Pastor Eric Chang | Matius 25:31-46 |

Kita tidak akan membahas secara terperinci lagi apa yang sudah kita bicarakan pada khotbah yang lalu, yaitu Pemisahan Domba dengan Kambing. Secara sekilas kita akan menyinggung beberapa poin yang sudah kita lihat pada khotbah tersebut.


KASIH, IMAN DAN KETAATAN

Hal yang pertama adalah asumsi dasar yang mendasari ayat-ayat ini, yaitu bahwa Yesus memandang jemaat sebagai sebuah masyarakat yang didasari oleh itikad untuk saling mengasihi. Kasih di dalam gereja bukanlah hal yang bisa dipilih untuk dilakukan atau tidak. Kasih adalah sesuatu yang diperintahkan, dan kegagalan di dalam menjalankan perintah berarti sebuah pelanggaran terhadap semua perintah Allah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Yakobus, bahwa pelanggaran terhadap satu perintah sama artinya dengan pelanggaran terhadap semua perintah Allah. Jikalau seseorang melanggar perintah yang menjiwai semua perintah yang lain, yaitu perintah baru yang diberikan oleh Yesus, orang itu berada dalam posisi memberontak terhadap Allah.

Di sini kita melihat bahwa hubungan antara kasih dengan iman benar-benar tak terpisahkan, bahwa iman, kasih dan ketaatan adalah tiga hal yang merupakan sebuah kesatuan. Ketiga pokok itu adalah hal yang tak terpisahkan di dalam Alkitab. Mengaku mempunyai iman, tetapi tidak taat merupakan omong kosong. Mengaku memiliki kasih, tetapi Anda tidak punya iman adalah hal yang mustahil. Kasih itu hanya mungkin dengan kuasa dari iman. Anda hanya bisa mengasihi berdasarkan kuasa Allah. Jadi, ketiga hal tersebut begitu erat kaitannya di dalam Alkitab sehingga tidak bisa dipisahkan. Asumsi dasar di dalam ayat-ayat ini adalah bahwa masyarakat baru umat Allah adalah sebuah masyarakat yang sangat luar biasa yang hidup di bawah pemerintahan Allah, hidup di bawah perintah Allah untuk saling mengasihi. Berdasarkan praanggapan dasar inilah kita bisa memahami kalimat, “Oleh karena engkau tidak mengasihi yang terhina dari saudara-saudaraku, maka engkau tidak bisa masuk ke dalam kerajaanku!”


KASIH MENENTUKAN APAKAH KITA KAMBING ATAU DOMBA

Kita sudah melihat bahwa perumpamaan ini mencerminkan dengan sangat tepat apa yang dikatakan oleh Yohanes di 1 Yohanes 3:14,

Kita tahu bahwa kita sudah keluar dari kematian menuju kehidupan karena kita mengasihi saudara-saudara. 

Pernyataan Yohanes ini pada dasarnya merupakan inti dari perumpamaan ini. Kasih kepada saudara-saudara seiman adalah kriteria yang memberitahu kita apakah kita sudah berpindah dari kematian ke dalam kehidupan. Berdasarkan bahasa lambang yang dipakai dalam pengajaran Yesus ini, kasihlah yang menentukan apakah kita ini domba atau kambing.


DISELAMATKAN OLEH TRANSFORMASI KARAKTER

Hal kedua yang telah kita lihat adalah bahwa perubahan watak atau karakter merupakan hal yang sangat esensial. Kita tidak akan bisa mengasihi tanpa Roh Kudus menaburkan kasih Allah ke dalam hati kita. Kita bisa saja menyukai atau tidak menyukai seseorang, tetapi hal itu tidak ada kaitannya dengan kasih yang disebut di dalam Alkitab. Di dalam Alkitab, kasih adalah sebuah komitmen yang tidak ada hubungannya dengan perasaan suka atau tidak suka. Kita mengasihi orang yang tidak kita sukai karena kita berada di bawah perintah untuk mengasihi. Namun, untuk bisa mengasihi tanpa dikendalikan oleh perasaan suka atau tidak suka, hanya bisa dilakukan lewat transformasi watak.

Itu sebabnya mengapa kita bisa melihat bahwa ini bukanlah “keselamatan berdasarkan perbuatan baik”, yakni diselamatkan karena telah memberi orang lain makanan atau pun pakaian, karena semua tindakan tersebut adalah perwujudan dari kasih yang sejati. Kasih yang sejati ini lahir dari transformasi watak yang sudah dan sedang berlangsung, yaitu kuasa Allah masuk ke dalam hidup Anda serta mengubah Anda menjadi orang yang sama sekali berbeda, yang melakukan segala hal sebagai bagian dari watak Anda yang baru.


TIDAK MENGINGAT-INGAT PERBUATAN BAIK KITA

Anda mengerjakan itu semua sedemikian rupa sehingga Anda sendiri lupa bahwa Anda pernah melakukannya. Jadi, ketika orang-orang seperti ini diberitahu bahwa mereka telah melakukan hal ini dan itu, mereka akan berkata, “Benarkah begitu? Saya tidak ingat kalau saya pernah melakukan hal-hal tersebut!” Oleh karena hal-hal yang Anda kerjakan setulus hati merupakan bagian dari watak Anda, Anda cenderung melupakannya dan tidak memperhitungkannya.

Jika ada orang yang menghina Anda, Anda juga tidak akan mengingat-ingat hal itu. Ada orang yang memberitahu saya beberapa tahun yang lalu bahwa ia pernah mengirimi saya sepucuk surat yang sangat keterlaluan, yang mengkritik saya habis-habisan. Saya berkata, “Apakah Anda pernah mengirimi saya surat seperti itu?” Ia menjawab, “Ya.” Akan tetapi, saya benar-benar tidak ingat akan hal itu. Kenyataannya memang demikian, saya benar-benar tidak ingat bahwa ia pernah menulis surat semacam itu kepada saya. Anda tidak menyimpan dendam, tidak mengingat-ingat. Anda tidak menganggap penting hal itu. Lagi pula, apa pun yang dipikirkan orang lain tentang diri Anda bukanlah hal yang penting. Entah dia memandang Anda dengan pandangan yang buruk atau baik, itu tidak penting.

Demikianlah, orang-orang ini telah melakukan banyak hal bagi Yesus, dan mereka sendiri tidak ingat karena memang watak mereka yang cenderung tidak mengingat-ingat akan segala hal semacam itu. Mungkin sebagian dari hal-hal tersebut berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Untuk hal-hal yang masih belum lama berlalu, Anda mungkin masih bisa mengingatnya. Akan tetapi, seseorang tidak bisa mengingat perbuatannya beberapa tahun yang lalu. Ia mungkin bahkan tidak menganggapnya penting.

Seperti yang dikatakan oleh Paulus, “… melupakan apa yang di belakangku”, apakah itu berupa dosa-dosa yang pernah saya perbuat dan telah mendapatkan pengampunan dari Allah, itu semua juga saya lupakan. Akan tetapi, bukan berarti saya melupakan pelajaran yang saya dapat dari perbuatan-perbuatan yang menyedihkan itu, saya melupakan semua itu dalam arti hal-hal tersebut tidak menekan saya dalam kesedihan dan rasa bersalah lagi. Allah telah mengampuni saya, dan sekarang saya telah memperoleh hati nurani yang bersih oleh karena darah Kristus.


OBAT TERBAIK MENGATASI KESOMBONGAN

Namun, ada hal lain lagi yang ingin dilupakan oleh Paulus, yaitu segala prestasinya, segala sesuatu yang telah dikorbankannya bagi Tuhan. Sangatlah tidak sehat bagi kita untuk terus mengingat, “Aku telah mengorbankan ini dan itu bagi Tuhan. Aku telah mengorbankan profesi, karir yang cemerlang, dan segala-galanya.” Paulus berkata, “Semua itu telah menjadi sampah bagiku. Aku tidak berniat untuk mengenang semua itu. Aku terus berlari menuju sasaran yang ada di depan.”

Demikianlah, kita melihat hal yang sama terjadi pada orang-orang ini, apa pun prestasi mereka dan juga pengorbanan mereka bagi Tuhan. Mereka tidak mengingat-ingatnya sedikit pun. Mereka melupakan hal-hal yang sudah berlalu. Seluruh hidup mereka diarahkan untuk maju ke depan dan pada perkara-perkara baru yang bisa mereka perbuat bagi Tuhan. Inilah salah satu obat terbaik untuk mengatasi kesombongan. Jika tidak, kita akan terus berpikir bahwa kita telah berbuat banyak untuk Tuhan, bahwa kita telah berkorban sangat banyak untuk Tuhan. Itu semua bukan hal yang berharga untuk diingat-ingat. Keinginan untuk mengingat terus semua hal itu hanya akan memberi Anda kesombongan, dan kesombongan adalah sumber bencana dalam kehidupan Kristen.

Orang-orang yang belum banyak berkorban bagi Tuhan, mereka selamanya akan terbeban oleh rasa bersalah. Jadi, lebih baik Anda mulai sekarang menatap ke depan, lihatlah hal-hal yang akan bisa Anda kerjakan bagi Allah melalui anugerah-Nya.

Jadi, hal kedua yang dapat kita lihat di sini adalah perubahan karakter yang terjadi karena kuasa Allah.


KASIH YANG KELIHATAN

Hal ketiga yang kita lihat adalah adanya kebutuhan untuk mewujudkan perubahan karakter ini di dalam kasih yang murni. Kita bisa mengungkapkan kasih ini mungkin melalui cara-cara sederhana yang menunjukkan kepada orang lain bahwa kita saling mengasihi, bisa saja dengan saling merangkul atau bergandengan tangan, atau dengan cara-cara lainnya. Sangatlah penting untuk mewujudkan kasih itu secara terbuka sehingga orang lain tahu bahwa kita adalah murid-murid Yesus.


KAMBING DAN DOMBA BERASAL DARI FAMILI YANG SAMA

Kita sudah banyak menggali kekayaan makna dari pengajaran Yesus di bagian ini (Matius 25:31-46). Namun, masih ada beberapa pertanyaan yang belum kita bahas. Salah satu hal yang kita dapatkan dari pembahasan yang lalu adalah bahwa kambing dan domba berasal dari famili yang sama walaupun mereka memiliki perbedaan karakter. Perbedaan ini sangat mirip dengan perbedaan antara elang dengan burung bangkai. Sekalipun keduanya berasal dari famili burung yang sama, mereka memiliki perbedaan karakter yang cukup nyata. Itu berarti pengajaran Yesus ini, dengan berbagai perlambangannya, berbicara tentang orang-orang Kristen. Kambing melambangkan orang-orang yang menjadi Kristen, tetapi perubahan yang dijalaninya tidak utuh. Sama seperti orang yang lain, mereka dibaptis dan mengalami pertobatan sejati, tetapi masih dangkal. Kalau mengikuti bahasa Paulus, mereka itu masih jauh dari keserupaan dengan gambaran Anak-Nya.

Akan tetapi, kita tidak boleh salah menyimpulkan bahwa perubahan dari kambing menjadi domba itu terjadi secara beransur-ansur, seolah-olah kita menjalani kehidupan Kristen ini sambil mulai melepaskan tanduk dan melalui proses yang bertahap dan panjang kita menjadi domba. Perubahan dari kambing menjadi domba itu sendiri sebenarnya merupakan sebuah transformasi mendasar, perwujudan dari kuasa Allah yang mentransformasi.


LAMBANG BINATANG DI DALAM ALKITAB

Sebelum kita lanjutkan pembahasan ini, ada baiknya jika kita perhatikan bagaimana Alkitab memakai binatang sebagai lambang. Sebagai contoh, anjing sering dipakai untuk melambangkan orang non-Kristen. Ini tidak berarti anjing bukan hewan yang menyenangkan. Tidak ada hubungannya dengan urusan apakah anjing itu lucu atau tidak. Kadang kala, anjing terlihat lebih menarik ketimbang domba. Mereka bisa menggoyang-goyangkan ekornya, sedangkan domba tidak. Jika Anda melemparkan bola, anjing bisa mengejar dan mengambilkan bola itu untuk Anda. Itu sebabnya, anjing bisa jadi jauh lebih menyenangkan ketimbang domba. Tidak heran jika anjing sangat populer sebagai hewan peliharaan.

Contoh pemakaian anjing sebagai lambang untuk menggambarkan orang non-Kristen di dalam Alkitab terlihat di Wahyu 22:15, yang memberitahu kita bahwa di luar kota Yerusalem yang baru adalah tempat bagi anjing-anjing, tukang sihir, orang-orang cabul, pembunuh, penyembah berhala dan semua orang yang mengasihi serta menjalankan kejahatan. Jadi, anjing-anjing bertempat di luar kerajaan Allah. Ada banyak lagi bagian dalam Alkitab yang memakai perlambangan yang sama. Kita juga harus melihat bahwa anjing berasal dari jenis yang jelas-jelas berbeda dengan kambing dan domba.


ORANG KRISTEN “KAMBING”

Saat seseorang menjadi Kristen, ia bisa saja menjadi domba atau pun kambing. Yang menjadi kambing biasanya karena kurangnya komitmen kepada Allah. Mereka yang akhirnya menjadi kambing biasanya jauh lebih agresif; mereka tidak memiliki jiwa yang lemah lembut, semangat kerjasama dan kesatuan. Itu sebabnya salah satu tanda seorang Kristen adalah apakah ia mampu bekerjasama dengan orang lain atau tidak. Jika dia sangat individualistis, lebih besar kemungkinannya dia adalah kambing, bukan domba. Orang Kristen yang sejati berlaku sangat harmonis dengan orang lain. Ia belajar untuk mengesampingkan perasaan dan cara kerjanya untuk bisa bekerja dengan rukun dengan orang lain. Jika kualitas ini tidak ada pada seorang Kristen, ia tidak akan cocok untuk pekerjaan Tuhan — sekalipun ia lulusan sekolah Alkitab — kecuali jika terjadi sebuah perubahan besar dalam hidupnya. Ada sifat kambing di dalam dirinya yang membuat dia gemar menyeruduk, menendang dan membuat berbagai masalah di dalam gereja, di lingkungan pemuka gereja maupun di tengah-tengah jemaat. Orang Kristen semacam ini masih belum mengizinkan anugerah Allah yang membawa transformasi untuk masuk ke dalam hidupnya supaya mereka bisa berubah sepenuhnya dari watak lama yang seperti anjing. Masih terdapat watak agresif serigala di dalam diri orang-orang Kristen ini.

Anjing pada zaman itu tidak sama dengan anjing zaman sekarang. Pada masa itu, anjing hidup dalam keadaan liar dan sama sekali tidak bersahabat dengan manusia. Bahkan sekarang ini di Palestina, Anda masih akan bertemu dengan anjing-anjing yang semacam itu. Anda tidak bisa menepuk-nepuk kepalanya karena besar kemungkinan Anda akan mendapatkan gigitan dari anjing tersebut. Anjing-anjing tersebut sangat berbeda dengan yang biasa kita lihat di Eropa, lebih liar, dan cara hidupnya lebih mirip dengan serigala. Anda akan terkejut jika melihat bahwa di dalam Alkitab orang non-Kristen dibandingkan dengan serigala. Yesus berkata kepada murid-muridnya ketika mengutus mereka untuk memberitakan Injil,

“Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala.” (Mat 10:16)

Kita harus ingat bahwa kambing tidaklah sama dengan serigala. Jika seseorang masuk ke dalam kategori kambing, itu berarti ia telah mengalami perubahan, tetapi tidak memadai. Ia masih belum mengizinkan kuasa Allah untuk menuntaskan karya transformasi itu. Akhirnya ia menjadi kambing. Di dalam menjalani kehidupan Kristennya, banyak orang Kristen yang menjadi sesuatu yang mirip dengan domba, tetapi bukan domba. Artinya, mereka menjadi mirip dengan orang Kristen, tetapi masih belum menjadi orang Kristen yang sejati. Ini bukan berarti mereka tidak memiliki keinginan untuk menjadi orang Kristen sejati. Cukup sering terjadi yang merupakan persoalan adalah kurang atau tidak tepatnya pengajaran yang mereka terima. Jika bapa rohani mereka adalah kambing, kemungkinan besar mereka tidak akan menjadi domba. Lagi pula, normal jika kambing melahirkan jenis yang sama, bukankah demikian?


KURANGNYA PENGAJARAN YANG TEPAT MELAHIRKAN KAMBING

Banyak orang Kristen yang sangat bersemangat dalam hal penginjilan. Tentu saja, kegiatan penginjilan sangatlah baik, tetapi mereka harus memastikan dulu bahwa kerohanian mereka sendiri sudah benar. Jika kita memiliki gereja yang dipenuhi oleh kambing, anak-anak rohani kita tentunya akan menjadi kambing juga. Kita tidak akan mendapatkan domba dari kumpulan kambing. Itulah tepatnya hal yang disampaikan oleh Yesus ketika ia berkata kepada orang-orang Farisi,

“Kamu menjelajahi lautan dan daratan untuk membawa seseorang masuk ke dalam agamamu. Dan, ketika ia sudah menjadi salah satunya, kamu menjadikannya anak neraka, dua kali lipat daripada kamu sendiri.” (Mat 23:15).

Oleh karena mereka sendiri tidak rohani, maka orang-orang Farisi itu tidak bisa menghasilkan anak-anak rohani. Seorang murid tidak akan melebihi gurunya. Jika gurunya seekor kambing, muridnya akan menjadi kambing juga. Anda tidak akan menemukan domba dari antara murid-muridnya, karena mereka sendiri bahkan tidak tahu domba itu apa. Jadi, kita harus sangat berhati-hati. Sebelum kita bergegas melakukan penginjilan, kita harus menanyakan diri sendiri, “Saya ini apa? Domba atau kambing?”

Tidak dapat dipungkiri bahwa sekarang ini pengajaran sangat kurang sekali. Banyak orang yang tidak menyadari pentingnya berkomitmen total kepada Kristus jika mereka ingin menjadi orang Kristen. Mereka akhirnya menjadi kambing, bukannya domba. Untuk menjadi seekor domba, mereka harus mengambil satu langkah besar lagi, yaitu dari kambing menjadi domba. Langkah ini sama besarnya dengan langkah sebelumnya yang pernah mereka ambil, yaitu dari serigala menjadi kambing. Jadi, mereka harus melalui satu pengalaman rohani lagi sebelum akhirnya menjadi domba. Inilah hal yang banyak dibicarakan oleh orang-orang Pentakosta melalui istilah second blessing. Akan tetapi, persoalannya mereka menyimpang ke arah lain disebabkan eksegesis yang salah atas Kitab Suci.


TRANSFORMASI DARI KAMBING MENJADI DOMBA: JOHN WESLEY

Satu contoh tentang orang yang telah mengambil langkah kedua (dari kambing menjadi domba) adalah John Wesley (ia dan Charles Wesley adalah dua bersaudara). Ia berasal dari lingkungan keluarga Kristen; ayahnya seorang pengkhotbah di gereja, dan ibunya seorang wanita saleh. Ketika ia menyelesaikan pendidikannya di Oxford University, ia juga menjadi seorang pendeta di Gereja Inggris (Church of England). Akan tetapi, ia masih belum mengalami pertobatan sekalipun ia banyak tahu tentang teologi. Bertumbuh di tengah keluarga Kristen, ia telah mendapatkan pengajaran tentang kekristenan sejak masih kecil. Walaupun ia bertumbuh di tengah kekristenan, tetapi ia tahu bahwa ia belum mengalami pertobatan. Akan tetapi, sekalipun belum mengalami pertobatan, ia sangat bersemangat dan bergegas pergi menginjil sampai ke Amerika. Ia pergi ke Georgia dan mendirikan gereja Metodis, gereja yang cukup berpengaruh di Amerika bahkan sampai zaman sekarang ini. Akan tetapi, saat itu ia masih belum memiliki dasar kerohanian. Sampai pada saat pertobatannya, ia masih belum menyadari bahwa selama ini ia adalah kambing, bukannya domba. Ia harus melewati sebuah pengalaman pertobatan sebelum akhirnya menjadi domba. Sekalipun ia telah menjadi seorang pendeta pada saat itu, seorang pelayan Injil, ia masih membutuhkan pengalaman pertobatan.

Apa artinya ini semua bagi kita? Apakah itu berarti John Wesley tadinya bukan Kristen sama sekali? Tidak. Bukankah ia berhati tulus? Tidakkah ia percaya kepada Allah? Tentu saja ia percaya kepada Allah dan ia juga sangat tulus. Ketika di Oxford, ia bahkan membentuk persekutuan yang bernama Holy Club (Kelompok Kudus), yang menunjukkan bahwa ia sangat peduli dengan masalah kekudusan pada saat itu. Bukankah hal ini aneh? Dengan semua itu, ternyata ia masih perlu pengalaman pertobatan; ada sesuatu yang harus berubah di dalam hidupnya.


PENGALAMAN PASTOR ERIC SENDIRI

Saya juga mendapati bahwa hal ini terjadi pada diri saya. Sebagai seorang Kristen di China, saya sangat tulus. Saya benar-benar berusaha untuk bisa bergaul dengan Allah, mempelajari firman-Nya dan berdoa setiap hari. Namun, saya tidak menyadari bahwa saya masih kambing. Sekalipun saya telah mengalami pengalaman pertobatan, dan itu adalah pengalaman yang sejati. Namun, saya baru berubah dari anjing menjadi kambing. Hal ini berlanjut sampai suatu hari ketika saya menyadari bahwa saya sering kalah dalam peperangan melawan daging. Saya tidak sanggup lagi menjalani kehidupan Kristen ini. Saya kalah terus menerus sehingga saya merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam diri ini. Mungkin karena saya bertumbuh di gereja yang banyak diisi oleh kambing sehingga saya tidak tahu apa artinya menjadi domba. Namun, orang-orang itu sangat tulus dan baik. Saya tidak bisa berkata bahwa mereka semua kambing. Beberapa dari antara mereka adalah domba; kalau tidak, saya tidak akan pernah tahu bahwa ada sesuatu yang salah di dalam kerohanian saya. Jika Anda bertemu dengan seseorang yang adalah domba sejati dan Anda kemudian membandingkan diri dengan orang itu, Anda akan menyadari, “Hei! Aku orang Kristen dan dia juga, tapi tampaknya ada yang berbeda di antara kami. Ada sesuatu yang lain di dalam dirinya dan aku harus tahu apa itu.” Saudara Henry Choi adalah orang yang membuat saya sadar bahwa ada sesuatu yang kurang dalam hidup saya. (Henry Choi adalah seorang hamba Tuhan di China yang pengabdian dan kasihnya kepada Tuhan telah meninggalkan kesan yang mendalam dan cemerlang pada diri pengkhotbah pada masa mudanya.)

Sesampainya di Hong Kong, saya merasa sangat menderita. Saya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Saya tidak sanggup menjalani kehidupan Kristen. Saya ingin, tetapi tidak sanggup. Roh memang penurut, tetapi daging lemah. Saya ingat betapa saya berlutut di hadapan Allah dan berkata, ” Ya Tuhan, aku tidak sanggup menjalani kehidupan Kristen. Aku benar-benar tidak sanggup. Aku sudah berusaha sekuat tenaga. Aku menyerah dan sekarang kupikir aku tidak boleh lagi melanjutkan kemunafikan ini. Aku mengasihi Engkau, Tuhan, dan aku tak ingin mengecewakan Engkau. Lebih baik aku menjadi orang non-Kristen sejati daripada menjadi orang Kristen munafik. Kalau aku boleh memilih, lebih baik aku menjadi orang non-Kristen sejati.” Saya berlutut saat itu untuk mengucapkan selamat tinggal, saya katakan bahwa saya tetap mengasihi-Nya. Oleh karena saya mengasihi-Nya, saya tidak mau mencemarkan nama-Nya. Saat itu saya hanya berpikir untuk berlutut yang terakhir kalinya untuk mengatakan, “Terima kasih Tuhan. Engkau tahu bahwa aku sudah berusaha, tetapi aku telah gagal. Jadi, aku hanya bisa mengucapkan selamat tinggal.”

Pada saat itu, Tuhan menegaskan sesuatu pada saya. Ia berkata, “Engkau telah melakukan sebuah kesalahan. Engkau mencoba untuk menjalani kehidupan Kristen dengan kekuatanmu sendiri. Engkau tidak mengizinkan Roh Kudus-Ku untuk memenuhi hidupmu. Engkau masih belum menyerahkan pengendalian hidupmu kepada-Ku. Kemudi kehidupanmu — semua kendali kehidupanmu — masih kau pegang di tanganmu. Yang kau lakukan selama ini adalah sekadar menuliskan surat pernyataan alih kepemilikan kendaraanmu kepada-Ku, tetapi engkau tetap duduk di kursi pengemudi. Jadi, nama-Ku tercantum sebagai pemilik kendaraan itu, tetapi tidak ada gunanya karena yang mengemudikan adalah engkau. Engkau yang memutuskan untuk menuju ke mana.”

Banyak orang Kristen yang hidup seperti ini. Mereka berkata, “Ya, Tuhan, kendaraan ini milik-Mu. Lihat, nama pemiliknya adalah Engkau. Akan tetapi, aku yang memutuskan akan ke mana kendaraan itu menuju.” Lantas, apa yang akan dikerjakan oleh Tuhan dengan kendaraan itu? Tak ada yang bisa dilakukan-Nya dengan kendaraan itu. Sama seperti jika seseorang memberi Anda sebuah kendaraan dan berkata, “Ini kendaraannya, engkaulah pemiliknya.” Anda berkata, “Luar biasa! Aku akan segera memakainya.” Namun, ia berkata, “Maaf, tidak bisa. Aku yang akan menyetirnya.” Lalu, Anda bertanya, “Oh ya? Bisakah kamu mengantarku ke kota?” Dan ia menjawab, “Maaf, aku sedang sibuk. Aku harus pergi ke tempat lain.” Anda bertanya lagi, “Kapan kamu punya waktu luang?” Ia berkata, “Aku benar-benar tidak ada waktu. Kalau nanti aku ada waktu luang, aku akan mengantarmu ke kota.” Pada saat itu Anda akan bertanya-tanya, “Lalu, apa maksud dia memberi aku kendaraan ini? Sebenarnya itu bukan milikku.” Jawabannya adalah, “Kendaraan itu memang milikmu. Lihat, namamu tertera sebagai pemiliknya. Itu milikmu!”

Saat kita menyerahkan kepemilikan atas hidup kita ini ke tangan Tuhan, kita berkata bahwa telah terjadi sebuah perubahan yang nyata. Sebelumnya, kita sama sekali tidak bersedia untuk menyerahkan kepemilikan atas hidup kita ini kepada Tuhan, dan sekarang kita bersedia. Jadi, telah terjadi sebuah perubahan yang nyata. Kita tidak bisa berkata bahwa hal itu tidak terjadi. Namun, dalam kenyataannya ternyata masih banyak sekali hal yang tidak mau kita lepaskan. Kita masih ingin memegang banyak hal; kita masih ingin menguasai kemudinya. Kita berkata, “Tuhan, Engkau mendapatkan kursi penumpangnya, kursi belakang, aku yang akan menyetir dan membawa Engkau ke mana pun tujuan yang ingin kucapai.”

Sesungguhnya, hal seperti ini sama sekali tidak ada gunanya. Hal seperti inilah yang pernah terjadi di dalam hidup saya. Sekalipun saya telah menyerahkan kepemilikan atas hidup ini kepada Allah, saya masih duduk di kursi pengemudi dan memegang kendali. Saya lalu berkata kepada Tuhan bahwa saya telah memahami kesalahan saya. Tak heran jika saya selalu berada dalam kesulitan dalam hal kerohanian. Lalu, saya berdoa, “Tuhan, sekarang Engkau adalah pemilik utuh dari kendaraan ini, termasuk kursi pengemudi dan setirnya — semuanya. Jika Engkau menghendaki saya untuk menjadi sopirnya, saya bersedia. Jika tidak, saya akan duduk di kursi penumpang. Silakan, bawalah saya ke mana pun tujuan-Mu.” Hal ini menyebabkan terjadinya sebuah perubahan yang utuh di dalam kehidupan Kristen saya. Sederhana, tetapi sangat nyata! Berkaitan dengan pembahasan tentang perumpamaan kali ini, saya harus menjalani perubahan dari anjing menjadi kambing, dan dari kambing menjadi domba. Hal ini merupakan sebuah perubahan yang sangat besar; sebuah transformasi yang sangat mendasar dalam hidup saya.

Saya mendapati ada banyak orang Kristen yang keadaannya seperti ini. Saat seseorang merupakan kambing, maka ia tetap termasuk satu famili dengan domba, dan kita bisa berkata bahwa ia memang orang Kristen. Tidak ada yang salah dengan hal itu, hanya saja Allah tidak bisa mengendalikan hidupnya seperti Ia mengendalikan kehidupan seekor domba. Seekor domba mengikuti gembalanya; seekor kambing juga melakukan hal yang sama, selama ada anjing penjaga yang membuatnya tidak keluar dari rombongan, dan yang menggigit kakinya sewaktu-waktu. Terlebih lagi, ia sering bermasalah dengan anggota rombongannya. Ini adalah masalah besar.

Pada saat itu, saya merasa tidak mampu mengasihi sesama orang Kristen. Saya tahu bahwa saya harus melakukannya, tetapi saya tidak bisa. Watak saya terlalu egois untuk bisa melakukan hal-hal seperti itu. Sungguh indah tentunya jika kita bisa langsung berubah dari anjing menjadi domba. Namun, banyak dari antara kita yang ternyata harus mengalami penyesuaian arah. Ada yang tidak pernah sampai ke tahap domba dan terpaku pada titik ini. Akan tetapi, menjadi kambing adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Hal ini karena para kambing menyadari bahwa mereka termasuk dalam famili yang sama dengan domba, dan mereka menyamakan dirinya dengan domba. Seperti yang kita lihat dalam pembahasan yang lalu, domba dan kambing merumput di padang penggembalaan yang sama. Mereka termasuk dalam rombongan yang sama dengan gembala yang sama. Perbedaan di antara mereka baru terlihat jelas pada Hari Penghakiman nanti, ketika Tuhan memisahkan mereka.


JANGAN TAKUT MEMBUKA DIRI SEPENUHNYA KEPADA TUHAN

Berapa waktu yang lalu, salah satu anggota gereja kita dibaptiskan, dan peristiwa ini sangat mengejutkan jemaat kita. Itu karena saudari ini sudah termasuk ke dalam tim pelatihan, yang berarti ia akan masuk ke dalam pelayanan sepenuh waktu jika selesai masa pelatihannya nanti. Tentunya ia sudah menyerahkan hidupnya kepada Tuhan dan banyak orang yang bertanya-tanya, “Jika dia saja ternyata belum menyerahkan hidupnya kepada Tuhan, lalu bagaimana dengan yang lain? Kita semua dalam masalah besar! Apa lagi yang harus kami lakukan?”

Inilah poinnya. Saudari ini menyadari bahwa tidak peduli apa pun penilaian orang lain terhadapnya, tak seorang pun yang tahu tentang dirinya sebanyak dia sendiri. Hanya dia sendiri yang tahu isi hatinya. Orang lain hanya bisa melihat sisi luarnya, tetapi ia bisa melihat sisi yang dalam, dan dia tidak suka dengan apa yang dilihatnya. Oleh karena merasa sangat terganggu dengan hal ini, ia mendatangi saya dan berkata, “Anda tahu, kehidupan yang saya jalani ini dipenuhi dengan kekalahan. Orang lain mungkin memandang saya ini baik, tetapi saya lebih tahu tentang diri ini. Saya mengalami kekalahan dalam pertempuran melawan daging. Sebenarnya saya malah tidak pernah menang; saya tidak pernah mati terhadap daging.” Dengan kata lain, ia tahu bahwa ia masih seekor kambing.

Saya mengerti persoalan yang dihadapi oleh saudari ini karena saya pernah mengalaminya. Saat itu orang lain memandang saya sebagai orang Kristen yang baik. Terlebih lagi, saya merupakan salah satu pemimpin di gereja tersebut, walaupun masih baru menjadi Kristen. Orang lain juga berpikir bahwa saya bisa berkhotbah dengan cukup baik. Akan tetapi, saya menyadari bahwa saya ini masih kambing. Serupa dengan itu, ketika saudari ini menyadari bahwa dia bukanlah domba, ia tahu bahwa sesuatu harus dilakukan dan ia kehilangan banyak waktu tidurnya memikirkan hal ini. Seringkali saya melihat ia mengikuti pelatihan dengan mata yang kuyu kelelahan. Pada saat dibaptis, ia memberi kesaksian, “Seringkali orang bertanya kepada saya tentang apa yang sedang terjadi pada diri saya dan saya tidak tahu bagaimana menjawabnya. Akan tetapi, saya tahu bahwa ada hal yang harus dilakukan.” Langkah yang harus diambilnya sama besarnya dengan langkah pada saat ia memutuskan untuk berubah dari orang non-Kristen menjadi Kristen. Sehubungan dengan gambaran yang dipakai di dalam perumpamaan ini, kita bisa katakan bahwa langkah tersebut, atau perubahan dari anjing menjadi domba sama besarnya dengan perubahan dari anjing menjadi kambing, dan sama juga besarnya dengan perubahan dari kambing menjadi domba.

Yakinkah Anda bahwa Anda ini domba? Apakah Anda sudah menyerahkan kemudi kehidupan Anda kepada Tuhan? Atau, Anda justru mengendalikan sendiri hidup Anda sambil mengaku bahwa hidup ini milik-Nya? Para kambing seringkali merasa tersinggung jika kita menantang mereka dengan pertanyaan seperti ini. Ada orang yang tidak mau lagi berbicara dengan saya setelah saya tanyakan padanya apakah Allah telah memegang kendali penuh di dalam hidupnya. Alasan saya menanyakan hal ini adalah karena ia terus saja berkata, “Rumahku adalah milik Allah; mobilku milik Allah, dan segala yang aku punya semua itu milik Allah.” Lalu, saya bertanya, “Betulkah demikian? Coba teliti lagi hidup Anda. Apakah Anda sekadar memberi-Nya hak atas nama saja dalam hidup Anda, rumah Anda dan yang lain-lainnya, sementara dalam kenyataannya Andalah yang memegang kendali penuh atas semua itu?” Ia sangat marah sampai-sampai tidak mau lagi berbicara dengan saya setelah mendengar pertanyaan itu. Sungguh aneh, bukankah demikian? Jika Allah yang mengendalikan hidupnya, mengapa ia harus marah? Pasti saya telah menyentuh bagian yang sangat peka dalam dirinya saat mengajukan pertanyaan ini. Untuk saya, saya harap saudara-saudara di dalam gereja yang saya gembalakan ini juga tidak ragu-ragu untuk menanyakan hal yang sama kepada saya. Jika saya jadi tersinggung, saya tahu bahwa diri saya ini masih kambing. Seekor domba tidak punya alasan untuk tersinggung karena pertanyaan seperti ini. Saya berharap para jemaat akan terus menguji hati saya dan bertanya, “Apakah kamu orang yang tulus? Apakah hidupmu benar-benar dikendalikan oleh Allah? Atau kamu hanya sekadar memberi-Nya hak atas nama sementara pengendalian hidup ini kamu pegang sepenuhnya?”


KEHIDUPAN KRISTEN “KAMBING” BERISI KEKALAHAN

Jika kita masih kambing, kehidupan Kristen kita akan diisi dengan kekalahan. Sekalipun kita satu famili dengan domba, tetapi di dalam diri kita, kita terus saja menendang dan memberontak terhadap Tuhan. Orang lain mungkin melihat kita sebagai orang yang luar biasa. Kita bahkan mungkin sedang dalam pelatihan, seperti yang terjadi pada diri saudari kita itu, tetapi ternyata kepenuhan hidup Kristus masih belum ada di dalam diri kita.

Izinkan saya memberi sebuah contoh lagi untuk semakin menjelaskan poin ini. Ada seorang saudara yang sudah dibaptis di gereja kami beberapa tahun yang lalu. Ia dibesarkan di tengah keluarga Kristen yang alim, dan terus menerus mendapatkan pengajaran tentang firman Allah. Ayahnya adalah seorang penginjil yang menginjil lewat pekerjaannya di bidang medis. Setiap orang akan memandang dia sebagai orang Kristen, dan penilaian tersebut memang benar. Ia memang bisa dikatakan sebagai orang Kristen. Namun, ada sesuatu yang tidak beres. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang harus dibenahi, kalau tidak, ia akan seterusnya mengalami kekalahan. Kemudian ia mengambil langkah besar ini, yaitu dibaptis untuk mencapai perubahan yang sepenuhnya, membuka diri sepenuhnya kepada Allah, mengambil langkah perubahan dari kambing menjadi domba.

Langkah dari kambing menjadi domba sama sekali bukanlah langkah yang mudah. Akan terlihat sangat memalukan. Orang lain akan bertanya-tanya, “Wah, saya pikir selama ini kamu orang Kristen. Buat apa kamu minta dibaptis?” Saudari yang saya sebutkan sebelumnya juga harus menghadapi persoalan ini bahkan di kalangan sesama peserta pelatihan. Mereka berkata, “Kami tidak mengerti apa yang kamu lakukan. Bagaimana tanggapan jemaat nantinya? Kamu sedang dalam pelatihan, tetapi sekarang kamu minta dibaptis. Ada apa ini?” Ada begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan, ada banyak keberatan yang harus dihadapi. Lebih mudah mengalami perubahan dari anjing langsung ke domba. Dengan begitu, mereka tidak perlu mengambil jalan memutar. Yang terburuk adalah orang-orang yang mengalami kemacetan dan tidak pernah sampai ke tujuan, mereka masuk ke jalan buntu.

Jika Anda mendapati diri Anda ternyata adalah kambing, berdoalah kepada Allah agar Ia memberi Anda kasih karunia untuk bisa membuka diri sepenuhnya dan tanpa syarat kepada Allah. Ini bukan berarti Anda perlu dibaptis kembali; tindakan baptis ulang bisa saja tidak dibutuhkan. Sebagai contoh, saya sendiri tidak menjalani baptisan ulang. Yang saya lakukan hanyalah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Yang dibutuhkan adalah sebuah langkah yang pasti di dalam pikiran Anda bahwa Anda sudah memutuskan hubungan dengan masa lalu Anda saat masih menjadi kambing. Jika demikian, silakan untuk menjalani baptisan ulang. Jika Anda sudah mengambil langkah tersebut, Anda akan mendapati kasih Allah tercurah dari dalam hidup Anda mengalir kepada orang lain, dan Anda akan tahu bahwa Anda telah berpindah dari kematian ke dalam kehidupan. Sebagaimana halnya yang dikatakan oleh Paulus,

“…kasih Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Rm 5:5)

Anda akan mendapati bahwa Anda mampu mengasihi bukan karena itu watak Anda, tetapi karena Roh-Nya telah menggerakkan Anda.


ORANG BUTA YANG DISEMBUHKAN DALAM DUA TAHAP

Mukjizat Yesus sendiri sebenarnya merupakan perumpamaan. Dia tidak melakukan mukjizat untuk mempesona orang banyak, tetapi untuk mengajarkan pelajaran rohani. Banyak orang yang bertanya kepada saya tentang mukjizat di Markus 8:22-26. Saya akan menggunakan ayat-ayat ini untuk menjelaskan satu poin. Bagian ini menyatakan:

22 Kemudian, Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Betsaida. Dan, beberapa orang membawa seorang buta dan memohon kepada Yesus agar memegangnya.
23 Yesus pun memegang tangan orang buta itu dan membawanya ke luar desa. Lalu, Yesus meludahi mata orang buta itu dan meletakkan tangan-Nya atas dia. Ia bertanya kepadanya, “Apakah kamu melihat sesuatu?”
24 Lalu, orang itu memandang ke atas dan berkata, “Aku melihat orang-orang, tetapi mereka terlihat seperti pohon-pohon yang sedang berjalan.”
25 Setelah itu, Yesus meletakkan tangan-Nya di atas mata orang itu lagi, lalu orang itu membuka matanya, penglihatannya sembuh, dan ia pun dapat melihat semua dengan jelas.
26 Lalu, Yesus menyuruhnya pulang ke rumahnya dengan berkata, “Jangan masuk ke dalam desa.”

Yesus menyuruh orang buta itu agar tidak memasuki desa karena dia tidak membuat mukjizat, seperti menyembuhkan orang sakit atau memberi penglihatan kepada yang buta, untuk mendapatkan publisitas dari hal ini. Yesus tidak ingin orang buta tersebut kembali ke desanya dan  mengumumkan apa yang terjadi kepadanya karena dia tidak ingin diketahui sebagai tabib sakti. Tindakannya menyembuhkan orang buta itu sepenuhnya digerakkan oleh belas kasihannya kepada orang buta itu. Akan tetapi, setiap kali dia menyembuhkan seseorang, tindakannya itu sendiri selalu mencerminkan sebuah perumpamaan atau perlambangan. Sama halnya dengan pengalaman kebanyakan orang Kristen, seseorang tidak disembuhkan dalam satu tahap — seperti di dalam banyak kejadian yang lain tentang penyembuhan di dalam Alkitab — tetapi dalam dua tahap. Jadi, terdapat sebuah kemiripan yang mengejutkan di antara kejadian ini dan perumpamaan yang sedang kita bahas di sini: bahwa di dalam transformasi kita, kita sering melewatinya dalam dua tahap — pertama-tama kita menjadi kambing, dan kemudian menjadi domba.

Hal ini terjadi karena kita cenderung datang kepada Yesus dengan sikap yang pasif. Orang buta ini dibawa kepada Yesus. Mungkin dia percaya, tetapi tidak sepenuhnya.  Sering kali, kita menjadi orang Kristen karena kita melihat teman kita menjadi Kristen, dan kita berpikir, “Sebaiknya aku bergabung dengan mereka.” Kita hanya mengikuti arus saja, hal yang sangat berbahaya karena kita tidak bisa menjadi domba dengan cara ini. Kita mungkin akan jadi kambing, bukan domba, sehingga kita mengambil langkah iman yang sepenuhnya. Ini bukan berarti  kita tidak memiliki kepercayaan yang murni; hanya saja kita masih belum selesai menapaki jalan tersebut.

Perhatikan bahwa Yesus meludahi mata orang buta itu. Makna rohani dari hal ini tidak sukar untuk dimengerti. Ludah sering dipakai sebagai gambaran dari firman. Ludah adalah sesuatu hal yang berada di dalam mulut dan keluar dari mulut. Jika kita keluarkan unsur perlambangannya, segera terlihat bahwa kita sedang berbicara tentang firman Allah. Ludah melambangkan firman Allah, yang bersama-sama dengan sentuhan kuasa Allah di dalam hidup kita akan membuka pengertian rohani kita, bukankah begitu? Itu sebabnya ada tindakan meludah dan penumpangan tangan kepada si orang buta, yakni firman Allah dan kuasa Allah disalurkan saat dia menyentuh si orang buta dengan kuasa keselamatan-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa jika Roh Kudus tidak menyentuh kita, kita tidak dapat diselamatkan — tak peduli apakah kita mendengar firman Allah atau tidak.

Kita sering mendengarkan Firman Allah,  tetapi tidak terjadi apa-apa dengan kita. Ambil contoh orang buta di Markus 8. Sekalipun dia menerima firman Allah — matanya terbuka sampai pada tingkatan tertentu. Penerimaan firman tidak menyembuhkannya dengan sempurna. Dia dapat melihat, tetapi masih belum jelas. Sebelumnya dia buta, tetapi sekarang dia dapat melihat. Orang Kristen yang kambing juga melihat, tetapi dia tidak menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah. Dibutuhkan langkah besar yang lain, yang sama besarnya dengan langkah yang pertama, agar ia bisa melihat dengan jelas. Sebagaimana halnya dengan si orang buta, firman Allah tidak perlu diajarkan lagi. Dia tahu firman Allah, tetapi Tuhan harus menumpangkan tangan-Nya ke atasnya. Artinya, kuasa Allah harus menyentuhnya sekali lagi.

Untuk bisa melihat orang-orang seperti pohon berjalan bukanlah sesuatu yang fantastis. Tentu hal ini lebih baik daripada tidak dapat melihat sama sekali. Namun, tentunya tidak bisa dikatakan sebagai penglihatan yang jelas jika ia hanya bisa melihat orang-orang seperti pohon-pohon yang berjalan. Orang buta ini harus mengalami tahap perubahan yang lain — langkah yang sama besarnya dengan langkah pertama yang sudah ia ambil. Ini karena dia baru menjalani separuh tahapan. Tahap kedua, ketika kuasa Tuhan datang kepadanya dengan menumpangkan tangannya sehingga dia sanggup melihat dengan jelas. Kesembuhan total ini tidak terjadi sebelum orang buta itu sendiri melakukan sesuatu. Bagian Alkitab ini (Markus 8:22-26) berkata bahwa orang buta itu “sungguh-sungguh melihat” yang artinya memusatkan pandangannya, atau membuat upaya rohani pada bagian tindakannya. Jadi, kali ini ia curahkan usaha sepenuhnya pada penglihatannya. Dia melakukan sesuatu yang menjadi bagiannya, yaitu melatih imannya dengan cara melihat dengan penuh perhatian. Kemudian dia dapat melihat dengan jelas. Dia tidak lagi melihat orang-orang seperti pohon-pohon yang berjalan. Sekarang, dia melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Itulah keindahan perlambangan dari mukjizat Yesus.

Banyak orang Kristen sekarang ini seperti orang buta di Markus 8. Tidak dapat dikatakan mereka tidak bisa melihat karena sebenarnya mereka bisa melihat. Namun, apa yang mereka lihat sangat kabur, hampir seperti buta. Orang buta tersebut dapat melihat dengan kabur sampai kuasa Allah menyentuhnya untuk kali kedua. Kali ini dia dapat melihat dengan sempurna. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa kita harus melatih iman kita agar bisa melihat dengan jelas. Jadi, kita tidak perlu dijamah dua kali. Kita bisa berubah dari anjing langsung menjadi domba. Kebanyakan orang harus mengambil jalan memutar, sementara yang lainnya malahan mengalami kemacetan dan tidak pernah sampai ke tempat tujuan. Mereka tetap tinggal sebagai kambing selama hidupnya. Betapa tragisnya!

Berikan Komentar Anda: