Pastor Eric Chang | 1 Korintus 13:1-8 |
Saat saya masih remaja, pada usia belasan tahun, saya sering menginap di rumah sepasang suami-istri. Pasangan ini tidak memiliki anak, mereka memperlakukan saya seperti anak kandung mereka sendiri setiap kali saya singgah ke sana. Mereka sangat baik, sangat mengasihi saya, dan saya sering singgah ke sana karena sekolah saya sangat dekat dengan rumah mereka. Rumah saya sendiri sangat jauh dari sekolah saat itu. Mereka memiliki rumah yang indah, bisnis mereka sangat sukses dan mereka mampu membeli segala yang ditawarkan oleh dunia. Namun saya melihat bahwa sekalipun mereka memiliki segala-galanya, ternyata mereka tidak memiliki apa-apa. Apa maksud ungkapan ini? Artinya, mereka memiliki segala harta benda, dan harta benda mereka justru sangat berlimpah. Mereka memiliki begitu banyak uang, sampai mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan dengan uang tersebut. Sebagai contoh, mereka gemar membeli permadani yang indah, buatan Persia maupun Tiongkok. Permadani yang berkualitas bagus harganya mencapai ribuan dolar. Koleksi permadani mereka sangat indah, tetapi jika sudah terlalu banyak yang dibeli, maka tak ada tempat tersisa untuk menggelarnya. Akhirnya mereka menggunakan sebuah ruangan untuk menyimpan sebagian besar koleksi permadani yang ditumpuk sampai cukup tinggi. Lalu apa gunanya membeli begitu banyak permadani yang indah, lalu menaruhnya dalam tumpukan yang menyita satu ruangan penuh, dan Anda hanya bisa melihat permadani yang paling atas saja? Apa gunanya membelanjakan uang ribuan dolar untuk permadani dan menumpuk sebagian besar permadani tersebut di gudang? Tahun demi tahun, tumpukan permadani tersebut menjadi semakin tinggi karena mereka tidak tahu apa lagi yang ingin dibeli, untuk hal apa lagi uang mereka akan digunakan?
Mereka bukan orang Kristen. Mereka tidak memiliki tujuan yang jelas di dalam kehidupan mereka. Lalu apa yang akan mereka perbuat dengan uang mereka? Mereka tidak begitu suka berwisata. Apa lagi yang bisa dilakukan selain menikmati hidangan lezat? Dan hal ini jelas buruk bagi kesehatan mereka yang sudah menimbun banyak lemak. Tambahan hidangan lezat bukannya memperbaiki kesehatan mereka melainkan justru memperpendek umur mereka. Menikmati makanan mewah adalah kegemaran mereka yang berikutnya, suatu hal yang lazim terlihat di kalangan masyarakat Hong Kong. Mereka mengejar segala hidangan lezat, dan tubuh mereka membengkak, lalu kondisi jantung mereka mulai memburuk. Kemudian istrinya mulai mengalami masalah dengan jantung, gula darah dan daftar masalah kesehatan ini terus berlanjut. Sang suami juga menghadapi persoalan kesehatan yang semakin banyak. Demikianlah, mereka memiliki segalanya, tetapi juga tidak memiliki apa-apa. Saya saat itu masih belum menjadi Kristen. Waktu itu saya masih berusia belasan tahun. Saya mengamati hal ini dan membatin: “Betapa hampanya hidup ini. Apa gunanya memiliki segala kekayaan tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan?” Tidak ada gunanya membeli rumah baru, dan membeli rumah baru lagi. Berapa banyak mobil yang bisa Anda kemudikan? Anda hanya dapat mengemudikan satu mobil saja. Mereka tidak berminat memiliki mobil. Mereka tidak tahu bagaimana mengemudikan mobil. Mereka tinggal di pusat kota, mereka bisa berjalan kaki ke berbagai tempat belanja, dan mereka tidak merasa perlu memiliki mobil. Saya mengamati kehidupan mereka dan membatin: “Lalu apa arti kehidupan bagi mereka, atau mungkin bagi semua orang yang hanyut dalam limpahan kekayaan semacam ini?
Saat saya datang kepada Tuhan, saya membaca 1 Korintus 13, suatu perikop yang tentunya sangat akrab bagi Anda, pasal yang berbicara tentang kasih. Perikop ini sangat penting untuk direnungkan secara mendalam.
Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan…
Anda mungkin seorang cendekiawan, memiliki banyak pengetahuan, Anda memahami banyak hal. Jika Anda seorang pakar fisika, Anda mungkin mengetahui banyak rahasia alam. Ilmu pengetahuan fisika sangat mencengangkan. Saya sering membaca buku pengetahuan fisika karena dorongan minat saya tentang perkara penciptaan. Ide-ide yang disampaikan dalam bidang ilmu ini sangatlah mengagumkan, sangat ajaib! Bidang pengetahuan fisika kuantum dan yang lainnya berisi banyak ide yang mencengangkan. Sungguh hebat hal-hal yang dapat mereka renungkan. Namun dengan semua pengetahuan ini…
… dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung.. .
Anda dapat saja menjadi seorang Kristen yang ajaib. Anda dapat saja memiliki iman yang luar biasa, iman yang jauh di atas orang Kristen rata-rata. Anda memiliki iman yang dapat menggeser gunung. Wah ini tentu luar biasa! Siapa yang memiliki iman seperti itu di sini? Mungkin tidak perlu berbicara tentang menggeser gunung besar seperti Himalaya, bagaimana jika bukit kecil seperi Mt. Royal? Dapatlah Anda memindahkan gunung? Namun sekalipun saya memiliki iman sebesar ini,
…tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.
Saya tidak berguna jika tidak memiliki kasih.
Anda mungkin berkata, “Tunggu dulu, bukankah George Bush itu Presiden AS?” Tentu saja. Lalu bagaimana mungkin Anda berkata bahwa jika dia tidak memiliki kasih maka dia bukan apa-apa? Dia adalah Presiden AS, dan ini adalah kedudukan penting. Atau, jika Anda seorang cendekiawan atau profesor dengan kedudukan tertentu di dunia ini, lalu Anda tidak memiliki kasih jadi Anda bukan apa-apa? Apakah profesor Anda memiliki kasih? Tidak, dia justru mempersulit hidup Anda, dia sangat menyusahkan Anda. Dia menyuruh Anda untuk mengerjakan tugas sampai larut malam. Mata Anda berkejap-kejap dan memerah karena lelah. Namun dia berkata, “Tugas ini harus selesai besok!” Anda membatin, “Orang ini bukan manusia. Mungkin dia lupa seperti apa ketika masih kuliah. Mungkin juga dia ingat bagaimana profesornya menjejali dia dengan setumpuk tugas dan sekarang dia membalas semua itu ke saya. Kalau Anda ingin membalas dendam, jangan arahkan dendam itu ke saya. Balaslah ke profesor Anda.” Namun dia tidak dapat mengganggu profesornya, Andalah yang dia jadikan sebagai sasarannya. Orang ini bukan manusia! Namun apakah dia bukan apa-apa? Tentu saja, dia orang penting; dia adalah bos Anda! Lalu apa maksud uraian bahwa saya bukan apa-apa? Ayat ini tidak masuk akal! Saya bukan apa-apa, dia bukan apa-apa. Tentunya dia adalah orang penting. Mungkin saya bukan apa-apa, tetapi dia adalah orang penting. Dan dia tidak memiliki kasih.
Bukan itu makna yang dimaksudkan. Tanpa kasih, tak seorang pun, termasuk George Bush, dipandang berarti di mata Allah. Inilah makna yang dimaksudkan. Inilah sudut pandang Allah. Tentu saja, di mata dunia, seorang Presiden tetaplah seorang Presiden. Seorang profesor tetaplah seorang profesor. Dia tetap memiliki kedudukan dan kehormatannya. Dia tetap merupakan orang penting di mata dunia. Namun di dalam pandangan Allah, tanpa kasih Allah, maka mereka tidak berarti apa-apa, demikian pula halnya dengan kita. Pokok ini sangatlah penting untuk dipahami karena cara Allah menilai berbeda sepenuhnya dengan cara manusia menilai. Usahakanlah untuk memahami pokok ini dengan jelas.
Jika Anda berkedudukan penting, sekalipun di dalam gereja, memiliki iman, memiliki kemampuan untuk bernubuat, Anda terlihat memiliki hal penting karena memiliki kemampuan untuk nubuat. Jika Anda dapat berbicara dalam bahasa malaikat, memiliki pengetahuan sampai pada pokok-pokok rahasia rohani, Anda akan dipandang penting di gereja, bukankah begitu? Anda dapat membuka Alkitab dan menguraikan isinya sampai membuat orang lain melongo. Wow! Orang ini ajaib! Dia sungguh luar biasa! Dia membuka Alkitab dan mampu menguraikan maknanya kepada Anda. Saya tak pernah melihat hal yang seperti ini dalam hidup saya! Dia memahami perkara-perkara rahasia, sama seperti Paulus sendiri. Paulus memahami perkara-perkara rahasia, dia memiliki iman yang mampu memindahkan gunung. Dan dialah yang memberitahu kita bahwa di mata Allah, semua itu tidak berarti tanpa kasih. Tak ada artinya! Di mata Allah, sekalipun Anda adalah seorang hamba Tuhan atau pendeta, Anda tidak ada artinya jika tidak memiliki kasih-Nya. Sudut pandang ini tentu saja luar biasa. Ia mengubah pola pemahaman kita. Dengan kata lain, jika saya mengamati Anda, jika saya mengamati seorang pekerja Kristen, mengamati khotbah seseorang, saya tidak akan berkata, “Oh, orang ini adalah hamba Tuhan yang luar biasa karena dia berkhotbah dengan sangat fasih!” Jika Anda berpikir seperti ini, maka Anda sedang berpikir dalam hikmat manusia. Dia sangat fasih. Pasti dia seorang hamba Tuhan yang besar. Dia mampu mengadakan mukjizat. Dia memahami berbagai perkara rahasia.
Tuhan juga memberi saya berbagai pernyataan. Menurut saya, ini semua bukan karena saya penuh kasih; ini karena Dia berbelas kasihan kepada orang lain. Beberapa waktu yang lalu, ada seseorang yang mengajukan permintaan untuk ikut pelatihan purna waktu, dan orang ini tidak begitu saya kenal karena sekarang ini ada banyak orang yang tidak begitu saya kenal berminat ikut pelatihan. Malahan sebagian dari mereka mungkin belum pernah bercakap-cakap dengan saya karena banyaknya jumlah jemaat di gereja. Dia melamar untuk masuk ke dalam pelayanan full-time. Di masa lalu, biasanya saya mewawancarai para kandidat, tetapi sekarang jika saya ingin melakukan hal yang sama, maka saya harus bepergian sampai ke tiga benua. Saya harus berkeliling dunia untuk dapat mewawancarai mereka semua. Jadi saya serahkan urusan penilaian kepada rekan-rekan sekerja, dan saya akan mempelajari hasil penilaian mereka, mendoakannya kepada Tuhan dan jika saya merasa perlu mendapat kejelasan, saya akan menanyai para rekan sekerja untuk mendapat klarifikasi. Dan ketika saya berdoa kepada Tuhan, mencari kehendak Tuhan mengenai orang ini, orang yang tidak begitu saya kenal ini, firman Tuhan datang dan berkata kepada saya, “Ada sesuatu hal dalam hidup orang ini yang perlu diluruskan. Sebelum hal tersebut diluruskan, orang ini tidak dapat diterima.”
Terdapat dua macam kasih dan kita selalu mengadapi resiko mencampur-adukkan keduanya. Ada kasih manusia dan ada juga kasih Allah, dan keduanya sangat berbeda. Perbedaan kedua macam kasih ini sangat radikal atau mendasar. Namun di dalam penampakannya, kedua macam kasih ini terlihat sangat mirip. Manusia akan tertipu kalau melihat dari sisi luarnya karena kedua macam kasih ini sangatlah mirip, akan tetapi tidak akan dapat mengelabui Allah. Itu sebabnya meskipun dari luar Anda terlihat sangat pengasih, sabar dan ramah tetapi kita harus memerhatikan ayat 3. Sekalipun aku membagikan segala yang ada padaku, mempersembahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi aku tidak memiliki kasih, tidak memiliki kasih Allah, mungkin saya dimotivasi oleh kasih yang lain, kasih manusia, di mata Allah saya bukan apa-apa, tidak ada faedahnya bagi saya dan saya bukan apa-apa.
Banyak orang, oleh dorongan semangat nasionalisme, rela mengorbankan diri mereka. Mereka memang secara harafiah mengorbankan diri mereka. Ingatkah tentang hal-hal yang terjadi di Vietnam saat beberapa orang biksu menyiramkan bensin ke tubuh mereka dan membakar diri untuk menyatakan protes politik. Mereka menjadi martir dalam sejarah bangsa mereka. Tindakan tersebut memasukkan mereka ke dalam catatan sejarah karena sangat jarang ada orang yang rela membakar diri. Secara harafiah mereka merelakan diri mereka untuk dibakar. Dan tentunya, jika Anda merelakan diri Anda untuk dibakar, maka Anda sudah merelakan segala yang ada pada Anda. Tak ada lagi hal yang merupakan milik Anda jika Anda sudah terbakar. Namun apakah hal ini disebabkan oleh kasih Allah? Itukah kasih Allah? Belum tentu. Mungkin ya, mungkin juga bukan. Hanya Allah yang melihat ke dalam hati. Bukan hak kita untuk menghakimi. Yang dapat saya katakan adalah belum tentu hal itu disebabkan oleh kasih Allah. Kita dapat melakukan hal yang sangat radikal berdasarkan amarah atau bahkan kebencian. Agak mencengangkan. Orang yang bertindak melakukan pembunuhan tahu bahwa jika mereka tertangkap, maka mereka juga akan mati. Mereka juga akan menghadapi kebinasaan. Akan tetapi mereka tetap melakukannya. Secara harafiah, mereka rela mengorbankan diri demi memuaskan dendamnya. Hal mengorbankan diri tidak selalu dilandasi oleh dorongan kasih. Jika mereka tertangkap dan dipenjarakan, maka segala yang ada pada diri mereka tidak akan dapat menolong mereka. Anda dapat saja mengorbankan segalanya demi amarah dan kebencian. Demikianlah, contoh-contoh semacam ini banyak ditemukan.
Camkan juga bahwa orang yang ingin masuk ke dalam pelayanan full-time kita telah merelakan segala milik mereka, tetapi hal itu tidak selalu dimotivasi oleh landasan yang benar. Mungkin saja seseorang merasa bahwa hidupnya tidak bermakna, lalu dia ingin memiliki hidup yang bermakna, dan pelayanan di gereja memang dapat memberi makna dalam kehidupan. Menjadi pemimpin jemaat memang sangat bermakna, sekaligus memberi semacam kepuasan, walaupun berisi banyak tekanan. Demikianlah, seseorang bisa saja mengorbankan profesi, berikut segala miliknya, untuk masuk ke dalam pelayanan. Akan tetapi hal itu dapat saja disebabkan oleh ambisi lain yang tidak semestinya rohani. Kadang kala, hal ini memang terjadi, dan di dalam pengalaman saya hal itu sempat terjadi. Niat untuk melayani tidak selalu dilandasi oleh kasih. Bagi Anda yang masuk ke dalam pelayanan full-time, renungkan baik-baik isi khotbah ini. Tanpa kasih, di mata Allah, Anda bukan apa-apa. Mungkin Anda memiliki bekal pendidikan yang terbaik, dan hal itu dapat memberi Anda kebanggaan karena Anda menguasai firman Allah. Anda menjadi orang yang dipandang ahli dalam bidang tersebut sampai ke tingkat Anda tidak perlu merasa minder dengan kemampuan Anda. Anda dapat merasa bangga akan hasil karya Anda. Anda dapat menguraikan isi Kitab Suci dan orang-orang akan mempelajarinya serta mengagumi kefasihan, kedalaman pandangan dan segala sesuatunya. Namun sekali lagi, saya harap Anda camkan bahwa di dalam pandangan Allah, itu semua tidak ada faedahnya. Dia hanya melihat satu hal, dan satu hal saja, yakni apakah kasih-Nya ada di dalam hati Anda.
Kasih manusia bersifat mementingkan diri sendiri dan Anda dapat langsung menguji diri Anda. Jika niat yang melandasi tindakan Anda bersifat mementingkan diri sendiri atau, sampai pada tingkat tertentu bersifat egois, maka kasih itu bukan bersumber dari Allah. Kasih manusia bersifat mementingkan diri sendiri. Itu sebabnya saya menyebutkan tentang dua macam kasih yang berbeda. Keduanya sering terlihat serupa dari tampilannya walaupun sebenarnya berbeda. Dari sisi luarnya, kedua macam kasih ini dapat terlihat sama. Seseorang dapat saja terlihat sangat penolong, baik dan sabar. Ada banyak orang non-Kristen yang sangat baik, penolong dan sabar, dan saya tidak akan menghakimi motivasi mereka. Tindakan memberi dapat saja menumbuhkan semacam kepuasan. Secara psikologis, tindakan memberi adalah hal yang sangat dianjurkan. Di dalam psikoterapi, salah satu terapi yang diberikan kepada Anda adalah bertindak menolong orang lain. Tindakan memberi memiliki dampak yang ajaib pada kesehatan fisik dan mental Anda. Demikianlah, ada orang-orang yang melakukan semua itu, menolong orang lain, menjadi pekerja sosial, terutama demi kepentingan pribadi mereka. Bidang pekerjaan itu memberi mereka kepuasan yang sangat tinggi. Saya sempat berkenalan dengan seorang psikiater, kepala psikiater di sebuah rumah sakit di Hong Kong. Kami bersahabat baik karena kami sempat tinggal satu kamar sewaktu kuliah di London. Saya dengan terus terang bertanya kepada dia, “Apakah kamu belajar psikiatri untuk menolong orang lain mengatasi persoalan kejiwaan mereka?” Dia berkata, “Sebenarnya, saya belajar psikiatri untuk menolong diri sendiri.” Saya bertanya, “Apa maksudnya?” Dia berkata, “Saya ingin mengatasi masalah pribadi saya. Dan jika saya berhasil mengatasi masalah saya, mungkin saya akan melangkah menolong orang lain.” Tentu saja, profesi tersebut memberi dia banyak uang dan juga kepuasan. Dan dalam melakukan semua itu, karena dia orang yang cerdas, dia dapat berusaha mengatasi persoalan kejiwaan pribadinya melalui penguasaan bidang ilmu psikiatri ini. Anda lihat, orang yang belajar ilmu kedokteran, psikiatri dan sebagainya, tidak selalu melakukan hal itu karena motivasi mengasihi atau untuk menolong orang lain. Landasan utamanya bisa saja demi kepentingan pribadi. Tentu saja, karena kami bersahabat baik, maka dia mau mengatakan hal tersebut kepada saya. Saya tidak yakin apakah dia mau menyampaikan hal tersebut kepada para pasiennya. Kasih, menolong sesama manusia, menunjukkan kepedulian, meluangkan waktu bersama mereka, tidak selalu dilandasi oleh kasih Allah. Mungkin saja benar, mungkin juga oleh landasan yang egois, atau bisa jadi oleh motivasi yang tercampur aduk.
Pokok lain dalam kasih manusia adalah kasih manusia berusia pendek. Karena bersifat mementingkan diri sendiri, maka kasih manusia berusia singkat saja. Kasih manusia tidak dapat bertahan lama. Kasih manusia memiliki kecenderungan untuk cepat padam. Anda dapat melanjutkan dengan melihat daftar yang ada di 1 Korintus 13. Dikatakan bahwa kasih menutupi segala sesuatu, menanggung segala sesuatu dan ayat 8 menyebutkan bahwa kasih tidak berkesudahan. Jelaslah bahwa ini bukan kasih manusia. Kasih manusia tidak menutupi dan menanggung segala sesuatu, paling tidak hanya akan bertahan dalam waku singkat. Ia tidak akan mampu menanggung segala sesuatu. Setiap orang yang sudah menikah akan memahaminya. Seiring dengan berjalannya waktu, ada banyak hal dalam diri seseorang yang tidak dapat ditoleransi oleh pasangannya. Anda tidak dapat menanggung satu hal, apalagi menanggung segala sesuatu. Mengatakan bahwa kasih tidak berkesudahan jelas tidak benar jika dikaitkan dengan kasih manusia. Kasih manusia sering mengalami kegagalan. Itu sebabnya jika Anda adalah seorang konselor pernikahan atau pendeta, Anda akan menghabiskan banyak waktu dalam rangka menyelamatkan rumah tangga jemaat karena kasih manusia memang mudah gagal. Belum lama setelah mereka melangkah bersama di gereja, dengan rangkaian bunga di tangan, musik mengalun, dan semua orang bersukacita, kasih mereka sudah mulai gagal. Hal yang membingungkan adalah kadang belum lewat sebulan atau bahkah lebih awal mereka sudah bertengkar hebat. Kasih tidak berkesudahan? Anda pasti bercanda. Apakah Alkitab tidak salah? Kasih cenderung gagal. Segera setelah menikah, ketika sang istri memecahkan piring yang merupakan hadiah pernikahan dari ibu atau nenek, apa reaksi Anda? Apakah kasih menanggung segala sesuatu? Atau terjadi pertengkaran yang sehebat gempa bumi yang berkekuatan 7 atau 8 dalam skala Richter hanya karena piring pecah. Kasih menanggung segala sesuatu? Tidak mungkin. Tentu saja Anda tahu bahwa hal itu keliru. Hanya kash Allah yang tidak berkesudahan. Hanya kasih Allah yang dapat berkata, “Jangan hanya memaafkan sampai 7 kali, melainkan 70 kali 7.” Namun Anda sudah mengalami kesulitan dalam memaafkan sebanyak 7 kali, mungkin 1 kali saja sudah sangat susah, bagaimana mungkin sampai 70 kali 7? Kita hanya manusia biasa. Kita tahu bahwa kasih manusia tidak dapat menanggung sampai sejauh itu. Tidak akan mungkin! Kasih Allah tak berkesudahan tetapi kasih manusia tidak akan dapat menanggung sampai sejauh itu.
Malahan di Matius 24:12 disebutkan: kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin. Saudara-saudari seiman, di sinilah letak bahayanya. Kasih manusia sangat cepat menjadi dingin. Kapankah Anda datang kepada Tuhan? Apakah tahun lalu? Dua tahun yang lalu? Beberapa tahun yang lalu? Mungkin sekarang ini, hanya dalam waktu yang singkat, kasih Anda kepada Allah sudah mendingin karena Anda membuat komitmen berdasarkan kasih manusia. Saya sampaikan kepada mereka yang akan dibaptis, silakan renungkan hal yang saya sampaikan. Jika Anda membuat komitmen kepada Allah berdasarkan kasih manusia, maka kasih Anda akan mendingin dengan sangat cepat. Seperti yang ditulis di Wahyu 2:4 di mana Yesus berkata kepada jemaat, “Kamu sudah kehilangan kasihmu yang mula-mula.” Demikianlah hakekat kasih manusia. Kita tidak mampu untuk tetap setia kepada Tuhan dalam waktu yang lama. Kadang kita berserah kepada Dia karena, seperti Petrus, kita hanya mampu berkata, “Kepada siapa lagi kami bergantung? Kami tidak punya pilihan lain. Hanya Engkau yang memiliki hidup yang kekal.” Ini jelas alasan yang lemah untuk tetap setia. Hanya karena tidak ada lagi pilihan yang lain – saya tetap di sini, Tuhan, karena saya tidak tahu akan berpaling kepada siapa. Dan sejujurnya, kita bertahan sebagai orang Kristen karena kita tidak tahu hendak berpaling kemana lagi. Kasih yang mula-mula kita tujukan kepada Tuhan hanya sebagian yang merupakan kasih Allah dan sebagiannya lagi merupakan kasih manusia. Hal itu menjadi penyebab menyusutnya kasih kita, kasih yang tersisa adalah yang berasal dari Allah dan itupun hanya tersisa sedikit saja. Inikah persoalan Anda? Apakah Anda merasakannya di dalam hati Anda? Apakah Anda merasakan bahwa kasih Anda kepada Allah mulai menjadi hambar? Hal ini menjadi realitas dalam kehidupan banyak orang Kristen.
Hanya ada satu cara kita dapat menggantikan kasih manusia dengan kasih Allah. Hal itu dapat dibaca di Roma 5:5, bahwa Allah, melalui Roh Kudus-Nya, mencurahkan kasih-Nya ke dalam hati kita. Kasih ini tidak bersumber dari manusia; ini bukanlah kasih manusia. Itu sebabnya mengapa kita tidak dapat diselamatkan melalui usaha kita sendiri karena kita hanya dapat menghasilkan kasih manusia. Kita tidak dapat mengasihi dalam cara yang lain, bukankah begitu? Saya yakin Anda sudah berusaha mencobanya dan gagal. Kita tidak dapat mengasihi dengan cara yang lain. Kita berusaha mengasihi Allah dengan kasih manusia. Kita berusaha merenungkan betapa besar kasih-Nya kepada kita. Kita berusaha, akan tetapi kasih kita hanya kasih manusia. Itu sebabnya kita tidak dapat menyelamatkan diri kita dengan upaya sendiri. Kita harus membuka hati kita dan membiarkan karunia kasih-Nya mengalir ke dalam diri kita – kasih yang tidak dilandasi oleh perasaan; kasih yang kita sendiri tidak memahaminya. Di sinilah letak kesulitan kita.
Iman Kristen, sebagaimana yang terungkap melalui Kitab Suci, bukanlah hasil usaha manusia. Kita tidak dapat menciptakannya, kita bahkan tak mampu memahaminya. Kasih Allah berada di luar jangkauan pemahaman kita. Itu sebabnya mengapa seluruh isi Alkitab dinyatakan sebagai wahyu dari Allah karena tak ada orang yang dapat memahami kasih Allah ini jika Dia tidak mengungkapkannya kepada kita. Kita dapat memahami kasih Allah seringkali hanya melalui bantuan kasih manusia karena hanya kasih manusia ini yang dapat kita pahami. Kita membutuhkan kasih manusia sebagai model di mana kita dapat memakainya untuk memahami kasih Allah. Tanpa bantuan model ini, kita tak akan mampu memahaminya. Kita berbicara tentang kasih ayah dan ibu, dan berusaha memahami kasih yang tidak mementingkan diri sendiri melalui pemahaman kita tentang kasih orang tua kita. Akan tetapi, cara pemahaman seperti ini pun masih terkendala oleh berbagai kesulitan karena tidak semua orang memiliki orang tua yang mengasihi mereka. Ada yang orang tuanya pemabuk, penjudi dan sangat egois. Upaya untuk memahami kasih Allah melalui pemahaman tentang kasih ayah seringkali tidak membantu pemahaman kita, mungkin justru memberi jalan buntu. Sebagian orang mungkin berusaha memahami kasih Allah melalui pemahaman mereka tentang kasih ibu. Sayangnya, kasih ibu juga dapat menjadi egois. Saya mengenal beberapa anak muda yang ditelantarkan oleh ibu mereka karena ibu mereka adalah wanita karir yang lebih berminat pada kedudukan dan penghasilan daripada anak-anak mereka. Lalu Anda berbicara tentang kasih Allah seperti kasih ibu yang tidak mementingkan diri sendiri – ibu siapa? Bukan ibu saya! Anda mungkin sedang berbicara tentang ibu orang lain yang tidak saya kenal. Tentu saja ada ibu yang mengasihi tanpa mementingkan diri sendiri, setidaknya demikianlah dugaan kita, tetapi tidak mudah untuk menemukan contohnya. Demikianlah, akhirnya kita hanya bisa berusaha memahami kasih Allah sebagai sesuatu yang berbeda, walaupun dalam beberapa hal kita masih membutuhkan contoh kasih manusia untuk membantu kita memahaminya.
Saya akan menutup dengan satu kisah yang sering saya sampaikan bertahun-tahun yang lalu, dan belakangan sudah tidak pernah saya sampaikan lagi. Kisah yang berdasarkan kejadian nyata ini adalah satu-satunya contoh yang menyentuh hati saya dalam menggambarkan seperti apa kasih Allah itu. Saya sudah berusaha mencari contoh lain dari kasih manusia yang dapat menggambarkan kasih Allah dan sampai sekarang masih belum berhasil menemukannya. Kadang kala kita bertindak menolong orang lain, terjun ke sungai yang dingin membeku dan sebagainya. Kita melakukan hal ini karena dorongan rasa wajib untuk menolong. Di dunia barat, seringkali etika Kristen masih kita temui sekalipun kuasa kehidupan Kristen sudah tidak ada lagi. Kita masih berhenti dan bertindak menolong orang lain, bukan karena kita mengasihi dia, melainkan karena hati nurani kita yang terus mengusik dan membuat kita merasa tidak nyaman jika tidak berhenti dan menolong orang tersebut. Agar kita tidak diusik oleh hati nurani sampai susah tidur, kita memilih untuk menolong orang tersebut. Namun contoh yang satu ini, saya rasa contoh ini akan memberi kita pemahaman yang lebih jelas.
Perikop di Yesaya pasal 53 memberi gambaran serupa contoh ini. Pasal ini adalah gambaran yang terkenal mengenai kasih. Dan saya akan membacakan perikop yang berbicara tentang Hamba Allah, yang dalam hal ini adalah Mesias. Yesaya 53:1 menyatakan: Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar? Kasih Allah sangat sukar untuk dipercaya karena sangat sulit dipahami. Kita cenderung mudah mempercayai hal yang dapat kita pahami. Hal ini umum berlaku di kalangan intelektual. Kita semua mengidap masalah yang sama. Kita tidak mau mempercayai sesuatu hal secara membabi-buta, jadi kita ingin selalu berusaha memahami segala hal. Namun dalam kaitannya dengan kasih Allah, adalah mustahil bagi kita untuk memahaminya. Mengapa Allah mengasihi Anda? Mengapa Allah mengutus Yesus untuk mati di kayu salib demi orang-orang seperti Anda dan saya? Manusia tidak akan melakukan hal semacam ini; kasih manusia tidak akan mendorong kita melakukan hal ini. Mereka mungkin mau melakukannya demi anak-anak mereka, akan tetapi mereka tidak akan melakukannya demi orang asing. Itu sebabnya Paulus berkata di kitab Roma,
“Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati.”
Mungkin tidak sukar bagi kita untuk rela mati demi anak, atau bahkan demi orang yang baik. Akan tetapi rela mati bagi orang berdosa? Tidak mungkin! Mengapa Allah mau mengasihi Anda dan saya? Tidak masuk di akal. Itu sebabnya ayat pertama di Yesaya 53 menyatakan, “Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar?” Siapa yang akan mempercayai? Kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan? Lalu Yesaya melanjutkan dengan mengisahkan tentang kasih Allah yang dinyatakan melalui satu pribadi khusus yang disebut sebagai “ia”.
Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya. Ia dihina dan dihindari orang. Seorang yang penuh kesengsaraan, yang biasa menderita kesakitan.
Akan tetapi kesengsaraan dan penderitaan ini bukan untuk dirinya sendiri. Sebagaimana yang dapat Anda baca di dalam ayat 4,
Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita.
Mengapa ada orang yang peduli dengan pemberontakan saya? Buat apa mengambil alih hukuman saya? Saya tidak mengerti tindakan ini. Tidak masuk akal. Apakah tindakan tersebut masuk di akal? “Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar?” apakah Anda mahu mempercayainya? Apakah Anda menjadi Kristen karena Anda benar-benar mempercayai kasih Allah? Atau apakah Anda menjadi Kristen karena alasan lain? Karena adanya orang-orang baik di dalam gereja? Mereka begitu penolong, begitu baik. Semua itu tidak ada kaitannya dengan kasih Allah. Mungkin Anda menjadi Kristen karena orang-orang baik di dalam gereja. Mungkin Anda menjadi Kristen bahkan tanpa memahami kasih Allah, tetapi Anda memahami kebaikan orang-orang lain, lalu Anda menjadi Kristen. Itu sebabnya mengapa ada begitu banyak masalah di dalam gereja karena Anda belum memahami kasih Allah.
Demikianlah, saya ingat akan cerita yang sangat menyentuh ini. Ada seorang ibu yang hidup dengan bayi perempuannya. Pada suatu hari, rumah mereka kebakaran, dan hal ini sebenarnya bukanlah hal yang luar biasa di lingkungan mereka. Masalahnya sang ibu saat itu sedang pergi berbelanja, dan ketika dia pulang ke rumahnya, api sudah berkobar besar di rumahnya. Apakah itu karena dia lupa mematikan kompor? Atau mungkinkah itu karena korsleting listrik? Tak ada yang tahu. Api sudah menyala dan berkobar hebat. Dan saat ibu ini pulang berbelanja, rumahnya sudah terkurung api. Para tetangga sudah memanggil pemadam kebakaran, dan para petugas pemadam kebakaran sudah sibuk menyiapkan peralatan mereka untuk memadamkan api. Lalu ibu ini berkata, “Bayi saya ada di dalam sana!” Petugas berkata kepadanya, “Anda tidak bisa masuk. Apinya sudah terlalu besar dan berbahaya.” Dia menjawab, “Saya harus masuk. Saya tidak dapat berdiam di sini membiarkan bayi saya mati di dalam sana.” Para petugas berusaha menahan dia dan berkata, “Kalau Anda masuk, maka Anda dan bayi Anda akan mati bersama-sama.” Dan ibu ini menjawab, “Biarlah saya mati di sana!” Lalu dia berlari menembus api dan masuk ke rumahnya sambil berusaha menutupi wajahnya dengan jaket. Dia menerobos masuk mencari bayinya. Api sudah berkobar di mana-mana dan asap juga sudah memenuhi isi rumahnya, tetapi dia tetap berlari menuju tempat bayinya. Sang bayi saat itu sedang menangis di tempat tidurnya. Dia lalu merengkuh bayinya, berusaha membungkus sang bayi dengan kain apa saja yang berhasil dia raih di sana, kemudian menggendong bayinya di dalam perlindungan jaketnya dan berlari menembus api keluar rumah. Karena api sudah sangat besar, dia tidak memiliki pilihan lain kecuali berulang kali menembus api di beberapa bagian rumahnya. Pakaiannya terbakar, dan jaketnya juga terbakar. Dan ketika dia sampai di luar rumah, tubuhnya mengalami luka bakar yang cukup parah di banyak tempat. Akan tetapi bayinya berhasil diselamatkan. Sang bayi terbungkus aman di dalam gendongannya. Ibu ini lalu dibawa ke rumah sakit karena mengalami luka bakar yang parah. Tubuh dan wajahnya dipenuhi oleh luka bakar. Walaupun ibu ini mengalami kondisi yang kritis, tetapi dia juga berhasil selamat dan sembuh setelah dirawat di rumah sakit. Namun wajah dan tubuhnya dipenuhi oleh bekas luka bakar.
Bertahun-tahun kemudian, anaknya mulai tumbuh besar. Namun setiap kali dia melihat wajah ibunya, dia merasa sangat malu karena wajah ibunya dipenuhi oleh bekas luka bakar. Sang ibu tidak pernah bercerita tentang asal-usul bekas luka bakar tersebut karena dia khawatir kalau anaknya akan menjadi sedih dan merasa bersalah – ternyata semua itu demi saya. Sang ibu tidak ingin anaknya tumbuh besar dengan dihantui oleh rasa bersalah semacam itu. Demikianlah, sang ibu tidak pernah bercerita tentang asal-usul bekas luka bakar tersebut. Dan anak perempuan ini tumbuh besar sampai akhirnya lulus SMA. Namun seiring dengan pertumbuhannya, dia selalu merasa malu dengan keadaan ibunya. Dia tidak pernah mau bepergian keluar rumah bersama ibunya. Dia juga tidak mau membawa teman-temannya ke rumah, karena khawatir jika teman-temannya terkejut melihat ibunya dan bertanya, “Ada apa dengan ibumu? Mengapa wajahnya begitu menakutkan?” Demikianlah, ketika tiba hari perayaan kelulusannya, apa yang dilakukan oleh anak ini? Dia tidak ingin ibunya ikut menghadiri wisuda kelulusannya untuk menghindari rasa malu kalau harus memperkenalkan ibunya kepada orang lain. Jadi dia berkata kepada ibunya, “Ibu tidak usah ikut perayaan kelulusan di sekolah. Ibu tinggal di rumah saja.” Ibunya menjawab, “Baiklah, ibu tinggal di rumah saja.”
Pada suatu hari, anak ini memperoleh informasi tentang ibunya. Secara kebetulan dia bertemu dengan orang yang tahu mengapa ibunya memiliki tampilan yang mengerikan dan orang ini bercerita, “Tahukah kamu mengapa wajah ibumu terlihat seperti itu? Saya akan ceritakan kepadamu. Kejadiannya berlangsung ketika kamu masih bayi, dan rumahmu saat itu mengalami kebakaran. Ibumu mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkanmu. Kalau dia gagal pada saat itu, maka kalian berdua akan mati terbakar api di dalam rumah. Karena api sangat besar, dia harus menembus api berkali-kali untuk sampai di luar rumah. Namun dia berhasil keluar dari rumah sambil membawamu di dalam gendongannya. Dia mengalami luka bakar yang sangat parah dan bekas-bekasnya terlihat sampai sekarang. Namun dia tidak mau bercerita kepadamu supaya kamu tidak usah merasa bersalah akan kejadian tersebut.” Anda dapat memahami bagaimana perasaan anak ini ketika dia merenungkan: selama ini saya sudah merendahkan ibu saya. Saya menolak dia karena wajahnya yang hancur. Dia adalah ibu yang baik tetapi saya sudah merendahkan dia. Hal ini serupa dengan Yesaya pasal 53 yang mengatakan ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia – ditolak dan dihina oleh manusia. Itu sebabnya saya sampaikan bahwa setiap kali merenungkan pasal di Yeaya 53 ini, saya selalu berpikir – wajahnya sangat rusak sehingga tidak dapat dikenali lagi. Inilah salah satu model dari kasih yang saya rasa begitu dekat dengan gambaran sesungguhnya dari kasih Allah. Di dalam kasus Yesus, dia bukan sekadar mempertaruhkan nyawanya, dia bahkan menyerahkan nyawanya bagi keselamatan kita. Begitu dalam kasih Allah yang ditunjukkan melalui Yesus! Apakah Anda menjadi Kristen karena alasan ini? Karena salib Yesus menceritakan sesuatu hal kepada Anda? Atau apakah Anda menjadi Kristen karena alasan lain? Jika karena alasan lain, maka keselamatan Anda sebagai orang Kristen sangat meragukan. Anda hanya akan menjadi orang Kristen nominal. Menjadi orang Kristen nominal adalah hal yang tragis. Anda hanya akan menjadi orang Kristen yang sejati jika Anda memahami kasihnya yang berkelanjutan sambil tetap membawa bekas-bekas luka di tubuhnya – bekas paku yang menembus tangannya, bekas luka dari mahkota duri di kepalanya, bekas cambuk yang memenuhi punggungnya, bekas tusukan tombak di lambungnya, bekas paku di kakinya – di seluruh tubuhnya. Yohanes berkata bahwa kita mengasihi Dia karena Dia lebih dulu mengasihi kita. Kita tidak tahu mengapa Dia mengasihi kita seperti ini. Kita tidak akan pernah memahami kasih yang seperti ini karena ini bukanlah kasih manusia. Kita mengasihi Dia karena Dia mengasihi kita lebih dahulu. Saya berdoa agar kasih Allah berkenan memenuhi hati kita. Walaupun kita tidak dapat memahaminya, kita dapat mengalaminya. Kita dapat membiarkan kehangatan kasih tersebut memenuhi hati kita. Di Matius 24:12 disebutkan bahwa kasih kebanyakan orang menjadi dingin, ini berarti bahwa kasih memiliki kehangatan, dan bahkan panas. Ia tidak pernah suam-suam kuku; ia selalu panas. Namun ketika kasih itu pergi, Anda akan merasakan dinginnya hati Anda. Dan Anda berusaha mengusir hawa dingin tersebut, berusaha menghangatkannya dengan sesuatu yang lain, dan hal ini tidak pernah berhasil.
Demikianlah saudara-saudari seiman, saya akhiri khotbah ini dengan kisah tersebut. Ingatlah akan hal ini: tanpa kasih, kita bukan apa-apa. Di mata Allah, hanya jika kasih-Nya memenuhi segenap keberadaan kita, kita diubah oleh Dia, melalui karya Roh Kudus yang mencurahkan kasih-Nya ke dalam diri kita, barulah kita menjadi orang Kristen sejati. Sambil kita melanjutkan hidup di dalam kasih tersebut, bukan dalam pengetahuan intelektual, melainkan dalam kuasa kasih yang memberi perubahan tersebut, maka kita dapat mengalami Dia, pengalaman yang hanya muncul oleh keberadaan kasih tersebut. Itulah proses mengalami Allah pada tingkatan yang paling dalam, bukan karena kemampuan Anda menguraikan nubuat. Banyak orang berkata kepada saya, “Wow, Anda memiliki banyak pengalaman yang ajaib! Allah memampukan Anda untuk mengerjakan hal-hal yang hanya sedikit orang mampu melakukannya di zaman sekarang ini. Allah memampukan Anda untuk memahami hal-hal yang hanya sedikit orang dapat mengetahuinya.” Saya menjawab, “Ini bukan hal penting.” Dan ini memang bukan hal penting, saudara-saudari. Pokok yang penting adalah bahwa kasih Allah memenuhi hati saya, dengan kasih-Nya yang menyala di dalam hati saya, menjaga saya agar tetap hangat, memenuhi hati saya dengan sukacita dan damai sejahtera, karena kasih, sukacita dan damai sejahtera selalu berjalan beriringan. Jika Anda tidak memiliki sukacita, jika Anda tidak memiliki damai sejahtera, maka Anda boleh yakin bahwa Anda tidak memiliki kasih juga. Anda tidak akan dapat memiliki yang satu tanpa memiliki yang lainnya. Anda tidak akan dapat memiliki sukacita tanpa memiliki kasih-Nya. Kiranya kemurahan Allah, kasih-Nya, dan bersamaan dengan itu, sukacita serta damai sejahtera-Nya selalu menghangatkan hati Anda. Selanjutnya, jika Anda melangkah di dalam kasih-Nya, mungkin Anda akan mendapati – sebagai bonus tambahan – bahwa Anda akan mulai memahami berbagai rahasia. Allah akan mengungkapkan berbagai hal kepada Anda, hal-hal yang mustahil dipahami oleh manusia. Dia akan memberikannya kepada Anda, akan tetapi urutannya harus benar. Yang pertama adalah kasih Allah. Hal itulah yang berarti di mata Allah.