Pastor Eric Chang | Matius 20:20-28 | Markus 10:32-45 |

Kita akan melanjutkan pembahasan kita tentang Matius pasal 20. Tapi, kita akan melihat lebih banyak dari perikop yang sejajar di Markus pasal 10. Perikop di Markus lebih lengkap, dan berisi lebih banyak perincian dibandingkan dengan yang ada di Matius. Inilah yang tertulis di  Markus 10:32-45

Yesus dan murid-murid-Nya sedang dalam perjalanan ke Yerusalem dan Yesus berjalan di depan. Murid-murid merasa cemas dan juga orang-orang yang mengikuti Dia dari belakang merasa takut.

 

Sekali lagi Yesus memanggil kedua belas murid-Nya dan Ia mulai mengatakan kepada mereka apa yang akan terjadi atas diri-Nya, kata-Nya: “Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah (dalam hal ini bangsa Roma), dan Ia akan diolok-olokkan, diludahi, disesah dan dibunuh, dan sesudah tiga hari Ia akan bangkit.”

(Perhatikan betapa tidak layak tanggapan dari Yakobus dan Yohanes di dalam konteks ini. Yesus baru saja berbicara tentang fakta bahwa dia akan dihina, kemudian dihukum mati, namun perhatikan ucapan dari Yakobus dan Yohanes berikut ini.)

Lalu Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, mendekati Yesus dan berkata kepada-Nya: “Guru, kami harap supaya Engkau kiranya mengabulkan suatu permintaan kami!” 

 

Jawab-Nya kepada mereka: “Apa yang kamu kehendaki Aku perbuat bagimu?”

Lalu kata mereka: “Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang lagi di sebelah kanan-Mu dan yang seorang di sebelah kiri-Mu.”

Tetapi kata Yesus kepada mereka: “Kamu tidak tahu apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan yang harus Kuminum dan dibaptis dengan baptisan yang harus Kuterima?”

Jawab mereka: “Kami dapat.”

Yesus berkata kepada mereka: “Memang, kamu akan meminum cawan yang harus Kuminum dan akan dibaptis dengan baptisan yang harus Kuterima. Tetapi hal duduk di sebelah kanan-Ku atau di sebelah kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa itu telah disediakan.”

Mendengar itu kesepuluh murid yang lain menjadi marah kepada Yakobus dan Yohanes.

Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”


Prinsip yang terdahulu dan yang terakhir

Pada bagian terakhir dari perikop itu, Anda bisa melihat bahwa “prinsip yang terdahulu – yang terakhir” muncul lagi. Hal ini adalah prinsip dasar dari ajaran Yesus. Ini adalah jantung dari ajaran Yesus. Gagal memahami prinsip ini berarti gagal memahami semua yang diajarkan oleh Yesus. Ini adalah pernyataan yang bersifat mutlak. Memahami prinsip ini berarti memahami apa yang Yesus ajarkan. Itulah sebabnya Yesus berulangkali menguraikan prinsip ini.

Namun Anda bisa lihat di dalam perikop ini bahwa para murid masih belum mengerti juga. Mereka tidak mengerti. Saya tidak tahu apakah Anda sudah mengerti. Apakah kita sudah mengerti? Itulah persoalannya. Sudahkah Anda mengerti prinsip bahwa yang terdahulu akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu?

Namun mereka memang sudah mulai mengerti akan satu hal. Mereka mulai mengerti bahwa perkara diselamatkan, yaitu memasuki Kerajaan itu sama sekali tidak mudah.

Dikatakan di dalam perikop ini: Saat itu mereka sedang dalam perjalanan naik menuju ke Yerusalem dan Yesus berjalan di depan mereka, dan perhatikanlah kalimat berikut ini: Murid-murid merasa tercegang (amazed) dan juga orang-orang yang mengikuti Dia dari belakang merasa takut. Tercengang dan takut. Mengapa mereka takut? Mengapa mereka tercengang? Perhatikan bahwa di Markus, kalimat tersebut muncul langsung sesudah kalimat yang disampaikan oleh Yesus kepada orang muda yang kaya itu. Apakah hal yang disampaikan oleh Yesus kepada orang muda itu dan apa juga hal yang Yesus sampaikan kepada para murid setelah itu? Yesus menyampaikan bahwa, “Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.

Anda ingat bahwa di Markus 10:26, para murid sangat terkejut akan hal ini. Mereka benar-benar terperanjat akan ucapan ini. Lebih mudah bagi hewan yang berukuran besar seperti unta untuk masuk melalui lubang jarum daripada bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga. Mereka tertegun mendengarkan ucapan semacam ini, tercengang, demikianlah istilah yang dipakai di sini. Kecengangan ini bukan sekadar kecegangan yang berlangsung sementara saja. Ucapan tersebut masih terngiang di telinga mereka. Pada saat itu, Yesus sudah melangkah melanjutkan perjalanan.

Hubungan antara kedua hal itu sangatlah dekat, malahan keduanya adalah peristiwa yang berurutan. Markus 10:17 berkata, Pada waktu Yesus berangkat untuk meneruskan perjalanan-Nya (ke Yerusalem). Pada waktu Yesus berangkat untuk melanjutkan perjalanannya itulah orang muda yang kaya ini datang dan berbicara dengannya. Dan di ayat 32, saat itu mereka sedang di tengah perjalanan ke Yerusalem. Jadi semua ini adalah bagian-bagian dari satu peristiwa (yakni peristiwa perjalanan menuju Yerusalem).

Para murid itu baru saja mendengarkan apa yang Yesus sampaikan kepada orang muda ini dan kalimat tersebut masih terngiang di telinga mereka. Mereka tercengang dan menjadi sangat ketakutan. Pokok tentang keselamatan yang ditanyakan oleh orang muda yang kaya itu lewat pertanyaan, “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” adalah hal yang sangat menggoncang mereka. Sebelum munculnya peristiwa ini mereka menyakini bahwa mereka sudah memperoleh hidup kekal itu. Dan sekarang mereka menjadi sangat ketakutan.

Yesus tidak pernah ragu untuk menggoncangkan keyakinan dan rasa puas diri bahkan sampai pada titik di mana para murid sekarang menjadi ketakutan. Ketakutan yang semacam ini justru bagus. Ketakutan yang sejenis ini sangat bagus. Mengapa? Karena domba yang tidak punya rasa takut akan berkeliaran menjauh dari gembalanya, dan akan segera diterkam oleh serigala, atau dibinasakan oleh beruang. Domba yang ketakutan akan belajar untuk tetap tinggal dekat dengan gembalanya. Itulah sebabnya mengapa saya katakan bahwa rasa takut yang semacam ini sangat bagus, takut akan Tuhan adalah permulaan dari hikmat.


Mereka yang tetap bersama dengan Yesus sekarang mengikut dia dengan rasa takut

Yang lebih mengejutkan lagi adalah struktur kalimat di sini: Murid-murid merasa tercengang dan juga orang-orang yang mengikuti Dia  – kalimat “orang-orang yang mengikuti Dia itu berarti bahwa ada sebagian yang tidak ikut Yesus. Sebagian tetap ikut dan sebagian lagi tidak ikut. Hal ini menunjukkan bahwa ucapan Yesus ini agak sulit untuk diterima. Tidak semuanya mengikut dia, dan orang-orang yang mengikuti dia dari belakang merasa takut. Inilah makna yang didapatkan di sini. Seringkali, ada sebagian murid Yesus yang pergi meninggalkan dia. Sebenarnya ini adalah hal yang sering terjadi. Di bagian terakhir Yohanes pasal 6, dicatatkan tentang orang yang tidak dapat menerima ajarannya tentang hal memakan dagingnya dan sebagainya. Akibatnya mereka meninggalkan Yesus. Di dalam perikop ini, mereka juga mendapati bahwa ajarannya sangat sukar diterima. “Kalau diselamatkan itu sangat sukar, lebih baik kita pergi saja.” Akan tetapi ada yang tetap ikut, namun sekarang mereka mengikuti dengan rasa takut. Mereka mengikuti dengan rasa takut karena menyadari bahwa perkara diselamatkan, bahwa hal memperoleh hidup kekal, adalah perkara yang sangat sukar.


Mereka dicekam rasa takut, tetapi Yesus tetap berbicara tentang kematiannya!

Seolah-olah rasa takut mereka itu masih belum cukup. Perhatikanlah apa yang disampaikan oleh Yesus setelah itu. Ucapan tersebut cukup untuk membuat mereka mundur.

Di ayat 33, Yesus berkata kepada mereka, “Sekarang kita pergi ke Yerusalem.” Untuk apa? Untuk mengadakan pesta besar? Apakah untuk bersenang-senang di Yerusalem? Bukan. “Gurumu, akan mati di sana.”

Wah! Sekarang saja mereka sudah ketakutan, tapi Yesus malah memberitahu mereka bahwa dia akan mati juga! “Apakah engkau akan meninggalkan kami seperti anak-anak yatim piatu? Kami harus mulai berjuang sendiri? Dan jika engkau akan dihukum mati di sana, lalu bagaimana dengan kami?”

Anda lihat, Yesus tidak menentramkan hati mereka di tengah ketakutan mereka itu. Dia terus memberitahukan kebenaran kepada mereka. Urusannya akan menjadi lebih buruk. “Kalau kalian pikir yang sekarang ini sudah cukup buruk. Lihat saja apa yang akan terjadi nanti. Aku akan dihina. Aku akan dipermalukan. Aku akan dihukum mati. Camkan hal ini baik-baik. Pahami dengan baik. Saat-saatku untuk berada bersama kalian sudah hampir habis. Aku akan segera pergi.”.”


Murid-murid sama sekali tidak memahami hal kebangkitan yang dikatakan Yesus

Akan tetapi Yesus memberikan satu ucapan yang membangkitkan semangat: setelah tiga hari, maka dia akan bangkit kembali. Dia akan bangkit. Apakah artinya? Para murid juga tidak bisa memahami hal ini. Dia akan bangkit? Di mana dia akan bangkit? Apa arti semua ini? Sungguh sulit untuk dipahami. Dan sebagaimana yang Anda ketahui, ketika Yesus dihukum mati, mereka sama sekali tidak berpikir bahwa dia akan bangkit kembali. Ingatkah Anda bahwa di dalam perjalanan menuju Emaus, mereka menyampaikan hal ini kepada seorang asing yang seperjalanan dengan mereka, “Kami kira dia akan membebaskan Israel dan, tentunya, kami juga, akan tetapi dia justru disalibkan. Seperti itulah akhir riwayat dari seorang besar seperti dia.” Semua perkataan Yesus bahwa dia akan bangkit kembali sama sekali tidak mereka ingat. Sama seperti kebanyakan dari kita, kita membaca Alkitab, kita membacanya akan tetapi tidak memahaminya. Kita tidak tahu apa maksudnya. Seperti ada semacam penghalang, ada satu halangan mental di sana.

Sungguh luar biasa cara Yesus menangani kita, bukankah begitu? Hikmatnya sangat luar biasa yang terlihat dari perumpamaannya yang bersifat diagnostik; yang begitu membongkar hati kita. Setelah isi hati mereka terbongkar, mereka lalu mulai merasa sangat ketakutan. Pada saat mereka ketakutan, tentunya Anda akan berpikir bahwa Yesus akan berkata, “Jangan kuatir sobat. Semuanya baik-baik saja. Persoalannya tidak akan berjalan seburuk yang kau pikirkan.” Justru sebaliknya, Yesus malah berkata kepada mereka bahwa urusannya akan menjadi semakin buruk. Pada titik ini, mereka tentu benar-benar ketakutan.


Mereka tidak mengerti mengapa Yesus perlu mati

Ayat yang sejajar di Lukas 18:34, memberitahu kita bahwa mereka tidak mengerti apa yang Yesus katakan. Mereka tidak tahu apa maksud perkataannya. Dan Lukas 18:34 berbunyi seperti ini:

Akan tetapi mereka sama sekali tidak mengerti semuanya itu; arti perkataan itu tersembunyi bagi mereka dan mereka tidak tahu apa yang dimaksudkan.

Hal apakah yang tidak mereka pahami itu? Apakah itu karena mereka tidak mengerti bahasa Aram yang dipakai oleh Yesus saat berbicara dengan mereka? Bahasa itu adalah bahasa sehari-hari mereka. Lalu hal apa yang tidak bisa mereka pahami? Anak Manusia akan diserahkan. Anak Manusia adalah gelar yang selalu dipakai oleh Yesus dalam menyebutkan dirinya. Hal apa yang tidak bisa mereka pahami di sana? Dia akan diserahkan kepada imam kepala, dan mereka akan menghukum mati dia.

Bagian mana yang menurut Anda sukar untuk dipahami? Apakah tata bahasanya? Adakah hal yang tidak jelas di dalam ayat ini? Adakah bagian yang bersifat teka-teki di ayat ini? Bahasanya sungguh sangat sederhana dan tegas. Ia akan diolok-olokkan, diludahi – adakah hal yang sulit dipahami di sini? Disesah dan dibunuh. Apa yang sukar untuk pahami di sini? Alkitab berkata, Akan tetapi mereka sama sekali tidak mengerti semuanya itu. Tak ada satu halpun yang mereka pahami. Ucapan itu dikatakan tersembunyi dari pemahaman mereka.

Hal apakah yang tidak bisa mereka pahami? Mereka sudah mengerti bahwa diselamatkan itu sangat sukar. Dan ini adalah untuk yang ketiga kalinya, bukan untuk yang pertama kalinya, melainkan yang ketiga kalinya Yesus memberitahu murid-muridnya bahwa dia akan mati dan bahwa dia akan bangkit kembali. Jadi ini bukanlah pernyataan yang baru bagi mereka akan tetapi mereka masih juga tidak memahaminya. Hal apakah yang tidak bisa mereka pahami?

Mereka tidak mengerti mengapa begitu penting bagi dia untuk mati! Jelas bukan karena mereka tidak mengerti arti dari kalimat yang disampaikan. Maksud saya, Anda sendiri tentunya bisa memahami kalimat tersebut. Setiap anak kecil yang bisa membaca tentunya bisa mengerti akan hal ini. Akan tetapi mereka tidak bisa mengerti mengapa hal ini menjadi penting? Mengapa? Mengapa Yesus harus mati?

Dan seringkali saya juga mendapat pertanyaan seperti ini. Saya yakin bahwa pertanyaan ini juga muncul di benak Anda. Mengapa Yesus mati? Mengapa dia harus mati? Tidak bisakah kita diselamatkan dengan cara lain? Tidak adakah cara yang lebih mudah untuk diselamatkan? Pertanyaan ini muncul karena kita tidak mengerti betapa seriusnya persoalan dosa. Demikianlah, jika dikatakan bahwa mereka tidak mengerti semua ini, bukan berarti bahwa mereka tidak bisa memahami kalimatnya, melainkan mereka tidak bisa mengerti mengapa harus demikian. Mengapa orang baik harus mati? Mengapa orang benar harus selalu tertindas, dan orang jahat boleh berbuat sesuka hatinya? Mengapa para bos mafia boleh hidup nyaman dengan uang jutaan dolar sementara orang benar harus berjuang keras demi hidupnya hanya untuk sejumlah kecil uang? Mengapa? Kita tidak mengerti akan hal-hal tersebut. Mengapa selalu saja orang benar yang harus menderita sementara orang jahat bebas berkeliaran?

Jadi bukan karena mereka tidak memahami arti kalimatnya, melainkan mereka tidak mengerti mengapa harus demikian. Bisakah Anda mengerti mengapa harus demikian? Mengapa Yesus harus mati? Dapatkah Anda memahami prinsip yang terdahulu menjadi yang terakhir dan yang terakhir menjadi yang terdahulu, bahkan setelah mendengarkan eksposisinya, bisakah Anda memahaminya? Saya tidak tahu apakah kita bisa memahami apa yang diajarkan oleh Yesus. Namun perhatikan betapa kecilnya pemahaman para murid.


Yakobus dan Yohanes memutuskan untuk membicarakan hal-hal yang menyenangkan

Yakobus dan Yohanes menilai bahwa pokok pembahasan yang sedang terjadi terlalu sedih dan menakutkan. “Kita harus membangkitkan semangat. Kita harus menggembirakan suasana. Setelah berbicara tentang hal kematian, diludahi, penghinaan dan pembunuhan, mari kita bicarakan hal yang lebih menyenangkan. Saya tidak mengerti mengapa atau apa maksud perkataanmu, dan apakah engkau sedang berbicara memakai bahasa perlambangan, akan tetapi kami percaya bahwa engkau akan menjadi orang besar. Tak seorangpun yang pernah mengajar seperti engkau mengajar. Kami bisa melihat bahwa engkau adalah pribadi yang hebat. Kami telah melihat dukungan rakyat terhadapmu. Rakyat banyak dengan senang hati mendengarkan engkau. Kemanapun engkau pergi, selalu berkumpul banyak orang. Kami tahu bahwa suatu hari nanti, entah dengan cara apa, engkau akan menjadi besar. Kami tidak tahu bagaimana caranya, akan tetapi engkau akan sampai di sana. Dan jika engkau telah sampai di sana, tolong perhatikan kami, aku dan saudaraku, satu di sebelah kananmu, dan yang satu lagi di sebelah kirimu. Bagaimana?”

Setelah semua pembicaraan tentang prinsip yang terdahulu dan yang terakhir namun ternyata mereka masih belum memahaminya. Belum apa-apa mereka sudah ingin menjadi yang terutama lagi. Luar biasa! Bukankah luar biasa, kita bisa saja mendengarkan khotbah tentang Firman Allah minggu demi minggu, namun kita tidak memahaminya. Kita tidak menerapkannya di dalam kehidupan kita, jadi apa gunanya mendengarkan Firman Allah? Dan begitulah mereka, mereka meminta untuk menjadi yang terutama lagi: “Berilah kami tempat yang paling utama di dalam Kerajaanmu.”


“Jadilah yang terakhir, kalau ingin menjadi yang utama”

Perhatikan, Yesus tidak menegur mereka. “Kalian ingin menjadi yang terutama? Baiklah. Namun apakah kalian tahu bagaimana untuk bisa menjadi yang terutama? Jalan untuk menjadi yang terdahulu adalah dengan menjadi yang terakhir.” Oh! Bagaimana menjadi yang terakhir? Apa itu yang terakhir? Yesus berkata, “Kalau kalian ingin mencapai puncak, maka kalian harus pergi ke bawah. Jalan menuju ke atas adalah lewat bawah.”

Ini adalah hal yang sangat sukar untuk dipahami. Jalan menuju ke atas itu lewat bawah? Apa ini? Mungkin engkau sedang bermain teka-teki. Hal ini tidak bisa dipahami. Dalam bahasa yang sederhana, Yesus berkata, “kalau kalian ingin menjadi yang terdahulu di dalam Kerajaan Allah, kalau kalian ingin berada di sebelah kanan dan kiriku, aku akan beritahu caranya.” Ah! Mereka begitu bersemangat! “Ya, ya. Bagaimana caranya?” “Caranya adalah dengan meminum cawan yang harus kuminum dan menerima baptisan yang harus kuterima. Sanggupkah kalian melakukannya?” “Oh, ya. Tidak masalah!” (Karena mereka tidak tahu apa yang sedang dibicarakan di sini) “Kami sanggup,” begitu kata mereka.

Lalu apa itu cawannya? Cawan itu tentunya adalah cawan kematian. Dan tampaknya mereka masih belum mengerti juga. “Cawan yang akan kuminum itu bisakah kalian meminumnya juga?” “Oh, tentu saja.” Sebelum Anda berkata ‘ya’, sebaiknya Anda cari tahu dulu hal yang Anda setujui itu. Yesus berkata, “Baiklah, dalam hal ini, kalian memang akan meminum cawan yang kuminum.” Seperti yang bisa kita baca di Kisah rasul 12, Yakobus adalah salah satu murid yang mati lebih awal. Dia memang meminum cawan itu.


‘Cawan’ mengacu pada sesuatu yang Allah berikan atau wariskan kepada Anda.

Lalu apakah makna cawan itu? Untuk bisa memahami makna cawan, kita perlu memahami isi Perjanjian Lama. Yesus memakai istilah ini di Yohanes 18:11. Di dalam peristiwa di Taman Getsemani, ketika Petrus menghunus pedangnya dan memotong telinga salah satu hamba imam besar yang bernama Malkhus. Dan Yesus di ayat 11 itu berkata kepada Petrus,

“Sarungkan pedangmu itu; bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku?”

“Aku akan meminum cawan ini, apakah engkau akan berdiri menghalangi-ku meminum cawan ini?”

Di dalam Perjanian Lama, cawan mengacu pada jatah atau bagian, sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada Anda untuk dijalankan atau diwarisi. Cawan bisa mengacu pada pemberian yang baik atau yang buruk.

Di Mazmur 11:6, cawan mengacu pada sesuatu yang buruk.

Ia menghujani orang-orang fasik dengan arang berapi dan belerang; angin yang menghanguskan, itulah isi piala mereka.

Di Mazmur 16:5, cawan mengacu pada sesuatu yang baik:

Ya TUHAN, Engkaulah bagian warisanku dan pialaku, Engkau sendirilah yang meneguhkan bagian yang diundikan kepadaku.

Jadi, ‘cawan’ bisa mengacu pada segala sesuatu yang diberikan kepada Anda, entah sesuatu yang harus Anda tanggung atau akan Anda nikmati, bisa berupa salah satu dari keduanya. Di dalam perikop yang sedang kita bahas ini, cawan tersebut adalah cawan kematian, ini adalah cawan murka Allah atas dosa. Kita baca di Mazmur 75:9, dan saya akan bacakan ayat itu kepada Anda untuk memberikan gambaran tentang latar belakang masalah ini di dalam Perjanjian Lama:

Sebab sebuah piala ada di tangan TUHAN, berisi anggur berbuih, penuh campuran bumbu; Ia menuang dari situ; sungguh, ampasnya akan dihirup dan diminum oleh semua orang fasik di bumi.

Ini adalah cawan penghakiman Allah terhadap orang-orang fasik, dan cawan inilah yang akan diminum oleh Yesus dalam mewakili kita. Cawan ini sering disebut di dalam Perjanjian Lama sehingga orang yang akrab dengan isi Perjanjian Lama tidak akan kesulitan di dalam memahaminya. Di dalam Perjanjian Lama, cawan ini disebutkan di Yesaya 51:17,22; Yeremia 25:15,17 dan sebagainya. Inilah cawan yang disebutkan oleh Yesus, dan mereka mengaku sanggup untuk ikut meminumnya.


‘Baptisan’ melambangkan kematian dan penguburan

Lalu bagaimana dengan ‘baptisan’? Baptisan adalah lambang yang lazim atas kematian dan penguburan. Saat seseorang dibaptis, hal itu melambangkan kematiannya saat dia masuk ke dalam air, lalu saat air menutupi dia, hal itu melambangkan penguburannya. Kemudian dia bangkit lagi dari baptisan itu, hal ini melambangkan bahwa dia bangkit menuju hidup yang baru.

Jadi, cawan dan baptisan itu sama-sama melambangkan kematiannya.


Apa terjadi saat Anda menempatkan diri Anda sebagai yang terutama?

Kita akan melanjutkan ke ayat 41, kita lihat betapa niat meninggikan diri mereka ini segera saja menimbulkan ketegangan dan kejengkelan di kalangan para murid. Mengapa muncul ketegangan dan kejengkelan? Karena kita tidak memahami prinsip yang terdahulu-yang terakhir. Perhatikan ayat 41:

Mendengar itu kesepuluh murid yang lain menjadi marah kepada Yakobus dan Yohanes.

Perhatikan kalimat menjadi marah. Hal ini masih belum merupakan akhir dari persoalan tersebut. Kemarahan mereka bukan sesaat saja. Menjadi marah (they began to be = mulai) – kata ini menunjukkan bahwa proses menjadi marah terhadap Yakobus dan Yohanes itu berlangsung cukup lama.

Dari sini kita bisa lihat bahwa di tengah gereja, di dunia, atau di tengah keluarga, saat orang mulai menempatkan dirinya sebagai yang terutama, menempatkan kepentingan, hasrat atau kesenangan mereka sendiri sebagai yang terutama, maka akan muncul ketegangan di tengah keluarga, akan muncul ketegangan di gereja atau di dunia karena orang-orang ingin menempatkan dirinya di tempat pertama. Dan segera saja, ketika Yakobus dan Yohanes mulai menempatkan diri mereka sebagai yang terutama, muncullah konflik di kalangan murid-murid.


Kita harus membuat pilihan

Itulah sebabnya mengapa di ayat 42 Yesus mengulangi prinsip yang sangat penting ini, yang sudah kita bahas selama beberapa khotbah terakhir sampai dengan sekarang ini: yaitu Prinsip Yang Terdahulu-Yang terakhir. Lalu Yesus memanggil mereka dan berkata kepada mereka, “Bagaimana dengan dunia? Di dunia, mereka yang menjadi bos memerintah dengan tangan besi. Mereka gemar menunjukkan bahwa mereka punya kekuasaan. Mereka gemar memamerkan kewenangan mereka.”

“Pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”

Sekalipun dia adalah yang terutama, dia menjadi yang terakhir; dia menjadi pelayan bagi semua orang. Bagaimana dia melayani? Dia berikan nyawanya sebagai tebusan bagi banyak orang. Bisakah kita memahami hal ini? Dapatkah Anda memahami hal ini?

Di sini muncul prinsip penting yang harus kita serap. Ayat-ayat ini menghadapkan sebuah pilihan kepada kita. Prinsip Yang Terdahulu-Yang Terakhir menghadapkan Anda pada sebuah pilihan. Anda harus membuat sebuah pilihan dan Anda tidak bisa netral. Apakah pilihannya? Entah Anda memilih untuk mnejadi yang terdahulu atau menjadi yang terakhir. Dan Anda tidak akan bisa memilih untuk bersikap netral. Ini adalah prinsip yang harus Anda jalani, yakni prinsip pilihan. Apakah maksudnya?

Sekarang Anda bisa lihat bahwa Yesus sedang menjelaskan apa maknanya. Prinsip itu sudah dia jelaskan, bukankah demikian? Pilihan Anda adalah untuk melayani atau dilayani? Sebagaimana yang telah disampaikan di bagian yang lain oleh Yesus, Anda ingin diselamatkan atau kehilangan keselamatan. Ingin mempertahankan hidup Anda atau memberikannya. Hanya dua itu pilihan Anda. Dan dengan bersikap tidak memilih, sebenarnya Anda sudah memilih. Keputusan untuk tidak memilih itu sendiri sudah merupakan sebuah pilihan.

Malahan, pada saat ini sebenarnya Anda sudah memilih, apakah Anda akan mempertahankan hidup Anda atau akan kehilangan, entah Anda akan memberikan nyawa Anda atau ingin mempertahankannya. Anda telah membuat sebuah pilihan karena kita semua, secara alami, memilih untuk mempertahankan nyawa kita. Kita semua secara alami memilih untuk mempertahankan hidup kita. Kita semua secara alami memilih untuk menjadi yang terdahulu, menempatkan kepentingan kita sebagai yang terutama, itulah maksud penjelasannya. Anda sudah membuat pilihan itu. Satu-satunya plihan yang masih ada adalah apakah Anda bersedia berhenti dari cara hidup ini agar bisa menjadi seorang murid yang memilih untuk menjadi yang terakhir. Hanya itu pilihan yang perlu Anda buat.

Itulah sebabnya mengapa para murid menjadi cemas. Mereka mendapati bahwa pilihan itu sangat sukar, karena secara alami, kita hidup demi kepentingan kita sendiri; kita mengejar kepentingan kita sebagai yang terutama. Seperti itulah diri kita secara alami. Dan ketika mereka menyadari bahwa untuk memperoleh hidup yang kekal itu akan melibatkan pengorbanan cara hidup mereka – untuk bisa melewati lubang jarum, untuk bisa melewati jalan yang sempit, mereka menyadari betapa sukarnya diselamatkan itu. Pendeta yang memberitahu Anda bahwa jalan itu mudah adalah pendeta yang tidak memberitahukan segenap kebenaran kepada Anda. Yesus tidak menyembunyikan kebenaran dari kita. Dia memberitahu kita apa adanya. Anda akan menerimanya atau menolaknya, itu saja. Seperti itulah jalannya.

Kesukarannya sama seperti berusaha melewati lubang jarum. Sesukar itu, bukan semudah itu. Ini adalah masalah pilihan antara jalan yang lebar dengan jalan yang sempit. Yesus berkata di  Matius 7:13 bahwa jalan yang menuju kebinasaan itu lebar dan banyak orang yang memilih melintasinya. Lebarlah jalannya, dan mudah untuk ditempuh jalan menuju kebinasaan itu, namun sungguh sukar jalan menuju hidup kekal itu. Suatu jalan yang sukar, jalan yang sempit; gerbang yang sempit.

Itulah sebabnya mengapa Yesus berkata di Lukas 13:24, Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu! Anda mendapati ada dua jalan di hadapan Anda, dan secara alami Anda memilih jalan yang lebar sama seperti yang dipilih oleh kebanyakan orang. Seperti itulah watak alami kita. Watak kita egois; watak kita mementingkan diri sendiri; watak kita meninggikan diri sendiri, jadi tentu saja kita memilih jalan yang lebar. Melangkah di jalan yang sempit melibatkan pilihan untuk berbalik arah, mengubah cara hidup, menempatkan diri Anda sebagai yang terakhir dan Allah sebagai yang terdahulu. Akan tetapi jalan yang sempit itu menuju kepada hidup, dan jalan itu membutuhkan pengorbanan yang sangat besar.


Anda harus membuat pilihan: ingin dilayani atau melayani?

Itulah sebabnya mengapa pada saat itu para murid merasa tercengang. Mungkin lebih baik kita tetap bertahan dengan hukum Taurat. Mempersembahkan korban di Bait Allah memang memerlukan sejumlah uang akan tetapi hal itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan keharusan mengubah segenap sikap hati, segenap cara hidup dan segenap cara berpikir. Tuntutan ini terlalu berlebihan! Kita tidak bisa memenuhinya. Akan tetapi itulah pilihan yang harus Anda tempuh.

Jadi, pada dasarnya, pilihan itu adalah sebagai berikut: kita akan mempertahankan hidup kita atau memberikannya. Entah kita akan minta dilayani atau melayani. Secara alami kita cenderung ingin dilayani. Perhatikan saja perilaku orang-orang, mereka semua ingin agar orang lain melayani mereka, mereka tidak suka melayani orang lain. Rasanya seperti direndahkan, seperti dipermalukan, menjadi lebih rendah, menjadi yang terakhir, menjadi yang paling belakang. Itulah hal yang dikatakan oleh Yesus di sini: Barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka harus menjadi yang terakhir, menjadi pelayan bagi semua orang. Malahan Yesus menegaskan hal ini secara gamblang berkali-kali.

Di Markus pasal 9 Yesus sudah memberitahukan akan hal ini kepada para murid. Dan perhatikan bagaimana dia menjelaskan prinsip yang terdahulu-yang terakhir di Markus 9:35 itu. Saat itu sedang berlangsung pembicaraan tentang siapa yang terbesar, hal yang Anda ingat terdapat di dalam ayat 34. Lalu di ayat 35, Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Kata-Nya kepada mereka: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.”

Di sini Yesus memberitahu arti dari ‘yang terakhir dari semuanya’. Artinya adalah menjadi pelayan dari semuanya – dan hal itulah tepatnya yang sedang Yesus sampaikan di dalam pasal 10. Menjadi yang pertama berarti menjadi yang terbesar. Menjadi yang terakhir berarti menjadi pelayan dari semuanya. Anda harus membuat pilihan di sini. Apakah Anda ingin dilayani atau melayani? Tentu saja kita ingin dilayani! Di sanalah letak persoalannya! Itulah persoalannya! Sebelum segenap cara pandang kita berubah, maka Kerajaan Allah akan jauh dari diri kita. Jauh sekali. Itulah pilihannya. Itulah hal yang harus kita lakukan.


Yesus tidak pernah melakukan sesuatu hal untuk dirinya sendiri

Perhatikan Kristus sendiri. Bagaimana cara Yesus menjalani hidupnya? Perhatikanlah perikop ini. Perhatikanlah segenap kehidupan Yesus. Saat saya mempelajari kehidupan Yesus, saya terkejut akan satu hal. Saya tidak bisa membayangkan apakah dia pernah berbuat sesuatu demi kepentingannya sendiri. Perhatikanlah saat-saat pencobaan. Tujuan dari pencobaan adalah untuk mendorong Yesus berbuat sesuatu demi kepentingannya pribadi. Mengubah batu menjadi roti. Apakah engkau lapar? Ubahlah batu itu menjadi roti. Yesus tidak mau melakukannya. Dia bisa saja melakukannya akan tetapi dia tidak mau melakukannya. Yesus tidak pernah melakukan sesuatu demi kepentingan pribadinya.

Bisakah Anda membayangkan sesuatu yang Yesus kerjakan demi kepentingan pribadinya? Segenap hidupnya dijalani demi kepentingan orang lain. Memberi dan memberi. Dia tidak mempertahankan apa-apa. Dia memberi dan terus memberi. Kuasanya dipakai untuk melayani orang lain; menyembuhkan orang lain, menguatkan orang lain, menyelamatkan orang lain – selalu untuk orang lain. Hal apakah yang Yesus kerjakan demi kepentingan pribadinya? Ini adalah watak yang luar biasa dari Kristus. Lalu Yesus meminta dari kita, “Kalau kamu mau menjadi muridku, ” – apakah makna dari menjadi murid jika bukan menjadi pengikutnya, melakukan apa yang dia lakukan – “maka kamu harus mengubah gaya hidupmu.”

Kita tidak bisa menjadi orang Kristen atau murid jika kita tidak mengikut Yesus. Seorang Kristen dan seorang murid adalah sama saja menurut Perjanjian Baru, hal yang perlu diketahui oleh semua orang. Dan setiap orang yang berkata bahwa keduanya itu berbeda, berarti jelaslah bahwa dia belum membaca Alkitabnya. Seorang Kristen dan seorang murid adalah hal yang sama saja menurut Alkitab, pahami hal ini dengan baik. Orang-orang Kristen itulah yang disebut sebagai para murid, hal yang dikatakan oleh Alkitab kepada kita. ‘Para murid’ adalah sebutan bagi orang-orang Kristen. Anda adalah seorang Krsiten, dan oleh karena itu juga adalah seorang murid, atau Anda bukan seorang Kristen, dan oleh karenanya juga bukan seorang murid.

Lalu, apakah Anda akan mengikut dia? Karena orang yang tidak mengikut Kristus tidak bisa disebut sebagai murid. Artinya, Anda harus menjalani gaya dan cara hidupnya, itulah hal yang dikatakan oleh Yesus. “Barangsiapa ingin mengikut aku, dia harus memikul salibnya dan mengikut aku. Aku akan disalibkan. Kamu harus memikul salibmu dan mengikut aku. Ke mana aku pergi, ke situ pula kamu akan pergi.” Ini bukanlah lelucon; inilah makna pemuridan.


Yesus memberikan hidupnya untuk membayar harga bagi pembebasan kita

Untuk apakah Yesus mati? Apakah karena dia senang menjalani kematian? Tentu saja tidak, tak ada orang yang senang menikmati kematian. Dia datang untuk memberikan nyawanya sebagai tebusan bagi banyak orang. Dikatakan di sini, di dalam ayat yang terakhir, yakni hal yang sedang kita teliti. Untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan: untuk memberi, bukannya untuk mengambil, melainkan untuk memberikan nyawanya. Untuk apa? Sebagai tebusan. Apakah tebusan itu? Tebusan adalah harga yang harus dibayar untuk suatu pembebasan. Di zaman sekarang ini, kita tahu persis apa arti tebusan itu. Orang-orang Iran meminta sejumlah tebusan bagi para sandera mereka: Anda memberi beberapa juta dolar dan para sandera itu dibebaskan. Uang sekian juta dolar ini adalah tebusan bagi para sandera tersebut.

Yesus datang untuk memberikan nyawanya untuk membayar harga pembebasan kita, untuk memerdekakan kita. Untuk membebaskan kita dari apa? Untuk membebaskan kita dari belenggu dosa, dari belenggu dunia, dan di atas semuanya itu, dari belenggu diri kita sendiri. Tak ada belenggu yang lebih buruk daripada belenggu diri sendiri. Kita adalah para budak yang diperbudak oleh diri kita sendiri, itulah persoalannya. Dan kita mengira bahwa diri kita ini merdeka. Kita tidak benar-benar merdeka sebelum kita dimerdekakan dari diri kita sendiri. Ini adalah hal yang ajaib.


Banyak yang menderita secara mental karena terbelenggu pada diri sendiri

Saya tidak tahu apakah Anda pernah melihat orang yang stress berat. Pernahkah Anda melihat orang yang stress sampai mentalnya terganggu? Pernahkah Anda melihatnya? Pernahkah Anda melihat bahwa bagaimanapun usaha Anda untuk menolongnya, Anda tidak bisa menolong orang tersebut. Mengapa? Karena orang tersebut berada dalam suatu belenggu, dan Anda merasa keheranan melihat betapa kuatnya belenggu itu sehingga orang tersebut tidak bisa dimerdekakan. Sudah seringkali saya berusaha untuk menolong orang yang berada dalam kehancuran mental dan saya menyaksikan adanya belenggu yang sangat kuat. Tak ada orang lain yang membelenggu mereka; tak ada hal eksternal yang sedang membelenggu mereka akan tetapi mereka berada dalam belenggu diri mereka sendiri karena mereka mengidap semacam ketakutan yang tak dapat mereka jelaskan dan ketakutan ini menggerogoti mereka. Mereka mengalami ketegangan batin. Anda tidak akan bisa lolos dari belenggu diri sendiri ini. Ini adalah bentuk paling ekstrim dari belenggu pada diri sendiri. Jika Anda mengarahkan pikiran hanya kepada diri Anda sendiri, maka Anda sedang menghancurkan diri Anda.

Anda tidak akan bisa merdeka dari belenggu ini sebelum segenap sikap hati dan cara hidup Anda berubah sepenuhnya, sebelum segenap sikap hati dan cara hidup Anda berubah sepenuhnya. Jika tidak begitu, maka Anda tidak akan bisa memulihkan situasi. Anda bisa memberikan orang itu obat bius, hal yang dilakukan oleh para psikiater. Mereka menyuntikkan berbagai macam obat penenang dan menyuruh si penderita untuk menelan valium (obat bius) dalam dosis besar, ataupun berbagai macam jenis obat penenang untuk mengurangi ketegangan syaraf dan otot – dalam rangka menumpulkan pikiran, untuk mengaburkan benak Anda. Namun bagaimana setelah pengaruh obat bius itu berlalu? Anda kembali lagi kepada gejala-gejala tersebut; Anda kembali ke titik semula lagi. Mungkin Anda lalu mencoba terapi listrik, shock therapy – memakai aliran listrik untuk mengejutkan segenap sistem syaraf Anda. Separah itulah belenggu pada diri sendiri ini.


Manusia harus mengubah mentalitas yang berpusat pada dirinya sendiri untuk bisa bebas dari stress

Belakangan ini saya membaca sebuah buku karangan seorang dokter terkemuka yang bernama Hans Seyle, seorang professor dan direktur bidang Kedokteran Eksperimental di University of Montreal. Professor Seyle ini adalah seorang pakar yang terkenal di bidang stress dan tekanan mental, dan dia telah menulis banyak buku dan juga lebih dari seribu artikel tentang masalah ini, dan bukunya yang terkenal adalah Stress Without Distress (Stress tanpa Tertekan).

Alasan mengapa saya katakan karya-karyanya sangat  menarik adalah karena dia sedang melakukan penelitian yang mendalam tentang akar dari stress dan mendapati bahwa akar dari stress adalah masalah sikap hati, sesuatu yang berkaitan dengan pikiran dan bukannya tubuh. Oleh sebab itu, di dalam bukunya ini, yaitu Stress Without Distress, dia menunjukkan bahwa satu-satunya jalan untuk bisa bebas dari stress ini sebenarnya adalah dengan cara: mengubah mentalitas Anda, mengubah seluruh sikap hati Anda. Jadi, sekalipun dia bukan seorang psikiater sepenuhnya, pada dasarnya dia adalah seorang peneliti bidang kesehatan, namun dia sampai pada kesimpulan – sebagai hasil dari penelitiannya atas permasalahan stress pada hewan dan juga pada manusia, bahwa harus ada perubahan di dalam diri manusia untuk bisa menghadapi stress di dalam kehidupan.

Apakah sebenarnya stress itu? Hans Seyle menunjukkan, pada dasarnya stress muncul dari keegoisan, dari mentalitas yang mementingkan diri sendiri. Setiap upaya untuk menjadi yang terutama akan membawa Anda pada stress dan ketegangan yang mengerikan. Dan karena Anda ingin menjadi yang terutama, hal itu bukan sekadar menimbulkan konflik, hal yang kita lihat terjadi di kalangan para murid saat itu – niatan itu menimbulkan kecemburuan dan pertentangan serta kepahitan. Hal itu juga menciptakan perpecahan di dalam keluarga. Perhatikanlah dunia tempat kita tinggal. Kita melangkah melalui satu konflik menuju konflik yang berikutnya, satu masa peperangan menuju masa peperangan lainnya. Satu-satunya jalan bagi kita untuk mengubah situasi dunia ini adalah dengan cara mengubah manusianya. Dan satu-satunya jalan bagi Anda untuk mengubah manusianya adalah dengan cara mengubah sikap hatinya, segenap cara berpikirnya, arah hidupnya. Hanya dengan cara itu baru Anda bisa mendapatkan kedamaian, kebebasan dari stress, dari kecemasan, karena segenap arah dan tujuan hidup Anda telah berubah.


‘Altruisme egoistis’ – melakukan sesuatu hal untuk orang lain demi mendapatkan manfaat bagi diri sendiri

Tentu saja, Hans Seyle bukanlah seorang Kristen, dan sebagai seorang non-Kristen, sangatlah menarik untuk melihat bagaimana dia memberikan saran untuk mengubah arah tujuan hidup Anda. Seyle sampai pada rumusan yang dia sebut ‘altruisme egoistik’. Anda tentu tahu apa itu egoisme. Egoisme itu berarti menempatkan kepentingan Anda sebagai yang terutama; menjalani hidup demi diri sendiri. Sedangkan altruisme itu adalah kebalikannya, yakni hidup demi orang lain. Lalu bagaimana Anda bisa menggabungkan keduanya?

Cara yang paling mungkin adalah dengan membuat semacam kompromi dalam arti Anda berusaha untuk hidup bagi orang lain demi kepentingan pribadi Anda. Dia mendapati bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk mengatasi persoalan stress itu. Apakah yang dia maksudkan dengan jalan keluar ini? Yang dia maksudkan adalah Anda menyenangkan hati orang lain, dan karena Anda menyenangkan hati orang lain maka Anda memperoleh banyak teman. Dan jika Anda mencari teman dengan cara menyenangkan hati mereka, maka mereka mau menjadi sahabat Anda dan Anda akan memiliki semacam penyangga di sekitar Anda. Jadi Anda memanfaatkan orang-orang tersebut sebagai semacam penyangga bagi Anda. Dengan cara ini jika ada orang yang menekan Anda, maka Anda memiliki banyak teman yang akan menolong Anda. Mereka akan menjadi semacam penyangga bagi Anda terhadap realitas kehidupan yang keras ini. Ini adalah ide yang sangat mirip dengan yang dilontarkan oleh Dale Carnegie dalam tulisannya How to Wins Friends and Influence People (Bagaimana Mendapatkan Teman dan Mempengaruhi Orang-orang).

Lewat cara ini, Anda mendapatkan banyak teman dan mereka akan berada di sekeliling Anda dan mereka menjadi semacam sistem pendukung bagi Anda. Dan untuk itu Anda melakukan berbagai hal buat mereka, Anda berbuat baik kepada mereka, Anda bersikap ramah terhadap mereka, Anda bersahabat dengan mereka, Anda memberikan berbagai hal kepada mereka, bisa dikatakan bahwa Anda melayani mereka akan tetapi dengan dasar yang egois. Dengan cara ini, Anda berbuat baik kepada orang lain dengan dasar yang egois.

Dengan kata lain, Anda melakukan ini semua dalam rangka mendapatkan manfaat langsung. Sama seperti bekerja untuk mendapatkan upah, sederhana saja. Dan hal ini dia sebut sebagai ‘altruisme’. Hal itu jelas bukanlah altruisme sejati jika dilihat pada definisi dari altruisme itu sendiri.

Dia menyadari bahwa satu-satunya jalan bagi Anda untuk mengatasi masalah konflik antara manusia dan di dalam dunia ini adalah bahwa manusia harus mengubah arah hidupnya. Akan tetapi dia juga tahu bahwa manusia tidak mau mengubah arah hidupnya karena manusia secara alami adalah egois, maka dia berusaha membuat semacam kompromi. “Baiklah, Anda egois, bukankah begitu? Tapi coba lihat. Anda jalani hidup bagi orang lain, Anda melakukan berbagai hal bagi orang lain, dan mereka akan bersikap baik kepada Anda, mereka akan menolong Anda disaat Anda dalam kesulitan, dan kadang kala mereka bahkan mau berkorban buat Anda, mereka mungkin akan mengundang Anda makan-makan sekali-sekali, dan sungguh menyenangkan bisa memiliki banyak teman.”

Jadi, sekalipun secara alami Anda adalah egois, Anda bisa melakukan hal-hal buat orang lain dalam rangka mendapatkan teman, dan Anda juga akan mendapati bahwa stress Anda akan dipulihkan. Ini adalah maksud dari uraiannya, yakni untuk memulihkan stress. Stress akibat egoisme sekarang secara sebagian bisa dipulihkan setidaknya dengan berbuat hal-hal bagi orang lain, dengan mengubah arah tujuan hidup Anda.


Apakah yang Anda inginkan?

Jika Anda tidak ingin menjadi seorang Kristen, maka itulah pilihan Anda. Hanya itu pilihan Anda. Tak ada jalan lain. Jika Anda tidak ingin menjadi seorang Kristen, dan Anda dapati bahwa harga untuk menjadi seorang Kristen terlalu tinggi, maka ikuti saja saran Hans Selye. Cari teman sebanyak mungkin di sekitar Anda dan nikmati hari-hari Anda. Dan kawan yang banyak ini menyingkirkan sebagian besar stress dalam diri Anda. Setiap saat Anda tidak perlu kuatir jika ada orang menekan Anda, karena Anda memiliki banyak teman yang akan mendukung Anda.

Tentu saja ini adalah satu-satunya jalan bagi seorang non-Kristen untuk mengatasi masalah ini. Hanya itu jalan bagi Anda untuk mengatasinya. Dan bisa Anda katakan bahwa ini adalah jalan yang sangat praktis karena pada dasarnya kita ini egois dan saran tersebut adalah solusi yang terbaik: suatu kompromi. Jalan ini akan memberi hasil yang bagus. Harus saya akui bahwa ini adalah cara yang memberi hasil yang bagus. Karena Anda pasti bisa mendapatkan banyak teman jika Anda senang menjalankan hal ini. Sungguh menyenangkan memiliki banyak teman.

Masalahnya adalah bahwa yang menjadi pokok bahasan kita ini adalah hidup yang kekal dan bukannya masalah penyangga di dunia ini. Perbedaannya sangat besar. Mana yang Anda pilih? Apakah Anda ingin memiliki penyangga yang menyenangkan di dunia ini? Maka saran itulah jalan yang terbaik. Ikuti saran Frans Seyle dan Anda akan bisa menikmati saat-saat yang menyenangkan di dunia ini. Lihat apa yang terjadi pada Yesus. Dia diludahi dan dipermalukan, Dia dihukum mati. Ini jelas bukan jalan yang menyenangkan. Bukan jalan yang enak.

Jadi, persoalan di sini adalah bahwa Anda harus membuat keputusan. Apakah yang Anda inginkan? Apakah Anda menginginkan saat-saat yang menyenangkan di dunia ini dan membangun kelompok kecil Anda yang santai dan menyenangkan di dalam dunia ini atau Anda menginginkan hidup yang kekal? Hal itulah yang dibicarakan oleh Yesus. Jika Anda mencari hidup yang kekal mengikuti cara Allah mengerjakan sesuatu hal, maka Anda harus mengubah cara hidup Anda – bukan dalam bentuk altruisme yang egois atau apapun itu. Hal itu tidak akan memberi hasil, jika yang Anda inginkan adalah hidup yang kekal.

Jika Anda tidak menghendaki hidup yang kekal; jika hidup yang kekal itu tidak berarti apa-apa bagi Anda, tidak masalah, Anda tinggal mengikuti saja cara Hans Selye. Silakan terus bersikap egois dan suburkan terus keegoisan itu dengan mencari banyak teman supaya mereka bisa memuji Anda, mengagumi Anda, mengandalkan Anda dan melakukan hal-hal yang menyenangkan hati Anda.


Mengejar keuntungan duniawi vs mengikuti persyaratan Yesus untuk memberi diri

Sikap mencari keuntungan duniawi ini bertentangan dengan ajaran Yesus. Ajaran Yesus jelas-jelas bertentangan dengan sikap semacam ini. Ajaran Yesus adalah berbuat demi orang lain tanpa mengharapkan balasan apapun, tidak mengejar pujian atau apapun itu. Perhatikan sikap hati dan mentalitasnya.

Hans Seyle tentu saja bersikap sangat jujur. Dia menutup bukunya dengan mengatakan bahwa dia memegang sikap yang sangat egois di dalam bukunya ini, dan dia tidak merasa malu akan hal itu karena dia melihat bahwa hal ini sangat realistis. Dengan jujur dia mengakui bahwa dia egois. Ada cara yang baik untuk menjalani hidup dalam keegoisan dan ada juga cara yang buruk. Cara yang buruk, tentu saja bisa berupa perampokan bank. Cara yang baik adalah dengan mencari banyak teman. Ya, cara ini cukup berhasil. Ini adalah cara yang baik untuk menjalankan keegoisan.

Namun persoalannya bukan apakah ada cara yang bagus atau buruk dalam menjalani keegoisan. Persoalannya adalah bahwa Yesus menuntut kita untuk tidak egois, untuk memberi diri. Itulah pilihan yang harus kita hadapi. Dan di sanalah kesulitan itu muncul.

Lalu apakah pilihan Anda? Apa yang menjadi pilihan Anda? Misalnya, anggaplah Anda telah membuat keputusan. Mungkin Anda memilih, “Aku akan masuk di jalur egois.” Mungkin Anda akan memutuskan, “Hans Selye jelas lebih praktis,” jadi Anda menetapkan untuk menjalani hidup dengan keegoisan yang baik – hal yang saya kira akan merupakan pilihan kebanyakan orang di dunia ini, mudah-mudahan tidak di gereja ini. Akan tetapi, di dunia ini, mayoritas dalam takaran yang berbeda-beda akan memilih “keegoisan yang baik – jika Anda dapat menyebutnya seperti itu”.

Akan tetapi panggilan dari Kristus adalah untuk pemuridan. Dan jawaban atas panggilan tersebut adalah jalan yang sempit yang menuju kepada hidup yang kekal. Tidak ada bentuk keegoisan yang baik, atau buruk, yang bisa membuka jalan menuju hidup kekal. Harus ada satu perubahan radikal di dalam cara hidup di mana Anda hidup bagi orang lain; memberi dan bukannya mengambil; melayani dan bukannya dilayani; mengikuti Yesus sampai pada akhirnya. Itulah jalan menuju hidup yang kekal. Harap Anda pahami hal ini dengan benar.

 

Berikan Komentar Anda: