Pastor Eric Chang | Manusia Baru 3(a) |

Banyak Orang Kristen Tidak Memiliki Landasan yang Teguh

Karena dahulu kita juga hidup dalam kejahilan: tidak taat, sesat, menjadi hamba berbagai–bagai nafsu dan keinginan, hidup dalam kejahatan dan kedengkian, keji, saling membenci. Tetapi ketika nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia, pada waktu itu dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi oleh karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaruan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita, supaya kita, sebagai orang yang dibenarkan oleh anugerah-Nya berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita.” (Titus 3.3-7)

Apa sebenarnya arti dari kelahiran kembali dan pembaruan? Dalam postingan ini dan yang berikut, kita akan membahas dengan saksama dua topik penting ini secara berurutan, karena hal ini sangat besar pengaruhnya dalam hidup kita. Kita mulai dari Titus 3.3-7 di mana efek transformasinya dijelaskan:

Perhatikan kalimat “kelahiran kembali  dan pembaruan”. Kita perlu  mempelajari kata–kata ini setepat mungkin karena kata-kata ini menyangkut masalah yang mendasar. Ini adalah persoalan yang menimbulkan keprihatinan besar karena banyak orang Kristen salah dalam meletakkan dasar kehidupan rohaninya. Jika dasarnya lemah, apa yang akan terjadi dengan struktur yang dibangun di atasnya? Banyak orang yang bergumul dengan persoalan-persoalan dasar tentang kehidupan Kristen, tetapi tak pernah mampu membereskan hal–hal yang mendasar ini, apalagi untuk masuk lebih jauh ke dalam kehidupan rohani. Kita perlu menetapkan hal–hal fundamental ini untuk memastikan landasan kehidupan kita benar– benar mantap.

Saya sering kali perlu melayani orang yang telah menjadi Kristen sekitar dua puluh tahun yang lalu atau lebih, yang masih stagnan kerohaniannya. Selama konsultasi, mereka dengan terkejut mendapati bahwa mereka belum pernah menjadi orang Kristen sejati, dan apa yang mereka sebut sebagai iman tidak mampu melewati ujian-ujian yang paling dasar!

Hal ini sangat mencemaskan. Hati kami merasa amat sedih untuk mereka karena sampai ke tingkat tertentu, kesalahan ini tidak terletak pada mereka. Beberapa orang, walaupun dibesarkan di tengah keluarga Kristen, tidak pernah membangun landasan yang kuat dalam kehidupan Kekristenan mereka. Dengan penuh ketulusan hati mereka mencoba untuk mendirikan bangunan rohani di atas dasar yang rapuh, seperti membangun tembok di atas pasir, hanya untuk melihat keruntuhannya. Walau tampaknya berdiri untuk sesaat, ketika truk besar lewat dan tanah bergetar, bangunan itu runtuh lagi. Hanya membutuhkan satu krisis kecil untuk menyebabkan keruntuhan. Kehidupan Kristen tidak boleh diteruskan seperti itu. Orang Kristen yang lemah, serba kalah dan frustrasi akan segera melihat bahwa kehidupan semacam ini tidak layak untuk dijalani. Itu menjadi upaya yang sia–sia, seperti terus membangun kembali tembok yang sama dan memperbaiki lubang yang sama.

Kurangnya Jaminan Keselamatan

Beberapa orang ketika menjadi Kristen membawa bersama watak pemarahnya. Mereka sering menjadi mudah tersinggung lalu melampiaskan amarah mereka. Akhirnya mereka kehilangan jaminan keselamatan dan menjadi ragu apakah mereka sudah dilahirkan kembali, apakah mereka anak–anak Allah. Roh Kudus tampaknya tidak bersaksi bersama roh mereka bahwa mereka adalah anak–anak Allah. Sebagaimana dikatakan di Roma 8:16, jaminan yang sejati datang hanya apabila Roh Allah bersaksi dengan roh kita bahwa kita adalah anak–anak Allah. Sebaliknya, malah yang mereka dapatkan adalah pengungkapan dosa–dosa mereka dari Roh Kudus (Yoh 16:8), lalu mereka menjadi kurang yakin. Kondisi ini sangat menyedihkan.

Saya harap beberapa postingan sebelumnya dapat menjelaskan apa artinya mati bersama Kristus sekali untuk selamanya, dan untuk berhenti dari cara hidup yang lama. Jika persoalan “mati” ini belum diselesaikan, kehidupan Kekristenan seseorang akan diganggu terus oleh keraguan. Seseorang mungkin merasa “baik-baik saja” untuk sementara waktu, tetapi apa yang akan terjadi satu atau dua tahun ke depan ketika ia menghadapi persoalan yang menekan dan melemahkannya, dan yang mungkin bahkan menyebabkan dia untuk mundur? Pertanyaan lama yang sama akan kembali menghantui dia: Apakah saya sesungguhnya sudah diselamatkan?

Landasannya harus diletakkan dengan benar; kalau tidak, seluruh bangunan itu mungkin harus dirombak dan dibangun ulang. Mengacu pada pengalaman pribadi saya, andai saja saya diajarkan kebenaran dasar tentang mati bersama Kristus terhadap hidup lama pada baptisan, saya akan dikecualikan dari pemutaran-pemutaran yang berbahaya. Namun, Tuhan benar–benar bermurah hati, dan Ia menjaga agar saya tidak jatuh. Ia menuntun saya di jalan kebenaran walaupun seringkali tidak ada orang yang mengajari saya. Walaupun tidak ada orang yang mengajar saya tentang komitmen total, hal itu selalu menjadi bagian dari kehidupan Kristen saya sejak awal.

Ini karena komitmen total memang merupakan keharusan bagi orang-orang Kristen di China  dalam situasi masa itu. Hampir semua orang di China yang menjadi Kristen pada masa itu menyadari besarnya pengorbanan untuk menjadi murid Yesus. Namun demikian, itu tidak berarti semua orang Kristen di China berkomitmen sepenuhnya. Ada juga yang menyembunyikan Kekristenannya untuk menghindari masalah. Ada yang menjadi Kristen untuk mencari tempat bergantung pada masa sulit, tetapi tidak lagi membutuhkan Allah setelah keluar dari masalah.

Keselamatan dan Transformasi

Mari kita kembali ke Titus 3:5,

“Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kembali dan oleh pembaruan yang dikerjakan oleh Roh Kudus.”

Pernyataan ini diawali dengan, “Dia telah menyelamatkan kita”. Keselamatan bukan pencapaian manusia, tetapi hal yang dilakukan oleh Allah. Lagi pula, keselamatan bukan sekadar apa yang dilakukan oleh Allah bagi kita, tetapi apa yang dilakukan oleh Allah di dalam kita. Sekarang kita cenderung menekankan hanya pada apa yang dilakukan oleh Allah bagi kita di Kalvari. Pemahaman ini memang baik dan alkitabiah, tetapi tidak lengkap.

Keselamatan bukan sekadar apa yang dilakukan oleh Allah bagi kita, bukan sekadar menghapalkan dan mempercayai beberapa pernyataan iman. Doktrin yang benar hanyalah salah satu unsur dalam keselamatan. Keselamatan adalah persoalan iman, yang di dalam Alkitab pada dasarnya berarti komitmen. Setiap iman yang tidak melibatkan hubungan di mana kita menyerahkan diri kita kepada Allah, sebagai tanggapan pada kasih-Nya bagi kita, bukanlah iman yang alkitabiah.

Menurut Alkitab—namun bertentangan dengan pengajaran yang sering kita dengar sekarang—keselamatan tidak didasari oleh penerimaan doktrin–doktrin tertentu, walaupun itu penting, tetapi didasari oleh penyerahan diri kita sepenuhnya kepada Allah. Contoh lainnya adalah seperti orang sakit yang tidak sekadar mempercayai kemampuan dokter, tetapi juga menyerahkan dirinya di bawah perawatan dokter itu. Dilahirkan kembali bukanlah hasil dari penerimaan serangkaian doktrin-doktrin tertentu, walaupun itu memang hal yang baik. Kelahiran kembali terjadi apabila kuasa Allah masuk ke dalam hidup kita dan mengubah kita. Itu sebabnya mengapa keselamatan merupakan pekerjaan Allah, dan bukan kita.


Kelahiran Kembali dan Pembaruan bukan Hal yang Sama

Titus 3.5 berbicara tentang dua hal yang dilakukan Allah untuk menyelamatkan kita, “permandian kelahiran kembali dan pembaruan yang dikerjakan oleh Roh Kudus.” Pertama, kelahiran kembali. Kedua, pembaruan.

Kedua hal ini, kelahiran kembali  dan pembaruan, tidak sama. Janganlah mengira bahwa “kelahiran kembali” dan “pembaruan” merupakan dua kata yang sama arti yang ditempatkan bersebelahan, di mana pembaruan merupakan pengulangan dari kelahiran kembali. Bukan itu maksudnya. Keduanya merupakan dua tahap yang berurutan dalam keselamatan. Lagi pula, urutannya tak dapat dibalikkan: Yang pertama adalah kelahiran kembali, dan yang kedua adalah pembaruan. Jika kita gagal memilah keduanya, kita akan terbenam dalam pertanyaan–pertanyaan seperti: Apakah keselamatan terjadi sekali untuk selamanya, atau merupakan satu proses? Untuk menjadi ciptaan baru di dalam Kristus, apakah saya mati sekali atau secara terus-menerus?

Ada yang mengajarkan bahwa kematian adalah proses bertahap di mana kita menghabiskan kehidupan Kristen kita dengan mati terus menerus. Kehidupan Kristen dipandang sebagai proses kematian yang panjang dan suram ketimbang kehidupan yang berkelimpahan seperti yang tertulis dalam Yohanes 10:10. Jika kehidupan Kristen berlangsung dari suatu kematian ke kematian lainnya ketimbang kehidupan ke kehidupan, pasti ada yang salah dengan pemahaman kita. Kegagalan dalam membedakan kelahiran kembali dan pembaruan telah membawa banyak orang Kristen  pada konsep yang salah tentang kehidupan  Kristen.

Apabila Anda menjadi Kristen, pertama Anda mengalami kelahiran kembali, kemudian pembaruan. Pembaruan adalah suatu proses. Akan tetapi, kelahiran kembali bukanlah proses yang berkelanjutan, sama seperti kelahiran jasmani yang terjadi hanya sekali. Anda tidak terus dilahirkan sepanjang hidup Anda. Anda dilahirkan sekali, lalu Anda bertumbuh dan hidup. Peristiwa kelahiran itu, tentu saja, sangat penting karena tanpanya kita tak dapat berbicara tentang pertumbuhan, atau mengalami anugerah demi anugerah (Yoh 1:16).

Jadi, tahap pertama dari keselamatan, yaitu kelahiran kembali, adalah sekali untuk selamanya; tetapi tahap kedua, pembaruan, adalah proses yang berkesinambungan—suatu proses pertumbuhan dalam kehidupan baru. Makanya pertanyaan ini: “Apakah keselamatan itu sekali untuk selamanya atau suatu proses yang berterusan” tidak dapat dijawab dengan cara yang terlalu sederhana sebagaimana dilakukan banyak orang, yang menegaskan yang satu atau yang lainnya. Pada kenyataannya keduanya benar, tergantung pada tahap keselamatan yang menjadi pokok pembahasan. Namun tragis sekali, banyak Kristen bahkan tidak tahu adanya tahap-tahap yang berbeda dalam pengajaran biblika tentang keselamatan. Banyak yang tidak tahu apa-apa sama sekali tentang perkara-perkara yang begitu penting seperti kelahiran kembali dan pembaruan. Kegagalan untuk memahami pengajaran alkitabiah ini telah menimbulkan banyak konflik yang tidak perlu.

Apa kaitannya kematian dengan kelahiran baru? Inilah hal yang tak dapat dipahami oleh Nikodemus. Di Yohanes 3.3, Yesus berkata kepadanya,

“…sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali (atau dilahirkan dari atas), ia tidak dapat  melihat Kerajaan Allah”

Tentu saja tidak dapat melihat berarti tidak dapat masuk Kerajaan Allah. Nikodemus bingung: “Bagaimana mungkin seorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke rahim ibunya dan dilahirkan lagi? (ay.4). “Bagaimana mungkin hal itu terjadi?”  (ay.9). Dia dengan jujur mengakui bahwa dia tidak mengerti apa yang dibicarakan; tampaknya semua mustahil baginya. Yesus meresponinya dengan tegas, “Engkau adalah pengajar Israel, dan engkau tidak mengerti hal–hal itu?

Apa yang gagal dipahami oleh Nikodemus adalah tidak akan ada kelahiran baru tanpa kematian hidup yang lama; tidak ada kelahiran rohani dari atas (yaitu, dari Allah) tanpa penghentian atau kematian dari cara hidup duniawi yang lama, yang berasal dari bawah (hal-hal yang sepenuhnya manusiawi). Tentu saja ini bukanlah masalah kembali ke rahim ibu dan memulai seluruh lingkaran kehidupan  yang lama dari awal lagi. Ini bukan tentang reinkarnasi manusia duniawi yang didominasi oleh dosa, tetapi kelahiran hidup yang sama sekali baru yang diberikan oleh Allah.

Oleh karena Nikodemus adalah seorang pengajar Israel, Yesus tentu mengharapkan Nikodemus untuk memiliki pemahaman rohani yang lebih baik. Harapan Tuhan kepada pimpinan gereja sudah pasti sama tingginya. Di sini kita melihat subjek yang sama—kelahiran kembali—jadi kita juga harus berhati–hati mempelajari kata–kata Yesus ini.


“Kelahiran Kembali” dalam Perjanjian Baru Yunani

“Permandian kelahiran kembali” menunjuk kepada baptisan atau pembersihan yang datang melalui baptisan. Kata Yunani untuk “kelahiran kembali” adalah palingenesia, yang terdiri dari palin (kembali) dan genesis (lahir). Pada dasarnya gabungan kedua kata ini berarti “kelahiran baru” atau “permulaan yang baru”. Kata ini digunakan dua kali dalam Perjanjian Baru, di Titus 3:5 dan Matius 19:28, di mana Yesus berkata pada murid–muridnya:

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaannya, kamu, yang telah mengikut aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel.”

Di manakah kata “kelahiran kembali” dalam ayat ini? Anda tidak akan menemukannya melainkan Anda melihat di teks bahasa Yunani, atau dalam Alkitab yang terjemahannya lebih harfiah. Di sini kata “kelahiran kembali” diterjemahkan sebagai “penciptaan kembali”. Pernyataan di atas dapat diterjemahkan menjadi “permulaan yang baru” atau “penciptaan baru”. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu kelahiran kembali (atau permulaan baru atau penciptaan baru), apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliannya…”

Orang yang sudah lahir kembali digambarkan dalam surat-surat Paulus sebagai ciptaan yang baru dari Allah. Sedangkan dalam Yohanes, termasuk di surat–suratnya, orang yang sudah dilahirkan kembali seringkali disebut sebagai yang lahir dari Allah. Titus 3:5 ialah satu–satunya ayat di mana Paulus menggunakan kata palingenesia untuk menunjuk kepada permulaan yang baru, apakah melalui kelahiran atau penciptaan. Mungkin bahkan di sini Paulus tetap berpikir dalam kerangka ciptaan baru, karena itulah gagasan yang dititikberatkannya. Makanya, Perjanjian Baru menunjukkan kepada kita dua cara untuk memahami pentingnya kelahiran baru. Kedua cara ini penting dan saling melengkapi.


Kelahiran Kembali: Perpisahan dengan yang Lama

Suatu dunia yang baru, ciptaan yang baru, permulaan yang baru, masyarakat yang baru dan manusia yang baru—itulah kelahiran kembali dan pembaruan. Namun, kita harus berpisah dengan yang lama sebelum yang baru bisa datang. Jika kita mempertahankan yang lama, bagaimana mungkin kita menjadi yang baru? Jika dua hal tidak dapat diperdamaikan dan, malah bertentangan dalam karakter, mereka jelas tidak dapat disatukan secara harmonis.

Dalam konteks ini, kala menekankan perbedaan antara yang “lama” dan yang “baru”, Alkitab tidak menekankan pada perbedaan usia atau perbedaan antara yang tua dan yang muda; ataupun dalam contoh mobil, perbedaan di antara model lama dan baru. Dalam pengertian ini, tidak ada apa-apa yang tidak dapat diperdamaikan, apalagi bertentangan, antara yang baru dan yang lama.  Jika yang dimaksudkan adalah hal usia, tidak ada ketidakcocokan di antara buku lama dan buku baru karena kedua-duanya dapat saja memberikan informasi yang berguna ataupun sama-sama menghiburkan. Demikian juga, tidak semestinya ada perbedaan yang mendasar atau permusuhan di antara seorang kakek dan cucunya meskipun usia mereka jauh berbeda. Sebaliknya, mereka bisa saja hidup berdampingan secara harmonis. Oleh karena itu, untuk berpikir dalam istilah-istilah usia secara kronologis ketika mendengar  istilah “lama” dan “baru” dalam kaitannya dengan kelahiran kembali atau ciptaan baru, berarti gagal mendapatkan pemahaman yang benar.

Ini tidak menyangkal adanya juga suatu perbedaan kronologis (atau usia). Kata “lama” dan “baru” memang dipakai juga dalam pengertian ini. Namun, perbedaan yang ditekankan di sini jauh melebihi perbedaan usia. Hanya dari segi usia, tidak ada alasan mengapa yang lama dan baru tidak dapat hidup bersama. Akan tetapi, di sini perbedaannya tidak sekadar dalam usia, tetapi dalam karakter dari yang lama dan yang baru itu. Mereka berbeda secara kualitatif.

Lalu apa perbedaan kualitatif di antara keduanya? Berikut adalah penjelasan rasul Paulus,

“Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani, manusia kedua berasal dari surga. Mahluk–mahluk alamiah sama seperti dia yang berasal dari debu tanah dan mahluk–mahluk surgawi sama dengan Dia yang berasal dari surga. Sama seperti kita telah memakai rupa dari yang alamiah, demikian pula kita akan memakai rupa dari yang surgawi. Saudara-saudara, inilah yang hendak kukatakan kepadamu, yaitu bahwa daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah dan bahwa yang binasa tidak mendapat bagian dalam apa yang tidak binasa.” (1Kor 15:47-50)

Seberapa besarnya perbedaan antara yang lama dan yang baru? Sebesar perbedaan antara surga dan bumi!

Lalu mengapa perbedaan itu juga dibicarakan dalam istilah “lama” dan “baru” secara kronologis? Karena “yang mula–mula datang bukanlah yang rohaniah, tetapi yang alamiah: kemudian barulah datang yang rohaniah.” (1Kor.15.46)

Yang “alamiah” atau “duniawi” datang lebih dulu dalam waktu; “yang rohaniah” datang belakangan. Dalam sejarah manusia, “manusia pertama, Adam” datang jauh sebelum “manusia terakhir”, Kristus (1Kor.15.45).

Berkaitan dengan perbedaan kualitatif itu, kata–kata Paulus menggemakan kata–kata Yesus sendiri,

“Kamu berasal dari bawah, Aku dari atas; kamu dari dunia ini, Aku bukan dari dunia ini.” (Yoh.8.23)

 

“Siapa yang datang dari atas adalah di atas semuanya; siapa yang berasal dari bumi, termasuk pada bumi dan berkata–kata dalam bahasa bumi. Siapa yang datang dari surga adalah di atas semuanya.” (Yoh.3.31)

Pertentangan kualitatif antara yang lama dengan yang baru adalah sedemikian nyata sehingga, “daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah” (1Kor 15:50). Jadi kita dapat melihat betapa pentingnya kelahiran kembali, atau menjadi manusia baru, jika kita berharap untuk diselamatkan dan mendapat bagian dalam kerajaan Allah. Sekarang kita seharusnya dapat memahami dengan jelas, dan bukannya menjadi bingung, atau “takjub” dengan pernyataan yang disampaikan oleh Yesus,

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh. Janganlah engkau heran, karena aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali.” (Yoh.3.5-7)

Akan tetapi, banyak orang Kristen masih sangat kacau balau dalam memahami hal yang sedemikian penting ini. Akibatnya, mereka membayangkan bahwa mereka boleh menggabungkan yang lama dengan yang baru. Namun, mereka merasa dirinya dirobek dua, seolah-olah, oleh dua ekor kuda yang menarik dari arah yang berlawanan. Mereka senantiasa ditarik ke arah ini atau arah sana. Atau, jika kita ganti kiasannya, mereka tergencet dan remuk di antara dua kekuatan yang bertentangan.

Atas alasan ini, banyak orang Kristen yang terikat pada kondisi yang menyedihkan itu. Ini merupakan situasi yang mereka ciptakan sendiri. Masalahnya ialah, mereka menginginkan yang baru tanpa melepaskan yang lama, dan berakhir dalam kesulitan serius. Mereka mengabaikan ajaran alkitabiah bahwa yang lama harus berlalu sebelum yang baru dapat datang (2Kor 5:17). Yang mereka dapatkan bukanlah kelahiran baru atau manusia baru, tetapi baju lama yang ditambalkan dengan secarik kain baru (Luk 5:36-39). Baju itu akan segera tercabik.

Demikian pula, seperti menuangkan anggur baru yang belum difermentasi ke dalam kantong lama yang sudah kehilangan kekenyalannya. Percampuran yang baru dengan yang lama mengakibatkan malapetaka—kantong yang lama itu akan meledak. Mengabaikan peringatan Yesus dan mencampurkan yang lama dengan yang baru dapat berujung pada kehancuran mental karena tekanan batin yang disebabkan oleh pertentangan antara yang lama dan yang baru akhirnya menjadi tak tertahankan, berakibat pada masalah fisik dan mental yang parah.

Banyak orang Kristen yang mentalnya hancur setelah dirobek kiri-kanan oleh pergumulan batin akibat dari kesetiaan yang terbagi-bagi. Mengapa mengambil resiko kehancuran? Jika Anda tak ingin menjadi manusia baru yang sepenuhnya dalam Kristus, lebih baik Anda tidak menjadi Kristen. Pergilah dan “nikmatilah” hidup Anda. Kurangi tekanan dalam pikiran Anda. Hindari kehancuran mental dan rohani. Lagi pula, apa yang akan dipikirkan oleh keluarga dan orang–orang sekitar tentang orang-orang Kristen dan Kekristenan jika Anda mengalami gangguan jiwa? Jika mereka melihat hal seperti ini terjadi pada orang Kristen, apakah mereka masih mau menjadi Kristen?

Kita harus memutuskan siapa yang kita pilih untuk layani: Allah atau Mamon, Tuhan atau diri kita sendiri. Yesus berkata, “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan Mamon” (Mat 6:24). Anda tidak dapat berpaut pada yang surgawi sekaligus yang duniawi, yang baru dan yang lama.

Tanpa Meninggalkan yang Lama, Kita akan Hidup dalam Kemunafikan

Lebih buruk lagi, kita menjadi munafik jika kita mencoba untuk berkompromi dengan berpegang pada yang lama dan yang baru. Dengan berbuat demikian, Anda akan menahan yang lama di dalam diri Anda, sementara Anda membungkus diri dengan yang baru. Jika Anda menjadi baru secara batiniah, Anda tentunya tidak mau mempertahankan yang lama sebagai suatu jubah eksternal. Akan tetapi, sekarang serigala di dalam telah ditutupi dengan bulu domba. Orang semacam ini hidup dalam suatu kontradiksi; apa yang dikenakan di luar menyembunyikan apa yang di dalam.

Di luarnya, orang itu tampil sebagai orang Kristen yang baik sama seperti orang Farisi yang tampil benar (Mat 23:25,27). Di luarnya, ia tampak setia dan terhormat. Ia menenteng Alkitab yang sudah usang. Akan tetapi, ia tidak hidup atau berfungsi sejalan dengan Firman Allah. Ia kedengaran sangat Kristen, tetapi ia sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing (1Kor 13:1). Gereja berisi terlalu banyak orang munafik seperti ini. Oleh karena orang–orang semacam ini, Kekristenan telah kehilangan kredibilitas; dunia tidak lagi mempercayai apa yang dikatakannya.

Akan tetapi, kita sadar bahwa hanya sedikit orang yang sengaja menjadi munafik. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh para sarjana Yudaisme, adalah tidak adil untuk menuduh orang-orang Farisi secara keseluruhan dengan kemunafikan yang disengajakan. Yang mengerikan tentang kemunafikan adalah bahwa sebagian besar orang yang munafik tidak memiliki niat untuk menjadi munafik. Hal ini sendiri merupakan alasan yang baik untuk memperhatikan dengan saksama perintah untuk “kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Flp 2:12).  Allah tidak dapat menoleransi kemunafikan.

Dalam banyak kasus, mungkin sebagian besar kasus, orang Kristen  tak dapat menjalani kehidupan Kristen karena ajaran yang mereka terima sangat tidak memadai, tidak cukup atau bahkan keliru. Mereka dengan sepenuh hati mencoba untuk menjadi orang Kristen, tetapi tidak memiliki kuasa. Akibatnya, mereka mendapati bahwa mereka hidup dalam belenggu kemunafikan.

Persoalannya adalah manusia lama tak pernah dimatikan. Mereka tidak pernah diajarkan untuk mati bersama-sama dengan Kristus dan bangkit ke dalam hidup yang baru bersamanya, jadi mereka berakhir dalam keadaan yang digambarkan di Roma 7.19: “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.” Di masa lalunya di bawah hukum Taurat, apakah Paulus tidak jujur? Tentu saja tidak. Di dalam batinnya dia bahkan menyukai hukum Taurat (Rm 7:22,25). Namun ketika menjalankannya, dia tidak sanggup.

Ini mengingatkan kita akan orang-orang Kristen yang mengagumi nilai–nilai yang terkandung dalam Khotbah di Bukit, tetapi tidak mampu untuk memenuhinya. Banyak orang mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak dapat mengerti Khotbah di Bukit. “Saya sering mendengar Khotbah di Bukit dibahaskan, tetapi saya tetap tidak dapat mengerti juga. Sepertinya tidak masuk akal. Bagaimana kita dapat menjalankannya dalam kehidupan sehari–hari?” Kita tidak akan pernah memahaminya selama manusia lama belum mati dan terus menguasai kita.

Sebagai contoh, Khotbah di Bukit berbicara tentang memberikan pipi kirimu jika pipi kananmu ditampar (Mat 5:39). Manusia lama tidak akan pernah dapat menoleransi penghinaan seperti suatu tamparan di pipi; apalagi memberikan pipi yang satunya. Dia cenderung bereaksi dengan suatu serangan balas. Memberikan pipi yang satunya merupakan hal yang mustahil tanpa transformasi yang terjadi melalui “kelahiran kembali”. Apakah kita sudah dilahirkan kembali, dapat segera diuji dalam kehidupan sehari–hari. Cara kita menanggapi tantangan hidup akan mengungkapkan kondisi rohani kita yang sebenarnya.


Kelahiran Kembali: Berlalunya yang Lama dan Datangnya yang Baru

Pada tingkat individu, 2 Korintus 5:17 berkata,

“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.”

Perhatikan bahwa “yang lama sudah berlalu”. Kita tak dapat memiliki yang baru tanpa melepaskan yang lama. Kita tak dapat menjadi ciptaan baru kecuali yang lama tidak lagi bercokol dalam diri kita.

Jika kita tidak menangkap kebenaran ini dan mengalaminya, kita akan berakhir di dalam situasi tercabik–cabik sebagaimana yang disebutkan sebelumnya: terjebak dalam pertentangan antara yang lama dan yang baru, atau malah hancur di bawah tekanan pertentangan tersebut. Keduanya terlibat dalam konflik yang tak dapat diperdamaikan, dan mereka yang merangkul keduanya akan dijadikan ajang pertempuran.

Itu bukan kehidupan Kristen. Yang lama harus pergi sekali dan untuk selama-lamanya, dan yang baru harus didirikan di dalam diri kita. Hanya jika Tuhan bertakhta di dalam ciptaan baru yang didirikan dalam diri kita, baru kita dapat mengalami pemerintahan-Nya yang benar. Dengan demikian kita akan dapat mencicipi langit yang baru dan bumi yang baru dalam hidup kita sekarang ini, dan selanjutnya pada tingkat jagat raya pada masa yang akan datang.

Mengapa kita memilih hidup yang tercabik-cabik apabila Tuhan ingin memberi kita yang terbaik? Karena kita tak ingin melepaskan yang lama. Yesus berkata, “Tidak seorangpun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: anggur yang tua itu baik.”(Luk.5.39). Yang tua itu baik karena Anda merasa betah dengan cara hidup dan cara pikir yang lama. Memang susah melepaskan hal yang sudah akrab dengan Anda. Hanya setelah kehidupan mereka benar–benar hancur dan nyaris mengalami gangguan jiwa, baru mereka mau melepaskan yang lama sepenuhnya. Namun, beberapa orang tetap tidak mau melepaskan yang lama walaupun hidupnya sudah berantakan. Sangat tragis.

Mari kita pertimbangkan akibatnya bagi nama baik gereja Allah yang kita kasihi di dalam nama Yesus Kristus. Kesaksian macam apa yang kita berikan kepada orang lain jika mereka tidak melihat hal yang berharga dalam kehidupan kita? Atau jika yang mereka lihat bukanlah ciptaan baru, tetapi manusia lama yang mereka kenal selama ini?

Kita akan mengalami permandian kelahiran kembali hanya jika kita ingin, sekali untuk selamanya, mengakhiri hidup lama kita, manusia lama kita, dan cara berpikir kita yang lama. Baptisan berlaku pada titik ini, bukan sebelumnya. Jangan menginginkan baptisan jika Anda masih mau berpegang pada dunia, uang, dan cara hidup yang lama. Demi kebaikan Anda, dan demi kebaikan gereja, tolong jangan mempertimbangkan baptisan sehingga Anda benar-benar rela melepaskan segalanya. Itulah yang dimaksudkan dengan kematian.

Ketika saya menjadi Kristen, saya tahu bahwa segala yang ada pada saya sekarang berada di bawah kekuasaan Yesus. Apapun yang dikatakan Yesus harus saya turuti, dan akan saya turuti. Ambisi yang pernah saya idamkan harus dilupakan. Saya bergumul selama enam bulan untuk melepaskan impian dan cita-cita saya, dan meninggalkan cara berpikir yang telah saya tanamkan selama bertahun–tahun.

Suatu hari saya berlutut di hadapan Tuhan dan berkata, “Tuhan, saya menyerahkan segalanya kepada-Mu.” Lalu saya bangun berdiri sebagai orang yang tidak punya apa–apa, bahkan tidak punya petunjuk harus berbuat apa mulai sekarang. Segala tujuan yang saya kejar sebelumnya sekarang telah pergi buat selamanya. Saya berdiri di sana seperti baru dilahirkan, tidak memiliki apa–apa dan tidak tahu harus pergi ke mana. “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya” (bdk. Ayb 1:21).

Apabila Anda dilahirkan kembali, seperti bayi yang baru lahir, Anda tidak memiliki apa–apa. Rekening bank Anda, besar atau kecil, bukan milik Anda lagi. Segalanya, termasuk diri Anda, mulai saat ini menjadi milik Yesus. “Kamu bukan milik kamu sendiri” (1Kor 6:19), Anda milik-Nya. Tetapi bagi manusia yang berpikiran rohani, justru di sinilah letak keindahannya: sekarang kita menjadi milik-Nya! Menjadi milik Dia yang mengasihi kita dan memberikan diri-Nya kepada kita! Dia yang merupakan Tuan atas segalanya! Namun, orang yang pikirannya dikuasai oleh kedagingan tidak ingin menjadi milik siapa pun kecuali dirinya sendiri, supaya dia dapat terus hidup mengutamakan dirinya. Hal terakhir yang dia inginkan adalah mati terhadap kehidupan lamanya.

Jika ada yang menganggap bahwa ajaran alkitabiah ini terlalu sulit untuk diterima, hal ini dapat dipahami. Akan tetapi, ia paling tidak harus memiliki kejujuran untuk berkata, “Saya tidak bisa menjadi orang Kristen.” Setidaknya kita berkata jujur tanpa berbelit-belit, tanpa mengelakkan isu-isu yang nyata ini. Segalanya atau tidak sama sekali. Anda harus memilih antara dilahirkan kembali, atau membenamkan diri sepenuhnya dalam dunia ini. “Makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah.” Anda akan menanggung akibatnya nanti, tetapi setidaknya Anda melakukan sesuatu yang Anda nikmati sekarang. Saya sudah mengulangi pernyataan-pernyataan ini nyaris ad nauseam (sampai membosankan). Akan tetapi, tidak peduli seberapa sering saya mengulanginya, pesan ini tampaknya masih belum mampu dimengerti banyak orang.

Bersambung

 

Berikan Komentar Anda: