Pastor Eric Chang | Matius 17:14-21 | Markus 9:14-29 | Lukas 9:37-43 |

Kita melanjutkan studi sistematis kita atas pengajaran Yesus. Kami sedang menguraikan secara sistematis tentang pengajaran Yesus.  Sungguh mengherankan bahwa di tengah angkatan ini, ada begitu banyak orang yang disebut Kristen dan mengikut Kristus, namun tidak begitu mengenali apa yang Yesus ajarkan.

Selama lebih dari empat tahun, kami telah mempelajari secara sistematis ajaran Yesus dan sampai dengan hari ini, kita tiba di Matius pasal 17. Kita telah melihat betapa dalamnya kekayaan makna dari Firman Allah. Dan kita tidak mungkin akan selesai menggali kekayaan makna yang terkandung di dalam Firman-Nya.

Kita akan melihat Matius 17:14-21. Ini adalah kejadian yang langsung terjadi setelah peristiwa transfigurasi (transfiguration) Yesus di hadapan murid-muridnya. Ayat-ayat ini adalah catatan peristiwa ketika Yesus telah turun dari gunung tempat terjadinya transfigurasi, salah satu gunung di utara yang merupakan bagian dari pegunungan Hermon, gunung tersebut hanya disebut sebagai ‘gunung yang tinggi’, yang berarti puncak tertinggi di daerah pegunungan Hermon. Ayat 14-21 berbunyi sebagai berikut:

Ketika Yesus dan murid-murid-Nya kembali kepada orang banyak itu, datanglah seorang mendapatkan Yesus dan menyembah, katanya: “Tuhan, kasihanilah anakku. Ia sakit ayan dan sangat menderita. Ia sering jatuh ke dalam api dan juga sering ke dalam air. Aku sudah membawanya kepada murid-murid-Mu, tetapi mereka tidak dapat menyembuhkannya.” Maka kata Yesus: “Hai kamu angkatan yang tidak percaya dan yang sesat, berapa lama lagi Aku harus tinggal di antara kamu?  Berapa lama lagi Aku harus sabar terhadap kamu? Bawalah anak itu ke mari!” Dengan keras Yesus menegur dia, lalu keluarlah setan itu dari padanya dan anak itupun sembuh seketika itu juga. Kemudian murid-murid Yesus datang dan ketika mereka sendirian dengan Dia, bertanyalah mereka: “Mengapa kami tidak dapat mengusir setan itu?”  Ia berkata kepada mereka: “Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.

Perikop-perikop yang sejajar adalah di Markus 9:14-29, yang sebenarnya berisi perincian yang lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat di Matius dan yang di Lukas 9:37-43. Kita akan sejenak melihat perikop yang ada di Lukas nanti.

Untuk sekarang ini, kita hanya akan mengulas ayat terakhir dari perikop yang ada di dalam Lukas, yakni Lukas 9:43 yang berkaitan dengan eksposisi kita pada hari ini. Ayat yang di Lukas ini sangat mirip dengan ayat di Matius. Kita akan membaca dari ayat 42:

Dan ketika anak itu mendekati Yesus, setan itu membantingkannya ke tanah dan menggoncang-goncangnya. Tetapi Yesus menegur roh jahat itu dengan keras dan menyembuhkan anak itu, lalu mengembalikannya kepada ayahnya. Maka takjublah semua orang itu karena kebesaran Allah.


Memikul salib
dan kehilangan segalanya untuk mengikut Yesus

Apa hubungan antara perikop ini dengan konteksnya? Kita telah membahas secara terperinci di Matius 16:24 dan seterusnya, di mana Yesus berkata bahwa, “Barangsiapa mau mengikut aku, dia harus menyangkal dirinya dan memikul salibnya dan mengikut aku.” Pemberitaan Yesus tentang salib di sini menunjukkan suatu unsur mendasar yang bersifat mutlak, siapapun dari generasi ini yang ingin mengikut dia, maka orang itu harus bersiap untuk kehilangan segala-galanya, termasuk nyawanya sendiri, di dalam proses mengikut dia.

Kita juga sudah membahas ayat terakhir dari perikop tersebut, “Sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Anak Manusia datang sebagai Raja dalam Kerajaan-Nya.” Dan kita telah lihat bahwa perkataan tersebut diterapkan pada janji tentang hidup kekal, janji hidup kekal kepada mereka yang memikul salib dan mengikut Yesus.

Dengan demikian, Anda bisa melihat bahwa jalan menuju hidup kekal itu terletak di jalur Via Dolorosa, jalan salib, jalan penderitaan. Anda tidak akan sampai kepada hidup kecuali melewati gerbang yang sempit sebagaimana yang Yesus katakan, “Masuklah melalui gerbang yang sempit itu karena jalan yang menuju hidup itu adalah melalui jalan dan juga gerbang yang sempit.”

Jangan sampai ada orang yang memberitahu Anda hal yang sebaliknya bahwa masuk ke dalam hidup itu mudah karena yang itu bukanlah apa yang dikatakan oleh Yesus. Sangatlah mudah untuk membuat suatu pengakuan percaya. Sekarang ini sangatlah mudah untuk menyatakan bahwa seseorang telah diselamatkan. Dan para penginjil bahkan berjuang untuk membuat hal itu menjadi lebih gampang daripada yang sanggup kita bayangkan dengan menawarkan berbagai macam pil berlapis gula untuk kita telan.

Akan tetapi Yesus menyampaikan firman dengan kebenaran yang tak kenal kompromi. Anda tak akan bisa mencapai hidup yang kekal kecuali melalui gerbang dan jalan yang sempit itu. Setiap orang yang memberitahukan hal yang berbeda tidak sedang menyampaikan kebenaran. Motivasinya mungkin sekadar mengejar lebih banyak orang untuk pindah agama ataupun membuat lebih banyak orang mengacungkan tangan dalam KKR. Namun tugas kita adalah memberitakan Firman Allah seperti yang telah disampaikan oleh Yesus sendiri. Kita tidak boleh mengencerkannya demi memenuhi selera setiap orang. Ini bukan tugas kita. Saya tidak punya hak untuk melapisi pengajaran Yesus dengan gula, dan memperhalusnya agar lebih mudah untuk ditelan dan dicerna. Jalannya itu sukar. Sangat layak untuk ditempuh tetapi sukar.

Yesus di Lukas 14 memberitahu para pendengar untuk menghitung ongkos dari pemuridan. Janganlah buru-buru mengangkat tangan dan berkata, “Aku percaya. Aku datang. Aku akan membuat keputusan.”

Jangan biarkan ada penginjil yang menekan Anda untuk mengacungkan tangan melalui berbagai rekayasa. Yesus berkata, “Pikirkan dulu ongkosnya. Kalau menurutmu, kamu tidak bisa memenuhi ongkosnya, kalau menurutmu kamu bisa memulai pembangunan gedung itu namun tidak bisa menyelesaikannya, kalau kamu pikir bahwa kamu akan maju berperang namun tidak bisa memenangkannya, lebih baik lupakan saja. Menyerah saja kepada dunia. Tinggalkan saja proyek ini.”

Kejujuran Yesus sangat menyentuh hati saya. Saya gemas kepada mereka yang, apapun motivasinya, mencoba mendorong perpindahan agama dengan menggunakan taktik-taktik yang menekan, dengan cara-cara ‘sales’ dan juga cara-cara lain yang jauh dari kejujuran. Kita harus jujur di dalam menyajikan persoalan yang menyangkut hidup dan mati, khususnya kehidupan dan kematian yang kekal.

Setelah memahami semua ini, kita melanjutkan untuk melihat bahwa Yesus sendiri yang pertama melangkah ke dalam jalan salib. Di Matius 16 dan seterusnya, Yesus menyatakan kepada para murid bahwa dia akan mati. Hal ini tentunya merupakan suatu kejutan bagi mereka. Saat mereka mendengarkan hal ini, ucapan itu seperti petir di telinga mereka. “Yesus akan mati? Kami kira dia akan membangun Kerajaan.”

Hal yang tidak mereka ketahui adalah bahwa dia justru membangun Kerajaan itu melalui kematian-nya. Selanjutnya di Matius 17, Yesus sendiri mulai melangkah ke jalan salib setelah dia memberitahu para muridnya bahwa dia akan mati, maka mereka juga harus memikul salib dan mengikut dia. Jika mereka tidak melakukannya, maka mereka tidak akan sampai ke tempat dimana dia pergi.


Kekristenan bukanlah sebuah agama

Lalu bagaimana Anda bisa menjadi seorang murid jika Yesus melangkah ke arah ini tetapi Anda melangkah ke arah lain? Itu bukanlah pemuridan. Pemuridan berarti mengikuti teladan seseorang. Jika dia melangkah ke arah salib, maka Anda juga melangkah ke arah salib. Itu sebabnya Yesus berkata, “Pikullah salibmu dan ikutlah aku, kalau tidak maka kamu tidak akan sampai. Kamu tidak akan menjadi murid-ku, bukan karena aku tidak menginginkanmu melainkan karena kamu tidak akan tahan menghadapi tekanan, menghadapi berbagai kesukaran yang akan dihadapi oleh seorang Kristen sejati,”  – penekanan di sini adalah ‘seorang Kristen sejati.”

Di bagian lain, saya sempat menyinggung tentang hal kekristenan yang tak lebih dari sekadar candu bagi banyak orang. Kekristenan yang hanya menina-bobokan Anda dan memberi Anda obat bius memang layak disebut sebagai candu. Kekristenan yang semacam itu bukanlah kekristenan yang diberitakan oleh Yesus dan juga bukan kekristenan yang saya beritakan. Saya tidak mau menjadi penjual candu jenis apapun, entah itu candu rohani ataupun candu jenis lainnya. Sebutan ‘candu rohani’ tidak membuatnya menjadi layak untuk diterima.

Ada jenis orang Kristen yang hanya ingin kekristenan yang tanggung, kekristenan tanggung yang sekadar membuat mereka merasa senang, namun di luar itu mereka berperilaku sama egois, mementingkan diri sendiri, dan sombong seperti orang non-Kristen, dan saya bahkan berani katakan bahwa mereka lebih buruk daripada orang non-Kristen.

Jika ini hasil dari candu agama, lebih baik kita lupakan saja perkara candu ini. Lupakan saja agama. Kita tidak memerlukan hal semacam ini di dunia. Sudah ada banyak racun di dunia ini tanpa perlu menambahkan lagi racun lain ke dalamnya. Saya berbicara apa adanya seperti yang Tuhan inginkan agar kita mengerti bahwa kekristenan bukanlah candu yang hanya akan membuat Anda merasa enak setiap kali Anda memerlukan suntikan bius.


Seorang Kristen adalah seorang prajurit yang
terlibat dalam perang

Kekristenan adalah panggilan masuk ke peperangan. Kita disuruh masuk ke dalam peperangan. Di dalam peperangan itu kita menderita luka-luka dan mungkin saja jadi korban, Anda bisa saja kehilangan orang yang Anda kasihi atau kehilangan nyawa Anda di dalam proses ini.

Seperti yang tertulis di 2 Timotius 2:4,

“Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya”.

Ini berarti, seorang prajurit tidak repot-repot membeli rumah, mengejar kenyamanan bagi diri. Seorang prajurit tidak mengejar hal-hal semacam itu. Mereka tidak punya waktu untuk itu. Ketika panggilan datang, mereka segera menyandang senjata mereka dan berangkat berperang. Mereka bisa saja tidak pernah pulang lagi.

Itulah jenis panggilan yang disampaikan oleh  Paulus kepada Timotius. “Jadilah prajurit Yesus Kristus yang baik.” Ini bukanlah candu bagi mereka yang sekadar mengejar kesenangan, yang hanya mengejar bius rohani. Kekristenan jenis yang ini tidak akan menyenangkan bagi kebanyakan orang. Kekristenan yang ini tidak bisa menjadi candu. Ini adalah panggilan untuk berperang demi kebajikan dan kebenaran. Ini adalah panggilan untuk berjuang demi pembebasan umat manusia dari hal-hal seperti keserakahan dan keegoisan.

Ini bukan alat untuk membuat kita merasa enak, [merasa] bahwa kita ini adalah orang-orang pilihan. Kita tidak bergaul dengan para pendosa yang parah di luar sana. Kita adalah kelas tersendiri, kelas yang terpilih. Mungkin Allah akan berbelas kasihan kepada mereka yang di luar sana tetapi bagi saya, adalah ‘umat pilihan Allah’. Kesombongan semacam ini tidak bisa ditoleransi di mata Allah.


Yesus
terlebih dahulu melangkah menuju jalan salib

Demikianlah, Yesus, seperti yang kita lihat di Matius 17:1, bergerak menuju salib. Anda bisa lihat bahwa hal ini dinyatakan dengan tegas di Lukas 9:31, di mana kita mendapatkan bahwa Musa dan Elia sedang berbicara dengan Yesus mengenai tujuan kepergian-nya (exodus), mengenai kematian-nya. Yang tertulis di naskah sumbernya adalah ‘exodus (kepergian)’. Kata tersebut, di dalam bahsa Yunaninya, tertulis sebagai exodus, yang di dalam bahasa Inggris juga memakai kata yang sama (exodus), kepergian-nya, kematiannya.

Karena kala itu Yesus sudah mengungkapkan kepada murid-murid-nya bahwa dia akan mati, Yesus lalu dimuliakan oleh Allah. Pokok ini erat kaitannya dengan eksegesis kita hari ini.

Bapa memuliakan Yesus di dalam peristiwa Transfigurasi. Sangatlah penting bagi kita untuk memahami bahwa yang dipakai adalah ungkapan pasif, itulah bentuk yang tertulis di dalam naskah sumbernya, yakni bahwa “Yesus dimuliakan”. Terjemahan bahasa Inggris juga memakai ungkapan bentuk pasif, “was transfigured (berubah rupa)”. Kata sandang ‘was‘ di sana tidak sekadar menyatakan bentuk lampau (past tense), kata tersebut [di dalam ayat ini] juga menyatakan bentuk pasif [dari kata kerja sesudahnya] yang di dalam terjemahan modern tidak begitu tampak. Maksud dari penggunaan bentuk pasif ini adalah untuk menunjukkan bahwa Allah memuliakan Yesus. Yesus tidak memuliakan diri-nya sendiri di atas gunung itu. Dia tidak serta merta memutuskan untuk menunjukkan kemuliaan-nya untuk membuat murid-murid-nya terpesona, atau untuk tujuan apapun itu. Bukan itu.

Pokok yang perlu diingat di dalam peristiwa transfigurasi di dalam Matius 17, dan perikop-perikop yang paralel, adalah bahwa Allah memuliakan Yesus di saat Yesus sedang berdoa. Perhatikan bahwa Yesus sedang berdoa dan Allah memuliakannya. Allah menyelimuti Yesus dengan kemuliaan-Nya. Allah membuat kemuliaan-Nya turun kepada Yesus dalam wujud yang membuat kemuliaan itu terpancar dari Yesus.


Allah memuliakan Yesus dengan mentransfigurasi
nya

Malahan, seperti yang kita lihat di Yohanes 12:28, di mana suara Allah terdengar berkata, “Aku telah memuliakan-Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi!” Aku telah memuliakan-nya – di mana? Di atas gunung itu. Peristiwa di sana adalah contoh khusus di mana Allah memuliakan Yesus. Dia memuliakan Yesus dengan cara mentransfigurasi Yesus sehingga Yesus diselimuti oleh kemuliaan kekal ilahi. Yesus tidak memuliakan dirinya sendiri.

Ingat di dalam Filipi 2, Yesus merendahkan diri-nya. Dan pada waktu berada di atas gunung itu, Yesus tidak merebut kemuliaan itu, walau hanya untuk sesaat untuk diperlihatkan kepada para murid-nya. Bukan begitu. Hal ini akan sangat bertentangan dengan Filipi pasal 2. Tidak, yang terjadi di atas gunung ini adalah bahwa Bapa memuliakan Yesus.

Siapakah orang-orang yang dimuliakan oleh Bapa? Mereka adalah orang-orang yang tidak mengejar kemuliaannya sendiri. Yesus tidak minta untuk dimuliakan. Dan ketika orang banyak ingin menjadikan dia raja, Yesus menolaknya. “Ambil pergi semuanya ini. Aku datang bukan untuk hal ini.” Akan tetapi Bapa memuliakan Yesus dan dia ditransfigurasi di hadapan murid-murid-nya dengan kemuliaan yang kekal.


Tujuan hidup Yesus adalah untuk mati sebagai korban persembahan bagi dosa-dosa kita

Poin yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara hal dipermuliakan oleh Allah ini dengan cara Yesus mati di kayu salib. Pada waktu Yesus mempersiapkan diri untuk mati, saat dia mempersiapkan diri dengan berdoa, hal apakah yang sedang dia doakan itu?

Berkali-kali, tema pokok dari pemikiran dan doa Yesus adalah hal pengorbanannya, kematiannya di kayu salib yang semakin mendekat. Inilah tujuan yang telah ditetapkan bagi segenap hidupnya. Dia mengarahkan wajahnya kepada tujuan untuk mati di Yerusalem, menjadi korban bagi dosa-dosa kita. Dan ketika Yesus sedang berdoa, ketika pikirannya ditujukan pada kematiannya, di sana muncul Elia dan juga Musa yang datang untuk membicarakan pokok yang satu ini, kematiannya, tujuan kepergiannya itu. Hal ini bisa kita lihat di Lukas 9:31. Sungguh indah sekali.

Kita harus memahami satu hal dengan jelas sebagai seorang Kristen, dan hal ini justru tidak dipahami dengan jelas oleh orang Kristen zaman sekarang, bahwa jalan menuju kemuliaan, jalan menuju kuasa adalah jalan salib. Yesus bukan sekadar korban persembahan bagi kita, dia juga juga adalah teladan kita. Dia telah meletakkan teladannya di hadapan kita. Kita dipanggil untuk mengikut dia, untuk memikul salib kita dan mengikut karena inilah jalan menuju kemuliaan, jalan menuju kuasa.

Jika kita sudah tangkap akan hal ini, berarti kita sudah siap untuk membahas perikop yang  di Matius 17:14-21. Secara khusus, pusatkan  perhatian pada firman di ayat 17 di mana Yesus berkata kepada orang banyak termasuk murid-muridnya. Perhatikan bahwa yang berbicara adalah si bapa tetapi Yesus membalas dengan berbicara kepada orang-orang yang hadir, dan itu termasuk murid-muridnya. “Hai kamu angkatan yang tidak percaya dan yang sesat!” Ini tampaknya merupakan ucapan yang keras. Mengapa perkataan ini ditujukan sekaligus kepada murid-muridnya? Si bapa itu sebelumnya berkata, “Aku sudah membawanya kepada murid-muridmu, tetapi mereka tidak dapat menyembuhkannya. Mereka tidak berkuasa. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa tentang anakku.”

Ayat itu tertuju kepada kita. Benar-benar terarah kepada kita. Kita ini adalah generasi Kristen yang tanpa kuasa. Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Orang Kristen rata-rata tidak bisa mengerjakan apa-apa. Kita tidak bisa mengerjakan apa-apa tanpa kuasa. Kita sedang hidup di tengah generasi yang menempatkan pengetahuan di tempat tertinggi di mana kita mengira bahwa pengetahuan adalah kunci dari segala sesuatunya. Namun menurut Kitab Suci, kuncinya bukan pada pengetahuan melainkan pada kuasa. Ketika Paulus berkata kepada jemaat Korintus yang angkuh, “Saat aku datang nanti kepadamu, aku tidak akan memperhatikan omonganmu, namun aku ingin melihat kuasa apa yang kau miliki.”

Pokok yang menjadi penentu kehidupan rohani adalah kuasa. Itu hal yang sangat mendasar.


Untuk memerangi kuasa (setan) Anda membutuhkan kuasa

Bukan berarti bahwa pengetahuan itu tidak penting, jangan salah sangka. Pengetahuan tentu saja penting, akan tetapi pengetahuan saja tidaklah cukup jika bertemu dengan hal-hal yang berkenaan dengan kuasa karena di dalam kehidupan rohani, seperti kata Paulus, “Kita tidak sedang melawan darah dan daging melainkan melawan kuasa-kuasa, roh-roh jahat di udara.” Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda akan dapat menghentikan mereka dari melakukan apa yang mereka ingin lakukan dengan berdasarkan pengetahuan Anda yang berlimpah? Apakah Anda akan berkata kepada setan, “Duduklah. Aku akan berdebat denganmu. Aku memiliki gelar S3 di bidang teologi. Aku akan tunjukkan kepadamu. Kalau kamu kalah berdebat denganku, kamu menyerah, bagaimana?”

Saya beritahu Anda sesuatu. Setan akan jauh lebih pintar dari Anda dalam perdebatan! Dia tahu isi Alkitab melebihi pengetahuan Anda dan dia memahami teologi jauh melampaui pemahaman professor teologi manapun. Atau, jika semua professor teologi dikumpulkan, itu juga tidak akan memenangkan perdebatan melawan Setan. Dia bahkan tidak takut mengutip ayat Kitab Suci terhadap Yesus pada saat pencobaan, dan dia berkata, “Kau tahu, ada tertulis tentang itu.” Dia memberitahu Yesus tentang apa yang tertulis di dalam Alkitab! Sebegitu tinggi rasa percaya dirinya akan penguasaan isi Alkitab. Dan dia memang tidak keliru mengutip, bertentangan dengan apa yang diuraikan oleh sebagian penafsir. Kutipannya, jika Anda periksa, sangatlah akurat. Dia tahu isi Alkitab dengan sangat baik dan dia tidak akan membiarkan Yesus balik berkata, “Maaf, salah kutip. Baca sekali lagi. Bukan begitu isinya.” Dia tidak akan membiarkan dirinya dijatuhkan dengan dengan cara itu. Tidak akan.

Jangan mengira bahwa Anda akan bisa memenangkan peperangan rohani dengan pengetahuan. Jangan mengira bahwa Anda bisa menunjukkan ijazah teologi Anda dan berkata, “Lihat ini, lihat dari universitas mana aku berasal.” Hal itu tidak akan membuat setan terkesan sama sekali. Untuk berhadapan dengan kuasa maka Anda perlu memiliki kuasa.

Menurut Anda, apa yang bisa diperbuat oleh para murid terhadap roh jahat yang merasuki anak itu? “Tidak, tidak, kamu harus berakal budi. Bukan begini caranya memperlakukan anak kecil yang tidak berdaya. Bukan begitu caranya. Kamu harus tunjukkan kelakuan yang baik dan lebih terhormat dari ini.” Dan mungkin setan itu akan berkata, “Maaf. Aku pergi sekarang. Aku akan mencari korban lain yang lebih layak untuk aku kerjai.” Apa-apaan ini? Menggelikan! Dengan cara saya menguraikannya seperti ini, maka Anda bisa segera melihat apa yang saya maksudkan ketika saya berkata bahwa Anda tidak bisa memenangkan peperangan rohani dengan pengetahuan. Anda tidak memenangkannya dengan cara itu. Anda harus memiliki kuasa, kuasa untuk menangani musuh, kuasa untuk menggumuli dunia, dosa, setan, daging. Dengan cara apa Anda akan menghadapi hal-hal itu?

Sebagian orang yang menjalani kehidupan Kristen yang tanpa kuasa justru adalah teman-teman kita yang berasal dari seminari dan sekolah Alkitab. Saya sendiri adalah bagian dari lembaga-lembaga itu. Saya menemukan bahwa pengetahuan tidak memberi saya kemenangan dalam bentuk apapun. Saya tahu faktanya akan tetapi saya tidak bisa memenangi pertempuran karena hal yang memenangkan peperangan adalah kuasa.


Mengapa kita tidak memiliki kuasa?

Dengan demikian, kita perlu menanyakan hal yang penting ini, mengapa kita sampai tidak memiliki kuasa? “Kita tidak bisa memenangi pertempuran. Kita tidak bisa menang.” Para murid yang telah berjalan bersama Yesus, yang sampai pada titik tertentu mereka menerima sebagian kuasa – misalnya ketika Yesus mengutus mereka di Matius 10, untuk mengusir setan dan sebagainya -namun ketika mereka terbentur pada kasus ini, mereka gagal. Anda bisa melihat gambaran yang menyedihkan ini. Si bapa ini membawa anaknya yang kerasukan setan kepada para murid dan para murid itu lalu berkata, “Keluar! Keluar! Keluar!” Dan setan itu menjawab, “Oh ya? Coba sekali lagi.” Dan para murid itu berkata, “Di dalam nama Yesus, kuperintahkan kamu untuk keluar!” Tak ada hasilnya.

Si bapa memperhatikan kejadian itu. Si anak masih kerasukan. Setan itu masih di dalam sana. Orang banyak masih di sana. Tak ada hasil. Demikianlah, setelah berulang-ulang diusahakan, Anda bisa membayangkan gambaran keadaannya (tidak sulit bagi kita untuk membayangkan keadaan saat itu), akhirnya si bapa menyerah. Kemudian, mereka melihat Yesus turun dari gunung: “Itu dia! (Yesus naik ke atas gunung bersama tiga orang muridnya). Sekarang ada harapan! Itu Yesus! Nah, kalian sebaiknya berhenti saja, karena kalian tidak bisa berbuat apa-apa, lebih baik kami menemui gurunya saja.” Nah, bagi si bapa, sungguh melegakan melihat Yesus karena setelah menyaksikan upaya murid-muridnya yang sia-sia itu, saya rasa hatinya sudah mulai menjadi berat.

Kadang kala, jika kita melihat keadaan di dunia sekarang ini, di mana kejahatan bergerak maju di semua bidang, dan Gereja terlihat tidak berdaya, saya menjadi heran. Mereka mencoba untuk mengusir setan, mencoba untuk memerangi, namun setan tersenyum ke arah Anda. Di sana, setan tersenyum kepada murid-murid dan para murid ini tidak bisa berbuat apa-apa. “Mengapa kami tidak mampu mengusirnya? Mengapa kami tidak mampu?” demikian tanya para murid kepada Yesus. Mereka saat itu bukan asal berupaya. Saya yakin bahwa mereka telah berusaha keras, mengusahakan yang terbaik. Mereka berusaha sangat keras, namun tak ada hasilnya.


Para murid kekurangan iman

Yesus lalu masuk ke dalam adegan tersebut, dan saya terkejut mendengar perkataannya: “Hai kamu angkatan yang tidak percaya dan yang sesat!” Apa yang disampaikan oleh firman itu kepada kita? Jelaslah, ada satu hal yang segera nampak dari firman ini. Yesus mengharapkan agar para muridnya bisa menangani perkara ini, bukankah begitu? Tak ada gunanya menegur orang banyak karena orang banyak itu tidak diharapkan untuk bisa mengatasi hal ini. Dia menginginkan agar para muridnya bisa mengatasi hal ini, akan tetapi ternyata mereka tidak bisa.

Tak ada hal yang lebih menyedihkan, saya yakin itu yang terasa di dalam hati Yesus, bahwa setelah mengajar murid-muridnya sekian lama dan ketika mereka sudah menjelang masa akhir pelatihan mereka, ketika dia akan menuju ke salib, ternyata mereka masih tidak bisa berbuat apa-apa. “Hai kamu angkatan yang tidak percaya dan yang sesat!”

Yesus menyamakan murid-murid itu dengan orang banyak yang tidak beriman terlihat dari jawaban – “Karena kamu kurang percaya.” Anda tentu ingat bahwa sebelumnya mereka bertanya, “Mengapa kami tidak bisa mengusirnya keluar?” Karena kamu kurang percaya! Itu sebabnya, selama imanmu masih kurang, berarti kamu masih sama dengan angkatan yang tidak percaya, yang kekurangan iman ini.”

Perlu juga diperhatikan bahwa perkataan itu dulu ditujukan kepada bangsa Israel di dalam kitab Ulangan. Di Ulangan 32:5 dan 20, kita menemukan bahwa orang Israel disebut sebagai angkatan yang sesat dan tidak percaya. Perkataan itu ditujukan kepada umat Israel di dalam Nyanyian Musa di kitab Ulangan. Dia berkata kepada mereka, di dalam kitab Ulangan, bahwa karena mereka adalah angkatan yang sesat dan tidak percaya, sekalipun mereka telah melihat pekerjaan-pekerjaan Allah, mereka tetap saja tidak percaya, Allah sangat kecewa pada mereka.

Di Ulangan 32:4 di dikatakan:

Gunung Batu, yang pekerjaan-Nya sempurna, karena segala jalan-Nya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia. Berlaku busuk terhadap Dia, mereka yang bukan lagi anak-anak-Nya, yang merupakan noda, suatu angkatan yang bengkok dan belat-belit.

Perhatikan :’setia, dengan tiada kecurangan’, bertentangan sepenuhnya dengan ‘tidak percaya dan sesat’. Dan ayat 20:

Ia berfirman: Aku hendak menyembunyikan wajah-Ku terhadap mereka, dan melihat bagaimana kesudahan mereka, sebab mereka itu suatu angkatan yang bengkok, anak-anak yang tidak mempunyai kesetiaan.

‘Tidak mempunyai kesetiaan (kurang percaya/no faithfulness) dan bengkok (sesat/perverse),’ itu dia. Mereka adalah ‘umat Israel’, umat yang merupakan anak-anak-Nya.

Perhatikan bahwa di Ulangan 32:5 disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak-Nya. Akan tetapi mereka tidak lagi menjadi anak-anak-Nya jika mereka ‘tidak setia dan sesat’.


Israel dan kita yang dilahirkan oleh Gunung Batu

Melalui imanlah, sebagaimana yang dikatakan oleh Yohanes kepada kita di Yohanes 1:12, bahwa kita diberi hak untuk menjadi anak-anak Allah. Ayat ini, secara eksegesis, sangatlah menarik karena Anda melihat hubungannya di Matius 16:18 mengenai batu karang, dan sekarang kita akan lihat perbandingan ini dengan umat Israel yang tidak setia kepada Gunung Batu itu. Malahan, di dalam perikop yang sama juga, jika kita cermati tentang Gunung Batu ini, maka kita bisa lihat bahwa di Ulangan 32:18-19 dikatakan bahwa mereka lahir dari Gunung Batu itu, Gunung Batu itu yang memperanakkan mereka sehingga mereka seharusnya membawa ciri yang sama dengan ciri ilahi dari Allah jika mereka memang benar-benar anak-anak Allah.

Namun malah sebaliknya, mereka justru bengkok dan tidak setia. Perkataan itu dengan tegas ditujukan kepada umat Israel pada zaman Yesus. ‘Sesat atau bengkok’ itu berarti tidak melangkah di jalan Allah atau melangkah di jalan Anda sendiri. Karena itu selama para murid itu sendiri tidak setia dan tidak melangkah di jalan Allah, maka mereka tidak akan memiliki kuasa untuk mengusir setan.


Siapakah yang akan membebaskan umat manusia dari kuasa si jahat dan kuasa dosa?

Pengamatan yang kedua dan yang mengejutkan hati saya, adalah perkataan Yesus di kalimat berikutnya, “Berapa lama lagi Aku harus tinggal di antara kamu?” Apa yang disampaikan oleh perkataan itu kepada Anda? “Berapa lama lagi?” Apakah implikasi dari pernyataan ini? Apakah makna pernyataan itu bagi kita? Apa arti perkataan Yesus, “Berapa lama lagi aku harus tinggal di antara kamu?” Apakah maksud dari pernyataan itu? Maksud dari perkataan itu tentunya cukup jelas bagi kita.

Maksudnya adalah: “Kalian bergantung padaku untuk mengerjakan hal ini, untuk membebaskanmu dari kuasa si jahat, untuk mengusir setan ini. Kamu bergantung padaku untuk melakukannya. Apa yang akan terjadi kalau aku sudah tidak ada di sini lagi? Siapa yang akan melakukannya? Kalau kamu bergantung kepadaku untuk mengerjakannya, padahal aku sedang pergi kepada salib, lalu siapa yang akan mengerjakannya? Siapa yang akan bekerja untuk pembebasan umat manusia? Aku tidak akan terus bersamamu. Berapa lama lagi aku harus tinggal di antara kamu?”

Lebih jauh lagi, implikasi lainnya adalah bahwa jika para murid tidak mengerjakan pembebasan itu ketika Yesus sudah pergi, berarti tidak ada orang yang mengerjakan pembebasan itu. Jika kita tidak mampu bekerja untuk pembebasan umat manusia, untuk membebaskan umat manusia dari kuasa si jahat dan dosa, lalu siapa yang akan mengerjakannya? Siapa yang akan mengerjakannya di zaman sekarang ini? Kepada siapakah Yesus mempercayakan pekerjaan untuk menjadi garam dan terang dunia? Siapakah yang akan bekerja untuk pembebasan umat manusia?

Di dalam terang realitas inilah keegoisan sebagian besar orang Kristen menjadi semakin tak terbayangkan, tak terpahami. Di mana kita puas dengan hanya berusaha menyelamatkan diri kita sendiri tanpa menyadari bahwa orang yang berusaha menyelamatkan nyawanya justru akan kehilangan nyawanya. Tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya demi Aku dan demi Kerajaan, maka ia akan memperolehnya sampai kepada hidup yang kekal.”

Realitas bahwa yang berusaha menyelamatkan nyawanya justru akan kehilangan nyawanya,  tentunya berlaku juga kepada orang-orang Kristen, bukankah begitu? Namun kita mengira bahwa firman itu tertuju kepada orang non-Kristen. Prinsip ini adalah prinsip yang kekal. Jika Anda hanya peduli dengan keselamatan Anda, hanya menyelamatkan nyawa Anda saja, waspadalah supaya jangan sampai nanti di dalam prosesnya, di dalam keegoisan yang hanya ingin menyelamatkan diri Anda sendiri saja, baik itu secara jasmani ataupun secara rohani, maka Anda justru akan kehilangan hal yang Anda kejar itu di dalam prosesnya.

Namun di tengah proses menjalani hidup demi orang lain, di tengah proses untuk bekerja bagi pembebasan umat manusia, di tengah proses kehilangan nyawa Anda demi Kristus dan Kerajaan, maka Anda justru memperolehnya di dalam proses itu. 

Yesus tidak akan mengizinkan adanya keegoisan bahkan di tingkat kekristenan, bahkan di tingkat pengakuan iman. Apakah dengan menjadi egois secara rohani – yakni hanya mementingkan keselamatan sendiri – maka kita menjadi lebih rohani? Apakah hal itu lebih baik daripada jenis keegoisan yang mengejar kesejahteraan jasmani? Di mana letak perbedaan antara kedua jenis keegoisan itu jika, di dalam keduanya, Anda menjalani hidup ini hanya untuk diri Anda sendiri, bersyukur karena diri Anda diselamatkan, merasa superior terhadap orang-orang berdosa, orang-orang yang memprihatinkan yang berkeliaran di jalanan? Cara berpikir semacam ini tidak bisa ditoleransi oleh Yesus. Benar-benar tidak bisa diterima! Mari kita camkan hal ini.

Kita harus belajar dengan benar, di sini Anda bisa melihat mengapa Yesus memanggil kita untuk memikul salib karena memikul salib itu berarti – secara tak terhindarkan – Anda tidak bisa lagi hidup untuk diri Anda sendiri saja. Untuk apakah Kristus pergi ke kayu salib? Apakah untuk menyelamatkan diri-nya sendiri? Jelas bukan!

Dan untuk apakah kita pergi ke kayu salib? Saya kira, bagi banyak orang, mereka mau menyelamatkan diri kita dari salib. Kita ingin menyelamatkan diri kita dari kayu salib bukannya menyelamatkan diri kita di kayu salib! Akan tetapi Yesus justru memanggil kita untuk mengerjakan apa yang telah dia kerjakan. Seperti yang dikatakan oleh Petrus, Yesus telah meninggalkan jejak untuk kita ikuti. Lalu, apa jejaknya itu? Jejaknya adalah menyerahkan nyawanya bagi umat manusia. Dan jika kita memiliki ‘pikiran Kristus’ seperti yang dibicarakan oleh Paulus, maka tentunya kita akan berpikiran sama.

Apakah ‘pikiran Kristus’ itu berarti menyelamatkan diri kita sendiri? Kekristenan yang kita miliki sekarang ini penuh dengan orang-orang yang egoisnya tak terbayangkan, yang mengira bahwa mereka itu lebih superior karena telah terjamin tempat bagi mereka di surga. Sungguh memuakkan! Saya tidak berminat untuk menjadi bagian dari kekristenan yang semacam ini, kekristenan yang egois tetapi memakai ‘topeng religius’ untuk menutupi keegoisannya. Sungguh memuakkan! Saya yakin kita pernah bertemu dengan orang-orang Kristen jenis ini, yang menyombongkan diri mereka sebagai orang-orang yang terpilih.

Izinkan saya mengingatkan Anda sekali lagi tentang perkataan dari Yesus, “Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya (kata nyawa atau hidup ini bebas untuk Anda artikan), ia akan kehilangan nyawanya.” Mari kita camkan baik-baik perkataan ini.


Jalan menuju kuasa adalah jalan salib

Akan tetapi, jika kita ingin menjalani hidup ini demi kesejahteraan dan penebusan umat manusia, maka kita memerlukan kuasa. Bagaimana mungkin kita bisa berfungsi sekarang ini jika kita tidak memiliki kuasa? Apakah Anda memiliki kunci untuk menuju kuasa? Tahukah Anda dari mana kuasa itu berasal? Tahukah Anda bagaimana bekerja dengan kuasa rohani? Ada berapa banyak orang yang memiliki kuasa yang Anda kenal di zaman sekarang ini?

Yah, tampaknya ada orang yang mengambil kunci menuju kuasa itu lalu membuangnya jauh-jauh. Tampaknya kita tidak tahu bagaimana mencapai kuasa itu. Jalan menuju kuasa itu sebenarnya sangatlah sederhana namun sukar untuk dipraktekkan. Kesukarannya bukan di dalam hal pemahamannya. Kesukarannya terletak pada pelaksanaannya. Apakah jalan menuju kuasa itu?

Saya sudah memberikan indikasinya. Yesus diselimuti oleh kemuliaan Allah, kuasa Allah, karena di dalam Kitab Suci, kemuliaan dan kuasa itu berjalan beriringan. Anda tidak bisa memisahkan keduanya. Seorang Kristen yang tidak memiliki kuasa adalah seorang Kristen yang tidak memiliki kemuliaan. Seorang Kristen yang bisa menunjukkan kemuliaan Allah adalah seorang Kristen yang memiliki kuasa Allah. Anda tidak akan memiliki terang tanpa adanya kuasa. Kuasa itulah yang memberikan kemuliaan dan terang.

Di atas gunung itu, kita melihat Yesus dengan kemuliaan dan kuasa ilahi. Ketika Yesus turun, dia hanya sekali berbicara dan anak itu sudah dibebaskan. Tampaknya gampang sekali. Di dalam catatan Markus, yakni Markus pasal 9, kita diberi tahu bahwa ketika roh itu menggoncang-goncangkan anak itu, anak tersebut kelihatannya terkapar mati, dan orang-orang berkata, “Ia sudah mati!” Yesus berkata, “Bangunlah dan berjalanlah.” Lalu anak itu berdiri. Satu ucapan yang tenang. Perkataan yang berisi kuasa! Anak itu bangkit. Kuasa! Kuasa tidak ditentukan oleh seberapa kerasnya suara Anda.

Kuasa adalah energi Allah yang memulihkan, energi yang memberi hidup yang bekerja melalui Anda. Di sinilah kekurangan kita.


Menjalani hidup yang berisi kasih yang memberi diri

Alasan mengapa kita sangat kekurangan kuasa di zaman sekarang ini adalah karena begitu sedikitnya orang yang mau melangkah di jalan salib. Jika kekristenan yang Anda miliki adalah jenis yang berupa candu rohani yang hanya untuk memberi perasaan lega, yah, bagaimana Anda bisa memiliki kuasa? Pernahkah Anda melihat pecandu obat bius yang memiliki kuasa? Pernahkah Anda melihat mereka tampak bersemangat dan kuat?

Kita semua tahu gambaran pecandu narkoba, wajah yang kuyu, lemah tanpa kuasa. Mereka tidak punya tenaga. Obat bius tidak memberi Anda tenaga. Jika Anda memperlakukan kekristenan sebagai obat bius, maka Anda akan menjadi semakin lemah dan lemah. Menjelang petang, sulit dipastikan berapa lama lagi Anda bisa bertahan. Ini bukanlah jalan dari kekuatan menuju kekuatan. Tidak.

Jalan salib adalah jalan menuju kuasa. Apakah yang dimaksudkan dengan jalan salib itu? Ini adalah jalan kasih yang memberi diri. Itulah artinya. Kita dipanggil untuk memikul salib berarti kita dipanggil untuk hidup dalam kasih yang memberi diri. Dan satu hal yang tidak akan mau kita serahkan justru adalah diri ini, dan akibatnya kita jadi tidak memiliki kuasa. Sangat mudah untuk dipahami akan tetapi sangat sukar untuk dipraktekkan.

Di sanalah letak persoalannya. Sangatlah mudah untuk memiliki iman dari jenis yang gampangan. Sangatlah sukar untuk memiliki iman dari jenis yang dibicarakan oleh Yesus.

Saya telah melatih iman dalam berbagai jalan sebagaimana yang telah saya saksikan kepada sebagian besar dari Anda. Saya pernah melatih iman pada saat harus mempercayai Allah untuk kebutuhan makan saya. Selama bertahun-tahun, di sepanjang masa kuliah saya di Inggris, saya mempercayakan sepenuhnya kepada Allah atas segala kebutuhan saya, tanpa mengandalkan manusia manapun, tanpa mengharapkan dari siapapun. Saya memiliki iman semacam ini yang, dengan kasih karunia Allah, bisa saya saksikan kepada Anda. Saya juga memiliki iman yang, atas anugerah Allah, membawa kesembuhan bagi orang lain, walaupun saya bukanlah penyembuh iman. Saya telah melihat orang sakit yang disembuhkan, pendarahan otak disembuhkan, kanker disembuhkan, semua hal itu bukan sekadar kabar berita saja bagi saya. Allah berkenan melakukan semua itu melalui saya walau hanya dalam tingkatan sedikit saja. Untuk memiliki iman yang semacam ini, bagi saya tampaknya sangat mudah. Mengapa? Karena hal ini tidak melibatkan apa yang disebut dengan hal memberi diri. Anda bisa memiliki iman yang seperti itu sampai pada tataran yang tinggi.

Saya mendapati bahwa jauh lebih sukar, di dalam pengalaman saya, dan kadang kala saya sampai harus mengakui kegagalan, kekurangan dan kelemahan saya, adalah ketika masuk ke dalam hal mengasihi orang lain sama seperti Kristus mengasihi mereka. Untuk saling mengasihi dan siap untuk mengorbankan nyawa. Di titik ini saya mengaku di hadapan Allah bahwa seringkali saya tidak berlaku sebagaimana mestinya. Dan di titik ini saya tidak akan membual tentang kekuatan saya melainkan saya mengakui kelemahan saya. Saya termasuk Anda juga harus melanjutkan dan melangkah maju di jalan kehidupan yang memberi diri, mengorbankan nyawa bagi orang lain karena itulah jalan menuju hidup, itulah jalan menuju kuasa – hidup ini bukan sekadar untuk diri sendiri melainkan bagi orang lain.


Allah tidak mempercayakan kuasa kepada orang-orang yang tidak mengasihi

Dapatkah Anda mempraktekkan kasih yang memberi diri ini? Untuk itulah para murid dipanggil, akan tetapi sampai pada tahap itu, mereka masih belum mempraktekkan kasih yang memberi diri ini, dan mereka menemukan bahwa mereka masih belum memiliki kuasa. Allah tidak mempercayakan kuasa-Nya kepada orang yang tidak mengasihi.

Terlalu berbahaya mempercayakan kuasa kepada orang-orang yang tidak mengasihi. Apa yang akan mereka kerjakan dengan kuasa itu? Bayangkanlah jika Anda berkata kepada sebuah gunung, “Berpindahlah,” lalu gunung itu pindah! Oh! Lihat itu! Saya hebat! Saya hampir sama dengan Yang Mahakuasa! Atau setidaknya, saya pastilah hamba yang paling disukai oleh Allah sehingga saya sampai bisa menyuruh gunung untuk berpindah dan memang ia pindah! Anda lihat, hanya jika Anda memiliki kasih yang memberi diri baru Anda bisa memiliki kerendahan hati yang memadai untuk berurusan dengan kuasa yang seperti itu. Hanya dengan cara itu baru Anda bisa memakai kuasa ini dengan benar, bukan untuk kepentingan pribadi Anda yang egois.

Saya telah bertemu dengan banyak penyembuh iman (faith healers) di zaman sekarang ini. Saya tidak kagum kepada para penyembuh iman ini sebagaimana orang lain mengagumi mereka, mungkin karena – seperti yang telah saya katakan sebelumnya – Allah juga memakai saya di dalam bidang kesembuhan itu walau dalam takaran yang sedikit saja. Dan saya tahu bahwa tidak dibutuhkan iman yang besar untuk bisa mengerjakan hal-hal semacam itu. Tidak diperlukan iman yang besar.

Namun lihatlah apa yang terjadi. Begitu mereka mulai menyembuhkan orang-orang dan sebagainya, hal yang terjadi selanjutnya adalah mulai mengalirnya sumbangan kepada mereka, dan mereka lalu membangun monumen buat diri mereka sendiri. Tiba-tiba saja, mereka membangun universitas dengan memakai nama mereka, mereka membangun organisasi ini dan itu dengan menggunakan nama mereka. Anda tentunya beranggapan bahwa seharusnya orang-orang ini merendahkan dengan memakai nama-nama yang memuliakan Allah atas hal-hal yang mereka bangun, namun mereka tidak ragu memakai nama mereka pribadi untuk universitas dan kampus-kampus yang mereka bangun. Sungguh menyedihkan hati saya! Sungguh menyesakkan saya!

Seperti yang Yesus katakan, “Kalau ada orang yang datang dengan meninggikan dirinya sendiri, kamu menerima dia. Namun karena aku tidak datang dengan meninggikan diriku, aku datang di dalam nama Bapaku, lalu kamu tidak menerimaku.” Karena satu-satunya jenis orang yang menerima dia adalah jenis orang yang sudah memiliki keterbukaan terhadap kasih Allah, yang tidak memuliakan dirinya sendiri, melainkan yang membiarkan Allah menyatakan kuasa-Nya.


Iman yang besar untuk mengasihi, untuk memberi diri
dan untuk kehilangan nyawa

Mari kita camkan pokok yang sangat penting ini, bahwa hal ini mudah untuk dipahami akan tetapi sangat sukar untuk dijalankan. Maukah Anda melangkah di jalan kuasa? Maukah Anda? Maka cobalah melangkah di jalan kasih. Namun ketahuilah bahwa dibutuhkan iman yang luar biasa besarnya untuk bisa mengasihi.

Di sanalah poinnya. Jika Anda memiliki kasih, maka Anda akan bisa memindahkan gunung. Anda tidak memiliki iman karena Anda tidak memiliki kasih. Mengapa? Karena memang dibutuhkan iman yang luar biasa besarnya untuk bisa mengasihi. Anda tidak bisa mengasihi tanpa iman, saya beritahu dengan sejujurnya kepada Anda. Anda tidak bisa mengerjakannya karena kasih itu memberikan dirinya. Siapakah yang mau kehilangan dirinya di dalam proses ini?

Yesus berkata, “Barangsiapa kehilangan nyawanya, maka ia akan memperolehnya.” Tidak ada bukti yang bisa langsung dilihat untuk memastikan bahwa Anda akan memperolehnya. Jadi, Anda harus kehilangan nyawa Anda tanpa bisa memastikan apakah Anda akan memperolehnya atau tidak. Itulah iman. Bagaimana Anda bisa tahu bahwa Anda akan memperolehanya? Bagaimana Anda bisa tahu? Anda mungkin saja kehilangan nyawa. Saya memberitakan Injil dan lihatlah, saya kehilangan hidup saya menurut ukuran karir duniawi. Saya telah kehilangan hidup saya dalam hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan duniawi yang bisa saja saya capai jika saya bertahan di jalur profesi sekuler. Dan nantinya, mungkin saja, saya akan kehilangan nyawa saya dalam arti kehilangan kehidupan jasmani ini, dibunuh karena nama Kristus. Lagi pula, sudah ada satu dua orang yang pernah mencoba melakukan hal itu kepada saya, jadi peluang saya untuk mengalami hal yang satu ini cukup besar.

Untuk mengasihi dibutuhkan iman yang sangat besar. Tanpa iman, mengapa saya perlu melakukannya? Mengapa saya harus menyampaikan kebenaran dan membuat orang lain membenci saya? Mengapa saya melakukan hal ini? Apa untungnya buat saya? Tidak ada keuntungan material sama sekali buat saya.

Jadi, jika saya tidak memiliki iman bahwa dalam proses kehilangan nyawa ini nantinya saya akan memperoleh hidup yang kekal, maka saya tidak akan melakukannya. Karena itu, kita memerlukan iman yang besar untuk mengasihi, memberi diri dan kehilangan hidup di dunia ini.


Iman tanpa pengorbanan bukanlah iman yang alkitabiah

Ah! Sangatlah mudah untuk percaya tanpa mengorbankan apapun, bukankah demikian? Saat si penginjil sekadar berkata, “Siapa yang mau mengacungkan tangannya, silakan maju ke depan,” dan ketika Anda maju ke depan, Anda menandatangani formulir, setelah Anda membubuhkan tanda tangan Anda, “Haleluyah! Anda telah diselamatkan!” Lalu, apa yang sudah Anda korbankan? Tak ada! Tak ada sama sekali.

Maksud saya, ada orang yang memberi Anda kupon lotere berhadiah sejuta dolar, dan jika Anda tidak memenangkan lotere itu, Anda tidak rugi karena Anda tidak keluar biaya apa-apa, namun berpeluang untuk memenangkan sejuta dolar. Anda tidak membayar sedikitpun untuk membeli kupon lotere itu, jadi apa susahnya? Jika Anda menawarkan saya kupon lotere, saya akan berkata, “Baiklah.” Saya tidak perlu keluar uang dan saya punya peluang untuk memenangkan sejuta dolar. Jika saya tidak menang, maka saya juga tidak rugi apa-apa. Jadi, apapun hasilnya, bagi saya tidak ada masalahnya.

Demikianlah, menjadi seorang Kristen sekarang ini lalu dipandang sebagai hal mendapatkan jaminan, semacam asuransi jiwa seperti yang ada di dunia ini, namun yang ini adalah ‘asuransi hidup kekal’! Dan saya mendapatkan asuransi ini tanpa harus membayar apa-apa. Maksud saya, kalau saya harus membayar $200 per bulan, maka saya akan menghitung-hitung lagi, namun karena saya mendapatkan asuransi hidup kekal ini secara gratis, maka saya senang saja menerimanya. Bagus sekali, saya tidak keberatan akan hal ini karena kalau asuransi ini ternyata tidak berlaku, saya masih tidak rugi apa-apa. Saya toh akan mati juga. Namun jika asuransi ini berlaku, haleluyah! Saya mendapat hidup kekal!

Kekristenan macam apakah ini? Saya tidak menemukannya di dalam Alkitab. Mereka mungkin membaca Alkitab yang berbeda dengan yang saya baca. Saya tidak tahu dari mana mereka mendapatkan kekristenan yang semacam ini. Sangatlah mudah untuk mengutip ayat-ayat Kitab Suci keluar dari konteksnya dan berkata, “Lihat, itulah maksudnya.” Lalu bagaimana dengan ayat-ayat yang lainnya? Apakah tidak perlu dikutip juga? Jelas tidak.

Itulah sebabnya mengapa di tengah generasi itu tak ada yang mau mendengarkan Yesus, karena ajaran Yesus membuat urusan jadi susah – harus memikul salib dan sebagainya. Jadi, mari kita cari ayat lain di dalam tulisan Paulus dan urusannya pasti lebih gampang. Kita ini hanya menipu diri kita sendiri, saudara-saudari. Kita tidak akan bisa menghindar dengan cara ini. Tidak bisa.


Iman untuk memindahkan gunung

Saya tekankan sekali lagi, dibutuhkan iman yang besar untuk mengasihi karena panggilannya memang untuk menjalani hidup yang mengasihi, panggilan yang diberikan oleh Yesus – satu perintah, dan memang hanya satu perintah saja –

“Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Itulah perintahnya, dan kita tidak akan berhasil jika kita tidak menaatinya.

Sebagaimana yang kita ketahui dari Ibrani 5:9,

Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.

Iman diungkapkan melalui ketaatan dan ketaatan dinyatakan justru dengan mentaati perintah untuk mengasihi. Izinkan saya untuk menyampaikannya berulang-ulang, mengasihi membutuhkan iman yang luar biasa besarnya. Dibutuhkan iman yang luar biasa besarnya. Dan jika Anda memiliki iman untuk mengasihi, maka Anda akan memiliki iman untuk memindahkan gunung. Itulah pokok dari perikop ini. Karena semua ajaran Yesus ini saling berkaitan antara yang satu dengan lainnya.

Berapa banyak orang Kristen di gereja zaman sekarang ini mengasihi sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah? Jika Anda bisa menghitungnya dengan jari-jari di satu tangan Anda, itu saja sudah cukup bagus. Ada berapa banyak orang yang memiliki kuasa di zaman sekarang ini? Jumlahnya pasti sama saja, karena Anda tidak bisa memiliki yang satu tanpa memiliki yang lainnya. Kiranya Allah memampukan kita, dengan kasih karunia-Nya, untuk bisa memiliki kasih dan iman! Dan jika Anda telah melaksanakannya, jika Anda melangkah maju di dalam jalan kasih, maka Anda akan mengalami kuasa-Nya.


Jalan kasih adalah jalan untuk memperoleh kuasa

Saya akan menutup dengan mengutipkan ucapan Paulus, sekiranya Anda mengira bahwa saya sedang menyampaikan pendapat saya sendiri. 1 Korintus 12:31 menyatakan hal ini setelah dia membahas tentang berbagai macam karunia. Mari kita membaca dari ayat 28 untuk bisa mendapatkan seluruh konteksnya. 1 Korintus 12:28-31

Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk mengadakan mukjizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh. Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau pengajar? Adakah mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mukjizat, atau untuk menyembuhkan, atau untuk berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh?

Semua ini adalah pertanyaan retorika, yaitu  pertanyaan yang memancing jawaban ‘tidak’. Akan tetapi bagaimana supaya kita bisa mendapatkan semua karunia ini? Ayat 31)

Jadi berusahalah untuk memperoleh karunia-karunia yang paling utama. Dan aku menunjukkan kepadamu jalan yang lebih utama lagi.

Paulus berkata bahwa Anda harus menghasratkan karunia-karunia itu. Mengapa? Supaya Anda bisa melayani orang lain di tengah jemaat Allah, bukannya supaya Anda bisa berkata, “Lihat betapa besar kuasa saya!” Lalu bagaimana supaya kita bisa memperoleh karunia-karunia itu? Perkataan yang terakhir, akan aku tunjukkan bagaimana caranya).

Bentuk kalimat yang berisi perbandingan seperti ini di dalam bahasa Yunani selalu dipakai untuk membuat perbandingan yang superlatif (yang satu lebih besar dari pada yang lain). Seperti yang telah Anda ketahui, bahasa Yunani tidak memiliki bentuk superlatif. Bentuk komparatif (perbandingannya) menyatakan, “Aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang paling utama, yang terbaik.”

Jalan untuk apa? Jalan untuk menuju karunia yang khusus ini: kuasa dari Tuhan untuk mengerjakan pekerjaan-Nya. Apakah jalannya?


Jalannya adalah jalan kasih

Di sanalah awal dari pembahasan dari 1 Korintus 13. Dan kita seringkali membaca 1 Korintus 13 dalam acara-acara pernikahan namun agak keluar dari konteksnya. Konteks dari 1 Korintus 13 berkaitan dengan kuasa rohani di dalam lingkungan jemaat, kuasa yang digunakan untuk memberi berkat dan keuntungan bagi orang lain.

Apakah jalan menuju kuasa? Apakah jalan yang sempurna, jalan yang utama ini? Itulah jalan kasih. Melangkahlah Anda di jalan itu, kata rasul Paulus, dan Anda akan menerima karunia-karunia kuasa dipercayakan kepada Anda.

Di pasal 14:1 Paulus melanjutkan dengan berkata, “Kejarlah kasih itu.” Demikianlah, sangat mudah untuk memahami jalan menuju kuasa, sangat mudah untuk dipahami. Kiranya Allah memberi kita kasih karunia-Nya untuk membantu kita di dalam kelemahan kita supaya kita memiliki iman untuk mengasihi karena bukan hanya kuasa yang bergantung pada kasih itu, tetapi juga hidup ini.

Saya belum sampai pada pembahasan tentang gunung apa yang akan digeser. Sangat mendalam kekayaan makna yang menyangkut tentang hal gunung ini dan saya akan menguraikannya di lain waktu.  Saat Yesus berbicara tentang yang memindahkan gunung dia sedang berbicara tentang kuasa-kuasa besar yang dilambangkan dengan gunung. Namun kita perlu perhatikan kata, “Kamu dapat berkata kepada gunung ini.” Yang dikatakan adalah  ‘gunung ini’. Dan kita perlu meneliti firman yang mempunyai makna yang kaya.


Kiranya Allah memberi kita iman yang besar untuk mengasihi

Namun hari ini, mari kita cukupkan dengan satu hal saja, karena gunung dalam pengertian apapun tidak menjadi relevan bagi kita jika kita tidak tahu bahwa untuk memindahkan gunung itu dibutuhkan iman yang besar karena dibutuhkan iman yang terbesar untuk mengasihi. Kiranya Allah memberi kita kasih karunia untuk memiliki iman ini.

 

Berikan Komentar Anda: