Ev. Xin Lan | Rahab (2) |  

Hari ini kita masih akan membahas tentang Rahab. Berbagai peristiwa yang terkait dengan Rahab dicatat dalam kitab Yosua pasal 2 dan 6. Dia adalah perempuan yang tinggal di Yerikho dan kedudukannya di tengah masyarakat sana sangat rendah, yaitu sebagai seorang pelacur. Namun, dia menyambut dan melindungi dua pengintai dari Israel. Jadi, ketika bangsa Israel menumpas penduduk Yerikho, hanya dia dan keluarganya saja yang diselamatkan.

Allah memerintahkan bangsa Israel untuk menumpas semua penduduk Yerikho dan kota-kota lainnya di tanah Kanaan. Hanya Rahab dan keluarganya saja yang tidak ikut ditumpas, bahkan dijadikan bagian dari bangsa Israel. Nama Rahab ini ternyata ada di dalam silsilah garis keturunan Yesus. Mengapa nasib keluarga Rahab begitu berbeda dari penduduk tanah Kanaan yang lain? Karena Rahab membuat keputusan yang penting pada saat yang genting, yakni pertobatan. Di dalam diri Rahab, kita menyaksikan peristiwa bagaimana seseorang yang tidak mengenal Allah kemudian menjadi bagian dari umat Allah. Sama seperti zaman sekarang, bagaimana seorang yang belum mengenal Allah kemudian menjadi umat Kristen. Awalnya dengan mendengarkan Injil, lalu muncul kerelaan untuk percaya dan bertobat, bersedia membayar harga yang sangat mahal berupa tindakan meninggalkan cara hidup yang lama. Demikianlah, Allah memberi Rahab kesempatan untuk memulai hidup yang baru serta memberkati dia secara luar biasa.

Sebelumnya, Rahab ini merupakan seorang pelacur, tetapi akhirnya dia bukan hanya menjadi bagian dari umat Allah, melainkan juga menjadi leluhur dari Raja Daud. Dia juga tercatat dalam daftar silsilah Yesus. Keselamatan dari Allah sungguh ajaib! Saat kita masih belum mengenal Allah, mungkin kita menjalani kehidupan penuh dosa yang membuat kita direndahkan oleh masyarakat. Seorang pelacur masih direndahkan oleh masyarakat zaman sekarang. Dunia ini memang kejam. Di satu sisi, kita didorong untuk memuaskan kedagingan dan hasrat-hasrat dosa semaksimal mungkin. Namun di sisi lain, dunia ini juga berkeras untuk menetapkan standar moral dari luar. Begitu anda berbuat dosa, maka anda akan menghadapi tudingan dari banyak arah dan orang-orang akan bangkit menentang anda. Sekalipun anda bersedia berubah, orang masih akan memakai hal-hal itu sebagai patokan untuk menilai anda. Demikianlah, anda bisa melihat bahwa orang-orang yang jatuh bahkan sampai masuk penjara akan sangat sulit untuk bisa bangkit lagi di tengah masyarakat. Akan tetapi, Allah tidak seperti itu. Dia akan memberi kesempatan kepada kita. Jika kita benar-benar bertobat, Allah akan benar-benar mengampuni dosa kita, memberi kita hidup yang baru dan kesempatan untuk membuat awalan yang baru pula. Yang lama benar-benar sudah berlalu, dan yang baru sudah datang. Kita benar-benar bisa menjadi seorang manusia baru, inilah keselamatan ajaib dari Allah. Persoalannya adalah apakah kita benar-benar ingin meraih keselamatan ini seperti Rahab?

Sungguh aneh, kota sebesar Yerikho dengan penduduknya yang banyak. Ada banyak bangsawan, perwira, pejabat, cendekiawan, pengusaha, rakyat sipil dan sebagainya. Namun, tak satu pun dari antara mereka yang mau bertobat. Hanya seorang pendosa yang mereka remehkan, seorang pelacur, yang mau bertobat. Bukankah ini aneh? Sebenarnya, faktor yang menghalangi mereka dalam hal mengenal Allah itu biasanya bukan dosa, melainkan merasa benar sendiri. Jika seseorang menyadari sepenuhnya akan dosa-dosa yang dia miliki, dia akan merindukan kabar baik Injil dan berusaha untuk berubah serta diselamatkan. Jika seseorang merasa bahwa dia baik-baik saja dan tidak berbuat dosa, dia tidak akan merasa perlu untuk berubah. Dia tidak akan merasa perlu keselamatan karena mengira bahwa dirinya sudah cukup baik dalam semua hal. Demikianlah, anda akan dapati bahwa “orang baik-baik” ini akan sangat sukar mempercayai Tuhan. Jika anda memberitakan Injil kepadanya, dia akan berkata, “Aku bukan pembunuh, bukan pezinah, bukan maling dan bukan perampok. Aku tidak pernah melakukan kejahatan besar. Jika memang ada Allah, bagaimana mungkin Allah akan menghukumku ke dalam neraka? Seharusnya aku masuk surga.” Saya pernah secara langsung mendengarkan orang non-Kristen yang berkata seperti itu.

Manusia memiliki nilai-nilai moral mereka sendiri. Entah di surat kabar, dalam sinteron atau siaran TV lainnya, orang-orang mempromosikan suatu nilai moral tertentu, dan mereka yang berbuat jahat akan dicela masyarakat, sedangkan mereka yang berbuat baik akan dipuji masyarakat. Orang yang melakukan pembunuhan, korupsi, pencurian, perampokan,  dan sebagainya, akan direndahkan oleh masyarakat. Jika disebutkan tentang seorang pelacur, orang lain akan cenderung menilainya sebagai seorang pendosa. Masalahnya, standar moral manusia terlalu rendah, tak dapat dibandingkan dengan standar moral Allah. Allah melihat isi hati manusia. Kadang kala, dari sisi luarnya, kita tidak melakukan dosa-dosa tersebut. Dari sisi luar kita bukanlah pelacur, mungkin karena peluangnya belum terbuka. Padahal, di bagian batinnya sangat kotor dan menjijikkan. Hanya karena kita memperlihatkan sisi luar yang menuruti standar moral masyarakat, lalu kita mengira bahwa kita adalah orang benar. Hal ini akan menjadi rintangan bagi kita dalam urusan mengenal Allah, dan persoalan yang muncul akan jauh lebih mengerikan.

Saat anda memberitakan Injil, anda akan temukan bahwa mereka yang dari sisi luar memiliki banyak kesalahan, melakukan banyak dosa, dan mungkin tergila-gila pada dunia, memiliki rasa tertarik yang lebih besar akan Injil. Pada akhirnya, mereka mungkin akan menjadi seperti anak yang hilang, yang bertobat dan datang kepada Tuhan serta menjadi orang Kristen yang sejati, bersedia melayani Allah dalam sisa hidup mereka. Ini karena mereka tahu persis betapa berdosanya diri mereka, dan mereka sudah merasakan pahitnya akibat dosa dalam kehidupan mereka. Jadi mereka benar-benar bersedia meninggalkan cara hidup lama mereka dan memulai suatu awalan yang baru. Demikianlah, Injil akan menjadi sangat berharga bagi mereka. Sebaliknya, mereka yang tidak melakukan dosa-dosa besar di sisi luar kehidupan mereka dan merasa bahwa mereka adalah orang benar, adalah orang-orang yang sangat sukar untuk percaya kepada Allah. Tak heran jika Yesus berkata, “Orang sakitlah yang membutuhkan tabib.”

Semasa Yesus masih di bumi, ada banyak pelacur dan pemungut cukai yang mengerumuni dia, tetapi orang-orang Farisi justru memusuhi dia dalam banyak hal. Demikianlah, pelacur dan pemungut cukai dipandang sebagai pendosa oleh masyarakat Yahudi zaman itu. Mereka sadar bahwa mereka orang berdosa, jadi mereka sangat mengharapkan keselamatan. Bagi masyarakat awam, orang-orang Farisi merupakan kalangan yang memiliki standar moral sangat tinggi. Orang-orang Farisi dipandang sebagai golongan saleh, tetapi mereka gemar merasa paling benar. Yesus kerap menegur semangat membenarkan diri orang-orang Farisi. Mereka merasa paling benar, dan hal ini mendorong mereka untuk mengkritik Yesus dalam berbagai hal. Hal ini menjadi rintangan terbesar bagi mereka dalam meraih keselamatan.

Demikianlah, semakin orang menyadari dosa-dosanya, semakin dia menghargai keselamatan dari Allah. Orang yang merasa bahwa dia sudah benar, akan berpikir bahwa dia berhak untuk masuk ke dalam kerajaan Allah, bahwa dia tidak membutuhkan keselamatan. Namun, persoalannya adalah apakah kita memang benar-benar baik di mata Allah? Apakah kita memang tidak berdosa? Allah Mahatahu. Alkitab menjelaskan bahwa kita selalu memandang perbuatan kita benar. Kita selalu merasa sebagai orang benar. Akan tetapi, Yahweh menilai isi hati setiap orang. Akhirnya, para penduduk Yerikho habis ditumpas, hanya Rahab yang mereka pandang sebagai orang berdosa, yang memperoleh keselamatan.

Apakah anda merasa bahwa diri anda sudah baik dan benar? Semoga anda bersedia berdoa kepada Allah untuk membuka mata anda dan membuat anda bisa melihat sisi asli dari diri anda. Anda akan sangat terkejut karena anda akan mendapati betapa kotornya batin anda. Maka anda akan tersungkur di hadapan Allah dan memohon pengampunan-Nya, memohon perubahan dan keselamatan dari-Nya. Selanjutnya anda tidak akan merendahkan mereka yang pernah melakukan “dosa besar”. Anda tidak akan mudah mengkritik dan menegur orang lain karena anda bisa melihat secara mendalam betapa diri anda sendiri, dalam hal apa pun, tidak lebih baik daripada orang lain. Di mata Allah kita semua sama, orang-orang berdosa.

Selanjutnya, mari kita bahas satu pertanyaan penting. Setiap kali kita membahas tentang Rahab, maka reaksi pertama kita adalah: Dia berbohong, tetapi mengapa Allah masih menerimanya? Anda lihat, kita kembali memaksakan nilai moral buatan manusia. Moral buatan masyarakat selalu disederhanakan, dipusatkan pada urusan yang bisa diamati dari luar dan hal itu dijadikan aturan hukum. Pada akhirnya, manusia bisa saja melakukan dosa besar yang sangat memalukan tanpa merasa bersalah karena mengikuti tatanan moral masyarakat, dia bahkan tidak menyadari besarnya dosa dari perbuatannya itu. Dia akan tetap merasa sebagai orang benar dan berani mencela orang lain. Akan tetapi, Allah melihat urusan ini tidak dalam bentuk sesederhana dan sedangkal itu. Dia akan melihat semua urusan secara mendalam dan utuh. Secara keseluruhan, masyarakat cenderung mengabaikan hal-hal yang penting ini, cenderung mengutamakan hal-hal remeh dan mengabaikan gambaran utuhnya. Manusia cenderung memusatkan perhatian pada kata-kata dalam aturan serta melupakan inti persoalan. Tak heran sewaktu Yesus masih menjalani pelayanan di bumi, orang-orang Farisi sering menuduh Yesus melanggar hukum Taurat. Perbedaan kuncinya adalah karena Yesus mengikuti inti dari hukum Taurat sementara orang-orang Farisi hanya mengikuti tata aturan dalam hukum Taurat. Dari sisi luar, tindakan menuruti inti dari hukum Taurat bisa terlihat seperti tindakan melanggar aturan. Akan tetapi, tindakan menuruti inti dari hukum Taurat ini sebenarnya justru merupakan pelaksanaan yang sejati dari hukum Taurat. Sebaliknya, tindakan menuruti tata aturan dalam hukum Taurat bisa melanggar inti dari hukum Taurat, dan akibatnya mereka beresiko jatuh ke dalam dosa yang bahkan lebih besar di mata Allah. Demikianlah, teguran yang disampaikan oleh Yesus kepada orang-orang Farisi merupakan teguran yang berat, sampai mengatakan bahwa mereka layak masuk neraka.

Jika kita membicarakan masalah dusta, kita cenderung membuat definisi: semua dusta adalah dosa. Namun, benarkah definisi semacam ini? Lalu apa makna dusta itu? Definisi yang diberikan oleh kamus adalah “tindakan secara sengaja untuk tidak memberitahukan kebenaran”. Apakah hal “sengaja tidak memberitahukan kebenaran” itu dosa? Maka jawabannya akan bergantung pada pada tujuan dan motivasi di balik tindakan anda. Mengapa kita gemar berdusta? Biasanya karena ingin meraih keuntungan tertentu, dan untuk itu kita membohongi orang lain. Mungkin karena itu, maka setiap kali kita melihat kata “dusta”, kita lalu merasa jijik, dan memandang hal itu sebagai dosa besar.

Akan tetapi, ada juga tuntutan situasi yang berbeda, misalnya, dalam kasus orang yang menderita penyakit yang tak tersembuhkan. Sang dokter menduga bahwa pasien tersebut tidak akan sanggup menanggung beban psikologis dari kondisinya, jadi dokter memutuskan untuk tidak memberitahu pasien bahwa dia sudah menjelang ajal. Jadi dokter itu berkata, “Penyakit anda tidak parah, anda akan segera sembuh, tidak usah kuatir.” Pihak keluarganya juga menentramkan hati pasien tersebut dengan cara yang sama, membuat dia mengira bahwa penyakitnya tidak parah dan dia akan segera sembuh. Dalam situasi ini, apakah berdusta kepada pasien merupakan tindakan dosa?

Saya teringat pada suatu wawancara di sebuah stasiun TV, narasumbernya adalah pimpinan sebuah rumah sakit. Yang istimewa adalah bahwa rumah sakit ini bukan rumah sakit biasa, khusus menangani pasien yang sudah menjelang ajal. Para pasien di sini adalah orang-orang yang penyakitnya sudah berada di tingkat yang paling parah dan hanya menunggu ajal. Mereka masuk ke rumah sakit ini untuk menantikan ajal mereka. Para petugas medis di sini berusaha semampu mereka untuk merawat para pasien, mengasihi mereka dan mengupayakan supaya merek bisa meninggal dengan tenang. Sang wartawan mewawancarai pimpinan prumah sakit ini, menanyakan mengapa dia membuka rumah sakit semacam ini. Direktur tersebut lalu menceritakan masa lalunya. Pada waktu masih muda, dia ditangkap saat berlangsungnya masa Revolusi Kebudayaan di China (sekitar tahun 1966 sampai 1976) dan dikirim ke tempat kerja paksa di suatu lahan pertanian. Pada masa itu, banyak orang yang ditangkap dan dikirim ke lokasi-lokasi kerja paksa di area pertanian, tuduhan yang diajukan kepada mereka bermacam-macam. Di antara para tahanan kerja paksa ini, ada seseorang yang menderita suatu penyakit parah dan akan segera meninggal. Akan tetapi, tuduhan sebagai musuh rakyat masih melekat pada dirinya, membuat orang itu sangat kecewa. Direktur rumah sakit ini merasa kasihan kepadanya. Dia heran mengapa para penjaga tidak membiarkan orang ini meninggal dengan tenang tanpa penyesalan apa-apa? Lalu dia mendatangi orang yang sakit keras itu dan dengan sikap serius berkata kepadanya, “Saya sudah berbicara dengan sekretaris partai, mereka berkata bahwa anda adalah orang baik dan bukan musuh rakyat.” Tentu saja, dia mengucapkan hal itu untuk membohongi orang yang sakit parah ini. Dampak yang dia lihat pada diri orang itu sangat luar biasa, terjadi perubahan besar dalam diri orang tersebut. Penyakitnya tetap parah, tetapi orang itu sendiri berubah menjadi sangat tenang, dan akhirnya dia meninggal dengan tenang. Kejadian ini meninggalkan kesan mendalam di benak direktur tersebut, hal yang memotivasi dia untuk melayani para pasien yang menjelang ajal. Demikianlah, ketika keadaan di China semakin membaik, dia lalu membuka sebuah rumah sakit yang khusus merawat pasien yang menjelang ajal. Apakah tindakan bohong yang satu ini merupakan dosa?

Contoh lain, jika suatu hari nanti orang-orang Kristen mengalami penganiayaan besar, orang-orang memasukkan umat Kristen ke penjara. Lalu mereka yang mencari orang-orang Kristen bertanya kepada anda, “Tahukah kamu di mana orang ini?” Anda tahu persis di mana orang itu berada. Apakah anda akan menjawab dengan jujur? Inilah pertanyaan yang dihadapi oleh Rahab. Raja Yerikho mengirim utusan untuk menanyai dia, “Dia mana dua orang mata-mata dari Israel itu? Serahkan mereka kepada kami!” Menyerahkan atau tidak? Anda mungkin berkeras mengatakan bahwa anda tidak ingin berbohong, dusta adalah dosa. Namun, di sisi lain, jika anda bertindak jujur, lalu menyerahkan anak-anak Allah itu kepada para pengejar mereka, bukankah ini juga suatu dosa? Apakah memberitahu kebenaran dalam kasus ini bukan merupakan dosa? Saya rasa tidak ada orang yang memuji pengkhianat. Seorang pengkhianat merugikan bangsanya sendiri dengan membocorkan kebenaran. Mengapa seorang pengkhianat dihina dan dibenci karena membocorkan kebenaran kepada pihak lain? Saya rasa kita semua paham akan logika ini. Logika manusiawi kita kadang kala menghasilkan kontradiksi.

Contoh yang lain lagi, jika anda tidak menyukai seseorang yang menurut anda bodoh. Lalu anda langsung berbicara kepadanya, “Kamu bodoh, saya tidak suka melihatmu!” Anda sedang menyampaikan kebenaran. Akan tetapi, jangan lupa bahwa Yesus berkata di Matius pasal 5 bahwa jika anda mengatai saudara anda, “Bodoh,” yang merupakan suatu penghinaan kepadanya, anda akan dihakimi; anda akan masuk ke neraka. Apakah anda akan berdebat dengan Allah dan berkata, “Aku tidak melakukan dosa kebohongan?”

Kembali pada kasus Rahab, kita bisa melihat bahwa urusan dosa atau bukan dosa ini tidak sesederhana yang kita bayangkan. Dalam konsep moral manusia, cara kita memahami persoalan terlalu dangkal. Allah melihat persoalan secara sangat mendalam. Yang Dia nilai penting adalah niat di balik tindakan dan bukan tindakan itu sendiri. Ada dua orang yang mungkin melakkan tindakan yang sama, yang satu bisa saja tidak berdosa, dan yang satunya berdosa. Dalam hal mengatakan dusta, orang yang melakukan itu tidak berdosa jika niatnya adalah demi kebaikan orang lain dan dilandasi oleh itikad baik. Sama seperti kasus di atas, dokter ini ingin agar para pasiennya bisa meninggal dengan tenang, maka dia mengatakan kepada para pasiennya bahwa penyakit mereka tidak gawat. Direktur rumah sakit ini ingin agar tahanan yang menderita sakit parah itu bisa meninggal dengan tenang tanpa terbebani oleh tuduhan sebagai “musuh rakyat”, sehingga dia menyampaikan kebohongan kepada orang tersebut.

Kebohongan Rahab bukanlah suatu dosa, dia ingin menyelematkan nyawa kedua pengintai itu. Kebohongannya bukan hanya bersih dari dosa, Alkitab justru memuji dia karena imannya saat menyambut kedua pengintai itu. Dia mempertaruhkan nyawanya. Mari kita bayangkan jika urusan itu terbongkar, raja Yerikho akan menghukum mati dia. Pada masa depan nanti, saat kita menghadapi situasi yang sama, menghadapi keadaan di mana kita dipaksa untuk mengkhianati saudara-saudari seiman kita, maka menyampaikan kebohongan tidak merupakan suatu tindakan dosa. Hal itu dilakukan demi menyelamatkan saudara-saudari seiman. Sebaliknya, jika oleh itikad yang tidak baik, bukan demi kebaikan orang lain, maka sekalipun anda menyampaikan kebenaran, hal itu tetap dipandang sebagai dosa oleh Allah.

Sebagai orang Kristen, kita harus mengerti kehendak Allah, memahami inti atau semangat dari hukum Taurat. Kita harus menuruti inti dari hukum Taurat. Sebagai contoh, kita diperintahkan untuk “jujur” sebagaimana yang menjadi salah satu dari sepuluh perintah Allah. Apakah kita akan berkata apa adanya untuk setiap pertanyaan yang diajukan oleh orang lain kepada kita? Tidak selalu demikian. Kunci dalam kehidupan Kristen adalah mengerjakan segala sesuatu sesuai dengan kehendak Allah. Jika ada hal-hal yang diinginkan oleh Allah untuk kita sampaikan, kita akan menyampaikannya. Jika Allah tidak ingin kita menyampaikannya, kita tidak menyampaikannya. Kita bisa jatuh ke dalam jebakan setan jika tidak menjalankannya seperti itu. Dalam contoh yang baru saja kami uraikan, suatu hari nanti orang-orang Kristen akan mengalami penganiayaan besar. Akan ada orang-orang yang bertugas menangkap orang-orang Kristen, dan anda mungkin akan berhadapan dengan pertanyaan tentang di mana keberadaan seseorang. Jika anda berpegang pada prinsip tidak menyampaikan kebohongan dan memberitahu tempat orang yang dimaksudkan, setan akan senang sekali. Karena jika kebenaran disampaikan dengan begitu saja, semua orang Kristen akan ditangkap dalam waktu singkat.

Tentu saja, untuk sekarang ini, kita tidak menghadapi penganiayaan besar. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, kita menghadapi berbagai persoalan yang besar maupun yang kecil. Jika kita tidak memahami prinsip rohani dengan baik, kita tidak akan tahu cara menangani persoalan. Pada akhirnya, kita bisa melakukan perbuatan jahat walau dengan niat baik. Sebagai cotnoh, ada orang yang pernah melakukan kejahatan besar atau suatu perbuatan dosa yang besar sebelum dia datang untuk percaya kepada Allah. Lalu dia bersedia untuk datang ke gereja, atau bahkan bersedia untuk memberikan diri menjadi Kristen. Perlukah kita memberitahu orang lain tentang latar belakangnya yang buruk dari masa lalu? Tentu saja, kita tidak harus menyampaikan segala sesuatu yang kita ketahui. Perilaku buruknya terjadi pada masa lalu, akan tidak bermanfaat baginya atau bagi orang lain jika kita menceritakan masa lalunya kepada orang lain. Namun, saya mendapati ada sebagian orang yang tidak memahami prinsip ini, mereka mengira bahwa mereka harus menyampaikan sejujurnya tentang segala sesuatu yang mereka ketahui. Sebagai akibatnya, saat orang itu masuk ke gereja, dia heran mengapa semua orang tahu tentang latar belakangnya yang buruk itu. Dia belum menjadi orang percaya di dalam Tuhan, dan perasaannya sudah terluka.

Di sisi lain, jika ada orang yang berbuat dosa, dia tidak bertobat dan terus saja melakukan dosa tersebut. Dalam hal ini, kita perlu memberitahu para saudara-saudari seiman tentang dosa yang dia perbuat. Sebagai contoh, saya mengenal seseorang di tengah gereja tertentu yang memiliki suatu masalah dalam dirinya. Orang ini punya kecenderungan untuk menipu orang lain demi keuntungan finansial. Dia pernah menipu salah satu penginjil demi mendapatkan uang. Akan tetapi, penginjil tersebut memandang bahwa tidak baik menceritakan kejadian itu kepada orang lain, jadi dia tidak memberitahu saudara-saudari seiman lainnya. Namun, orang ini terus saja menipu jemaat yang lain demi uang. Ada sebagian dari mereka yang merasa tidak perlu untuk mengungkapkan kebenaran. Mereka kuatir jika menceritakan hal ini, mereka akan dituduh sudah bertindak tanpa kasih. Jadi, mereka tidak menceritakannya. Pada akhirnya, orang ini terus saja menipu para jemaat sampai-sampai hampir semua jemaat sudah pernah ditipunya. Akhirnya, pada waktu semua orang menyadari hal ini, keadaannya sudah terlambat. Para saudara-saudari seiman dalam jemaat kehilangan kepercayaan mereka kepada penginjil tersebut. Gereja itu akhirnya bubar.

Demikianlah, jika kita tidak mengetahui kehendak Allah, apakah akan menyampaikan kebenaran atau menutupinya, kita akan tetap jatuh ke dalam jebakan Iblis dan menimbulkan kerusakan yang cukup besar bagi jemaat. Jika anda menimbulkan kerusakan atas jemaat atau menyakiti hati sesama jemaat, bukankah hal itu dosa di mata Allah?

Jadi, urusan menyampaikan kebenaran atau dusta merupakan persoalan yang menyangkut hidup kita. Kuncinya adalah apakah kita hidup dalam kebohongan atau dalam kasih akan kebenaran. Apakah kita tinggal dalam kerajaan Iblis atau kerajaan Allah. Di Yohanes 8:44, Yesus berkata bahwa Iblis berdusta dan dia adalah bapa segala dusta, semua anak-anaknya gemar berdusta. Alkitab berkata bahwa Allah adalah terang dan kebenaran, dan anak-anak Allah hidup di dalam kebenaran dan terang.

Demikianlah, urusan menyampaikan kebenaran atau dusta tidak sesederhana yang kita pikirkan. Di 2 Korintus 11:13-15, rasul Paulus mengingatkan orang-orang Kristen dengan berkata,

13  Sebab, orang-orang seperti itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja yang curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus.
14  Hal itu tidak mengejutkan karena Iblis pun menyamar menjadi seperti malaikat terang.
15  Karena itu, tidaklah mengejutkan jika para pelayannya juga menyamar seperti para pelayan kebenaran, yang kesudahan mereka itu akan setimpal dengan perbuatannya sendiri.

Iblis juga menyamar sebagai malaikat terang dan para hambanya menyamar sebagai pelayan-pelayan kebenaran. Apakah artinya uraian ini? Artinya adalah bahwa Iblis juga akan menyampaikan kebenaran di permukaannya. Sebagai contoh, di padang gurun, ketika Iblis mencobai Yesus, dia juga mengutip firman dari Alkitab. Dapatkah anda mengatakan bahwa dia berdusta? Persoalannya adalah dia hidup dalam dusta. Jadi, hal ini tidak ditentukan oleh apakah firman kebenaran yang sedang dia uraikan di sisi luarnya. Hal yang diperhatikan oleh Allah adalah kehidupan dan niat hati kita.

Dalam peristiwa yang terkait dengan Rahab, Allah menginginkan agar penduduk Yerikho mengakhiri cara hidup mereka yang penuh kebohongan dan berpaling kepada Allah Yang Mahabenar. Akan tetapi, mereka tidak bersedia. Rahab bersedia meninggalkan cara hidup lamanya yang penuh kebohongan serta dosa, dan berpaling kepada Allah Yang Mahabenar. Jadi, Allah menerima dia dan menjadikan dia sebagai bagian dari umat-Nya serta memberkati dia secara luar biasa.

 

Berikan Komentar Anda: