Ev. Xin Lan | Musa (10) |

Kita sampai pada bagian ke-sepuluh dari pembahasan tentang Musa, dan ini merupakan bagian yang terakhir.

Di sembilan sesi sebelumnya, kita melihat bahwa Musa dipakai secara luar biasa oleh Allah. Kita sudah melihat bahwa kualitas hidupnya sangat berbeda dari orang kebanyakan: dia bersyafaat untuk orang lain, dia memiliki iman yang besar, dia setia dalam segenap rumah tangga Allah, dia juga orang yang paling rendah hati, dan sebagainya. Musa jelas merupakan hamba Allah yang luar biasa. Orang Israel memandang Musa sebagai tokoh terbesar dalam Perjanjian Lama. Allah memakai Musa untuk mengikat perjanjian dengan bangsa Israel dan memakai Yesus untuk mengikat perjanjian baru dengan kita. Dalam batas tertentu, Musa juga menubuatkan tentang Yesus Kristus.

Alkitab juga membandingkan Musa dengan Yesus. Di Ulangan 18:15, Musa memberitahu bangsa Israel,

YAHWEH, Allahmu, akan membangkitkan seorang nabi kepadamu dari antara umatmu, dan ia akan menjadi sepertiku. Kamu harus mendengarkan dia.

Siapakah nabi yang sama seperti Musa ini? Dua kali di Kisah Para Rasul dalam Perjanjian Baru, disebutkan bahwa nabi tersebut adalah Yesus Kristus. Pertama kali disebutkan adalah di Kisah 3:22. Rasul Paulus berkhotbah kepada orang banyak tentang Yesus dan dalam khotbahnya ini, dia mengutip ucapan Musa tersebut. Yang kedua adalah Kisah 7:37, saat Stefanus menyampaikan kesaksian dan mengutip ucapan yang sama dari Musa. Jadi, Musa sudah sejak lama menubuatkan tentang Mesias yang akan datang, yakni Yesus Kristus.

Secara keseluruhan, Musa adalah hamba Allah yang luar biasa, sukar dicari tandingannya. Dia layak dibandingkan dengan Yesus. Akan tetapi, sayangnya, Musa tidak mengakhiri pelayanannya dengan sukses. Apa maksudnya? Dia tidak dapat masuk ke tanah yang dijanjikan Allah kepada bangsa Israel, yaitu tanah Kanaan. Kita tahu bahwa ada 2 juta orang Israel yang berangkat keluar dari Mesir. Sebenarnya, mereka bisa saja langsung masuk ke tanah perjanjian, tanah Kanaan, yang dijanjikan Allah kepada mereka. Akan tetapi, di sepanjang perjalanan, mereka terus saja mencobai Allah, memberontak kepada Allah. Ketika mereka sudah dekat dengan tanah Kanaan, 10 dari 12 mata-mata yang diutus untuk meneliti keadaan di Kanaan pulang dengan laporan yang melemahkan hati bangsa Israel. Seluruh umat mengeluh keras. Murka Allah bangkit dan Dia memutar arah perjalanan bangsa Israel. Mereka mengembara selama 40 tahun di padang gurun sehingga semuanya mati dalam pengembaraan tanpa masuk ke tanah perjanjian. Dalam angkatan ini, hanya Kaleb dan Yosua yang boleh masuk ke tanah perjanjian.


Kesalahan Musa pada akhir perjalanannya

Sayangnya, hamba Allah yang luar biasa ini, yaitu Musa, mengalami kegagalan pada tahap akhir perjalanan karena sebuah kesalahan, yang membuat dia juga tidak boleh masuk ke tanah perjanjian. Mari kita telusuri apa kesalahan Musa sehingga kita bisa menarik pelajaran dari masalah ini. Dalam hal apakah Musa telah gagal? Mengapa Allah melarang Musa masuk ke tanah perjanjian? Mari kita lihat Bilangan 20:1-13:

1  Bangsa Israel sampai di Padang Gurun Zin pada bulan pertama. Mereka tinggal di Kadesh. Lalu, Miryam mati dan ia dikuburkan di sana.
2  Suatu ketika, tidak ada air bagi umat itu. Maka, mereka berkumpul mengeluh terhadap Musa dan Harun.
3  Kemudian, umat itu berselisih dengan Musa dan berkata, “Lebih baik kami mati di hadapan YAHWEH seperti saudara-saudara kami.
4  Mengapa kamu membawa umat YAHWEH ke padang gurun ini? Apakah kamu menginginkan supaya kami dan binatang ternak kami mati di sini?
5  Mengapa kamu membawa kami keluar dari negeri Mesir? Mengapa kamu membawa kami ke tempat celaka ini? Di tempat ini tidak ada gandum, tidak ada pohon ara, anggur, atau buah delima bahkan tidak ada air untuk diminum.”
6  Musa dan Harun pun meninggalkan orang banyak itu dan pergi ke pintu masuk Kemah Pertemuan. Mereka sujud sampai ke tanah, dan Kemuliaan YAHWEH tampak kepada mereka.
7  YAHWEH berkata kepada Musa,
8  “Ambillah tongkatmu itu. Kumpulkanlah umat Israel bersama Harun, kakakmu. Berkatalah kepada bukit batu itu di depan mata mereka supaya mengeluarkan airnya. Dengan demikian, air akan mengalir dari batu itu, dan kamu dapat memberikan air itu kepada umat dan binatang ternak mereka.”
9  Lalu, Musa mengambil tongkat itu dari hadapan Tuhan sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadanya.
10  Musa dan Harun mengumpulkan umat di depan bukit batu itu. Kemudian, Musa berkata, “Dengarkanlah aku, hai kamu yang sering mengeluh. Haruskah kami mengeluarkan air dari bukit batu ini?”
11  Musa mengangkat tangannya dan memukul bukit batu itu dua kali. Kemudian, air memancar keluar dari bukit batu itu. Seluruh umat dan binatang ternak mereka meminum air itu.
12  Namun, YAHWEH berkata kepada Musa dan Harun, “Oleh karena kamu tidak mempercayai Aku, dan tidak menjaga kekudusan-Ku di mata orang Israel. Oleh sebab itu, kamu tidak akan memimpin umat itu memasuki negeri yang telah Kuberikan kepada mereka.”
13  Tempat ini disebut Air Meriba karena umat Israel berselisih dengan YAHWEH dan di sinilah Ia menyatakan kepada mereka bahwa Ia kudus.

Nas ini mencatat tentang kegagalan Musa. Allah mengumumkan hukuman yang dijatuhkan kepada Musa dan Harun, “kamu tidak akan memimpin umat itu memasuki negeri yang telah Kuberikan kepada mereka.” Kesalahan apakah yang telah dilakukan oleh Musa di sini? Allah menjelaskan masalah itu kepada Musa, “Oleh karena kamu tidak mempercayai Aku, dan tidak menjaga kekudusan-Ku di mata orang Israel.”

“Percaya” sama artinya dengan iman. Musa adalah orang dengan iman yang luar biasa dan kita sudah melihat berbagai buktinya. Alkitab juga memuji iman Musa. Akan tetapi, di sini, Allah mengatakan bahwa dia tidak mempercayai Allah. Bagaimana mungkin Musa tidak mempercayai Allah? Mengapa Allah sampai berkata bahwa Musa telah tidak mempercayai-Nya? Mari kita lihat bagian lain yang tercatat di Bilangan 27:12-14:

12  YAHWEH berkata kepada Musa, “Naiklah ke Gunung Abarim dan pandanglah negeri yang akan Kuberikan kepada umat Israel.
13  Sesudah, kamu memandangnya kamu akan dikumpulkan bersama nenek moyangmu seperti Harun, saudaramu.
14  Sebab, kalian berdua telah menentang perintah-Ku untuk menyatakan kekudusan di hadapan seluruh umat melalui mata air.” Itulah mata air Meriba dekat Kadesh di Padang Gurun Zin.

Dalam bagian ini, Allah memberitahu Musa untuk bersiap menghadapi ajalnya. Musa akan segera mati dan dia tidak diperkenankan untuk masuk ke tanah perjanjian. Karena ketika berada di padang gurun Zin, dalam pertengkaran di mata air Meriba, “kalian berdua telah menentang perintah-Ku untuk menyatakan kekudusan di hadapan seluruh umat melalui mata air.” Kalau kita bandingkan dua bagian ini, yakni pasal 20 dan pasal 27, kita akan dapati bahwa isi pasal 20 menyebutkan bahwa Musa tidak mempercayai Allah serta tidak menguduskan nama Allah di depan mata bangsa Israel. Bilangan 27:14 pula menyatakan bahwa Musa telah menentang perintah Allah serta tidak menguduskan nama Allah di depan jemaat. Ini berarti bahwa hal “tidak percaya kepada Allah” sama dengan “menentang perintah Allah”. Bagaimana mungkin Musa tidak percaya kepada Allah? Hal ini diungkapkan dalam tindakannya yang tidak mengikuti perintah Allah dalam peristiwa di Meriba.


Peristiwa di Meriba

Mari kita kembali ke pasal 20 dari kitab Bilangan untuk mempelajari peristiwa di Meriba secara lebih mendalam. Mengapa disebutkan bahwa Musa telah menentang perintah Allah? Kita bisa melihat hal itu di ayat 1 sampai 5. Penyebab dari peristiwa itu adalah tidak adanya air untuk diminum oleh umat Israel. Oleh karena masalah ini, mereka lalu berkumpul dan menentang Musa dan Harun. Dari ayat 6 sampai 9, terlihat bahwa Musa memohon kepada Allah dan Allah memberi dia perintah untuk dijalankan. Perintah dari Allah adalah sebagai berikut:

“Ambillah tongkatmu itu. Kumpulkanlah umat Israel bersama Harun, kakakmu. Berkatalah kepada bukit batu itu di depan mata mereka supaya mengeluarkan airnya. Dengan demikian, air akan mengalir dari batu itu, dan kamu dapat memberikan air itu kepada umat dan binatang ternak mereka.”

Demikianlah, Allah memberi tiga perintah kepada Musa: pertama, mengambil tongkat; kedua, mengumpulkan umat Israel; ketiga, berbicara kepada bukit batu agar memberikan air kepada bangsa Israel. Lalu, hal apakah yang diperbuat oleh Musa? Ayat 9 menyebutkan bahwa Musa menuruti perintah yang pertama dan mengambil tongkat yang dimaksudkan di hadapan Yahweh. Kemudian, ayat 10 menyebutkan bahwa Musa dan Harun mengumpulkan jemaah Israel di depan bukit batu.

Sampai dengan titik ini, Musa menjalankan hal yang diperintahkan dengan tepat. Kunci permasalahan tampak sejak pertengahan ayat 10. Jika menjalankan sesuai dengan perintah Allah, Musa seharusnya berbicara kepada bukit batu: “Bukit Batu, berikan kami air.” Akan tetapi, Musa tidak melakukan hal itu. Lalu, hal apa yang dia lakukan? Dia memang berbicara, tetapi dia tidak meminta bukit batu untuk memberikan air. Dia membuat dua pernyataan. Yang pertama adalah,

“Dengarkanlah aku, hai kamu yang sering mengeluh.”

Lalu, pernyataan yang kedua adalah,

“Haruskah kami mengeluarkan air dari bukit batu ini?”

Sesudah membuat dua pernyataan ini, dia menambahkan dengan tiga tindakan:

“Musa mengangkat tangannya dan memukul bukit batu itu dua kali.”

Jelaslah bahwa dua pernyataan dan tiga tindakan itu bukan merupakan bagian dari perintah Allah kepadanya. Dia bertindak tidak sesuai dengan perintah Allah sehingga Allah menegurnya, “Kalian telah menentang perintah-Ku.”

Apakah tuntutan Allah terlalu tinggi? Allah bukan pribadi yang bisa diperlakukan sesuka hati. Jika kita ingin menjadi orang Kristen, ingin melayani Allah, kita harus memahami prinsip ini: Jalankan sepenuhnya sesuai dengan perintah Allah, tanpa penambahan atau pengurangan. Jika tidak, kita akan gagal. Bahkan tokoh besar seperti Musa, pada akhirnya, bisa gagal juga, apalagi kita ini?

Anda mungkin berkata, “Musa memang menjalankannya tidak persis seperti yang diperintahkan oleh Allah. Namun, apakah Allah tidak terlalu keras dalam hal ini? Musa sekadar berbeda dalam pelaksanaan perintah itu, tetapi air tetap keluar dan bangsa Israel bisa mendapatkan air minum. Dia menunaikan tugas yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Dua pernyataan serta tiga tindakan yang dilakukan oleh Musa hanyalah merupakan pengungkapan yang berbeda dari hal yang sama. Mengapa Allah begitu keras menegur sehingga menyatakan bahwa Musa sudah memberontak terhadap titah-Nya? Bukankah Allah sudah bertindak terlalu keras?”

Pertanyaan semacam itu menunjukkan bahwa kita tidak memahami makna penting dari peristiwa ini. Jika diamati secara sekilas, hal yang disebut sebagai pemberontakan Musa kepada Allah di dalam kasus ini hanyalah dua pernyataan dan tiga tindakan itu saja. Sudah tentu, Allah tidak akan bersikap sewenang-wenang kepada manusia. Umat manusia memang memiliki kecenderungan untuk bersikap sewenang-wenang kepada sesamanya. Namun, Allah berbeda dengan kita. Hal yang disebut sebagai pemberontakan Musa kepada Allah bukan sekadar urusan dua pernyataan dan tiga tindakan yang tidak termasuk dalam perintah Allah. Mengapa Musa membuat dua pernyataan dan tindakan tambahan itu? Mari kita beralih ke Mazmur 106:32-33

Mereka menggusarkan Dia dekat air Meriba, sehingga Musa kena celaka karena mereka; sebab mereka memahitkan hatinya, sehingga ia teledor dengan kata-katanya.

Di sini disebutkan bahwa bangsa Israel sudah memahitkan hati Musa, (memberontak terhadap Musa) dan hal ini membuatnya sangat marah. Di dalam peristiwa di mata air Meriba ini, Musa telah dibuat sangat marah oleh bangsa Israel. Saat itu, Musa marah besar. Oleh karena Musa sedang marah, dia menjadi teledor dengan kata-katanya dan tindakannya juga menunjukkan kemarahannya. Inilah masalah yang terkait dengan Musa.

Perhatikan bahwa di dalam ayat ini juga disebutkan, “Mereka menggusarkan Dia”. Jika Allah pada saat itu marah, lalu mengapa Musa tidak diperkenankan untuk marah?

Di dalam pembahasan kita yang sebelumnya, kita melihat bahwa Musa berkali-kali marah. Contoh yang paling klasik adalah di dalam kejadian di mana bangsa Israel menyembah lembu emas. Musa bukan hanya marah di sini, dia sangat murka. Dua loh batu berisi sepuluh perintah Allah yang sedang dia bawa dibantingnya sampai hancur. Dia membakar patung lembu emas itu, menggilingnya sampai menjadi bubuk, membuang bubuk itu ke aliran air dan menyuruh umat Israel untuk meminumnya. Pada akhirnya, peristiwa ini menewaskan sekitar 3.000 orang. Dalam kejadian ini, Allah tidak menyalahkan Musa. Dalam pembahasan tentang kasus ini, kita juga memandang bahwa hal ini merupakan salah satu bukti kualitas unggul dari Musa. Mengapa? Karena di dalam kasus lembu emas, kemarahan Musa mewakili kemarahan Allah. Sebagai akibatnya, dosa bangsa Israel dihapuskan, murka Allah diredakan dan bangsa Israel diselamatkan.

Namun, di dalam kasus di Meriba ini, kemarahan Musa hanya terkait dengan emosinya sendiri. Kemarahan itu tidak ada kaitannya dengan Allah sehingga Allah menegur dia karena tidak menguduskan nama-Nya di depan segenap umat Israel. Mengapa dinyatakan bahwa Musa tidak menguduskan nama Allah di depan bangsa Israel? Karena saat itu dia marah dan kehilangan kendali. Dia mewakili Allah dalam cara yang salah. Saat itu, Allah tidak ingin Musa menjadi marah. Dia hanya menyuruh Musa untuk meminta air dari bukit batu. Ketika Musa mulai berbicara, ucapan pertamanya adalah, “Dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka!” Hal yang dia ucapkan adalah teguran kepada bangsa Israel, padahal Allah tidak memerintahkan dia untuk menegur bangsa Israel.

Anda mungkin berkata, “Akan tetapi, bangsa Israel memang berbuat dosa di Meriba!” Benar, bangsa Israel sudah berdosa dalam kasus ini, tetapi Allah tidak mengizinkan Musa untuk menegur mereka saat itu. Kita harus mengerti bahwa kita tidak memiliki hak untuk menegur atau menghakimi orang lain, sekalipun mereka mungkin sudah berbuat salah. Alkitab berkata bahwa mereka memiliki majikannya sendiri, siapakah kita sehingga kita merasa berhak menghakimi orang lain? Penghakiman merupakan wewenang Allah. Jika kita mengkritik, menegur dan menghakimi orang lain, berarti kita sedang menempatkan diri dalam kedudukan Allah. Tindakan semacam ini hanya akan mendatangkan penghakiman Allah kepada kita. Allah akan menghakimi kita.

Tentu saja, Allah juga memberikan wewenang kepada para hamba-Nya untuk menegur dan menghakimi. Akan tetapi, para hamba Allah harus menjalankannya benar-benar sesuai dengan petunjuk dari Allah. Jika anda menjalankannya tidak sesuai dengan petunjuk dari Allah, anda harus bertanggungjawab kepada Allah, Allah akan menghukum anda. Saat Allah mengizinkan hamba-Nya untuk menegur dan menghakimi orang lain, tujuannya adalah demi keselamatan orang itu. Jika kita memusatkan perhatian kita pada urusan menegur dan menghakimi, bahkan jika kita mengikutsertakan kemarahan kita dalam urusan ini, Allah akan menuntut tanggung jawab dari kita. Tidak ada pengecualian, bahkan Musa harus berhadapan dengan akibatnya. Allah tidak menyuruh dia untuk menegur bangsa Israel saat itu, tidak ingin Musa menjadi marah saat itu, tetapi Musa justru membiarkan dirinya larut dalam kemarahan dan menegur bangsa Israel. Akhirnya, Allah harus menangani masalah emosi Musa ini.

Pernyataan yang kedua dari Musa adalah, “Apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?” Masalah apa yang terkait dengan pernyataan yang kedua ini? Masalahnya adalah Musa berkata, “Kami… mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini.” Siapa yang mengeluarkan air dari bukit batu itu? Tentu saja, Allah. Musa hanya seorang hamba Allah, dia memakai otoritas dari Allah untuk mengalirkan air dari bukit batu. Akan tetapi, dalam pernyataannya itu, dia menyebut “kami”, dia sepenuhnya melupakan Allah saat itu.

Sesudah itu, Musa melanjutkan dengan tiga macam tindakan, “Musa mengangkat tangannya, lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali, maka keluarlah banyak air.” Jelaslah bahwa Musa melakukan tiga macam tindakan itu dalam kemarahan yang besar. Dia tidak dapat lagi membendung amarahnya.

Demikianlah, kejadian ini menunjukkan bahwa Allah tidak bertindak sewenang-wenang. Saya justru bisa melihat kasih Allah dalam peristiwa ini. Musa adalah hamba Allah yang luar biasa. Allah memberinya kuasa dan kewenangan yang sangat besar untuk memimpin bangsa Israel. Tujuan akhirnya adalah demi kebaikan bangsa Israel. Jika Musa memperlakukan umat Allah dengan sembarangan, Allah akan menuntut tanggung jawab darinya. Allah sangat mengasihi umat-Nya, Dia sangat peduli bahkan sampai pada yang paling kecil dari antara mereka. Jika kita memahami pokok ini, beranikah kita menghakimi saudara dan saudari seiman kita? Seringkali kita mengkritik saudara atau saudari seiman tanpa mengikuti kehendak Allah. Tindakan kita seringkali tidak dilandasi oleh kemurahan dan kebaikan Allah. Segala yang diperbuat oleh Allah dilandasi oleh kasih-Nya. Tanpa kasih, kita tidak layak untuk menegur orang lain.


Tuntutan Allah atas Hamba-Nya

Di sisi lain, kita juga melihat bahwa tuntutan Allah kepada para hamba-Nya sangatlah tinggi. Semakin besar otoritas yang diberikan oleh Allah, maka semakin besar tanggung jawab yang dituntut oleh Allah darinya. Siapa yang menerima banyak akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar juga. Allah memberi Musa kuasa dan otoritas yang sangat besar, saya rasa tak ada di antara kita yang bisa melampaui dia. Akan tetapi, Allah juga menuntut standar yang luar biasa tinggi dari Musa.

Jika kita mengamati sejarah bangsa Israel, yang kita lihat adalah sejarah pemberontakan mereka kepada Allah. Jika kita hanya menelusuri periode di mana Musa memimpin umat Israel keluar dari Mesir, mengembara di padang gurun, ada berapa kali bangsa ini mengeluh dan memberontak dalam perjalanan ini? Alkitab menyebutkan mereka sebagai bangsa yang tegar tengkuk dan pemberontak. Siapa yang sanggup memimpin umat semacam ini? Ternyata Musa sanggup memimpin mereka selama 40 tahun. Musa melayani Allah dengan setia selama 40 tahun itu, memimpin umat Israel dan dia setia di seluruh rumah tangga Allah. Dia bekerja keras di tengah semua keluhan dan perlawanan terhadapnya. Akan tetapi, dalam kejadian di Meriba, Musa tidak dapat menoleransi lagi, lalu dia membuat dua pernyataan yang tidak seharusnya dia keluarkan. Tindakannya didorong oleh emosi pribadi. Di mata manusia, hal ini mungkin bisa dimaklumi. Akan tetapi, Allah menegurnya dengan alasan bahwa dia tidak mempercayai Allah dan tidak menguduskan nama-Nya. Apakah tuntutan Allah terhadap hamba-Nya terlalu tinggi?

Allah menegur Musa karena tidak mempercayai dan tidak menguduskan nama-Nya, dan Musa dipandang telah memberontak terhadap titah-Nya. Jika anda akrab dengan sejarah Israel, akan anda dapati bahwa Allah sering menegur bangsa Israel dengan ucapan yang sama. Akan tetapi, Allah ternyata juga memakai teguran semacam ini terhadap Musa walaupun dia hanya sekadar dibuat marah oleh bangsa Israel. Allah menginginkan agar hamba-Nya menjadi contoh di tengah umat-Nya. Hal-hal yang diinginkan oleh Allah untuk diperbuat oleh umat-Nya adalah menjadi contoh baik yang bisa ditiru oleh para umat-Nya. Dalam kesalahannya kali ini, hukuman yang datang dari Allah kepada Musa sangat serius. Musa tidak diizinkan untuk masuk ke tanah perjanjian. Saat Allah menangani para hamba-Nya, tindakan yang diambil seringkali bersifat lebih tegas.

Tentu saja, walaupun Musa tidak masuk ke tanah perjanjian, bukan berarti bahwa dia binasa dan kehilangan keselamatannya. Allah hanya mengambil berkat kepemimpinan untuk membawa bangsa Israel masuk ke tanah perjanjian. Berkat ini kemudian diberikan kepada Yosua. Masuk ke masa Perjanjian Baru, ketika Yesus Kristus dimuliakan di atas gunung, Musa dan Elia datang dan berbicara dengannya. Jadi, kesalahan Musa tidak menghilangkan keselamatannya, dia masih tetap hamba Allah yang luar biasa.

Yang terakhir, mari kita baca sebuah catatan peristiwa singkat dalam Alkitab. Mari kita lihat Ulangan 34:4-6:

4   YAHWEH berkata kepada Musa, “Inilah tanah yang telah Kujanjikan kepada Abraham, Ishak, dan Yakub, kata-Ku, ‘Aku akan memberikannya kepada keturunanmu.’ Aku mengizinkanmu melihat tanah itu, tetapi kamu tidak dapat pergi ke sana.”
5  Kemudian, Musa, hamba TUHAN itu, mati di tanah Moab sesuai dengan firman YAHWEH.
6  Ia menguburkan Musa di lembah, di tanah Moab, seberang Bet-Peor. Namun, tidak ada seorang pun yang tahu tempat kuburannya hingga hari ini.

Di sini digambarkan kejadian ketika Musa meninggal. Kita masih bisa melihat keakraban hubungan antara Musa dengan Allah. Allah masih bercakap-cakap dengannya, membimbing dia naik ke gunung dan mengajaknya memandang tanah perjanjian. Setelah Musa meninggal, Allah sendiri yang menguburkannya! Saya rasa, hanya Musa yang menerima kehormatan semacam ini di seluruh catatan Alkitab.

 

 

Berikan Komentar Anda: