Pastor Eric Chang | Matius 16:24-26 | Lukas 14:25-33 |

Kita melanjutkan eksposisi sistematis kita tentang Firman Allah. Dua minggu yang lalu, kita mempelajari Matius pasal 16 dan melihat apa landasan yang dimaksudkan saat Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus, aku akan membangun Jemaat-ku.” Tidak lama setelah itu, Petrus melakukan kesalahan besar lagi, dia menentang langkah Yesus menuju salib. Lalu, Yesus menegur dia dengan kata-kata, “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Langsung setelah ini, Yesus masuk membahas akar dari persoalan yang sedang dihadapi Petrus, dan juga yang sedang kita hadapi sebagai orang-orang Kristen.

Matius 16:24-26:

Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?

Ayat-ayat itulah yang akan kita bahas hari ini. Yesus mengucapkan hal ini sebanyak dua kali dan ini memberitahu kita bahwa hal ini sangat penting. Prinsip dasar yang terkandung di dalam ayat-ayat ini diulangi dalam jarak beberapa pasal. Kali pertama Yesus menyampaikan hal ini adalah di Matius 10:37-39.

Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.

Yesus sudah mengajarkan hal ini kepada murid-muridnya di pasal 10, akan tetapi pesan tersebut masih belum tertanam di dalam pemahaman rohani mereka. Lalu beberapa pasal kemudian, Yesus mengulangi lagi pengajaran ini kepada murid-muridnya. Ajaran Yesus yang satu ini muncul berulang kali di dalam Injil untuk menekankan arti pentingnya di dalam kehidupan Kristen.

Hal yang sama terjadi juga di dalam injil Lukas. Kemunculan yang pertama ada di Lukas 9:23, dalam perikop yang sejajar dengan yang sedang kita bahas (yaitu Matius 16:24-26). Namun yang akan kita bahas kali ini adalah saat Yesus mengulangi lagi ajaran tersebut di Lukas 14:25-33. Kiranya Tuhan berkenan membuka pengertian kita mengenai ayat-ayat ini. Lukas 14:25-27

Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.

Ada lagi sebuah perulangan di sini, yaitu ungkapan  ‘tidak dapat menjadi murid-Ku’. Seolah-olah Yesus kuatir kalau murid-muridnya tidak mengerti bahwa tanpa memenuhi persyaratan itu, ketentuan itu, maka mereka tidak dapat menjadi muridnya, sekalipun mereka sangat berhasrat ingin menjadi muridnya, mereka tidak bisa menjadi muridnya. Jadi, sampai dua kali Yesus mengulangi dan menjelaskan hal ini.

Lukas 14:28-33

Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.

Untuk ketiga kalinya Yesus mengucapkan, “Tidak dapat menjadi murid-Ku


Sebuah batu sandungan: “Kamu harus membenci ayahmu dan ibumu”

Perikop ini jelas merupakan batu sandungan. Pokok ini adalah batu sentuhan bagi kita. Mengapa menjadi batu sandungan?

Kata ‘membenci’ saja sudah merupakan titik awal dari sandungan itu. “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”

Kata-kata di ayat ini sudah membuat Anda tersandung. Bagi kebanyakan orang Kristen, bagian ini merupakan hal yang memalukan. Begitu memalukan sehingga harus diencerkan sedemikian rupa dan diuraikan dengan cara yang kita harapkan bisa meloloskan diri kita dari masalah dan kalau mungkin menyingkirkan masalah yang ada.

Persoalan besar inilah yang melanda orang Kristen. Yesus mengajarkan kasih. Yesus mengajarkan kita untuk mengasihi, sesama manusia, bahkan mengasihi musuh kita. Lalu setelah mengajarkan kasih terhadap sesama manusia dan musuh kita, Dia melanjutkan dengan berkata, “Kamu harus membenci ayahmu dan ibumu”?

Oh! Lupakan saja Alkitab! Mari pergi saja! Ini kontradiksi yang tak terjelaskan!  Demikianlah, perikop ini menjadi batu sandungan bagi kita. Kita tidak tahu apa yang harus diperbuat dengan perikop semacam ini.

Hal terbaik yang bisa kita perbuat, seperti yang coba dilakukan dalam banyak buku-buku tafsiran, adalah mengencerkan makna dari kata ‘membenci’. Kita berusaha menjelaskan, “Oh, tidak-tidak. Kata ‘membenci’ tidak benar-benar berarti benci.”

Lalu, apakah arti kata ‘membenci’ itu? Oh, kata ‘membenci’ di sini berarti kurang mengasihi. Jadi, kita berkata bahwa kata ‘membenci’ sebenarnya adalah salah satu bentuk dari mengasihi. Kedengarannya cukup enak. Mungkin memang ada kebenaran di dalamnya. Membenci adalah salah satu bentuk dari mengasihi. Hanya sekadar kurang mengasihi.

Akan tetapi dari segi bahasa, penjelasan ini menghadapi masalah, namun kita bisa saja mengakalinya. Kita bisa berdalih dengan menunjuk kitab Kejadian pasal 29, bahwa Yakub mengasihi salah satu istrinya dan membenci yang satunya lagi. Dia mengasihi Rahel dan membenci Lea. Tentunya Yakub tidak benar-benar membenci Lea; dia hanya kurang mengasihi Lea.

Mungkin memang ada kebenaran di dalam penjelasan tersebut, sampai dengan tahap tertentu memang ada. Penjelasan itu memang merupakan konsep yang menarik, yaitu bahwa ‘membenci’ adalah salah satu bentuk dari kurang mengasihi. Dan saya pikir memang terdapat kebenaran di sana, tetapi mungkin kita tidak boleh terlalu bergantung pada definisi yang diambil dari kamus ini, hal yang akan kita lihat sesaat lagi.

Namun yang jelas perikop ini memang merupakan sandungan bagi kita. Membuat kita merasa malu. Saat kita pergi menginjil, harapan kita adalah tidak ada orang yang bertanya, “Bukankah Yesus berkata bahwa Anda harus mengasihi sesama manusia dan musuh Anda seperti diri Anda sendiri? Nah! Lihatlah Lukas 14:26. Di sana Yesus berkata, ‘Kamu harus membenci ayah dan ibumu, istri dan anak-anakmu!’ Manusia macam apa Yesus ini?” Benar sekali, orang yang bertanya ini mengajukan pertanyaan yang bagus.


Penginjil berkata bahwa Injil itu gratis akan tetapi Yesus berkata, “Hitunglah biayanya.”

Bagi mereka yang mementingkan dogma dari gereja, masih ada persoalan lebih lanjut lagi – yang tidak kalah serius dan sukarnya. Apakah persoalan lanjutan tersebut? Di ayat 28 Yesus berkata, “Duduk dan hitunglah biayanya.”  

Biaya? Bukankah para juru khotbah berkata bahwa keselamatan itu gratis dan tanpa syarat? Kenapa sekarang mendadak Yesus berbicara tentang biaya? Bagaimana bisa sesuatu hal menjadi gratis dan berbiaya mahal secara bersamaan? Hah! Pertama dikatakan gratis, lalu dikatakan lagi bahwa biaya yang harus ditanggung adalah segala-galanya. Mana yang benar? Apakah keselamatan itu menuntut segala-galanya atau gratis? Tentukanlah, mana yang benar?

Karena itu, bisa dipahami kalau perikop ini menjadi batu sandungan, suatu hal memalukan yang harus disingkirkan, yang harus diuraikan secara berliku-liku dan jauh dari maknanya. Begitu keras usaha yang harus dikeluarkan untuk mengatasi masalah ini. Bukankah kita menyatakan bahwa karunia (free gift = hadiah gratis) Allah ialah hidup yang kekal? Seharusnya gratis? Gratis! Gratis setiap saat! Tetapi mendadak saja Yesus berkata, “Bukan begitu, kamu harus duduk dan menghitung biayanya.” Biaya apa yang harus dihitung? Penginjil mengatakan bahwa hal itu gratis. Sangat aneh! Sangat memalukan! Bagaimana kita akan menghadapi persoalan ini?

Itulah dua persoalan pokok yang merupakan batu sandungan dari perikop ini. Setiap orang yang mengabaikan firman dari Yesus, atau mencoba menguraikan firman-Nya secara menyimpang, harus siap menghadapi bahaya kekalnya. Anda bisa menguraikan segala sesuatu sesuka hati Anda, atau mempermainkan maknanya sampai jauh melenceng, akan tetapi ada satu hal yang tidak boleh Anda permainkan maknanya, dan hal itu adalah firman yang kekal dari Tuhan. Kita harus menelaahnya dengan sangat serius.


Mengapa harus menghitung biaya untuk menerima sebuah karunia?

Bagaimana kita akan mengatasi persoalan ini? Keselamatan adalah karunia? Lalu kita harus duduk dan menghitung biaya dari sebuah karunia? Karunia seharusnya tidak menelan biaya apapun. Biaya apa yang harus dihitung? Oleh karena itu, jika Anda menyuruh seorang Kristen di zaman sekarang ini untuk duduk dan menghitung biayanya, dia bahkan tidak tahu biaya apa yang harus dihitung. Tidak ada yang bisa dihitung. Biaya apa yang harus dihitung?

Telinganya terus menerus dijejali dengan pernyataan bahwa keselamatan itu adalah karunia. Dan jika Allah memberi Anda karunia, maka yang perlu Anda lakukan hanyalah merentangkan tangan dan menerima karunia itu. Di mana letak biayanya? Ini hadiah atau barang jualan? Jika Engkau menjualnya kepada saya, maka memang ada biaya yang harus saya hitung. Akan tetapi jika engkau memberikannya sebagai hadiah kepada saya, biaya apa yang harus saya hitung?


Apakah keselamatan itu ibarat masuk gratis ke dalam restoran, tetapi keluarnya harus bayar?

Atau, apakah sama seperti makan di restoran? Anda masuk ke restoran yang mahal dan indah, lalu Anda masukkan tangan ke kantong hendak membayar, tetapi pelayan restoran itu berkata, “Oh, tidak. Ini tempat duduknya, silakan duduk.” Lalu dia bersihkan kursinya dan mempersilakan Anda duduk. Lalu Anda makan, dan akhirnya bertanya-tanya, “Mengapa belum ada tagihannya? Saya belum membayar satu sen pun padahal saya sudah mulai makan hidangan yang lezat ini.” Lalu Anda berkata, “Restoran ini pasti sebuah restoran amal.” Demikianlah, setelah selesai menikmati hidangan tersebut, Anda menyeka mulut dan berkata, “Terima kasih,” dan Anda melangkah ke arah pintu. Lalu seseorang memegang bahu Anda dan berkata, “Maaf, tuan, Anda belum bayar makanannya.” “Harus bayar?” Sungguh keterlaluan! Tentu saja kita tahu bahwa kita memang harus bayar nantinya. Saat masuk itu gratis. Tak ada tagihan yang diberikan saat Anda masuk ke restoran. Saat keluar adalah saat untuk membayar.

Jadi, kekristenan mungkin berlaku seperti ini. Anda masuk dengan gratis, namun saat keluar, Anda harus membayar. Seperti itukah? Jadi kita ditagih saat berada di dalam. Jadi, di gereja-gereja diserukan, “Tidak ada ongkos masuk! Semuanya gratis!” Lalu Anda masuk ke sana dan tiba-tiba saja mereka berkata, “Bersediakah Anda memberi kami sumbangan?” Apa-apaan ini? Apakah kekristenan berlaku seperti itu?

Sering kali, saat seseorang datang menemui saya untuk konseling, saya melihat bahwa orang itu merasa tertipu. Dia merasa sangat tertipu karena ketika dulu diminta untuk mengacungkan tangan untuk menerima Yesus, dia hanya diberitahu bahwa karunia Allah sudah tersedia dan orang-orang hanya perlu merentangkan tangan serta menerimanya. Demikianlah, dengan tulus dia berkata, “Wah, bagus juga. Siapa yang mau menolak hadiah gratis? Hidup kekal adalah karunia atau hadiah gratis. Siapa yang akan menolak? Anda hanya menyuruh saya untuk mengacungkan tangan dan mengisikan nama saya di atas formulir, dan mengakui dosa-dosa saya, bagus sekali, saya setuju. Anda memberi saya hadiah dan saya menerimanya, kemudian tiba-tiba Anda memberitahu saya bahwa itu semua tidak gratis.”

Dia merasa ditipu.

Dia diberitahu bahwa menjadi orang Kristen itu berarti ada damai sejahtera dan sukacita dan sebagainya, dan ketika dia mulai menjalaninya, datanglah serangan-serangan dari setan. Dia mulai mendapat bengkak di sana-sini, mata lebam dan rahang bengkak. “Anda katakan itu semua gratis? Anda katakan saat saya menjadi anak Allah bahwa itu semua gratis. Nah, lihatlah apa yang terjadi pada saya: saya menjadi korban peperangan. Mengapa tidak Anda katakan sebelumnya kepada saya tentang hal ini?”


Anugerah gratis itu disertai persyaratan

Perhatikan bahwa Yesus tidak menginjil dengan rayuan semacam itu. Saya telah menekankan hal ini sebelumnya dan saya ingin menekankannya sekali lagi, Yesus sama sekali tidak menginjil dengan cara semacam ini! Apakah Anda mendengar Yesus menginjil dengan cara ini? Cara Yesus menginjil adalah, “Barangsiapa ingin menjadi muridku, ia harus mengerjakan hal-hal berikut. Duduk dan hitunglah biayanya.” Tiga kali Yesus berkata, “Jika kamu tidak melakukan hal-hal ini, kamu tidak dapat menjadi muridku. Aku memberitahukan kebenaran kepadamu, dengan jelas dan sederhana.”

Mengapa kita tidak dapat menjadi muridnya secara gratis? Bolehkah kita memberitakan keselamatan sebagai karunia tanpa pernah menyebutkan tentang ajaran-ajaran penting dari Yesus itu? Bagaimanakah kita mempertanggungjawabkan cara menginjil kita seperti ini? Atau, haruskah kita ikut orang banyak, mengabaikan perikop ini, dan berkata, “Yah, perikop ini memang ada akan tetapi maknanya terlalu mistis dan sulit untuk dimengerti. Mari kita melanjutkan dengan pasal berikutnya saja”? Tidak. Kita harus hadapi firman tersebut dengan jujur karena kita sadar bahwa mungkin pengertian kita tentang anugerah itu sepenuhnya melenceng.

Kita memberitakan anugerah sebagai hadiah gratis yang diberikan kepada orang-orang tanpa menyertakan syarat apa-apa, sekadar dibagi-bagikan begitu saja. Dan ketika urusannya berjalan tidak sesuai dengan harapan, ketika kehidupan rohani mereka mulai menjadi berat, mereka bingung apa yang sedang terjadi pada diri mereka. Mereka mulai merasakan bahwa kehidupan Kristen tidak sesuai dengan apa yang digambarkan. Mereka mulai kecewa.

Tapi kehidupan Kristen yang sesungguhnya tidak mengecewakan, ia memang sesuai dengan apa yang dijanjikan. Kehidupan Kristen itu bekerja dengan kekuatan  yang besar, dengan kuasa transformasi dari Allah.

Namun jangan heran jika gereja yang mengajarkan karunia gratis ini akan menghadapi dua masalah besar. Yang pertama adalah tingginya jumlah mereka yang berpaling dari iman di tengah-tengah gereja yang menginjil tanpa memperhatikan apa yang disampaikan oleh Yesus di sini. Beberapa hari yang lalu, saya berbicara dengan seorang saudara, saat itu kami sedang mengenang kembali tentang gereja kami di London, dan mencoba untuk menghitung berapa banyak yang tersisa, siapa saja orang yang termasuk jumlah sedikit yang tersisa itu. Gereja itu, yang dulu pernah dilanda oleh kebangkitan rohani, sekarang tinggal tersisa sedikit saja yang bertahan, beberapa dari yang tersisa ini bahkan tidak aktif lagi dalam pekerjaan Tuhan. Mereka sekadar  datang ke gereja setiap hari Minggu, itu pun kalau mereka sempat! Itulah yang tersisa dari gereja yang pernah mengalami perkembangan pesat beberapa tahun sebelumnya. Hanya dalam waktu dua tiga tahun saja, sudah sangat sedikit yang tersisa. Mereka tidak bisa bertahan. Mereka adalah korban peperangan rohani. Mereka benar-benar telah dilumpuhkan. Mereka tidak berjalan bersama Tuhan lagi. Jadi, kita harus memahami persoalan ini dengan cermat.

Persoalan itu muncul karena mereka tidak diajari tentang apa yang ada di dalam perikop ini, yaitu peringatan, “Kamu tidak dapat menjadi murid-ku jikalau kamu tidak memenuhi persyaratan tersebut.” Kita akan menanggung korban yang besar jika mengabaikannya.

Masalah yang kedua adalah walaupun masih ada yang bertahan, dan masih disebut sebagai ‘orang Kristen’, mereka adalah orang Kristen yang tidak memiliki kuasa dan dinamika. Mereka sekadar bisa bertahan saja. Dan dalam waktu lima atau sepuluh tahun ke depan, mungkin mereka itu juga tidak bisa bertahan juga. Tidak ada kuasa yang berkemenangan, tidak ada aliran-aliran air hidup sebagaimana yang disebutkan oleh Yesus di Yohanes 7:38. Tidak terlihat adanya aliran-aliran air hidup yang meluap-luap itu.

Mengharapkan untuk bisa melihat beberapa tetes saja sudah sulit, apa lagi mau melihat aliran-aliran yang besar? Mengapa? Karena kita telah mengabaikan pengajaran Yesus yang terdapat di dalam perikop ini. Kita telah mengabaikannya demi kepentingan dogma yang ingin kita tegakkan, dogma mengenai anugerah yang memang benar tapi bukan seluruh kebenarannya. Dan hal ini justru menambah bahayanya. Dusta yang sepenuhnya justru bisa dilacak dan ditolak. Sesuatu hal yang benar separuh, sangatlah berbahaya karena di dalamnya ada banyak mengandung kebenaran. Akibatnya Anda akan menerima ajaran yang salah dibalik unsur yang benar itu.

Apakah hal yang ingin disampaikan oleh Yesus di sini? Kiranya Allah memberi kita pengertian akan hal itu. Petrus sedang jatuh. Dia terpeleset, dia terjatuh justru setelah mengalami peristiwa rohani yang mulia itu. Saat Yesus berkata, “Bukan kamu yang mengungkapkan hal itu, Petrus. Bapa-ku yang di surga yang mengungkapkan hal itu kepadamu. Daging dan darah tidak bisa memberitahumu hal-hal tersebut, Bapa-ku yang di surga itulah yang menyatakannya kepadamu.” Dan setelah mengalami pengungkapan yang hebat tentang Yesus, tak lama kemudian, Petrus jatuh. Dan di dalam konteks itulah Yesus menyampaikan ajaran ini.

Yesys melanjutkan dengan berkata pada kepada Petrus, “Masalah yang sedang menjatuhkan kamu sekarang dan yang juga akan menjatuhkanmu sampai menyangkal aku tiga kali, adalah karena kamu masih belum mengerti akan pesan dari ajaran ini. Dan jika kamu masih belum mengerti isi ajaran ini, maka kamu bukan sekadar akan jatuh lagi, kamu akan benar-benar meninggalkan aku karena kamu tidak akan dapat menjadi muridku.”

Lalu bagaimana kita akan menangani masalah ini? Apa jawab kita terhadap persoalan ini? Di satu sisi Yesus menguraikan tentang kasih, menyuruh kita untuk mengasihi sesama manusia dan musuh kita seperti diri sendiri, namun dia ternyata melanjutkan dengan menyuruh kita untuk membenci ayah dan ibu kita! Bagaimana bisa begitu? Saya menemukan keindahan ajaran Yesus di sini, dan kedalaman hikmatnya dalam menyampaikan sesuatu hal yang membuat kita kaget. Ucapan tersebut akan segera mengejutkan Anda. Seseorang yang banyak menyimak khotbah Yesus, akan duduk termangu mendengar ucapan ini!

Bayangkanlah tanggapan orang-orang yang sedang mengikuti dan menyimak khotbah Yesus selama tiga hari itu. Sekadar mencoba untuk menyerap apa yang sedang disampaikan oleh Yesus saja sudah sangat sukar. Namun bayangkanlah, di tengah-tengah pengajarannya itu, tiba-tiba Anda mendengar Yesus berkata, “Dan kamu harus membenci ayah dan ibumu,” Anda mungkin akan berkata, “Apakah pendengaranku bermasalah? Apakah telingaku tidak salah dengar? Itukah yang sedang diucapkan Yesus?” Yah, memang tertulis demikian. Memang itulah tepatnya apa yang dia ucapkan. Lalu bagaimana kita akan memahami hal ini?


Segenap ajaran Yesus adalah eksposisi tentang mengasihi dengan kasih Allah

Mari kita telusuri sedikit ke belakang, dan mencoba memahami segenap ajaran Yesus dalam Khotbah di Bukit, yang bisa dirangkum dalam satu kata. Seluruh isi Khotbah di Bukit membahas satu hal saja. Khotbah itu adalah eksposisi tentang  kasih. Tanpa menjadi miskin di hadapan Allah, Anda tidak akan bisa mengasihi. Tanpa menjadi murah hati, Anda tidak akan bisa mengasihi. Tanpa kesucian hati, Anda tidak akan bisa mengasihi. Anda bisa melanjutkan meneliti seluruh isi Khotbah di Bukit dan Anda akan menumukan bahwa semua itu merupakan eksposisi tentang kasih.

Kemudian Yesus melanjutkan dengan berkata, “Mengapa kamu berseru, ‘Tuhan, Tuhan’ tetapi kamu tidak melakukan apa yang kuperintahkan?” Jika Anda bertanya, “Apakah hal yang engakau perintahkan untuk kulakukan?” Jawabannya adalah: mengasihi. “Jika kamu memanggilku, ‘Tuhan, Tuhan’ tetapi kamu tidak mengasihi, maka pada Hari Penghakiman, aku akan berkata, ‘Enyahlah kamu sekalian pembuat kekacauan. Aku tidak kenal siapa kamu.'” 

Dia tidak mengenal Anda karena satu-satunya tanda yang akan membuat Anda dikenal Tuhan adalah apakah ada kasih di dalam hidup Anda. Jika Anda tidak memilikinya, Anda boleh saja berkata bahwa Anda diselamatkan oleh kasih karunia; menyanyi sekeras yang Anda mampu tentang kasih Allah; atau Anda boleh pergi ke gereja dengan membawa Alkitab terbesar di tangan Anda namun Yesus akan berkata kepada Anda, “Menyingkirlah dariku, kalian pembuat kekacauan. Aku tidak mengenal kamu karena kamu tidak mengerjakan kehendak Bapaku. Inilah perintahku. Aku tidak memberimu pilihan. Ini adalah perintah. Kamu tidak punya pilihan untuk ini. Jika kamu adalah muridku, maka kamu harus mengasihi.”

Itulah sebabnya, jika Anda memanggil Yesus, “Tuhan (Lord),” tetapi Anda melanggar perintahnya untuk mengasihi, berarti Anda dan saya terbukti sebagai penipu dan munafik, tak lebih dan tidak kurang dari itu, karena seluruh ajaran Yesus itu terfokus pada mengalirkan sungai kasih Allah.

Apakah Anda dapat menangkap visi tentang rencana kekal Allah di dunia ini? Rencana Allah adalah untuk mencurahkan kasih-Nya ke dunia, kasih yang akan mengubah, yang akan meluluhkan hati yang keras, yang akan membersihkan dosa-dosa dari dalam hati kita, yang akan menuntun kita ke dalam pertobatan saat kita menyadari dan mengalami kuasa kasih-Nya. Saya harap Anda telah telah melihat visi itu. Jika Anda tidak mengalaminya, saya harap setidaknya Anda akan bisa melihat visi itu melalui pemahaman hari ini.

Setelah menangkap visi tentang  kasih ini, kita akan melihat pada persoalan tentang kata ‘membenci’. Apa yang Yesus beritahukan kepada kita tentang kata ‘membenci’ ini? Kita bukan sekadar disuruh membenci kerabat terdekat kita, bahkan nyawa kita juga! Yesus dengan sengaja memakai kata yang memiliki yang keras ini, karena dia tidak ingin ajarannya diencerkan.

Salah satu penafsir zaman ini, Marshall, di dalam karya tafsiran yang baik tentang naskah Yunani dari Injil Lukas berkata, “Yesus secara sengaja menyatakan uraiannya dengan penekanan yang lebih kuat karena kuatir para murid tidak bisa memahami apa yang telah dia katakan sebelumnya.”


Jika kamu
tidak membenci ayahmu dan ibumu, kamu tidak layak bagiku

Jika dikatakan, “Kamu bisa mengasihi-ku, tetapi kamu tidak boleh mengasihi ayah dan ibumu lebih daripada-ku, selama kamu mengasihi aku dan tidak mengasihi ayah dan ibumu lebih daripada aku, maka itu sudah bagus.” Nah, ucapan yang seperti ini bisa kita cerna. Ini bisa ditoleransi. Kita bisa menanggungnya. Kita bisa setuju dengan syarat seperti itu. “Baiklah, aku akan mengasihi ayah dan ibuku tidak melebihi kasihku kepada-mu.”

Dan kalimat, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-ku, ia tidak layak bagi-Ku,” ini benar akan tetapi pernyataan ini lebih lemah karena bisa saja Anda berkata, “Nah, aku tidak mengasihi orang tuaku lebih daripada-mu, aku mengasihi Yesus dan orang tuaku pada tingkatan yang sama, tentunya ini sudah menggenapi perintah tersebut.”

Namun di sini, pernyataan itu lebih diperkuat lagi. Tidaklah cukup dengan memahami, dengan mengira, bahwa: “Selama aku tidak mengasihi orang tuaku lebih daripada kasihku kepada Tuhan, maka semuanya akan baik-baik saja.” Di sini, pernyataan itu ditegaskan dengan sangat kuat: “Kalau kamu tidak membenci.” Saat saya mempelajari pengajaran Yesus ini, hati saya dipenuhi oleh sembah puji dan kekaguman. Saya ingin bersujud dan menyembah dan berkata, “Tuhan, begitu dalam pandangan dan pengertianmu, hanya pribadi yang memiliki pemahaman rohani yang luar biasa  yang bisa mengucapkan hal semacam ini.” Anda mungkin berkata, “Apa yang sedang Anda bicarakan itu?”

Yang sedang saya bicarakan adalah: Allah memiliki pemahaman tentang kasih yang jauh lebih mendalam ketimbang pemahaman kita tentang kasih, sehingga kita menyadar bahwa kita bahkan belum mulai mengerti tentang kasih. Kasih Tuhan penuh dengan kuasa, dan ajaran Tuhan tentang kasih sedemikian menakjubkan, kalau saja kita bisa memahami apa itu kasihnya, maka kita tidak akan menemui masalah apapun di dalam memahami perikop ini. Dan kita tidak perlu bersusah payah menyelewengkan firman atau melakukan hal yang lainnya. Saya akan mencoba untuk menjelaskannya. Kiranya Allah menolong saya karena saya tidak begitu yakin bahwa saya bisa menjelaskannya dengan baik. Ada kalanya Anda bisa memahami suatu hal dengan sangat jelas, namun pada saat Anda mau menguraikannya kepada orang lain, mulailah muncul masalah. Anda tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Namun saya akan mencobanya.


Kasih manusia menjadi lawan dari kasih Allah

Saya akan menguraikannya sebagai berikut. Ada kasih yang sempit, membatasi, dan mengurung. Itulah yang kita pahami sebagai ‘kasih’. Dan apa yang kita sebut sebagai ‘kasih’ ini sebenarnya sangat bertentangan dengan kasih Allah.

Mari kita teliti Matius pasal 16. Ketika Petrus berkata kepada Yesus, “Tuhan, janganlah pergi ke kayu salib! Kiranya Engkau tidak menuju ke kayu salib! Engkau tidak boleh mati!” Bukankah itu kasih? Bukankah itu adalah ungkapan kasih? Petrus sedang menyatakan kasihnya kepada Yesus dengan berkata, “Aku tidak ingin engkau mati! Aku tidak mau engkau pergi menderita!” Bukankah itu kasih?

Dan untuk ungkapan kasihnya itu, apa yang dia peroleh? Bukannya perkataan, “Nah, Petrus, Aku memahami kasih-mu kepada-ku. Aku memahaminya. Akan tetapi aku akan menjelaskan beberapa hal lagi kepadamu, Petrus.” Ucapan seperti itu tentunya sangat wajar, dan kita tentu akan berpikir, itu juga adalah ungkapan kasih. Bukannya ucapan semacam itu, Yesus malah menatap Petrus dan berkata, “Enyahlah iblis!”

“Hei! Aku mengasihi-mu, dan itukah yang aku dapatkan untuk ungkapan kasihku padamu? Tidakkah engkau memahami, Tuhan, betapa aku sangat mengasihi-mu? Aku tak ingin engkau mati! Aku tidak ingin engkau menderita! Tetapi engkau malah menyebut aku iblis? Aku tidak mau berbicara lagi dengan-mu! Cukup sudah! Engkau mengaku sebagai pemberita kasih? Lalu engkau berbicara kepadaku seperti ini? Cukup sudah!”  Dan dia segera beranjak pergi. Jika Petrus pergi dengan marah, saya rasa Anda akan bersimpati kepadanya, benar bukan? Bagaimana jika Anda sedang berkata kepada Yesus, “Tuhan, janganlah menerjang penderitaan. Janganlah mati. Kau tahu, aku sangat mengasihi-mu, aku tak tahan melihat-mu menderita.” lalu Yesus berkata, “Enyahlah kamu, iblis!”

Oh! Saya pikir wajah Anda akan merah padam! Kejutannya begitu menyengat! Mengapa Yesus berkata, “Enyahlah kamu, iblis”? Karena memang ada kasih yang bersifat iblis. Kasih yang sangat bertentangan dengan kasih Allah. Dan kasih semacam itulah yang menghalangi kasih Allah.

Oh, saudara, Anda harus bisa memahami hal ini. Kasih yang satu itu sangat bertentangan dengan kasih Allah. Kasih ini adalah kasih yang menghadang kasih Allah, yang akan mencekik dan menyekat dan mematikan gerak kasih Allah. Inilah jenis kasih yang tidak boleh diberi simpati karena kasih semacam ini akan menghancurkan pancaran kasih Allah. Bisakah Anda memahaminya?

Kasih manusia itu ingin memiliki. Kasih manusia itu membatasi. Membatasi itu berarti merengkuh, meremukkan, tidak mau lepas dan membebani. Maria Magdalena memiliki kasih yang semacam ini. Saat Yesus bangkit dari maut, Maria Magdalena memeluk kaki-nya. Dan Yesus berkata, “Lepaskanlah. Biarkan aku pergi. Singkirkanlah kasih yang semacam ini. Buanglah itu!”

Kasih yang membuat saya tidak peduli pada orang lain dan hanya memikirkan diri sendiri bukanlah kasih yang berasal dari Allah. “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Itulah pelajaran keras yang harus diterima oleh Petrus.  

Yesus, sebagaimana biasanya, mengambil pisau bedah-nya, dan membedah jauh ke dalam hati Petrus. Pisau itu memotong dan membuka hati Petrus untuk mengeluarkan kanker dari kasih yang egois. Tahukah Anda, kasih manusia itu bukan sekadar bentuk yang lemah dan cemar dalam konteks kasih Allah, tetapi kasih manusia itu bertentangan dengan kasih Allah. Oleh sebab itu, kata “Iblis” dipakai ini. Kata ini berarti musuh atau lawan. Kasih manusia menjadi lawan dari kasih Allah. Hal yang menakutkan. Suatu hal yang sangat menakutkan.

Akan tetapi banyak orang Kristen yang tidak bisa memisahkan kedua macam kasih ini. Mereka mencampuri-adukkan keduanya. Mereka mengira bahwa philia ini, perasaan yang menyenangkan ini sekadar tingkatan yang sedikit lebih rendah dari agape. Dikira sama, hanya ada sedikit perbedaan. Kasih philia, kasih egois untuk keluarga kita menjadi penghalang dari pencurahan kasih Allah yang penuh kuasa.

Bagaimana kita menjadi sumber aliran-aliran air hidup kepada dunia jika keran kasih kita dibatasi, dicekik, disempitkan dan dilumpuhkan oleh kasih yang egois? Allah tidak bisa bekerja melalui kita. Dia tidak bisa bertindak! Selanjutnya apa yang terjadi? Anda secara perlahan akan semakin lumpuh dan mati karena kasih Allah yang memberi kehidupan itu tidak bisa lagi bekerja di dalam hidup Anda. Anda tidak bisa membedakan yang palsu dengan yang sejati. Anda tidak bisa membedakan kasih yang satu dengan yang lain. Anda tidak tahu perbedaan antara kedua kasih itu.

Apakah Anda pikir kasih yang egois terhadap ayah dan ibu itu bisa disamakan dengan kasih kepada Allah? Berapa banyak orang Kristen yang berpikir seperti itu? Di titik inilah Yesus memakai pisau bedah-nya untuk menjalankan operasi rohani ini. Sangat mengerikan dan menyakitkan. Berapa banyak orang yang akan berkata, “Ya, aku melayani Tuhan, tetapi aku harus mengasihi anak-anakku, aku harus mengasihi istriku, aku harus mengasihi ayah dan ibuku, aku harus mengasihi mereka semua. Bukankah Allah ingin agar kita mengasihi mereka? Oleh karena itu, aku tidak bisa melayani Tuhan!”

Di sini, Yesus berkata kepada Anda, “Aku tidak terima alasan semacam itu. Aku tidak menerimanya.” “Baiklah, setidaknya, ijinkan aku menguburkan ayahku.” “Tinggalkan ayahmu.” Oh! Bagaimana mungkin Yesus yang murah hati berbicara seperti ini? Bagaimana bisa dia berbicara seperti itu?

Anda lihat, di sinilah kita menghadapi masalah pemahaman. Kita belum tahu adanya kasih yang tidak ada batasnya, kasih yang tak terhingga, tak terkurung, dan yang tidak berkata, “Ini punyaku. Inilah garis batasnya. Di manakah garis batasnya? Batasnya adalah pagar ini. Di dalam garis ini ada ayahku, ibuku, istriku dan anak-anakku, saudara dan saudariku. Kasihku hanya terbatas di dalam lingkungan ini.” Kita telah menarik garis batas.

Karena adanya batas itu, kasih Allah tidak dapat mengalir dari kita. Kasih itu telah kita lumpuhkan, batasi dan hancurkan dengan keegoisan kita. Kita tidak memahami kasih Allah. Mengapa? Karena kasih Allah bertentangan dengan kodrat manusia. Kasih ini tidak bersumber pada manusia. Kasih ini berasal dari Allah. Kita tidak bisa berpikir seperti Allah! Manusia berpikir di dalam batas lingkaran kecil: “Punyaku yang ini, yang  itu.”

Perhatikan saja doa orang-orang Kristen: “Berkatilah ayahku, ibuku, anak-anakku, anjingku, kucingku, mobilku, rumahku. Ya Allah, berkatilah mereka semua.” Apakah hal yang semacam ini yang disebut sebagai doa? Inilah kekristenan milik kita.

Mungkin Anda akan berkata, “Yah, memang beginilah saya. Saya menginginkan berkat. Allah memberkati ayah dan ibu saya. Berkat, dan berkat terus setiap saat. Itulah tepatnya hal yang disampaikan oleh Yesus kepada Petrus di dalam Matius pasal 16, “Kamu menyukai yang berasal dari manusia, bukan yang dari Allah. Kasihmu adalah kasih manusia, Petrus. Dan kasih manusiamu itu bisa menghancurkan-ku.”

Itulah hal yang dilakukan oleh pihak musuh. Kata ‘setan (atau iblis)’ itu berarti musuh. Apakah hal yang dilakukan oleh pihak musuh? Musuh hanya punya satu tujuan: menghancurkan Anda. Kasih di tingkat manusia akan menghancurkan Anda. Itulah pelajaran yang harus diambil oleh Petrus. Anda harus ditransformasi sepenuhnya supaya Anda bisa memahami bahwa kasih ini bukanlah kasih Allah.


Kasih Allah itu tak terbatas

Kasih Allah itu tidak terbatas. Kasih itu tidak mengenal pagar pembatas. “Siapakah saudara dan saudari-ku?” demikian kata Yesus. Siapa? “Mereka yang mengerjakan kehendak Allah.” Ketika ibu-nya hendak menemui Yesus, orang-orang berkata, “Ibu dan saudara-saudara-mu ada di luar hendak menemui-mu.” Tetapi Yesus berkata, “Siapakah ibu-ku, siapakah saudara-ku laki-laki dan saudara-ku perempuan?” “Bagaimana mungkin Yesus berkata seperti ini? Saya tidak terima! Bukan begitu caranya berbicara kepada ibu-mu! Itu sangat kasar! Saya tidak suka ini! Buang saja perikop ini dari dalam Alkitab. Saya tidak suka ini!”

Tidakkah Anda merasa seperti ini? Tentu saja! Jujur saja! Anda merasa seperti itu bukan? Saya dulu merasa seperti itu. Bagaimana bisa Yesus berbicara seperti itu? Sungguh memalukan! Mengapa dia berbicara seperti itu? Karena Yesus ingin mengajari kita tentang adanya kasih yang jauh melampaui batasan yang sempit ini.

“Siapakah ibu-ku? Siapakah saudara-ku perempuan? Mereka yang mengerjakan kehendak Allah. Mereka itulah yang berharga buat-ku, mereka itulah yang ku-kasihi, yang ku-kasihi jauh melebihi saudara dan saudari sedarah, melebihi keluarga-ku. Pergilah ke seluruh dunia. Lihatlah di antara bangsa-bangsa di seluruh dunia. Di sana ada saudara-ku, ada saudari-ku! Di sana ada ibu-ku! Di sana ada keluarga-ku!”

Namun Anda tidak bisa berpikir seperti itu, bisakah? Jika Anda bisa berpikir seperti itu, maka Anda telah mengenal kasih Allah yang masuk ke dalam diri Anda dan mengubah Anda, Anda bukan manusia duniawi lagi; Anda adalah manusia rohani yang bisa menatap ke arah orang banyak dan berkata, “Itu saudaraku laki-laki, yang itu saudaraku perempuan. Orang-orang yang mengasihi Tuhan. Orang-orang yang mengerjakan kehendak Allah. Mereka itulah yang kukasihi.”

Saat anak Anda minta uang, apakah Anda ragu memberikannya? Tidak. “Dia itu anakku. Ambillah uang ini.” Saat istri Anda meminta uang, apakah Anda ragu memberikannya? Saat dia berkata dia perlu uang belanja. Anda akan memberinya. Anda tahu jika Anda tidak memberinya, maka Anda tidak akan mendapatkan makan malam.

Jika seorang saudara mendatangi Anda dan berkata, “Saya perlu uang untuk belanja, bisakah Anda memberi saya lima puluh ribu rupiah?” Anda berkata, “Siapa Anda? Apakah kita pernah bertemu?” “Ya! Saya saudara Anda di gereja.” “Wah, apakah Anda tidak punya keluarga? Mengapa Anda datang kepada saya?” Kita telah menarik garis batas di sana.

Perhatikanlah di tengah jemaat. Apakah Anda bisa menatap orang di depan, belakang atau samping Anda, dan berkata, “Haleluya! Kalian saudara dan saudariku yang berharga”? “Oh tidak! Siapa bilang Anda saudara saya? Saudara saya adalah yang duduk di sebelah sana. Orang yang berkaca mata itu. Sedangkan orang ini, huh!” Atau mungkin kita sudah cukup senang bisa memiliki istilah saudara dan saudari sebagai istilah basa-basi. Akan tetapi apakah Anda benar-benar memperlakukan mereka sebagai saudara? Apakah Anda menerima orang tersebut sebagai saudara di dalam hati Anda? Tidak. Tidak mungkin.

Kapan Anda peduli pada persoalan yang dia hadapi? Anda sendiri sudah cukup pusing dengan persoalan Anda. Anda tidak mau ada orang lain yang menambahkan persoalannya pada Anda. Akan tetapi jika saudara sedarah Anda menghadapi masalah, Anda akan segera tertarik untuk ikut menanganinya. Jika anak Anda yang terkena masalah, maka Anda akan lebih tertarik lagi untuk ikut campur. Akan tetapi jika orang itu yang terkena masalah, siapa peduli? Silakan cari bantuan dari orang lain. Jika Anda membutuhkan nasehat, silakan hubungan pendeta. Silakan cari dan berbicara dengan pendeta. Yah, kita memang berbasa-basi dengan istilah saudara atau saudari. Saat harus membuktikan makna ucapan itu dengan memperlakukannya sebagai saudara sejati, kita seringkali menarik garis batas. Allah ingin mengubah ini. Inilah poin dari perikop hari ini. Kita harus mengubah konsep kasih yang sempit dan egois ini.


Di dalam mengasihi kita, Allah “membenci” Anak-Nya

Mari kita melangkah lebih jauh lagi. Saya baru saja meletakkan dasar pemahaman tentang kasih. Mari melangkah lebih jauh. Ada kasih yang di dalam proses pelaksanaannya mengandung unsur membenci. Anda berkata, “Apa maksudnya? Omongan Anda seperti teka-teki saja. Anda menggabungkan dua hal yang bertentangan – mengasihi dan membenci.”

Saya akan jelaskan kepada Anda. Allah begitu mengasihi dunia, Allah sangat mengasihi dunia, cobalah untuk memahami hal ini. Begitu besar kasih-Nya kepada dunia ini sehingga Dia mempertahankan Anak-Nya yang tunggal. Yohanes 3:16 akan menjadi pembanding yang sangat baik. Allah begitu mengasihi dunia ini sehingga Dia mempertahankan Anak-Nya yang terkasih.

Anda bertanya, “Apa maksud Anda?” Allah begitu mengasihi dunia sehingga Dia memberikan Anak-Nya yang tunggal.

Jika Anda punya lima belas anak, dan Anda merelakan salah satunya, Anda mungkin berkata, “Baiklah, itu bagus. Aku telah menunaikan kewajibanku kepada negara. Yang satu itu gugur dalam perang. Tetapi aku masih punya empat belas. Setidaknya aku telah memberi.”

Jika Anda hanya punya satu putra, satu anak. “Tidak, aku memang mengasihi kalian. Aku memang mengasihi bangsaku. Tetapi anak tetaplah anak. Darah lebih kental daripada air.”

Di dalam tindakan Bapa yang memberikan Anak-Nya itu, bisakah Anda memahami kasih tersebut, saudara-saudara? Dalam mengasihi kita, Dia membenci AnakNya.


Membenci itu tidak ada kaitannya dengan perasaan

Apakah makna dari ‘membenci’? Ada hal yang perlu dipahami berkenaan dengan kata ‘membenci’ di sini. Membenci itu tidak berkaitan dengan perasaan. Yesus tidak berkata, “Kamu pulang dan pandanglah ayah dan ibumu, dan munculkanlah kebencian. Itulah cara untuk menjadi murid-ku. Jika kamu tidak melotot kepada ayahmu, menggertakkan gigi dan membenci dia, maka kamu bukanlah murid-ku.”

Ini jelas omong kosong! Membenci di sini tidak ada kaitannya dengan perasaan. Dia juga menyuruh Anda membenci nyawa Anda sendiri. Lalu Anda menjawab, “Baiklah, aku akan pulang dan menggantung diri. Engkau menyuruhku untuk ‘membenci nyawaku sendiri’? Aku akan membencinya, jadi aku akan bunuh diri saja. Sudah tentu, ini bukan artinya membenci di sini.

‘Membenci’ itu tidak berkaitan dengan perasaan, tidak ada hubungannya sama sekali. Yang berkaitan dengan kata ini adalah suatu tindakan, suatu komitmen, merelakan. Mari kita tanyakan diri kita, apakah Anda tidak pernah membayangkan tentang Yesus yang sedang tergantung di kayu salib selama beberapa jam, di dalam kesakitan, kepedihan, penderitaan? Lidah-nya melekat di langit-langit mulut-nya, hal yang memang terjadi pada orang yang disalibkan. Dan darah juga mengalir dari luka di tangan-nya. Dan dosa dunia ditimpakan kepada-nya ketika dia sedang tergantung di kayu salib dalam kesakitan itu.

Pernahkah Anda merasakan: Bagaimana mungkin Allah melakukan hal ini terhadap Anak-nya sendiri? Bagaimana mungkin Allah melakukan hal ini? Maksud saya, tak seorang ayah pun yang mau melakukan hal ini. Bagaimana mungkin Allah begitu membenci Anak-nya sehingga dibiarkan-nya Anak melewati semua itu? Saya tidak tahan membayangkannya. Nah, inilah yang saya maksudkan. Ada kasih yang memunculkan kebencian, bukan dalam arti perasaan, melainkan dalam arti merelakan. Harap Anda bisa memahaminya, saudara-saudari.

Ada kasih yang baru bisa digenapi dengan membenci. Sekalipun tindakan membenci, merelakan, itu sangat melukai batin Anda, ibarat tikaman pedang di ulu hati Anda, tepat seperti yang dikatakan oleh seorang nabi kepada Maria, “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.” Maria akan berdiri di sana menyaksikan putranya mati di kayu salib, perlahan tetapi pasti menuju kematian, sebilah pedang menembus jiwa Maria. Dan jika pedang itu menembus hati Maria, saya mohon Anda bisa memahami pedang macam apa yang menembus hati Bapa di saat Bapa menyaksikan Anak-Nya mati?

Saat langit menjadi gelap dan bumi bergoncang, pedang seperti apakah yang telah menembus hati Bapa? Dapatkah Anda memahami kepedihan-Nya? Kepedihan seorang ayah yang merelakan anaknya? Siapa di antara kita yang pernah merelakan putra atau putrinya? Kita tidak bisa memahami kepedihannya.


‘Membenci’ – Harga yang perlu dibayar

Allah, dalam mengasihi kita, telah mencampakkan Anak-Nya. “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Mengapa? Dalam mengasihi dunia, Dia telah mencampakkan Anak-Nya. Tidak ada jalan lain. Di sana, seperti yang telah saya katakan, ada kasih. Dan kata ‘membenci’ di sini sebenarnya, di dalam bahasa Ibrani, memiliki makna meninggalkan. Kata ini tidak berkaitan dengan perasaan. Ia memiliki makna meninggalkan (forsake). Di dalam tindakan meninggalkan itu, ada kepedihan. Saat meninggalkan sesuatu, kita mungkin akan meneteskan air mata, penuh penderitaan. Akan tetapi kita harus melepaskan mereka jika ingin agar kasih Allah tercurah melalui kita. Itulah harganya.

Anda bertanya, “Biaya apa yang harus dihitung?” Itulah biaya yang harus dihitung. Sanggupkah Anda menanggungnya?

Yesus memberitahu kita dengan sangat lembut, penuh pengertian, karena jika ada orang yang bisa mengerti diri kita, maka Yesus-lah pribadi itu. Dia berkata, “Aku tahu sungguh berat hal itu. Sungguh berat kasih itu. Jika kamu tidak bisa melakukannya, sobat, kalau kamu tidak bisa mengerjakannya, tinggalkan saja. Tidak perlu memulainya karena kamu tidak akan bisa menjadi murid-ku.

Jangan membangun gedung yang tidak bisa kau selesaikan. Jangan memulai peperangan yang hanya akan membuatmu menyerah pada akhirnya nanti. Apa gunanya maju berperang? Kamu tidak akan mau menjalani peperangan untuk mengalami kekalahan. Kamu berperang untuk mengejar kemenangan. Jika pada akhirnya nanti harus menyerah, janganlah memulai peperangan. Dan jika kamu mendirikan bangunan yang akhirnya tak bisa kau selesaikan, bersikap bijaklah untuk tidak memulai pembangunannya.”

Yesus sangat berpengertian, akan tetapi dia tidak bisa menurunkan persyaratannya. Dia tidak bisa menurunkannya. Mengapa? Saya harap sekarang ini Anda bisa memahaminya. Karena Anda dan saya dipanggil untuk menjadi saluran kasih Allah di dunia ini. Itulah makna yang terungkap di dalam Yohanes 7:38-39: “Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup.”

Itulah panggilan yang ditujukan bagi kita, bukan sekadar untuk meminum air hidup, melainkan untuk menjadi mata air kehidupan. Dan untuk bisa menjadi mata air itu, segala penghalang harus disingkirkan. Keegoisan yang menciptakan garis batas yang menghalangi luapan kasih Allah harus disingkirkan.


Allah sedang mencari saluran-saluran berkat yang mengalirkan kasih-Nya

Itulah arti pemuridan. Pemuridan bukan sekadar penginjilan demi keselamatan kita, demi berkat bagi kita. Namun dengan diberkatinya kita, kita menjadi berkat bagi orang lain. Di dalam menerima air kehidupan, kita menjadi mata air kehidupan bagi orang lain. Seorang Kristen yang hidup hanya untuk dirinya sendiri dan demi keselamatannya sendiri, untuk mendapatkan tempat di surga, berarti belum mengerti apa arti kekristenan di dalam ajaran Yesus. Anda belum tahu apa kekristenan itu. Kekristenan bukanlah masalah mencari tempat di surga. Kekristenan itu adalah perkara menjadi mata air kehidupan bagi orang lain di sini dan sekarang juga.

Sekarang ini Allah sedang mencari saluran-saluran berkat. Dia memberi Anda air kehidupan. Dia memuaskan kehausan batin Anda dengan kehidupan itu. Dan setelah memuaskan kehausan Anda, maka dari dalam diri Anda mengalir aliran-aliran kehidupan yang meluap-luap, dan di sana terdapat kasih yang melibatkan kebencian.


Memenuhi syarat pemuridan dengan menyingkir semua hambatan

Jika saya ingin memenuhi syarat pemuridan, jika saya mau kasih Allah mengalir bebas dan tanpa dibatasi dari dalam diri saya, maka saya harus menyingkirkan semua hambatannya. Saya tidak boleh menarik garis batas. Saya tidak boleh menetapkan batas-batas. Saya tidak boleh berkata bahwa kasih saya ada batasnya. Saya tidak boleh berkata bahwa saya hanya akan mengasihi ayah, ibu, istri dan anak-anak saya. Saya tidak bisa melayani Allah karena saya harus mengasihi orang-orang itu.

Saya minta Anda untuk menilai sendiri apa yang dikatakan oleh Yesus di sini. Saya minta Anda untuk menguji apakah hal yang saya sampaikan ini benar atau salah. Jika apa yang saya sampaikan itu salah, tolak saja. Beritahu saja saya apa yang dimaksudkan oleh Yesus di sini.  Jika Anda lebih mengerti apa yang dikatakan oleh Yesus, silakan beritahu saya apa yang dia maksudkan. Akan tiba saatnya, dengan air mata jika perlu, kita harus mengucapkan selamat tinggal – kepada ayah, ibu, dan jika perlu bahkan kepada istri dan anak-anak. Allah memberkati kalian. Saya akan mengasihi kalian selalu. Namun kasih saya tidak boleh berhenti di garis batas. Kasih saya tidak boleh berhenti pada kalian. Kasih itu harus meluap melewati rintangan-rintangan yang ada.


Anda harus mencampakkan kasih yang egois untuk mengasihi seperti Allah mengasihi

Ada satu hal lagi yang lebih indah dari semua ini. Saat Allah memberikan Anak-Nya karena dalam mengasihi dunia ini, Dia harus meninggalkan Anak-Nya di kayu salib, bisakah Anda bayangkan betapa lebih mendalamnya kasih antara Bapa dengan Anak sesudah itu? Bisakah Anda memahaminya? Bisakah Anda memahami kedalaman kasih, kedalaman kasih yang baru, jika kita boleh membayangkannya, dalam kasih antara Bapa dengan Anak saat mereka bertemu kembali, saat Anak bangkit kembali dan duduk di sebelah kanan bapa? Kasih yang luar biasa! Kedalaman kasih yang luar biasa! Hasil dari tindakan meninggalkan ini adalah munculnya kasih yang baru.

Saya menyampaikan ini berdasarkan pengalaman. Di dalam membenci orang tua saya, saat saya menolak mereka, saat saya meninggalkan mereka, saya mengasihi mereka lebih dari yang pernah terjadi. Bisakah Anda memahaminya? Saat saya melangkah untuk melayani Tuhan, keluarga saya berkeras menentangnya. Mereka sangat keras menolak langkah saya. Saya meninggalkan mereka. Saya membenci mereka dalam pengertian, di  dalam pengertian membenci yang alkitabiah ini. Namun jika saya tidak meninggalkan mereka, jika saya tidak membenci mereka, saya tidak tahu, sampai dengan hari ini, apakah mereka mau datang kepada Tuhan.

Dengan kata lain, di dalam kepedihan ‘mencampakkan’, di dalam kepedihan kehilangan, saya justru mendapatkan mereka. Jika Anda kehilangan nyawa Anda, maka Anda akan mendapatkannya. Dengan kehilangan orang tua Anda, maka Anda akan mendapatkan mereka kembali. Dengan kehilangan Anak, maka bapa memperoleh Anak pada kedalaman kasih yang baru. Jika Anda mengambil benih dan menaburkannya ke tanah, maka Anda justru akan memperoleh berkali-kali lipat.

Saat ibu saya datang kepada Tuhan, bertahun-tahun setelah dia menolak saya dan merasa bahwa saya telah ‘meninggalkannya’, bertahun-tahun kemudian, ketika dia datang kepada Tuhan dan berlutut bersama saya, dengan air mata di wajahnya, saya menyadari bahwa dia telah mengerti bahwa dengan menolaknya lewat tindakan, saya justru mengasihi dia lebih lagi.

Itulah tepatnya hal yang terjadi dalam penolakan itu, saya telah melakukan hal itu dengan tujuan bukan sekadar agar dia diberkati, namun lebih lagi, agar dia menerima berkat, melalui suatu gelombang balik. Dengan kata lain, ketika kasih Allah tercurah dari Anda dalam lingkaran-lingkaran gelombang, yang akan Anda peroleh adalah: kasih Anda akan menjadi semakin murni serta mendalam dan di saat Anda mengasihi orang tua Anda dengan kasih tersebut, yang untuk sesaat akan mereka kira sebagai tindakan meninggalkan atau membenci mereka, saat berikutnya mereka akan mendapati bahwa kasih itu lebih mendalam dan lebih kuat daripada kasih yang pernah mereka ketahui. Apakah Anda memahami apa yang saya maksudkan? Ibu saya mulai menyadari bahwa dengan menolaknya, saya malah mengasihi dia dengan kasih yang baru, kasih yang tidak egois dan serakah, melainkan kasih Allah yang memberi diri bagi orang lain.

Saya berkata kepada ibu saya, sekalipun saat itu saya mengucapkan selamat tinggal kepadanya, ketika saya meninggalkan dia, saya berkata kepada ibu saya, “Aku harus meninggalkan ibu, aku tidak akan menuruti dan melakukan apa yang ibu ingin aku lakukan. Namun ketahuilah, dan inilah janjiku: Selama aku masih memiliki sepiring nasi, maka engkau memiliki sepiring nasi untuk dimakan. Selama aku masih memiliki uang satu dolar, maka engkau memiliki uang satu dolar. Selama aku masih memiliki pakaian, maka engkau pun memiliki pakaian.” Karena saya sekarang mengasihi dia dengan kasih Allah yang memberi diri. Sejak saat itu, dia mulai menyadari bahwa saya mengasihi dia dengan kasih jenis yang baru. Sekalipun untuk sesaat dia merasa ditolak. Saya telah memutuskan hubungan kasih manusiawi. Sejak saat itu saya mengasihi dia dengan kasih ilahi, kasih yang menolak untuk dibatasi hanya kepadanya saja.

Namun sekarang, karena kuasa kasih Allah yang meluap-luap, maka kasih  itu juga melingkupi dia, bahkan bergerak melampaui segala batasan yang selama ini menghadang kasih Allah. Apakah Anda memahami hal ini? Hal yang sungguh indah. Dan itulah sebabnya ketika ibu saya berlutut bersama saya ketika air mata membasahi wajahnya, saya bersyukur kepada Allah karena telah memberi saya keberanian untuk membencinya dalam pengertian yang alkitabiah, dalam rangka memperolehnya kembali. Apa yang menjadi kehilangan bagi Anda, itulah yang Anda peroleh.

Itulah yang dikatakan oleh Yesus di Matius 16, dan juga di dalam perikop-perikop yang sejajar. Bisakah Anda memahami misterinya? Karena Allah akan mengembalikannya kepada Anda.

Mirip dengan Abraham ketika Allah berkata, “Persembahkanlah anakmu.” Dia menghunus pisaunya untuk ‘menyembelih’ anaknya. Bukankah dia sedang membenci anaknya lewat tindakan? Dia akan membunuhnya! Dan Allah mengembalikan anaknya kepadanya. Allah telah memberi tanda, Anda akan mendapatkan apa yang hilang itu kembali. Apa yang Anda pertahankan, maka Anda akan kehilangan itu. Jika Anda menolak untuk mempersembahkan anaknya, maka dia tidak akan memiliki anak untuk dipersembahkan. Sadarkah Anda akan hal itu?

Apa yang tidak dia persembahkan akan menjadi kehilangan baginya. Allah akan mengambil anaknya itu darinya. Namun dengan mempersembahkan anak tunggalnya, dia taat. Pasti Abraham berpikir pada waktu itu, “Bagaimana janji Allah bisa digenapi, padahal semua janji dari Allah terkandung di dalam diri anak ini?” 

Bagaimana janji Allah bisa digenapi? Kitab Suci berkata bahwa dia percaya bahwa Allah akan membangkitkan anaknya dari kematian jika perlu, untuk menggenapi janji tersebut. Oleh karena itu, dia segera menghunus pisaunya. Tak ada orang yang bisa memahami perasaan macam apa yang muncul di hati Abraham. Anda lihat, ada kasih yang terwujud justru di dalam tindakan ‘mencampakkan’ (forsake) ini. Itulah kasih yang rohani. Anda harus campakkan kasih yang duniawi untuk bisa memperoleh kasih yang rohani. Itulah uraian yang paling sederhana. Anda harus campakkan kasih yang egois untuk bisa mengasihi seperti Allah mengasihi.


Bagaimana kita membenci nyawa kita sendiri?

Dari situ, ada syarat lanjutan yang disampaikan di perikop ini, “Jika dia tidak membenci nyawanya sendiri.” Mengapa harus demikian? Karena jika semua kasih itu hanya untuk diri kita sendiri dan tidak mengalirkannya maka kita akan menghentikan aliran kasih Allah. Kita harus membenci nyawa sendiri dan berkata, “Berakhir sudah kehidupanku! Pekerjaanku, masa depanku, dan semua yang berkaitan dengan si aku. Semuanya telah berlalu.”

Mereka membenci nyawa mereka bahkan sampai mati, itulah uraian tentang murid di dalam kitab Wahyu. Mereka tidak mengasihi nyawa mereka bahkan sampai mati. Dan itulah sebabnya mengapa mereka memperoleh hidup yang kekal. Itulah yang disebutkan di dalam kitab Wahyu. Mereka menerima mahkota kehidupan karena tidak mengasihi nyawa mereka.

Jika mereka mengasihi nyawa mereka, maka mereka tidak akan memperoleh mahkota itu. Dengan mempertahankannya, maka mereka akan kehilangan nyawa itu. Dengan kehilangan nyawa, maka mereka mendapatkannya. Di sinilah letak keindahannya. Saya harap Anda bisa mulai memahami kedalaman dan nilai dari kebenaran ini.

Saya hanya berharap kiranya Allah memampukan Anda untuk memahami apa yang dikatakan oleh Yesus di sini. Jika Anda tidak melakukan hal-hal tersebut, jika Anda tidak menyingkirkan segala penghalang dari dalam hidup Anda, menyingkirkan kasih serakah yang mencengkeram Anda, yang membatasi serta mengurung aliran kuasa dan kasih Allah, maka Anda tidak dapat menjadi murid.

Anda harus belajar mengasihi dengan kasih Allah. Anda harus belajar untuk mengasihi ayah dan ibu Anda dengan kasih Allah, tidak lagi dengan kasih manusiawi Anda yang justru akan membinasakan mereka, yang akan mengurung mereka, yang akan membungkus mereka. Anda harus belajar mengasihi mereka dengan kasih Allah yang memancar keluar dan memberi perubahan.

Dan suatu hari nanti Anda akan melihat apa yang dikerjakan oleh kasih ini di dalam hidup mereka. Saya telah melihat apa yang Allah kerjakan di dalam hidup ibu saya ketika saya menolak kasih manusia dan bertekad untuk mengasihi orang tua saya dengan kasih Allah, yang juga membongkar segala pembatas. Kasih itu tidak berhenti pada diri mereka saja. Kasih itu bergerak jauh melampaui mereka, tetapi juga melingkupi mereka di dalamnya.

Kiranya Allah memberi kita pemahaman ini karena jika Anda tidak memahami pengajaran Tuhan, jika Anda tidak memberikan diri Anda untuk mengasihi di dalam kasih Allah, jika Anda tidak menjadi saluran kasih Allah, demikianlah yang Yesus sampaikan, jika Anda tidak melakukan itu semua, jika Anda tidak menyangkal diri Anda, maka Anda tidak dapat menjadi murid. Bukan karena Allah tidak mau menerima Anda, melainkan karena Anda tidak akan bisa bertahan, karena Anda tidak akan bisa menjadi saluran kasih Allah. Anda tidak akan bisa menggenapi rencana ilahi di dalam hidup Anda. Anda akan mendirikan bangunan tetapi bangunan itu nantinya akan runtuh. Anda tidak akan bisa menyelesaikannya. Anda akan maju berperang dan akhirnya menyerah, seperti kebanyakan orang Kristen yang sudah menyerah.


Kasih karunia Allah adalah anugerah gratis berupa kuasa atau kekuatan

Satu pokok terakhir dan setelahnya kita akan akhiri. Ada begitu banyak kekayaan makna di dalam perikop ini yang tidak bisa kita bahas sekarang karena saya hanya memusatkan perhatian pada prinsip pokok yang terdapat di sini: kontras antara kasih manusia dengan kasih Allah.

Kasih manusia bukanlah pelengkap atau tambahan bagi kasih Allah. Kasih manusia itu bertentangan dengan kasih Allah. Keduanya bertentangan. Di dalam menjalankan kasih Allah, ingatlah, kita akan melawan kodrat manusiawi kita. Dan jika Anda bertanya, di mana letak anugerahnya? Letak anugerah itu tepat ada di sana. Kita tidak akan bisa mengerjakan semua itu, tanpa anugerah Allah yang memberi perubahan itu. Itulah pengajaran tentang anugerah menurut Yesus.

Anugerah bukanlah hadiah gratis yang bisa Anda simpan di dalam kantong, lalu boleh Anda perlakukan sesuka hati Anda. Bukan itu! Anugerah atau kasih karunia menurut Alkitab, menurut Perjanjian Baru, adalah hadiah gratis dari Allah dalam bentuk kuasa untuk mengerjakan apa yang tidak mungkin Anda kerjakan dengan kekuatan Anda sendiri.

Saya tidak bisa membenci ayah dan ibu saya. Saya tidak bisa! Saya hanya tahu bagaimana mengasihi ayah dan ibu saya menurut kasih manusia yang egois ini. Saya hanya tahu bagaimana mengasihi anak-anak saya dengan cara ini. Saya hanya tahu cara mengasihi yang seperti ini. Lalu bagaimana supaya saya bisa mengasihi dengan kasih Allah yang ilahi, yang memancar keluar, melimpah dan tidak terbatasi ini? Saya tidak bisa mengerjakannya.

Di titik inilah anugerah turun. Di titik inilah anugerah masuk, menjadikan semua itu mungkin. Kuasa Allah, Roh Kudus dari Allah, yang merupakan hadiah kasih karunia-Nya, Roh itu masuk ke dalam hidup kita dan memampukan kita untuk mengerjakannya, mengerjakan apa yang tidak mungkin bisa kita kerjakan. Itulah kasih karunia yang menebus dan mengubah, yang menebus kita dari belenggu si Aku, dari belenggu dosa. Itulah kasih karunia atau anugerah! Itulah anguerah yang mulia!

Kasih karunia dari Allah masuk, mematahkan rantai belenggu kegoisan dan menyingkirkan kuasa dosa dan di waktu yang bersamaan memampukan kita untuk mengerjakan apa yang tidak pernah mampu kita kerjakan. Seperti yang dikatakan oleh Paulus di Filipi 4:13, “Segala perkara dapat kutanggung.” Bagaimana caranya? “Di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” Kasih karunia dari Allah cukup untuk memampukan saya mengerjakan hal itu.

Injil itu adalah hal yang supernatural atau ia bukan apa-apa sama sekali. Injil itu supernatural karena Injil adalah kuasa Allah yang penuh kekuatan dan anugerah yang bekerja melalui hidup kita. Itulah keajaiban anugerah! Di sanalah letak kasih karunia!

Orang-orang menatap Anda dan berkata, “Sekarang saya bisa melihat seperti apa orang Kristen itu. Saya tahu bahwa sisi manusiawinya tidak akan bisa mengerjakan semua itu, sekarang saya bisa melihat perwujudan kuasa Allah di dalam hidupnya. Dia bisa mengasihi dengan cara ini. Dia bisa mengerjakan hal itu dengan kuasa Allah.”

Di sana ada kasih karunia! Kasih karunia demi kasih karunia! Allah akan menyediakannya bagi Anda sebanyak yang Anda butuhkan. Anda memerlukan tambahan? Anda akan mendapatkannya. Anda perlu tambahan lagi? Anda mendapatkannya lagi. Yang menjadi bidang tanggung jawab Anda adalah tidak membiarkan hambatan keegoisan itu melumpuhkan karya kasih karunia-Nya. Selanjutnya Anda akan menjadi saluran kasih karunia-Nya.

Anda tidak sekadar menerima kasih karunia itu, kasih karunia akan memancar dari diri Anda, mengalir dari dalam hidup Anda, seperti terang, seperti garam, mengubah segala sesuatu yang bersentuhan dengannya.

Saya berdoa kiranya Allah memberi Anda pemahaman akan perkara-perkara ajaib dari kasih karunia yang memberi penebusan, keselamatan dan perubahan itu. Ada sangat banyak kekayaan makna di dalam perikop ini namun kita harus mengakhiri pembahasan ini. Namun prinsip yang terpenting, saya harap, telah jelas di dalam benak Anda. Dan jika tidak, saya harap Anda terus renungkan hal ini sampai terang terbit di dalam hati Anda dan memenuhi segenap diri Anda.

 

Berikan Komentar Anda: