Pastor Eric Chang | Matius 15:1-9 | Markus 7:1-13 |
Kita akan melanjutkan pendalaman kita tentang Firman Allah di Markus 7:1-13. Di kesempatan yang lalu, kita telah membahas dari aspek vertikal. Kita telah melihat pada aspek hubungan kita dengan Allah, bahwa manusia telah mencemarkan segala yang Allah kerjakan dan ucapkan. Kita melihat betapa manusia, bahkan di dalam pembawaannya yang religius, telah mengkorupsi ajaran Yesus sehinggakan apa yang mereka ajarkan bukannya kebenaran Allah, melainkan doktrin buatan manusia.
Dan kita melihat bahwa hal inilah yang sedang terjadi di Gereja. Seringkali kita merasa lebih baik daripada orang-orang Farisi di dalam hal ini. Kita berkata, “Ya, orang-orang Farisi memang munafik akan tetapi kita bukanlah orang-orang munafik.” Tetapi kita ini sebenarnya sama munafiknya dengan orang-orang Farisi. Kita mengambil ajaran dari Kitab Suci dan mengkorupsinya. Kita telah melakukan banyak hal yang sebenarnya tidak sejalan dengan ajaran yang alkitabiah. Kita telah memelintir Firman Allah. Kita telah mengubah banyak hal. Kita telah mengubah banyak hal di dalam doktrin keselamatan dan di dalam hal kehidupan Gereja.
Gereja di zaman sekarang ini bukanlah gereja Perjanjian Baru. Kita sebenarnya belum menjadi gereja Perjanjian Baru. Yang kita sebut dengan gereja sekarang ini pada dasarnya hanyalah kegiatan kebaktian saja. Apakah gereja itu sama dengan kebaktian? Dan bagaimanakah kebaktian ini bisa dibedakan dengan, misalnya, kegiatan kuliah di universitas?
Tempat professor diganti oleh pendeta. Yang hadir, bukan mahasiswa tapi pengunjung gereja. Dan setelah kuliah selama, katakanlah, 40 menit atau sekitar itu, lalu kita bangkit dan pergi sendiri-sendiri. Itukah gereja? Itu adalah kebaktian, itu bukannya gereja.
Sebuah gereja tidak sama dengan kebaktian. Mungkin kita akan memuji diri sendiri dengan pengetahuan bahwa gereja bukanlah sebuah gedung. Akan tetapi kita justru membuat kesalahan dengan memandang gereja sebagai kebaktian. Karena jika Gereja itu adalah kebaktian, lalu bagaimana kita secara mendasar berbeda dari kegiatan kuliah di kampus? Apakah perbedaan utamanya hanya karena di kampus mereka tidak menyanyikan lagu pujian sebelum kuliah sedangkan kita menyanyikan lagu pujian sebelum kuliah?
Lalu bagaimana kebaktian kita berbeda dari kegiatan kuliah teologi di Fakultas Ilmu Ketuhanan? Mereka juga berbicara tentang Allah dan tentang Alkitab. Begitu juga di gereja. Perbedaannya mungkin setelah Anda kuliah selama beberapa waktu, Anda bisa keluar dengan membawa gelar. Namun jika Anda kuliah di Gereja, Anda tidak keluar membawa gelar. Jadi mungkin lebih baik jika Anda mendaftar di Fakultas Ilmu Ketuhanan karena jika Anda menghabiskan waktu di sana selama tiga tahun, setidaknya Anda bisa keluar dengan membawa gelar.
Mereka berbicara tentang Allah, kita juga berbicara tentang Allah. Mereka punya kebaktian, kita juga punya kebaktian. Tahukah Anda apa maksud saya? Kebaktian bukanlah gereja. Kebaktian bisa menjadi bagian dari kehidupan sebuah gereja namun hanya merupakan sebagian kecil saja dari seluruh kehidupan gereja. Gereja harus menjadi lebih dari sekadar kebaktian.
Apa itu Gereja?
Lalu apakah gereja itu? Inilah hal yang akan selanjutnya kita bahas. Gereja adalah tubuh yang terdiri dari orang-orang yang berbagi hidup Kristus dan yang berkomitmen kepada Allah, namun bukan hanya kepada Allah melainkan juga terhadap satu dengan yang lainnya. Gereja adalah komunitas orang-orang yang berkomitmen antara satu dengan yang lainnya.
Ah! Ada satu perbedaan penting antara gereja dengan kuliah. Mahasiswa yang menghadiri kuliah, entah di bidang ilmu ketuhanan atau teknik atau kedokteran atau fisika tidak memiliki komitmen antara yang satu dengan yang lain. Masing-masing mengerjakan urusannya sendiri. Anda mengerjakan sendiri ujian Anda, mempelajari bidang studi Anda sendiri, Anda tidak punya hubungan apa-apa dengan orang yang ada di sebelah Anda. Anda tidak berkomitmen kepadanya. Jika dia berada dalam masalah, Anda boleh menolong atau tidak menolongnya, akan tetapi Anda tidak punya komitmen apa-apa dengannya.
Saat saya berkata bahwa kita masih belum menjadi gereja, tahukah Anda apa yang saya maksudkan? Seberapa besar komitmen kita antara satu dengan yang lain? Mungkin Anda bisa berkata, “Anda sedang menghadapi masalah? Oh, saya ikut prihatin. Anak Anda sedang sakit? Saya ikut prihatin. Saya harap minggu depan dia bisa sembuh.” Itu saja. Kita tidak punya komitmen yang nyata antara satu dengan yang lain. Gereja baru bisa menjadi sebuah jemaat jika orang-orangnya memiliki komitmen yang nyata antara sesama, jika kita benar-benar bisa memandang pada orang yang ada di sebelah kita dan berkata, “Ini saudaraku. Perempuan tua yang ada di sana, itu ibuku.”
Apakah Anda memiliki komitmen kepada sesama? Anda tidak bisa sekadar berkata, “Apakah saudaramu sedang dalam masalah? Oh, kasihan sekali.” Itu menunjukkan Anda belum berfungsi sebagai saudara seiman. Gereja harus menjadi satu keluarga. Gereja harus menjadi kumpulan orang yang memiliki keterlibatan antara yang satu dengan yang lain, hidup dalam kebersamaan, saling peduli antara yang satu dengan yang lain. Hal ini sangatlah mendasar. Dan selama kita belum memiliki keterlibatan antara yang satu dengan lainnya, berarti kita belum memiliki komitmen terhadap sesama. Itu berarti kita belum sampai pada tingkatan menjadi gereja.
Yang ada pada kita hari ini adalah kebaktian hari Minggu yang mungkin akan berakhir dalam waktu satu jam. Saya pernah pergi ke gereja di mana jemaatnya bahkan tidak menjabat tangan Anda di akhir kebaktian. Anda ulurkan tangan Anda tetapi orang itu berlalu begitu saja. Anda coba dengan yang satunya lagi, ternyata dia juga berlalu begitu saja. Bagi saya itu bukanlah gereja. Itu bahkan bukanlah suatu kebaktian. Anda tahu, dalam sejumlah pertemuan di lingkungan yang sekuler, ada orang yang bersedia menjabat tangan Anda. Saya pernah pergi ke beberapa gereja yang tak satupun jemaatnya menyalami saya, dan itu bukan karena mereka kenal dengan saya. Itu karena mereka tidak kenal dengan saya. Itulah persoalannya. Mereka tidak mau menjabat tangan Anda karena mereka tidak mengenal Anda. Mereka hanya menyalami orang yang mereka kenal. Hal ini mengingatkan saya pada ucapan Yesus, “kalau kamu hanya memberi salam kepada orang yang memberi salam kepadamu, lalu apa kelebihanmu dibandingkan orang dunia? Mereka juga melakukan hal yang sama.” Sungguh mengherankan. Apakah mereka menyebut ini sebagai gereja? Saya sungguh malu. Jika itu yang disebut gereja, maka kita bahkan belum sampai di titik awal.
Jadi, pada kesempatan yang lalu, kita mempelajari perikop ini dan kita melihat betapa manusia telah mengambil ajaran Allah dan mengkorupsi semuanya dengan menurunkannya ke tingkatan mereka. Di Yesaya 55 kita membaca, “Jalan-Ku bukanlah jalanmu.” Jalan Allah sangat tinggi, jalan manusia begitu rendahnya. Masalahnya, jika kita bersedia belajar dengan kuasa Allah untuk mencapai jalan-Nya, maka masih ada harapan bagi kita. Akan tetapi, jika kita seperti orang-orang Farisi, kita menurunkan semua ajaran Tuhan itu ke tingkatan kita, maka kita telah mengkorupsi dan menghancurkan segala-galanya. Sangatlah penting bagi kita untuk memahami semua ini.
Kita harus berjuang untuk menerapkan Firman Allah di dalam hidup kita, dan jika kita melakukan hal ini, kita akan melihat hal-hal yang menakjubkan. Kita akan mulai hidup sebagai gereja, sekumpulan orang, di mana orang-orang akan datang dan berkata, “Wow! Mereka sangat mengasihi satu sama lain! Mereka begitu saling peduli! Mereka benar-benar saling menerima sebagai saudara dan saudari! Sungguh indahnya!” Itulah langkah pertama untuk menjadi gereja.
Namun untuk menjalankan ini bukanlah perkara yang mudah. Kita harus mengatasi keegoisan dan perasaan malu-malu kita. Kita orang yang sangat pemalu. Inisiatif atau sekadar usaha untuk mengucapkan salam kepada orang di sebelah kita saja sudah cukup untuk membuat kita lelah. Perlu waktu sekitar 15 menit bagi kita untuk bisa pulih kembali setelah menyapa seseorang. Kita begitu pemalu. Siapa yang tidak pemalu? Saya sendiri pemalu. Walaupun Anda mungkin tidak percaya. Tapi saya sebenarnya sama pemalunya dengan orang lain. Memang kadang-kadang saya begitu larut di dalam Firman Allah sehingga saya menjadi terhanyut. Itu sebabnya saya terlihat seperti orang yang bukan pemalu karena saya begitu larut di dalam Firman Allah. Ketika Anda hanyut di dalam Firman Allah, Anda akan lupa pada diri Anda.
Ingatkah Anda pada John Sung? Orang ini berlompat-lompatan di mimbar. Dia melakukan banyak hal yang aneh, tetapi tahukah Anda, dia seorang yang sangat pemalu. Akan tetapi hal itu bisa diatasi jika Roh Kristus masuk ke dalam hati kita. Anda akan terbawa oleh arus, Anda lupa pada sifat pemalu Anda. Itulah yang harus kita capai. Saat saya kecil dulu, saya tidak bisa membuka mulut saya tanpa membuat wajah saya menjadi merah padam. Sekarang Anda tahu betapa pemalunya saya. Satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah itu adalah dengan mengizinkan kasih Allah menopang kita sampai kita hanyut di dalam kasih itu.
Demikianlah, menggenapi Firman Allah itu bukan perkara mudah. Perkara ini melibatkan perubahan sikap hati. Melibatkan pembukaan hati kita kepada kasih Allah supaya kasih itu meluap di hati kita (Roma 5:5). Kita tidak boleh menurunkan ajaran dan kasih Allah ke tingkatan kita. Kita diangkat menuju tingkatan Allah. Sungguh hal yang sangat berharga, sangat indah, jika saja kita bersedia mengikuti jalan Allah.
Jika yang ingin kita lakukan adalah melanjutkan penyelenggaraan kebaktian, maka sebaiknya saya beralih profesi. Tahukah Anda apa yang akan saya lakukan? Saya akan melamar di Fakultas Ilmu Ketuhanan dan melihat apakah mereka perlu seorang dosen karena apa bedanya? Bedanya adalah dosen memberikan kuliah kepada para mahasiswa, dan apa yang akan saya kerjakan? Saya akan memberi kuliah kepada jemaat. Satu perbedaan yang penting adalah: gaji dosen jauh lebih tinggi daripada gaji saya. Jadi saya pikir saya akan melamar ke Fakultas Ilmu Ketuhanan. Mengapa saya tidak melakukan hal itu? Karena saya ingin membangun gereja, bukannya kampus, sekolah, atau pertemuan macam apapun. Kita harus melangkah maju Gereja Allah. Paulus adalah pembangun gereja. Saya tidak ingin menjadi pembangun kebaktian.
Di zaman sekarang ini, para pendeta menilai sukses mereka berdasarkan jumlah pengunjung, dan ini sangat keliru. Anda punya 500 jemaat di gereja Anda! Sukses! Ah! 500 jemaat! McGill University punya lebih banyak daripada 500 orang. Saya tidak tahu ada berapa banyak mahasiswa di McGill, namun saya kira mungkin sekitar 15,000 orang. Dibandingkan dengan 500 orang di gereja, saya pikir saya lebih baik mengelola universitas dengan 15,000 orang di dalamnya. Universitas tempat saya lulus, London University, punya 25,000 mahasiswa pada saat itu. Tak banyak gereja yang punya jemaat 25,000 jemaat. Anda tidak akan bisa bersaing dengan lembaga sekuler, tetapi Anda berpikir bahwa 5,000 jemaat adalah sebuah sukses? Jadi, kita tidak boleh memakai angka sebagai ukuran.
Gereja-gereja yang jumlah jemaatnya besar dan jemaat di dalamnya tidak saling kenal. Tahukah Anda apa yang terjadi? Yang mereka dapatkan hanyalah acara kebaktian, padahal kebaktian bukanlah gereja. Jika kebaktian itu adalah gereja, maka yang kita butuhkan adalah lembaga pendidikan.
Gereja membutuhkan komitmen dan kehidupan sebuah komunitas. Itulah impian saya. Setelah acara retreat yang kita selenggarakan mungkin Anda telah mencicipi sedikit bagaimana rasanya menjadi sebuah komunitas, menjadi satu keluarga besar. Janganlah pernah melupakan hal yang telah kita rasakan itu. Kami merindukan sebuah komunitas, dan sukacita dari komunitas ini, dan juga hadirat Allah di tengah komunitas ini. Itulah pokok yang penting.
Jika Anda telah mengalami datangnya hadirat Allah di tengah sebuah komunitas orang-orang yang berkomitmen kepada-Nya dan kepada sesamanya, maka Anda akan tahu perbedaan besar antara kebaktian dengan gereja. Namun jika Anda belum mengalami hal itu, tentu saja Anda tidak akan tahu apa yang sedang dibicarakan. Ke arah sanalah pembicaraan akan kita tujukan. Kualitas kehidupan adalah pokok yang penting.
Tak ada landasan alkitabiah bagi keberadaan sekolah Alkitab dan seminari
Kemudian, pada kesempatan yang lalu, saat kita mempelajari perikop yang ini juga, kita melihat contoh-contoh lain tentang bagaimana kita telah merusak Firman Allah. Mungkin saya telah mengejutkan hati beberapa orang ketika saya menunjukkan bahwa cara Gereja mendidik orang-orangnya di zaman sekarang ini tidak alkitabiah.
Bukankah ini mengherankan? Semakin saya renungkan, semakin mengejutkan! Kita punya sekolah-sekolah Alkitab dan seminari, dan kita semua, termasuk saya sendiri sampai belakangan ini, menerima semua itu tanpa mempersoalkan dasar alkitabiah bagi keberadaan mereka. Dan ketika saya berhenti sejenak dan memeriksanya, saya tidak menemukan landasan yang alkitabiah bagi keberadaan mereka, dan ini sangat mengejutkan serta membuat saya tertekan. Tahukah Anda bahwa dasar alkitabiah bagi keberadaan sekolah Alkitab dan seminari itu tidak ada? Akan tetapi kita menerimanya karena kita mengira bahwa setiap lembaga yang mengajarkan isi Alkitab secara otomatis memiliki dasar pembenaran bagi keberadaannya.
Akan tetapi pembenaran otomatis itu tidak ada, karena pendidikan lewat lembaga-lembaga semacam itu bukanlah jalan yang Allah inginkan bagi pengajaran Firman-Nya. Pernahkah terlintas di benak Anda bahwa jika kita menjalankan pekerjaan Allah, maka kita pasti akan mengerjakan hal itu di dalam jalan-Nya? Itulah masalah yang menimpa orang-orang Farisi ini. Mereka mengira bahwa karena mereka diajar tentang isi Alkitab (orang-orang Farisi juga diajarkan tentang isi Alkitab), dan karena mereka itu sangat religius, maka hal itu menjadi dasar pembenaran bagi mereka. Akan tetapi mereka salah!
Sangatlah penting untuk berhati-hati di dalam setiap langkah kita! Dan saya benar-benar terkejut mendapati bahkan sekolah Alkitab juga tidak memiliki dasar pembenaran atas keberadaan mereka di dalam Kitab Suci, bukan begitu cara mendidik hamba-hamba Allah. Hal ini bukan karena para rasul itu tidak memikirkan cara bagaimana mendidik orang-orang untuk pekerjaan di masa depan. Juga bukan karena sekolah-sekolah pada zaman itu belum ada. Sekolah adalah lembaga yang sudah ada sejak lama. Sekolah sudah ada sejak zaman kejayaan Yunani. Akan tetapi para rasul ini tidak memulai pendidikan itu dengan membangun sekolah Alkitab berikut 12 profesornya – kedua belas rasul itu, para profesor yang paling berbobot. Tidak, mereka tidak mendidik orang-orang dengan cara itu.
Tapi apa yang kita kerjakan? Kita menganggap bahwa kita ini lebih pintar daripada para rasul itu. Kita lebih tahu dibandingkan Yesus tentang cara mendidik orang. Dan lihatlah hasilnya. Tidak heran jika Anda mendidik orang dengan cara ini, maka Anda hanya akan mendapatkan kebaktian, yaitu kuliah-kuliah saja, karena memang begitulah cara mereka dididik sekarang ini. Kebaktian, kuliah, mereka tidak tahu cara yang lain.
Jadi tugas yang terhampar di hadapan kita sekarang adalah menguji segala sesuatu berdasarkan Firman Allah. Jika kita ingin memiliki gereja, maka kita harus berubah secara mendasar untuk hidup sesuai dengan Firman Allah. Cara kita melatih orang untuk pelayanan, cara gereja berfungsi, hubungan antar anggota gereja, cara kita memberitakan keselamatan, setiap aspek harus diubah untuk disesuaikan dengan Firman Allah.
Ajaran yang alkitabiah tentang menghormati orang tua kita
Hari ini, dalam sisa waktu yang ada, kita perlu masuk ke aspek lain dari perikop ini: aspek horisontal – yaitu hubungan di antara sesama. Akan tetapi ada satu pertanyaan yang perlu kita tangani sebelum kita tutup pembahasan hari ini, dan persoalan itu adalah apa pengajaran yang alkitabiah mengenai hubungan kita dengan orang tua kita. Saya bacakan sekali lagi perikop ini untuk melihat bahwa ini adalah salah satu unsur dari pengajaran Tuhan di perikop ini. Markus 7:1-13
Pada suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus. Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka; dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga. Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” Jawab-Nya kepada mereka: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” Yesus berkata pula kepada mereka: “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri.
Kita, orang-orang Kristen, juga punya tradisi keagamaan. Sebagai contoh, kita membuat peraturan bikinan kita sendiri tentang kehidupan Kristiani. Seorang Kristen tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Mereka tidak boleh menonton bioksop di hari Minggu dan tidak boleh ke pesta dansa. Tidak boleh berpakaian seperti ini atau seperti itu. Mereka tidak boleh memainkan gitar di dalam gereja, dan di beberapa gereja, mereka tidak boleh juga memainkan alat musik, dan sebagainya. Kita punya berbagai macam peraturan religius yang kita paksakan sekalipun Alkitab tidak berkata apa-apa tentang hal tersebut.
Dan Yesus memberikan contoh yang lain di ayat 10).
Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk kurban yaitu persembahan kepada Allah , maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatupun untuk bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan.”
Apakah kita harus taat pada orang tua yang tidak percaya pada Tuhan?
Ini adalah poin yang dinyatakan Yesus menyangkut hal tentang menghormati ayah dan ibu. Dan poin inilah yang akan kita lihat dalam sisa waktu ini. Sangatlah penting untuk memahami tentang hubungan Anda dengan orang tua Anda. Pokok ini sangatlah penting.
Ada pendeta di zaman ini yang sangat miskin pengetahuan dan pendidikannya di dalam Firman Allah sehingga mereka memberi nasehat yang salah kepada jemaat mereka. Sungguh sangat dikesalkan. Pada waktu yang lalu, ada seorang pendeta yang didatangi oleh seorang gadis, gadis yang saya kenal baik di gereja kami di London, Inggris, dan gadis ini ingin melayani Tuhan. Dia ingin menjadi misionaris. Lalu dia mendatangi pendeta di gereja dan berkata, “Saya ingin melayani Tuhan tetapi orang tua saya menentang saya.” Pendeta itu berkata kepadanya, “Alkitab mengajarkan bahwa kamu harus mentaati orang tuamu. Jadi kalau orang tuamu berkata jangan menjadi misionaris (orang tuanya itu non-Kristen, jadi respon yang bagaimana yang bisa Anda harapkan dari mereka?), maka kamu tidak boleh menjadi misionaris.” Sampai dengan hari ini, dia tidak menjadi misionaris; dia tidak melayani atas anjuran pendeta ini.
Saya tahu persis bahwa dia bukan satu-satunya pendeta yang memberikan nasehat semacam ini. Masih ada pendeta-pendeta lain yang memberikan nasehat semacam itu, mereka berkata bahwa Anda harus mentaati orang tua Anda. Dan jika orang tua Anda berkata, “Jangan melayani Tuhan,” maka Anda tidak boleh melayani Tuhan. Apakah hal ini alkitabiah?
“Hormatilah ayahmu dan ibumu”
Perhatikan baik-baik kata-kata yang terdapat di ayat 10. Karena Musa telah berkata: “Hormatilah ayahmu dan ibumu!” Apakah Anda melihat kata ‘taat’ di sini? Tidak, akan tetapi memang ada kata ‘hormatilah’. Jadi mari kita tegaskan poin yang pertama. Kiranya hal ini dicamkan baik-baik oleh Anda semua yang memiliki orang tua.
Ketika orang tua saya masih hidup, saya berkesempatan untuk menerapkan ini di dalam hidup saya. Dan jika Anda menuruti Firman Allah, maka kesaksian Anda kepada orang tua Anda akan sedemikian kuat sehingga mereka akan berpaling kepada Tuhan. Saya sampaikan hal ini kepada Anda karena ketika saya melangkah untuk melayani Tuhan, tentu saja, orang tua saya menentang saya.
Mereka bukanlah orang Kristen. Mengapa mereka harus setuju pada niat saya untuk melayani Tuhan? Saya adalah putra satu-satunya. Saya tidak punya saudara laki-laki atau perempuan. Jadi, tentu saja orang tua saya menaruh semua harapan mereka di pundak saya, putra tunggal mereka. Suatu hari nanti, dia akan menjadi seorang jenderal besar, jika bukan jenderal mungkin seorang negarawan besar, dan jika bukan negarawan, maka ia akan menjadi ilmuwan besar, apapun itu, yang penting besar. Akan tetapi saya pilih mengikut Tuhan walaupun mereka menentangnya.
Hal itu tidak menghalangi jalan mereka untuk datang kepada Tuhan. Saya telah membawa sejumlah orang datang kepada Tuhan, akan tetapi jarang saya melihat orang yang datang kepada Tuhan dengan cara seperti ibu saya. Peristiwanya sangat mengharukan saya dan sangat berbeda dengan yang lainnya – berlutut bersama ibu sendiri di hadapan Tuhan dan melihat air mata mengalir di pipinya. Saya tidak akan pernah melupakannya. Dia tadinya begitu keras menentang langkah saya dalam melayani Tuhan, dia tadinya sangat tegar menolak Injil, dan dia memang benar-benar dikeraskan dalam menolak Injil. Selama bertahun-tahun saya tidak pernah mengalami kemajuan dalam berurusan dengannya, namun ketika Allah masuk ke dalam hidupnya, dia benar-benar luluh. Saya tidak pernah lupa hari ketika dia berlutut bersama saya dengan air mata di pipi saat dia serahkan hidupnya kepada Tuhan. Saya juga tidak akan pernah lupa apa yang dia katakan kepada saya setelah itu. Dia berkata kepada saya, “Eric, aku memberimu kehidupan jasmani tetapi kamu memberiku kehidupan rohani di dalam Tuhan.”
Anda bisa menghormati seseorang tanpa harus mentaatinya
Saya bagikan ilustrasi ini karena secara tegas saya tidak mentaati mereka ketika mereka tidak menginginkan saya melayani Tuhan. Saya tidak mentaati mereka. Dan saya memang tidak taat pada saat itu. Akan tetapi saya tidak melanggar Firman Allah. Mengapa? Karena saya menghormati mereka. Anda bisa menghormati seseorang tanpa harus mentaatinya karena penghormatan adalah sikap hati.
Pahamilah prinsip yang pertama ini dengan jelas. Anda harus selalu menghormati orang tua Anda, tanpa syarat dan pengecualian. Selalu. Sekalipun Anda tidak sepaham dengan mereka, ketidaksepakatan itu harus disampai dengan cara hormat dan Anda harus tetap menghormati dan menghargai mereka. Tentu saja orang tua saya tidak ingin saya menjadi penginjil. Mereka ingin agar saya menjadi orang besar di dunia ini. Saya harus menolak secara hormat, namun tetap harus menolak. Saya berkata, “Maaf. Inilah jalan yang harus saya tempuh. Saya harus ikut Tuhan. Saya harus ikut Allah.”
Mereka sangat tersinggung. Ayah saya tidak mau membiayai saya. Dia benar-benar menghentikan pengiriman uangnya. Saya tidak berharap agar dia mendukung saya. Akan tetapi saya terus menghormati mereka, menghargai mereka di dalam sikap saya terhadap mereka.
Jadi pahamilah hal yang satu ini dengan baik. Hormat dan taat tidaklah sama. Bukti-bukti yang alkitabiah akan hal ini sangatlah jelas. Telitilah pemakaian kata ‘hormat’ di dalam Alkitab dan Anda akan lihat bahwa kata ‘hormat’ itu tidak harus berarti taat. Sebagai contoh, di dalam Samuel kita lihat Tuhan berkata, “Siapa yang menghormati Aku, akan Kuhormati.” Ini bukan berarti bahwa jika Allah menghormati kita, maka Dia akan taat kepada kita. Menghormati bukan berarti bahwa Allah akan mentaati kita. Kata ‘hormat’ ini adalah kata yang juga digunakan di dalam Perintah Kelima, Hormatilah ayahmu dan ibumu, keduanya memakai kata Ibrani yang sama.
Kita mendapati situasi yang sama di dalam Perjanjian Baru. Di dalam Perjanjian Baru, misalnya di 1 Petrus 2:17, dipakai kata ‘hormat’ yang sama, dalam bahasa Yunaninya, yang diterapkan pada setiap orang. Ayat itu berkata, “Hormatilah semua orang.” Sikap kita sebagai orang Kristen terhadap semua orang, haruslah sikap yang sopan, penuh penghargaan. Sebagai orang Kristen, kita harus ingat akan hal ini. Sebagai seorang Kristen, kita tidak boleh kasar. Sikap kasar bukanlah ciri hidup orang Kristen, bahkan sekalipun Anda merasa berhak untuk bersikap kasar. Ayat itu berkata, “Hormatilah semua orang.” Sikap hormat ini sama dengan sikap hormat Anda terhadap orang tua Anda. Hormatilah orang tua Anda selalu.
Jika pada saat saya tidak taat kepada orang tua saya dalam rangka melayani Tuhan, dan saya juga bersikap tidak hormat kepada mereka, maka ibu saya tidak akan pernah datang kepada Tuhan. Dia dapat melihat bahwa saya tidak bisa dicegah dalam mengikut Allah, dan tekad kuat itu didasari oleh pengalaman rohani saya. Namun dia juga bisa melihat bahwa di dalam segala tingkah laku saya, saya menghormati dia. Saya menghargai dia. Saya melayani dia jika perlu. Saya cucikan piring. Saya bersihkan lantai, sekalipun dia melarang saya karena dia tidak terbiasa dengan hal itu. Di tengah keluarga kami, anak laki-laki tidak membersihkan lantai dan mencuci piring. Akan tetapi saya berkeras mengerjakannya. Saya berkata pada ibu saya, “Tolong beri saya kesempatan untuk mencuci piring.” Namun dia menyahut, “Aku tidak terbiasa dengan hal semacam ini. ” Lalu saya berkata, ” Berikan saya kesempatan. Silakan duduk dan beristirahat saja. Beri saya kesempatan untuk membersihkan lantai.” Saya menjalani hidup semacam ini untuk menunjukkan kepada ibu saya tentang rasa hormat saya kepadanya. Ini adalah hal yang sangat penting.
Saya ulangi sekali lagi. Sebagai seorang Kristen, Anda harus menghormati orang tua Anda tanpa syarat. Tidak ada perkecualian di dalam hal ini. Namun penghormatan, saya ulangi lagi, tidak harus berarti ketaatan. Sebagai contoh, kita juga harus menghormati para janda, kita harus menghormati pemerintah, malahan kata ‘taat’ ikut dipakai di Roma 13:1. Tiap-tiap orang harus takluk (taat) kepada pemerintah yang di atasnya.
Namun ketaatan pada manusia selalu ada syaratnya, tak pernah tanpa syarat. Selalu didasari syarat bahwa pemerintah itu sendiri taat dan menghormati Allah. Itu sebabnya di dalam Kisah Para Rasul 4:19, Petrus menolak untuk taat kepada mereka yang berkuasa, walaupun perintah yang alkitabiah menyuruh kita taat kepada pemerintah, karena dalam peristiwa ini orang yang sedang berkuasa itu sendiri tidak taat kepada Allah. Jika Anda tidak taat kepada Allah, maka Anda kehilangan hak untuk ditaati. Sangatlah penting untuk mengetahui hal ini.
Sang rasul berkata, mentaati Allah lebih penting daripada mentaati manusia. Anda ingin melarang saya memberitakan Injil? Yah, Anda telah melampaui batas kewenangan Anda. Anda tidak berhak melarang saya memberitakan Injil. Karena dengan melarang saya memberitakan Injil, berarti Anda telah melanggar kewenangan tertinggi dan dengan demikian kehilangan hak untuk memberi perintah. Ini pokok yang sangat penting.
Bagaimana memahami Efesus 6:1?
Banyak pendeta mengutip, sebagai contoh, Efesus 6:1, Hai anak-anak, taatilah orang tuamu. Anda tahu, mereka telah salah dalam mengutip, dan ada dua kesalahan di sini. Pertama, kata ‘anak-anak’, berasal dari kata Yunani teknon. Ada banyak kata Yunani yang bisa dipakai untuk menyebutkan ‘anak’. Di sana, kata teknon ini adalah kata yang ditujukan kepada anak-anak yang masih bergantung atau orang yang berada dalam posisi lemah. Jika, misalnya, Anda masih dibiayai oleh orang tua Anda, berarti Anda adalah anak yang masih bergantung pada orang tua. Jika mereka membiayai Anda, berarti Anda berada dalam kewajiban untuk memperhatikan ucapan mereka. Jika mereka membiayai uang sekolah dan kebutuhan lain Anda, maka Anda harus mendengarkan mereka.
Pilihan lainnya, satu-satunya jalan yang bisa Anda tempuh adalah seperti yang dulu saya lakukan, yaitu tidak menerima dukungan keuangan lagi dari mereka; Anda bertanggungjawab sepenuhnya untuk mencukupi kebutuhan Anda sendiri. Jika Anda tidak menerima uang mereka, berarti Anda tidak bergantung pada mereka, Anda berjuang sendiri, Anda mencukupi sendiri kebutuhan Anda, maka Anda bisa membuat keputusan sendiri tentang jalan hidup Anda. Tetapi jika Anda terima uang mereka, berarti Anda berada dalam kewajiban untuk mendengarkan perkataan mereka. Tentu saja, Anda tidak bisa menjalani keduanya sekaligus – menerima uang mereka sambil berbuat semau Anda. Jika Anda menerima uang mereka, Anda berada dalam posisi yang lemah.
Akan tetapi Efesus 6:1 berbicara tentang hal yang lain, hal yang seringkali diabaikan. Taatilah orang tuamu, hal lain apa yang dibicarakan di sini? Hal lain itu adalah, di dalam Tuhan. Tidak dikatakan, “Taatilah orang tuamu,” melainkan, “taatilah orang tuamu di dalam Tuhan.” Hal ini membawa kita pada satu prinsip yang sangat penting. Di dalam Perjanjian Lama, orang tua adalah wakil Allah di tengah keluarga. Pahamilah hal ini dengan baik. Dan anak-anak di dalam Perjanjian Lama memang diperintahkan untuk taat kepada orang tua mereka karena para orang tua ini memiliki kewajiban untuk mengajarkan anak-anak mereka. Mengajarkan apa? Mengajarkan tentang Hukum Taurat Allah. Setiap orang tua adalah pengajar Hukum Taurat Allah. Oleh karena itu, tidak mentaati orang tua berarti penolakan langsung terhadap Allah dan Firman-Nya.
Sudah tentu, hal ini tidak berlaku bagi orang tua yang non-Kristen. Itu sebabnya mengapa rasul Paulus sangat berhati-hati dalam pernyataannya, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan. Jika orang tua Anda tidak di dalam Tuhan, keadaannya menjadi sangat berbeda, bukankah begitu? Namun sekalipun orang tua yang Kristen, saat mereka menyuruh Anda berbuat sesuatu, mereka sendiri harus taat dan hormat kepada Allah.
Apakah kejahatan orang Farisi?
Apakah kejahatan orang Farisi? Di sini, kejahatannya tidak berkenaan dengan hal mentaati orang tua. Persoalannya adalah mengenai kejahatan tidak menghormati orang tua, tidak menghargai orang tua sebagaimana seharusnya. Dan di dalam hal ini, orang Farisi mengajarkan satu ibadat yang bisa meloloskan Anda dari urusan menghormati orang tua ini. Sungguh mematikan! Benar-benar mematikan!
Apa yang mereka ajarkan? Untuk bisa mengerti hal itu Anda harus memahami ajaran dan kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan para rabi. Pokok masalah ini berpusat pada kata ‘kurban’ di ayat 11 (Markus 7), kata yang di dalam bahasa Ibraninya mengandung arti persembahan kepada Allah. Sebagai contoh, jika orang tua menerima tunjangan keuangan dari anaknya dalam jumlah tertentu, dan mungkin si orang tua itu telah menyinggung hati si anak, maka anak itu yang ingin membalas perlakuan orang tuanya – dia bisa membuat pernyataan, “Uang yang kau terima setiap bulan dariku itu mulai sekarang menjadi kurban (persembahan).” Pada saat ia menyatakan hal itu, dia telah mengucapkan satu sumpah. Kurban adalah sumpah. Dan sejak saat itu, dia tidak usah lagi memberi uang kepada orang tuanya karena dia sekarang berada di dalam sumpah, sumpah untuk memberikan persembahan.
Kurban: memberi seperti persembahan kepada Allah bukan berarti memberi kepada Allah
Namun, dan ini adalah bagian yang paling luar biasa, hal itu tidak berarti bahwa dia benar-benar mempersembahkan uangnya di Bait Allah. Dia tidak mempersembahkan sesuatu di bait Allah karena “Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan seperti kurban yaitu persembahan kepada Allah,” berarti bahwa apapun yang akan diberikan itu harus dipandang seperti persembahan kepada Allah. Perhatikan kata ‘seperti persembahan’ ini. Uang itu tidak langsung menjadi persembahan, tetapi baru ‘seperti persembahan’, namun sudah sejajar dengan persembahan. Mungkin agak sulit bagi Anda untuk memahaminya, namun seperti itulah liku-liku yang terdapat di dalam ajaran para rabi, hukum warisan para rabi.
Uang yang seharusnya dia kirimkan kepada orang tuanya itu sekarang bisa tetap tinggal di kantongnya sendiri. Dia tidak mempersembahkan uang itu ke Bait Allah karena dia tidak berkata bahwa uang itu akan dipersembahkan ke Bait Allah, namun baru dinyatakan ‘seperti’ persembahan. Dapatkah Anda melihat tipu daya yang dipakai dalam kata ‘seperti’ ini? Uang itu akan diperlakukan seperti persembahan akan tetapi bukan suatu persembahan dalam arti langsung diserahkan. Jadi, karena uang itu sebenarnya bukanlah persembahan, dia bisa tetap memilikinya. Namun karena sudah seperti persembahan, dia tidak harus memberikan kepada orang tuanya. Oh, Anda harus benar-benar punya akal pikiran yang terbolak-balik untuk bisa memahami hal ini. Saya sendiri tadinya sangat kesulitan untuk memahami hal ini. Sungguh luar biasa!
Dan malahan, ketika saya meneliti Mishnah, buku ajaran agama orang Yahudi, di sana saya menemukan sebuah kasus nyata disajikan. Dan apa yang ada di dalam contoh tersebut dengan tepat menggambarkan apa yang dinyatakan oleh Yesus. Mishnah adalah kitab yang beredar di toko-toko buku jika Anda ingin mempelajari tentang adat istiadat orang Yahudi. Ini adalah buku yang sangat tebal dan berisi berbagai pembahasan yang berat-berat di beberapa bagiannya. Saya sudah membaca Misnah ini dan sungguh memberi banyak pencerahan di dalam memahami isi Perjanjian Baru.
Di dalam kasus ini, tidak dijelaskan mengapa, entah karena apa, si anak telah menyatakan bahwa tunjangan yang dia berikan kepada ayahnya dijadikan kurban. Dan kemudian, si anak ini terbelit dalam satu persoalan yang cukup aneh karena dia akan menikah, dan dia ingin agar ayahnya hadir di dalam pernikahannya. Tentunya akan terasa janggal jika Anda menikah tanpa dihadiri oleh ayah Anda. Lalu dia mengundang ayahnya untuk menghadiri pernikahannya. Namun menurut ajaran para rabi, ayahnya itu bahkan tidak boleh memakan hidangan yang tersedia di pesta nikah tersebut, karena itu adalah kurban. Dia bahkan tidak bisa menikmati makanan di rumah tangga anaknya. Renungkanlah. Bukan saja si ayah ini tidak lagi menerima bantuan uang, diabaikan, tapi bahkan tidak bisa menikmati hidangan di rumah tangga ataupun pernikahan anaknya. Jadi, si anak ini berada dalam posisi yang rumit. Dia ingin agar ayahnya hadir di pesta pernikahannya, akan tetapi si ayah tidak bisa menikmati hidangan di pesta pernikahan itu, tidak bisa berpesta ria. Lalu, si anak di dalam contoh kasus dalam Mishnah ini bergumul untuk bisa mengatasi masalah ini.
Lalu dia mendapatkan satu ide tentang bagaimana cara keluar dari persoalan ini, dan ide itu adalah, pada saat pesta pernikahannya, ia memberikan semua hartanya sebagai hadiah kepada sahabatnya, hanya untuk saat pernikahan itu saja. Nah, karena tindakan resmi yang satu ini, karena semua hartanya sudah menjadi milik temannya (Saya harap Anda bisa memandangnya dari sisi hukum untuk bisa memahaminya) maka selama masa pernikahan itu, selama 7 hari, segala sesuatunya menjadi milik sahabatnya. Hanya untuk masa 7 hari itu karena dia akan mendapatkannya kembali setelah masa 7 hari itu. Namun karena semua harta itu sudah bukan miliknya dan menjadi milik sahabatnya untuk masa 7 hari tersebut, dengan demikian ayahnya bisa datang dan ikut bersuka ria di dalam pesta pernikahan tersebut. Oh, Anda benar-benar harus memiliki jalan pikiran yang terbolak-balik untuk bisa mempermainkan firman Allah dengan cara seperti ini.
Jangan pernah coba menyelewengkan Firman Tuhan
Jika kita kembali merasa benar sendiri dan berkata, “Oh, orang-orang Farisi itu benar-benar menyimpang,” tunggu sampai Anda lihat beberapa ajaran teologi, maka Anda akan terheran-heran melihat betapa menyimpangnya jalan pikiran orang Kristen. Hal ini bukan karena orang-orang Yahudi memiliki jalan pikiran yang terbolak-balik. Bukan karena cara berpikir mereka lebih rumit daripada kita. Penyebabnya, harap diingat, adalah dosa yang menjungkir-balikkan pikiran kita. Dosa membuat Anda berpikir sangat rumit. Anda bermain-main dengan Firman Allah. Berdoalah kepada Allah kiranya kita boleh dibebaskan dari akibat-akibat dosa yang semacam ini. Marilah kita hidup sesuai dengan Firman Allah. Janganlah kita mencoba memutar-balikkan segala sesuatunya.
Seringkali, jika saya berbicara kepada seorang Kristen, jika saya menunjukkan tentang sesuatu hal yang tidak sesuai dengan Firman Allah, apakah reaksinya? Saya melihat bahwa reaksinya adalah coba untuk berdalih. Pernahkah Anda mencobanya? Anda tunjukkan kepada mereka bahwa doktrin ini atau doktrin itu salah, dan tanggapan macam apa yang Anda dapatkan? Usaha untuk berdalih. Oh, putar sana-sini, sekalipun hasilnya tidak masuk akal, bagi mereka itu masuk akal. Mereka memutar-balikkan segala sesuatunya untuk bisa keluar dari kesulitan. Mari kita berdoa, kiranya Allah menjernihkan pikiran kita supaya kita bisa hidup di dalam kekudusan di hadapan-Nya.
Untuk menjadi teolog, pengajar Alkitab atau seorang Kristen yang baik, hal terpenting bukanlah pemahaman Anda akan Mishnah atau belajar di sekolah teologi. Hal yang Anda butuhkan adalah hati yang bersih, hati yang suci, sebab jika hati Anda tidak suci, maka Anda akan segera memutar-balikkan Firman Allah.
Anda bisa mencobanya sendiri. Hadapkanlah seseorang kepada salah satu aspek yang salah dari sebuah ajaran yang dianutinya dan amatilah reaksinya. Duduk dan amati apa yang akan dia lakukan. Anda akan menyaksikan satu pertunjukan yang menarik. Mereka akan berusaha mengjungkir balik segala sesuatu, sekali pun tidak masuk di akal. Selanjutnya, Anda tidak akan pernah lagi mengecam orang Farisi. Anda akan tahu bahwa kita semua sangatlah ahli di dalam melakukan jungkir balik tersebut.
Berdoalah kepada Allah supaya hati Anda disucikan. Jika hati Anda suci, Anda akan memahami Kitab Suci tanpa melakukan kesalahan. Sangatlah penting untuk bisa memahami kebersihan hati dan kesucian hati. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Saya telah berjumpa beberapa orang Kristen yang pandangan rohaninya sangat luar biasa tajam, jauh lebih baik daripada para profesor teologi. Tahukah Anda mengapa? Karena hati mereka suci, mereka bisa melihat jelas. Rahasia pemahaman rohani adalah kesucian hati. Hati yang suci akan melihat Allah.