SC Chuah | Yohanes 6:15-21 |

15  Karena mengetahui bahwa orang banyak itu berencana datang dan memaksa dia menjadi Raja atas mereka, Yesus menyingkir lagi ke bukit seorang diri.
16  Ketika hari sudah mulai malam, para murid turun menuju ke danau
17  dan setelah naik ke perahu, mereka mulai menyeberangi danau menuju Kapernaum. Hari sudah mulai gelap, tetapi Yesus belum juga datang menemui mereka.
18  Danau mulai bergelora karena angin yang sangat kuat bertiup.
19  Kemudian, ketika mereka telah mendayung perahu sejauh sekitar 25 atau 30 stadia, mereka melihat Yesus berjalan di atas danau dan mendekati perahu sehingga mereka ketakutan.
20  Namun, Yesus berkata kepada mereka, “Ini aku, jangan takut!”
21  Setelah itu, mereka mau menaikkan dia ke dalam perahu dan tiba-tiba perahu itu sudah sampai ke tempat yang mereka tuju.


KEBIASAAN YESUS MENYINGKIR DARI ORANG BANYAK

Kita akan mulai dengan membahas tentang kebiasaan Yesus menyingkir dari orang banyak untuk seorang diri. Injil pada dasarnya merupakan sesuatu yang sosial. Kita perhatikan bahwa Yesus selalu dikerumuni orang banyak. Yesus terkadang begitu sibuk sehingga dia bahkan tidak mempunyai waktu untuk makan. Hal ini tidak terbatas kepada Perjanjian Baru, tetapi juga Perjanjian Lama. Kedua Perjanjian adalah tentang jemaat Allah, di mana para anggota jemaat menyembah bersama, belajar bersama, makan bersama, dan bila perlu hidup dan mati bersama.  Jadi, agama Alkitab bukanlah agama untuk para pertapa yang memisahkan diri dari masyarakat awam. Para abdi Allah suka menghabiskan waktu yang berkualitas dengan orang banyak.

Namun, para pembaca Injil yang jeli akan memperhatikan satu kebiasaan Yesus untuk sekali-kali menyingkirkan diri dari orang banyak untuk menyendiri. Pada permulaan pelayanannya, ia menghabiskan empat puluh hari dan empat puluh malam seorang diri di padang belantara. Di Lukas 6, Yesus disebut naik ke bukit untuk berdoa, dan di sana ia berdoa kepada Allah sepanjang malam. Di Matius 14, kita perhatikan hal yang sama, dengan penekanan bahwa Yesus berdoa sendirian. Kemudian yang terkenal di Matius 26 di Taman Getsemani, yang melukiskan bahwa “ia sedikit menjauh (dari murid-muridnya), lalu sujud dengan wajahnya menyentuh tanah”.

Jadi, kita dapat melihat bahwa Yesus mempunyai kebiasaan untuk dari waktu ke waktu menarik diri sepenuhnya dari semua orang, termasuk yang paling dekat sekalipun, hanya untuk menyendiri “bersama Bapa”. Yang penting di sini adalah menyendiri “bersama Bapa”. Ada banyak orang juga suka menyendiri, tetapi entah buat apa. Ada pula yang suka sendirian justru karena tidak menyukai sesama manusia.

Pada kesempatan ini, “para murid turun menuju ke danau” bukan atas inisiatif sendiri, tetapi justru dipaksa Yesus.

Yesus segera mendesak murid-muridnya masuk ke perahu dan pergi mendahuluinya ke seberang, sementara ia menyuruh orang banyak itu pulang.  (Matius 14:22)

Kata yang diterjemahkan sebagai “mendesak” dapat juga diterjemahkan sebagai “memaksa”. Murid-muridnya tidak ingin berpisah dari dia. Apakah saudara mempunyai kebiasaan ini? Untuk menarik diri dari orang-orang terdekat, bahkan anak-anak dan istri hanya untuk menyendiri?

Kebiasaan menyendiri bersama Bapa ini bukan saja dapat dilihat pada Yesus, tetapi pada abdi-abdi Allah di sepanjang masa. Kita melihatnya pada Nuh, yang sepertinya selalu sendirian bersama Allah. Demikian pula, Abraham, Yakob, Musa dll. Pada waktu-waktu mereka bersendirianlah, Allah menampakkan diri-Nya dan berbicara kepada mereka. Dengan kata lain, Allah bergaul dengan mereka sendirian.


ALLAH ADALAH ALLAH YANG HIDUP

Ada dua alasan mendasar mengapa para abdi Allah akan memiliki kebiasaan ini. Pertama, Allah adalah Allah dan hidup, bukan berhala. Apakah definisi berhala menurut Alkitab?

15  Berhala-berhala bangsa-bangsa adalah emas dan perak, pekerjaan tangan-tangan manusia.
16  Mereka mempunyai mulut, tetapi tidak bisa bicara, mata, tetapi tidak bisa melihat,
17  telinga, tetapi tidak bisa mendengar, begitu juga, tidak ada napas pada mulutnya. (Mazmur 135)

Banyak orang Kristen pikir mereka bukan penyembah berhala, hanya karena mereka tidak menyembah patung. Namun, dalam kenyataannya, apa bedanya sesembahan mereka dengan berhala? Punya mulut, tetapi tidak bisa bicara; mata, tetapi tidak bisa melihat, telinga, tetapi tidak bisa mendengar! Apa tandanya kita sedang menyembah berhala? Yah, kita hanya berdoa pada acara formal saja; sebelum makan, acara gereja. Saat teduh juga tidak lebih daripada rutinitas melatih disiplin saja.

Orang yang mengenal-Nya sebagai Allah yang hidup, hatinya akan selalu ditarik untuk bersekutu dengan Dia.  Ia merasa paling nyaman, paling betah dan paling at home dalam hadirat Bapa. Perjumpaan-perjumpaan inilah yang menghembuskan makna ke dalam segala kegiatan sehariannya di dunia ini. Di tempat rahasia inilah para abdi Allah menelanjangi jiwanya di hadapan Bapa.

Di situlah terjalin keintiman antara Allah dan manusia, tempat surga dan bumi menyatu. Jika Allah saudara adalah Allah yang hidup, hati saudara akan selalu rindu menyediakan waktu untuk Dia.


MEMATAHKAN PENGARUH MASYARAKAT ATAS KITA

Alasan yang kedua berkaitan dengan masyarakat manusia itu sendiri. Kita harus melihat sifat dari masyarakat itu sendiri dan pengaruhnya atas kita. Dari sudut pandang Allah, masyarakat manusia berada di bawah vonis, terhilang dan tersesat. Umat manusia berada di bawah murka Allah. Umat manusia umumnya “berjalan mengikuti jalan dunia, mengikuti penguasa kerajaan udara, roh yang sekarang bekerja di antara anak-anak yang tidak taat, hidup dalam nafsu kedagingan, memuaskan keinginan daging dan pikiran, yang pada dasarnya adalah anak-anak durhaka.” (Ef 2:2-3) Itulah sedikit gambaran yang diberikan Injil tentang masyarakat kita. Berikut gambaran tambahan dari Paulus di Efesus 4,

17   Karena itu, aku katakan dan tegaskan dalam Tuhan, jangan lagi kamu hidup seperti orang-orang yang tidak percaya, yang hidup dengan pikiran yang sia-sia.
18  Pengertian mereka menjadi gelap dan terpisah dari kehidupan Allah karena kebodohan yang ada dalam diri mereka yang disebabkan oleh kekerasan hati.
19  Perasaan mereka telah menjadi tumpul dan mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu untuk melakukan segala macam kecemaran dengan keserakahan.

Itulah gambaran umum dari Alkitab tentang masyarakat manusia. Lagipula, masyarat manusia juga mengandung tekanan yang mempengaruhi setiap anggotanya untuk mengikuti jalan hidupnya. Ada kekuatan dan arus untuk membentuk kita “menjadi serupa”  dengannya (Rm 12:2). Proses ini terjadi sejak setiap orang dilahirkan, seperti gravitasi yang menyeret kita ke bawah. Kita sepertinya berada dalam keadaan terhipnosis dan dengan rela mengikuti segala sugestinya.   Setelah lahir kembali pun, kita tetap merasakan kekuatan dari arus itu melalui pergaulan. Lalu, bagaimana kita dapat mematahkan kekuatan sugesti itu? Bagaimana kita dapat hidup di dunia ini tanpa menjadi seperti dunia? Bagaimana kita tidak ditarik ke bawah?

Yah, dengan menarik diri sepenuhnya dari waktu ke waktu dari masyarakat manusia, bahkan dari anak istri yang menjalankan pengaruh paling besar atas kita! Dalam ajaran firman Tuhan, suami dan istri hidup menyatu dan tidak boleh saling menjauhi. Namun, untuk satu alasan kita dihimbau untuk saling menjauhi, yaitu untuk berdoa. Khusus untuk generasi kita, ada satu hal lagi yang lebih sulit untuk dijauhi dibandingkan dengan anak istri, yaitu handphone kita. Kita perlu belajar mematikan handphone kita dan simpan di ruang sebelah. Pakai Alkitab tercetak pada saat teduh, jangan yang digital. Kita menarik diri sepenuhnya untuk bersekutu dengan Allah, mengekspos diri kepada terang surgawi, untuk menyerap pikiran Bapa, jalan Bapa dan kepribadian Bapa. Itulah caranya kita menyerap kemuliaan Allah dan membawanya ke dunia. Jika kita menggambarkan kehidupan rohani kita seperti pohon, maka masa bersendirian dengan Allah ialah akar bagi pohon itu. Itulah bagian yang tersembunyi dan tak kelihatan, tetapi yang paling penting.

Kehidupan Kristen yang dangkal, lemah dan selalu jatuh bangun umumnya disebabkan oleh hati yang terlalu berisik, hati yang tidak tenang. Bagaimana kita memperoleh keheningan hati yang penuh kekuatan? Bagaimana lagi kalau bukan dengan menghabiskan waktu yang tak terburu-buru dengan Bapa? Di situ kita melepaskan diri dari segala sesuatu kecuali Allah. Hanya dengan cara itu, kita akan memiliki sesuatu untuk memberkati orang-orang di sekeliling kita. Kita akan turun dari gunung dengan sesuatu yang berharga. Seperti Musa, kita akan turun dengan wajah penuh kemuliaan.

Ini merupakan hal yang harus saudara hadapi sendiri, perjalanan yang harus saudara tempuh sendiri. Para gembala, penasihat, hamba Tuhan hanya dapat membimbing saudara ke tahap tertentu. Ada hal-hal tertentu yang hanya saudara dapat lakukan sendiri. Jika saudara belajar dari waktu ke waktu menarik diri untuk mengalami perjumpaan dengan Allah, saudara akan mendapati kebanyakan masalah saudara akan terselesaikan dengan sendirinya. Saudara akan menghadapi tantangan kehidupan dengan jauh lebih tenang.


TANTANGAN KARENA MELAKUKAN PERINTAH YESUS

Kita sudah perhatikan bahwa murid-muridnya masuk perahu dan menyeberang danau, bukan atas kehendak mereka, melainkan kehendak Yesus. Mereka hanya menuruti perintah Yesus, rabi mereka. Dalam melakukan kehendak tuan mereka, justru mereka berhadapan dengan angin sakal. Apakah itu yang kita harapkan apabila kita melakukan kehendak Tuhan? Jika kita melakukan kehendak Tuhan, semuanya pasti berjalan baik dan lancar, bukan? Oh tidak! Alkitab tidak pernah menjanjikan kehidupan bebas masalah. Sebaliknya, Alkitab menjanjikan lebih banyak masalah! Mazmur 34 berkata, “kemalangan orang benar banyak, tetapi Yahweh melepaskan dia dari semuanya itu.” Jika kita melakukan kehendak Allah, semua tantangan dan kesusahan merupakan kesempatan untuk mengalami kebaikan Allah.

Peristiwa tentang Yesus berjalan di atas air dikisahkan juga di dalam Injil Markus. Namun, dalam versi Markus, ada satu komentar yang penting.

51  Lalu, ia naik bersama mereka ke perahu, dan angin itu pun reda, dan mereka sangat takjub.
52  Sebab, mereka masih belum memahami tentang mukjizat lima roti itu karena hati mereka masih dikeraskan.

Markus menilai bahwa ketakutan dan ketakjuban mereka disebabkan oleh kekerasan hati mereka. Mereka masih belum memahami tentang mukjizat lima roti itu. Mereka tidak memperoleh wawasan, mereka tidak melihat maksud dari mukjizat itu. Atau mengikuti bahasa Injil Yohanes, mereka melihat mukjizat, tetapi tidak melihat tanda (Yoh 6:26). Mungkin Markus berpendapat, mereka tidak akan panik menghadapi masalah andai saja mereka memahami maksud dari mukjizat lima roti itu.

Coba saudara bayangkan betapa bosannya Injil jika dikisahkan seperti ini: Yesus pergi ke Kanaan untuk menghadiri sebuah perjamuan pernikahan. Di pernikahan itu, makanannya cukup dan anggurnya pun cukup. Semua orang menikmati perjamuan dan pulang dengan bahagia. Suatu ketika, Yesus mengajar 5.000 sepanjang hari dan malam. Ketika jam makan malam tiba, puji Tuhan, ternyata semua orang tidak lupa membawa bekal. Ada cukup makanan untuk semua orang. Setelah makan malam, mereka semua pulang dalam keadaan damai.  Lalu Yesus menyuruh murid-muridnya menyeberang danau mendahuluinya. Cuacanya cerah dan lautnya tenang. Jadi, mereka segera sampai ke tempat tujuan dengan aman. Siapa ingin baca Injil seperti ini? Namun, itulah sifat manusia, kita menginginkan mukjizat, tetapi tidak ingin berada dalam keadaan di mana kita membutuhkan mukjizat. Kita ingin masuk surga, tetapi tidak ingin mati.

Jadi ingat, melakukan kehendak Tuhan, tidak membebaskan kita dari masalah. Sebaliknya, kita sering kali akan di bawa ke dalam tantangan yang hanya dapat diatasi Tuhan. Semua kesempatan itu adalah kesempatan untuk melihat kemuliaan Tuhan.


BERJALAN ATAS AIR // BERJALAN DALAM ROH

Injil Matius menceritakan bahwa Petrus juga berjalan atas air. Jadi, mukjizat ini tidak terbatas kepada Yesus. Menurut saya, mukjizat Petrus berjalan atas air lebih mengherankan walaupun hanya beberapa langkah. Setiap langkah harus diambil dalam iman, tanpa ada keraguan sama sekali.

Berjalan atas air, merupakan kiasan yang paling tepat untuk “berjalan dalam Roh”. Berjalan atas air ialah sebuah mukjizat menentang gravitasi. Ada kekuatan supernatural yang melawan kekuatan alam yang menariknya ke bawah. Dalam kehidupan rohani, kekuatan yang menarik kita ke bawah itu adalah kuasa daging, dunia dan dosa. Seperti gravitasi, kita tidak sanggup melawannya. Keinginan daging, dunia dan dosa memperbudak kita seperti Firaun memperbudak bangsa Israel. Namun, jika kita berjalan dalam Roh, kita tidak akan pernah tenggelam. Setiap langkah yang kita ambil merupakan sebuah mukjizat. Langkah demi langkah dijalani dalam iman, dalam anugerah. Dengan demikian, kita menjalani sebuah kehidupan yang supernatural. Jadi, berjalan dalam Roh adalah sebuah petualangan yang exciting, tidak berbeda dari berjalan atas air.   


APAKAH YOHANES 6:21 MERUPAKAN SEBUAH MUKJIZAT?

Kita akan mengakhiri pesan hari ini dengan Yohanes 6:21,

21  Setelah itu, mereka mau menaikkan dia ke dalam perahu dan tiba-tiba perahu itu sudah sampai ke tempat yang mereka tuju.

Apakah ini juga sebuah mukjizat? Apakah ini sebuah mukjizat sangat tergantung pada bagaimana kita memahami kata “tiba-tiba”. Para penafsir Alkitab tidak semuanya berpendapat ini merupakan sebuah mukjizat. Terjemahan LAI menerjemahkannya sebagai “seketika itu juga”. Jadi, LAI dan AYT menganggap peristiwa ini sebagai sebuah mukjizat.

Para penafsir yang tidak menganggapnya sebagai mukjizat berargumentasi bahwa kata “tiba-tiba” dapat juga diterjemahkan dengan “segera”, yaitu tidak lama kemudian. Setelah Yesus masuk ke dalam perahu, angin reda dan mereka segera tiba di tempat tujuan. Mereka menolaknya sebagai mukjizat karena alasan berikut: Jika ini sebuah mukjizat, maka ini merupakan sebuah mukjizat yang besar. Bagaimana mungkin hal ini tidak dicatat oleh Matius dan Markus, yang juga mencatat peristiwa Yesus berjalan di atas air? Bagaimana mungkin sebuah mukjizat yang demikian besar dicatat dengan sebuah kalimat yang demikian pendek?

Para penafsir yang menganggapnya sebagai mukjizat akan menunjuk kepada fakta bahwa perahu itu ada di tengah danau. Disebutkan dengan jelas bahwa para murid telah mendayung sejauh 3-4 mil. Kita tahu bahwa Danau Galilea lebarnya 8 mil dan panjangnya  13 mil. Jadi, mereka berada kira-kira di tengah danau, sekitar jam 3-6 pagi.

Untuk sementara waktu, kita tidak perlu membahas secara detail apakah ini sebuah mukjizat atau bukan. Apakah mukjizat atau tidak, pelajaran rohaninya tetap sama. Dalam Injil Markus dan Kisah Para Rasul, saudara akan mendapat kesan bahwa Allah selalu bekerja secara mendadak, secara tiba tiba. Hal ini sangat kentara dalam kedua kitab ini. Pekerjaan Allah selalu terjadi secara mendadak, tiba-tiba, dinamis dan mengejutkan semua orang. Kita hanya perlu membaca sekilas untuk merasakan aspek ini dari pekerjaan Allah.

Kita pula merasa sangat tidak nyaman dengan konsep ini. Kita jauh lebih nyaman dengan yang pelan-pelan. Kita maju pelan-pelan dan semuanya dapat diduga. Dari pengalaman saya mengajar firman Tuhan sekian banyak tahun, saya kadang-kadang dapat memprediksi pertanyaan orang yang berikut. Setiap kali berbicara tentang hidup berkemenangan, berkemenangan atas dosa, atas daging, atas dunia, hampir setiap kali pertanyaan yang sama akan muncul, “Ini sebuah proses, bukan?” Jawaban yang sebenarnya adalah “tidak”, tetapi karena kekerasan hati kita, saya menjawab, “ya” (Mat 19:8). Apakah yang Anda maksudkan dengan proses? Seminggu? Sebulan? Setahun? Sepuluh tahun? Setahu saya pertumbuhan itu sebuah proses, tetapi apakah mengatasi dosa itu sebuah proses? Apakah pertobatan dari dosa tertentu itu sebuah proses? Kita sepertinya lebih nyaman jika perahu kita maju senti demi senti, sekalipun kita bergumul setengah mati di atas perahu. Saya pikir di balik pertanyaan itu ialah seorang yang membenci akibat dosa, tetapi menyukai dosa. Saya menjawab ‘ya’ karena kita semua butuh waktu karena kekerasan hati kita.

Apakah pelajaran rohaninya? Apakah saudara bersedia menaikkan Yesus ke dalam perahu saudara? Apakah saudara bersedia memasukkan Yesus ke dalam kehidupan saudara? Ke dalam kehidupan keluarga saudara? Ke dalam jemaat saudara? Jika ya, kita akan “tiba-tiba”, “seketika itu juga”, atau “segera” mencapai tujuan yang ditetapkan Yesus bagi kita. Tidak penting apakah itu mukjizat atau tidak. Pokoknya, kita akan segera sampai. Pertanyaannya ialah, apakah Yesus ada di dalam perahu saudara?

 

Berikan Komentar Anda: