Pastor Eric Chang | 1 Petrus 3:21 |
Ada satu permasalahan besar sekarang ini karena banyak orang Kristen yang sudah dibaptis sering kali menjalani hal itu tanpa pengetahuan yang memadai tentang hal yang sedang mereka jalani itu. Dan saya mendapati bahwa kita juga sering menerima limpahan persoalan ini di dalam gereja kita, orang-orang yang dibaptis di tempat lain tanpa memahami arti baptisan itu. Mungkin mereka mengira bahwa ini adalah semacam cara untuk masuk ke dalam suatu klub, untuk bergabung dengan satu kelompok masyarakat tertentu dan bahwa baptisan ini adalah semacam upacara pelantikan anggota baru. Akibatnya, mereka mengalami persoalan kerohanian sampai bertahun-tahun kemudian. Sering kali saya harus mengadakan konseling bagi orang-orang ini yang mengangkut permasalahan rohani mereka dan masuk ke dalam ‘kehidupan Kristen’ yang menyedihkan. Gereja dipenuhi oleh orang-orang Kristen nominal, orang Kristen KTP, setengah Kristen, seperempat Kristen, atau apapun itu. Kehidupan mereka diisi dengan kekalahan, ketidakbahagiaan. Jelas ini bukanlah kehidupan Kristen yang dimaksudkan.
Jadi hari ini saya ingin menguraikan kepada Anda, berdasarkan Alkitab, agar setiap orang dapat memahami dengan jelas arti baptisan, makna rohani dari baptisan. Uraian ini akan saya bagi ke dalam empat sub-judul, empat poin. Yang pertama, sebenarnya, adalah bagian ayat yang baru saja diacu oleh saudari Mae di 1 Petrus 3:21, yang nanti akan saya bacakan untuk Anda. Saya juga berharap bahwa makna dari ayat ini akan menjadi jelas nantinya bagi Anda. Uraian yang akan saya sampaikan nanti tentang baptisan sama sekali bukanlah pendapat pribadi saya. Sangatlah perlu bagi Anda untuk memahami apa yang dikatakan oleh Firman Allah, dan saya harap Anda teliti baik-baik Firman Allah mengenai baptisan.
KATA ASLINYA ADALAH “IKRAR”, BUKAN “MEMOHONKAN”
1 Petrus 3:21 berbunyi seperti ini, diambil dari Revised Standard Version, yang penerjemahannya untuk bagian ini masih kurang baik (dan versi LAI juga memakai makna yang sama di ayat ini, pent.), saya akan bacakan untuk Anda,
“Juga kamu sekarang diselamatkan oleh kiasannya (mengacu kepada air bah di dalam kitab Kejadian; air bah dikiaskan dengan baptisan), yaitu baptisan – maksudnya bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani, melainkan untuk memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah – oleh kebangkitan Yesus Kristus, yang duduk di sebelah kanan Allah, setelah Ia naik ke surga sesudah segala malaikat, kuasa dan kekuatan ditaklukkan kepada-Nya.”
Jadi kata ‘kiasannya’ berkaitan dengan peristiwa air bah dengan acuan khusus, tentu saja, kepada bahtera yang menampung delapan orang yang diselamatkan. Hanya delapan orang yang diselamatkan dari air bah. Dari seluruh umat manusia di zaman itu, hanya delapan orang yang diselamatkan dengan bahtera, melalui iman.
Disebutkan di sini bahwa baptisan itu untuk memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah. Terjemahan ini, tentu saja, menimbulkan masalah. Jika Anda mempunyai Alkitab versi NIV (New International Version), Anda akan mendapatkan terjemahan yang benar. NIV menerjemahkan ayat ini dengan sangat baik. Di dalam versi tersebut dikatakan bahwa baptisan adalah, “ikrar dari hati nurani yang baik kepada Allah (the pledge of a good conscience towards God)”. Inilah terjemahan yang tepat dan saya akan menjelaskan alasannya secara singkat. Kata yang diterjemahkan dengan ‘memohonkan’ adalah kata Yunani ‘eperōthma’ [evperw,qma]. Saya akan mengutipkan arti kata tersebut dari Liddell dan Scott, dari kamus lengkap karangan mereka [Liddell, H.G. dan R. Scott, A Greek – English Lexicon], yang memberikan tiga arti untuk kata ini.
Arti yang pertama adalah pertanyaan. Yang kedua, jawaban atas pertanyaan, dan secara khusus merupakan jawaban yang bersifat menyetujui, atau memiliki makna persetujuan. Dan ketiga, kata ini memiliki makna yang sejajar dengan kata dalam bahasa Latin stipulatio, yang berarti kewajiban, kontrak, atau komitmen, atau ikrar. Makna yang ini juga didukung oleh Moulton dan Milligan [Moulton, James H. dan G. Milligan, The Vocabulary of Greek Testament]. Saya kutipkan referensi tersebut bagi Anda yang sudah terbiasa berurusan dengan masalah teknis dari hal ini dan ingin mempelajarinya lebih jauh.
Anda tentu melihat bahwa dari kamus bahasa Yunani ini tidak disebutkan sama sekali tentang arti ‘memohon’ dari kata tersebut. Pertanyaan (question) dan permohonan (appeal) bukanlah dua hal yang sama. Sebenarnya kedua hal itu berbeda. Permohonan (appeal) bersifat sangat khusus. Sedangkan pertanyaan (question) maknanya agak berbeda. Akan tetapi kata Yunani di dalam ayat ini sangat jarang diartikan sebagai ‘pertanyaan’. Biasanya kata ini diartikan sebagai tanggapan atas pertanyaan; semacam tanggapan yang bersifat sangat khusus. Dan dari situ, makna kata ini lalu berkembang menjadi ‘persetujuan’. Dari sana, maknanya kemudian berkembang lagi menjadi ‘kontrak’, ‘komitmen’, ‘ikrar’.
Bagi Anda yang berminat untuk meneliti masalah ini secara teknis, dan tentunya memang ada di antara Anda yang gemar melakukan ini, terutama mereka yang ikut di dalam pelatihan, Anda bisa merujuk ke E.G. Selwyn, salah satu penafsir terbaik untuk naskah Yunani dari 1 Petrus yang membahas secara terperinci perkara ini, sebab saya sendiri tidak bermaksud untuk masuk ke dalam pembahasan detail tentang masalah linguistik. Pada pokoknya, saya hanya ingin menyatakan bahwa tidak ada bukti yang memadai untuk mengartikan kata tersebut sebagai ‘memohon’. Arndt & Gingrich [Arndt, W.F. dan F.W. Gingrich, yang menerjemahkan karya Walter Bauer (yang berbahasa Jerman), A Greek-English Lexicon of The New Testament and Other Early Christian Literature], memang memberikan definisi ‘memohon’, namun mereka gagal menyajikan bukti pemakaian kata tersebut dalam makna ‘memohon’ ini. Biasanya mereka menyajikan bukti pendukung untuk definisi yang mereka ajukan. Dalam kasus ini mereka gagal menyajikan bukti pendukung karena, seperti yang sudah saya sampaikan, memang tidak ada bukti linguistik bagi definisi tersebut untuk kata ‘eperōthma’.
1. BAPTISAN ADALAH SEBUAH IKRAR
Jadi makna kata tersebut diterjemahkan dengan baik di dalam Alkitab versi NIV, sebagai ikrar. Baptisan adalah ikrar. Baptisan adalah suatu komitmen kepada Allah. Hal ini sangat penting untuk dipahami. Terlebih lagi, bentuk genetif dari teks Yunani diterjemahkan dengan benar yaitu “the pledge of a good conscience (=ikrar dari hati nurani yang baik)” – bukannya “untuk memohonkan hati nurani yang baik”, melainkan “dari hati nurani yang baik” – yaitu suatu ikrar yang dibuat dari hati nurani yang baik. Baptisan adalah suatu ikrar kepada Allah yang dibuat dari hati nurani yang baik. Bagaimana kita bisa memiliki hati nurani yang baik? Kita mendapatkan hati nurani yang baik ketika kita bertobat dari dosa-dosa kita, saat kita dengan setulus hati dan penuh kejujuran, membuat ikrar tanpa kepalsuan, tanpa tipu daya. Mengerjakan sesuatu dengan hati nurani yang baik. Tidak ada kecurangan! Tidak ada kebohongan! Tak boleh ada ketidaktulusan! Itulah hati nurani yang baik. Anda tidak akan memiliki hati nurani yang baik jika Anda tidak tulus atau tidak jujur sepenuh hati. Baptisan adalah ikrar kepada Allah yang dibuat dari hati nurani yang baik. Jika saya membuat ikrar kepada Allah dengan setulus hati, dengan sikap hati yang benar, maka itulah baptisan.
Kata yang diterjemahkan dengan ‘memohon’ – yaitu ‘eperōthma’ – adalah kata yang sangat menarik karena kata tersebut memuat makna pertanyaan dan juga tanggapan. Suatu pertanyaan dan juga suatu tanggapan. Anda membuat ikrar, sama seperti yang akan dilakukan oleh mereka yang akan dibaptis, untuk menjawab suatu pertanyaan. Tanggapan tersebut menjadi suatu komitmen, suatu ikrar. Ketika orang berkata, “Aku bersedia,” maka jadilah suatu ikrar, suatu komitmen, saat mereka menjawab pertanyaan yang diajukan kepada mereka di dalam baptisan. Hal ini cocok karena di zaman awal gereja, sudah merupakan praktek yang lazim di zaman itu, sebelum acara baptisan, untuk menanyai orang yang akan dibaptis beberapa pertanyaan khusus yang harus dijawab dengan persetujuan. Dan seperti yang sudah kita lihat bahwa kata ‘eperōthma’ tidak sekedar bermakna jawaban melainkan jawaban yang berupa persetujuan. Ini adalah hal yang sangat penting. Dengan demikian, pilihan terjemahan bagi kata ini menjadi sangat jelas, bahwa ini adalah jawaban yang merupakan ikrar.
Baptisan Adalah Sebuah Sakramen (Sumpah Setia Prajurit)
Penjelasan di atas juga merupakan alasan mengapa baptisan disebut sakramen, dan sampai sekarang masih disebut sakramen. Saya ingin tahu apakah ada di antara Anda yang mengerti apa arti ‘sakramen’ itu. Pada dasarnya kita memiliki dua sakramen di gereja – sakramen baptisan dan sakramen perjamuan, juga disebut ekaristi, atau juga Perjamuan Tuhan. Apa arti ‘sakramen’ itu? Ini adalah kata yang sangat menarik. Kata ini berasal dari bahasa Latin sacramentum. Dalam bahasa Inggris, kata ini diambil begitu saja tanpa banyak perubahan. Untuk melihat artinya Anda hanya perlu melihat ke dalam kamus bahasa Latin, makna dasar dari kata ini adalah sumpah. Itulah makna dasar dari sakramen. Suatu sumpah. Kata ini berarti suatu kewajiban, janji. Dalam terminologi hukum, kata ini berarti jaminan. Sebagai contoh, kata ini memiliki makna uang yang dititipkan ke pengadilan oleh pihak-pihak yang berperkara di pengadilan. Yaitu, Anda membayar jaminan untuk sebuah kasus hukum.
Namun makna khusus dari kata ini ada di dalam sumpah prajurit. Sumpah setia yang diucapkan oleh seorang prajurit disebut sacramentum, misalnya saat seorang prajurit Roma mengucapkan sumpah setia kepada negara dan kaisar. Mereka mengucapkan sumpah ini sambil mengangkat sebelah tangannya, sama seperti yang Anda lihat jika presiden mengucapkan sumpah jabatan, atau ketika seseorang mengucapkan sumpah di pengadilan, suatu tindakan yang melambangkan bahwa, “Aku melakukan semua ini dengan segala kejujuran, kebenaran dan hati nurani yang baik. Aku akan mengatakan hal yang benar, kebenaran sepenuhnya dan tidak ada yang lain selain kebenaran.” Kadang kala hal ini dikerjakan sambil mengepalkan tangan di depan dada, yang juga merupakan lambang dari hati nurani yang baik, hati yang murni. Kadang kala, seorang prajurit mengucapkan sumpah itu sambil menghunus pedangnya, lambang penyerahan jiwa dan pedang kepada negara dan kaisar. Anda tentunya tahu bahwa Jerman sangat memanfaatkan sumpah semacam ini. Banyak dari Anda yang tentu tahu bahwa Partai Nazi menuntut setiap tentara Jerman mengucapkan sumpah prajurit, sacramentum. Tentunya ada banyak dari antara Anda yang pernah menonton film dokumentasi tentang Nazi yang menggambarkan tentang tentara Jerman yang berdiri tegak, mengangkat tangannya, dan berseru, “Ich schwören” dan selanjutnya. “Aku bersumpah demi negara dan pemimpin bangsa” dan selanjutnya. Pada masa itu sebutannya adalah kepada Führer, bahasa Jerman untuk pemimpin. Jadi, di sini kita mendapati bahwa kata sacramentum ini memiliki makna khusus yang penting yaitu sumpah prajurit. Sangat menarik!
Mengapa baptisan disebut sakramen? Tepatnya karena ada ikrar yang dinyatakan di sana. Kita mengangkat sumpah setia kepada Yesus sebagai Raja kita. Kita menjadikan Dia sebagai Raja atas kehidupan kita. Kita terikat kewajiban untuk setia kepada-Nya seumur hidup sejak saat dibaptis. Itulah yang disebut sebagai ikrar kepada Allah dari hati nurani yang baik. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa ikrar tersebut harus dibuat dari hati nurani yang baik, seperti yang dibagikan saudara Mae tadi. Ia telah membuat komitmen, namun bukan dari hati nurani yang baik. Ia tidak melepaskan kesetiaannya kepada hidup lamanya. Bagaimana mungkin Anda bisa melayani Allah dan dunia dalam waktu yang bersamaan? Bagaimana mungkin Anda bisa melayani Allah dan mamon? Hati Anda terbagi dua. Dan jika dalam keadaan demikian Anda membuat sumpah setia, jika Anda dibaptis, maka Anda melakukannya tidak dari hati yang tulus, tidak dari hati nurani yang baik.
Sekilas saya tadi menyebutkan juga tentang Perjamuan Tuhan yang juga merupakan suatu sakramen. Yang satu ini juga sangat menarik karena dari sebuah laporan yang dibuat oleh seorang Gubernur Militer kepada Kaisar Roma tentang beberapa orang Kristen yang telah ditangkapnya, ia berkata bahwa di dalam interogasinya terhadap orang-orang Kristen tersebut, mungkin dengan siksaan, ia mendapat informasi bahwa pada saat melakukan Perjamuan Kudus, orang-orang itu memperbaharui ikrar mereka kepada Tuhan. Mereka memperbarui ikrar mereka kepada Allah untuk menjalani hidup yang kudus. Mereka memperbarui ikrar mereka satu dengan yang lain, untuk saling mengasihi, dan untuk mengasihi Allah. Sungguh menarik: Ekaristi atau Perjamuan Kudus pada intinya juga mengandung unsur komitmen kepada Allah, pembaruan komitmen kita, setiap kali kita mengikuti Perjamuan Kudus. Aspek yang satu ini tampaknya sekarang sudah kita lupakan. Itu sebabnya mengapa sekarang ini jarang dari antara kita yang mengerti mengapa Perjamuan Kudus disebut sakramen.
Sekarang kita memahami hal yang sangat penting ini dan juga arti penting yang dilekatkan oleh gereja di zaman awal pada baptisan. Baptisan bukanlah sesuatu hal yang bisa Anda pilih untuk diambil atau diabaikan. Sekarang ini banyak orang yang berpikir seperti itu karena mereka tidak tahu pengajaran yang alkitabiah tentang baptisan, mereka juga tidak tahu bagaimana gereja di zaman awal dahulu memahami arti baptisan. Sedemikian pentingnya arti baptisan sehingga Anda bisa lihat bagaimana Petrus menjelaskan kata ini. Perhatikan lagi baik-baik. Sekarang Anda diselamatkan oleh baptisan. Kata-kata yang sangat penting. Sangat tegas! Dan memang begitu! Dari situlah asal mula doktrin baptismal regeneration. Seperti yang kita baca dari Yohanes pasal 3, kita dilahirkan dari air dan Roh. Air dan Roh! Bukan hanya air, tetapi juga Roh; Bukan hanya Roh, tetapi juga air – karena di sanalah ikrar atau komitmen dinyatakan.
Para teolog modern juga sudah mulai melihat arti penting dari baptisan yang sesuai dengan ajaran alkitabiah, dan makna kata itu di dalam sejarah gereja mula-mula. Baru-baru ini seorang teman saya yang bernama Robert Banks, sekarang mengajar di University of Sydney, Australia, menulis sebuah buku berjudul The Idea of Community in Paul (Ide Tentang Masyarakat dalam Tulisan-tulisan Paulus). Dan di halaman 82 dalam bukunya itu, ia berkata, “Hubungan antara baptisan dengan iman yang dibuat oleh Paulus menunjukkan bahwa dengan baptisan seseorang menyerahkan dirinya kepada Allah.” Melalui baptisan, seseorang menyerahkan dirinya kepada Allah. Ini merupakan pemahaman yang mendekati dan cukup akurat dengan pengajaran yang alkitabiah. Tentu saja, saya tidak bermaksud, dengan mengajukan kutipan tersebut, untuk mengatakan bahwa saya setuju pada semua yang ia tuliskan dalam bukunya. Namun pada poin yang satu ini, pemahamannya sangat dekat dengan pengajaran yang alkitabiah.
Inilah yang dikatakan oleh Paulus di Roma 10:10. Paulus menyebutkan dua hal yang penting bagi keselamatan di Roma 10:10. Dua hal, bukan hanya satu! Dan kedua hal itu adalah, “Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.” Nah kedua hal ini sangatlah penting. Dua hal: “dengan hati orang percaya dan dibenarkan,” “dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.” Kapankah ia membuat pengakuan itu?
Pada zaman awal gereja, tentu saja, pengakuan itu dibuat pada saat baptisan sewaktu menanggapi pertanyaan yang diajukan kepadanya, saat ia berkata, “Aku bersedia. Aku mengakui Yesus sebagai Tuan dan Rajaku.” Jadi, dengan mulutnya ia membuat pengakuan, dan melalui pengakuan itu, Paulus berkata, ia diselamatkan. Harus ada iman di dalam hati, akan tetapi harus ada pengakuan juga. Dan pengakuan ini tentu saja bukanlah pengakuan biasa. Tepatnya, pengakuan ini adalah ikrar pada saat dibaptis: sumpah prajurit yang menyatakan kesetiaan kepada Yesus sebagai Raja. Ini adalah hal yang sangat penting untuk dipahami.
Peristiwa baptisan itu sendiri tidaklah menyelamatkan. Kita harus jelas tentang hal ini. Harus ada iman dan pengakuan yang muncul dari hati nurani yang baik. Hati nurani berarti berbicara mengenai isi hati. Anda tidak bisa sekedar membuat suatu pengakuan. Setiap orang bisa saja membuat pengakuan di mulutnya, akan tetapi di dalam baptisan ini harus terdapat hati nurani yang baik yang dilandasi oleh iman. Lalu mungkin Anda akan berkata, “Bukankah saya sudah mengakui Yesus sebelum baptisan itu?” Memang, namun hal itu tidak sama dengan sumpah setia. Ada satu hal yang sangat perlu untuk dipahami. Seorang prajurit yang mengucapkan sumpah setia kepada negara dan rajanya, seorang prajurit Roma yang bersumpah setia kepada negara dan Kaisar, tidakkah ia sebelumnya sudah mencintai negara dan kaisarnya? Memang begitu. Akan tetapi aspek legal dari komitmen tersebut baru muncul setelah ia mengucapkan sumpah prajuritnya. Sumpah itu menjadi ikrar yang mengikat. Ia menempatkan dirinya di bawah sumpah; yaitu sacramentum. Sebelum saat itu, ia bisa saja berkata bahwa ia mencintai negaranya, namun ia masih belum membuat ikrar apapun. Tidak ada komitmen yang ia buat. Juga tidak ada ikrar. Di dalam baptisan, seorang Kristen mengucapkan sumpah setianya kepada Raja dan Allahnya. Saya harap Anda memahami hal ini dengan jelas.
Sama seperti dua orang yang telah saling mencintai sejak belum menikah, mereka belum membuat komitmen apapun dalam pengertian yang resmi sampai saat mereka mengucapkan janji perkawinannya, ikrar perkawinannya. Tentu saja mereka sudah saling mengasihi sebelum menikah. Mereka mungkin sudah membuat semacam komitmen, akan tetapi komitmen tersebut baru resmi jika sudah melaksanakan pernikahan. Sama halnya dengan itu, di dalam baptisan, komitmen Anda menjadi legal di mata Allah, berlaku selamanya di surga. Nah, ini adalah poin pertama yang ingin saya jelaskan kepada Anda agar Anda mengerti apa yang sedang Anda lakukan ketika Anda dibaptis. Setiap orang yang masih belum jelas tentang hal ini sebaiknya menarik diri dari rencana mengikuti baptisan. Saat dibaptis Anda sudah mengangkat sumpah setia tersebut. Anda telah menyerahkan hidup Anda sepenuhnya kepada Allah sebagai Raja Anda. Inilah poin yang pertama.
2. PADA BAPTISAN, KITA DISATUKAN DENGAN KRISTUS
Saya akan masuk ke poin yang kedua mengenai baptisan ini. Poin kedua yang berkaitan dengan penyatuan dengan Kristus. Disatukan dengan Kristus! Jadi, poin pertama adalah bahwa baptisan merupakan suatu ikrar, dan Anda bisa katakan itu sebagai – sesungguhnya – suatu ikrar yang mengikat secara legal; sama seperti janji perkawinan, atau sumpah prajurit. Setiap prajurit yang melanggar sumpah setianya siap untuk menerima hukuman dari sang kaisar atau bangsanya dan siap untuk dianggap sebagai orang sesat atau penghianat negara dan bangsa. Jadi si prajurit masuk ke dalam ikatan sumpah itu dengan suka rela. Begitu dia mengangkat sumpah, ia akan bertahan dalam sumpah itu sampai mati. Seperti yang dinyatakan dalam janji pernikahan, “Sampai maut memisahkan kami.”
Dengan demikian poin yang kedua ini adalah, singkat saja, kita disatukan dengan Kristus. Melalui baptisan kita disatukan dengan Kristus. Mari kita balik lagi secara sekilas ke Roma pasal 6, pasal yang juga dirujuk oleh saudari Mae. Roma 6:4 berbunyi,
“Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Diaoleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.”
Pertama-tama kita lihat dulu pernyataan ini: kita dikuburkan bersama-sama dengan Kristus. Bersama dengan Kristus! Nah untuk pertama kalinya Anda melihat ungkapan ini: “bersama-sama dengan Kristus”. Bukan sekedar ‘bagi Kristus’, tetapi ‘bersama dengan Dia’! Di dalam khotbah beberapa waktu yang lalu, saya sudah membahas tentang ucapan Yesus, “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku” (Mat 12:30). Saya sudah membahas tentang perbedaan yang menyolok antara ‘bagi Kristus’ dan ‘bersama Kristus’. Ada perbedaan seperti bumi dengan langit antara kedua posisi tersebut. Banyak orang yang mengambil posisi ‘bagi Kristus’; tidak banyak orang yang mengambil posisi ‘bersama Kristus’. Posisi yang pertama – bagi Kristus – berarti Anda menjadi penyorak. Anda menonton tim kesayangan Anda bertanding di lapangan dan Anda bersorak untuk mereka, “Hore! Ayo! Ayo! Kalian menang.” Itulah yang disebut dengan ‘bagi mereka’. Anda bersorak-sorak ‘untuk mereka’. Atau Anda sedang menonton dua orang yang sedang bertarung di arena, dan Anda mendukung salah satu dari mereka. “Ayo! Hajar dia! Jatuhkan dia! Itu baru pukulan! Tunjukkan kemampuanmu!” Itulah yang disebut dengan ‘bagi dia’. Anda tidak ‘bersama dengan dia’. Jika Anda ‘bersama dengan dia’, maka Anda juga akan berada di tengah arena, Anda mungkin tidak pernah punya waktu untuk membuka mulut. Anda mungkin harus merunduk dan berlari demi keselamatan diri Anda. Itu terjadi karena Anda ‘bersama dengan dia’, Anda harus berada di tengah arena bersamanya. Anda harus berada di arena. Gambarannya seperti dua kelompok yang sedang bertarung di arena. Para penonton hanya berperan sebagai penggembira bagi kelompok yang satu atau lawannya. Mereka bersorak-sorak bagi kelompok yang didukungnya. Akan tetapi, tentu saja, mereka aman di luar arena. Tak satupun kelompok yang sedang bertarung itu bisa menyentuh mereka. Para penonton aman di luar medan laga. Dan mereka menjadi penyorak bagi kelompok yang didukungnya.
Oh ya! Ada banyak orang yang mengambil posisi ‘bagi Kristus’ sekarang ini:
“Bagaimana pendapat Anda tentang Kristus?”
“Oh, Kristus itu baik! Sungguh baik! Ya, kita butuh sedikit kekristenan. Kita butuh sedikit keagamaan. Dunia sekarang ini sudah semakin jahat, bertambah rusak. Jadi kita perlu sedikit moralitas. Memang bagus kalau ada agama. Ini sangat baik.”
“Bagaimana dengan Anda?”
“Oh tidak! Jangan saya! Lebih baik Anda saja yang pergi mencari agama. Itu hal yang sangat baik buat Anda. Sangat baik! Tapi bukan saya. Jangan seret saya ke dalam urusan ini!”
Mereka tidak keberatan mengirim anak-anaknya ke sekolah minggu. Mereka mendukung agama. Anak-anak mereka pergi ke sana. Hal itu dipandang sangat baik buat anak-anak: “Raihlah beberapa pikiran yang bersih untuk otak mungilmu.”
“Bagaimana jika Anda yang pergi ke gereja?”
“Oh tidak! Anak saya saja!”
Sungguh menarik! Itu sebabnya mengapa gereja kami di Liverpool memiliki sebuah bus. Kami berkeliling menjemput anak-anak. Orang tuanya tidak ikut ke gereja, akan tetapi mereka dengan senang hati mengirimkan anak-anak mereka ke gereja. Bagus! Mungkin orang tua Anda termasuk yang jenis ini. Mereka mendukung gereja: “Kekristenan itu baik! Dan saya? Oh tidak! Tidak untuk saya. Kekristenan baik untuk orang lain. Tidak untuk saya!”
Akan tetapi ‘bersama dengan Kristus’ berarti berdampingan dengan-Nya di medan perang. Bukan sekedar bersorak bagi Kristus, melainkan berdiri berdampingan dengan-Nya, berperang menuju kemenangan bersama-Nya, dan juga mengalami cedera. Ya, Anda mengalami cedera juga. Penonton bukanlah pihak yang akan mengalami cedera, kecuali terjadi kecelakaan. Kadang kala memang terjadi, misalnya bola bisbol yang melayang sampai ke bangku penonton dan menghantam kepala salah seorang penonton yang sedang lengah, mungkin sedang asyik mengunyah rotinya. Namun itu hanya merupakan suatu kecelakaan. Karena ia tidak termasuk orang yang sedang bertanding di lapangan.
Saat Baptisan, Kita Mengambil Langkah Pertama Untuk Menyertai Kristus!
Untuk pertama kalinya, di Roma pasal 6, kita mendapati bahwa kita telah melakukan satu hal ‘bersama dengan Kristus’, bahwa melalui komitmen dan ikrar kita kepada-Nya, maka kita dikuburkan ‘bersama dengan Dia’. Pada saat baptisan, kita berhenti menjadi penonton atau penyorak bagi Yesus. Kita telah ikut ke dalam barisan-Nya pada saat dibaptis. Secara terbuka kita telah menyatukan diri dengan Dia. Teman Anda akan menyindir, “Hah? Alim sekali! Ada apa denganmu? Apa ada masalah dengan hati nurani? Apa kamu mulai dikuasai oleh kebutuhan psikologis? Kenapa tidak pergi ke psikolog saja? Mungkin mereka bisa menyembuhkanmu. Tapi bukannya pergi ke psikolog, kamu malah jadi alim ulama begini.” Demikianlah, kawan Anda mulai sinis terhadap Anda, dan Anda lalu mulai merasa tidak enak. Anda sudah mulai mengalami cedera! Jika Anda memuji-muji kekristenan, tidak akan ada orang yang menghiraukan Anda. Bersorak-sorak bagi orang lain memang menyenangkan. Namun sekarang Anda mengambil posisi untuk bersama-sama dengan Kristus, Anda dikuburkan bersama-Nya, mati bersama-Nya, situasinya sekarang jauh berbeda. Anda akan menjadi sasaran cemoohan. Mungkin mereka tidak mencemooh Anda, namun mereka tetap saja tidak mengerti.
Dulu saya adalah orang yang sangat duniawi. Jadi ketika saya menjadi Kristen, teman-teman saya sangat heran, “Orang seperti ini bisa menjadi Kristen?” Sekarang ini yang Anda saksikan adalah diri saya yang sudah tampak religius, sekalipun saya tidak memakai jubah hitam. Saya tidak suka memakai jubah hitam dan saya juga tidak memakai kerah yang berbentuk khusus, saya tidak suka pada hal-hal seperti itu. Anda lihat, bahkan sampai sekarang ini saya tidak bisa dijadikan orang yang menggemari hal-hal seremonial seperti itu. Sampai sekarang ini saya masih tidak suka akan hal-hal seperti itu. Saat ini mungkin Anda akan berpikir, “Ah, orang ini kan seorang pendeta. Kelihatannya dia sudah menjadi religius. Ia sudah terkena flu agama.” Teman-teman saya pada masa itu sangat sulit untuk membayangkan bahwa orang seperti saya dapat ditemukan di dalam gereja. Sulit bagi mereka untuk mau percaya bahwa saya, Eric Chang, bisa menjadi seorang Kristen. Bagi Anda sekarang, mungkin justru sulit untuk membayangkan seperti apa kehidupan duniawi saya dahulu.
Jadi ketika saya menjadi Kristen, semua teman saya, orang-orang yang sangat duniawi, menggaruk-garuk kepala, “Hei! Ada apa dengannya? Bagaimana mungkin dia menjadi seorang Kristen?” Banyak dari antara teman saya, yang menghabiskan hidupnya di lantai dansa bersama gadis-gadis cantik dan orang-orang kaya, berkata, “Apa yang terjadi dengannya? Bagaimana bisa ia meninggalkan kita? Bagaimana mungkin ia menjadi Kristen?” Tak seorangpun dari antara mereka yang mentertawai saya. Saya pikir rasa terkejut mereka lebih besar ketimbang rasa lucu melihat saya menjadi seorang Kristen. Sangat membingungkan! Mereka akan menatap Anda dengan kebingungan dan berusaha untuk bisa memahami, “Apa yang terjadi denganmu?”
Saya teringat dengan sebuah percakapan panjang antara saya dengan seorang sahabat saya. Orang ini adalah pemuda yang tampan, yang sangat terkenal di antara para gadis, dan ia bertanya, “Apa yang sudah terjadi kepada Anda? Apa yang terjadi? Mengapa Anda menjadi Kristen?” Ia adalah seorang sahabat dekat saya. Saya ingat bagaimana ia duduk tenggelam dalam sofa dengan kakinya di atas dan kepalanya tunduk ke bawah, berusaha untuk memahami, “Mengapa orang ini, Eric Chang, menjadi orang Kristen?” Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri selama sekitar dua jam. Mencoba untuk memahami. Saat itu, ia terus saja memberondong saya dengan pertanyaan yang sebenarnya enggan untuk saya jawab, dan saya memang tidak bisa menjawabnya karena saat itu saya masih baru menjadi Kristen. Ia terus saja berkata, “Katakan padaku, mengapa kamu menjadi Kristen? Sulit untuk saya mengerti.”
Nah, sekitar dua atau tiga bulan kemudian, ia sendiri menjadi seorang Kristen. Saya pikir, akhirnya ia dapat memahami perkara itu. Kali ini gilirannya untuk menjawab pertanyaan dari teman-teman yang lain, “Ada apa denganmu?” Pada saat ia menetapkan posisinya, ketika ia tidak lagi sekedar ‘bagi Kristus’, itu menjadi saat yang sangat membahagiakan bagi sahabat yang saya kasihi ini – pada mulanya ia sama sekali tidak mengakui Kristus, kemudian secara berhati-hati ia mengambil posisi ‘bagi Kristus’, dan secara perlahan-lahan, pada suatu hari ia mengambil langkah besar, yaitu mengambil posisi ‘bersama dengan Kristus’. Ia mulai menetapkan posisinya ‘bersama dengan Kristus’.
Dengan demikian, menjadi ‘bersama dengan Kristus’ adalah langkah pertama yang kita ambil. Perhatikan ayat yang berikutnya, yang menjelaskan poin ini lebih jauh lagi, bahwa pada saat dibaptis kita disatukan dengan Kristus. Ayat 5 berkata, “Sebab jika kita telah menjadi” – perhatikan kata-kata tersebut – “satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya.” Jika Anda ingin masuk ke dalam kebangkitan, disatukan dengan-Nya dalam kebangkitan, maka satu-satunya jalan bagi Anda untuk masuk ke dalam kebangkitan adalah dengan disatukan dengan Dia, dan untuk itu Anda harus memulai dengan disatukan dengan Dia di dalam kematian-Nya. Jadi poin ini diuraikan dengan sangat jelas. Di dalam kedua ayat itu, tiga kali kita berhadapan dengan ungkapan ‘menjadi satu dengan Dia”. ‘Bersama dengan Dia’! Bukan sekedar ‘bagi Dia’! Jadi bagian yang menjadi tanggung jawab kita adalah untuk mati bersama dengan Dia atas kehendak kita sendiri. Tidak seorangpun yang memaksa kita untuk berbuat demikian.
Saya menjadi Kristen bukan karena takut mati. Saya tidak pernah takut akan kematian. Takut mati tidak pernah menjadi bahan pertimbangan bagi saya. Saya tidak tahu mengapa, akan tetapi ada cukup banyak orang yang sangat takut mati. Tak seorang pun yang dapat membawa saya masuk ke dalam kerajaan Allah dengan cara menceritakan hal-hal yang seram tentang kematian atau pun hantu-hantu. Saya tidak pernah takut pada kematian. Saya menyadari bahwa inilah kebenaran. Itu saja! Bahwa inilah kebenaran, dan saya harus membuat komitmen atas dasar kehendak saya sendiri untuk masuk ke dalam kebenaran, untuk dibebaskan dari perbudakan dosa. Selanjutnya Dia, dalam menjalankan bagian-Nya, membangkitkan kita dengan kuasa-Nya, dengan kasih karunia-Nya, dan membawa kita ke dalam hidup yang baru.
Hidup-Nya Mengalir Melalui Kita
Saya ingin menekankan satu hal lagi mengenai arti dijadikan satu dengan Kristus. Saat Anda dijadikan satu dengan Kristus, maka hidup-Nya akan mengalir ke dalam diri Anda. Pernahkah Anda mengalami seperti apa rasanya jika hidup Kristus mengalir ke dalam diri Anda? Tahukah Anda apa artinya hal itu? Jika demikian, berarti Anda tahu apa arti Yohanes 15. Anda tahu bahwa Alkitab, sebagaimana yang disampaikan oleh Mae, mengungkapkan kebenaran. Anda dapat membaca bagian tersebut dan memahaminya: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu dan hidup-Ku akan mengalir ke dalam kamu. Hidup-Ku akan mengalir melalui kamu, dan kamu akan menghasilkan banyak buah.” Tahukah Anda apa arti pernyataan itu? Pernahkah Anda mengalami bagaimana hidup Kristus mengalir ke hidup Anda? Mungkin sangat lembut rasanya, dan juga secara diam-diam, akan tetapi secara pasti dan penuh kuasa mengubah diri Anda dan bekerja melalui diri Anda untuk mengubah orang lain.
Ada sesuatu yang bekerja bahkan di dalam kata-kata saya yang tidak lancar saat bercakap-cakap dengan sahabat saya, sahabat yang sangat mencintai keduniawian dalam bentuk lantai dansa, gadis-gadis cantik itu. Saya tidak paham teologi; saya bahkan tidak tahu isi Alkitab. Akan tetapi, sesuatu yang berasal dari hidup yang baru ini mengalir melalui saya dan menjangkau dia, menjamahnya. Dan orang yang sangat cinta pada keduniawian ini, yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdansa dan berkencan, orang dunia ini mengalami perubahan, karena hidup Kristus yang mengalir dari diri saya menjamahnya. Saya tidak tahu jawaban apa dari saya yang menyentuh hatinya, karena sebenarnya saya bahkan tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaannya. Saya bahkan belum cukup mengerti tentang kehidupan Kristen, akan tetapi hidup itu ternyata sudah mengalir melalui saya. Dan bukan hanya dia saja, beberapa sahabat saya yang lainnya, satu demi satu, mengalami perubahan.
Seorang sahabat saya malahan rela melepaskan karirnya di universitas di bawah pemerintahan Komunis. Karena menjadi seorang Kristen berarti tidak bisa memasuki universitas di sana. Ia ditolak oleh universitas tersebut. Ia bersedia membayar harganya, karena ia sekarang telah mengalami sesuatu yang jauh lebih berharga; kuasa hidup baru di dalam dirinya. Anda harus mengenali hidup itu sebelum Anda bersedia untuk masuk ke dalam komitmen.
Roh Allah sekarang tinggal di dalam kita – Roh Kudus Allah. Ini adalah hal yang sangat indah. Alkitab berkata bahwa Allah memberi Roh Kudus-Nya kepada kita sebagai tanda ikatan, sebagai uang muka. Saat kita menyatakan ikrar kita kepada Allah dalam baptisan, Allah juga menyatakan ikrar-Nya kepada kita. Ia memberi kita hidup-Nya. Ia memberi kita Roh Kudus-Nya. Dan hal ini bukanlah sesuatu yang bisa kita jadikan bahan filsafat. Ini adalah sesuatu hal yang harus kita alami atau tidak sama sekali. Ini bukanlah persoalan filosofi. Ini merupakan kenyataan hidup. Jika saya tidak mengalami hidup yang baru ini, maka itu berarti bahwa saya hanya membahas masalah filosofi saat ini. Saya tidak ingin berbicara tentang masalah filsafat. Saya bahkan tidak tertarik dengan filsafat. Bagi saya, hal ini harus merupakan pengalaman dalam hidup, atau tidak akan menjadi hal yang layak untuk dibicarakan.
Itu sebabnya mengapa ada orang-orang Kristen yang bersedia mengorbankan nyawanya. Apakah Anda pernah merasa heran – mengapa ada banyak orang yang dengan suka cita mengorbankan nyawanya demi Kristus? Karena mereka sama seperti salah seorang martir generasi pertama, Polikarpus, yang mampu berkata, “Aku tidak bisa menyangkal Dia. Aku mengenal-Nya di sepanjang hidup ini. Selama 80 tahun lebih aku mengenal-Nya (saat itu ia berusia sekitar 90 tahun). Aku tidak bisa menyangkal Dia.” Ketika gubernur Roma mencoba merayu dia untuk menyangkal Kristus agar sang gubernur bisa menyelamatkan ‘Pak tua’ ini, Polikarpus berkata, “Jalankan saja eksekusinya. Tidak mungkin saya mau menyangkal Kristus.” Anda tidak akan mampu bertahan sampai mati demi suatu filsafat. Sangat tidak mudah untuk bertahan sampai mati demi sebuah filsafat. Memang ada beberapa orang yang sanggup melakukan hal itu. Akan tetapi hidup baru ini adalah suatu kenyataan di dalam hidup Anda. Anda menyatakan ikrar Anda kepada Allah di dalam baptisan dan Allah menyatakan ikrar-Nya kepada Anda dengan memberikan Roh Kudus-Nya kepada Anda. Terselip suatu keindahan di dalam cara kerja Allah.
3. MELALUI BAPTISAN KITA DIMASUKKAN KE DALAM TUBUH KRISTUS
Mari kita masuk ke poin yang ketiga. Kita telah melihat bahwa baptisan adalah suatu ikrar, penyerahan diri kita kepada Allah. Kita telah melihat bahwa di dalam baptisan kita dijadikan satu dengan Kristus. Kita sampai pada poin yang ketiga sekarang bahwa melalui baptisan, kita dimasukkan ke dalam tubuh Kristus. Ini adalah hal penting yang harus dipegang.
Seperti yang sudah saya sampaikan pada bagian awal, gereja bukanlah suatu perkumpulan yang dapat Anda masuki cukup dengan menjalani ritual baptisan, dan sesudahnya Anda berhak menyandang status sebagai anggota suatu perkumpulan keagamaan. Anda bisa menjadi anggota sebuah gereja. Namun hal itu tidak membuat Anda menjadi anggota tubuh Kristus. Tidak! Ada banyak anggota gereja sekarang ini yang tidak merupakan anggota tubuh Kristus. Mereka bukanlah orang Kristen yang sejati, dalam pengertian yang alkitabiah. Mereka memang anggota suatu gereja, betul. Tetapi bukanlah anggota tubuh Kristus. Anda tahu, tubuh Kristus adalah suatu kenyataan rohani! Tubuh Kristus bukanlah semacam organisasi. Bukan suatu masyarakat buatan manusia. Ini adalah suatu kenyataan rohani. Dan satu-satunya jalan bagi Anda untuk menjadi anggota tubuh Kristus adalah melalui karya Roh Kudus di dalam hidup Anda. Inilah hal yang kita baca di 1 Kor 12:13. Saya akan bacakan ayat ini bagi Anda, “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis” – kita semua orang Kristen menjalani baptisan – “menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.”
Perhatikan baik-baik, kita semua dibaptis ke dalam satu tubuh. Perhatikan dengan cermat di sini bahwa ini bukanlah baptisan kita ke dalam Roh Kudus; ayat ini tidak berbicara tentang baptisan Roh di mana Roh itu dilambangkan dengan air dan kita dibaptis ke dalam Roh Kudus, ke dalam air yang melambangkan Roh Kudus. Di sini Roh tidak berperan pasif. Ia berperan aktif. Roh Kudus adalah Dia yang membaptiskan kita ke dalam tubuh Kristus. Ini adalah hal penting yang harus dipahami.
Penyelidikan Atas Kata ‘Baptizein’
Di sini saya tidak bisa terlalu banyak membuang waktu untuk menguraikan hal-hal teknis dalam eksegesis kali ini. Memang kata ‘baptis’ yang dipakai oleh Paulus di sini terlihat agak janggal, jika yang ia maksudkan hanya sekedar berkata bahwa kita telah ditempatkan di dalam tubuh Kristus. Kata ‘baptis’ tidak memiliki arti ‘menempatkan’. Kata ini berarti ‘membenamkan’ – mencelupkan atau membenamkan – kalau diartikan secara harafiah. Secara umum, jika Paulus bermaksud untuk mengatakan bahwa Roh Kudus menempatkan kita ke dalam tubuh Kristus, tentunya ia bisa memakai kata ‘menempatkan’. Ada kata Yunani yang bisa dipakai untuk maksud itu. ‘Menempatkan’ atau ‘menaruh’, atau ia bahkan bisa memakai kata ‘mencangkokkan’ ke dalam tubuh Kristus, jika Anda suka. Akan tetapi ia memakai kata ‘baptis’ dan hal ini agak menarik karena kata ‘baptis’ ini bermakna menaruh ke dalam sesuatu yang bersifat cair. Untuk pendalaman lebih lanjut akan hal ini, Anda bisa merujuk kepada tulisan-tulisan seperti buku karangan Conant yang berjudul The Meaning and Use of Baptizein (Makna dan Pemakaian kata Baptizein). Baptizein adalah kata Yunani yang menjadi asal dari kata Inggris ‘baptize’. Jadi secara umum baptizein berarti menaruh sesuatu ke dalam benda cair, bukan benda padat; dengan demikian, pemakaian kata ini untuk maksud penempatan ke dalam tubuh agak mengherankan
Kadang kala, kata ini dipakai secara kiasan untuk menggambarkan pedang yang ditancapkan ke dalam tubuh. Tentunya ide ini sangat tidak menarik. Makna yang satu ini tentunya bukan makna yang dimaksudkan oleh Paulus. Sudah pasti ia tidak sedang berbicara tentang pedang yang dibenamkan ke dalam gereja atau tubuh, ke dalam semacam benda cair, karena jelas tidak akan cocok dengan konteks di sini. Hal yang jelas bersifat merusak ketimbang membangun bagi tubuh tersebut, jika menerima pembenaman sebagaimana gambaran pedang yang ditancapkan itu. Kadang-kadang kata ‘baptizō’ berarti tenggelam, yaitu tenggelam oleh masalah seperti banjir dan sebagainya, akan tetapi tidak satupun dari arti tersebut di atas yang bisa diterapkan di sini.
Jadi satu-satunya alasan yang dapat kita pahami mengapa Paulus memakai kata ‘baptizō’ – ‘baptis’ – di dalam ayat ini, adalah karena ia sedang merujuk kepada baptisan air, bahwa ketika kita dibenamkan ke dalam air baptisan, Roh Allah juga sedang menempatkan kita ke dalam tubuh Kristus. Ini menjelaskan mengapa kita tidak sekedar dibaptis dengan air, tetapi kita dibaptis oleh Roh ke dalam tubuh-Nya. Jadi, pada titik mana kita menjadi anggota tubuh Kristus? Pada titik mana Roh Kudus membawa dan menempatkan kita sehingga kita menjadi anggota tubuh Kristus? Paulus memberitahu kita, sebagaimana Dijelaskan juga di dalam seluruh Perjanjian Baru, bahwa hal itu terjadi ketika kita menyatakan ikrar kita yang keluar dari hati nurani yang baik kepada Allah.
4. BAPTISAN: MATI KEPADA YANG LAMA SUPAYA YANG BARU BISA DATANG
Kita akan masuk ke poin kita yang terakhir pada hari ini. Poin terakhir yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Alkitab memakai baptisan untuk melambangkan kematian. Malahan baptisan juga mewakili kemartiran. Hal ini dapat kita temukan di dalam pengajaran Yesus. Sebagai contoh, di Markus 10:38-39 dan Lukas 12:50. Yesus berkata, “Aku harus menerima baptisan.” Setiap orang tahu bahwa yang sedang dikatakan oleh Yesus saat itu adalah, “Ada kematian yang harus Kujalani.” Jadi sudah sejak awal di sini Yesus memakai kata ‘baptisan’ sebagai rujukan bagi kematian. Ketika Ia berbicara tentang baptisan yang harus Dia jalani, Ia sedang berbicara tentang kematian yang harus Dia jalani.
Hal ini segera membawa kita pada pertanyaan berikut: Mengapa baptisan memberi penekanan pada kematian? Mengapa kematian itu sangat penting? Kematian bukanlah bahan pembicaraan yang menyenangkan. Mengapa kita harus terus membicarakannya? Alasannya sangat sederhana. Kita dapat melihatnya di 2 Kor. 5:17, sebuah ayat yang sangat terkenal, yang akan saya bacakan untuk Anda sekarang, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” Mengapa menekankan hal kematian? Jawabnya sederhana: jika yang lama tidak berlalu, maka yang baru tidak bisa datang.
Nah, inilah persoalan yang menjerat begitu banyak orang Kristen, dan juga merupakan persoalan yang menjadi kesaksian saudari Mae kepada Anda. Yang lama belum berlalu; akibatnya, yang baru tidak bisa datang. Oleh karena itu, ia tidak dapat mengalami apa yang dibicarakan di Roma pasal 6 karena yang lama itu masih ada di dalam dirinya. Ia berhasil sampai pada baptisan, akan tetapi tidak dengan hati nurani yang baik, mungkin karena ia tidak mendapatkan pemahaman yang utuh tentang hal apa saja yang berkaitan dengan baptisan. Saya harap poin ini dapat masuk dengan jelas ke dalam benak Anda semua. Saya mohon agar Anda mau memahami poin yang ini, khususnya jika Anda adalah seorang Kristen, bahwa jika yang lama belum berlalu dari hidup Anda, jika Anda masih bergantung pada dosa-dosa, mentalitas dan cara berpikir yang lama, maka yang baru tidak bisa datang.
Jika pada waktu saya menjadi Kristen, saya masih berpegang pada mentalitas yang lama, maka saya tidak akan pernah mengalami kepenuhan kehidupan Kristen. Jika saya masih berpegang pada ambisi militer saya dulu, hasrat untuk membangun diri ini menjadi orang hebat, memiliki tentara sendiri, meninggikan diri di dalam dunia ini, mengejar hasrat menjadi nomor satu, maka saya tidak akan dapat menjadi seorang Kristen sejati, bahkan mungkin sampai hari ini. Saya harus menyangkal semua cara hidup yang lama, semua ambisi egois saya. Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan memiliki ambisi, akan tetapi ambisi egois adalah sesuatu hal yang harus Anda buang. Ada ambisi yang bersifat rohani. Dan ada pula ambisi yang egois. Dan ambisi-ambisi saya di masa lalu mungkin termasuk yang paling egois. Jika saya berpegang pada cara hidup saya yang lama, maka saya tidak akan pernah menjadi orang Kristen sejati. Jika yang lama belum berlalu; maka saya tidak akan pernah mengalami yang baru. Saya bergumul dengan pikiran-pikiran ini sampai selama dua bulan. Suatu pergumulan yang sangat pahit. Saya masih mencoba untuk memelihara ambisi lama saya. Saya masih coba mempertahankannya karena ambisi-ambisi tersebut terasa sangat berarti bagi saya.
Saya hidup di dalam ambisi-ambisi tersebut selama bertahun-tahun. Saya mendisiplin diri saya demi ambisi-ambisi tersebut. Saya biasa bangun lebih pagi untuk mulai melatih tubuh saya. Tubuh saya sangat kuat, sangat berotot kala itu. Lihatlah tubuh saya yang kurus kering sekarang ini. Sekarang ini saya hanya bisa memamerkan tulang-tulang rusuk saya. Akan tetapi di kala itu, di mana-mana yang terlihat adalah jalinan otot. Ya, saya dulu selalu melatih tubuh ini dengan berbagai macam alat-alat pembangun otot. Salah satu kegemaran saya adalah berjabat tangan dengan remasan yang kuat, dan melihat roman muka orang tersebut. Sungguh sombong! Saya meremas tangan orang tersebut dengan sangat kuat. Tentu saja saya tidak melakukan hal ini terhadap para gadis! Anda tentu juga tidak ingin menyakiti tangan para gadis. Saya sangat senang jika berhadapan dengan orang yang bertubuh tinggi besar, menarik dan meremas tangannya kuat-kuat, dan menyaksikan roman mukanya. Tentu saja, keangkuhan di dalam diri orang tersebut tidak akan mengijinkannya menjerit kesakitan, akan tetapi Anda tetap akan dapat melihat perubahan roman mukanya. Anda lihat, betapa kuatnya kedagingan menguasai saya dulu. Kesombongan! Keangkuhan! Oh Yeah!
Juga dalam hal seni bela diri! Saya juga melatih hal ini – setiap hari. Pelatih saya yang orang Jepang itu, adalah pribadi yang serupa dengan saya. Pada masa itu, saya berlatih seni bela diri dengan disiplin setiap pagi dan juga belajar keras, melatih daya pikir – dengan memanfaatkan matematika, pelajaran yang paling saya kuasai. Satu-satunya mata pelajaran yang bisa saya kuasai dengan baik: Matematika. Saya menyukai pelajaran ini karena saya memakainya sebagai bahan latihan disiplin mental. Jadi segenap hidup saya digerakkan oleh ambisi ini. Saya tidak sekedar bermimpi-mimpi tentang suatu ambisi; saya memperjuangkannya. Saya memperjuangkannya. Saya adalah orang yang sangat sistematis, orang yang sangat disiplin. Selama bertahun-tahun saya hidup di dalam mimpi ini – yaitu ambisi militer saya. Saya membangun pola pikir saya. Dengan sengaja saya menyingkirkan segenap rasa takut pada kematian dari dalam benak saya.
Namun ketika saya datang kepada Tuhan, segala ambisi yang egois itu harus menyingkir. Dan itu adalah suatu pertarungan yang sangat besar bagi saya! Di zaman sekarang ini, saya masih saja terkagum-kagum jika melihat ada orang yang bisa datang kepada Tuhan dengan sangat mudahnya. Saya sangat heran. Bagaimana bisa secepat itu? Sedangkan saya harus berjuang, bergumul, sampai pada akhirnya Tuhan yang menang. Begitulah jalan yang saya lalui. Saya tahu bahwa saya tidak bisa bermain-main dengan dua macam kehidupan. Saya tahu bahwa saya tidak boleh plin-plan. Saya tahu bahwa saya tidak akan bisa menjadi seorang Kristen yang sejati jika saya tetap membawa mentalitas lama saya ke dalam kehidupan Kristen, kecuali – saya mohon Anda bisa memahami hal ini – kecuali yang lama berlalu.
Apa yang menjadi persoalan Anda sekarang mungkin berbeda dengan masalah saya dahulu. Anda mungkin tidak terlalu mementingkan kemegahan duniawi seperti yang saya angankan dahulu. Mungkin masalah Anda adalah kecintaan terhadap uang. Perlu saya katakan bahwa cinta akan uang tidak memikat hati saya pada masa itu. Saya pikir seorang prajurit sejati tidak akan tertarik pada uang. Setidaknya, dia tidak akan mampu menjadi seorang prajurit sejati jika sampai terjerat oleh hal ini. Ia pasti berkomitmen pada cita-citanya, yaitu ambisi kemiliterannya. Uang tidak memikat hatinya. Akan tetapi banyak sekali orang Kristen yang terjerat oleh uang. Nah, jika mentalitas semacam ini tidak disingkirkan dari diri Anda, maka Anda tidak akan pernah menjadi seorang Kristen sejati. Sebagaimana yang dijelaskan secara tegas oleh Yesus, “Kamu tidak bisa melayani Allah dan Mamon sekaligus.” Ada banyak orang Kristen sekarang ini yang mencoba melakukan hal ini dan berusaha mencari alasan yang terdengar rohani untuk membela diri. Ini hanya akan membuat Anda menipu diri sendiri.
Jika Kita Mati, Kita akan Mengalami Kebangkitan
Lantas, mengapa harus menekankan pada kematian? Mengapa baptisan berarti kematian? Mengapa kematian menjadi penting? Ingatlah baik-baik, karena jika yang lama itu belum berlalu maka Anda tidak akan pernah mengalami sepenuhnya seperti apa kebangkitan ke dalam hidup itu. Itulah akar persoalannya. Di Roma 6:7, dalam pasal yang sama, Paulus berkata bahwa lewat kematian kita “bebas dari dosa“. Pahamilah hal ini sebaik mungkin. Mungkin bahkan pada saat baptisan pun Anda masih takut pada kematian. Perlu saya sampaikan bahwa kematian tidak pernah menjadi hal yang menakutkan bagi saya. Dulu saya berpandangan bahwa kalau saya harus mati, maka saya akan mati. Jika hanya itu caranya untuk mematikan cara hidup yang lama, maka saya akan menjalaninya. Takut mati adalah salah satu alasan mengapa banyak orang Kristen tidak berserah – berkomitmen – sepenuhnya, karena mereka sebenarnya masih tidak ingin berpisah dari cara hidup lamanya. Ini sebabnya mengapa Alkitab berbicara tentang komitmen total: karena di dalam kematian, Anda membuat komitmen yang total. Jika kita mengucapkan sumpah prajurit, kita tidak sekedar menyatakan kesetiaan kepada kaisar, akan tetapi kesetiaan yang dipertahankan sampai mati – hal yang sangat dipahami oleh setiap prajurit Roma.
Di China, kebanyakan dari antara kami ketika menjadi orang Kristen memegang semboyan ini, “Setia sampai mati”, “Setia kepada Kristus sampai mati”. Itulah komitmen total. Mati selalu berarti total. Anda tidak bisa sekedar setengah mati, karena itu berarti bahwa Anda belum mati. Mungkin sekarang ini banyak orang Kristen yang hanya setengah mati, dan akibatnya mereka juga hanya setengah hidup.
Saya seringkali menyampaikan kepada orang-orang, sebagaimana yang sudah saya sampaikan di Camp Magog saat acara baptisan, bahwa menjalani kehidupan setengah-setengah begitu sangatlah sia-sia. Apakah Anda menikmati kondisi setengah mati itu? Pernahkah Anda melihat orang yang setengah mati? Orang itu berputar-putar tanpa tujuan. Ia juga tidak tahu sedang berada di mana. Setengah hidup! Setengah mati! Berusaha untuk berdiri, tetapi jatuh lagi. Kehidupan Kristen macam apa ini? Saya katakan kepada Anda bahwa mereka yang menjalani kehidupan semacam itu berada dalam keadaan yang paling parah dari semua manusia. Paling parah!
Saya ingin katakan kepada Anda bahwa jika Anda hanya ingin setengah mati saja, lebih baik Anda sekalian menjadi orang non-Kristen. Lebih baik menjadi orang non-Kristen dan segera mengejar dunia. Berkubanglah dalam segala hal yang ditawarkan oleh dunia kepada Anda. Saya pikir memilih salah satu secara total jauh lebih baik. Tidak ada gunanya menjadi orang Kristen yang setengah mati. Bodoh sekali! Ini adalah cara hidup yang paling menyedihkan. Lebih baik Anda mengejar dunia dan memuaskan hasrat dosa sampai ke puncaknya, lalu mati di dalam dosa. Selesai! Kemudian terimalah neraka dalam kekekalan. Dari pada bermain-main dengan keadaan yang setengah-setengah. Lebih baik jangan menyeret kaki Anda memasuki gereja! Kami tidak butuh hal seperti itu di gereja, dan Anda tidak membutuhkannya juga. Berkali-kali saya menyatakan bahwa satu-satunya cara hidup yang masuk akal adalah dengan tidak menjadi orang Kristen yang tak tentu pendiriannya – bergumul untuk menjalani kehidupan Kristen namun jatuh terus, seperti yang pernah dicoba oleh Mae – dan kemudian tenggelam dalam pertanyaan: Di mana kemenangannya? Mengapa hidup yang lama ini masih ada di dalam diri saya? Saya kira saya sudah mendapatkan sedikit kebebasan, namun apa yang saya dapatkan? Yang saya dapatkan hanya kekalahan terus menerus. Apa gunanya meneruskan kehidupan Kristen ini? Lebih baik keluar! Keluarlah dan cari bioskop dan nonton sampai puas. Pergilah ke lantai dansa dan menarilah sampai puas! Nikmati saja! Jika Anda senang mabuk, minumlah sampai jatuh pingsan. Setidaknya Anda bisa menikmati hidup Anda sepuas hati. “…marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati” (1 Kor 15:32). Pergilah makan dan minum, karena Anda akan mati besok. Nikmati semua itu!
Seperti kata serdadu Israel, “Bagaimanapun juga aku akan mati esok hari. Jadi mari kita nikmati saat-saat ini. Perbanyak dosa sesuka hati kita. Lagi pula, siapa yang peduli? Nikmati saja!” Namun akan menjadi orang Kristen macam apa Anda nanti? Tidak di sini tetapi juga tidak di sana. Kehidupan Kristen macam apa ini? Anda sudah melihat ada orang-orang Kristen dengan wajah cemberut, menyeret dirinya kesana kemari, dan berkata, “kehidupan Kristen ternyata sangat berat. Mengapa aku masuk ke dalam hidup semacam ini?” Orang-orang Kristen yang menggerutu! Lebih baik mereka lupakan saja kehidupan Kristen! Kejar saja dunia ini! Nikmati segalanya, selagi Anda masih punya waktu untuk menikmati semua itu. Lalu terimalah konsekuensinya dalam kekekalan.
Pilihan yang lain adalah mati! Mati sekali dan selamanya! Akhiri semua keduniawian itu, dan nikmati kehidupan Kristen! Ada berapa banyak orang Kristen yang menikmati kehidupan Kristennya? Saya ingin tahu. Kadang kala, saya menatap sekeliling dan berkata, “Ada apa dengan orang-orang Kristen itu? Ah, kehidupan Kristen benar-benar layak untuk dinikmati!” Memang benar, kehidupan Kristen itu keras – seperti kehidupan seorang prajurit. Kehidupan seorang prajurit memang berat. Ia berangkat ke medan perang; mengalami cedera dan lecet-lecet; akan tetapi ada kemenangan yang menunggu di depan sana. Mengapa seseorang mendaftar masuk angkatan perang? Mengapa mereka dengan sukarela masuk ke dalam urusan ini? Untuk menjadi santapan peluru? Benar, demi bangsa dan Raja yang mereka cintai.
Pernahkah Anda mendengarkan kisah-kisah tentang pasukan Romawi yang kalah jumlah, terkepung, terluka, berdarah, namun tidak pernah menyerah? Mereka telah mengikrarkan sumpah. Mereka akan bertahan sampai prajurit yang terakhir. Tidak ada kata menyerah! Terus berjaya -bahkan di saat-saat menghadapi ajal! Tetap bersukacita! Sungguh indah! Dapatkah mereka memahami arti sukacita dalam kehidupan Kristen? Padahal mereka tidak memiliki Allah. Mereka berjuang demi satu ideal. Saya pernah melihat dan mendengar tentang pasukan Komunis yang menerjang ke arah penembak bersenjata mesin. Senapan mesin itu memuntahkan pelurunya, dan para pasukan komunis itu menerjang langsung ke arah kubu senapan mesin itu. Anda mungkin berkata, “Apa-apaan ini? Sakit jiwa? Sudah gilakah?” Mereka itu, atas kehendak sendiri, menghadap komandannya, dan berkata, “Izinkanlah saya maju. Berilah saya kehormatan untuk maju!” Anda mungkin akan berkata, “Apa-apaan ini? Apakah kalian sudah gila?” Tidak, mereka sudah sampai pada satu keyakinan – melihat suatu visi! Mereka menjalani hidup demi visi tersebut. Yang kita miliki sebenarnya jauh melebihi suatu visi. Mereka bersedia mati demi sebuah visi. Dan saya juga dulu bersedia mati demi sebuah visi; sekarang saya sudah menyadari kebodohan saya. Sekarang yang saya miliki adalah sebuah realitas! Saya memiliki Kristus! Saya memiliki realitas kehidupan yang baru untuk dijalani dan, jika Tuhan mengizinkan, untuk mati demi hidup itu.
Baptisan Adalah Komitmen Untuk Mati
Lantas, apa arti baptisan itu? Baptisan adalah komitmen untuk mati – mati bagi hidup lama – supaya kita bisa menikmati hidup yang bebas dari dosa. Nikmatilah kehidupan Kristen! Jika Anda tidak bisa menikmati kehidupan Kristen, apa gunanya menjadi orang Kristen? Apa perlunya? Apa kita senang menyiksa diri sendiri? Ada beberapa orang yang memang gemar tidur di atas ranjang paku, tetapi saya bukan jenis yang seperti itu! Saya bukan penggemar ranjang paku. Saya datang untuk bisa melihat satu hal. Jika ini kenyataan, jika ini kebenaran, maka saya akan masuk sepenuhnya! Jika ini bukan kebenaran, lupakan saja! Saya akan memilih lantai dansa. Saya akan mengalahkan semua orang. Apa salahnya? Saya juga bisa berdansa! Kita akan memilih dunia ini atau, sekali untuk selamanya, berkata, “Semua sudah berakhir, yang lama sudah berakhir. Tuhan, biarlah hidup yang baru itu masuk ke dalam diri saya.”
Mari kita rangkum pembahasan ini. Hanya orang yang telah mati sepenuhnya yang bisa dibangkitkan sepenuhnya. Anda tidak akan bisa dibangkitkan kalau Anda tidak mati. Anda tidak akan bisa dibangkitkan kalau Anda masih setengah mati. Hanya jika Anda sudah mati baru Anda bisa dibangkitkan. Hanya jika Anda telah menanggalkan tubuh daging ini pada saat dibaptis, seperti yang dikatakan oleh Paulus di Kol 2:11-12, saat cara berpikir kita tidak lagi didominasi oleh daging, demikianlah maksudnya, melainkan didominasi oleh Allah, hidup sepenuhnya demi Allah. Hanya jika kita sudah bertekad untuk menanggalkan tubuh daging baru kita bisa dilahirkan dari Roh. Hanya jika kita sudah setia sampai mati baru kita bisa memperoleh mahkota kehidupan, seperti yang kita baca di Wahyu 2:10.
Jadi sekarang kita sampai pada kesimpulannya. Apa itu baptisan? Baptisan adalah sumpah setia kepada Allah sebagai Raja kita, sebagai Tuhan kita, yang dibuat dari hati nurani yang baik. Kedua, kita dijadikan satu dengan Kristus lewat baptisan. Ketiga, kita dimasukkan ke dalam tubuh Kristus lewat baptisan. Dan keempat, kita masuk ke dalam hidup baru, ke dalam kebangkitan hidup Kristus lewat baptisan.