Pastor Eric Chang | Matius 19:13-15 | Markus 10:13-16 |

Hari ini, kita akan membahas dari Markus 10:13-16, perikop parallel dari Matius 19:13-15. Alasan kita membacanya dari Markus adalah karena catatan yang ada di dalam Markus lebih terperinci dari pada yang ada di dalam Matius.

Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu.  Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.  Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka.

Saat kita membahas Matius 18:1-5, kita sudah melihat bahwa Yesus menekankan fakta bahwa kita harus menjadi sama seperti anak kecil jika kita ingin masuk ke dalam Kerajaan Allah. Dan di perikop ini kita temukan lagi penekanan yang sama tentang pokok ini. Setiap kali Yesus mengulangi suatu ajaran, hal itu menunjukkan betapa pentingnya pokok tersebut.

Di khobath ini kita akan membahas aspek khusus dari pengajaran Yesus di kalimat ini, “Sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.” Dengan kata lain, jika Anda tidak menjadi sama seperti anak kecil, maka Anda tidak akan bisa masuk ke dalam Kerajaan. Akan tetapi – apakah makna sesungguhnya dari pernyataan bahwa Kerajaan Allah itu milik anak-anak kecil dan mereka yang sama seperti anak-anak kecil itu?


Yesus
tidak banyak berbicara tentang karya keselamatan

Sebelum kita masuk pada pokok ini, saya ingin mengarahkan perhatian Anda pada fakta bahwa dalam pengajaran Yesus, yang ditekankan bukan pada apa yang akan Allah kerjakan lewat Kristus demi keselamatan. Penekanannya adalah pada sikap kita atau pada syarat-syarat yang ditetapkan bagi kita untuk memasuki Kerajaan. Hal ini agak mengherankan. Yesus jarang membicarakan tentang karya keselamatan, memang ada disebutkan akan tetapi sangat sedikit dan terbatas. Hal ini bertolak belakang dengan khotbah-khotbah di gereja-gereja zaman sekarang, kita begitu banyak berbicara tentang apa yang Allah perbuat dan nyaris tidak berkata apa-apa tentang apa yang harus dilakukan oleh manusia.

Padahal Yesus justru berkhotbah dengan pokok bahasan yang sebaliknya. Tidak banyak yang Yesus uraikan tentang apa yang dikerjakan oleh Allah, seolah-olah hanya ingin mengatakan bahwa hal itu adalah urusan Allah sendiri. Anda hanya perlu memastikan bahwa Anda melakukan hal-hal yang perlu Anda kerjakan. Anda tidak perlu memikirkan apa yang akan Allah kerjakan. Allah akan mengerjakan karya keselamatan melalui Mesias-Nya. Akan tetapi keselamatan itu tidak akan berguna sedikitpun bagi Anda jika Anda bukanlah jenis orang yang layak untuk menerima keselamatan.

Kita tentunya gemar (dan memang seharusnya demikian) berbicara tentang salib Kristus, mengenai kematian Kristus dan semua yang telah Allah kerjakan lewat Kristus. Namun kita nyaris mengabaikan tentang bagaimana cara supaya kita mewarisi hidup yang kekal, apa yang harus kita perbuat untuk bisa memperoleh manfaat dari karya keselamatan itu. Saya ingin tekankan sekali lagi kepada Anda tentang betapa sedikitnya uraian tentang karya keselamatan.

Yesus memang berkata bahwa dia akan ke Yerusalem dan dia akan memberikan nyawa-nya, akan tetapi Yesus tidak banyak menjelaskan mengenai masalah ini, bahkan kepada para murid yang saat itu kebingungan akan pokok ini. Yesus sekadar berkata bahwa dia akan pergi dan menanggung banyak pernderitaan. Itu saja. Sungguh luar biasa. Akan tetapi dia terus menerus mengajari para murid-nya tentang apa yang harus mereka perbuat dan mereka harus menjadi seperti apa untuk bisa masuk ke dalam Kerajaan.


Harus menjadi anak kecil yang seperti apa?

Demikianlah, kita dapati bahwa Yesus banyak berbicara tentang Kerajaan Allah. Dia berulang kali berbicara tentang Kerajaan dan hal memasuki Kerajaan dan perikop ini adalah salah satu contohnya. Setiap kesempatan pasti dimanfaatkan oleh Yesus untuk memberi uraian kepada para murid, bahkan saat dia memberkati anak-anak. “Aku berkata kepadamu,” Jika Anda telusuri konteksnya, Yesus tidak sedang berbicara kepada orang non-Kristen, Yesus sedang berbicara kepada para murid. Dia menyuruh para murid untuk membiarkan anak-anak itu datang kepada-nya, – di Markus 10:15 – Yesus melanjutkan,

“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.”

Pengajaran ini terlihat cukup gamblang, sampai kita mulai mempertanyakan beberapa hal. Tentu saja, kita perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut jika kita ingin memahami apa persisnya yang sedang disampaikan oleh Yesus. Siapakah orang-orang yang akan diselamatkan itu? Siapakah anak-anak kecil itu? Anak-anak kecil macam apa yang sedang Yesus bicarakan? Di sini Yesus berkata, “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-ku,” akan tetapi usia anak-anak tentunya sangat beragam, setidaknya berkisar dari 1 sampai 12 tahun. Apakah yang sedang kita biarakan ini anak berusia 12, 10, 9 atau 1 tahun? Ada perbedaan yang sangat besar di kalangan anak-anak itu. Anak-anak yang seperti apa yang sedang kita bicarakan ini? “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-ku,” adalah kalimat yang biasa-biasa saja, tidak ada masalah di sini. Dengan kata lain, jika Yesus berkata, “Biarkanlah anak-anak yang berusia 1 sampai 12 tahun itu datang kepadaku.” Tampaknya tidak ada persoalan dalam kalimat itu. Akan tetapi kalau kita harus menjadi seperti anak-anak, maka hal ini tentunya akan menjadi masalah. Apakah kita harus menjadi seperti anak berusia 12, 10 atau 1 tahun? Anda tidak perlu menjadi seorang ayah untuk bisa melihat betapa berbedanya anak-anak yang berusia 1, 3, 5 dan 12 tahun. Ada perbedaan yang sangat besar di antara mereka. Saya harus menjadi anak yang seperti apa?

Untungnya, kita tidak dibiarkan kebingungan di dalam persoalan ini, itulah sebabnya mengapa terdapat Injil sinoptik, yakni 3 Injil yang saling mengisi satu sama lain. Jika Anda berpaling pada perikop-perikop yang sejajar di dalam Lukas 18, jawabannya tersedia di sana. Lukas 18:15 memberitahu kita bahwa yang mereka bawa adalah balita, para bayi, dan bayi-bayi inilah yang disebut sebagai ‘anak-anak’ oleh Lukas.

Maka datanglah orang-orang membawa anak-anaknya yang kecil (infants) kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka. [Dan di ayat 17, disampaikan ucapan yang persis sama dengan yang ada di Markus.] “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.”

Sekarang kita tahu bahwa yang dibahas di sini adalah bayi atau balita. Lazimnya, orang-orang pada zaman itu akan membawa anak-anak kecil mereka karena mereka beranggapan bahwa Yesus adalah seorang nabi besar. Dan seorang manusia Allah dipandang membawa banyak berkat ilahi, dan karena Yesus adalah seorang nabi, mereka ingin agar anak-anak mereka diberkati oleh-nya. Demikianlah, yang disebutkan sebagai anak-anak kecil di sini adalah balita.

Kita tahu anak-anak balita itu seperti apa, mereka bisa dikatakan masih bayi. Malahan, di dalam bahasa Yunani, kata ‘bayi’ ini bahkan dipakai terhadap janin yang masih di dalam kandungan, seperti yang terdapat di dalam kasus Elisabet, di mana bayi yang dia kandung melonjak di dalam perutnya ketika mendengar suara Maria.

Kata ini juga dipakai untuk mengacu pada orang-orang Kristen di 1 Petrus 2:2, bahwa Anda sebagai bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dari Firman. Bayi-bayi yang masih menyusu, masih belum disapih.

Menjadi sama seperti anak-anak kecil.” Jika Anda perhatikan bayi-bayi, perkaranya segera menjadi jelas. Jika yang dibicarakan adalah anak-anak, maka kita tidak begitu pasti akan aspek mana yang harus diamati.


Bayi hanya memiliki satu ciri khusus: ketidakberdayaan 

‘Bayi’, sejauh yang bisa saya amati, hanya punya satu ciri khusus, dan ciri itu adalah sama sekali tidak berdaya. Seorang bayi adalah sosok yang ‘sama sekali tidak berdaya‘. Ia sama sekali tidak mampu melakukan apa-apa. Tidak dapat makan, tidak bisa berbicara, tak dapat mengekspresikan diri, sama sekali tidak bisa berbuat ap-apa! Satu-satunya ciri bayi adalah ketidakberdayaannya, ketergantungannya yang total kepada orang tuanya di dalam segala hal dan di dalam segala aspek kehidupannya.


Mereka yang tidak berdaya
lah yang akan mewarisi Kerajaan

Saat saya merenungkan persoalan ini, saya mulai melihat bahwa ajaran ini adalah pokok dasar dari segenap petunjuk dari Yesus mengenai keselamatan. “Berbahagialah,” kata Yesus, saat dia memulai khotbah di bukit, siapa yang berbahagia? Orang-orang miskin, sebab merekalah yang empunya Kerajaan. Di sanalah kita temukan kesejajarannya. Anak-anak kecil memiliki Kerajaan. Orang-orang miskin memiliki Kerajaan. Apakah kesamaan antara anak-anak kecil dengan orang miskin? Pada dasarnya mereka sama-sama tidak berdaya. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu bagi diri mereka. Orang miskin, sesuai dengan definisinya, adalah orang-orang yang tidak memiliki status, tidak memiliki kekuatan, tidak memiliki kemampuan untuk melakukan apa-apa di tengah masyarakat. Anda harus memiliki kekayaan dan kedudukan untuk bisa berbuat sesuatu. Jika Anda miskin, maka Anda tidak berdaya, Anda tidak bisa melindungi diri. Dan sekali lagi, di sini muncul – tepat di sini, di dalam ajaran Yesus ini – satu prinsip yang sangat jelas. Mereka yang tidak berdaya, yang bukan siapa-siapa, itulah yang akan mewarisi Kerajaan.

Dengan kata lain, jika Anda merasa bahwa Anda orang penting, jika Anda merasa sangat berkuasa, jika Anda merasa menjadi orang yang berkedudukan, terpelajar, dan dengan demikian Anda bukan orang yang tidak berdaya, maka Kerajaan bukan untuk Anda. Kerajaan diperuntukkan bagi mereka yang menyadari bahwa secara rohani mereka itu tidak berdaya; yang menyadari bahwa mereka sepenuhnya bergantung kepada kemurahan dan kasih karunia Allah; yang menyadari bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk menjamin kesejahteraan kekal mereka; dan mereka tahu bahwa mereka tidak mampu untuk menyelamatkan diri mereka sendiri.

Pada kenyataannya, kita semua tidak mampu menyelamatkan diri kita sendiri walau sebagian orang mengira bahwa mereka lebih cerdik daripada orang lain, bahwa mereka bisa berkelit dari Allah, mereka bisa mencari jalan menuju keselamatan lewat usaha sendiri. Sama sekali tidak bisa! Kerajaan Allah, di sini saya ingin menegaskan satu pokok mendasar dengan sangat jelas: Kerajaan Allah hanya buat mereka yang menyadari bahwa mereka memang sepenuhnya tidak mampu, mereka tidak berdaya saat berhadapan dengan perkara rohani, seperti bayi-bayi.

Anda mungkin memiliki kecerdasan yang luar biasa, atau Anda mungkin mengira diri Anda cerdas, karena banyak orang yang tidak suka mengakui bahwa mereka tidak cerdas. Mereka berharap bahwa IQ mereka berada di tataran atas dan bukannya berada di bawah standar. Dengan demikian, karena mereka berpikir bahwa IQ mereka berada di tingkatan atas maka mereka menganggap bahwa mereka akan baik-baik saja sehubungan dengan hal Kerajaan. Jangan tertipu. Jangan bodoh. IQ Anda tidak akan membawa Anda masuk ke dalam Kerajaan Allah sekalipun nilainya di atas 200. Anda harus sampai pada kesadaran bahwa secara rohani atau dalam hal kehidupan rohani, Anda sepenuhnya tidak berdaya. Anda tidak bisa berbuat apa-apa bagi diri Anda, Anda tidak lebih berdaya daripada bayi.

Inilah inti dari persoalan kasih karunia. Kasih karunia Allah adalah tempat kita bergantung sepenuhnya, bukan hanya pada saat kita pertama kali percaya, akan tetapi kita memerlukan kasih karunia-Nya yang memberi kekuatan itu untuk menjalani kehidupan Kristen kita setiap hari. Itu berarti bahwa kita benar-benar tidak berdaya karena jika kita punya daya, apakah kita memerlukan kasih karunia? Lantas, untuk apa kasih karunia itu? Kasih karunia Allah itu adalah bagi mereka yang tidak bisa menyelamatkan diri mereka sendiri. Demikianlah, pokok yang mendasar ini saya yakin tentunya sudah jelas bagi kita.


Apakah semua anak akan diselamatkan?

Namun sekalipun kita sudah memahami pokok ini, bukan berarti bahwa urusannya telah selesai dan juga bukan berarti bahwa aspek-aspek lain yang lebih mendalam dari persoalan ini boleh diabaikan. Apakah persoalannya? Pertama-tama, kita masuk ke dalam persoalan: apakah yang dimaksudkan Yesus ketika dia berkata bahwa Kerajaan itu milik anak-anak kecil? Apakah ini berarti bahwa semua anak tetap diselamatkan, tanpa melihat apakah dia memiliki iman atau tidak? Anda bisa segera melihat bahwa implikasi dari pernyataan tersebut sangtlah serius. Bisa diartikan bahwa seorang anak akan diselamatkan, entah dia memiliki iman atau tidak. Iman tidak menjadi persoalan lagi. Satu-satunya persoalan adalah apakah Anda anak kecil. Lalu iman disingkirkan. Lalu Anda membatin, “Ah, tidak ada masalah kalau begitu.” Dengan sebuah ayat yang sederhana ini kita bisa menutup Alkitab dan berlalu.


Bagaimana dengan doktrin dosa warisan (original sin)?

Lalu di mana letak iman dalam persoalan ini? Apakah iman memang punya tempat di sini? Bagaimana kita akan menjawab persoalan ini? Secara lebih jelasnya, dalam perbandingan yang lebih tegas, masalah ini menusuk jauh ke dalam segala aspek pengajaran doktrinal dari gereja-gereja zaman sekarang. Pandangan gereja-gereja zaman sekarang, adalah bahwa kita semua mewarisi dosa sejak kejatuhan Adam. Kita semua memiliki apa yang diebut sebagai ‘dosa asal atau mula-mula’.

Dan pengertian yang paling dasar atau yang paling ekstrim, Doktrin Dosa Asal ini adalah: Anda adalah pendosa sejak lahir. Dosa asal berarti bahwa mewarisi kemampuan untuk berbuat dosa, lebih buruk lagi, Anda sudah mewarisi kesalahan bahkan sebelum Anda melakukan perbuatan dosa. Itulah bentuk dasar dari doktrin Dosa Asal, yakni bahwa sejak saat lahir Anda sudah mewarisi kutuk kematian. Anda telah mewarisinya secara rohani. Riwayat Anda sudah tamat! Bukan saja Anda mewarisinya dari Adam, bahkan lebih buruk lagi, menurut Augustinus, dan para pengajar berikutnya yang diterima oleh sebagian besar gereja-gereja Protestan akibat pengaruh dari Luther – sebuah pandangan yang sangat pesimis tentang hakekat manusia – bahwa Anda juga mewarisi tuduhan bersalah dari dosa tersebut. Karena Adam telah berbuat dosa, maka Anda ikut mati.

Entah Anda menganggap pandangan ini adil atau tidak, para teolog tidak berminat untuk mempersoalkan itu. Poinnya sederhana, karena mereka melihat adanya suatu fakta teologi bahwa Adam telah berbuat dosa, maka Anda mewarisi kecenderngannya utnuk berbuat dosa, kapasitas untuk berbuat dosa, dan lebih dari itu, Anda juga mewarisi kesalahan dari dosa tersebut. Itu berarti setiap bayi, sekalipun bisa saja bayi tersebut tidak pernah melakukan perbuatan dosa, tetap saja ia masuk neraka. Iutlah pengajaran resmi dari sebagian besar gereja zaman sekarang. Dan itulah sebabnya mengapa diajarkan bahwa jika Anda tidak percaya kepada Yesus, maka Anda binasa. Akan tetapi bagaimana seorang bayi bisa percaya? Bayi-bayi tidak mampu untuk percaya, dengan begitu sial sekali para bayi ini. Para bayi masuk neraka.

Saya tidak ikut memegang pandangan tersebut. Saya menolak pandangan Augustinus, dan pada pokok yang satu ini saya juga menolak pandangan Luther, Calvin dan teolog lainnya. Penolakan ini berlandaskan pada pengajaran Kristus dan saya persilakan Anda untuk menilainya. Saya menolak definisi dari pernyataan tersebut yang menyebutkan bahwa kita mewarisi kesalahan dari dosa Adam. Saya tidak menemukan prinsip Kitab Suci yang melandasi hal ini di bagian manapun, entah di dalam Perjanjian Lama atau yang Baru. Dan, sejujurnya, saya tidak mengerti pemahaman Augustinus, bagaimana dia bisa sampai pada kesimpulan ini, dan saya juga tidak mengerti pemahaman Luther akan hal ini. Saya bersikap terbuka, saya menyatakan posisi secara berterus terang dan terbuka. Saya tidak pernah hidup dalam kepura-puraan dan saya tidak akan melakukannya dalam keadaan apapun.


Kita tidak mewarisi kesalahan dari dosa Adam akan tetapi kita ikut merasakan akibatnya

Kita tidak mewarisi kesalahan Adam. Setiap orang bersalah atas dosa yang dia perbuat sendiri. Alkitab telah menegaskan hal ini dengan sangat jelas dalam bahasa manusia yang mudah dipahami. Kita tidak menanggung dosa leluhur kita dalam pengertian ikut bersalah bersama mereka. Kita bisa saja ikut menanggung sebagian akibatnya. Jika ayah Anda seorang pemabuk atau penjudi, maka tentu saja Anda akan ikut menanggung akibat dari tindakan-tindakannya. Anda tidak cukup makan karena uang tersebut dipakai olehnya untuk berjudi. Tindakannya berpengaruh pada diri Anda. Tentu saja, dampaknya mempengaruhi Anda. Akan tetapi Anda tidak akan ikut ditangkap jika ayah Anda menggelapkan uang, Anda tidak ikut masuk penjara. Anda tidak ikut melakukan kejahatan. Mereka tidak bisa menuduh Anda bersalah untuk hal yang tidak Anda perbuat, yang diperbuat oleh ayah Anda. Anda telah menanggung akibat dari dosa, itu benar; ikut bersalah, tentu saja tidak.

Dalam perkara ini kita harus menarik batas yang tegas. Hal ini juga berlaku di dalam Perjanjian Baru. Tak seorangpun bisa disalahkan untuk perbuatan orang lain. Anda mungkin ikut menanggung akibat dari tindakannya. Orang yang mengemudi secara ceroboh bisa saja menabrak orang lain. Anda menanggung akibat dari kecerobohan orang tersebut – Anda kena tabrak. Atau, bisa saja ada orang yang tewas akibat kelalaian orang lain. Akan tetapi hal ini tidak membuat Anda ikut bersalah atas tindakannya. Ini dua hal yang berbeda.

Dari sinilah kesalahpahaman ini datang: Mereka megutip, misalnya, 1 Korintus 15:22 yang mengatakan, “Di dalam Adam, datanglah maut. Di dalam Kristus, datanglah kehidupan.” Di dalam Adam, semua binasa, ya. Akan tetapi itu adalah akibat dari dosa. Tidak bisa dikatakan bahwa kita ikut bersalah bersama Adam yang melakukan dosa itu. Perbedaannya begitu jauh. Anda harus menentukan sendiri apakah Anda ikut bersalah atas perbuatan dosa Adam.

Jika anak-anak kecil (bayi-bayi) itu ikut bersalah karena dosa Adam, maka pengajaran dari Yesus menjadi tidak bermakna lagi. Bagaimana mungkin Kerajaan menjadi milik anak-anak kecil yang ternyata bersalah? Dan lebih buruk lagi, mereka tidak beriman karena mereka tidak mampu menjalankan iman.

Augustinus berpandangan bahwa karena semua bayi ikut bersalah, maka mereka semua akan binasa. Dan jika Anda berkata bahwa hal ini tidak adil, maka dia punya jawabannya, “Ada solusi untuk masalah ini yaitu baptiskanlah bayimu.” Dari sanalah muncul baptisan buat bayi. Demikianlah, antrian para orang tua yang ingin membaptiskan bayi mereka segera terbentuk karena mereka tidak mau bayi mereka masuk neraka. Dengan segera muncul praktik baptisan buat bayi.

Ajaran macam apa ini? Karena di sini, dengan melakukan hal semacam ini kita lalu mengubah baptisan menjadi semacam ‘mandi keramat’, dengan semacam air ajaib yang dipercikkan ke diri Anda lalu dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan di dalam diri Anda terhapus semua. Sukar dipercaya! Karena Augustinus, sebagian gereja telah mengubah acara baptis menjadi semacam upacara magis yang secara ajaib bisa menyingkirkan dosa-dosa Anda dengan beberapa tetes air karena, tentu saja, Augustinus tidak akan menganjurkan agar para bayi itu dibaptis selam, mereka bisa mati tenggelam. Dan untuk menghindari kasus kematian akibat baptis selam, maka para bayi itu hanya diperciki beberapa tetes air di kepalanya. Pemahaman ini telah mengubah pesan yang agung menjadi sesuatu hal yang konyol. Sungguh menyedihkan.


Ajaran dari
Yesus: bayi-bayi tidak bersalah

Bukan seperti itu. Jika kita memahami ayat ini dengan benar, dan saya persilakan Anda untuk menilai apakah pembahasan kami ini benar atau salah, maka sesungguh Yesus sudah berkata dengan sangat jelas kepada kita, seolah-olah dia sudah memperkirakan bahwa persoalan semacam ini akan muncul di gereja, Yesus berkata kepada kita, “Aku berkata kepadamu. Para bayi tidak bersalah.” Seorang bayi tidak menanggung kesalahan. Dia tidak bersalah karena dia tidak pernah berbuat dosa dan dia tidak bisa berbuat dosa karena tidak memiliki pemahaman dan kemampuan untuk berbuat dosa.

Jika Anda berkata, “Lalu mengapa bayi tidak diselamatkan berdasarkan kebenaran iman?” Bayi tidak perlu bertobat karena dia belum melakukan dosa apapun. Karena dia tidak memerlukan pertobatan dan belum melakukan dosa apa-apa, maka tuntutan untuk bertobat dan beriman pada bayi-bayi menjadi tidak relevan. Dengan kata lain, kita perlu bertobat jika kita berbuat dosa. Dan dosa itu melibatkan tindakan yang dilakukan secara sadar, tindakan yang disengaja, artinya adalah bahwa kita mengerti apa yang kita perbuat.

Sebagai contoh, tidak ada orang yang memiliki keterbelakangan mental yang bisa disalahkan atas tindakannya karena dia tidak tahu apa yang dia kerjakan. Atau orang yang bertindak di bawah pengaruh obat bius sehingga dia melakukan suatu kesalahan, tidak bisa dipersalahakan karena dia tidak tahu apa yang telah dia perbuat. Bahkan hukum manusia mengerti akan hal ini. Dan jika kita katakan bahwa hukum Allah berbeda dengan hukum manusia dan Anda bisa dipersalahakan atas tindakan yang tidak Anda lakukan, jika Anda siap menerima hal itu, silakan Anda berpegang pada pemahaman semacam itu.

Namun, jika kita cermati pengajaran Yesus, jika kita coba untuk menalar ayat-ayat ini, jika kita ajukan pertanyaan mengapa iman tidak dituntut dari bayi-bayi, maka jawabannya cukup sederhana. Karena dia tidak melakukan dosa yang membuatnya perlu bertobat, kecuali jika Anda menemukan jawaban yang lebih baik daripada ini.


Menurut Rasul Paulus bayi tidak bersalah

Sangatlah menarik bahwa para sobat kita yang berkata bahwa para bayi ikut bersalah dengan kesalahan Adam tampaknya tidak memberikan eksposisi kepada kita tentang ayat-ayat di mana Yesus berkata bahwa Kerajaan ini adalah milik anak-anak. Mari kita lanjutkan penelaahan kita akan persoalan ini.

Di Roma 7:9, Paulus berkata bahwa dia pernah hidup di luar aturan hukum Taurat, dan ketika hukum Taurat itu mulai berlaku pada dirinya, dia mati. Ini adalah ayat yang layak untuk kita amati kali ini. Yang ingin saya tanyakan berkaitan dengan ayat ini adalah kapan Paulus hidup di luar hukum Taurat? Paulus dibesarkan di bawah aturan hukum Taurat sejak di alahir. Di dalam Filipi 3 dia memberitahu kita bahwa dia disunat pada hari ke-8. Sebagai bayi, dia telah disunat. Dia dibesarkan di bawah aturan hukum Taurat. Kapankah, di dalam kehidupan Paulus, dia pernah hidup di luar hukum Taurat?

Bisakah Anda memberitahu saya jawaban akan pertanyaan ini? Sekali lagi, para penafsir membisu terhadap pertanyaan penting seperti ini. Jika, seperti yang disampaikan oleh Paulus di dalam Filipi pasal 3, bahwa dia disunat pada hari ke-8, dia adalah orang Israel dari suku Benyamin dan sebagainya, dia dibesarkan di bawah aturan hukum Taurat sejak lahirnya, namun di Roma 7:9 dia berkata bahwa dia pernah hidup di luar hukum Taurat, dan ketika hukum Taurat mulai berlaku atas dirinya, dosa bangkit dan dia mengalami kematian. Kapankah di dalam masa hidupnya dia pernah hidup di luar hukum Taurat?

Satu-satunya jalan untuk memahami apa yang Paulus sampaikan ini adalah bahwa sebagai anak kecil, dia tidak hidup di bawah hukum Taurat karena dia bahkan tidak mampu memahami hukum Taurat itu. Dia belum mencapai usia yang dipandang memadai untuk pemahaman itu. Sebagaimana yang dipahami oleh orang Yahudi, pada usia 13 tahun Anda menjadi Bar mitzvah, anak dari hukum Taurat. Sebelum berusia 13 tahun, Anda tidak hidup di bawah hukum Taurat. Anda bukanlah anak dari hukum Taurat. Pada usia 13 tahun, setiap orang Yahudi merayakan satu upacara besar. Itu adalah hari yang penting. Pada hari itu, dia menjadi Bar mitzvah, anak dari hukum Taurat. Tanggung jawab hukum Taurat sekarang dibebankan ke pundaknya. Karena pada usia 13 tahun itu dia dipandang sudah mencapai usia kedewasaan. Sekarang dia bertanggung jawab atas tindakannya sendiri, dan begitu Anda bertanggung jawab atas tindakan Anda, maka Anda perlu tahu apa saja tanggung jawab dari setiap perilaku Anda. Dan hal itu diberikan kepada Anda melalui hukum Taurat, hukum Taurat memberitahu Anda tentang bagaimana seharusnya Anda berperilaku. Inilah sesungguhnya hal yang dimaksudkan oleh Paulus. Sebelum hukum Taurat masuk ke dalam hidupnya, yakni sebelum dia berusia 13 tahun, dia hidup tanpa hukum Taurat. Dia memang dibesarkan di dalam tradisi Yahudi sejak lahirnya, akan tetapi dia hidup tanpa hukum Taurat, dia tidak bertanggung jawab pada hukum Taurat. Oleh karena itu dia hidup; namun ketika hukum Taurat itu masuk, ketika dia menjadi Bar mitzvah, dia mati.

Lalu dia jelaskan mengapa itu terjadi. Tubuh dagingnya menolak hukum Taurat, itulah sebabnya dia masuk ke dalam dosa. Sekarang Anda bisa memahami bahwa Paulus sedang menyatakan hal yang sama. Bayi tidaklah bersalah, bayi hidup di luar hukum Taurat. Baru pada usia di mana dia bertanggung jawab penuh atas tindakannya sendiri, pada saat dia atas dasar keinginan dan pilihannya sendiri memutuskan untuk berbuat dosa, matilah dia. Semua uraian ini dengan demikian sangat selaras dengan pengajaran Yesus. Yang Yesus ajarkan adalah bahwa seseorang tidak menanggung kesalahan sebagai bayi (infants).

 

Tak ada bayi yang harus masuk neraka

Seringkali orang non-Kristen menanyai Anda, “Bagaimana nasib para bayi dan mereka yang belum pernah mendengarkan Injil? Apakah mereka harus masuk ke neraka?” Saya gemetar memikirkan bahwa jawaban standard dari gereja di zaman sekarang ini adalah, “Ya, mereka masuk neraka.” Saya tidak ikut ambil bagian dalam jawaban semacam ini. Saya tidak mendapati bahwa ini adalah pengajaran Yesus. Jawaban saya adalah tidak ada bayi yang dimasukkan ke neraka. Berdasarkan kewenangan dari ajaran Yesus, “Merekalah yang memiliki Kerajaan Surga.” Bagaimana dengan para bayi dari berbagai generasi yang mati pada usia dini? Kita tidak perlu menguatirkan mereka. Mereka tidak memikul kesalahan. Mereka tidak dibebani kesalahan.


Kerajaan Allah adalah milik anak-anak kecil dan
mereka yang sama seperti anak kecil

Mungkin Anda bisa saja mengajukan keberatan terhadap apa yang sudah saya uraikan sejauh ini. Anda bisa saja mengatakan bahwa mungkin yang dimaksudkan oleh Yesus bukan bayi yang masuk ke dalam Kerajaan Surga. Mungkin kita sudah salah paham akan pernyataannya. Mungkin yang dimaksudkan adalah bahwa para bayi tidak masuk ke dalam surga, melainkan orang-orang dewasa yang telah menjadi seperti bayi.

Tentu saja, saya adalah salah satu orang yang akan mengajukan keberatan terhadap penalaran ini. Apakah kata ‘orang-orang seperti itu’ berarti bahwa para bayi harfiah tidak masuk ke dalam surga melainkan orang-orang dewasa yang secara rohani menjadi seperti bayi? Bisakah kita menalar seperti ini?

Persoalan yang terkait dengan penalaran semacam ini adalah, pertama-tama: Anak-anak diterima di dalam Kerajaan, dan oleh karena itu, untuk bisa diterima di dalam Kerajaan, Anda harus menjadi seperti anak-anak, dan hal ini secara logika sangat mudah untuk dipahami. Anak-anak diterima di dalam Kerajaan. Oleh karena itu, untuk bisa diterima di dalam Kerajaan, Anda harus menjadi sama seperti anak kecil. Setiap orang bisa memahami hal tersebut dengan sempurna.

Akan tetapi penalaran ini menjadi tidak bisa dimengerti jika kita menguraikannya seperti ini: Anak-anak tidak benar-benar diterima di dalam Kerajaan, namun jika Anda ingin masuk ke dalam Kerajaan maka Anda harus menjadi sama seperti anak kecil secara rohani. Hal ini secara logika tidak sejalan, tidak selaras. Menjadi tidak masuk akal lagi. Anak-anak tidak benar-benar diterima di Kerajaan akan tetapi Anda bisa diterima ke dalam Kerajaan jika Anda menjadi seperti anak-anak. Apakah hal tersebut masuk akal bagi Anda? Penalaran itu bertentangan; tidak saling mendukung.

Firman Tuhan ini baru memiliki arti jika apa yang diucapkan adalah, “Anak-anak masuk ke dalam Kerajaan, oleh karena itu untuk bisa masuk ke dalam Kerajaan, kamu harus menjadi sama seperti anak-anak.” Pernyataan ini sangat mudah untuk dipahami. Akan tetapi tidaklah masuk akal untuk berkata, “Anak-anak tidak diterima dalam Kerajaan. Namun, untuk bisa diterima masuk ke dalam Kerajaan, maka kamu harus menjadi sama seperti anak-anak.” Apa ini? Penalaran macam apa ini? Akan tetapi penalaran semacam inilah yang dipakai.

Lebih jauh lagi, kita tidak akan sekadar menyajikan uraian yang berdasarkan logika tetapi juga secara eksegetik. Dan yang lebih penting adalah yang eksegetik ini. Kata Yunani yang dipakai adalah toioutos (orang-orang seperti itu), dan kata ini muncul sebanyak 56 kali di dalam Perjanjian Baru, dan saya juga sudah meneliti 56 rujukan di dalam Perjanjian Baru tersebut. Dengan kata lain, kata toioutos tidak bisa dijadikan dasar untuk membuat arti seperti ini: bahwa sesungguhnya bukan si anak melainkan hanya orang-orang yang sama seperti si anak yang bisa diterima di dlam Kerajaan. Si anak hanya menjadi gambaran dari realitas rohani. Gambaran itu sendiri tidak diterima, tapi hanya orang yang mirip dengan gambaran tersebut.

Secara eksegetik, hal ini tidak masuk akal karena tidak ada kasus rujukan di mana yang menjadi contoh justru dikecualikan dari pernyataan yang dibuat. Dengan kata lain, Anda tidak bisa mengatakan bahwa si anak tidak termasuk akan tetapi hanya orang yang mirip dengan si anak itu yang boleh masuk. Hal ini sepenuhnya tidak benar. Kata toioutos tidak pernah dipakai dalam pengertian yang demikian.

Malahan, kata ini, misalnya, dipakai di 2 Korintus 12:3 yang menyebutkan, “… Aku juga tahu tentang orang itu.” Orang itu yang mendapat pengalaman diangkat ke tingkat yang ketiga dari surga. Di dalam ayat itu, versi RSV menerjemahkan toioutos dengan kata ‘this man (orang ini, dan LAI memakai terjemahan ‘orang itu’)’ sebagai orang yang memasuki tingkat ketiga dari surga. Aku bermegah akan orang semacam ini.

Demikianlah, bisa kita dapati berulang-ulang bagaimana kata ini dipakai, seperti yang ada di dalam 1 Korintus 16:16, 18. Paulus berkata, “Hargai dan taatilah orang-orang yang demikian, yaitu Stefanus dan keluarganya. Itulah orangnya dan orang yang semacam itulah…” Alasan mengapa kata ‘orang-orang seperti ini’ tidak sekadar berarti orang yang bersangkutan yang akan berada di dalam Kerajaan melainkan juga mereka yang mirip dengan dia, termasuk diri orang tersebut namun bukan terbatas hanya pada dia saja.

Hal yang sama terjadi juga, misalnya, di Matius 18:5, “Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku…” Bukan berarti bahwa Anda hanya akan menyambut anak kecil yang satu itu saja, melainkan juga setiap anak yang sama seperti dia. Kalau kamu menyambut anak seperti ini di dalam nama-Ku, berarti kamu menyambut Aku.

Saat ini, saya rasa otak Anda mungkin sudah bekerja terlalu keras, akan tetapi saya akan terus melanjutkan dengan menunjukkan kepada Anda betapa pentingnya mengutamakan ketelitian. Sangatlah penting untuk berpikiran jernih, sangatlah penting untuk mencari kepastian dan berjuang untuk itu. Mungkin menurut Anda tidaklah penting untuk masuk ke dalam perincian yang sejauh itu. Mungkin tidak. Akan tetapi ada orang-orang yang sangat peduli pada perincian, dan kepada merekalah saya mengajukan rincian ini. Tidak ada aspek dari ketelitian yang diabaikan di sini, baik secara logika maupun secara eksegetik, kesimpulannya adalah bahwa Kerajaan Allah adalah milik anak-anak kecil dan mereka yang sama seperti anak-anak kecil. Itulah kesimpulan dari pokok ini. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Kerajaan itu tidak menjadi milik anak-anak kecil; bahwa Kerajaan itu hanya menjadi milik mereka yang memiliki kesamaan dengan anak-anak kecil itu. Hal ini sama sekali tidak bisa dibenarkan secara eksegetik. Ini hanya ringkasan dalam bentuk yang sederhana saja. Tentunya saya tidak akan menguraikan semua rujukan tentang kata toioutos yang berjumlah 56 itu, yang jika dilakukan akan membuat Anda tertidur dan mendengkur akibat kelelahan mengikuti pembahasan terperinci semacam itu.


Tidak benar bahwa hanya anak-anak orang percaya yang diterima ke dalam Kerajaan

Namun kita bisa mengajukan pendapat lain lagi, yang dalam kenyataannya banyak digunakan, yaitu: Mungkin anak-anak yang sedang dibicarakan ini, yang disebutkan masuk ke dalam Kerajaan (orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah), bukanlah sembarang anak. Mungkin anak-anak itu adalah anak-anak dari orang percaya, anak-anak para murid. Saat Yesus mengambil salah seorang anak, siapa tahu anak itu mungkin adalah anak dari salah satu orang percaya? Terlebih lagi, tentunya mereka yang membawa anak-anak kecilnya kepada Yesus untuk diberkati, paling tidak harus punya keyakinan kepada Yesus, bukankah demikian? Anda tentunya tidak akan membawa anak Anda untuk diberkati oleh Yesus jika Anda tidak mempercayai Yesus. Paling sedikit Anda harus mempercayai bahwa dia adalah seorang nabi yang mampu membagikan berkat dari Allah buat anak Anda, jika tidak maka Anda tidak akan membawa anak Anda kepadanya.

Jadi jelaslah, anak-anak yang dibawa ini adalah anak-anak dari orang-orang yang memiliki semacam kepercayaan kepada Yesus. Hal ini masuk akal. Bisa diterima. Hanya saja, jenis iman yang dimiliki jauh dari kategori iman yang menyelamatkan.

Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Dan para murid menjawab, “Ada yang berkata bahwa Engkau adalah Elia, salah satu nabi terbesar Israel. Atau, jika bukan salah satu yang terbesar, setidaknya Engkau adalah salah satu nabi Israel.” Akan tetapi itu bukanlah ungkapan dari iman yang menyelamatkan; mempercayai bahwa Yesus adalah seorang rabi besar dan seorang nabi. Orang-orang non-Kristen juga percaya akan hal itu. Anda tidak perlu menjadi siapa-siapa untuk mau mempercayai hal itu. Bahkan para muslim juga percaya bahwa Yesus adalah seorang nabi. Itu bukanlah iman yang menyelamatkan. Iman yang menyelamatkan adalah pengakuan terhadap Yesus sebagai Mesias, sebagai Raja, menyerahkan hidup Anda untuk hidup di bawah pemerintahan Allah melalui Yesus.

Jadi, sekalipun kita mengakui bahwa para orang tua dari anak-anak itu memiliki semacam keyakinan terhadap Kristus, namun sangat sulit dikatakan bahwa itu adalah iman yang menyelamatkan karena orang-orang Israel mempercayai Yesus sebatas sebagai nabi besar saja. Mereka datang berbondong-bondong. Mereka membawa orang-orang sakit untuk dijamah dan disembuhkan oleh-nya. Itu bukanlah iman yang menyelamatkan. Hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan pokok persoalan yang sedang dibahas.

Terlebih lagi, pandangan ini tidak menyentuh fakta bahwa anak-anak itu sama sekali tidak menjalankan iman, terlepas dari apakah orang tuanya beriman atau tidak.

Lebih dari itu, di Matius 18:2, siapa orang tua dari anak ini tidaklah dijelaskan di sana. Hanya disebutkan bahwa Yesus mengambil salah satu anak dan menenpatkannya di tengah-tengah [para murid]. Siapa orang tua dari anak tersebut dipandang tidak penting. Tidak disebutkan siapa orang tua dari anak itu. Jelaslah bahwa orang tua anak ini tidak memiliki peranan apa-apa di dalam pokok ini.

Persoalan yang paling akhir dan yang paling menentukan dari pandangan ini adalah: Yesus saat itu berbicara kepada para orang tua dan juga kepada para murid, “Kamu harus menjadi seperti anak-anak.” Dengan kata lain, Yesus tidak berkata, “Anak-anak ini masuk ke dalam Kerajaan berkat iman kalian.” Bukan itu hal yang Yesus sampaikan. Dia berkata bahwa jika kamu, para orang tua dan murid-murid, tidak menjadi sama seperti anak kecil ini, maka kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan. Itu adalah bentuk lain dari penyampaiannya.

John Lightfoot menyajikan pandangan tersebut di dalam penelitiannya terhadap Talmud, dan tentunya dia tidak melihat kekeliruan dari logika pandangannya. Karena sekalipun para orang tua tersebut adalah orang-orang percaya, akan tetapi hal yang dikatakan oleh Yesus adalah, “Mereka masuk ke dalam Kerajaan Surga bukan karena imanmu, akan tetapi kamu harus menjadi sama seperti mereka untuk bisa masuk ke dalam Kerajaan.” Ini adalah posisi yang bertolak belakang. “Imanmu tidak akan menyelamatkanmu jika kamu tidak menjadi sama seperti anak kecil ini.” Itulah poinnya.


Yesus berkata, “Kamu harus menjadi tidak berdaya seperti bayi ini.”

Uraian ini membawa kita kembali ke titik awal. Selanjutnya, kita perlu bertanya, “Jika kita, atau para murid, harus menjadi seperti anak kecil. Menjadi anak kecil yang seperti apakah itu?” Jawabannya cukup mengejutkan, atau mungkin merendahkan. Yesus berkata, “Kamu harus menjadi tidak berdaya sama seperti bayi ini.” Hal terakhir yang mau kita rasakan adalah perasaan tidak berdaya. “Setelah sekian tahun aku belajar di universitas, kemudian engkau ingin agar aku menjadi tidak berdaya? Aku belajar keras selama ini justru agar tidak sampai menjadi orang yang tidak berdaya, supaya aku bisa menjadi orang yang mandiri, menjadi orang penting di dunia ini. Lalu engkau datang dan berkata kepadaku, ‘Tidak, tidak. Berhenti di sana. Kamu harus menjadi orang yang tidak berdaya.”

Dalam hal membahas ketidakberdayaan seperti anak kecil ini, kita bisa membaginya ke dalam lima pokok. Dan kita akan membahas kelima pokok itu dengan singkat, untuk melihat penerapannya bagi kita.


Ketidak
berdayaan mengungkapkan kumurnian hati dalam mencari Allah

Pertama, kita melihat bahwa ketidakberdayaan ini menunjukkan kemurnian dari bayi. Yang dimaksudkan dengan kemurnian ini adalah bahwa bayi sangat lugu; ia tidak memiliki motivasi yang rumit. Di dalam pengertian ini, kita bisa memandang bahwa motivasi dari bayi memang sangat murni. Ia tidak memiliki motivasi jahat di dalam tindakannya. Ia tidak mampu memikirkan niat-niat yang jahat. Apakah kita tidak berdaya di dalam pengertian bahwa kita ini murni?

Apakah yang dimaksudkan dengan kemurnian ini? Banyak orang yang menjadi Kristen dengan niat yang tidak tulus. Dan Allah melihat niat hati Anda dengan sangat jelas. Misalnya, Anda mungkin menjadi Kristen dengan niat untuk mencari pacar, untuk mendapatkan gadis yang baik. Mencari pasangan hidup adalah hal yang bagus. Tak ada yang salah dengan hal mencari pasangan hidup. Akan tetapi motivasi Anda menjadi seorang Kristen adalah karena Anda mengira gadis-gadis Kristen akan menjadi istri yang baik. Dari sini Anda bisa melihat betapa niat Anda tidak murni. Hal yang disebut ‘iman’, hal yang disebut sebagai ‘komitmen’ sudah dicemari oleh motivasi yang tidak murni. Anda bukan orang yang tidak berdaya; Anda masuk ke gereja dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi, untuk menolong diri Anda sendiri.

Dan di dalam hal melayani Tuhan juga demikian, motivasi yang tidak murni juga bisa muncul. Kita bisa saja memberikan diri kita ke dalam pelayanan full time dengan niat yang sangat tercemar. Anda mungkin berpikir ini adalah pekerjaan yang terbaik; pekerjaan dengan jaminan yang terbaik atau yang semacam itu. Dengan demikian, alasan atau niat Anda untuk melayani Tuhan menjadi tidak murni.


Seorang anak menerima kasih dengan kepercayaan penuh

Hal kedua dari ketidakberdayaan anak kecil ini adalah bahwa seorang anak menerima apapun yang diberikan kepadanya dengan penuh kepercayaan, walau dia mungkin tidak tahu apa resiko dari hal-hal yang dia terima itu. Sebenarnya, dia malah tidak tahu apa-apa tentang resiko itu. Banyak orang menjadi Krixten hanya setelah mereka merasa telah mendapat jawaban atas semua persoalan intelektual [yang berkenaan dengan kekristenan]. Anda sebetulnya sangat berani atau juga sangat bodoh atau mungkin juga keduanya, jika Anda ingin bisa memahami segala sesuatu yang perlu dipahami mengenai Allah; ingin mendapat jawaban atas semua persoalan intelektual yang mungkin ada sebelum Anda percaya; bisa jadi Anda tidak akan pernah menjadi Kristen sama sekali, karena persoalan-persoalan intelektual tersebut nyaris tidak terbatas. Dan yang lebih buruk lagi, Anda menjadikan kekristenan sebagai persoalan intelektual, padahal seharusnya tidak.

Bukannya saya ingin menyalahkan Anda jika ingin menjadi intelektual. Upaya penalaran bukanlah sesuatu hal yang salah di dalam mengatasi persoalan, dan sebenarnya Anda sudah melihat bahwa kita sekarang ini menjalankannya. Saya tidak meremehkan pemakaian logika karena saya juga selalu memakainya. Akan tetapi jika logika menjadi kriteria, sebagai alat ukur, penentu tertinggi, maka berarti Anda belum mengerti tentang kekristenan karena kekristenan itu adalah tanggapan hati kita kepada kasih Allah, dan apakah Anda akan menghabiskan umur Anda hanya untuk menganalisa kasih? Saya cenderung berkata bahwa Anda sangat berani atau bisa juga sangat bodoh karena saya tidak tahu bagaimana Anda akan bisa menganalisa semua sisi dari kasih. Dengan kata lain, kasih adalah hal yang harus dialami. Anda tidak bisa sekadar duduk dan menganalisanya. Kasih adalah hal yang harus dialami.

Menjadi seorang Kristen adalah persoalan hati dan kehendak. Ini adalah masalah tanggapan terhadap kasih Allah kepada kita. Saya tidak duduk diam mengamati salib Kristus dan berkata, “Aku akan menjadi orang Krsiten kalau aku sudah mengerti semua akibat dari dosa, kalau aku sudah mengerti mengapa Allah mengasihiku sedemikian rupa.” Saya tidak tahu mengapa Dia mengasihi saya seperti itu. Apakah menurut Anda kita layak menerima kasih Allah itu? Kita tidak tahu mengapa Allah mengasihi kita. Saya sudah meneliti diri saya sendiri, dan saya tidak melihat ada hal yang layak untuk dikasihi di sana. Jika saya harus mencoba memahami perkara ini secara intelektual, harus menganalisa alasan-alasan dari kasih-Nya kepada saya, maka saya akan langsung menyerah. Saya tidak meihat adanya peluang untuk mencapai kemajuan di jalur ini. Pokok persoalan yang akan saya tanggapi hanyalah bahwa Allah memang mengasihi saya, lalu apakah saya bersedia menanggapi kasih ini atau tidak? Ini adalah persoalan keputusan dan bukannya persoalan analisa.

Seorang bayi memahami hal ini dengan sempurna. Anda tunjukkan kasih Anda kepadanya dan ia akan menerima kasih itu. Bayi tidak berkata, “Tunggu dulu. Aku akan menerima kasihmu kalau aku sudah mengerti sepenuhnya niat, hakekat dan karakter dari kasih itu.”


Seorang anak kecil menerima sesuatu tanpa kesombongan karena ketidak
berdayaannya

Hal ketiga yang dapat kita perhatikan dari bayi adalah bahwa ia menerima sesuatu tanpa kebanggaan karena ketidakberdayaannya. Ia menerima sesuatu tanpa kesombongan. Ia juga tidak merasa direndahkan karena menerima sesuatu hadiah. Akan tetapi orang-orang dewasa sangatlah rumit. Jika ada orang lain memberikan hadiah, kita akan berkata, “Tidak, tidak! Jangan lakukan itu! Anda lebih memerlukan itu daripada saya. Saya benar-benar tidak memerlukannya. Simpan saja buat Anda.” Dan ia merasa sangat terhina oleh hadiah Anda. Anda nyaris menyesali tindakan Anda memberi dia hadiah. Anda lalu berpikir, “Mengapa aku menawari dia hadiah? Dia merasa terhina dengan hadiahku.”

Katakanlah, Anda sedang dalam kebutuhan akan uang, dan kebetulan ada orang yang tahu bahwa Anda sedang kesulitan, lalu ia memberi Anda $50, dan Anda berkata, “Oh tidak! Aku tidak kekurangan. Siapa bilang aku kekurangan?” Mengapa, karena Anda merasa terhina. Anda merasa dia memperlakukan Anda seperti pengemis. Dan kita temukan hal ini terjadi berualng-ulang di gereja. Jika Anda mencoba untuk menolong seseorang, Anda akan merasa menyesal telah berusaha menolong mereka karena mereka merasa terhina olah tawaran bantuan Anda. Malahan, mereka akan mengirimkan uang itu kembali kepada Anda. Maksud saya, kita boleh bersyukur bahwa orang tersebut tidak rakus akan uang, akan tetapi ada juga persoalan akan hal ini. Seharusnya ada saat di mana Anda merasa bahwa seharusnya Anda menerima tanpa keangkuhan jika ada kasih yang diberikan kepada Anda.

Saya sendiri merasakan kesulitan ini. Seperti yang telah saya sampaikan kepada beberapa orang dari Anda, ketika saya berkhotbah untuk pertama kali, jemaat memberikan saya sejumlah uang. Dan saya bertanya, “Untuk apa uang ini?” Dan mereka menjawab, “Ini untuk menutupi biaya transportasi Anda.” Saya berkata, “Saya tidak mengeluarkan uang transport. Saya berjalan kaki dari kampus ke sini.” Dan bendahara gereja yang malang ini berusaha menjelaskan kepada saya bahwa ini adalah sesuatu hal yang lazim. Akan tetapi saya justru merasa terhina pada niatan orang untuk memberi saya uang dalam pemberitaan Injil. Lalu salah satu rekan mahasiswa dari kampus saya berkata kepada saya, “Kau tahu, kadang kala dibutuhkan kerendahan hati yang lebih besar untuk menerima daripada memberi.” Ucapan itu menyentak saya. Mendadak saya sadar bahwa keangkuhan telah menjatuhkan saya. Saya merasa terhina dengan hadiah semacam ini. “Kau pikir aku ini siapa? Pengemis?” Seperti itulah perasaan saya saat itu. Seorang bayi di dalam ketidakberdayaannya tidak memiliki keangkuhan. Dia tidak merasa terhina dengan hadiah semacam ini.


Seorang bayi di dalam ketida
k-berdayaannya tidak berpura-pura

Hal berikut yang dapat kita lihat adalah bahwa bayi, di dalam ketidakberdayaannya, tidak berpura-pura. Ada satu hal yang menyolok dari kalangan orang dewasa, yakni, semakin berumur kita, akan semakin munafik pula kita. Kita penuh dengan kepura-puraan. Sungguh memuakkan. Anda benar-benar tidak tahu jika seseorang berkata tidak, apakah itu benar-benar tidak atau sekadar jangan sekarang atau ada pengertian yang lainnya. Semua tertutup oleh sopan santun. Anda benar-benar tidak tahu mana yang benar. Anda tidak tahu apa yang dimaksudkan, “Apakah engkau benar-benar bermaksud seperti itu? Atau tidak sepenuhnya? Sejauh mana maksud Anda itu?” Kita hidup dalam kepura-puraan. Anda benar-benar berhasrat akan sesuatu hal, namun Anda tidak akan berkata, “Aku menginginkan hal itu.” Anda perlu menolak sebanyak tiga atau empat kali, dan sesudahnya baru Anda akan berkata, “Baiklah.” Dan akhirnya, “Ya. Baiklah.” Akan tetapi hal yang pertama terucap haruslah penolakan dulu, jika tidak maka Anda [dianggap] menunjukkan minat yang berlebihan untuk memiliki sesuatu. Demikianlah, kita harus hidup di dalam kepura-puraan. Padahal Kerajaan Allah itu untuk mereka yang hidup di dalam ketulusan. Tidak ada kepura-puraan di sana: beginilah saya. Seperti itulah adanya. Begitu menyenangkan, begitu mudah berurusan dengan anak kecil karena Anda tahu bahwa dia benar-benar tulus dengan ucapannya. Anda tidak perlu menebak maksud perkataannya.


Bayi, di dalam ketidak
berdayaannya menerima dengan sukacita

Dan poin yang kelima, kita akan bahas dengan singkat saja. Poin yang kelima adalah: bayi, di dalam ketidakberdayaannya, menerima dengan sukacita. Ia menerima dengan sukacita. Itu adalah hal yang sangat penting. Kadang kala, sukacita dalam tindakan kita memberi kepada anak kecil adalah untuk melihat sukacita di wajahnya. Pernahkah Anda perhatikan jika Anda memberikan seorang anak kecil manisan, yang harganya mungkin hanya 1 sen, akan tetapi mata anak itu berbinar dengan kegembiraan yang luar biasa seolah-olah Anda telah memberinya berlian atau sesuatu yang hebat! Dia begitu gembira! Ia menerima dengan sukacita. Namun jika Anda memberi orang dewasa, seringkali Anda kehilangan kegembiraan Anda. “Barang apa ini? Mengapa kau sia-siakan uang hanya untuk membeli sampah macam ini?” Jika Anda bukan orang yang sopan, mungkin ucapan semacam itu yang akan Anda lontarkan. Jika Anda sopan, Anda mungkin akan berkata, “Terima kasih. Terima kasih.” Dan mungkin di dalam hati Anda berkata, “Dari halaman siapa dia mencuri barang ini?” Tak ada sukacita. Bahkan bukan merupakan suatu sukacita memberikan haidah kepada orang semacam itu. Tak ada spontanitas. Saya rasa, itulah hal-hal yang harus kita pelajari.


Apakah Anda bersedia menjadi tidak berdaya
seperti anak kecil?

Rahasia kuasa di dalam pengajaran Yesus adalah menjadi tidak berdaya. Itu adalah hal yang luar biasa. Kerajaan Allah adalah milik mereka yang tidak berdaya, yang miskin. Rasul Paulus belajar hal ini degan baik. Dia berkata, “Saat aku lemah, aku justru kuat.” Justru di saat saya lemah maka saya menjadi kuat. Sungguh indah! Bisa memahami prinsip ini berarti bisa menangkap inti dari pesan keselamatan. Singkatnya, jika Anda ingin diselamatkan, maka Anda harus bersedia untuk menjadi tidak berdaya, bersedia untuk menjadi bukan siapa-siapa demi Tuhan. Bersedia untuk berkata, “Tuhan, aku tahu bahwa aku bukan apa-apa. Secara rohani, aku tidak bisa menolong diriku sendiri. Tolonglah aku. Aku ingin menerima kasih karunia-Mu lebih lagi. Karena tanpa kasih karunia itu, aku tidak bisa hidup.” Apakah Anda seorang anak kecil? Apakah Anda bersedia menjadi seperti anak kecil?

 

Berikan Komentar Anda: