Pastor Mark Lee | Pembaruan Akal Budi (3) |

Kehidupan macam apakah yang anda jalani? Apakah anda menjalani kehidupan dalam jalur duniawi atau jalur surgawi? Tahukah anda seperti apa itu kehidupan surgawi? Sebagian besar orang percaya bahkan tidak tahu seperti apa kehidupan surgawi itu? Apakah anda mengikuti rutinitas yang sama dengan semua orang: bangun pagi dan berangkat bekerja, pulang kerja di petang hari, menyibukkan diri dengan berbagai hal sampai akhirnya anda tertidur? Semua unsur dalam kehidupan anda tidak ada bedanya dengan cara hidup orang dunia. Satu-satunya perbedaan hanya orang percaya beribadah ke gereja pada hari Minggu, sementara orang lain menghabiskan hari Minggu mereka di tempat lain. Akan tetapi, bahkan hal ini juga sudah tidak berlaku lagi sekarang karena kebanyakan gereja sudah ditutup akibat pandemi.

Apa itu kehidupan surgawi? Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa orang yang hidup di dalam kerajaan surga mengejar kerajaan dan kebenaran Allah. Apakah anda melakukan itu sepanjang seminggu ini? Demikianlah, anda perlu waspada dan memahami bahwa hal-hal yang terjadi sekarang ini adalah peringatan dari Allah. Dalam kenyataannya, sebagian besar orang percaya, bahkan mereka yang menjadi bagian dari jemaat kita, mengejar kehidupan duniawi. Kehidupan yang mereka jalani adalah cara hidup orang dunia. Hal yang mereka inginkan adalah kenyamanan hidup di dalam dunia, dan dunia menjanjikan berbagai jaminan bagi kenyamanan dan rasa aman.

Namun, Allah memakai pandemi ini untuk memperingatkan kita bahwa dunia ini akan segera berakhir. Pernahkah anda memikirkan tentang kepergian anda dari dunia ini? Pandemi yang sedang berlangsung ini adalah peringatan dari Allah. Dari siaran berita, anda mungkin sudah mendapatkan gambaran umum tentang betapa kacau dan rumitnya kondisi politik sekarang ini. Ada banyak demonstrasi dan kerusuhan di banyak negara. Ada juga berbagai masalah lingkungan seperti perubahan iklim dan bencana alam, beriringan dengan pandemi dan resesi ekonomi. Anda bisa melihat bahwa keadaan zaman sekarang sangatlah parah, dan keadaan yang parah ini adalah tanda peringatan dari Allah.

Oleh karenanya, saudara-saudari, saya harap jika anda – yang hidup di zaman sekarang ini, yang menyaksikan berbagai berita tentang perkembangan pandemi ini – dapat mempertimbangkan dengan cermat tentang tujuan hidup yang anda kejar. Apakah anda mengejar kenyamanan dari dunia berikut semua janji-janjinya? Atau anda memusatkan perhatian pada kerajaan dan kebenaran Allah? Anda harus membuat pilihan. Jika anda memilih untuk menolak kebenaran dan melanjutkan dengan obsesi anda dalam dunia ini, berkeras untuk menjalani kehidupan ini dengan cara yang sama dengan orang dunia, maka anda akan kehilangan keduanya pada akhirnya. Anda akan kehilangan status anda di dalam kerajaan surga dan juga kehilangan perlindungan dari dunia, karena perlindungan dari dunia sangatlah rapuh.

Alkitab menyerukan, “Berpalinglah!” Mengapa anda harus binasa bersama dunia? Dunia ini sudah ditakdirkan untuk dibinasakan, tetapi anda masih bisa berpaling dari dunia ini dan memperoleh hidup melalui injil. Jika anda perhatikan tren yang sedang berlangsung di dunia ini, maka anda akan tahu bahwa waktunya sudah tidak lama lagi, keadaan damai ini akan berakhir tidak lama lagi. Jika anda masih mengasihi dunia, maka anda menjadi bodoh karena periode damai sekarang ini akan berakhir. Tentu saja, setan akan berusaha membingungkan kita dengan penyesatan bahwa masih ada harapan dari dunia. Namun, kenyataannya dunia yang kita lihat sekarang ini sedang berjalan menuju kemusnahan sebagaimana yang digambarkan dalam kitab Wahyu, langkah demi langkah menuju kebinasaan, dan pada akhirnya nanti musnah sepenuhnya. Saya harap setiap orang bisa memakai peristiwa pandemi ini untuk membuat perenungan yang mendalam. Di pihak manakah anda sekarang ini? Apakah anda di pihak surga atau dunia?

Hari ini, saya ingin bagikan kepada anda hal-hal yang saya amati dari pandemi dan kondisi sekarang ini.


P
embaruan Akal Budi, Kunci bagi Pertumbuhan Rohani

Dua khotbah yang terakhir berbicara tentang “Pembaruan akal budi” sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Roma. Saya akan melanjutkan topik ini karena ada banyak pelajaran dan prinsip penting  bagi kehidupan rohani kita. Buku Pastor Eric Chang, Menjadi Manusia Baru membahas masalah “lahir baru” dan “pembaruan”. Ada dua tahap di dalam kehidupan rohani, pertama adalah lahir baru, sama seperti bayi yang baru dilahirkan, dari hidup yang lama ke dalam hidup yang baru; tahap kelahiran rohani ini seharusnya berlangsung saat anda dibaptis. Kita seharusnya sudah akrab dengan urusan ini, karena hal ini sangat sering dibahas di dalam gereja.

Kita cenderung mengabaikan tahap yang kedua. Pokok tentang lahir baru sering dibahas, terutama menjelang baptisan; tetapi bagi kebanyakan orang percaya, begitu mereka menjalani tahap yang pertama, segala sesuatunya berhenti begitu saja, tidak ada kelanjutan dalam bentuk perubahan dan pembaruan. Demikianlah, Allah mengingatkan saya untuk menyampaikan aspek yang kedua ini kepada anda.

Jika anda menanyai orang percaya: “Apa arti pembaruan?” Dia mungkin tidak bisa memberi jawaban. Banyak orang percaya yang memiliki masalah ini: mereka sudah percaya kepada Tuhan selama lima, sepuluh, lima belas tahun, atau bahkan lebih lama lagi; tetapi mereka tidak mengalami kemajuan di dalam kehidupan rohani mereka, atau kalau pun kemajuan itu ada, perkembangannya sangatlah lambat. Setelah percaya kepada Tuhan sampai bertahun-tahun, anda akan melihat bahwa di luar urusan pengetahuan tentang hal-hal religius, cara hidup mereka tidak menunjukkan perbedaan dari orang dunia. Ini adalah masalah yang serius dan sangat parah.

Seorang percaya yang sudah menyatakan percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun ternyata tidak menunjukkan perbedaan dengan mereka yang baru saja mempercayai Tuhan. Jika dilihat dari cara hidup dan perilaku mereka, satu-satunya hal yang pasti adalah mereka mendapat pendalaman pengetahuan; tetapi bagaimana dengan semangat pelayanan? Tidak jelas. Pendalaman hikmat? Tidak terlihat juga; apakah komitmen mereka semakin mendalam? Hampir tidak ada bedanya dengan komitmen di titik awal. Masalahnya adalah karena kehidupan rohani kita macet setelah baptisan. Sebagian orang percaya bahkan ada yang bergerak mundur. Ada juga yang penuh dengan semangat di titik awal ketika mereka baru dibaptis, tetapi sesudah beberapa waktu, bahkan semangat awal itu juga sudah padam. Inilah situasi yang kita hadapi.

Satu-satunya peningkatan yang terjadi dalam proses ini hanyalah tambahan pengetahuan. Anda mungkin sangat akrab dengan isi Alkitab dan bisa mengutip berbagai ayat Kitab Suci; tetapi hal yang kita bahas sekarang adalah kehidupan. Dapatkah anda melihat perbedaan antara orang percaya yang sudah berpaling kepada Allah selama sepuluh tahun dengan yang baru saja menjalaninya dalam waktu dua atau tiga tahun? Dalam banyak kasus, saya tidak melihat ada perbedaan di antara mereka. Oleh karenanya, urusan pembaruan ini sangatlah menentukan, karena ketika orang datang kepada Tuhan, dia memang mengalami lahir baru, tetapi dia belum mengalami pembaruan. Sejak saat lahir baru, kehidupan rohani mereka seperti membeku. Orang yang sudah percaya selama puluhan tahun dibandingkan dengan yang baru percaya sekitar tiga tahun ternyata menunjukkan akal budi dan pikiran yang sama, mengapa? Karena akal budinya belum diperbarui.

Itu sebabnya mengapa Paulus menyebut jemaat di Korintus sebagai ‘bayi’. Pada saat itu, jemaat di Korintus sudah bertahun-tahun ditangani oleh Paulus. Dia tidak selalu mendampingi mereka, tetapi ada beberapa rekan sekerja Paulus yang selalu membimbing mereka. Namun, setelah mendapat bimbingan sekian lama, Paulus berkata bahwa mereka masih berperilaku seperti ‘bayi’. Ini berarti Paulus tahu bahwa mereka memang sudah lahir baru, akan tetapi mereka tidak mengalami kemajuan atau pembaruan dalam kehidupan rohani mereka; suatu persoalan yang lazim dialami oleh orang-orang percaya. Oleh karena itu, pokok tentang pembaruan ini sangatlah penting; akal budi dan pikiran kita harus selalu diperbarui. Namun, jika anda amati keadaan para saudara dan saudari seiman, mereka tidak terlihat mengalami pembaruan. Pikiran mereka masih tetap sama bahkan setelah menjadi murid selama puluhan tahun.


Tanpa
Pembaruan Akal budi, Kehidupan Rohani menjadi Tidak Stabil

Apakah makna pembaruan akal budi? Pokok ini tentu saja memerlukan pembahasan lebih lanjut. Ada sebagian orang yang berkata, “Dulu aku tidak peduli dengan sesama manusia, sekarang aku sudah lebih peduli”; ada juga yang berkata, “Dulu aku pemarah, sekarang aku sudah bisa mengendalikan perasaanku.” Semua itu memang sangat baik, kemajuan dalam perilaku adalah hal yang baik; tetapi apakah ini pembaruan akal budi? Tahukah anda apa makna sesungguhnya dari pembaruan akal budi? Jika anda sudah menjadi orang percaya selama bertahun-tahun tetapi masih tidak tahu apa artinya, jelaslah bahwa anda sendiri belum mengalami pembaruan itu.

Banyak orang menjadi percaya, tetapi bagaimana dengan kehidupan rohani mereka? Hal inilah yang sering terjadi pada diri mereka: diawali dengan kehidupan tanpa menganut agama apapun, kemudian mulai kenal dengan orang-orang percaya dan pergi ke gereja; setelah beberapa tahun, mereka menjadi percaya kepada Tuhan dan menerima ajaran Alkitab. Mereka bersedia mengikuti ajaran Alkitab, dan anda bisa melihat perkembangan besar dalam kehidupan rohani mereka di masa awal ini. Namun, sekitar dua atau tiga tahun kemudian, kehidupan rohani mereka mulai berfluktuasi; mereka bolak-balik di antara saat-saat yang baik dan yang buruk; “Tahun lalu terlihat baik, tetapi tahun ini banyak terjadi kemacetan, mungkin tahun depan segala sesuatunya bisa menjadi lebih baik.”

Anda akan dapati sebagian orang percaya yang kehidupan rohaninya naik turun seperti itu selama bertahun-tahun; bisa terlihat menanjak dan meluncur turun di dalam kehidupan rohani mereka. Saya yakin bahwa orang percaya macam ini mencakup lebih dari separuh jumlah jemaat gereja, bahkan mungkin sekitar dua per tiga jemaat berada dalam kondisi ini. Kadang mereka terlihat baik, kadang memburuk, kadang menanjak dan ada juga saatnya menukik tajam. Seperti orang yang membiarkan roda-roda kendaraannya menganggur terlalu lama, roda-roda itu macet dan tidak mau bergerak maju.

Jika anda bertanya apakah mereka benar-benar ingin mengikut Allah, maka mereka akan menjawab dengan serius dan tulus bahwa mereka selalu ingin mengikut Allah, dan bahwa mereka selalu ingin melangkah di jalan Allah; memang disayangkan bahwa mereka mengalami masa pasang surut di dalam prakteknya, akan tetapi mereka tidak akan berkata, “Saya sudah tidak sanggup lagi, saya tidak mau lagi menjadi orang Kristen.” Mereka bukan orang semacam itu, tetapi kenyataannya mereka tetap saja seperti orang di dalam roller-coaster, bergerak naik dan turun di dalam kehidupan rohani mereka. Biasanya hal ini bisa berlangsung sampai puluhan tahun, ada banyak contoh nyata mengenai hal ini.

Jika seorang Kristen terus saja menjalani kehidupan rohaninya seperti itu sampai lima, sepuluh atau lima belas tahun, bagaimana mungkin dia akan berubah nantinya? Anda tahu bahwa peluangnya untuk berubah sangat tipis. Bayangkan saja seperti sebuah mesin yang sudah macet dan tak ada orang yang memperbaikinya, komponen mesin itu akan berkarat setelah didiamkan cukup lama. Begitu berkarat, maka mesin itu akan sangat sukar dihidupkan lagi. Ini adalah keadaan yang sangat parah.

Orang-orang menaruh kepercayaan kepada Allah, mereka ingin mengejar tujuan rohani dan mengikut Allah; tetapi mereka selalu mengalami keadaan pasang surut, tanpa adanya kemajuan dalam jangka panjang serta tanpa langkah terobosan yang kokoh.

Layakkah hal ini disebut sebagai kehidupan rohani? Jika kehidupan seseorang mengalami kemacetan, sebenarnya hal apakah yang terjadi di dalam kehidupan rohaninya? Persoalannya jelas, dia memang sudah lahir baru, tetapi dia mengalami kemacetan setelah itu, dan kehidupan rohaninya tidak mengalami pembaruan yang berkelanjutan. Urusan lahir baru hanya terjadi satu kali dalam kehidupan, tetapi urusan pembaruan adalah proses yang berkelanjutan, selalu berlangsung tahun demi tahun. Dengan kata lain, seseorang yang mengalami pembaruan akan selalu berbeda tahun demi tahun, atau bahkan bulan demi bulan. Akan tetapi banyak murid yang terlihat sama saja setelah lewat bertahun-tahun, bahkan ada yang justru menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Bagi sebagian orang, puncak kehidupan rohani mereka hanya ada di saat mereka dibaptis; hal yang terjadi selanjutnya adalah periode penurunan di dalam kehidupan rohani mereka, dan satu-satunya hal yang bisa mereka kendalikan adalah kecepatan jatuhnya. Oleh karena itu, kita bukan saja perlu memahami pembaruan kehidupan rohani, melainkan harus mengalaminya terus menerus; jika tidak, maka akan seperti kebanyakan orang percaya lainnya, tidak akan ada kemajuan di dalam kehidupan rohani anda.


K
emajuan Rohani Diawali dengan Pembaruan Akal Budi

Apakah pembaruan akal budi itu? Belum lama ini, saya mengajak saudara untuk menetapkan gol dalam kehidupan rohani anda, untuk belajar mengejar kualitas kehidupan rohani. Banyak saudara dan saudari seiman yang sudah menetapkan berbagai tujuan rohani mereka; ada yang memutuskan untuk belajar bagaimana mengetahui kehendak Allah serta mengikutinya; yang lainnya belajar untuk lebih peduli pada kebutuhan orang lain (seperti rekan kerja, mau pun saudara dan saudari seimannya) serta membantu memenuhinya; ada lagi yang menetapkan untuk bekerja lebih keras serta belajar Alkitab setiap hari; ada yang ingin melepaskan diri dari belenggu keduniawian, tidak ingin lagi diganggu oleh keduniawian; ada yang ingin melepaskan diri dari berbagai jerat emosi yang negatif serta belajar untuk tetap teguh dalam iman di tengah berbagai kesulitan; ada yang ingin belajar merendahkan diri; ada yang ingin belajar mengasihi, dan ada yang ingin belajar menjadi sabar. Saudara-saudari seiman, setiap orang punya hal yang ingin mereka pelajari.

Menetapkan tujuan adalah hal yang baik, itu sebabnya saya menganjurkan setiap orang untuk menetapkan tujuan yang akan mereka kejar. Namun, setelah ada tujuan, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana caranya kita mencapai tujuan tersebut. Jelaslah bahwa penetapan tujuan tidak berarti bahwa anda mampu untuk mencapainya; anda masih perlu memahami bagaimana cara mencapai tujuan itu. Jadi, bagaimana kita bisa mencapai berbagai kualitas kerohanian serta kemajuan itu? Akhirnya kita sampai pada pokok yang akan kita bahas pada hari ini.

Banyak orang yang mengira bahwa mereka hanya perlu berusaha lebih keras setelah tujuan ditetapkan; perlu terus melatih diri sampai tujuan itu bisa dicapai. Mereka mengira bahwa urusannya hanya mencakup penetapan tujuan, setelah itu berlatih dengan tekun. Akan tetapi, ini justru jalur yang salah.

Kitab Roma menyatakan dengan jelas bagaimana perubahan itu terjadi; Alkitab memberitahu kita di mana titik awalnya, itu jika kita ingin hidup kita diubah dan mengalami kemajuan secara rohani. Roma 12:2 mengatakan,

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”

Bagaimana hidup seseorang bisa diubah menurut ayat ini? Melalui pembaruan akal budinya! Orang perlu memperbarui akal budinya sebelum bisa mengalami perubahan, jadi bukan diawali dengan menetapkan tujuan. Tentu saja, hal penetapan tujuan juga merupakan urusan yang penting, tetapi anda juga perlu tahu bagaimana cara mencapainya, anda perlu punya metode untuk itu. Metode dari Allah, yang ditegaskan dengan jelas dalam Alkitab, adalah anda harus mengubah akal budi anda dulu, perubahan perilaku akan menyusul kemudian.


M
engawali dengan Mengubah Perilaku, hanya Menjalani Aturan

Namun, bagaimana jika anda mengawali dengan usaha mengubah perilaku dulu, bukannya dari perubahan akal budi? Jika anda hanya merasa wajib melakukan sesuatu, dan berusaha melakukannya tanpa mengalami pembaruan akal budi, itu berarti anda hanya membuat aturan dan berusaha menjalankannya. Ini terjadi karena anda melakukan sesuatu yang tidak bersumber dari akal budi anda, hanya berupa tindakan lahiriah. Anda mungkin berpikir, “Apa yang harus saya lakukan?”, “Apa yang tidak boleh saya lakukan?” “Bagaimana caranya supaya tujuan itu bisa dicapai?” Alkitab menyebut semua urusan itu dengan ungkapan “menjalankan peraturan”. Itu berarti perilaku lahiriah anda tampaknya berubah, tetapi batin anda tidak mengalami perubahan sama sekali. Segala hal yang anda lakukan dalam kondisi itu hanya bersifat lahiriah, sekadar menjalani aturan.

Banyak orang tidak memahami pandangan Alkitab tentang hal ‘menjalankan aturan’. Di satu sisi, ada banyak ajaran di dalam Alkitab yang mengajarkan tentang hal melakukan ini dan itu, seolah-olah Alkitab berisi daftar peraturan; tetapi, di sisi lain, Alkitab juga memperingatkan umat untuk tidak mengandalkan aturan. Ini terlihat membingungkan, sepertinya Alkitab memberi kita daftar aturan yang diikuti dengan peringatan untuk tidak menaatinya. Lalu, apa yang harus kita lakukan, menaati atau tidak menaati? Sebenarnya, anda memang perlu menaatinya, tetapi bukan hanya dalam wujud tindakan, melainkan dengan dilandasi oleh niat hati anda. Jadi, hal pertama yang perlu terjadi adalah perubahan dalam hati, akal dan budi anda sebelum tindakan mulai dijalankan. Dengan demikian, anda tidak sekadar ‘menjalankan peraturan’, karena bukan hanya perilaku anda saja yang sudah berubah melainkan perubahan sudah terjadi jauh di dalam benak anda. Kita perlu memahami dengan jelas ajaran di dalam Alkitab sebelum kita mencari tahu bagaimana cara menjalankannya.

Jika kita tidak mengalami perubahan di dalam diri kita, tetapi kita berkeras untuk memaksa diri melakukan perbuatan baik secara lahiriah, maka kita akan menjadi sama dengan orang-orang Farisi. Mengapa Yesus menegur orang-orang Farisi? Karena hati dan pikiran mereka belum berubah, walau pun mereka melakukan hal-hal yang luar biasa secara lahiriah. Oleh karena itu, Yesus menuding orang-orang Farisi dengan perkataan, “Kamu membersihkan bagian luar dari cangkir dan piringmu, tetapi kamu membiarkan bagian dalamnya tetap kotor. Apakah kamu pikir hal itu ada gunanya?” Tentu saja, hal itu tidak berguna. Urutan pembersihan itu sangatlah penting. Dengan kata lain, tak peduli apapun yang kita perbuat, semua itu harus bersumber dari niat hati kita sendiri. Jika harus bersumber dari dalam hati kita, berarti yang paling pertama mengalami perubahan haruslah hati kita; batin kita harus mengalami perubahan terlebih dahulu, selanjutnya perilaku kita akan mengikuti perubahan itu.

Saya harap setiap orang bisa memahami makna penting dari urutan ini. Ingatlah, jangan mengawali dengan perubahan secara lahiriah hanya karena hal itu lebih mudah untuk dijalankan. Allah adalah perancang kehidupan kita. Jika kita ingin agar hidup kita berubah, maka kita harus mengikuti pola yang sudah ditentukan oleh perancangnya. Kita tidak bisa melakukannya sesuka hati kita. Jadi, jika anda ingin memperbaiki perilaku anda, maka anda harus mengawalinya dengan memperbarui akal budi anda.

Pembaruan akal budi terkait dengan segala aspek dan tingkatan urusan dalam hidup kita. Adalah mustahil menuntaskan segala sesuatu dalam satu tahapan saja. Saya akan menjelaskannya melalui beberapa kategori.


Singkirkan
Keraguan dan Ketidakpercayaan kepada Allah

Kali ini saya akan membahasnya secara lebih praktis, bukan sekadar menyampaikan teori saja. Saya akan memulainya dengan beberapa hal yang perlu diperbarui di dalam pikiran kita. Pokok pertama yang akan saya bahas hari ini (dan masih banyak pokok lainnya yang terkait dengan tema ini) adalah hubungan kita dengan Allah, dan juga hubungan kita dengan orang lain; tetapi kita sekarang akan memusatkan perhatian pada hubungan kita dengan Allah.

Dapatkah anda menemukan kekeliruan, ketidak-tepatan dan penyimpangan di dalam pikiran anda dalam cara anda memandang Allah? Kita harus menangani persoalan kita dengan Allah dan menyingkirkan rintangan yang menghambat hubungan kita dengan Allah. Untuk bisa menyingkirkan semua persoalan itu, tentu saja, kita mengawalinya dari hati dan pikiran kita. Di dalam hubungan antara orang percaya dengan Allah, persoalan yang paling sering muncul adalah hati yang meragukan Allah (hal yang sering disebutkan dalam Alkitab). Keraguan itu bukan mengenai keberadaan Allah, persoalan yang terkait dengan orang yang tidak percaya. Orang Kristen tidak meragukan keberadaan Allah; tetapi mereka ragu apakah Allah berkenan menolong mereka atau tidak, apakah Allah berkenan menolong mereka menangani kesukaran yang mereka hadapi atau tidak, mereka merasa tidak yakin akan hal-hal itu.

Tahun yang lalu terasa sangat spesial; pada tahun lalu, ada sekumpulan orang di kalangan jemaat yang sedang mencari pekerjaan. Sebagian dari mereka ingin pindah kerja dengan berbagai alasan, ada yang mencari pekerjaan setelah sempat mengambil  cuti untuk membantu pelayanan di gereja selama satu atau dua tahun. Di tahun yang lalu, beberapa saudara dan saudari seiman berusaha mencari pekerjaan. Sejauh ini, mereka semua sudah mendapatkan pekerjaan.

Jika anda diminta untuk menatap ke belakang, pada keseluruhan proses anda mencari pekerjaan itu, mulai dari awal pencarian sampai pada berbagai hal yang terjadi selama proses itu, dari isi hati anda, pernahkah anda meragukan niat Allah untuk menolong anda, atau anda justru sangat yakin dan tidak punya keraguan sama sekali? Hanya anda yang bisa menjawab pertanyaan itu, saya tidak bisa membaca pikiran anda. Sebelum mendapat pekerjaan, adakah keraguan terlintas di benak anda, apakah anda khawatir, cemas dan takut kalau-kalau anda tidak mendapat pekerjaan? Apakah anda bertanya-tanya, “Berapa lama sampai aku bisa mendapat pekerjaan?” “Apakah pekerjaan ini cocok buatku?” “Haruskah aku menerima pekerjaan ini?” Semua bentuk keraguan itu sangat lazim ditemui di kalangan orang percaya.

“Segera Yesus mengulurkan tangannya, memegang dia dan berkata: ‘Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?'” (Matius 14:31)

Yang sedang diuraikan dalam ayat ini adalah masalah keraguan; lantas apakah hal yang diragukan itu? Tentu saja, keraguan tentang apakah Tuhan akan menolong kita, apakah Dia akan bertindak mengatasi badai; demikianlah, para murid merasa tidak yakin di dalam hati mereka. Saat Yesus naik ke perahu dan badai itu berhenti, para murid segera memuji Allah; tetapi sebelum itu, mereka mengalami keraguan. Apakah masalah ini menimpa kita juga? Saat kita menghadapi kesukaran, apakah anda mengalami keraguan, tidak yakin apakah Allah akan menolong anda, khawatir akan seperti apa perkembangan masalah ini nantinya?


Kek
hawatiran Mencerminkan Keraguan terhadap Allah

Mungkin kita tidak menunjukkan keraguan kita terhadap Allah secara terbuka, atau keraguan kita mungkin tidak terlalu menyolok. Namun, jika anda merasa khawatir di dalam hati anda dan tidak tahu apakah Allah akan menolong anda, maka ini sudah merupakan suatu bentuk keraguan. Kekhawatiran adalah masalah penting yang banyak melanda umat; tentu saja kekhawatiran ini ada berbagai tingkatannya. Dalam berbagai kasus yang ekstrim, orang-orang bahkan memerlukan bantuan obat penenang; mungkin kita belum mencapai tingkat yang separah itu. Mungkin kita hanya mengalami sedikit kekhawatiran; tetapi hal itu sudah cukup untuk menunjukkan keraguan kita kepada Allah. Jika anda sangat yakin bahwa Allah akan menolong anda, maka anda tidak akan merasa takut sama sekali. Jika anda tidak memiliki rasa takut, maka tidak ada kekhawatiran yang perlu anda rasakan. Jika anda benar-benar mempercayai Allah, maka anda boleh dengan yakin berkata, “Tak jadi masalah buatku, aku tahu bahwa Allah akan membimbingku mendapatkan pekerjaan.” Namun, berapa banyak dari kita yang sudah mencapai tingkatan keyakinan seperti ini? Ketika terjadi masalah, reaksi kita seringkali adalah rasa takut, khawatir dan ragu.

Banyak orang yang mengira bahwa ini sudah menjadi watak manusia; apalagi sampai menganggur bertahun-tahun, menganggur setengah tahun saja sudah menimbulkan kekhawatiran. Namun, ‘watak manusia’ yang anda sebutkan itu mengacu pada orang biasa. Jika seorang yang tidak percaya ingin mencari pekerjaan baru atau dipecat oleh majikannya, wajar baginya untuk merasa khawatir. Namun, kita adalah orang Kristen, bukan orang biasa. Pertanyaannya adalah, apakah ada perbedaan antara orang Kristen dengan yang bukan? Ternyata tidak. Saya melihat banyak orang Kristen yang tidak berbeda dari orang non-Kristen.

Jika seorang non-Kristen melihat seorang Kristen dan membatin, “Apakah dia ini orang Kristen?” Dia mungkin menyimpulkan bahwa orang yang sedang dia amati bukanlah orang Kristen; mungkin dia akan berkata, “Orang ini tidak berbeda dengan saya, kita sama-sama khawatir akan keadaan yang sedang dihadapi.” Jadi, apa bedanya? Yang berbeda hanya sebutannya, orang itu menyebut diri “Kristen”. Akan tetapi pikirannya tidak berbeda dengan orang lain yang non-Kristen. Jelaslah bahwa dia bukan orang yang sesungguhnya bergantung kepada Allah.

Saya yakin bahwa kebanyakan orang pernah mengalami hal ini: mencari pekerjaan atau sekolah, atau yang lainnya. Anda mungkin menyadari bahwa di tengah proses tersebut, sering anda merasa gelisah, sebelum hal yang anda cari itu (entah pekerjaan, rumah atau sekolah) berada di dalam genggaman anda; anda akan terus dilanda kegelisahan.  Dengan kata lain, anda tidak memiliki keyakinan pada Allah; akal budi anda belum diperbarui, masih sama seperti orang yang tidak percaya. Dalam keadaan seperti ini, perilaku lahiriah anda tidak ada artinya sama sekali; sekalipun anda bisa mengendalikan perasaan anda, terlihat tenang di sisi luarnya.

Bukan perilaku anda yang saya persoalkan di sini, melainkan suasana hati anda. Ini adalah pokok yang sangat penting. Banyak orang meremehkan urusan hati. Pada dasarnya, suasana hati kita sangat besar peranannya (dan ini adalah konsep yang perlu anda ketahui). Anda merasa takut karena anda tidak tahu apa yang akan terjadi nanti saat anda sedang mencari pekerjaan. Tentu saja, anda tahu bahwa pada akhirnya anda tetap akan mendapatkan pekerjaan, entah cepat atau lambat. Namun, pertanyaannya adalah berapa lama hal itu baru terwujud? Tiga bulan? Enam Bulan? Setahun? Anggaplah anda masih belum mendapatkan pekerjaan setelah setahun mencari, mungkin anda akan merasa putus asa dan berpikir untuk mendaftar sebagai warga miskin di kantor dinas sosial.

Anda mengira bahwa kecemasan seperti ini adalah hal manusiawi yang wajar, padahal tidak demikian. Ini sebabnya mengapa kehidupan rohani kita menghadapi persoalan yang sangat besar. Menurut Alkitab, kecemasan ini dipandang sebagai keraguan terhadap Allah (seperti yang disebutkan dalam Matius 14:31); anda ragu apakah Allah akan berkenan menolong anda.


Kurangnya
Pembaruan Membuat Anda Tidak Akan pernah Bertumbuh

Apakah urusan ini merupakan dosa yang membawa maut? Kondisi tanpa pertumbuhan rohani tidak digolongkan sebagai dosa, karena masalah ini tidak berhubungan dengan pelanggaran. Anda bisa melihat betapa banyaknya hal yang kita salah-pahami. Apakah anda bersalah jika tidak mengalami pembaruan akal budi? Secara teoritis, anda tidak bersalah sama sekali. Dosa adalah pelanggaran terhadap perintah Allah, contohnya percabulan, dusta atau keserakahan; itu semua adalah contoh dosa. Sangat sukar menyalahkan seseorang hanya karena dia tidak mengalami pembaruan akal budi.

Lalu apa persoalannya? Persoalannya adalah kita cenderung memandang keadaan “tanpa pembaruan akal budi” bukan sebagai masalah serius. Kita hanya memandang dosa maut sebagai masalah yang serius, dosa seperti mengutuk, menyakiti atau membenci orang lain. Akan tetapi keadaan tidak mengalami pembaruan rohani tidak pernah dikategorikan sebagai dosa, tidak ada tuduhan apa pun dalam perkara ini. Ini karena anda memang tidak melakukan hal yang salah, anda tidak melakukan kejahatan; tetapi jika pembaruan akal budi ini diabaikan, maka ia akan berdampak langsung pada kesehatan rohani anda, suatu akibat yang lebih parah daripada dampak dari dosa.

Mengapa? Karena kehidupan rohani anda tidak akan pernah bertumbuh. Jika anda tidak mengalami perubahan di dalam akal budi anda, kehidupan rohani anda pasti tidak bertumbuh. Pikiran seseorang adalah pusat kendali atas diri orang tersebut, akal budi merupakan bagian yang paling penting. Jika otak dan pikiran anda tidak berkembang, hal ini bisa dikategorikan sebagai gejala yang disebut Microcephaly (otak kerdil).

Apakah Microcephaly itu dosa? Tak ada dosa dalam kasus ini, tetapi akibat dari Microcephaly lebih parah daripada dosa, yakni, anda tidak akan bisa bertumbuh. Ini adalah kasus yang menjerat banyak orang Kristen; ‘otak’ mereka tidak berkembang. Dia sudah lahir baru, tetapi ‘otaknya’ tidak mengalami pertumbuhan, ini jelas masalah yang serius. Seperti kasus medis yang baru belakangan ini diketahui oleh para ilmuwan, Microcephaly disebabkan oleh virus Zika. Ada sebagian orang percaya yang tetap saja berada dalam tahap bayi rohani setelah lama mengikut Tuhan. Mereka masih tetap sebagai ‘bayi rohani’ setelah tiga tahun mengikut Tuhan, dan hal ini seharusnya tidak bisa diterima. Tahapan sebagai bayi mestinya tidak berlangsung lebih lama dari satu setengah tahun, anda tidak boleh terus menjadi bayi setelah tiga tahun. Namun, banyak orang percaya yang masih menjadi bayi rohani sampai lima tahun setelah lahir baru, dan bahkan ada yang jauh lebih lama daripada itu, inilah dampak dari Microcephaly dalam kehidupan rohani.

Jadi, bagaimana penilaian anda terhadap situasi ini? Apakah ini persoalan yang serius? Mereka tidak berbuat dosa, tetapi mereka tidak mengalami pertumbuhan ke arah yang seharusnya. Setelah lewat sepuluh tahun dari saat lahir baru, akal budi mereka masih saja seperti yang baru satu atau dua tahun melewati saat lahir baru. Lalu, hal apa lagi yang bisa kita lakukan untuk mereka, bagaimana kita harus memperlakukan mereka? Sebagian orang sudah menjadi percaya sampai bertahun-tahun, tetapi akal budi dan pandangan kerohanian mereka masih sama saja dengan manusia lama mereka. Sebagian bahkan menunjukkan ketidak-peduliannya pada hal-hal rohani; ini kasus Microcephaly yang sangat parah.

Mengertikah anda? Ada persoalan yang dari sisi luar terlihat remeh, akan tetapi sebenarnya merupakan masalah yang serius dan berdampak luas. Saya hanya memakai urusan mencari pekerjaan sebagai contoh untuk membantu anda menguji diri sendiri: Apakah akal budi anda sudah diperbarui? Atau apakah persoalannya terletak pada anda tahu bahwa Allah itu Maha Kuasa, tetapi anda tidak mempercayai bahwa Dia akan menolong anda di bawah situasi apa pun, maka hal itu  membuat anda selalu merasa tidak yakin?


Kek
hawatiran Menjerat kita ke dalam Emosi yang Negatif

Bagaimana dengan kekhawatiran? Apakah kekhawatiran itu dosa? Biasanya orang tidak memandang kekhawatiran sebagai dosa, tetapi kekhawatiran menunjukkan adanya masalah besar dalam kehidupan rohani anda. Saat anda dilanda keraguan, saat anda merasa khawatir, kehidupan rohani anda menjadi lemah. Kekhawatiran tidak hanya terjadi pada saat anda sedang mencari pekerjaan; sekalipun anda sudah memiliki pekerjaan, anda bisa tetap terjerat kekhawatiran. Dunia ini tidak akan membiarkan anda menikmati hidup yang damai.

Di dalam sebuah perusahaan, seringkali ada perubahan kebijakan, misalnya dalam hal penetapan tugas dan tanggung jawab yang baru; ada juga masalah hubungan sosial dan kerja sama baik dengan pimpinan atau rekan kerja; dan masih banyak persoalan lainnya. Sekalipun anda sudah memiliki pekerjaan yang stabil, hubungan sosial di dalam kantor dan berbagai persoalan yang muncul antar pekerja bisa menempatkan anda di bawah tekanan mental, dan anda lalu merasa menderita.

Akankah Allah menolong anda? Tahukah anda bagaimana caranya bergantung pada Dia? Di sinilah letak persoalannya. Persoalan bisa muncul setiap saat. Selain masalah di tempat kerja, masih ada banyak hal yang bisa memicu kekhawatiran dan kecemasan anda; sebagai contoh, masalah kesehatan juga bisa memicu kecemasan. Apakah anda khawatir dengan kesehatan diri anda, atau mungkin penyakit yang diderita oleh anggota keluarga anda? “Akankah Allah menolong saya dan keluarga saya?” Apakah anda memiliki kecemasan seperti ini dalam pikiran anda? Apakah anda tidak yakin entah Allah akan menolong anda atau tidak? “Dia bisa bersedia, tetapi bisa juga tidak bersedia.” Anda berpikir seperti itu karena akal budi anda belum diubah, anda masih memelihara banyak ketidak-percayaan di dalam pikiran anda.

Lebih jauh lagi, ada banyak jenis kekhawatiran dalam urusan rohani, seperti pelayanan, penjangkauan, penginjilan. Semua itu adalah urusan yang sangat baik, tetapi bagaimana jika ada urusan yang menjadi tidak beres? Bayangkan jika anda hanya mengalami sangat sedikit kemajuan, atau bahkan tidak ada kemajuan, dalam pelayanan anda walau pun anda sudah berusaha keras; anda melihat bahwa orang-orang yang anda jangkau ternyata tidak mau datang, atau satu demi satu meninggalkan anda; akankah anda merasa seperti ini, “Allah mungkin tidak mau memakai saya”? Ada banyak pikiran sejenis ini di dalam benak manusia. Mungkin pikiran kita dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kita, dan kita tidak memiliki kemampuan untuk berpikir jernih; apalagi jika ditambah dengan kenyataan bahwa kita belum diperbarui, hal yang membuat pikiran negatif mudah tumbuh subur. Semua bentuk emosi negatif itu sangat lazim dijumpai di kalangan orang Kristen, mungkin pikiran negatif ini bahkan muncul berkali-kali dalam sehari.

Mengapa? Ini bukan hanya karena perilaku yang tak terkendali, tetapi yang akal budi anda belum diubah. Bagaimana perilaku anda bisa berubah jika akal budi anda masih sama? Saat orang percaya melakukan kesalahan, melakukan hal yang jahat atau mengalami kegagalan, akan muncul penghambat antara dia dengan Allah. Mungkin hambatan itu masih bisa diterobos, tetapi masih ada jarak di antara keduanya. Di dalam hatinya, dia tidak merasakan Allah melangkah bersama dia, atau bahwa Allah menerimanya. Dalam banyak kasus, sebenarnya itu hanya masalah pikiran orang itu saja. Anda harus mengerti hal ini: memang benar bahwa anda bisa saja terjerumus ke dalam dosa atau melakukan kesalahan; tetapi Allah tidak lantas mencampakkan anda hanya karena urusan itu. Allah hanya ingin agar anda kembali kepada-Nya.

Oleh karena itu, janganlah memegang pandangan bahwa Allah akan mencampakkan anda semudah itu. Ingatlah betapa Allah berinisiatif mencari Adam dan Hawa setelah mereka melakukan perbuatan dosa perdana di taman Eden. Allah tidak berkata kepada mereka, “Nah, kalian tidak mau mendengarkan-Ku dan berkeras memakan buah terlarang itu, selanjutnya Aku tidak mau melihat kalian lagi.” Tidak seperti itu, Dia justru bergegas mencari mereka; Dia membimbing mereka untuk kembali. Jadi, kita harus mengerti pokok ajaran dalam peristiwa ini. Dalam perumpamaan tentang anak yang hilang, anda bisa lihat bagaimana perasaan sang ayah ketika anak bungsunya meninggalkan dia serta menceburkan diri ke dalam kenikmatan duniawi? Sang ayah terus menantikan kepulangan anaknya. Tentu saja, sang ayah tidak bisa mengutus anak buahnya untuk memaksa anak itu pulang kembali; tetapi, dia sangat mendambakan hari anaknya pulang kembali.

Anggapan bahwa Allah tidak menginginkan kita saat kita melakukan kesalahan, adalah salah satu jenis pikiran yang keliru. Ada ratusan pandangan keliru yang tersimpan di benak kita, jadi bagaimana kita bisa maju? Anda tidak akan pernah maju jika anda habiskan segenap waktu untuk mengatasi hambatan-hambatan di dalam batin anda sendiri. Ini adalah pokok yang sangat penting, yakni: Alkitab menegaskan bahwa jika akal budi anda belum diperbarui, maka kehidupan rohani anda tidak akan bertumbuh. Harapan untuk berubah hanya ada jika hati dan pikiran anda diputar balik. Oleh karenanya, kita harus singkirkan semua anggapan keliru yang ada di dalam pikiran kita.


G
anti Anggapan keliru dengan Kebenaran Alkitabiah

Jika anda memeriksa isi pikiran anda dengan cermat, anda akan menemukan banyak ide atau anggapan keliru di sana, berbagai anggapan yang tidak sejalan dengan kebenaran alkitabiah atau kehendak Allah; mungkin ada ratusan atau ribuan jumlahnya. Semua itu bisa dengan mudah muncul dan memengaruhi anda, jadi kita harus belajar untuk selalu menolaknya, serta menggantikannya dengan kebenaran alkitabiah. Biarlah agar pikiran kita hanya diisi oleh unsur-unsur kebenaran, bukannya keraguan dan kepahitan, atau berbagai ketidak-murnian lainnya. Urusan menyingkirkan berbagai ketidak-murnian dari pikiran kita harus menjadi prioritas utama kita, karena pikiran yang keliru akan diikuti oleh perilaku dan tindakan yang keliru juga.

Oleh karenanya, kita harus menyerap kebenaran Alkitab dengan mendalam dan biarkanlah semua itu tertanam di dalam pikiran kita. Namun, harus diingat bahwa urusan menyerap kebenaran Alkitab ini tidak sama dengan urusan menghafal semboyan. Ada orang yang mengira bahwa mereka akan bisa menyerap kebenaran dengan cara menghafalkan ayat-ayat Alkitab; tidak ada hal semacam itu. Saat anda menghafal ayat Alkitab, dia hanya masuk melalui mulut anda, tidak melalui hati anda; kedua hal ini memiliki perbedaan yang sangat besar; semua ayat itu hanya akan masuk sebagai informasi di dalam otak anda. Oleh karenanya, jangan mengira bahwa saya sedang meminta anda untuk menghafalkan ayat Alkitab. Saya tidak meminta anda untuk mempelajari isi Alkitab seperti cara orang agama lain mempelajari naskah suci mereka, yang dihafalkan sebagai mantra, atau dijadikan alat untuk mencuci otak.

Hal menyerap kebenaran Alkitab adalah hasil karya dari Roh Kudus, kebenaran Alkitab itu akan bersinar di dalam pikiran anda seperti lampu sorot, yang menuntun pikiran anda untuk bereaksi serta berubah. Apa perubahan itu? Cara anda menilai sesuatu akan berbeda, dulu mungkin ada hal-hal yang anda pandang sangat baik dan penting buat anda; tetapi sekarang anda melihat bahwa penilaian anda yang dulu itu ternyata keliru dan sesat, bahwa penilaian anda dulu bukanlah fakta melainkan dusta. Saat pikiran anda berubah, anda akan mendapatkan pola pikir yang baru, sehingga anda akan berpikir dan menilai segala sesuatu dengan jauh berbeda. Inilah perubahan yang sejati; tetapi sangat sedikit orang Kristen yang mengalami perubahan semacam ini, jadi kita perlu mengejarnya.

Perubahan akal budi tentu saja merupakan hasil karya Roh Kudus, tetapi anda harus mengejarnya. Anda juga harus taat pada kebenaran, dan membiarkan kebenaran itu masuk ke dalam hati anda. Namun, saya mendapati betapa banyak orang yang pikirannya sangat kaku. Mereka berpegang pada berbagai anggapan sampai mati. Setelah mereka membangun pandangan tentang sesuatu hal, maka pandangan itu tidak akan berubah sampai mati. Adalah suatu persoalan besar jika pikiran kita begitu kaku sehingga tidak bisa dibentuk lagi, karena kita perlu memperbarui hati dan pikiran kita; dan itulah sebabnya mengapa saya sangat menekankan topik pembaruan akal budi ini.


Belajar M
engendalikan Pikiran

Untuk mengatasi keraguan dan kekhawatiran, kita harus mengubah akal budi kita; jika tidak, maka setiap kali anda mengalami kesukaran, reaksi awal anda adalah kecemasan, diikuti oleh keraguan dan kekhawatiran. Saat berbagai pikiran negatif meledak satu demi satu, anda tidak akan bisa mengendalikannya sekalipun anda ingin melakukannya. Mengendalikan pikiran bukan hal yang mudah bagi banyak orang, dan kita cenderung membiarkan berbagai pikiran berkeliaran di dalam otak kita. Jika anda tidak tahu bagaimana mengendalikan pikiran anda, kematian rohani akan menjadi hal yang tak terhindarkan. Sama seperti seorang penderita kleptomania yang tidak bisa menahan dorongan untuk mencuri di pusat perbelanjaan. Tentu saja, keadaan tanpa kendali ini tidak dapat diterima, kita memiliki tanggung jawab untuk mengendalikannya.

Sudah menjadi tanggung jawab anda untuk mengendalikan pikiran anda, dan anda bisa melakukannya, kecuali jika anda tidak mau melakukannya. Jika anda biarkan kemunculan pikiran acak itu menjadi kebiasaan, akan sangat sukar untuk membersihkannya nanti. Dengan kata lain, kita harus menaklukkan kekhawatiran dan keraguan itu; tetapi bukan dengan membenahi sisi luarnya saja, sekadar membuat penampilan yang terlihat tenang penuh kendali diri, atau sekadar menunggu sampai persoalan itu reda sendiri. Memang benar bahwa segala sesuatunya akan memiliki titik akhir, tetapi anda tidak mendapatkan pelajaran apapun dari semua proses itu; akal budi anda tidak akan berubah.

Diperkirakan pandemi akan berakhir dalam waktu sekitar dua atau tiga tahun; tetapi  pertanyaan yang muncul setelah ini adalah, sudahkah kita belajar sesuatu dari pandemi ini? Banyak orang yang memiliki sikap bahwa cara menghadapi kesukaran adalah bersabar dan menunggu sampai persoalan itu berakhir sendiri seiring dengan waktu; dan mereka tidak mendapatkan pelajaran apapun darinya. Dengan kata lain, mereka menderita tanpa memperoleh manfaat apa-apa, mereka menderita secara sia-sia, bukankah ini hal yang paling menyedihkan?

Di dalam Alkitab, Allah berfirman, “Aku tidak ingin melihat umat-Ku menderita.” Memang benar, dalam beberapa kasus, Allah membiarkan umat-Nya menderita; tetapi Dia tidak ingin melihat umat-Nya menderita secara sia-sia. Mengapa? Karena tujuan dari penderitaan itu adalah untuk melatih kita dan membantu kita bertumbuh, jadi penderitaan itu tidak sia-sia, melainkan sangat bermanfaat. Oleh karena itu, di  kitab Ratapan 3:33 yang ditulis oleh Yeremia, Allah menyatakan bahwa Dia tidak ingin melihat kita menderita tanpa arti. Benar bahwa Allah terkadang membiarkan kita menderita, akan tetapi penderitaan itu sendiri bukanlah tujuannya, melainkan manfaat yang bisa ditarik dari penderitaan itu. Sangat disayangkan bahwa banyak dari kita yang menanggung penderitaan tanpa mendapat pelajaran apa pun dari situ. Saat seseorang ditanyai, “Hal apa yang sudah anda pelajari dari penderitaan ini?” Dia mungkin menjawab, “Ini latihan kesabaran, bukankah begitu?” Ini keliru; hal yang perlu anda pelajari adalah cara mengatasi keraguan dan kekhawatiran dalam hidup.

Bagaimana supaya kita bisa mengatasi keraguan dan kekhawatiran? Sekalipun masalah utamanya tidak selalu keraguan dan kekhawatiran, yang anda butuhkan di sini adalah iman. Hanya dengan iman anda bisa mengatasi keraguan dan kekhawatiran. Iman, tentu saja, tidak datang dari hafalan ayat; jika akal budi anda benar-benar diperbarui maka anda akan memiliki iman kepada Allah. Banyak orang percaya yang sangat lemah imannya. Mereka selalu bertanya-tanya, “Apakah Allah mau menolong saya? Mungkin ya, mungkin juga tidak.” Iman semacam ini, jika kita beri nilai, mungkin hanya sekitar 10% sampai 15% dari iman yang kompeten, dan tentu saja merupakan iman yang lemah. Anda harus melatih iman anda sampai mencapai 50%, 70% atau bahkan 90%, dan terus melatih untuk menguatkannya. Inilah perubahan yang diberikan oleh pembaruan akal budi, yang membuat iman anda semakin kuat dan berakar dalam.

Lalu bagaimana cara menguatkan iman kita? Sederhana; sebenarnya, hal menguatkan iman itu sama saja dengan urusan menguatkan berbagai hal lainnya, yakni dengan cara menggunakannya terus menerus, melatihnya. Iman anda akan menjadi semakin kuat jika anda terus melatihnya. Melalui pemakaian terus menerus, iman anda terus dilatih dengan tekun, maka ia akan menjadi semakin teguh; dan akhirnya anda akan mampu mengusir semua keraguan dan kekhawaran, mengusir semua itu. Harap diingat bahwa iman anda memang harus terus dilatih dan dipergunakan. Ini adalah karena perubahan akal budi tidak terjadi secara ajaib dan mendadak, melainkan lewat latihan yang nyata. Di dalam proses ini, anda  diharuskan untuk teguh memakai kebenaran dari Alkitab untuk menolak godaan dan tuduhan dari setan. Itu sebabnya mengapa kita harus selalu melatih pikiran kita. Saya sering berkata, “Segala sesuatu akan ‘berkarat’ jika tidak digunakan, dan ini termasuk pikiran kita.” Jika anda tidak melatih pikiran anda, maka ia akan berkarat. Jadi kita harus mulai belajar cara memperbarui akal budi kita.


Memperoleh Pengetahuan Tidak Sama dengan Pembaruan Akal Budi

Di sini saya ingin membahas tentang kebingungan yang sering melanda orang Kristen. Umumnya mereka memandang bahwa pembaruan akal budi itu dicapai melalui penambahan pengetahuan; hal yang sepenuhnya salah. Studi Alkitab itu sendiri tidak ada gunanya jika anda tidak mencerna hasil studi itu dan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan anda. Pengetahuan adalah hal yang sia-sia, bahkan sekalipun anda mampu mengutip isi Alkitab dari Wahyu sampai Kejadian. Pengetahuan tanpa penerapan tidak ada gunanya.

Orang berkata, “Pengetahuan adalah kekuatan,” dan hal ini ada benarnya: pengetahuan memang menjadi sumber dari kekuatan. Namun, ungkapan ini hanya mengacu pada kekuatan dalam kehidupan duniawi, hal yang bertolak belakang dengan kehidupan rohani. Pengetahuan tidak memiliki kekuatan di dalam dunia rohani. Pengetahuan memang memiliki kekuatan dalam kehidupan duniawi; sebagaimana yang anda ketahui, bom atom adalah hasil dari pengetahuan, dan ini adalah bukti kekuatan yang ditunjukkan oleh pengetahuan. Oleh karenanya, saya tidak akan mengatakan bahwa pengetahuan sama sekali tidak memiliki kekuatan. Pengetahuan memang memiliki kekuatan di dalam alam jasmani, akan tetapi ia tidak memiliki kekuatan dalam alam rohani. Kuasa dalam kehidupan rohani datang melalui pembaruan akal budi.

Saya memberi anda contoh lain yang sederhana dan terkait dengan pengetahuan. Kebanyakan orang mengetahui bahwa merokok bisa mengakibatkan kanker paru. Bukan hanya para perokok yang berpeluang terkena kanker paru, sanak keluarga dan para tetangga juga beresiko terkena kanker paru melalui asap yang dihembuskan oleh para perokok. Orang zaman dulu hidup tanpa pengetahuan ini, dan ada banyak masalah kesehatan yang muncul akibat rokok dalam periode itu. Namun, sekarang keadaannya berbeda, banyak dari antara kita yang sudah paham akan pengetahuan yang sudah terbukti ini, dan sebagian orang berhenti merokok oleh karena pengetahuan itu. Namun, apakah pengetahuan ini bisa menolong semua orang untuk berhenti merokok? Anda sudah tahu jawabannya, seperti yang anda lihat, masih berjuta-juta orang yang tetap merokok sekarang ini.

Apakah mereka tidak tahu bahwa merokok menyebabkan penyakit kanker? Mereka tahu, tentu saja, tetapi pengetahuan ini tidak begitu berguna dalam mengubah kebiasaan mereka. Tak peduli seberapa banyak pengetahuan dan bukti disajikan, pandangan dan sikap seseorang tidak serta merta berubah oleh karenanya, jadi pengetahuan bukanlah obat untuk menyembuhkan kebiasaan buruk. Jika ada orang yang berkata, “Berhentilah merokok, hal itu menyebabkan penyakit kanker.” Sebagian perokok akan menjawab, “Lalu apa artinya hidup kalau saya tidak boleh merokok?” Saya merasa kasihan kepada mereka yang berpandangan seperti ini. Tak ada keceriaan yang bisa mereka nikmati tanpa merokok. Akan tetapi, itu adalah keyakinan mereka.

Bisakah anda melihatnya? Pengetahuan hanya sekadar teori, informasi atau fakta. Pengetahuan tidak bisa mengubah perilaku dan pikiran seseorang. Perilaku serta pikiran seseorang bergantung pada sikap, pilihan dan nilai-nilai yang dianutnya. Manusia bukanlah mesin; mesin mengikuti prinsip yang sederhana, menjalankan hal-hal tepat sesuai rancangannya. Manusia jelas bukan robot; mereka selalu bisa menolak perintah dan masukan dari anda. Jika mereka menolak nasihat anda, sekalipun dilandasi oleh fakta, tidak ada jalan untuk memaksa mereka untuk menerima ucapan anda. Mereka memiliki pandangan dan nilai-nilai mereka sendiri. Sekadar memasukkan pengetahuan ke dalam benak mereka tidak akan memberi hasil.

Sebagian orang bertanya, “Apa gunanya kalau saya harus berhenti merokok? Apalah artinya? Apalah gunanya menjalani hidup ini jika untuk urusan kecil saja saya tidak punya hak untuk membuat keputusan sendiri?” Ini adalah nilai yang dianut oleh sebagian orang, dan nilai yang mereka anut memang bermasalah.

Demikianlah, ada sangat banyak pengetahuan di dalam Alkitab. Pengetahuan di dalam Alkitab sangatlah berharga, tetapi pengetahuan tentang isi Alkitab juga tidak akan bisa mengubah nilai-nilai yang dianut oleh seseorang. Itu sebabnya mengapa Alkitab mewajibkan kita untuk menjalani pembaruan akal budi. Dengan kata lain, anda harus memiliki nilai-nilai serta pikiran yang baru, yakni, suatu perubahan radikal dalam perspektif atau sudut pandang anda. Jika dulunya anda memiliki cara penilaian tertentu atas suatu hal, sekarang cara penilaian anda sudah berbeda sepenuhnya; dan inilah yang disebut sebagai pembaruan akal budi.


Bersyukurlah Atas Segala Sesuatu

Tadi saya sempat mengulas tentang pentingnya kita beriman pada Allah. Sebagai tambahan, saya ingin bahas satu hal lagi mengenai isi pikiran kita yang perlu kita perbarui dalam rangka mendapatkan pembaruan akal budi. Di 1 Tesalonika 5:18 disebutkan, “Mengucap syukurlah dalam segala hal.” Saya yakin bahwa kebanyakan orang percaya sudah pernah mendengar ungkapan “mengucap syukur dalam segala hal” ini, dan sebagian orang bahkan gemar mengutipnya; tetapi apakah anda benar-benar “mengucap syukur dalam segala hal”? Pernahkah anda mengalami hal yang dimaksudkan oleh ayat ini? Pernahkah anda bersyukur dalam segala hal untuk satu hari, dari anda bangun tidur di pagi hari sampai anda pergi tidur lagi di malam hari? Banyak orang percaya yang bersyukur hanya untuk hal-hal baik yang terjadi pada diri mereka: mendapatkan promosi jabatan, mendapatkan bayaran ganda; jika anda hanya bekerja selama setengah tahun, tetapi manajer anda memberi anda upah setahun penuh, maka tentu anda akan berseru, “Haleluyah!”

Tak ada yang salah jika kita memuji Allah untuk hal baik yang terjadi pada diri kita, dan hal itu memang sangat baik; tetapi kita harus belajar bukan hanya bersyukur untuk hal-hal yang baik, melainkan juga bersyukur saat sedang menghadapi kesukaran, saat terjadi hal-hal yang buruk, saat urusan menjadi rumit. Bersyukurlah saat anda dikritik oleh bos anda; bersyukurlah saat anda merasa lemah; bersyukurlah saat anda kehilangan semangat; bersyukurlah saat anda disalahpahami. Ini bukanlah omongan saya pribadi, melainkan ucapan dari Paulus, “Mengucap syukurlah dalam segala hal.” Bukankah segala hal itu berarti segala kejadian? Ini memang sukar, tetapi sangat layak dipelajari.

Tentu saja, Paulus tidak bermaksud memberi anda peraturan. Ini seharusnya menjadi reaksi alamiah di dalam pikiran anda jika akal budi anda mulai mengalami pembaruan. Saat hal-hal buruk terjadi, saat keadaan tampak sangat buruk dan sukar untuk ditangani, dan anda tahu bahwa anda harus melewati banyak kesukaran, ketakutan, tekanan dan kesalahpahaman; tetap anda juga paham bahwa di balik semua itu tersedia berkat dan keadaan sebenarnya berada dalam kendali Allah, karena semua itu terjadi atas seizin Allah, tentunya Dia sudah memiliki rencana untuk kita. Jika anda berpikir seperti ini, berarti sudah ada pembaruan dalam akal budi anda. Sekalipun anda mungkin tidak tahu apa rencana Allah bagi anda sekarang ini, tetapi anda tahu bahwa Dia tidak akan membuat kekeliruan bahkan dalam hal sekecil apapun; dan anda akan bisa bersyukur kepada Allah yang sudah menganugerahkan anda pengalaman semacam ini sehingga anda boleh mempelajari hal-hal yang berharga untuk hidup anda.

Jadi, ubahlah pikiran dan sikap hati anda, supaya anda bisa bersyukur kepada Allah secara alami, karena anda tahu bahwa nanti anda akan bisa memahami tujuan indah yang Allah tetapkan untuk anda. Sekarang ini anda mungkin belum tahu, tetapi anda akan segera tahu, karena Allah tidak pernah mencobai kita, Dia tidak pernah ingin mencelakai kita. Mulai saat ini, mari kita ubah akal budi kita selangkah demi selangkah, dan pikiran kita tahap demi tahap. Seiring dengan perkembangan itu, anda akan semakin bisa melakukannya dari dalam hati anda, mengucap syukur dalam segala hal, karena anda tahu bahwa niat baik Allah terkandung di dalam segala sesuatu, tak ada kutukan atau celaka yang direncanakan untuk anda, dan segala sesuatunya akan menjadi baik. Inilah pembaruan akal budi, bukannya menghafal ayat lalu memaksa diri untuk menjalankannya. Saat akal budi anda sudah mengalami pembaruan, akan semakin banyak peristiwa yang bisa anda lalui dengan mengucap syukur, dan anda akan semakin mengerti di dalam hati apa sedang terjadi.


Segala Sesuatu Bermula dari Pembaruan Akal Budi

Pesan hari ini terutama memperkenalkan anda dengan makna “pembaruan akal budi” atau pembaruan pikiran, dan nantinya saya akan membahas bagaimana menjalankannya secara nyata. Sekarang kita memasuki tahun baru, jadi saya undang anda untuk memilih tujuan rohani untuk dikejar supaya kita bisa membuat kemajuan dalam kehidupan rohani kita. Sekarang kita sudah mengerti prinsip alkitabiah yang disebutkan dalam ayat kita hari ini, setiap orang seharusnya sudah mengerti dengan jelas maksud ayat itu: Tak peduli dalam hal apapun kemajuan yang ingin anda kejar, hal pertama yang harus dilalui adalah pembaruan akal budi; jika akal budi anda belum diperbarui, maka segala upaya anda tidak akan memberi hasil sekalipun anda berusaha keras untuk mewujudkannya.

Dengan kata lain, entah anda ingin belajar untuk lebih peduli, ingin melayani, ingin membuang berbagai emosi negatif, ingin menjadi rendah hati, atau ingin terbebas dari godaan dunia, semua itu tidak hanya terkait dengan perubahan perilaku, karena yang lebih utama adalah menjadikan perubahan akal budi sebagai titik awalnya. Jika akal budi anda belum diperbarui, maka persoalan anda tidak sepenuhnya teratasi; paling jauh hanya akan terjadi perubahan di sisi luar saja. Dengan kata lain, kita tidak boleh mengawali fokus pada perubahan perilaku, kita harus fokus pada pembaruan akal budi.

Oleh karenanya, setiap orang perlu memerhatikan apa yang ada di dalam pikiran yang perlu diubah, dalam konteks hal yang ingin anda pelajari. Sebagian orang ingin memperbaiki kemampuannya dalam bergaul; ada yang ingin mengubah cara pandangnya terhadap diri sendiri; ada yang ingin mengubah cara pandangnya terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarnya, dan mungkin peristiwa global juga; anda memang perlu memperbarui semua itu.

Dalam pertemuan selanjutnya nanti, pembahasan kita akan difokuskan pada pokok tentang pembaruan akal budi. Yang ingin saya bahas bukanlah ‘hal-hal apa yang sudah kita perbuat’ melainkan ‘bagaimana perubahan yang terjadi di dalam pikiran kita.’ Yang saya maksudkan dengan perubahan adalah koreksi yang terjadi pada berbagai pikiran yang salah dan negatif, koreksi ini akan membuat kita mampu mengatasi kecenderungan kita untuk menipu diri sendiri. Saya harap anda bisa menghayati pokok penting berikut ini:  Jika anda sudah mampu melihat penyesatan atau penipuan dalam sesuatu hal, maka anda akan dapati bahwa penyesatan atau penipuan itu sangat mudah untuk diatasi; karena anda sudah bisa memahami manfaat dari berbagai hal bagi diri anda. Hal ini bisa terjadi jika akal budi anda sudah berubah. Dulu anda merasa sukar untuk menempuhnya, tetapi sekarang sudah tidak terasa sukar lagi. Jika anda masih merasa sukar, maka itu berarti bahwa pikiran anda belum berubah, dan inilah pokok yang perlu kita pelajari.

Ajaran ini pembaruan akal budi merupakan pokok yang penting di dalam kitab Roma, karena ini adalah landasan bagi perubahan perilaku. Hanya melalui pembaruan akal budi kehidupan kita bisa mengalami perubahan sepenuhnya. Tidak peduli apapun hal yang akan anda pelajari di masa nanti, anda harus memulainya dengan pembaruan akal budi. Dalam pertemuan selanjutnya nanti, kita akan sama-sama berbagi kesaksian tentang hal-hal yang sudah kita pelajari melalui pengalaman kita sehubungan dengan hal pembaruan akal budi ini. Bagaimana anda menerapkan isi khotbah ini ke dalam hidup anda? Bagaimana pikiran anda mengalami perubahan? Dalam hal apa saja? Bagaimana perbedaan antara pikiran anda yang dulu dengan yang sekarang terhadap persoalan yang anda hadapi? Saya ingin mendengar kesaksian dari anda semua terkait dengan pokok ini, dan saya harap anda mendapatkan banyak manfaat dari isi pokok pembahasan ini.

 

Berikan Komentar Anda: