Ev. Xin Lan | Sara |

Tokoh Alkitab yang akan kita bahas hari ini adalah Sara. Dia adalah istri Abraham, bapa orang beriman dan ibu dari Ishak. Awalnya dia bernama Sarai, tetapi Allah mengganti namanya menjadi Sara.


Sara, istri Abraham yang Mandul

Kemunculan pertama Sara dalam Alkitab ada di Kejadian 11:29. Di sana disebutkan bahwa nama istri dari Abram (yakni Abraham) adalah Sarai, lalu di ayat berikutnya (ayat 30) disebutkan bahwa “Sarai ini mandul.” Kepedihan terbesar di sepanjang hidup Sara adalah dia tidak bisa melahirkan anak. Pada zaman sekarang, ada banyak pasangan muda yang di kota-kota besar yang memilih untuk tidak memiliki anak. Pilihan untuk tidak memiliki anak dan kemandulan merupakan dua hal yang berbeda. Jika seorang perempuan menjadi istri lalu ternyata mandul, bahkan masyarakat modern masih akan memandang hal itu sebagai suatu kekurangan. Perempuan yang mandul ribuan tahun yang lalu pada zaman Abraham jelas akan berhadapan dengan  tekanan yang jauh lebih berat. Merupakan hal yang sangat memalukan di kalangan perempuan untuk didiagnosa mandul. Bahkan ada yang akan mengira bahwa kemandulan merupakan suatu kutuk dari Allah.

Demikianlah, kepedihan terbesar dalam hidup Sarah adalah kemandulannya. Keadaan ini berlanjut sampai dia berusia 90 tahun. Orang Tionghoa memiliki pepatah yang mengatakan, “Tak banyak orang yang bisa hidup melewati 70 tahun.” Jika tak banyak orang yang bisa melewati usia 70 tahun, berarti memiliki usia 90 tahun jelas menunjukkan betapa tua orang yang hidup sampai usia itu. Sekalipun ada yang bisa hidup sampai usia 90 tahun, biasanya kondisi mereka sudah sangat lemah dan hanya menunggu ajal. Tubuh mereka akan menjadi sangat lemah dan yang pasti tidak akan mampu lagi memiliki keturunan. Akan tetapi, Sara mengalami mukjizat pada usia tua. Allah memberinya umur panjang dan menganugerahkan kemampuan untuk hamil dan melahirkan Ishak. Dari keturunan Ishaklah lahirnya bangsa Israel. Sara — perempuan yang merana di sepanjang hidupnya karena kemandulannya — diberkati menjadi ibu dari banyak bangsa. Berbagai raja juga berasal dari keturunannya. Sungguh berkat yang luar biasa! Jika dicarikan ungkapan untuk menggambarkannya, mungkin yang paling dekat adalah ungkapan “setelah yang pahit datanglah yang manis” atau “mengubah kesedihan menjadi sukacita”. Tidak banyak yang bisa menghargai kepedihan dan kesukaran hidup yang dilewati oleh Sara.


Tuhan Bekerja Lewat Kelemahan

Hal yang menarik adalah di dalam Alkitab tercatat adanya beberapa kisah tentang perempuan yang mandul. Allah bukan hanya membuat mereka bisa melahirkan anak, tetapi juga menjadikan anak-anak mereka orang-orang yang luar biasa. Sara melahirkan Ishak; Ribka melahirkan Esau dan Yakub. Yakub adalah bapa dari kedua belas suku Israel. Hana melahirkan nabi besar, Samuel. Dan Elisabet, dalam Perjanjian Baru, melahirkan seorang nabi, Yohanes Pembaptis, yang mempersiapkan jalan bagi Mesias. Semua perempuan itu pada awalnya mandul, tetapi Allah berbelaskasihan kepada mereka dan membuat mereka bisa melahirkan anak. Semua anak mereka dipakai secara luar biasa oleh Allah.

Kisah mereka merupakan sumber semangat bagi kita. Kita semua memiliki kepedihan masing-masing, berbagai jenis kesukaran yang bahkan terlalu berat untuk kita bicarakan. Mungkin masalah kita adalah masalah lahiriah atau mungkin juga masalah rohaniah. Masalah ini mungkin juga timbul dari kondisi lingkungan atau perbuatan orang lain. Namun, mereka yang mengenal Allah tahu bahwa Allah dapat mengubah apa yang buruk menjadi baik. Pada akhirnya, kita akan mengalami hal yang manis setelah melewati kepahitan. Kita akan mengalami sukacita setelah kesedihan.


Iman Sara

Mari kita beralih ke kitab Ibrani 11:11-12 di Perjanjian Baru:

11Karena iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu, walaupun usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia. 12Itulah sebabnya, maka dari satu orang, malahan orang yang telah mati pucuk, terpancar keturunan besar, seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, yang tidak terhitung banyaknya.

Kutipan ini berkaitan dengan iman Sara. Kita semua tahu bahwa Abraham adalah bapa orang-orang beriman. Namun, kita sering mengabaikan Sara yang imannya juga dipuji dalam Alkitab. Pasal 11 kitab Ibrani berisi daftar contoh orang-orang beriman, dan Sara termasuk di dalam daftar itu. Ayat 11 dari kutipan ini menyatakan, “Karena iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu, walaupun usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia.” Anda mungkin berkata, “Bukankah Allah yang menganugerahkan mukjizat sehingga Sara bisa melahirkan?” Memang benar. Akan tetapi, ada banyak perempuan mandul di dunia ini dan Allah tidak mengubah semua menjadi subur. Sama seperti yang dikatakan oleh Yesus di Lukas 4:25-26, “Ada banyak perempuan janda di Israel, tetapi Elia diutus kepada perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon.” Ada banyak penderita kusta di Israel, tetapi Elisa hanya menyembuhkan Naaman orang Asyur. Allah jelas bisa membuat mukjizat, masalahnya adalah apakah kita memiliki iman?


Mengapa orang tidak Mengalami Allah?

Mengapa hanya sedikit orang yang mengalami Allah pada zaman sekarang? Masalah kuncinya terletak pada iman. Kita semua bersedia untuk mengaku, “Aku percaya”, “Aku memiliki iman”, tetapi apakah kita benar-benar memiliki iman? Hati manusia sangatlah licik, hati kita bisa membohongi diri kita sendiri. Kiranya kita dengan jujur bertanya pada diri kita, “Apakah saya benar-benar percaya bahwa Allah sudah mengutus Yesus, yang mati di kayu salib bagi dosa-dosa saya. Apakah saya percaya dia akan kembali lagi pada masa depan? Apakah saya percaya dia akan kembali dan menghakimi semua manusia?” Kalau kita benar-benar percaya, cara hidup kita di dunia ini akan jauh berbeda. Apa yang kita pikirkan akan selalu berkaitan dengan segala hal yang ada pada masa depan. Urusan yang kita utamakan adalah segala hal yang berkenan bagi Allah. Hal-hal yang kita kejar adalah kualitas kehidupan rohani. Perkara yang kita utamakan adalah bagaimana agar bisa bekerja lebih banyak di ladang Allah, untuk bisa memenangkan lebih banyak jiwa. Kita tidak akan mengutamakan hal-hal seperti keluarga, karir atau pengejaran akan berbagai bentuk kenyamanan hidup lainnya dan dalam proses itu mengorbankan kepentingan Tuhan. Secara sederhana, marilah kita amati sikap hati kita, dari situ kita akan tahu apakah kita benar-benar percaya dan beriman.

Hal yang dijanjikan oleh Allah kepada Abraham dan Sara adalah lebih dari sekadar memiliki seorang anak, Ishak. Janji yang diberikan oleh Allah adalah: “Keturunanmu akan menjadi bangsa yang besar, jumlah mereka akan seperti pasir di laut, dan semua tanah yang engkau lihat dengan matamu sendiri, Aku akan memberikan itu kepadamu dan kepada keturunanmu.” Apakah Abraham dan Sara melihat pemenuhan janji-janji itu pada masa hidup mereka? Tidak, janji ini dipenuhi beberapa ratus tahun kemudian. Hal itu digenapi ketika Allah membimbing Yosua memimpin bangsa Israel menaklukkan tanah perjanjian dan membagi tanah perjanjian itu di antara kedua belas suku. Sekalipun Abraham dan Sarah tidak melihat penggenapan janji tersebut pada masa hidup mereka, mereka berdua menjalani hidup mereka demi penggenapan janji itu. Mereka menjalani hidup sebagai pengembara di sepanjang usia mereka. Ke arah mana pun Allah membimbing mereka, maka mereka segera berangkat. Oleh karena itu, Allah berkenan memberi mereka pengalaman mukjizat, yakni memiliki anak pada usia lanjut. Sang suami berumur 100 tahun dan istrinya berumur 90 tahun. Mereka berdua sudah memasuki usia yang mustahil untuk memiliki anak, tetapi Allah melakukan mukjizat dalam diri mereka. Karena Allah melihat iman mereka dan mereka juga menjalani hidup mereka sepenuhnya di dalam iman.

Namun, banyak orang sebenarnya tidak percaya kepada Allah. Mereka hanya peduli pada kehidupan duniawi mereka. Namun, saat mereka menghadapi kesukaran, entah itu penyakit atau pengangguran atau masalah keuangan atau yang lainnya, mereka juga berdoa kepada Allah. Ketika Allah tidak menjawab doa mereka, mereka bertanya-tanya, “Mengapa Allah tidak menjawab? Mengapa Dia tidak bertindak?” Allah tentu saja tidak menanggapi karena anda tidak memiliki keyakinan pada Dia. Allah mencari orang-orang dengan kualitas iman seperti Abraham dan Sara. Dari cara hidup anda, tercermin bahwa anda hanya peduli pada hal-hal duniawi dan tidak memikirkan datangnya kerajaan Allah. Anda mengira bahwa dengan mengaku percaya kepada Allah, maka anda beriman? Anda salah besar.

Bagi orang dengan iman yang sejati, segenap hidupnya akan diarahkan untuk bersiap-siap menerima janji Allah pada masa depan. Hal inilah yang dilakukan oleh Abraham dan Ishak. Dia meyakini bahwa Allah itu setia dan pasti akan menggenapi janji untuk membawanya ke dalam kerajaan Allah. Sekali pun dia tidak melihat penggenapan janji itu pada masa hidupnya, dia tetap mengarahkan hidupnya mengikuti janji-janji tersebut. Jadi, dia akan memandang dirinya sebagai pengembara di dunia ini. Orang yang mengembara tentu saja tidak akan fokus membeli rumah, mengejar karir dan mengejar kenyamanan hidup di atas semuanya. Dia akan mencurahkan segala tenaga, waktu dan hartanya untuk melayani Allah, bekerja untuk hal-hal yang kekal. Orang jenis ini akan sering mengalami realitas Allah dan mukjizat dari Dia.


Sara Mengakui Pertolongan Allah

Mari kita beralih ke Kejadian 21:1-7

1Yahweh memperhatikan Sara, seperti yang difirmankan-Nya, dan Yahweh melakukan kepada Sara seperti yang dijanjikan-Nya. 2Maka mengandunglah Sara, lalu ia melahirkan seorang anak laki-laki bagi Abraham dalam masa tuanya, pada waktu yang telah ditetapkan, sesuai dengan firman Allah kepadanya. 3Abraham menamai anaknya yang baru lahir itu Ishak, yang dilahirkan Sara baginya. 4Kemudian Abraham menyunat Ishak, anaknya itu, ketika berumur delapan hari, seperti yang diperintahkan Allah kepadanya. 5Adapun Abraham berumur seratus tahun, ketika Ishak, anaknya, lahir baginya. 6Berkatalah Sara: “Allah telah membuat aku tertawa; setiap orang yang mendengarnya akan tertawa karena aku.” 7Lagi katanya: “Siapakah tadinya yang dapat mengatakan kepada Abraham: Sara menyusui anak? Namun aku telah melahirkan seorang anak laki-laki baginya pada masa tuanya.”

Allah memampukan Sarah untuk melahirkan anak sesuai dengan janji-Nya. Mari kita perhatikan tanggapan Sarah setelah dia memperoleh pertolongan dari Allah. Dia bersyukur kepada Allah dan berkata, “Allah telah membuat aku tertawa; setiap orang yang mendengarnya akan tertawa karena aku.” 7Lagi katanya: “Siapakah tadinya yang dapat mengatakan kepada Abraham: Sara menyusui anak?” Sara mengakui hasil dari tindakan Allah. Setelah mengalami realitas Allah, dia bersyukur kepada Allah, dia mengakui bahwa itu adalah hasil dari tindakan Allah. Sarah memuji Allah. Ini merupakan wujud dari iman Sarah.

Pada dasarnya, setiap orang pasti akan mengalami realitas Allah dalam kadar yang berbeda-beda. Masalahnya adalah kita tidak mengakui hal itu sebagai tindakan Allah bahkan setelah mengalaminya. Kita sering beranggapan bahwa hal ini hanya suatu kebetulan saja. Ada beberapa kejadian saya diminta untuk berdoa bagi orang lain. Mereka merupakan orang-orang non-Kristen yang sedang menghadapi berbagai kesulitan. Sebagian dari mereka sedang mencari pekerjaan. Ada juga yang sanak keluarganya sedang menderita penyakit. Mereka meminta saya untuk menolong mereka dan mereka bahkan bersedia untuk berdoa bersama untuk memohon pertolongan dari Allah. Sebelum berdoa, saya berkata kepada mereka, “Setelah Allah menolong anda, seharusnya anda mau percaya kepada Dia.” Mereka semua sepakat bahwa mereka akan mencari Tuhan kalau doa mereka terjawab. Lalu saya berdoa bagi mereka, dan Allah benar-benar menolong mereka. Yang mencari pekerjaan kemudian segera mendapatkannya, dan yang menderita sakit mendapatkan kesembuhan. Namun, pada akhirnya, tidak satu pun dari mereka yang mau mengakui bahwa itu adalah hasil dari tindakan Allah. Sebagian dari mereka dengan terus terang berkata, “Mungkin ini hanya suatu kebetulan saja.” Walau pun yang lain tidak sampai berkata seperti itu, saya rasa dari respon mereka, mereka juga beranggapan bahwa ini hanya suatu kebetulan saja. Mereka tidak memiliki keyakinan pada Allah, tidak satu pun dari mereka yang mau memberi komitmen kepada Allah.

Dari pengalaman ini, sekarang tidak mudah meminta saya untuk mendoakan orang lain. Allah memang pasti bisa melakukan mukjizat. Akan tetapi, masalahnya adalah setelah menerima pertolongan dan keselamatan dari Allah, apakah orang mau mengakui bahwa itu adalah tindakan Allah? Apakah orang itu mau berkomitmen kepada Allah? Terlalu sedikit orang yang bersedia untuk melakukan itu. Setelah mengalami kasih karunia Allah, orang cenderung meremehkannya. Bagaimana dia akan mempertanggungjawabkan hal itu kalau dia bertemu dengan Allah nanti? Bukankah dosanya akan bertambah besar?

Lukas 17:11-19 menyebutkan bahwa Yesus menyembuhkan 10 orang penderita kusta, tetapi hanya satu dari mereka yang kembali untuk memuliakan Allah, mengakui bahwa itu adalah hasil dari tindakan Allah serta bersyukur kepada Allah. Yesus memuji imannya karena perbuatan orang ini merupakan wujud dari iman. Kita harus jujur menanyai diri sendiri, “Setelah mengalami tindakan Allah, apakah kita mengakui bahwa itu adalah tindakan dari Allah dan memuliakan Allah serta berkomitmen kepada Allah?” Inilah iman. Jadi, iman Sara sangatlah luar biasa, dia mengakui pertolongan dan mukjizat dari Allah. Tidaklah heran jika dia masuk dalam daftar contoh orang beriman.


Kualitas Penundukan

Mari kita beralih ke 1 Petrus 3:1-6

1Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, 2jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu. 3Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, 4tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah. 5Sebab demikianlah caranya perempuan-perempuan kudus dahulu berdandan, yaitu perempuan-perempuan yang menaruh pengharapannya kepada Allah; mereka tunduk kepada suaminya, 6sama seperti Sara taat kepada Abraham dan menamai dia tuannya. Dan kamu adalah anak-anaknya, jika kamu berbuat baik dan tidak takut akan ancaman.

Rasul Petrus memuji Sara sebagai contoh dari istri yang baik. Dia tunduk dan turut pada suaminya, Abraham. Dia menyebut suaminya sebagai tuan (lord), yang berarti dia menempatkan diri sebagai hamba bagi Abraham. Pada generasi zaman sekarang, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan merupakan hal yang popular. Tampaknya ajaran dari Alkitab tentang penundukan tidak lagi mendapat sambutan di tengah masyarakat. Harap perhatikan kutipan ini bukan saja mengatakan bahwa istri harus tunduk kepada suaminya. Mari kita lihat ayat-ayat sebelumnya. Di 1 Petrus 2:13-14, Petrus berkata bahwa kita harus tunduk kepada berbagai lembaga resmi, tunduk kepada raja sebagai pemegang kekuasaan dan tunduk kepada semua wakil pemerintah yang bekerja menghukum pelaku kejahatan serta meninggikan mereka yang berbuat baik. Petrus juga berkata, di 1 Petrus 2:18, para hamba harus tunduk kepada tuan mereka dengan segala hormat. Kemudian, di 1 Petrus 3, disebutkan bahwa para istri harus tunduk kepada suami. Menjadi seorang Kristen berarti belajar untuk tunduk.

Seringkali kita mendengar orang berkata, “Mengapa saya harus tunduk?” Kita perlu balikkan pertanyaan ini dan berkata, “Mengapa kita tidak mau tunduk?” Ini karena kita memandang diri sendiri sebagai orang yang paling cerdas, paling mampu, sebagai orang yang paling berwawasan, lalu kita merasa bahwa orang lain harus menuruti kita. Demikianlah, seluruh dunia saling bertengkar tanpa akhir dan tidak pernah ada kedamaian.

Namun, orang yang takut dan bergantung pada Allah, maka dia juga akan tunduk pada berbagai lembaga di tengah masyarakat. Dia tidak akan berkata, “Pemimpin ini sangat bodoh, atau suami saya tidak sepandai saya, mengapa saya harus tunduk?” Orang yang takut akan Allah tidak akan memandang dirinya lebih tinggi daripada orang lain. Alkitab mengajar kita untuk memandang orang lain sebagai lebih utama daripada diri kita sendiri. Jadi, orang Kristen yang sejati tidak akan memandang dirinya lebih tinggi daripada orang lain, tetapi dia akan memandang orang lain lebih penting daripada dirinya sendiri. Di sisi lain, sekalipun kita melihat bahwa pemimpin atau suami tidak sebaik diri kita, jangan lupa bahwa kita hidup di tangan Allah. Allah pegang kendali atas semuanya sekalipun kita tidak melihatnya. Mengapa kita takut untuk tunduk? Dari sini kita bisa melihat bahwa kita tidak memiliki iman kepada Allah.

Mungkin ada yang berkata, “Jika suami saya adalah orang yang rohani, seperti Abraham, bapa orang beriman, saya pasti akan mau tunduk.” Kita bisa melihat bahwa orang yang berkata seperti ini sebenarnya adalah orang yang tidak pernah mau tunduk pada siapa pun, mereka hanya mencari alasan. Mengapa mereka berkata seperti itu? Uraian akan hal ini sangat jelas di dalam Alkitab. Abraham memang orang yang kerohaniannya luar biasa, bapa orang beriman. Namun, jika waktu diputar balik, dan kita masuk ke zaman yang sama dengan Abraham serta berkesempatan untuk mengenal dia secara langsung, kita mungkin tidak akan mengagumi Abraham dan tidak melihat kebesarannya dari sisi rohani. Jika kita tidak mampu tunduk kepada Firman Allah pada masa sekarang, dan kita tidak dapat tunduk pada orang yang Tuhan mau kita tunduk, sudah jelas kita memiliki masalah di dalam kerohanian kita. Sekalipun Abraham ada di dekat kita, kita tidak akan mau menundukkan diri kepadanya.

Abraham bukan orang yang tanpa kelemahan. Sebagai contoh, di Kejadian pasal 12 dan 20, kita melihat Abraham mengalami ketakutan sampai dua kali, saat orang lain melihat kecantikan Sara dan mereka mungkin akan membunuh Abraham demi mendapatkan Sara. Saat itu, Abraham menyuruh Sara untuk mengaku sebagai saudaranya. Akibatnya, ada dua raja yang pernah benar-benar mengambil Sara ke istana mereka. Jika Allah tidak bertindak serta menegur kedua raja ini, mungkin Sara sudah pasti akan ternoda. Mari kita bayangkan diri kita berada dalam posisi Sara, dapatkah kita menoleransi kelakuan suami seperti Abraham ini? Bagaimana mungkin seorang laki-laki sejati bertindak seperti itu? Saat dia merasa bahwa nyawanya terancam, dia memilih untuk mengorbankan istrinya. Satu perbuatan semacam ini mungkin sudah lebih dari cukup untuk membuat Sara marah, dan Abraham melakukannya sampai dua kali. Bagaimana mungkin ada istri yang mau menoleransi hal itu? Namun anehnya, Sarah sangat tunduk kepada Abraham dan mau berkorban demi Abraham. Lalu apa hasilnya? Dia mengalami perlindungan dari Allah. Allah secara langsung hadir untuk menyelamatkan dia. Jadi jangan mengira bahwa akan mudah bagi Sara untuk tunduk kepada Abraham. Sara bersedia tunduk kepada suaminya karena dia hidup taat dan takut kepada Allah. Oleh karena itu, dia menjadi berkenan di hadapan Allah dan menerima berkat-berkat-Nya.


Abraham dan Sara Salah dalam Mengartikan Janji Tuhan

Mungkin ada yang bertanya, “Jika Sara memang memiliki iman yang besar dan tunduk kepada suaminya, Abraham, mengapa Sara sampai memberikan hambanya, Hagar, untuk menjadi selir Abraham? Dan mengapa Abraham mau saja mengikuti anjuran Sara serta mengambil Hagar sebagai selirnya?” Hagar kemudian melahirkan anak bagi Abraham. Tampaknya Abraham tunduk pada kemauan Sara dalam urusan ini. Kita seperti tidak melihat bahwa Sara benar-benar taat sepenuhnya pada Abraham. Bagaimana kita akan memahami peristiwa ini?

Peristiwa ini tercatat di Kejadian pasal 16. Sara menganjurkan Abraham untuk mengambil Hagar sebagai selirnya. Abraham menerima anjuran ini, tetapi hal ini bukan berarti bahwa Abraham tunduk pada kemauan Sara, dan juga bukan berarti Sarah tidak tunduk kepada Abraham. Perhatikan baik-baik uraian di pasal 16, Sara meminta pandangan Abraham sebelum dia melakukan sesuatu. Jadi, Sara melakukan semua itu berdasarkan persetujuan dari Abraham.

Tentu saja, Abraham melakukan kesalahan dengan mengambil Hagar sebagai selirnya. Dia keliru mengartikan janji Allah tentang keturunannya. Kita perlu melihat uraian hal itu kitab Kejadian pasal 15, di mana Allah pertama kali menyatakan janji tersebut kepada Abraham. Allah berkata bahwa Abraham akan memiliki anak dan keturunannya akan menjadi sebanyak bintang di langit. Akan tetapi, Allah saat itu tidak menegaskan siapa yang akan menjadi ibu dari anak yang dijanjikan. Baru di Kejadian pasal 17, Allah secara khusus menyatakan bahwa Sara akan melahirkan anak dan memberinya nama Ishak. Dan Ishak inilah yang akan menjadi pewaris kepada janji Allah kepada Abraham. Namun, di pasal 16, baik Abraham maupun Sara sama-sama tidak tahu bagaimana Allah akan memberi mereka keturunan. Pada zaman sekarang, peraturan yang lazim berlaku di berbagai negara adalah pernikahan antara satu suami dan satu istri. Pada zaman dulu, satu laki-laki bisa memiliki banyak istri. Terdapat juga tradisi zaman dulu di mana seorang istri bisa memberikan hambanya kepada suami untuk dijadikan selir. Anak yang dilahirkan oleh selir itu akan disebut sebagai anak dari sang istri. Saat itu usia Abraham sudah 80 tahun, dan Sara sudah sekitar 70 tahun. Mereka sudah menunggu sekian lama tanpa ada tanda-tanda bahwa Sara akan melahirkan anak. Tentu saja, iman mereka akan melemah dan mereka lalu memakai jalan duniawi — memakai pemahaman mereka sendiri tentang cara Allah memberikan anak bagi mereka. Akan tetapi, Allah memahami kelemahan mereka dan tidak menyalahkan mereka. Allah juga memberkati Ismael, Allah menjadikan keturunan Ismael sebagai bangsa-bangsa yang besar. Bangsa-bangsa Arab zaman sekarang ini merupakan keturunan dari Ismael.

Tentu saja, sekalipun Allah memaafkan Abraham dan Sara untuk kesalahpahaman mereka, akibat atau dampak dari dari kesalahan mereka itu sangatlah besar. Dampak dari kesalahan itu terasa sampai ke sekarang. Sejak zaman Abraham sampai dengan sekarang, bangsa-bangsa Arab dan Israel masih saja seperti “api dan air”. “Satu kesalahan kecil pada masa lalu yang akhirnya menjadi penyesalan sepanjang zaman.” Demikianlah, kita perlu menarik pelajaran dari sini dan tidak asal bertindak mengikuti kemauan kita sendiri. Tuhan bisa saja mengampuni kita akan kesalahpahaman kita, tetapi akibat dari kesalahan itu akan tetap ada.

 

Berikan Komentar Anda: