Pastor Eric Chang | Matius 19.16-30

Kita akan melanjutkan studi tentang pengajaran Yesus di Matius 19:16-30. Perikop ini sangatlah penting dan juga sangat terkenal karena menyampaikan tentang seorang muda yang tampaknya kaya raya dan mungkin juga seorang tokoh masyarakat di Israel. Dia seringkali disebut dengan ungkapan ‘orang muda yang kaya’ yang mengajukan pertanyaan yang jawabannya juga ingin kita ketahui, yakni, “Perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” atau “Apa yang harus kuperbuat untuk mewarisi hidup yang kekal?” Ini adalah pertanyaan besar, dan manusia selama ini mencari-cari jalan serta ramuan untuk bisa hidup kekal. Jadi, pertanyaan ini sangatlah dekat dengan isi hati kita. Namun kita perlu perhatikan apa yang menjadi jawaban Yesus. Mari kita baca Matius pasal 19 ini bersama-sama:

Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: “Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Yesus: “Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” Kata orang itu kepada-Nya: “Perintah yang mana?” Kata Yesus: “Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kata orang muda itu kepada-Nya: “Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?” Kata Yesus kepadanya: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya.


“Perbuatan baik apakahyang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”

Kita akan berhenti di titik ini dan meneliti jawaban Yesus untuk pertanyaan ini. Apa yang harus kita perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? Pertama-tama, perlu saya tegaskan kepada Anda yang memakai terjemahan versi RSV. Di sana dikatakan, “What good deed must I do? (Perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat?)” Terjemahan tersebut tidak tepat. Pertanyaan dari orang muda itu tidak mempersoalkan tentang sesuatu perbuatan khusus yang harus dia perbuat, melainkan, “What good must I do? (Hal baik apakah yang harus kuperbuat?)” Kata ‘deed (perbuatan, tindakan)’ tidak ada di dalam naskah aslinya. “What good must I do?” Dia tidak berharap bahwa jawabannya hanya akan menyebutkan satu perbuatan baik yang harus dia kerjakan. Yang dia maksudkan adalah, “Apa hal baik, entah itu satu atau banyak, yang harus kuperbuat?”

Jika kita bandingkan perikop ini dengan yang di Markus dan Lukas, di sana dia menyapa Yesus sebagai “Guru yang baik.” Kata ‘yang baik’ ini tidak dipakai di dalam Matius, akan tetapi ada di dalam Markus dan Lukas. Jadi, pertanyaan yang sebenarnya adalah, “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?


“Jalankanlah Perintah-perintah Allah” dan “Ikutlah Aku”

Mari kita lihat jawaban atas pertanyaan ini. Apakah keduanya, yakni ‘taatilah segenap perintah Allah’ dan ‘ikutlah Aku’ merupakan bagian dari satu jawaban yang sama? Atau keduanya itu merupakan jawaban yang terpisah, yang berdiri sendiri-sendiri dan Anda bisa memilih mana yang lebih Anda sukai?

Anda bisa memilih untuk mentaati sepuluh perintah itu saja, atau, jika Anda mau, Anda juga boleh sekalian memilih untuk menjadi seorang murid? Atau, hanya memilih menjadi murid saja dan mengabaikan sepuluh perintah itu? Apakah keduanya merupakan jawaban yang berbeda dan Anda boleh memilih sekehendak hati Anda? Atau apakah keduanya itu sebenarnya merupakan satu kesatuan jawaban? Ini adalah pertanyaan yang sangat penting.

Jika bukan satu kesatuan, maka Anda bisa berkata, “Pemuridan tentunya sudah cukup memadai dan kita bisa melupakan urusan ‘Jangan membunuh’, ‘Jangan berzinah’ dan segala macam perintah itu. Seorang Kristen bebas melakukan itu semua selama ia adalah seorang murid. Tidak menjadi soal apakah dia berbuat dosa atau tidak.” Memang ada orang Kristen yang memberi jawaban seperti itu.

Atau, kita bisa berkata bahwa karena kedua jawaban itu sama baiknya, maka kita boleh saja memilih untuk mentaati sepuluh perintah? Tidak usah pusingkan masalah pemuridan. Selama saya menjadi orang baik-baik, selama saya mentaati sepuluh perintah itu, selama saya tidak membunuh dan tidak berzinah, buat apa menjadi murid? Dan memang ada juga yang memberi jawaban semacam ini.

Anda bisa lihat lagi, sebagaimana yang selalu kita jumpai di dalam pengajaran Tuhan, orang harus cermat di dalam meneliti jawaban yang diberikan. Jika tidak cermat, maka Anda bisa masuk ke dalam berbagai macam kesimpulan. Jika kita anggap keduanya adalah dua jawaban yang berbeda untuk satu pertanyaan, maka kita bisa memilih jawaban mana yang akan dipegang, dan selanjutnya terserah kita untuk menentukan pilihan. Benarkah ini? Jawabannya tergantung pada keakuratan pemahaman terhadap apa yang diajarkan oleh Yesus, keakuratan di dalam melakukan eksposisi terhadap perikop ini.


Apa pemahaman Anda tentang ‘hal baik’ itu?”

Mari kita mulai teliti jawaban dari Yesus untuk memahami apa sebenarnya yang dipersoalkan oleh orang muda yang kaya itu. Dia bertanya, “Hal baik apa yang harus kuperbuat?” Dan segera saja Yesus menantang pemahaman orang muda ini mengenai istilah ‘baik’. “Mengapa kamu bertanya kepadaku tentang apa yang baik?” Apa yang sedang dilakukan oleh Yesus di sini? Anda perlu memahami bagaimana prosedur yang dipakai oleh Yesus dalam menanggapi pertanyaannya ini. Menurut Anda, apakah hal yang sedang Yesus sampaikan di sini? “Mengapa kamu bertanya kepadaku tentang apa yang baik?” Alasan mengapa orang muda itu bertanya tentang apa yang apa yang baik adalah karena orang muda ini ingin tahu bagaimana cara untuk memperoleh hidup yang kekal. Jawaban atas pertanyaan ini sangatlah jelas. Apakah maksud dari pertanyaan tersebut? Tampaknya, seolah-olah, pertanyaan Yesus itu tidak perlu karena orang muda yang kaya ini sudah menjelaskan mengapa dia bertanya tentang apa yang baik.

Namun, kalau dipahami seperti ini justru akan menyalahpahami niat dari Yesus. Yesus menanyai orang muda yang kaya itu apakah dia tahu apa arti kata ‘baik’ saat dia memakai kata itu. Yesus bertanya, “Tahukah kamu apa arti ‘baik’ itu? Apakah kamu mengerti apa arti ‘baik’ itu saat kamu bertanya tentang ‘hal baik apa yang harus kuperbuat’?” Persoalannya adalah, apakah dia tahu apa arti ‘baik’ itu? Apa pemahaman Anda tentang kata ‘baik’ itu?

Pertanyaan ini sangatlah relevan. Seringkali, saat Anda berbicara dengan orang non-Kristen, mereka menanggapi, “Selama aku melakukan hal yang baik, kupikir itu sudah cukup memadai di mata Allah.” Dan di situlah saatnya untuk mengajukan pertanyaan ini, “Apa arti kata ‘baik’ itu? Apa yang Anda ketahui dari kata ‘baik’ itu? Bagaimana Anda memahami kata ‘baik’ itu? Apakah standar Anda akan kata ‘baik’ itu?” Anda mengatakan bahwa sesuatu itu ‘baik’, namun apa standar dari ‘baik’ itu? Apa yang baik menurut Anda belum tentu baik menurut ukuran orang lain. Pernahkah hal itu melintas di benak Anda?

Demikianlah Yesus berkata kepada orang muda yang kaya ini, “Saat engkau bertanya tentang hal yang ‘baik’, apakah kamu punya definisi tentang hal yang ‘baik’ itu di dalam benakmu?” Mengertikah Anda apa arti ‘baik’ itu? Bagaimana saya akan menjelaskan jawaban tersebut kepada Anda jika Anda bahkan tidak memiliki pemahaman tentang apa yang ‘baik’ itu?


Kebaikan hanya bisa didefinisikan berdasarkan kepribadian Allah

Yesus tidak membiarkan pertanyaan ini mengambang tanpa kejelasan. Dia melanjutkan dengan menguraikan kepadanya tentang apa itu ‘baik’. Dan uraian itu ada di dalam bagian berikutnya dari tanggapan tersebut, “Hanya Satu yang baik.”

Apakah makna dari tanggapan ini? Maknanya tentu saja cukup jelas. Yang sedang disampaikan oleh Yesus di sini adalah: satu-satunya standar absolut, atau satu-satunya standar yang tepat bagi hal yang ‘baik’ adalah Allah sendiri. Hanya Allah saja yang baik: hanya ada satu yang baik yaitu Allah sendiri. Allah adalah standar dari kebaikan, tahukah Anda akan hal itu?

Jika Anda bertanya, “Hal baik apakah yang harus kuperbuat?” Tahukah Anda apa implikasi dari pertanyaan itu? Jika Anda ingin berbuat sesuatu untuk memperoleh hidup yang kekal, hal baik yang harus Anda perbuat haruslah sesuai dengan natur Allah yang adalah satu-satunya yang baik. Jadi Anda bisa lihat bahwa Yesus tidak memberi jawaban yang kabur. Jawaban yang dia berikan sangat tepat dan jelas. Tak ada perbuatan yang bisa disebut “baik” di mata Allah melainkan perbuatan itu sesuai dengan watak Allah.

Apakah karakter Allah itu? Karakter-Nya adalah kudus dan kasih. Kasih dan kekudusan mencirikan watak-Nya. Oleh karena itu, suatu perbuatan ‘baik’ haruslah perbuatan yang memiliki ciri seturut dengan kualitas hidup Allah dan juga karakter Allah, yaitu, kudus dan mengasihi. Dapatkah Anda menjalankan perbuatan baik dengan standar itu? Itulah implikasi dari pertanyaan [orang muda yang kaya] ini.

Anda ingin memperoleh hidup yang kekal, namun sanggupkah Anda melakukan perbuatan yang mencerminkan karakter Allah, yakni, mengikuti standar yang dituntut oleh Allah? Dapatkah Anda melakukan perbuatan yang seperti itu? Apakah menurut Anda cukup dengan bersikap baik atau melakukan perbuatan yang baik maka Anda akan memperoleh hidup yang kekal? Di sini kita bisa melihat bahwa jawaban Yesus merupakan jawaban yang sangat akurat dan langsung tertuju kepada kita.

Pertanyaan selanjutnya bagi orang muda yang kaya ini adalah mampukah dia menjalani hidup yang semacam itu? Mampukah dia melakukan perbuatan yang semacam itu? Menjalani hidup yang sejalan dengan kepribadian Allah?


“Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah,” bukannya, “Percayalah kepada-Ku.”

Kemudian Yesus melanjutkan dengan bagian akhir dari jawaban ini, “Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” Jawaban ini tidak begitu sejalan dengan doktrin penginjilan kita di zaman sekarang ini. Kita diberitahu bahwa kita masuk ke dalam Kerajaan cukup dengan percaya kepada Yesus dan di sini tentunya kita akan berharap bahwa jawaban Yesus atas pertanyaan, “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” adalah cukup dengan, “Percayalah kepadaku.” Namun, cukup aneh, Yesus tidak memberikan tanggapan seperti itu. Mengapa demikian? Kita akan menelitinya sebentar lagi. Dia berkata, “Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” Tanggapan ini sangat konsisten dengan hal-hal yang sudah Yesus sampaikan sejauh ini.

Mari kita cerna hal tersebut dalam benak kita karena kita tidak selalu berprestasi bagus di dalam memahami hal-hal rohani. Terkadang kita sangat cerdas di bidang fisika, kimia, dan juga matematika, namun di saat berhadapan dengan perkara-perkara rohani, kita sama bodohnya dengan anak kecil yang belum mendapat pendidikan apa-apa. Dan saya mendapati hal ini berulang-ulang. Seorang professor yang ahli di suatu bidang ilmu tertentu tidak memiliki pemahaman apapun tentang hal-hal rohani. Anda akan merasa seperti sedang berbicara dengan orang yang tidak berpendidikan. Profesor ini tidak tahu apa-apa!

Jadi, mari kita berusaha memahami apa yang sedang disampaikan oleh Yesus. Dia berkata bahwa ‘baik’ itu hanya bisa didefinisikan berdasarkan watak Allah. Namun hal ini masih menyisakan pertanyaan, dari mana kita bisa tahu tentang watak Allah? Bagaimana saya bisa tahu seperti apa Allah itu? Sekali lagi, Yesus tidak meninggalkan kita dalam keraguan. Dia sudah mengantisipasi pertanyaan yang akan muncul dan menyediakan jawaban sebelumnya. Dia berkata bahwa Anda bisa mengetahui karakter Allah dengan meneliti perintah-perintah-Nya. Dengan meneliti perintah-perintah-Nya, Anda mulai menyadari bahwa Allah itu kudus dan mengasihi. Dia itu kudus – jangan membunuh, jangan berzinah, jangan melakukan dosa-dosa tersebut. Dan Dia itu mengasihi karena perintah-perintah itu terangkum dalam kalimat, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kasih yang kudus.

Apakah Anda ingin tahu seperti apa Allah itu? Apakah Anda ingin tahu seperti apa standar kekudusan itu? Lihat saja isi perintah-perintah-Nya, dan jangan sekadar melihat saja, karena sekadar melihat saja tidak akan menolong Anda, taatilah perintah-perintah itu, jalankanlah. Anda bertanya kepada saya tentang hal melakukan yang baik, “Apa yang harus kuperbuat?” Jawaban itu sedang saya sampaikan kepada Anda. Jalankanlah perintah-perintah Allah. Taati perintah-perintah itu, maka Anda akan masuk ke dalam hidup kekal.

Orang muda yang kaya ini, sama seperti kebanyakan orang, yang tidak melakukan kehendak Allah, adalah orang yang selalu mencari alasan tentang mengapa mereka belum menjalankannya. Jika seseorang berbuat dosa, lalu Anda menentang dosanya itu, maka dia akan segera mengajukan ribuan alasan untuk membenarkan dosa yang dia perbuat. Saat Adam berbuat dosa, dan dia dimintai pertanggungjawaban, dia berkata, “Perempuan ini! Tanyakanlah dia, jangan bertanya kepadaku! Dialah yang menyeretku ke dalam lumpur ini.” Lalu Allah beralih kepada perempuan itu dan berkata, “Hawa, apa yang telah kau perbuat?” “Ular itu! Dialah penyebabnya! Ular itu telah menipuku.” Kita terus saja berusaha mengalihkan tanggung jawab, padahal Tuhan tidak berkenan akan hal itu. Tanggung jawab itu tetap pada diri kita. Dengan demikian, Adam dan Hawa jatuh ke dalam hukuman Allah. Tidak boleh ada pengalihan tanggung jawab.

Akan tetapi orang muda yang kaya ini yang diperhadapkan dengan sesuatu yang sangat terang, yang sangat jelas, ia berpura-pura seolah-olah dia tidak tahu apa itu perintah Allah. Pernahkah Anda mendengar tentang orang Yahudi yang tidak tahu apa itu ‘Perintah Allah’? Yesus menyebutkan tentang perintah Allah, dan orang muda itu menanyakan, “Perintah Allah? Perintah yang mana?” Jika pertanyaan ini datang dari seorang asing, hal itu bisa dipahami. Orang asing mungkin tidak tahu perintah yang mana [yang dimaksudkan]. Orang asing tidak dibesarkan dalam hukum Taurat. Akan tetapi orang Yahudi yang tidak tahu tentang perintah Allah adalah suatu hal yang cukup luar biasa.


Hanya bagian Sepuluh Perintah yang berkenaan dengan hubungan antar manusia yang disebut

Akan tetapi Yesus sangat sabar. Lalu Yesus menguraikan perintah itu satu demi satu. “Baiklah, sobat. Jadi engkau belum pernah mendengar tentang perintah-perintah itu. Aku akan menyegarkan ingatanmu akan Sepuluh Perintah: jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayah dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Jawaban ini merupakan rangkuman dari Sepuluh Perintah itu.

Perhatikan respon Yesus di sini. Dia tidak memulai dengan hukum yang pertama. Dia bahkan tidak memulai dengan perintah yang kedua. Dan Yesus juga bahkan tidak memulai dari yang ketiga! Dia hanya menyebutkan bagian-bagian dari Sepuluh Perintah yang berkenaan dengan hubungan antara manusia. Apakah Anda memperhatikannya? Simaklah di dalam Keluaran pasal 20 dan Anda akan meliaht bahwa perintah yang pertama berkenaan dengan Allah, yang kedua dan yang ketiga juga berkenaan dengan Allah. Akan tetapi Yesus tidak menyebutkan satupun dari ketiganya. Dia hanya menyebutkan perintah yang berkenaan dengan hubungan antar manusia. Ini hal yang sangat membuat kaget! Sangat mengejutkan! Karena tentunya, menurut perkiraan Anda, dan mungkin orang muda yang kaya itu juga memperkirakan bahwa Yesus akan berkata, “Sembahlah Tuhan, Allahmu.” Akan tetapi Yesus sama sekali tidak menyebutkan hal itu. Hanya yang menyangkut hubungan antar manusia yang disebut.


Hubungan antara sesama mencerminkan kehidupan rohani seseorang

Pokok ini sangatlah penting. “Engkau menanyakan hal tentang berbuat. Hal perbuatan itu tentunya adalah hal yang berkenaan dengan orang lain.” Tidak ada hubungan secara langsung dengan Allah. Cara kita berurusan dengan orang lainlah yang sangat penting di sini. Di sinilah kita memperlihatkan kehidupan rohani kita. Di sinilah siapa kita apa adanya akan terlihat. Pokok ini sangatlah penting untuk dipahami. Kita bisa mengetahui kehidupan rohani seseorang dari cara dia berhubungan dengan orang lain, atau bagaimana dia menghindari hubungan dengan orang lain.

Yesus tidak memprihatinkan tentang apa yang Anda akui sebagai pengabdian Anda kepada Allah. Anda boleh saja mengaku memiliki komitmen yang luar biasa. Anda bisa saja bersedia menyerahkan tubuh Anda untuk dibakar, seperti yang dikatakan oleh Paulus di 1 Korintus 13, akan tetapi jika Anda tidak mau berhubungan dengan saudara seiman, jika Anda tidak bisa bergaul dengan teman sekamar, jika Anda tidak bisa akrab dengan suami atau istri Anda, atau dengan anak Anda, jika Anda tidak bisa bergaul dengan sesama Kristen, berarti kehidupan rohani Anda sedang bermasalah karena pengakuan iman dan komitmen Anda kepada Kristus terbukti hampa. Pengakuan Anda tidak lulus saat dihadapkan dengan ujian.

Inilah hal penting yang disampaikan oleh Yesus kepada orang muda yang kaya ini. “Aku tidak meragukan, “bahwa kamu berdoa tiga kali sehari, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Farisi, beribadah ke Bait Allah secara teratur, mempersembahkan korban di Bait Allah tanpa pernah lalai, mengucapkan doa-doa sebagaimana umumnya orang Yahudi, membasuh tangan sebelum makan sehingga secara ritual kamu bersih, dan di dalam hatimu ada penyembahan yang tulus kepada Allah. Aku tidak meragukan, bahwa kamu menganggap bahwa dirimu memiliki komitmen yang tulus kepada Allah. Akan tetapi alat uji yang paling nyata adalah dengan mengamati hubunganmu dengan saudaramu.” Di titik inilah orang muda yang kaya itu merasa tertusuk oleh perkataan Yesus. Kalau tidak merasa apa-apa, itu berarti dia sama sekali tidak bisa menangkap maksud ucapan Yesus.


Ujian langsung: Apakah Anda mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri?

Izinkan saya menekankan poin pengajaran Yesus. Mari kita camkan hal ini dalam-dalam. Saya tidak meragukan bahwa banyak atau mungkin sebagian besar dari Anda memandang diri Anda sebagai orang yang benar-benar berkomitmen total kepada Kristus, sebagai orang Kristen yang sejati. Anda dengan setulus hati yakin bahwa Anda berkomitmen kepada Kristus. Akan tetapi sekarang penilaian Anda terhadap diri Anda itu akan diuji.

Apakah Anda mengasihi sesama manusia seperti diri Anda sendiri? Bagaimana Anda berhubungan dengan orang lain? Anda bisa saja mengaku memiliki iman, namun mana bukti iman tersebut? Yesus memberitahu kita bahwa bukti iman kita itu terlihat di dalam hubungan kita dengan orang lain. Jika Anda tidak bisa berhubungan dengan orang lain, jika Anda bahkan tidak bisa mengasihi orang lain secara dangkal dalam hal bertenggang rasa saja, jauh dari pemahaman mengasihi sampai rela mengorbankan nyawa bagi mereka, apakah pengakuan percaya Anda itu bersubstansi? Jika Anda bahkan tidak bisa bergaul dengan mereka dengan sopan dan ramah, maka pahamilah satu hal dengan baik saudara, karena dalam terang pengajaran Yesus, pengakuan Anda itu terbukti hampa, tidak ada isinya.


Apakah itu berarti bahwa hubungan dengan Allah tidak penting?

Selanjutnya pertanyaan berikut yang akan muncul adalah: apakah itu berarti bahwa hubungan kita dengan Allah menjadi tidak penting selama hubungan kita dengan orang lain baik-baik saja? Apakah hal itu masih penting karena di sini Yesus sudah menyisihkan seluruh bagian awal dari Sepuluh Perintah itu? Dengan mengajukan pertanyaan seperti ini, berarti – sekali lagi – kita tidak memahami hakekat pengajaran Yesus. Yesus menyisihkan bagian awal, sebagaimana yang dilakukan oleh Paulus juga di dalam Roma pasal 13, ketika dia berkata bahwa penggenapan segenap perintah Allah itu ada di dalam mengasihi sesama manusia. Dan juga, persis seperti uraian Yesus berikutnya, Paulus juga tidak menyebutkan bagian awal dari Sepuluh Perintah. Dia hanya menyebutkan hal mengasihi sesama manusia sebagai penggenapan Sepuluh Perintah itu. Apakah itu berarti bahwa bagi Paulus, (di dalam Roma pasal 13) – dan juga menurut pengajaran Yesus, hubungan kita dengan Allah menjadi tidak begitu penting selama kita bisa berhubungan baik dengan sesama manusia, bahkan mengasihi mereka secara tulus dan mendalam?


Saya mengasihi sesama manusia karena Allah mengasihi saya lebih dahulu

Berpikir seperti di atas berarti sekali lagi menyalahpahami pengajaran Yesus karena pokok yang disampaikan adalah: Anda tidak akan bisa mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, jika Anda tidak mengasihi Allah dengan segenap hati. Tanpa kasih kepada Allah, maka kita tidak akan bisa mengasihi sesama manusia. Kasih kita terhadap sesama manusia itu berada di atas landasan kasih kita kepada Allah. Saya sama sekali tidak memiliki niat untuk mengasihi sesama manusia, terutama orang yang tidak saya kenal dan orang yang tidak saya sukai, kecuali jika saya mengasihi dia karena Allah. Karena saya mengasihi Allah, maka saya mengasihi orang lain.

Saya mengasihi seseorang bukan karena dia baik terhadap saya, karena dengan demikian maka itu berarti kita hanya akan mengasihi orang yang ramah terhadap kita. Saya mengasihi orang bukan karena penampilan lahiriahnya, karena dengan cara seperti itu maka kita hanya akan mengasihi orang-orang yang berpenampilan menarik. Dan kita tidak mengasihi seseorang karena kekayaannya, karena dengan begitu maka kita hanya akan mengasihi orang-orang kaya. Dan orang-orang yang seperti itu, yang baik, yang berpenampilan menarik dan yang kaya, jumlahnya tidak banyak di dunia ini. Akibatnya, Anda hanya akan mengasihi sedikit orang saja. Lalu dengan cara bagaimana kita akan mengasihi sesama manusia? Sedikit sekali orang yang akan dikasihi.

Oleh karena itu, saya mengasihi orang lain karena saya mengasihi mereka bagi Allah, karena Allah begitu berarti bagi saya, karena Allah mengasihi saya. Dan kita megasihi Dia karena Dia lebih dulu mengasihi kita. Kasih dari Allah yang memotivasi kita, yang merupakan landasan dan alasan mengapa Anda mengasihi orang yang secara khusus tidak Anda sukai dan tidak ingin temui. Dan saya kuatir ada banyak orang yang kita nilai separah ini. Kita akan senang tidak bertemu dengan mereka, akan tetapi kita akan mengasihi mereka karena Allah mengasihi kita. Oleh sebab itu, Anda bisa lihat mengapa bagian yang kedua dari Sepuluh Perintah ini tidak akan bisa diterapkan tanpa menjalankan bagian yang pertama, yakni komitmen kita kepada Allah.


Kita harus menggenapi hukum Taurat yang terangkum di dalam mengasihi Allah

Hal ini membawa kita pada pertanyaan berikutnya, dan pertanyaan itu adalah: sebagai orang Kristen, kita selama ini diajari bahwa sebagian besar dari perintah Allah atau hukum Taurat – (karena perintah Allah itu adalah ungkapan lain dari Hukum Taurat.) – telah dibatalkan, akibatnya kita bingung melihat jawaban Yesus di perikop ini.

Jika Anda berpikir bahwa hukum Taurat yang rohani itu telah dibatalkan, maka Anda sekali lagi telah gagal memahami pengajaran Kitab Suci. Hukum Taurat yang rohani sama sekali tidak dibatalkan. Di dalam Roma pasal 7, Paulus berkata bahwa hukum Taurat itu baik, rohani dan berguna. Anda tentunya tidak akan membuang sesuatu hal yang baik dan rohani. Yang Anda buang adalah yang duniawi akan tetapi bukan yang rohani. Dan karena hukum Taurat itu disebut rohani, maka sama sekali tidak bisa dibatalkan. Tidak bisa!


Apakah kita diselamatkan karena mentaati hukum Taurat?

Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah dengan demikian kita ini diselamatkan dengan mentaati hukum Taurat dan juga oleh kasih karunia Allah? Mana yang benar? Di sinilah letak dari kesejajaran itu. Bagian pertama dari jawaban Yesus kepada orang muda yang kaya itu tampaknya menunjukkan kepada kita bahwa kita ini diselamatkan dengan mentaati hukum Taurat. Lalu bagian yang kedua tampaknya menyatakan bahwa kita ini diselamatkan oleh pemuridan.

Akhirnya kita kembali pada pertanyaan yang pertama, apakah kita ini diselamatkan oleh hukum Taurat? Atau oleh pemuridan? Apakah kita bebas memilih mana yang kita suka? Jika Anda pikir hukum Taurat itu terlalu sukar, silakan coba pemuridan. Jika menurut Anda pemuridan itu terlalu sukar, silakan coba hukum Taurat. Jika keduanya tidak cocok buat Anda, maka Anda terpaksa harus menerima bahwa hidup yang kekal itu bukan buat Anda. Mana yang benar?

Pokok ini memunculkan pertanyaan mengenai hubungan antara hukum Taurat dengan kasih karunia. Pemuridan itu sendiri tentu saja berkenaan dengan kasih karunia. Perintah Allah berkenaan dengan hukum Taurat. Di manakah hubungan antara keduanya?

Apakah itu berarti bahwa sebagai orang Kristen, maka kita dikecualikan dari tuntutan untuk mentaati hukum Taurat? Hukum Taurat itu dirangkum dalam prinsip mengasihi Allah dengan segenap hati dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, seperti yang dikatakan oleh Yesus di dalam perikop ini, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (ayat 19). Jadi, apakah orang Kristen, seorang murid, dikecualikan dari kewajiban mentaati hukum Taurat? Jawabannya adalah tidak. Kita tidak dikecualikan dari hal mengasihi Allah dengan segenap hati. Kita tidak dikecualikan dari hal mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Malahan, keduanya merupakan tuntutan yang paling ditekankan oleh Yesus secara terus menerus dan juga di sepanjang Perjanjian Baru. Tidak ada bagian dari Perjanjian Baru yang mengecualikan kita dari kedua persyaratan itu. Kalau begitu, apakah kita ini diselamatkan oleh hukum Taurat? Tentu saja tidak. Mungkin Anda berkata, “Akan tetapi tadi disebutkan bahwa kita harus mentaati hukum Taurat, lantas sekarang dikatakan kita tidak diselamatkan oleh hukum Taurat. Lalu apa maksud dari uraian itu?”

Turutilah segala perintah Allah” dan “ikutlah Aku” adalah dua bagian dari satu jawaban: Kita membutuhkan kasih karunia Allah yang menyelamatkan atau kuasa Allah untuk menyucikan kita dari dosa. Kuasa Allah-lah yang memampukan kita untuk menggenapi hal yang tidak mampu kita kerjakan. Allah menaruh kasih-Nya di dalam hati kita. Tanpa kasih karunia Allah kita tetap tidak akan mampu mentaati hukum Taurat untuk mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.

Inilah inti dari pokok yang disampaikan oleh rasul Paulus di dalam bagian pertama kitab Roma. Hukum Taurat itu baik dan kita harus menggenapinya, akan tetapi kita tidak mampu menggenapinya. Kita tidak mampu hidup mengikuti persyaratan tersebut. Kita tidak mampu melakukan satu pun perbuatan baik yang mencerminkan kasih yang kudus dari Allah karena kita ini penuh dengan dosa. Demikianlah, Paulus melanjutkan di dalam Roma, khususnya Roma pasal 7, hukum Taurat itu bagus, hukum Taurat itu rohani akan tetapi kita lemah. Kita penuh dengan dosa. Jadi hukum Taurat yang rohani dan baik, yang – karena kelemahan kita – tidak mampu kita genapi. Saya tidak bisa menjalankannya. Saya harus menggenapinya akan tetapi saya tidak bisa menggenapinya.

Lalu apa jawabannya? Membatalkan hukum Taurat supaya kita bisa hidup terus dalam dosa? Tentu saja tidak! Kasih karunia Allah masuk ke dalam hidup kita dan memampukan kita untuk menggenapi apa yang tidak mampu kita genapi dengan kekuatan kita sendiri. Sebagai contoh, kita sudah melihat di dalam Roma pasal 13 bahwa mengasihi sesama manusia adalah penggenapan hukum Taurat akan tetapi kita tidak bisa melakukannya. Demikianlah, Paulus sudah memberitahu kita di Roma 5:5, bahwa Allah sudah mencurahkan kasihNya ke dalam hati kita. Itulah kasih karunia yang menguatkan, kasih karunia yang memampukan kita untuk mengerjakan hal yang tidak mampu kita kerjakan.

Yesus telah mengingatkan di dalam Matius 5 bahwa jika ada orang yang menyuruh Anda untuk mengabaikan hukum Taurat, maka orang itu bermasalah. Dia berkata, “Aku datang bukan untuk membatalkan hukum Taurat. Aku datang untuk menggenapinya.” Inilah pokok utamanya. Tuntutan yang kudus dari Allah yang mencerminkan karakter-Nya tidak boleh dibuang ke tong sampah. Aspek seremoni dari hukum Taurat disingkirkan, benar, karena memang telah digenapi dalam diri Kristus. Akan tetapi tuntutan rohani dari hukum Taurat tetap berlaku. Namun kita tidak dapat menggenapinya. Kita tidak bisa menggenapinya, lalu apa yang bisa kita lakukan?

Pertama-tama, masa lalu kita penuh dengan dosa, jadi bagaimana masa lalu yang penuh dosa ini akan ditangani? Melalui kematian anak domba Allah yang menghapuskan dosa-dosa tersebut. Darah Kristus menghapuskan dosa-dosa itu dari kita. Namun setelah kita bersih dari dosa-dosa itu, kita masih belum mampu menggenapi tuntutan tersebut, kita masih belum bisa mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Di sanalah kita memakai bagian lain dari kuasa darah itu. Dia memampukan kita untuk menggenapinya.

Begitu kita bisa memahami hal-hal ini, maka kita akan berada dalam posisi yang bagus untuk memahami kedua bagian dari jawaban Tuhan itu. Keduanya bukanlah jawaban terpisah yang boleh Anda pilih salah satunya sesuka hati Anda; keduanya adalah bagian dari satu jawaban tunggal.


Dilahirkan kembali, diubah oleh kuasa Allah untuk bisa mentaati perintah Allah

Perhatikanlah orang muda yang kaya ini, dia memberi jawaban dalam ketidaktahuan yang menyedihkan. Dia tidak mengerti apa yang disampaikan oleh Yesus. Ketika Yesus berkata, “Turutilah perintah Allah,” dia menanggapi dengan berkata, di dalam ayat 20, “Semua itu telah kuturuti. Aku telah mentaati semua perintah itu.” Entah dia memang tidak tahu apa arti ‘yang baik’ itu, atau dia memang sengaja berpura-pura tidak tahu. Dia masih belum mengerti bahwa jika kita mengandalkan kemampuan sendiri, tidaklah mungkin bagi kita untuk mengerjakan hal-hal yang baik tersebut, kita tidak bisa mentaati perintah-perintah itu. Tentu saja, jika Anda pernah mencoba untuk menjalankan perintah-perintah itu, mencoba untuk mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, Anda tentu tahu bahwa Anda selalu gagal di dalam usaha ini. Saya tidak akan berani berkata, “Aku telah mentaati semua itu sejak masa mudaku.” Saya tidak akan berani mengatakan hal itu sekalipun saya mungkin mengerti sedikit apa yang dimaksudkan. Siapa di antara kita yang berani berkata, “Aku telah mentaati semuanya” (perhatikan kata ‘semuanya’), “semua itu telah kutaati.” Semuanya? Apakah dia tidak tahu apa-apa atau dia berpura-pura? Itu adalah pertanyaan yang kita serahkan kepada Allah untuk menilainya.

Maksud uraian ini sederhana: untuk bisa mentaati perintah-perintah Allah, maka kita perlu untuk diubah oleh kuasa Allah. Kita perlu lahir baru, kita perlu dilahirkan kembali. Manusia duniawi, seperti yang coba dijelaskan oleh Paulus di dalam Roma, tidak akan bisa mentaati hukum Taurat. Bagaimana mungkin kita bisa berkata, “Aku telah mentaati semuanya”? Inilah poinnya, saat seorang non-Kristen bertanya kepada saya, “Aku orang baik-baik. Aku tidak merampok orang lain. Aku tidak mencuri. Aku menjalani kehidupan yang baik, paling tidak sama baiknya dengan orang lain, dengan begitu aku pasti diselamatkan.” Jawaban seperti ini menunjukkan ketidaktahuan pada apa yang disampaikan oleh Yesus. Standar kebaikan siapa yang digunakan? Apakah semua itu sudah Anda taati di sepanjang hidup Anda? Bagaimana Anda bisa melakukannya? Kita tidak bisa mentaati hukum Taurat. Itulah pokok utama dari Perjanjian Baru. Seperti yang dikatakan oleh Paulus, “Jika kita mampu mentaati hukum Taurat, sepuluh perintah itu, maka Kristus tidak perlu mati. Allah tidak perlu memberikan Roh-Nya kepada kita.” Oleh karena itu, dengan berkata bahwa Anda akan diselamatkan selama Anda hidup baik-baik, berarti Anda tidak mengerti apa makna ‘baik’ itu. Inilah poinnya.


Menjadi murid – bukanlah suatu tingkatan yang lebih tinggi

Selanjutnya, Yesus berkata – perhatikan kesabarannya, “Kamu manusia bebal, aku sudah mencoba untuk menjelaskan kepadamu seharian tentang bagaimana supaya masuk ke dalam Kerajaan, tetapi kamu datang dan berkata bahwa kau telah menjalankan semuanya.” Kita mungkin saja akan berkata seperti itu kepada orang lain di dalam ketidaksabaran kita. Yesus tahu ketidakpahaman orang ini. Lalu dia mengganti cara penyampaiannya dan berkata, “Lupakan saja perincian dari pokok ini dan aku akan menyampaikannya kepadamu dengan cara lain. Kalau kamu ingin sempurna, kalau kamu benar-benar ingin memperoleh hidup yang kekal, kalau kamu benar-benar ingin memperoleh hidup yang kekal, pergi dan juallah seluruh hartamu. Berikanlah uangnya kepada orang-orang miskin. Maka kamu akan memperoleh harta di surga. Lalu datanglah kemari dan ikutlah aku.” Pertanyaan apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal sekarang dijawab dengan, “Mari, ikutlah Aku.”

Persoalannya adalah, “Kalau kamu ingin sempurna” – apakah itu merupakan suatu tingkatan yang lebih tinggi? Apakah Yesus bermaksud mengatakan, “Baiklah, kamu memang sudah menuruti perintah-perintah Allah dan sekarang, untuk menjadi sempurna, mari dan ikutlah Aku.” Saya menduga banyak orang yang membaca ayat tersebut akan menyangka bahwa itulah yang dimaksudkan, dan ternyata salah. Sama sekali bukan itu yang dimaksudkan oleh Yesus karena orang muda ini benar-benar telah menuruti semua perintah itu sejak kecilnya, berarti dia telah sempurna. Tak ada lagi hal yang perlu disempurnakan. Kesempurnaan sudah ada di sana. Anda telah menuruti perintah-perintah Allah dengan utuh. Apa lagi yang perlu ditambahkan untuk menjadi sempurna?

Bagaimana lagi menjelaskan kesempurnaan di luar hal itu? Jadi, apakah Yesus sedang berbicara tentang tingkat [kerohanian] yang lebih tinggi? Bisa saja kita akan berkata bahwa kedua jawaban itu memang satu kesatuan akan tetapi yang pertama merupakan tingkatan dasar sedangkan yang kedua adalah tingkat lanjutannya. Yang satu adalah sekolah dasar dan yang satunya lagi adalah sekolah lanjutan. Jadi, mungkin Yesus sedang berkata demikian kepada orang muda yang kaya ini, “Kamu sudah lulus sekolah dasar, sekarang kamu harus masuk ke sekolah lanjutan.” Atau, “Kalau kamu mau lulus sekolah lanjutan, jadilah muridku.”

Jika kita berpikir seperti ini, maka kita akan memandang para murid sebagai orang-orang Krsiten kelas atas. Mereka adalah kalangan atas di lingkungan gereja. Dan kalangan yang jumlahnya memang sangat sedikit sekali! Jika kita akan memahaminya sepert itu, maka kita akan seperti sedang menatap bintang-bintang di langit, terlalu tinggi untuk kita gapai. Itukah hal yang dimaksudkan oleh Yesus? Berpandangan seperti ini sama dengan tidak mengerti makna kata ‘sempurna’.


‘Baik’ dan ‘sempurna’ memiliki makna yang persis sama

Jika kita teliti perikop ini, jawabannya justru terletak di dalamnya. “Hanya Allah yang baik.” Tentu saja, itulah yang Yesus maksudkan. Hanya Allah saja yang baik. “Hanya Satu yang baik.” Dan ayat yang sejajar di dalam Markus dan Lukas berkata, “Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja.” Hanya Allah saja yang sempurna. Jadi Anda bisa lihat bahwa kata ‘baik’ dan kata ‘sempurna’ sebenarnya sekadar dua kata dengan makna yang persis sama. Hanya Allah yang sempurna. Hanya Allah yang baik.

Apa perbedaan antara kata ‘sempurna’ dan kata ‘baik’? Di dalam cara Yesus memakai kata, dalam pernyataan bahwa hanya Allah saja yang baik, terlihat bahwa tidak ada perbedaan antara kata ‘baik’ dan ‘sempurna’. Memang ada perbedaan antara kata ‘baik’ dan ‘sempurna’ di dalam bahasa kita, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa di dalam cara Yesus memakai kata ‘baik’ ini, sebagaimana definisi yang dia berikan akan kata ‘baik’ ini, maka tidak ada perbedaan antara kata ‘baik’ dan ‘sempurna’. Menjadi baik berarti menjadi sama dengan Allah karena hanya Allah yang baik. Menjadi sempurna juga berarti menjadi sama seperti Allah karena hanya Allah yang sempurna. Dan itulah tepatnya hal yang disampaikan oleh Yesus di dalam Matius 5:48,

“Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”

Di sanalah penegasannya. Kata ‘baik’ dan ‘sempurna’ adalah hal yang persis sama, dan ini menunjukkan lagi kepada Anda bahwa kedua jawaban itu adalah dua hal yang sama.

Karena orang muda yang kaya itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan ‘baik’ oleh Yesus, maka Yesus kemudian memakai kata ‘sempurna’. Mungkin Yesus melihat bahwa orang muda ini masih belum mengerti makna ‘baik’, dia masih memahami kata ‘baik’ ini dalam pengertian manusia, selanjutnya Yesus memakai kata ‘sempurna’, yang memaksa orang muda ini untuk berpikir tentang makna rohaninya. Jika orang muda ini tidak mengerti bahwa hanya Allah yang baik, maka pastilah dia akan mengerti bahwa hanya Allah saja yang sempurna. Dengan begitu, Yesus mengubah kata yang dipakai agar orang muda kaya itu bisa memahami maknanya. “Jikalau engkau hendak sempurna” yang berarti, “Kalau kamu ingin menjadi seperti Allah.” Jawabannya sekarang menjadi sangat jelas. “Kalau kamu ingin menjadi baik,” yang berarti ingin menjadi seperti Allah.


Arti “baik” dari Lukas 6.27

Sebenarnya, makna ini juga terungkap dengan membandingkannya dengan Lukas 6:27 dan ayat-ayat berikutnya – yang merupakan parallel dari perikop di Matius ini. Lukas 6:35-36 berkata, “Menjadi baik berarti menjadi murah hati. Maka haruslah kamu murah hati sama seperti Bapamu di surga yang murah hati.” Menjadi murah hati adalah suatu kebaikan. Kutipan yang sejajar dengan itu di dalam Matius adalah “haruslah kamu sempurna.” Menjadi murah hati berarti menjadi sempurna. Menjadi baik berarti menjadi sempurna. Sungguh menarik cara Yesus menyampaikan. Dan untuk bisa memahami pengajarannya, maka Anda harus melihat bagaimana cara dia memakai kedua kata itu. Karena kita juga memiliki pemahaman [yang bertingkat] tentang baik – lebih baik dan akhirnya kesempurnaan. Namun bukan seperti itu cara Yesus memakai kata-kata tersebut. Ini sangat penting untuk dipahami.


Jika Anda ingin memperoleh hidup yang kekal, maka Anda harus menjadi seperti Allah

Jadi, kembali kepada pertanyaan orang muda itu, “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawabannya sekarang adalah, engkau harus menjadi seperti Allah untuk bisa memperoleh hidup yang kekal. Allah memiliki hidup yang kekal itu dan jika Anda ingin memilikinya, maka Anda harus menjadi seperti Allah. Oh! Itulah hal yang disampaikan dengan tegas oleh Yesus di dalam Matius 5:48. Haruslah kamu sempurna sama seperti Bapamu di surga adalah sempurna. Hanya dengan cara itu Anda bisa menjadi anak Allah. Bacalah Matius 5:48 sekali lagi. Jawaban di sini sama juga.


Bagaimana supaya saya bisa menjadi seperti Allah?

Sekarang kita mulai merasa ketakutan. Saya harus menjadi seperti Allah! Apa yang harus saya perbuat? Bagaimana saya bisa menjadi seperti itu? Yesus tidak meninggalkan kita dalam keputus-asaan. Dia melanjutkan jawabannya, “Putuskan hubunganmu dengan dunia – kecintaanmu akan uang, kacintaanmu akan dunia ini. Dan ikutlah Aku untuk bisa menjadi seperti Allah.” Inilah pokok utama dari pemuridan. Mengapa kita mengikut Yesus? Karena dengan mengikut dia, di dalam persekutuan dengannya, di dalam mendengarkan ajarannya, di dalam menyimak firmannya yang memberi hidup, kita sedang diubah, seperti yang dikatakan oleh rasul Paulus di dalam 2 Korintus 3:18, dari satu kemuliaan menuju kemuliaan yang lain. Inti dari hal menjadi seorang Kristen adalah perubahan! Sudah sering saya berusaha menekankan pokok ini. Perubahan dari satu tingkatan ke tingkatan lainnya.

Pemuridan itu adalah perubahan menjadi seperti Allah! Mengapa kita menjadi murid? Karena dengan cara apa kita bisa menjadi seperti Dia selain dengan cara bersekutu dengan-Nya? Itulah sebabnya mengapa di 1 Yohanes 1:3 dikatakan, Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus. Dan karena kita bersekutu dengan Allah, maka kita hidup di dalam terang, dan karena kita hidup di dalam terang, seperti yang dikatakan oleh rasul Paulus, dahulu kamu hidup di dalam kegelapan akan tetapi sekarang kamu menjadi terang. Bagaimana kita bisa menjadi terang? Dengan persekutuan dengan Allah dan anak-Nya. Inilah makna penting dari pemuridan.

Apakah menurut Anda pengajaran Yesus ini sukar dipahami? Tidak sukar, kecuali jika kita sama seperti orang muda yang kaya itu, yang mencari-cari alasan dengan berkata, “Perintah yang mana? Tuhan, aku benar-benar tidak mengerti maksudmu. Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan. Menuruti perintah-perintah Allah? Perintah yang mana? Kalau perintah-perintah yang itu, aku sudah melakukannya.” Kalau kita mau mengerti, maka hal itu akan mudah dimengerti. Sebaliknya, akan susah jika kita mencoba untuk menghindari pengertian itu.


Jadilah terang dunia dengan mengikuti Yesus sebagai murid

Dengan demikian, secara ringkas, jawaban dari Yesus itu sederhana dan jelas, setidaknya bagi orang yang hatinya cukup terbuka dan mau mengerti. Jika Anda bertanya tentang hal pemuridan, seperti yang telah dijelaskan oleh Yesus, “Jikalau kamu ingin sempurna, kalau kamu ingin menjadi seperti Allah, ikutlah Aku.” Kita harus mengikut Yesus. Bukan berarti dalam waktu singkat Anda bisa langsung menjadi seperti Allah. Bukan berarti bahwa dalam sekejap Anda bisa langsung menunjukkan keindahan dan kemuliaan Allah. Bukan sama sekali. Ini adalah sebuah proses. Pemuridan adalah sebuah proses. Anda tidak diselamatkan dalam lima menit saja. Anda memang diampuni dalam sekejap. Allah segera mengampuni Anda ketika Anda bertobat. Akan tetapi menjadi seorang Krsiten bukan sekadar masalah pengampunan. Masih banyak hal di dalam kehidupan Kristen, bukannya sekadar masalah pengampunan. Pengampunan adalah titik awal yang indah di dalam kehidupan Kristen. Suatu pembersihan terhadap semua kekacauan yang telah Anda buat di dalam hidup Anda sehingga tercipta suatu landasan yang bersih untuk membangun sesuatu yang baru, membangun sesuatu yang indah bagi Allah.

Saudara-saudari, panggilan kita di dunia ini adalah untuk melakukan apa? Sekadar menunggu kematian supaya kita masuk ke surga? Tidak sama sekali. Sangat sering, jika Anda simak pemberitaan Injil di zaman sekarang ini, seolah-olah – ketika Anda diselamatkan, maka persoalannya selesai sudah. Anda diselamatkan dan selesai! Selanjutnya tinggal menunggu sampai Anda mati. Dan sambil menunggu, silakan mengisi waktu Anda dengan cara yang menguntungkan, sebelum kita mati dan kita masuk ke surga.

Kita tidak boleh berpikir seperti itu di dalam menjalani kehidupan Kristen kita karena Allah telah memberi kita tugas mulia di dunia ini, yaitu, untuk menjadi terang bagi dunia ini. Allah adalah terang. Apakah Anda bisa mengerti maksudnya? Untuk bisa menyelesaikan tugas ini, maka kita harus menjadi seperti Dia, dalam arti memancarkan terang. Jika kita tidak menjadi terang di dunia ini, apakah itu artinya? Artinya kita bukan orang Kristen. Akan tetapi satu-satunya jalan untuk menjadi terang adalah dengan cara menjadi seperti Dia. Dan satu-satunya jalan untuk menjadi seperti Dia adalah, seperti yang dikatakan Yesus, “Ikutlah Aku.” Kita semua harus menjadi murid. Tidak ada jalan lain.

Dan dengan menjadi murid itulah kita belajar menggenapi perintah dalam hukum Taurat, sepuluh perintah itu. Bukan berarti bahwa kita diselamatkan oleh hukum Taurat, melainkan bahwa kita diselamatkan oleh kasih karunia Allah yang memampukan kita untuk menjalani jenis kehidupan yang berkenan bagi Dia, yang menyenangkan hati Allah.


Bersediakah Anda untuk dibentuk mengikuti gambar Yesus, Anak Allah?

Saya ingin agar Anda renungkan dengan cermat pokok-pokok itu. Kita sedang berurusan dengan persoalan yang luar biasa penting. Saya tidak tahu apakah Anda benar-benar, bersedia menjadi murid? Apakah Anda bersedia untuk tidak sekadar diampuni saja? Allah memang sangat senang dan akan segera mengampuni jika Anda bertobat. Namun ingatlah bahwa pengampunan itu hanya merupakan suatu persiapan untuk pemuridan, untuk mengubah hidup Anda menjadi sesuatu yang indah, yang menjadi terang Allah di dunia ini. Apakah Anda bersedia menjadi murid?

Jadi, tidak sama seperti pandangan di sebagian besar gereja atau kalangan orang Kristen, bahwa pemuridan itu adalah pembentukan orang Kristen tingkat atas, tak ada hal semacam itu di dalam Perjanjian Baru. Di dalam Perjanjian Baru, murid itu adalah orang Kristen. Murid adalah sebutan lain bagi orang Kristen. Jika Anda adalah seorang Kristen menurut pengertian yang alkitabiah, maka Anda adalah seorang murid. Bukan mereka yang tergabung di dalam tim pelatihan saja yang disebut murid. Jika Anda adalah seorang Kristen sejati, maka Anda adalah seorang murid. Dan selanjutnya Anda harus tahu bahwa panggilan Anda adalah, seperti yang dikatakan oleh Paulus di dalam Roma 8:29, dibentuk menjadi sama dengan gambaran Anak-Nya. Inilah inti dari hal menjadi seorang Kristen. “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya.” Itulah rencana Allah – menjadikan Anda sama dengan gambaran Anak-Nya supaya orang yang melihat Anda tidak lagi melihat diri Anda melainkan melihat Kristus.

Dengan demikian, kita tutup pembahasan ini dengan catatan bahwa tak seorang pun yang hadir di sini hari ini nanti keluar dari sini dan berkata, “Aku tidak mengerti jawaban untuk pertanyaan, ‘Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?'” Jawaban Yesus [atas pertanyaan itu] adalah, “Ikutlah aku dan aku akan membentuk kamu menjadi penjala manusia, jenis orang yang merupakan terang dunia. Berjalanlah bersamaku, karena barang siapa telah melihat aku, dia telah melihat Bapa.” Dan di saat kita berhadapan muka dengan Allah tanpa tabir yang membatasi ini, maka kita akan diubah menjadi seperti Dia.

 

Berikan Komentar Anda: