu. Tidak ada hal yang bisa menggoyahkan keyakinan Anda akan hal itu.

Anda tahu bahwa sesuatu telah terjadi di dalam diri Anda. Jika orang datang dan bertanya kepada Anda, “Apakah Anda yakin bahwa Anda telah lahir kembali?” Anda tidak akan menjawab, “Yah, saya tidak yakin apakah saya telah dilahirkan kembali.” Jika demikian halnya, berarti Anda bukan seorang Kristen. Anda tidak memiliki jaminan kepastian itu, bukankah demikian? Sangat menyedihkan. Di zaman sekarang ini, orang-orang Kristen hidup di dalam ketidak-yakinan yang parah, sehingga mereka memerlukan segala macam doktrin hasil ciptaan mereka untuk bisa merasa yakin. Sungguh menyedihkan!


“Aku yakin karena Allah telah mengerjakan sesuatu hal di dalam diriku”

Namun setiap orang yang benar-benar telah dilahirkan kembali, yaitu yang telah diubah oleh kuasa Roh, sangat yakin. Tidak ada satupun hal yang bisa Anda ucapkan untuk menggoyahkan keyakinannya. Tidak ada yang dapat menggoyah keyakinan saya. Apakah karena saya sangat percaya diri? Tentu saja tidak. Karena saya tahu bahwa di tengah ketidak-layakan saya, Allah telah mengerjakan sesuatu di dalam diri saya. Saya tidak bisa menjadi sama seperti yang dulu lagi karena Allah telah mengerjakan sesuatu di dalam diri saya. Saya tahu bahwa Dia telah mengerjakan sesuatu di dalam diri saya. Saya tidak memerlukan segala macam doktrin tentang jaminan keselamatan untuk membuat saya merasa nyaman. Saya tidak butuh itu semua. Perbedaan antara orang Kristen dengan yang non-Krsiten adalah perbedaan antara menjadi ciptaan baru atau bukan. Bukan sekadar persoalan percaya pada sesuatu hal, menerima sesuatu hal sebagai fakta sejarah atau tidak. Ini adalah masalah jati diri. 


Manusia mengambil pikiran Allah dan menduniawikannya (humanize it)

Namun masalahnya jadi semakin dalam. Secara sederhananya, persoalan itu adalah: manusia memiliki kecenderungan untuk mencemari semua yang telah disampaikan dan dikerjakan oleh Allah. Inilah inti dari perikop tersebut jika Anda bisa menangkap prinsip rohani yang satu ini. Manusia mengambil semua yang ilahi itu dan menjadikannya duniawi. Ditariknya semua yang berasal dari Allah itu dan diturunkan sampai ke tingkatan dirinya sendiri. Allah berkata, “JalanKu bukanlah jalanmu. JalanKu jauh di atas jalan-jalanmu.” Dan kita tidak suka dengan hal-hal yang ‘jauh di atas jalan-jalan kita’ ini, dan apa yang kita perbuat? Kita tarik jalan Allah dan menurunkannya ke tingkatan kita. Kita menurunkan pikiran Allah ke tingkatan kita. Kita menduniawikannya supaya lebih mudah kita terima karena begitu tingginya jalan-jalan pikiran itu di dibandingkan dengan jalan-jalan pikiran kita. Kita menurunkannya karena ia membuat kita merasa tidak enak.

Pernahkah Anda menduniawikan Firman Allah, menurunkannya ke tingkatan Anda, mengkorupsinya, walau tidak selalu dalam kesengajaan? Inilah poinnya. Yaitu kecenderungan manusia untuk merendahkan, mengencerkan Firman Allah. Entah secara sengaja ataupun tidak (kebanyakan justru tidak disengaja), Anda mendapati bahwa Anda sedang melakukan hal ini. Pernahkah Anda meneliti ayat-ayat yang sukar diterima? Sangat sulit bagi Anda untuk menerimanya, lalu apa yang Anda lakukan? Yah, Anda mengencerkannya, dan ketika Anda selesai melakukan itu, Anda telah mencabut semua duri dari dalam ayat-ayat tersebut, pernahkah Anda melakukannya? Saya melihat banyak penafsir Alkitab melakukannya. Saya dengar para pendeta melakukannya. Ayat-ayat ini sangat tidak nyaman di hati, jadi apa yang akan kita perbuat? Kita berkata, “Oh, bukan begitu maknanya.” Lalu kita menetapkan sendiri apa yang menjadi maknanya dan apa yang bukan maknanya.


“Juallah segala milikmu…,” itu hanya berlaku untuk zaman Yesus saja?

Saya bisa memberi Anda sebuah contoh ayat untuk menunjukkan apa yang saya maksudkan. Di Matius 19:21 (//Lukas 12:33), Yesus berkata kepada murid-muridnya, “Pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, …, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Oh, tetapi Yesus tidak benar-benar bermaksud seperti itu. Tidak bisa. Kita telah menetapkan apa yang boleh dia maksudkan. Dia tidak mungkin bermaksud seperti itu. Mengapa tidak? Pernahkah terlintas di dalam benak Anda mengapa dia tidak mungkin bermaksud seperti itu?

Demikianlah, otak para penafsir Alkitab mulai bekerja. Lalu apa yang dimaksudkan oleh Yesus? Oh, itu hanya mengacu pada kedua belas rasulnya. Sayang sekali, dia tidak sedang berkata kepada kedua belas rasul itu, dia sedang menyampaikan itu kepada murid-muridnya. “Pergilah, juallah segala milikmu.” Yah, mestinya ucapan ini hanya berlaku pada periode khusus di dalam sejarah Gereja. Tidak mengacu pada Gereja secara umum, tetapi hanya pada masa itu saja. Baiklah. Lantas jika kita menerapkan prinsip yang sama, lalu mengapa hal-hal lain yang berlaku pada masa itu berlaku pada diri kita juga? Tak ada jawaban juga terhadap pertanyaan ini.

Yah, tetap saja Yesus tentunya tidak bermaksud seperti itu. Dia tidak mengecam pemilikan pribadi, bukankah begitu? Zakheus masih boleh memiliki harta benda. Jika Anda tanyatakan apa yang tersisa pada Zakheus setelah dia mebayar semua hutangnya, pada akhirnya ia tidak punya terlalu banyak yang tersisa.

Bagaimana dengan Nikodemus? Nikodemus adalah orang kaya, benar tidak? Ya, tapi dia adalah murid yang masih menutupi jati dirinya. Dia belum terang-terangan menyatakan diri sebagai murid.

Demikianlah, pada akhirnya, segenap upaya dilancarkan karena kita tidak sanggup menerimanya. Menjual segala yang kita miliki? Maksud saya, coba pikirkan $500 yang saya miliki di bank. Saya bahkan tidak bisa memiliki yang $500 itu lagi. Tak sanggup saya memikirkannya! Kita tidak mau berhadapan dengan Firman Allah. terlalu sukar bagi kita.


“Pikullah salibmu dan ikutlah Aku” berarti menghadapi masa sulit?

Pikullah salibmu dan ikutlah Aku.” Oh, itu adalah ayat lain yang menyangkut di tenggorokan saya! Apa arti “pikullah salibmu dan ikutlah Aku” itu? Mari kita coba jelaskan sedikit hal ini. “Pikullah salibmu” berarti saya harus menghadapi ayah dan ibu mertua saya. Merekalah salib yang harus saya pikul. Pernahkah terlintas di benak Anda bahwa ‘pikullah salibmu’ itu berarti mati? Oh, mati! Tidak, tidak. Tidak mungkin bermakna seperti itu. Ayat itu bukan bermaksud kita dipanggil untuk menjadi martir. Demikianlah, Firman Allah menjadi tak tertanggungkan bagi kita. Kita tidak tahan. Jadi, lupakan saja apa yang pernah Yesus ucapkan.


Kita berkata, “Paulus lebih moderat, Yesus agak ekstrim di dalam pengajarannya.”

Mari kita beralih ke Paulus. Paulus tidak menyampaikan hal-hal yang semacam ini. Saya jauh lebih suka dengan Paulus. Paulus lebih moderat. Yesus agak ekstrim di dalam pengajarannya. Oh, saya tidak akan menyampaikan hal ini secara terbuka dan nyaring, melainkan di dalam hati saya menilai Dia agak ekstrim. Paulus begitu intelektual, dia sangat moderat.  Tapi saat kita membaca Filipi, kita menemukan ucapan Paulus yang membuat kita tidak nyaman. “Semuanya kuanggap sampah demi Kristus.” Oh! Itu hanya sebuah pernyataan yang menyimpang. Jika Paulus memandang segala sesuatunya sebagai sampah demi memperoleh Kristus, tentunya dia menjadi satu-satunya orang bodoh di sekitar kita. Saya tidak perlu kehilangan segala sesuatunya untuk memperoleh Kristus, tetapi dia harus kehilangan segala sesuatunya demi memperoleh Kristus. Artinya, kita ini entah sedang berlayar di kapal yang berbeda dengannya, atau mungkin kita tidak mengerti bahasanya. Atau mungkinkah saya sedang berada di sisi yang salah? Oh tidak, bukan kita yang salah tempat. Coba lihat orang-orang Kristen yang lainnya. Tak satupun dari mereka yang mengartikan seperti itu. Jadi, tentunya Paulus sedang bermaksud menyampaikan makna yang berbeda, benar bukan?

Saya menyampaikan hal ini sekadar untuk memberi Anda contoh tentang bagaimana kita melatih mental kita untuk menurunkan secara paksa Firman Allah karena telah membuat kita merasa tidak enak. Anda tentu tahu maksud saya, bukankah demikian? Tentunya Anda telah mempelajari isi Alkitab sama seperti yang saya lakukan. Dan saya telah membacanya, dan memang sangat membuat saya merasa tidak nyaman. Apakah Alkitab belum membuat Anda merasa tidak nyaman? Jika belum membuat Anda merasa tidak nyaman, mungkin Anda belum membaca isi Alkitab.

Mungkin Anda sedang membaca buku yang lain, misalnya Streams in the Desert (Sungai di Padang Pasir), yang memang membuat Anda merasa sangat nyaman. Lagi pula, memang diharapkan ada sungai di gurun pasir; bukannya badai panas di gurun pasir. Jangan salah sangka. Ada saatnya bagi kenyamanan dan kadang-kadang, ada tempatnya juga untuk membaca Streams in the Desert. Tapi jangan biarkan satu buku pun menggantikan Firman Allah. Kembalilah ke Firman Allah, jika tidak, Anda mungkin akan kembali lagi mencomot janji-janji manis yang indah di dalam Alkitab dan lupa pada persyaratannya. Dan Anda mencoba mengklaim janji-janji itu tapi tak ada sesuatu hal yang terjadi, lalu Anda heran ada apa dengan Firman Allah ini. Anda mungkin berkata, “Alkitab ini bohong. Aku mengklaim janji-janjinya namun tak ada hal yang terjadi.” Ingatlah bahwa tak ada janji yang tidak bersyarat. Jadi, tepatnya, inilah hal yang sedang dibahas oleh Yesus kepada kita: kita cenderung mengambil perintah-perintah Allah, dan ketika kita selesai menduniawikannya, perintah-perintah itu menjadi tidak sama lagi dengan apa yang telah Allah sampaikan sebelumnya.


“Hiduplah di dalam kekudusan di hadapanKu” diturunkan menjadi upacara pembasuhan cawan, pakaian dan tangan

Lalu apa yang diperbuat oleh orang-orang Yahudi? Allah berkata, “Hiduplah di dalam kekudusan di hadapan-Ku.” Apa kata para tua-tua? Basuhlah cawan dan tatakannya. Basuhlah tanganmu. Sekali waktu, basuhlah pakaianmu juga. Oh, jadi mungkin itulah uraian tentang kekudusan. Lalu apa maksud dari pembasuhan menurut mereka? Tentu saja, itulah pemahaman tentang kekudusan. Kekudusan diturunkan nilainya menjadi semacam upacara. Bukannya menjalani hidup kudus di hadapan Allah, yang berisi tuntutan serta pengorbanan yang besar, kita malah sibuk membasuh peralatan makan, mangkok dan panci! Itu lebih sesuai dengan tingkatan kita, benar bukan? Kita memang tidak suka banyak cucian akan tetapi hal ini jauh lebih gampang daripada menjalani hidup yang kudus. Oh, kita sangat ahli dalam berolah mental atas Firman Allah.

Dan orang-orang Farisi serta ahli Taurat juga tidak terkecuali. Itulah yang mereka perbuat, yaitu seperti yang dijelaskan Markus di ayat 3. Mengapa mereka sibuk mengurusi hal pembasuhan peralatan makan dan tangan? Karena Allah berkata, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.” Orang-orang Farisi menetapkan bahwa kekudusan itu harus dijadikan hal yang praktis, dan apakah makna kekudusan yang praktis itu? Yah, kekudusan yang praktis berarti sebelum Anda makan, basuhlah tangan Anda. Tentu saja, sekadar membasuh tidaklah cukup bagi mereka, karena mereka sangatlah teliti dan cerewet mengenai hal-hal keagamaan. Anda hanya perlu membaca Mishnah (kumpulan tulisan para guru agama di Israel) untuk melihat apa artinya mengikuti adat istiadat itu. Mengikuti adat istiadat berarti Anda harus meluruskan jari-jari tangan Anda ke atas dan airnya lalu dituangkan – seukuran 1 log, sekitar 1/10 liter. Dan air sebanyak 1/10 liter itu, yang merupakan ukuran minimum (jadi Anda harus teliti dalam mengukur airnya), dicurahkan ke atas tangan Anda. Tangan Anda tidak boleh mengarah ke bawah karena jika tangan Anda terjulur ke bawah, maka airnya akan mengalir dari punggung tangan ke ujung jari, dan akan membawa kotoran ke ujung jari Anda. Yang terpenting adalah mengarahkan tangan Anda ke atas sehingga air yang dicurahkan ke tangan Anda akan mengalir dari ujung jari sampai ke tanah. Anda mungkin berkata, “Wah, ini berlebihan. Saya kira Anda akan membahas tentang hal kekudusan tetapi yang Anda uraikan justru pelajaran membasuh tangan.” Itulah adat istiadatnya.

Kita tidak sanggup berurusan dengan kekudusan tetapi kita masih bisa mengurusi pembasuhan tangan. Demikianlah, kita telah menurunkan makna kekudusan menjadi pembasuhan tangan. Sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya, hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan kebersihan. Sedikit curahan air memang membantu kebersihan, tetapi para murid tidak disalahkan karena melanggar kebersihan. Apakah mereka dituduh melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh Allah? Tidak, melainkan yang ditetapkan oleh para ahli Taurat, para rabi. Itulah adat istiadat. Kita telah menarik hal-hal yang mulia dari Allah dan menurunkannya menjadi sesuatu yang menggelikan.


“Kuduskanlah hari Sabat” direndahkan menjadi aturan batas jarak tempuh

Perintah Allah berkata, “Kuduskanlah hari Sabat.” Orang-orang Farisi berkata, Anda tidak boleh berjalan lebih dari 1350 yard di hari Sabat. Itulah artinya menguduskan hari Sabat. Anda berkata, “Ini menggelikan!” Pernahkah Anda dengar tentang aturan perjalanan di hari Sabat: tiga per empat mil? Anda tidak boleh melangkah lebih dari jarak itu dan jika lebih berarti Anda tidak menguduskan hari Sabat. Akan tetapi jika Anda berjalan sampai jarak kurang selangkah dari batas tersebut, berarti Anda menguduskan hari Sabat. Anda berkata bahwa ini keterlaluan. Akan tetapi itulah yang kita perbuat.

Inilah prinsip yang sedang disampaikan oleh Yesus kepada kita – bahwa kita selalu menurunkan derajat Firman Allah. Tak heran jika Paulus berkata, “Itu sebabnya nama Allah dihujat oleh bangsa-bangsa asing, yaitu karena kamu. Kamu telah mempermalukan nama Allah.” Allah berkata, “Kamu harus mengikatkan hukumKu di hati dan pikiranmu. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan pikiranmu.” Demikianlah, orang-orang Farisi lalu mengikatkan phylacteries di dahi dan di lengan mereka. Phylacteries adalah semacam tabung yang dibuat dari gulungan perkamen yang berisi 4 miniatur lembaran 4 ayat dari Hukum Taurat yaitu percaya kepada satu Allah dan untuk mengasihi-Nya dan untuk tidak menyembah allah yang lain.

Ada gereja di zaman sekarang ini yang menyatakan bahwa kekudusan itu tidak perlu bagi keselamatan. Allah berkata, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.” Tetapi kita berkata, “Kekudusan itu tidak penting bagi keselamatan.” Bisa saya katakan bahwa Gereja sekarang sama beraninya, bahkan mungkin lebih berani lagi, dibandingkan dengan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Tindakan ini sudah mencapai titik yang mencengangkan! Saya nyaris tidak percaya ketika mendengarkan beberapa pendeta mengkhotbahkan hal itu. Apakah kekudusan itu hal yang mendasar bagi keselamatan? Tidak, hanya iman yang merupakan unsur mendasar bagi keselamatan, kekudusan tidak penting. Demikianlah, Gereja menetapkan bahwa kekudusan itu tidak penting. Tapi apakah ini yang dikatakan oleh Kitab Suci?


Manusia menyingkirkan otoritas dari Firman Allah

Di Markus 7:13, Yesus berkata,

“Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu.”

Kata yang diterjemahkan dengan nyatakan tidak berlaku itu di dalam bahasa Yunaninya berarti menyingkirkan otoritas. “Kamu telah menyingkirkan otoritas dari Firman Allah”. Ini adalah penyangkalan terhadap kedaulatan Allah. Saya akan lanjutkan dengan memberi Anda beberapa contoh.

Saya akan berikan Anda beberapa hal yang untuk direnungkan. Mari kita ambil beberapa contoh yang sepele, yaitu sepele dari sisi luarnya, akan tetapi serius di dalam masalah prinsipnya, dan akan kita lanjutkan dengan contoh-contoh yang lebih serius nantinya. Beberapa tahun yang lalu, untuk pertama kalinya saya mendengar ada orang yang berdoa dan menyapa Allah dengan kata “kamu (you)”. Saya selalu berdoa dengan memakai kata “thee (kamu, dalam bahasa Inggris kuno, yang dianggap lebih sopan)” dan “thou (artinya sama dengan thee)”, “thou comest (kamu datang)” dan “to thee (kepadamu)”, dan yang sejenisnya. Tiba-tiba ada orang yang memakai kata “you (kamu)”! Saya sangat terkejut. Berani sekali Anda memakai kata “you (kamu)” saat menyapa Allah? Tak terbayangkan. Maksud saya, kita hanya boleh menyapa Allah dengan kata  “thou (kamu, dalam bentuk yang lebih sopan)” dan “thee (sama dengan thou)”, tetapi orang yang kurang sopan ini memakai kata “you (kamu)”. Sungguh tidak tahu diri!

Lalu saya putuskan, sebelum saya terlanjur marah, untuk mempelajari Kitab Suci. Mempelajari Kitab Suci adalah hal yang sangat baik untuk dikerjakan. Kemudian saya mencari kata Yunani untuk kata “you (kamu)” dan sungguh mengejutkan, saya mendapati bahwa di dalam naskah Yunaninya ternyata yang dipakai adalah kata yang memang berarti “you (kamu)” begitu saja. Tidak ada dua macam kata yang akan berarti “you (kamu)” di dalam bahasa Yunani. Di dalam bahasa Jerman ada dua macam kata yang bisa dipakai, untuk bentuk yang sopan digunakan kata sie dan untuk bentuk yang umum dipakai kata du. Di dalam bahasa Perancis juga ada dua kata yaitu vous dan tu. Namun di dalam bahasa Inggris, tidak ada pembedaan semacam itu, demikian pula di dalam bahasa Yunani, tidak ada bentuk yang umum dan bentuk yang sopan. Dengan kata lain, dengan terkejut saya mendapati bahwa, di dalam Alkitab, Allah disapa dengan istilah “you (kamu)” begitu saja, sama seperti sapaan terhadap orang lain! Setelah pulih dari rasa terkejut, dan setelah merenungkan posisi yang didukung oleh Kitab Suci, saya memutuskan bahwa karena sapaan itu memang alkitabiah, maka saya akan memakainya. Demikianlah, ketika saya berdoa dan mengucapkan kata “you (kamu)”, pada mulanya terasa agak sulit karena saya nyaris saja mengucapkan, “you comest (campuran bahasa Inggris baru dan kuno, yang berarti ‘kamu datang‘)”. Saya lupa bahwa bahasa campuran semacam itu tidak lazim, yang lazim adalah “you come (=kamu datang, dalam bahasa Inggris yang baru semuanya)”.

Demikianlah, saya mengucapkan kata “you (kamu)” di dalam doa saya. Wow! Hal itu membangkitkan kecaman terhadap saya karena orang-orang yang sangat religius, seperti saya tadinya, segera saja protes. “Huh! Kurang ajar sekali Anda menyapa dengan kata ‘you’ kepada Allah?” Tadinya, reaksi saya sendiri juga begitu. “Anda telah merendahkan nama Allah! Anda tidak boleh berlaku seperti itu.” Lalu saya katakan kepada mereka, “Selidiki saja Kitab Suci.” Akan tetapi reaksi mereka berbeda. Mereka tidak mau menyelidiki Kitab Suci. Mereka tidak mau tahu. Sungguh lucu. Tadinya saya kira mereka tinggal di dalam Firman Allah, tetapi mereka tidak peduli pada apa yang dikatakan oleh Firman Allah. Tradisi kita menuntut agar kita menyapa dengan kata ‘thou (kamu, dalam bahasa Inggris kuno)’ dan itulah yang kita jalankan. Kemudian saya berkata, “Sayang sekali, saya akan memakai kata ‘you’ karena saya tidak berminat dengan tradisi kalian. Saya lebih berminat pada Firman Allah.” Itu sekadar contoh yang sepele. Apakah memang sepele? Pada awalnya, tidak sepele bagi saya.

Contoh ini menunjukkan satu prinsip bahwa tak peduli apa yang diajarkan oleh Firman Allah, kita malah berpegang teguh pada tradisi kita. Dan saya sampai sekarang masih mendengar orang yang tetap memakai bahasa Inggris zaman Raja James, yang berdoa dengan kata-kata, “thou” dan “thee“. Cobalah bayangkan Anda berdoa dengan memakai kata-kata “thou comest (kamu datang)” dan “thou doest (kamu perbuat)” dan sebagainya. Coba bayangkan seseorang yang berbahasa Inggris saja sudah susah, namun dia berusaha memakai bahasa Inggris zaman Raja James. Dan hasilnya adalah doa itu akan terdengar seperti lawakan yang menghibur disaat dia selesai dengan doanya.

Namun, apa maksud dari contoh ini? Entah seseorang akan memakai kata ‘thou’ atau ‘thee’ bukanlah urusan saya. Jika dia ingin terus memakai kata-kata tersebut, silakan saja, tetapi jika dia mulai mengecam orang lain yang memakai kata ‘you’, maka ini adalah hal yang aneh karena dia harus membuktikan bahwa apa yang dia perbuat itu alkitabiah. Karena apa yang saya perbuat ini memang alkitabiah; dan apa yang dia kerjakan itu tidak alkitabiah. Jadi dia tidak berhak mengecam orang lain. Anda lihat, ada hal aneh yang terjadi dan ini adalah poin lain yang akan kita amati sesaat lagi. Mereka yang berperilaku tidak alkitabiah selalu bersikap menyerang mereka yang bertindak alkitabiah, selalu menuntut agar yang alkitabiah ini berubah atau akan dikucilkan, akan ditendang keluar dan sebagainya.


Mishnah berkata: perkataan ahli Taurat memiliki kewenangan yang melebihi Hukum Taurat Allah

Demikianlah, para murid yang lugu ini makan tanpa melakukan pembasuhan tangan, dan dituduh telah melanggar adat istiadat nenek moyang. Lebih dari itu, dan begitu situasi ini mulai muncul, ia akan membesar seperti luncuran bola salju. Tahukah Anda bahwa di dalam Mishnah kita bisa temukan pernyataan bahwa ajaran para tua-tua, para ahli kitab, lebih berwenang daripada Alkitab itu sendiri? Lihatlah, begitu Anda memulai proses semacam ini, ia tidak akan berhenti.

Di zaman sekarang, apa yang diucapkan oleh Calvin tampaknya lebih berkuasa daripada apa yang diucapkan oleh Yesus di mata pengikut Calvin. Tampaknya, tidak menjadi soal apakah Yesus pernah memerintahkan sesuatu hal, yang penting Calvin sudah mengucapkannya. Sungguh menakutkan! Dan sebagian dari mereka, tidak semuanya, menuduh beberapa dari kami sebagai pihak yang tidak alkitabiah. Mereka tidak bisa menyalahkan kami atau membuktikan bahwa apa yang kami ajarkan ini tidak alkitabiah, akan tetapi tuduhannya adalah bahwa kami tidak mengajarkan apa yang diajarkan oleh Calvin, atau juga tokoh reformis yang lainnya. Ini benar-benar menunjukkan bahwa kita telah mencapai tahap yang sama dengan orang-orang Farisi serta para ahli Taurat itu.

Saya sedang menyegarkan ingatan saya tadi pagi dengan membaca Mishnah. Jika Anda baca Mishnah, pada bagian Sanhedrin, seksi 11 paragraf 3, Anda akan lihat bahwa mereka menyatakannya hitam di atas putih bahwa apapun yang disampaikan oleh ahli Taurat lebih berkuasa dibandingkan Hukum Taurat Allah. Artinya, jika seseorang melanggar ajaran Kitab Suci, hal itu tidak jadi masalah. Tetapi jika dia melanggar ajaran ahli Taurat, tidak akan ada pengampunan buat dia. Saya nyaris tidak percaya pada mata saya sendiri ketika membaca hal ini!

Namun itulah yang terjadi saat ini. Di zaman sekarang ini, di banyak gereja, perkaranya akan menjadi lebih berat jika Anda melanggar ajaran dari tokoh ini atau itu dibandingkan jika Anda melanggar ajaran Kitab Suci. Benar-benar terjadi. Saya tahu ini dari pengalaman sendiri. Kita telah menurunkan derajat Firman Allah. Kita telah mengambil perintah serta ajaran manusia untuk menggantikan ajaran Allah. dan seperti yang sudah saya sampaikan pada kesempatan yang lain, bagi sebagian orang, merokok, minum anggur, menonton bioskop adalah pelanggaran yang lebih berat ketimbang perlakuan yang menyakiti hati tetangga. Aneh, bukankah begitu? Betapa kita telah menyelewengkan Firman Allah!

Saya tidak mendukung kebiasaan merokok. Saya juga tidak mendukung mabuk-mabukan. Saya tidak mendukung semua itu, akan tetapi kita harus tetap berada dalam pemahaman yang benar tentang apa makna menjadi orang Kristen itu. Menjadi seorang Kristen bukan sekadar masalah tidak merokok, tidak minum minuman keras, menonton bioskop ataupun berdansa dan sebagainya. Makna menjadi seorang Kristen adalah mengalami perubahan akal budi, ditransformasikan.


Kita mengikuti cara dunia

Mari kita renungkan kasus-kasus berikutnya. Kami para pendeta ini menerima kiriman buletin yang tak putus-putusnya dari berbagai sekolah Alkitab dan seminari. Dan pada waktu-waktu sekarang ini, ini adalah masa wisuda, dan buletin-buletin kiriman dari berbagai sekolah Alkitab serta seminari itu selalu berisi gambar orang-orang yang mengenakan toga berikut topi segi empatnya, dengan tali kuncir di salah satu ujungnya. Ijinkan saya bertanya kepada Anda, bukankah dunia telah merayap masuk ke dalam Gereja, mempengaruhi cara berpikir serta tindakannya di dalam segala hal? Boleh saja sekolah tinggi dan universitas menyuruh para wisudawannya mengenakan toga atau apapun itu, tetapi haruskah Gereja meniru dunia? Itulah pertanyaan saya. Haruskah? Jawaban dari kebanyakan orang adalah ya. Saya kira menjadi seorang Kristen berarti Anda berperilaku berbeda dari dunia, Anda tidak meniru semua tampilan kemuliaan yang lahiriah itu. Akan tetapi hal ini tampaknya tidak menjadi pemikiran kebanyakan orang Kristen. Apakah Anda berpikir seperti itu? Mungkin tidak. Mungkin Anda termasuk yang berpikir bahwa orang Kristen perlu masuk sekolah Alkitab dan diwisuda dengan mengenakan toga dan meniru kebiasaan orang dunia? Maksud saya, kita tidak bisa mengubah aturan di universitas, akan tetapi kita juga tidak perlu menyuruh sekolah Alkitab meniru kebiasaan mereka. Mengapa sekolah-sekolah Alkitab itu tidak mewisuda lulusannya dengan berlutut bersama di hadapan Tuhan, dengan meluangkan waktu untuk menyembah dan berdoa daripada mengenakan toga dan menerbitkan ijazah seperti yang dilakukan oleh sekolah dunia? Sangatlah penting bagi kita untuk tidak menjadi sama dengan dunia.

Akan tetapi begitu mendalamnya keterlibatan kita dengan kebiasaan dan cara berpikir dunia sehingga hal ini bahkan tidak menyentak hati kita. Sadarkah Anda bahwa ijazah dari kebanyakan sekolah Alkitab itu sama sekali tidak memiliki nilai akademis di mata berbagai lembaga akademis yang terpandang di dunia ini? Bawalah ijazah itu dan pergilah ke sebuah lembaga akademis yang terpandang, lihat apakah ijazah itu akan diakui atau tidak. Silakan mencoba dan lihat sendiri hasilnya. Saya tahu bahwa tak satupun lembaga pendidikan di Inggris yang mau mengakui ijazah tersebut, bahkan memberi nilai dua kredit pun tidak. Saya tahu ini dari pengalaman. Ijazah ini tidak memiliki nilai kredit di bidang akademis di mata lembaga-lembaga pendidikan yang terpandang itu. Lalu apa gunanya ijazah itu? Tampaknya, ijazah ini diterbitkan supaya kita bisa membual dan mengira bahwa kita ini orang hebat. Atau, jika dunia berhak melakukannya, maka kita juga berhak melakukannya. Namun apakah Anda pikir Allah peduli dengan ijazah Anda? Apakah itu penting? Penting bagi manusia; tidak penting bagi Allah. Jika tidak penting bagi Allah, lalu mengapa Anda jalankan? Bukankah karena Anda ingin mencari pengakuan dari manusia? Pasti. Jika bukan untuk mencari pengakuan dari manusia, lalu untuk mengapa Anda mau melakukannya?


Gereja mempekerjakan pendeta menurut persyaratan duniawi

Saya menerima sebuah surat dari satu gereja dengan jemaat sekitar 400 orang di pantai barat Amerika, yang sedang mencari seorang pendeta. Saya tidak tahu bagaimana gereja ini bisa mendapatkan nama saya, mereka mengirimi saya surat mengenai kebutuhan mereka akan seorang pendeta. Dan saya membaca surat yang berisi informasi terperinci tentang persyaratan yang mereka tuntut dari pendeta yang mereka inginkan. Yang mereka ajukan sebagai syarat untuk menjadi pendeta adalah ijazah seminari atau sekolah Alkitab, dan pengalaman beberapa tahun. Itu saja. Wow! Tampaknya sangat mudah menjadi pendeta di zaman sekarang ini. Saya katakan gampang menjadi pendeta di zaman sekarang ini karena jika di dalam Alkitab tidaklah mudah.

Apakah persyaratan alkitabiah bagi seorang pendeta? Tak satupun yang tertulis di daftar persyaratan itu. Agaknya, mereka belum membaca Titus atau Timotius. Atau, jika mereka telah membacanya, mereka tidak peduli. Zaman sekarang  ini, persyaratan untuk menjadi pendeta tidaklah rohani. Satu-satunya hal yang mereka ingin tahu adalah sama dengan yang ingin dilihat oleh orang dunia. Jika Anda melamar pekerjaan sekular, mereka akan menanyakan ijazah dan juga pengalaman kerja Anda. Lihatlah! Gereja melakukan hal yang sama persis. Jadi, apakah kita bukan orang Farisi? Apakah kita ini bukan orang munafik? Kita telah menarik standar dari Allah dan menurunkannya ke tingkatan kita. Kita bertingkah dan berpikir sama seperti dunia, lalu kita terheran-heran mengapa dunia meremehkan Gereja.

Saat Paulus menuliskan persyaratan untuk menjadi Pendeta, dia tidak menyebutkan satu katapun tentang ijazah, dia sama sekali tidak menyebutkan tentang pendidikan, tak ada satu katapun. Baca saja daftar itu di dalam Timotius dan Titus. Namun yang dia rinci adalah tentang pribadi macam apa yang harus dimiliki. Kualitas rohani dari orang yang bersangkutan: kehidupan macam apa yang dia jalani di rumahnya, di tempat kerjanya, orang macam apa dia itu, dan bagaimana pengabdian rohaninya. Itulah satu-satunya hal yang ingin diketahui oleh Paulus. Mengejutkan, bukankah begitu? Padahal Paulus adalah seorang intelektual. Mungkin menurut Anda seharusnya dia berpikir, “Nah, bertahun-tahun aku belajar di bawah bimbingan Gamaliel, aku akan minta supaya mereka yang akan mengisi kedudukan ini untuk setidaknya memenuhi persyaratan intelektual semacam ini.” Persyaratan yang ada hanya yang menyangkut kualitas rohani karena Gereja Kristus itu rohani.

Namun saya ini hanya suara yang berseru-seru di padang gurun. Tak ada gereja yang mengangkat pendeta menurut dasar tersebut sekarang ini. Persyaratannya murni intelektual. Di zaman sekarang ini, yang Anda perlukan untuk menjadi seorang pendeta adalah belajar ke sekolah Alkitab atau seminari, dan di saat Anda lulus, Anda bisa berharap bahwa akan ada gereja yang berminat mempekerjakan Anda karena mungkin hanya sekitar 2% saja dari semua lulusan itu yang bisa mendapat pekerjaan sebagai pendeta. Apa yang akan terjadi pada sisanya tidak dipedulikan oleh seminari atau sekolah Alkitab yang bersangkutan. Mereka bukan kantor penyalur tenaga kerja. Mereka tidak peduli apa yang akan terjadi pada Anda begitu Anda lulus. Mungkin sekitar 2% akan mendapat pekerjaan sebagai pendeta, beberapa persen sisanya mungkin akan menjadi misionaris, dan yang lainnya boleh berkemas-kemas dan kembali pada pekerjaan mereka sebelumnya.


Tidak ada landasan dari Alkitab bagi keberadaan sekolah Alkitab maupun seminari

Berbicara tentang seminari dan sekolah Alkitab, apakah Anda tidak akan terkejut jika saya mengajukan satu pertanyaan kepada Anda? Apakah dasar pembenaran alkitabiah bagi keberadaan sekolah Alkitab dan seminari? Pernahkah Anda pikirkan tentang hal itu? Baru belakangan ini saja hal tersebut menyentak saya. Dan pertanyaan ini memberi saya kejutan yang lain. Saya mengalami banyak kejutan di sepanjang kehidupan Kristen saya melalui pendalaman Alkitab. Tak pernah terlintas di benak saya untuk mempertanyakan apakah seminari atau sekolah Alkitab itu memiliki pembenaran yang alkitabiah. Pernahkah pertanyaan ini terlintas di benak Anda? Kita berpikir bahwa jika sebuah lembaga mengajarkan tentang Alkitab, maka pembenaran keberadaannya secara otomatis sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, namun persoalannya tidak begitu. Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat juga diajar Alkitab. Ingatlah, mereka itu para pakar Alkitab. Namun, mari kita ajukan pertanyaan ini, walau akan membuat kita merasa tidak enak, di bagian mana – dalam Alkitab – Anda bisa temukan pembenaran atas keberadaan seminari atau sekolah Alkitab? Tolong beritahu saya. Jika Anda bisa temukan jawabannya, harap Anda bagikan jawaban itu kepada saya karena saya belum menemukannya di dalam Kitab Suci. Dan mungkin Anda akan terkejut juga mendapatkan kesimpulan bahwa pembenaran bagi keberadaan lembaga-lembaga itu memang tidak ada di dalam Kitab Suci karena urusan pencarian ini akan membangkitkan satu pertanyaan – Bagaimana cara yang dipilih Allah?

Sebelumnya, saya mengatakan bahwa jalan Allah bukanlah jalan Gereja, lalu apa cara Allah di dalam melatih orang-orang untuk melayani Jemaat-Nya? Apakah jalan Allah dalam hal ini? Pelajari Alkitab dan temukanlah. Dan jalan-Nya itu jelas bukanlah jalan yang ditempuh sekolah Alkitab dan seminari. Saya bukan pembongkar aib. Saya juga menghabiskan banyak waktu di sekolah Alkitab dan di fakultas ilmu ketuhanan (Faculty of Divinity). Akan tetapi dengan terkejut saya mendapati bahwa saya telah melakukan hal yang tidak alkitabiah. Namun saya yakin bahwa Allah akan berbelas kasihan kepada saya karena, sama halnya dengan Paulus, saya melakukan hal itu di dalam ketidak-tahuan. Saya saat itu tidak tahu bahwa yang saya kerjakan itu tidak alkitabiah. Saya harap Anda mau renungkan persoalan ini dengan lebih mendalam. Saya harap sekolah-sekolah Alkitab dan seminari menunjukkan kepada saya berdasarkan Kitab Suci, apakah dasar pembenaran bagi keberadaan mereka. Dan saya curiga bahwa mereka akan merasa sangat tidak enak jika dihadapkan dengan tantangan semacam ini, karena mereka memang tidak akan bisa membuktikannya dari Alkitab.

Jika Anda teliti Kitab Suci, Anda akan menyadari bahwa Allah, di dalam hikmat-Nya, tidak berminat melatih orang-orang dengan cara ini. Seperti yang sudah saya ceritakan kepada seorang saudara kemarin, untuk bisa melayani Gereja di zaman ini, Anda harus meninggalkan Gereja dan pergi ke sekolah Alkitab atau seminari, belajar untuk bekerja di Gereja nantinya. Sungguh situasi yang aneh! Anda harus meninggalkan Gereja untuk belajar melayani Tuhan di dalam Gereja? Dan tahukah Anda apa akibatnya? Orang yang dididik di seminari atau sekolah Alkitab tidak punya pedoman apa-apa tentang seluk beluk melayani gereja di saat dia mendapat tanggung jawab untuk mengelolanya.

Saat saya keluar dari sekolah Alkitab setelah sekian tahun masa pendidikan, saya bahkan tidak tahu bagaimana menyelenggarakan pelayanan pernikahan. Saat saya harus melayani pernikahan untuk yang pertama kalinya, saya bergegas pergi ke toko buku, membeli buku tentang pernikahan dan membacanya. Bagaimana cara menyelenggarakan pernikahan? Saya tidak tahu. Bagi Anda, tidak ada yang sulit di sana, bukankah demikian? Coba saja Anda yang lakukan. Saat itu saya tidak tahu bagaimana prosedur gereja untuk hal ini. Dan hal yang membuat saya bingung di saat membaca buku ini adalah bahwa petunjuk yang ada di sana untuk penyelenggaraan pernikahan ada begitu banyak macamnya. Dan saya berpikir, “Petunjuk yang mana yang harus kupakai? Mana yang benar?” Sebenarnya, semuanya benar. Namun di dalam hal ini, yang mana yang harus dipilih? Saya tidak diajari cara menyelenggarakan baptisan; saya tidak tahu apa yang harus saya kerjakan. Saya tidak tahu bagaimana menyelenggarakan pemakaman. Saya teringat ketika pertama kali menyelenggarakan pemakaman, saya tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Dan saya bahkan tidak tahu apa yang harus diucapkan pada saat peti jenazah dimasukkan ke lubang kubur. Seseorang menyenggol saya dan berkata, “Bisakah Anda ucapkan, ‘Dari debu ke debu’?” Saya jawab, “Baiklah.” Saat itu saya tidak tahu bagaimana ajaran yang alkitabiah tentang struktur Gereja. Astaga! Sungguh kacau!

Yang lebih parah lagi, rata-rata sekolah Alkitab dan seminari diselenggarakan dengan cara seperti penyelenggaraan kampus sekular. Ketika kuliah sudah selesai, Anda langsung keluar membawa buku-buku Anda dan kembali ke kamar Anda. Lalu, bagaimana Anda bisa belajar untuk menjalani kehidupan Gereja Perjanjian Baru, atau Gereja yang alkitabiah? Akibat dari cara penyelenggaraan ini, kami semua yang mengikuti pendidikan ini, sekitar 100 orang, tidak memiliki keterikatan antara yang satu dengan yang lainnya. Interaksi di antara kami tidak berbeda dengan yang Anda miliki dengan rekan kuliah Anda di kampus. Kami tidak tahu bagaimana gereja berfungsi. Tidak heran ketika saya membaca apa yang Paulus bicarakan tentang Gereja, saya tidak paham apa yang sedang dia bicarakan itu. Paulus berkata bahwa Gereja adalah tubuh, tubuh yang saling berkomitmen satu dengan yang lain dan berfungsi sebagai satu kesatuan, yang hidup di dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Tahukah Anda apa maksud pembicaraannya? Saat itu saya tidak tahu apa-apa tentang hal tersebut.

Saya tahu bagaimana menjalani kehidupan di sekolah Alkitab. Saya tahu bagaimana cara belajar di Fakultas Ilmu Ketuhanan (Faculty of Divinity), akan tetapi saya tidak tahu tentang melayani di Gereja. Apa yang terjadi ketika kami lulus? Ada upacara besar sama seperti yang Anda lihat di dalam upacara wisuda di kampus lainnya. Nama Anda dipanggil, lalu Anda pergi ke panggung dan menerima sehelai kertas dengan hiasan yang indah di bagian tepinya. Dan kertas yang saya terima ini diletakkan dalam sebuah kotak kecil yang indah. Begitulah kami saat itu, memegang kotak berwarna biru gelap berisi kertas putih yang dihiasi pita merah. Itulah upacara wisuda. Lalu Anda berjabat tangan dengan pimpinan lembaga, dan dengan orang penting lainnya yang diundang untuk hadir di dalam acara ini. Lalu Anda mengucapkan selamat tinggal kepada para mahasiswa lain yang pernah tinggal bersama Anda selama bertahun-tahun, dan yang tidak pernah Anda kenal dengan baik. Lalu kami pergi mengambil jalan masing-masing. Itulah akhir ceritanya.

Itukah gereja? Bagaimana mungkin kami yang dididik dengan cara seperti ini bisa punya petunjuk, sekecil apapun itu, tentang seluk beluk melayani di gereja? Itu bukanlah Gereja Perjanjian Baru. Pendidikan kami tidak ada bedanya dengan pendidikan sekular yang lain. Apakah orang-orang yang dididik dengan cara ini akan membangun jemaat? Menyedihkan sekali! Tak heran jika di dalam hikmat Allah, itu bukan cara yang Dia niatkan untuk mendidik umat-Nya. Bukankah begitu?

Periksalan isi Kitab Suci. Bagaimana cara Yesus melatih murid-muridnya? Bagaimana cara Paulus mendidik orang-orang? Apakah Anda kira bahwa gereja yang berkembang dan bertumbuh seperti Gereja di zaman awal itu tidak memikirkan persoalan pendidikan? Tentu saja mereka memikirkannya. Mengapa para rasul itu tidak bersatu saja menjadi semacam kumpulan pemimpin jemaat dan berkata, “Baiklah, sebentar lagi akan diadakan kuliah yang akan disampaikan oleh kedua belas rasul”? Mereka adalah kumpulan profesor terbaik yang bisa dibayangkan oleh semua orang yang ingin belajar Alkitab. Namun sepertinya mereka tidak pernah memikirkan tentang pembentukan lembaga pendidikan. Mereka jelas memikirkannya, namun bukan dengan cara yang seperti ini.

Jadi, apakah hal ini membuat Anda merasa tidak enak, tiba-tiba menyadari bahwa Gereja sekarang berjalan secara tidak alkitabiah? Tidak ada landasan yang alkitabiah atas penyelenggaraan Gereja sekarang ini. Akan tetapi, kita yang berusaha mengikuti cara yang alkitabiah dalam mengerjakan sesuatu hal kitalah yang justru diserang. Bukankah ini luar biasa? Sungguh menyedihkan keadaan Gereja!


Kita adalah orang-orang Farisi dan para ahli Taurat jika kita tidak mengerjakan Firman Allah

Saya harap Anda bisa membaca perikop ini dengan melihat pada makna yang lebih mendalam. Jangan sekadar berkata bahwa ayat-ayat ini hanya tertuju kepada orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Kita bukan orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Apakah memang demikian? Saya kuatir bahwa kita ini justru orang-orang Farisi, kitalah para ahli Taurat itu. Yesus sedang berkata kepada kita, “Bukankah benar bahwa Yesaya telah berkata tentang kamu. Kamu menghormati Aku dengan bibirmu.” Anda berkata, “Ah, dalam kredo injili saya, Alkitab adalah Firman Allah. Alkitab adalah Firman Allah. Alkitab bukan sekadar berisi tentang firman Allah, Alkitab adalah Firman Allah.”

Baiklah, bagus juga. Kapan Anda akan menjalankannya di dalam kehidupan Anda? Itulah persoalannya. Kapan Anda akan mengerjakan Firman Allah? Dan Yesaya melanjutkan, “Tetapi hatimu menjauh dari Tuhan.” Saya beritahu Anda, Gereja berada di dalam kemunafikan. Kita telah bermain-main dengan Firman Allah. kita telah menurunkan derajatnya ke tingkatan kita di dalam segala bidang, entah di dalam doktrin maupun di dalam praktek. Di semua aspek, kita telah menurunkan derajat Firman Allah. Dan banyak gereja yang tidak suka saya mengucapkan hal ini, akan tetapi pekerjaan saya adalah menyampaikannya. Orang-orang Farisi dan para ahli taurat tidak suka mendengar Yesus mengucapkan hal ini akan tetapi pekerjaannya adalah menyampaikan hal itu.


Firman Allah berkata bahwa Yesus harus menjadi Tuan; Gereja berkata bahwa Yesus hanya Juruselamat saja

Saya bisa berikan contoh demi contoh kepada Anda bahwa di hampir segala aspek kehidupannya, gereja sekarang ini telah menjauh dari Firman Allah. Gereja tidak setia kepada Firman Allah. Gereja telah menyimpangkan firman Allah. Kita telah sepenuhnya menyelewengkan kebenaran bahkan sampai ke doktrin keselamatan yang paling dasar. Pengajaran yang alkitabiah berkata bahwa keselamatan itu mencakup penundukkan kita kepada Yesus sebagai Majikan (Penguasa/Lord) dan kepada Allah sebagai Raja. Iman berarti menerima Yesus, tunduk kepada Yesus. Gereja telah mengubah hal ini dan berkata, “Kita diselamatkan dengan menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadi kita.” Tak ada sepatahpun kata tentang “Majikan (Penguasa/Lord)” melainkan “menerima dia sebagai Juruselamat pribadi.”

Saya bahkan tidak tahu apa arti istilah “Juruselamat pribadi” ini. Tahukah Anda apa artinya? Apakah mungkin untuk Anda menerima Yesus secara tidak pribadi? Bisakah Anda menerima Yesus sebagai Juruselamat secara tidak pribadi? Saya tidak yakin apa arti ‘Juruselamat pribadi’ itu. Namun di luar pernyataan yang aneh ini, Gereja sama sekali tidak berkata apa-apa tentang kedaulatan Kristus. Urusan ini disimpan bagi yang ingin naik lebih tinggi nanti, atau yang semacam itu. Bagi orang Kristen awam, sudah cukup baik jika Anda menerima dia sebagai Juruselamat pribadi.

Siapa yang memberi kita hak untuk mengubah Firman Allah? Saya tantang setiap orang, setiap pendeta, setiap ahli teologi di mana saja untuk menunjukkan kepada saya, berdasarkan Firman Allah, bahwa Anda atau orang lain bisa diselamatkan dengan menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadi. Saya tantang Anda semua untuk membuktikannya berdasarkan Kitab Suci. Saya tidak yakin akan ada orang yang mau meladeni tantanngan ini karena memang tidak bisa Anda membuktikan dari Kitab Suci, pernyataan itu memang tidak alkitabiah. Kita telah mengubah Firman Allah. kita telah menurunkan nilai Firman Allah. Firman Allah berkata bahwa Yesus harus menjadi Majikan/Penguasa (Lord), akan tetapi Gereja berkata bahwa Yesus hanya perlu menjadi Juruselamat pribadi. Jika Jesus adalah Juruselamat Anda, berarti Anda mendapat sesuatu darinya. Jika Yesus adalah Penguasa (Lord), berarti Anda harus memberi sesuatu kepada dia. Ini jelas tidak begitu disukai, jadi mari kita encerkan bagian yang lainnya. Kita adalah orang-orang Farisi, para ahli Taurat, orang-orang munafik di generasi ini! Saya beritahu Anda bahwa penghakiman Allah pada Gereja akan sangat berat sekali. Akan jauh lebih berat penghakiman terhadap orang-orang Farisi dan para ahli Kitab, pakar teologi dan para sarjana Alkitab dibandingkan orang biasa.


Gereja zaman sekarang bahkan tidak berfungsi sebagai Gereja Perjanjian Baru

Apakah kata-kata tersebut telah menyengat telinga Anda? Apa yang tersisa di dalam Gereja yang masih alkitabiah? Silakan Anda beritahu saya jika memang masih ada hal alkitabiah yang tersisa. Saya akan lanjutkan memberitahu Anda bahwa Gereja bahkan tidak berfungsi sebagai Gereja Perjanjian Baru. Apa yang kita dapatkan di sini? Yang kita dapatkan adalah kebaktian, bukannya gereja. Kita punya acara kebaktian yang diadakan dua kali seminggu. Kita bahkan belum berfungsi sebagai sebuah gereja, apakah Anda menyadarinya?

Gereja sekarang tidak berfungsi sebagai Gereja Perjanjian Baru. Selama ini kita hanya menjalankan kebaktian dua kali seminggu. Sebuah gereja bukan sekadar kebaktian. Gereja adalah kumpulan orang yang saling berkomitmen antara satu dengan yang lainnya, di mana hidup setiap orang dicurahkan bagi orang yang lainnya. Tim pelatihan baru mulai berfungsi sebagai gereja, baru mulai; jalannya masih panjang. Kita sebagai “gereja” sebenarnya tidak berfungsi sebagai Gereja Perjanjian Baru. Saya menyampaikan hal ini kepada diri saya sendiri juga. Saya tidak perlu menunggu orang lain sampai mengatakan hal itu kepada saya karena saya tahu apa yang diajarkan oleh Alkitab mengenai persoalan ini. Kita harus bergerak maju seiring dengan waktu, untuk menjadi sebuah gereja, yaitu sebuah kumpulan orang-orang yang hidup untuk orang lain, saling memberi, di dalam komitmen kita satu dengan yang lain. Masih panjang jalan yang harus kita tempuh.


Bagaimana supaya gereja diselamatkan?

Bagaimana kita bisa diselamatkan dari situasi ini? Hati saya merana. Tuhan, bagaimana kami akan diselamatkan? Yang kita miliki adalah Gereja yang dipenuhi oleh orang yang tidak akan berhasil. Tak ada orang yang akan berhasil dengan hanya menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadi mereka tapi tidak pernah menjadikan Yesus sebagai Penguasa atas kehidupannya. Itulah ajaran yang alkitabiah. Apa yang terjadi pada orang lain yang tertipu oleh para pendeta dan penginjil? Apakah itu kata-kata yang keras? Biarlah setiap orang menunjukkan kepada saya bahwa apa yang saya ucapkan ini tidak alkitabiah. Adakah harapan bagi masa depan.

Harapan bagi masa depan adalah: bahwa kita bertekad untuk berhenti menjadi orang Kristen yang munafik. Kita bisa bertekad, seperti saya bertekad, bahwa kita akan menerapkan Firman Allah di dalam setiap bidang, di dalam setiap aspek kehidupan Gereja. Itulah yang akan harus kita kerjakan. Kita akan memeriksa setiap perinciannya di dalam terang Firman Allah.

Dan jika kita tidak melakukan hal ini, maka kita akan menjadi orang Farisi dan para ahli Taurat yang menjadikan Firman Allah tidak berlaku dengan memasukkan pemikiran, tradisi, aturan, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Kiranya Allah berbelas kasihan kepada kita. Jika Anda berharap untuk ada di dalam Kerajaan Allah, pastikan bahwa Anda memahami pelajaran yang Yesus telah ajarkan melalui perikop ini. Pastikan Anda memeriksa hidup Anda di dalam terang Firman Allah karena kita tidak sedang membicarakan masalah sepele, kita tidak sedang berbicara tentang agama; yang kita bicarakan adalah perkara hidup yang kekal. Itulah yang menjadi taruhannya.

 

Berikan Komentar Anda: