Pastor Eric Chang | Kekuatan dalam Kelemahan (2) |

Saudara-saudaraku yang terkasih, kamu  senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir.

Kita akan meneliti kalimat “kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar.” Selama ini, saya tidak pernah men­dengar seorang pun yang menjelaskan kata-kata ini. Namun, kata-kata tersebut sangat penting karena kaitannya dengan keselamatan. Hal yang mengherankan adalah keselamatan kita harus dikerjakan dengan “takut dan gentar”. Kita cende­rung berpikir bahwa kehidupan Kristen itu berhubungan dengan kasih, sukacita dan damai sejahtera, tetapi tahukah Anda bahwa takut dan gentar bersangkutpaut dengan kehidupan Kristen dan dengan keselamatan?

Jika Anda mencari jawabannya dalam buku-buku tafsiran, Anda tidak akan menemukan penjelasan yang memuaskan. Saya sudah menanyakan kepada banyak orang, “Tolong jelaskan kepada saya arti dari kata-kata ini”. Namun, tidak seorang pun yang dapat menjelaskan kepada saya. Rupanya kita telah kehilangan kunci untuk memahami Firman Allah dan memahami arti keselamatan. Jika kita kehilangan kunci untuk memahami keselamatan, kita sesungguhnya telah kehilangan segala sesuatu.


Paulus, Takut dan Gentar?

Bagaimana keselamatan harus dikerjakan? Jawaban yang sangat mengherankan adalah, dengan takut dan gentar! Paulus merupakan seorang rasul yang memberitakan kemerde­kaan. Ia berbicara tentang kemerdekaan, tentang kasih, sukacita dan damai sejahtera. Namun, di sini Paulus berbicara tentang takut dan gentar di dalam konteks mengerjakan keselamatan kita! Kita tidak suka mendengar khotbah sema­cam ini. Pada masa kini, banyak pengkhotbah yang berbicara tentang power evangelism, tentang kuasa dan kekuatan, tentang kemuliaan dan kebesaran. Kita tidak terbiasa mendengar tentang “takut dan gentar”. Bagaimana kita dapat memahami hal ini?

Jika Anda menyelidiki kata-kata tersebut dalam konkordansi, Anda akan menemukan bahwa Paulus menggunakan kata “takut” dan kata “gentar” beberapa kali dalam kombinasi dan susunan yang sama. Ungkapan tersebut mempunyai arti yang sedikit berbeda di dalam konteks yang berbeda. Kadang-kadang artinya adalah sikap patuh atau taat, seperti seorang hamba harus patuh dan taat pada tuannya. Paulus juga menggunakan istilah “takut dan gentar” untuk dirinya sendiri. Misalnya di 1 Korintus 2:2-3, Paulus mengatakan,

Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu dia yang disalibkan. Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar.

Di sini Paulus berbicara tentang Yesus Kristus “yang disalibkan” – bukan Yesus Kristus Raja kemuliaan, maupun Yesus Kristus Tuan di atas segala tuan. Paulus berbicara tentang Yesus Kristus yang disalibkan, yang tergantung di atas kayu salib dalam kelemahan dan tidak berdaya. Paulus berkata kepada jemaat di Korintus: “Untuk sekarang ini, aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa selain Yesus Kristus yang disalibkan!”

Ia melanjutkan untuk berkata, “Aku juga telah datang kepadamu dalam…” dalam apa? Dalam kuasa dan otoritas seorang rasul? Tidak. Paulus datang kepada mereka “dalam kelemahan”. Seolah-olah itu masih tidak cukup, Paulus meneruskan untuk berkata bahwa ia berada dalam keadaan “sangat takut dan gentar” – ungkapan yang sama seperti di Filipi 2:12.

Bagaimana kita dapat memahami pernyataan yang mengherankan ini? Paulus, sebagai rasul yang begitu besar dan berkuasa, memberitahu jemaat di Korintus bahwa ia datang kepada mereka dalam “kelemahan” dan dengan sangat “takut dan gentar”. Paulus menjadi begitu lemah sehingga dia gemetar.

Pernahkah Anda mengalami hal ini? Sering kali saya berada dalam keadaan yang begitu lemah sehingga tangan saya gemetaran ketika saya berusaha mengangkatnya. Banyak di antara kita mungkin pernah mengalami demam yang begitu melemahkan sehingga kita menggigil dan gemetar.

Namun, rasul Paulus gemetar karena ketakutan! Ya, ia merasa takut dan gentar. Ini merupakan gambaran bagi seorang yang sangat lemah. Dapatkah Anda memahaminya? Sejak dulu Anda berpikir bahwa kehidupan Kristen itu berhubungan dengan kuasa. Masa kini kita mendengar begitu banyak tentang kuasa, tentang power evangelism. Semua orang merindukan kuasa. Seseorang yang bernama A. Robbins menggunakan kata Power di kulit bukunya, dan buku tersebut terjual dengan laris sekali. Ingin menjual buku? Tulislah sesuatu tentang HOW TO GET POWER dan buku itu akan laris.

Namun, siapa yang mau membeli sebuah buku tentang kelemahan? Jika sebuah buku diberi judul “Bagaimana untuk menjadi lemah,” buku tersebut akan duduk di atas rak buku untuk selama-lamanya, tidak terjual. Orang bodoh yang mana yang akan membeli sebuah buku tentang bagaimana menjadi lemah? Kedengaran tidak masuk akal! Namun begitu, hari ini saya akan menyampaikan khotbah tidak masuk akal yang berbicara tentang kelemahan.


Prinsip Kelemahan Ditolak

Apa rahasia kekuatan Paulus? Rahasianya ialah kelemahan dan Paulus sedang membagikan rahasia tersebut dengan kita. Paulus berkata, “Bagaimana aku datang kepada kamu? Apakah aku berjalan dengan angkuh, meninggikan dagu dan dengan sombong menundukkan kamu dengan kehadiran dan karismaku? Apakah dengan kekaguman kamu semua memandang aku? Seorang rasul besar dengan lingkaran cahaya di kepala?” Gambaran seperti inilah yang dicari dunia. Penampilan yang mengesankan sangat penting di dunia ini. Orang yang berkelakuan seperti seekor tikus tidak akan pernah dapat menjadi direktur sebuah perusahaan. Anda harus berjalan dengan penuh percaya diri dan memiliki penampilan yang mengesankan.

Apa yang dikatakan oleh Paulus? Paulus menyatakan bahwa ia lemah di tengah-tengah mereka. Pernyataan tersebut begitu sulit untuk diterima sehingga ada teolog yang berpikir bahwa seseorang telah menyisipkan kata-kata tersebut ke dalam surat Paulus. Tidak, kata-kata tersebut merupakan kata-kata Paulus sendiri. Sejauh mana Paulus lemah? Sehingga ia sangat takut dan gentar! Bayangkan, rasul Paulus dalam keadaan gemetar. Dapatkah Anda bayangkan Paulus dalam keadaan seperti itu?

Akan tetapi, kelemahan merupakan sebuah prinsip yang berkaitan dengan keselamatan. Paulus berkata bahwa kita harus mengerjakan keselamatan kita. Bagaimana caranya? Dengan takut dan gentar! Kata-kata tersebut mengungkapkan suatu kelemahan yang intens.

Apakah Anda mengerjakan keselamatan Anda dengan takut dan gentar? Apakah Anda merasakan kelemahan yang mendalam di dalam kehidupan Anda? Itulah yang menjadi masalah bagi kebanyakan orang. Banyak orang Kristen mera­sa lemah, tetapi mereka pikir sangatlah tidak pantas dan tidak Kristiani untuk dipandang lemah. Jadi, sekalipun mereka tidak ingin senyum, mereka tetap memberikan senyuman yang lebar, kalau tidak, saudara yang lain mungkin bertanya, “Apa yang telah terjadi? Kamu sedang pusing atau sakit perut? Atau kamu bertengkar dengan istri?” Oleh karena itu, kita berusaha memberikan senyuman yang manis sekalipun hati kita merasa sedih. Kita sudah dilatih untuk memberikan senyuman seperti di iklan pasta gigi. Caranya sangat sederhana, hanya perlu sedikit melonggarkan otot di bibir, dan kemudian senyum. Apa perasaan Anda? Anda pasti merasa seperti orang bodoh dan munafik, bukankah begitu? Anda berkata, “Baik, bagus” sekalipun itu tidak benar.

Kita tidak berani mengaku kita lemah atau sengsara. Oleh karena itu, kita hidup di dalam kemunafikan. Setiap minggu Anda kewalahan karena harus bersandiwara di gereja. Lakonan Anda begitu baik sehingga Anda layak bekerja di Hollywood. Semua orang pikir Anda bahagia meskipun sebenarnya Anda sangat susah. Kita sering merasakan hal demikian, bukan? Kita tidak mempunyai keberanian untuk mengaku, “Hari ini saya lemah, lelah dan murung. Sepanjang minggu saya gagal menjalankan kehidupan sebagai seorang Kristen. Saya kewalahan karena berpura-pura tampil kuat. Semakin banyak saya bersandiwara, semakin lelah saya. Sekarang saya telah kehilangan keinginan untuk berpura-pura tampil kuat. Saya tidak lagi peduli pendapat orang lain terhadap saya.” Jika itu menggambarkan keadaan Anda, mungkin Anda telah tiba di tempat di mana Anda seharusnya berada sejak dari awal.

Menurut saya, suasana gereja akan lebih sehat jika kita bisa datang ke persekutuan doa atau perjamuan kudus dan berkata dengan jujur, “Saudara-saudara, saya merasa lelah hari ini. Maafkan saya jika saya tidak senyum. Jujur saja, saya tidak mengalami hidup berkemenangan sepanjang minggu yang lalu. Saya telah melakukan hal-hal yang tidak harus dilakukan, dan mengucapkan hal yang tidak harus diucapkan. Jadi, maafkan saya jika saya tidak senyum hari ini. Tolong doakan saya.” Menurut saya, itu jauh lebih ikhlas dari kepura-puraan yang sering kali menjadi ciri kehidupan bergereja.

“Kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar” paling tidak berarti, bersikap ikhlas dan mengaku kelemahan kita. (Tentu saja, hal ini mengandung arti yang jauh lebih luas dari itu.) Bersikap ikhlas berarti kita mengaku bahwa kita tidak sebesar yang kita bayangkan, atau kita tidak sehebat seperti yang kita ingin orang lain pikirkan tentang kita.


Paulus Memilih untuk Menjadi Lemah

Rasul Paulus tidak pernah berpura-pura. Bukan saja Paulus memutuskan untuk tidak berpura-pura, ia malah menempat­kan dirinya di dalam kelemahan. Hal ini sangat sulit untuk dimengerti, bukan? Jika kita mempelajari cara Paulus melakukan segala sesuatu, kita akan senantiasa diherankan.

Satu lagi contoh. Di 2 Korintus 10:10 Paulus mengutip apa yang dikatakan oleh jemaat Korintus tentang dirinya:

“surat-suratnya memang tegas dan keras, tetapi bila berha­dapan muka sikapnya lemah dan perkataan-perkataannya tidak berarti.”

Kelihatannya, Paulus merupakan orang yang tidak berkarisma dan penampilannya tidak mengesankan. Garis bawahi kata “lemah” yang dipakai oleh jemaat Korintus untuk menggambarkan Paulus. Paulus sendiri mengaku bah­wa di tengah-tengah mereka, ia berada dalam keadaan yang “lemah”. Penampilan jasmaninya lemah dan tidak mengesan­kan; perkataan-perkataannya tidak berarti, dan cara bicaranya juga tidak mengesankan.

Meskipun memiliki ilmu yang banyak dan kecerdasan yang hebat (hal ini diakui oleh semua orang), Paulus berbicara dengan rendah hati dan tidak mengesankan. Sebenarnya ilmunya begitu banyak sehingga seorang pejabat tinggi pernah berkata kepadanya, “Engkau gila, Paulus! Pengetahuanmu yang banyak itu membuat engkau gila.” (Kis 26:24). Paulus adalah seorang yang berpengetahuan, tentu saja itu merupakan dasar bagi kefasihan dan perbendaharaan kata yang luas. Dengan pendidikan yang baik dan disertai oleh kemampuan intelektual yang tinggi, Anda dapat berbicara dengan fasih dan meyakinkan.

Mengapa perkataan-perkataan Paulus begitu tidak berarti? Hanya ada satu penjelasan untuk hal tersebut. Melihat kecerdasan Paulus yang begitu luar biasa, hanya ada satu penjelasan mengapa perkataan-perkataannya dapat menjadi tidak berarti: yaitu, atas pilihannya sendiri.

“Aku telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar” (1Kor 2:3).

Paulus memilih untuk menjadi lemah daripada mengesankan orang lain dengan kefasihannya. Mengapa? Di ayat 5 ia menjelaskan alasannya, “supaya iman kamu jangan bergantung pada hik­mat manusia, tetapi pada kekuatan Allah.” Itulah sebabnya mengapa Paulus mengesampingkan semua hikmat manusia. Sekarang kita mulai memahami cara kerja Paulus yang menakjubkan, yang sangat bertolak belakang dengan cara manusia. Pengkhotbah-pengkhotbah yang dilatih di seminari diajar untuk menjadi fasih dan memamerkan penampilan yang mengesankan di atas mimbar, tetapi Paulus berbuat yang sebaliknya.

Di 2 Korintus 10:1 Paulus berkata, “Aku, Paulus, merayu kepada kamu...” Apakah ia berkata, “Aku, Paulus, bos dan rasul kepada jemaat di Korintus, memerintahkan kamu”? Tidak, ia berkata, “Aku, Paulus, merayu kepadamu demi Kristus yang lemah-lembut dan ramah…” Di sini Paulus menunjuk kepada Yesus Kristus yang disalibkan. Oleh karena itu, ia merayu kepada mereka di dalam kelemahlembutan dan keramahan Kristus dan berkata, “Aku, Paulus, seorang yang tidak berani bila berhadapan muka denganmu, tetapi berani bila berjauhan” (yakni, berani di dalam surat-suratnya, menurut jemaat di Korintus di ayat 10). Di sinilah letaknya rahasia Paulus. Ia tidak memakai teknik-teknik manusia; dan itulah sebabnya Allah dapat memakainya.


Gereja Serupa dengan Dunia

Ketika di Amerika Utara, saya suka mengunjungi toko-toko buku dan saya sering diherankan melihat bagaimana gereja menggunakan metode-metode dunia untuk memberitakan Injil. Anda dapat menemukan buku-buku seperti Keys to Excellence (Kunci menuju Keunggulan) atau Strive for Excellence (Berjuang Mengejar Keunggulan). Akan tetapi, keunggulan yang mereka cari adalah keunggulan yang bera­sal dari cara-cara dunia, dari administrasi bisnis dunia, dari prinsip-prinsip kepemimpinan dunia. Hal-hal seperti inilah yang dipraktikkan di dalam gereja. Buku-buku ini termasuk best-sellers di toko-toko buku Kristen. Beberapa dari penulisnya bahkan bukan orang Kristen, mereka hanya merupakan ahli-ahli dalam bidang bisnis. Kita sudah begitu jauh menyimpang dari Injil sehingga kita tidak lagi menya­dari bahwa prinsip-prinsip duniawi tidak dapat dipraktikkan di gereja. Prinsip-prinsip tersebut bertolak belakang dengan cara berfungsi gereja yang seharusnya.

Oleh karena itu, Paulus memilih untuk menjadi lemah. Ia memilih untuk mengesampingkan hikmat manusia ketika berbicara, dan menahan diri dari mengesankan orang lain dengan pengetahuan dan kemampuan intelektualnya yang tinggi. Paulus dinilai banyak orang sebagai seorang jenius. Kepandaiannya jelas kelihatan dari surat-suratnya (misalnya Roma). Akan tetapi, pada waktu yang bersamaan, juga jelas terlihat dari surat-suratnya bahwa ia tidak berusaha untuk mengesankan pembacanya dengan kepandaiannya yang luar biasa.

Tanpa sikap seperti itu, Anda tidak dapat menjalankan kehidupan Kristen, jangankan mengerjakan keselamatan Anda dengan takut dan gentar. Anda bahkan tidak akan pernah tahu apa artinya “takut dan gentar”. Sikap takut dan gentar adalah persoalan yang berkaitan dengan pilihan. Tidak ada orang yang memaksakan hal tersebut ke atas diri Anda. Tidak ada orang yang memaksa Paulus supaya menjadi lemah lembut dan ramah. Ia menjadi lemah atas pilihannya sendiri.

Ia tidak mempergunakan otoritasnya, apa lagi menyalah­gunakannya. Ia tidak menunjukkan pengaruhnya dengan memerintah orang lain. Ia berkata, “Aku merayu kepada kamu demi Kristus yang lemah lembut dan ramah.” Ia tidak memukul-mukul mimbar. Siapa saja yang memukul mimbar pasti berpikir ia mempunyai wewenang untuk memukul mimbar dan memarahi orang lain. Pernahkah Anda mendengar pengkhotbah seperti itu? Mereka bukan main sombongnya. Mereka menyamakan memukul mimbar dengan kuasa dan otoritas. Sangat tidak masuk akal!


Sekolah Kristus

Pada waktu saya masih belum mengenal Tuhan, saya suka membaca majalah-majalah binaraga yang diminati anak-anak muda. Majalah-majalah tersebut banyak mengiklankan program-program binaraga. Mereka akan menunjukkan foto bentuk tubuh yang kurus seperti kerangka hidup, yang layak dijadikan spesimen bagi penelitian medis. Kemudian terda­pat foto orang yang sama setelah menjadi anggota program olahraga tersebut. Wah, sekarang tubuhnya penuh otot-otot kekar – gambaran pria yang sejati! Anda memandang tubuh Anda dan berkata, “Hei, saya lebih mirip kerangka itu. Jadi saya harus berusaha menjadi serupa seperti foto yang satu lagi dan menjadi He-man!”

Hal apa yang menarik perhatian Anda? Inginkah Anda menjadi seperti He-man dengan otot-otot yang kekar? Mengapa kita begitu tertarik dan menginginkan otot-otot yang kekar itu? Karena otot-otot tersebut menunjukkan kekuasaan dan kekuatan. Jika ada yang berani menganggu Anda, Anda dapat menghajarnya.

Namun, andaikata iklan tersebut dibalikkan: “Wahai orang-orang berotot, datanglah ke sekolah kami dan kami akan menjadikan Anda seperti batang kayu yang kurus kering! Hasilnya dijamin!” Banyakkah orang yang akan berantrian untuk menjadi seperti batang kayu yang kurus? Tentu saja tidak.

Akan tetapi, itulah sekolah Kristus. Percaya atau tidak, Tuhan akan mengubah Anda menjadi batang kayu yang kurus. Apakah ada yang rindu untuk melamar masuk sekolah Kristus? Sudah banyak tahun saya memasuki sekolah itu, dan lihat apa yang terjadi kepada saya. Lihatlah bentuk tubuh yang “cantik” ini!

Ketika saudara B. menjemput saya dari bandara, saya menceritakan kepadanya tentang masa muda saya. Pada waktu itu, saya seorang atlet yang tidak berminat sama sekali dengan subjek-subjek membosankan seperti sejarah, kesusas­teraan dan kimia. Siapa yang mempunyai waktu untuk omong kosong seperti itu apabila Anda dapat bermain di lapangan olahraga? Jadi sepanjang hari saya ada di lapangan olahraga. Setelah beberapa tahun, otot-otot saya menjadi sangat mengesankan. Saya tidak terlalu iri dengan iklan yang disebutkan tadi karena saya memang sudah mempunyai tubuh berotot seperti itu. Saya selalu mengagumi diri saya ketika berdiri di hadapan cermin. Saya akan menegangkan otot saya yang berbentuk-V, dan menggerakkan dada saya ke atas dan bawah. Sangat menyenangkan. (Anda tidak dapat membayangkan saya seperti itu sekarang, bukan?)

Lewat cermin saya dapat melihat otot-otot di perut saya – ada enam pelat bersegi empat di situ. Saya juga suka olahraga tinju, makanya sangat penting untuk mempunyai sedikit otot di bagian perut kalau-kalau saya ditinju di situ. Jadi kalau ditinju di perut, itu tidak menjadi masalah bagi saya. Saya mengagumi diri saya setiap hari. Ayah saya sering berkata, “Apa yang sedang kamu lakukan di dalam kamar mandi itu?” Saya akan berkata, “Sikat gigi!” “Mengapa begitu lama?” Sebenarnya sikat gigi hanya membutuhkan setengah menit; waktu sisa saya gunakan untuk mengagumi tubuh saya yang kekar itu. Akan tetapi, lihatlah saya sekarang, dan Anda akan bertanya-tanya bagaimana saya bisa menjadi seperti ini!


Allah Mengajar Kita untuk Menjadi Lemah

Setelah Tuhan “menangkap” saya, Ia benar-benar bekerja di dalam diri saya. Sekolah Kristus menuntun saya ke arah yang bertentangan: dari seorang yang berotot menjadi sebatang kayu. Banyak di antara kalian tahu melalui kesak­sian saya bahwa setelah menjadi seorang Kristen, saya pernah menderita kelaparan selama tiga tahun. Setelah itu saya hanya tinggal tulang berbalut kulit. Saya kelihatan sangat menyedihkan di depan cermin. Kerangka tulang terlihat begitu jelas, di satu sisi Anda dapat bermain gitar, dan di sisi yang lain Anda dapat bermain banjo! Apa yang telah terjadi dengan semua otot-otot saya? Semuanya hilang. Allah benar-benar bekerja dalam arah yang berlawanan, mengubah saya dari seorang yang kuat menjadi seorang yang lemah (Mzm 102:23).

Siapa saja yang pernah menjadi kuat akan mengetahui apa dampaknya hal tersebut terhadap keadaan emosional seseorang. Banyak orang ke gym bukan saja untuk tampil menarik, tetapi juga untuk manfaat psikologisnya. Tubuh yang berotot memberikan keyakinan diri. Anda merasa seperti berada di puncak dunia. Anda merasa tangkas. Seka­rang saya sudah lupa bagaimana rasanya perasaan tersebut. Sekarang untuk kebanyakan waktu, saya merasa lemah. Semakin lama saya belajar di sekolah Kristus, semakin saya merasa lemah. Allah ingin memberi kita kekuatan-Nya; karena itu Ia mengajar kita untuk menjadi lemah.

Ini tidak berarti firman Allah mengajar kita untuk mengabaikan kesehatan kita, apa lagi sengaja merusak­kannya. Umpamanya, ada banyak orang yang sangat antusias, tetapi tersesat karena mereka merusakkan kesehatan mereka melalui puasa yang terlalu lama. Kita harus ingat bahwa “tubuhmu bukan milik kamu sendiri, sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar” (1Kor 6:19-20). Tubuh kita adalah milik Kristus yang telah membeli kita dengan darahnya sendiri, dan karena itu kita tidak mempunyai hak untuk merusaknya. Hanya Tuhan yang berhak menangani kita karena Dia di dalam hikmat-Nya yang sempurna, mengetahui apa yang terbaik untuk kita dan untuk gereja-Nya. Hanya Tuhan yang mengetahui bagaimana caranya untuk membentuk kita sehingga kuasa dan kemuliaan-Nya dapat diperlihatkan melalui kelemahan kita.


Kuasaku Sempurna dalam Kelemahan

Paulus juga melewati pengalaman yang sama.

Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menghan­tam aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari hadapanku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku, “Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu, aku terlebih suka bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. (2Kor 12:7-9)

Bahkan rasul Paulus dapat dicobai dengan kesombongan, sehingga ia harus diberikan suatu penyakit. Tiga kali Paulus berdoa, dan tiga kali Tuhan menjawab “tidak”. Bagaimana kuasa disempurnakan? Ia disempurnakan di dalam kelemahan. Itulah azas di sebalik pernyataan-pernyataan Paulus yang telah kita baca tadi. Paulus telah mempelajari rahasia bahwa kuasa Allah dinyatakan hanya ketika kita menjadi lemah.

Paulus melanjutkan untuk berkata, “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.” Paulus tidak hanya menerima kelemahan yang dialaminya, ia bahkan bermegah di dalamnya. Ia menerima dengan sukacita duri di dalam daging tersebut.

Cobalah menusukkan duri bunga mawar ke dalam daging Anda dan Anda akan mengetahui apa yang dialami Paulus. Kata “duri” di sini, pada umumnya menyatakan perasaan sakit. Paulus diberikan suatu penyakit yang sangat menyakit­kan. Akan tetapi, Paulus tidak menerimanya dengan pasrah seperti, “Akhirnya aku menerima duri ini juga…” Sebaliknya, ia bersukacita di dalam kesakitan dan kelemahan. Apakah Paulus sudah gila? Sama sekali tidak, karena Paulus tahu bahwa pada saat ia lemah, pada saat itulah kuasa Kristus akan turun menaunginya (kata bahasa Yunani berarti “tinggal di dalam” dia).

Di ayat 10 Paulus mengatakan,

Karena itu, aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesengsaraan karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.

Sekarang kita tahu mengapa Paulus memilih untuk menjadi lemah. Karena ketika itulah kuasa Allah menjadi sempurna. Andai saja Anda mengetahui hal ini, Anda tidak akan berpura-pura tampil kuat dan berusaha untuk menge­sankan orang lain dengan kekuatan Anda.

Apakah Anda merasa sedih? Jika jawabnya ‘ya’, maka Anda sedang merasa lemah. Ini merupakan kesempatan bagi Allah untuk menunjukkan kekuatan-Nya melalui Anda. Jadi, mengapa Anda berusaha untuk menekan perasaan lemah tersebut? Mengapa tidak menerima kenyataan bahwa Allah pada akhirnya telah merendahkah Anda ke tahap yang le­mah, lelah dan bahkan depresi? Depresi adalah keputusasaan, atau kehilangan semangat. Apakah hal-hal yang menyebabkan seseorang putus asa? Salah satunya adalah, kegagalan. Apakah kegagalan itu sesuatu yang buruk? Hanya di dalam kegagalanlah Allah dapat  bekerja di dalam kehidupan Anda untuk pertama kalinya! Allah harus terlebih dahulu merendahkan Anda. Ketika Kristus dipaku di atas kayu salib, murid-muridnya berpikir bahwa ia telah gagal total. Kematiannya telah mengakhiri seluruh pelayanannya menja­di sebuah kegagalan yang besar. Tidak terbayang di pikiran mereka bahwa “kegagalan” tersebut adalah kemenangan Allah atas dosa dan maut.

Paulus mengatakan di 1 Korintus 1:25 bahwa

“yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia.”

Paulus telah mempelajari rahasia ini dengan sangat baik.

Marilah kita melihat dengan lebih teliti kelima hal yang kita baca di 2 Korintus 12:10 tadi: “kelemahan, siksaan, kesukaran, penganiayaan, dan kesengsaraan.” Saya ingin menjelaskan dengan singkat kelima hal yang menjadi kesukaan Paulus itu.

  1. Kelemahan

Kata yang diterjemahkan sebagai “kelemahan” mempunyai dua arti, dan kedua arti tersebut berlaku untuk Paulus. Perta­ma, kata tersebut memang pada dasarnya berarti kele­mahan, dan yang kedua, kata “kelemahan” ini juga berarti penyakit.

Sedihkah Anda jika Allah mengizinkan Anda untuk jatuh sakit? Ketika saya merasa sakit punggung, apakah Anda merasa sedih untuk saya? Terima kasih untuk simpati Anda, tetapi pernahkah terlintas di pikiran Anda bahwa melalui penyakit ini, Allah sedang menjadikan saya kuat secara roha­ni? Jika Anda menyadari akan hal ini, Anda akan bersyukur kepada Allah untuk setiap kelemahan dan penyakit. Kita menganggap hal-hal seperti itu sebagai ketidakmujuran karena kita masih belum mengerti rahasia untuk berfungsi di dalam kuasa Allah. Ketika kita sakit kepala, kita bertanya-tanya mengapa Allah begitu tidak bersimpati. Kita masih belum mengerti bahwa di dalam kelemahan kitalah, Allah akan menunjukkan kuasa-Nya. Tuhanlah yang akan dipermuliakan, bukan diri kita sendiri.

Beberapa tahun yang lalu saya berkhotbah di London, Ontario (bukan London di Inggris), dan saya dijadwalkan untuk menyampaikan khotbah di Persekutuan Kristen di Universitas Ontario Barat pada sore hari. Namun, ketika saya berusaha untuk bangun pada pagi itu, kaki saya tidak dapat berdiri dan saya rebah kembali ke tempat tidur. Saya tidak dapat bangun. Saya berusaha lagi dan saya jatuh. Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Saya merasa sangat lemah, mungkin karena kelelahan setelah saban hari berkhotbah. Saya berusaha beberapa kali lagi, tetapi saya masih tidak dapat bangun. Saya tinggal bersama dengan beberapa anggota persekutuan. Lalu saya memanggil mereka ke dalam kamar dan berkata, “Saya minta maaf saya tidak dapat bangun. Kaki saya tidak bertenaga.” Mereka menjadi gelisah dan berkata, “Kami telah mengumumkan bahwa Anda adalah pengkhotbah untuk malam ini dan banyak orang akan datang dari berbagai tempat untuk mendengarkan Anda, dan sekarang Anda tidak bisa berkhotbah? Wah, tidak cukup waktu untuk mencari pengkhotbah yang lain. Sekalipun kami dapat menemukan pengkhotbah lain, mereka akan kecewa karena ia bukan pengkhotbah yang diiklankan.” Saya berkata, “Saya mengerti kalau ini merupakan sebuah masalah.” Mereka bertanya kepada saya apa yang harus dilakukan. Saya berkata, “Kamu berdoa saja.” Mereka ingin memanggil dokter, tetapi saya berkata, “Jangan, jangan panggil dokter, dokter tidak dapat berbuat apa-apa. Berdoa saja. Kalau Tuhan izinkan, saya akan berkhotbah sore ini.” Mereka me­mandang saya terbaring di tempat tidur dan bertanya-tanya bagaimana saya dapat bangun untuk menghadiri perseku­tuan itu. Akan tetapi, saya berkata, “Tinggalkan saja masalah ini ke dalam tangan Tuhan.”

Sementara itu waktu berlalu dan saya masih tidak dapat bangun. Saya tidak ada kekuatan sama sekali. Ini merupakan suatu pengalaman yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Saya sudah diubahkan dari seorang yang berotot kekar menjadi seorang yang tidak dapat bangun dari tempat tidur! Sangat sedih, bukan? Akan tetapi, hal tersebut terjadi supaya Allah dapat menunjukkan kuasa-Nya.

Setengah jam sebelum pertemuan dimulai, pemimpin-pemimpin persekutuan terlihat sangat khawatir. Kemudian saya berkata, “Baik, dengan anugerah Allah, saya akan bangun dalam iman.” Dan saya bangun. “Wow! Ia bangkit! Namun, dapatkah ia berjalan ke pintu tanpa jatuh?” Saya berjalan ke pintu. “Lumayan, tetapi dapatkah ia berjalan sampai ke mobil?” Saya kemudian berjalan sampai ke mobil. Ketika kami sampai di Universitas, saya harus menaiki banyak anak tangga. Dan sore tersebut saya berkhotbah dengan kuasa yang begitu besar dari Tuhan seumpama rajawali yang terbang tinggi dengan kekuatan sayapnya. Saya berkhotbah dengan tenaga dan kuasa yang begitu besar dan saya dapat melihat wajah pemimpin-pemimpin persekutuan itu dengan mata terbelalak menatap saya dalam ketakjuban, sambil berpikir, “Apakah ini benar-benar terjadi?”

Peristiwa tersebut menunjukkan bagaimana kuasa Allah menjadi nyata melalui kelemahan saya. Itulah jalan yang dipilih Paulus. “Jadikanlah aku lemah supaya kuasa-Mu dapat dinyatakan.” Sering kali saya harus berkhotbah dalam keadaan yang sama sekali lemah. Baru-baru ini saja di Singapura, saya sakit dan demam, keringat saya bercucuran. Saya harus menyandarkan diri pada mimbar ketika berkhotbah. Tuhan memelihara saya dalam keadaan lemah supaya Ia dapat menyatakan kuasa-Nya.

Pernah satu kali saya berkhotbah di Edmonton, Kanada. Saya mengalami demam panas dan sekali lagi mereka berkata, “Kaulah pengkhotbah yang diiklankan dan banyak orang akan datang untuk mendengarkan Anda.” Saya bertanya kepada seorang pendeta yang lain apakah ia ingin menggantikan saya. Namun ia berkata, “Mereka tidak datang untuk mendengarkan saya, mereka mau mendengarkan Anda.” Jadi saya berkata, “Tapi lihatlah keadaan saya.” Ia te­tap berkata, “Tidak, saya tidak dapat melakukannya. Mereka semua akan kecewa.” Pendeta tersebut sebenarnya seorang pendeta yang terkenal, tetapi dia enggan mengambil tempat saya. Jadi saya tetap harus naik mimbar dan berkhotbah sambil bercucuran keringat. Pada malam itu, saya berkhotbah di dalam kelemahan.

Mengapa Tuhan mengizinkan hal seperti ini terjadi? Tidakkah Tuhan tahu bahwa saya akan berkhotbah, jadi mengapa Ia tidak menyembuhkan saya? Namun sebaliknya, Tuhan membiarkan saya berkhotbah dalam kelemahan, sekalipun dengan demam yang begitu panas sehingga saya tidak dapat berpikir dengan lurus. Akan tetapi, inilah rahasia kehidupan Kristen.

Kelemahan tidak hanya terbatas kepada kelemahan secara fisik, tetapi juga perasaan lemah secara batiniah. Di 2 Korintus 11:32-33 Paulus menceritakan bagaimana di Damsyik ia diturunkan dengan sebuah keranjang melalui jendela. Begitu memalukan dan tidak terhormat! Dapatkah Anda bayangkan seorang rasul yang besar seperti Paulus diturunkan dari tembok kota di dalam keranjang sayur yang kotor? Tidak ada terompet atau karpet merah yang dipersiapkan untuk rasul yang besar itu. Tidak ada, Paulus diturunkan di dalam keranjang sayur; mungkin saja ia juga ditutupi dengan sayur supaya pengawal tidak melihatnya. Di manakah martabatnya? Kelemahan seperti ini adalah suatu perasaan lemah secara batiniah.

Ketika Anda merasa lemah, dapatkah Anda bersyukur kepada Allah? Paulus berkata, “Aku senang di dalam kelemahan, dan malah bermegah di dalamnya.” Ini merupakan suatu mentalitas yang baru, bukan?

  1. Siksaan

Paulus juga bermegah di dalam siksaan. Kata yang diterjemahkan sebagai “siksaan” di sini berarti cercaan, penghinaan, penganiayaan, atau kebiadaban. Dapatkah Anda bersukacita ketika orang menghina, menertawakan, atau menganiaya Anda? Paulus berkata, “Aku bersyukur kepada Tuhan karena aku dihina.”

Saya sering kali pergi dari rumah ke rumah untuk memberitakan Injil. Suatu kali di Wales, di UK, saya melakukan penginjilan rumah-ke-rumah. Pernahkah Anda mencobanya? Anda mengetuk pintu dan berkata, “Halo nyonya, di sini ada selebaran Injil untuk Anda.” Bang! Pintu dibanting di depan muka Anda. Apa yang akan Anda laku­kan? Apakah Anda akan berkata, “Tahukah kamu siapa aku ini? Jika kamu tahu, kamu tidak akan berani membanting pintu di depan mukaku!”

Anda merasa dipermalukan dan dihina. Namun, saya bersyukur kepada Tuhan karenanya. “Terima kasih Tuhan karena pintu dibanting di depan muka saya. Terima kasih karena saya telah diizinkan untuk menderita sedikit penghinaan demi Engkau.” Bagi seseorang yang datang dari latar belakang keluarga seperti keluarga saya, dibanting pintu di depan muka bukanlah sesuatu yang mudah diterima. Dulu di China, jika seseorang membanting pintu di depan muka seorang yang berkuasa, orang tersebut kemungkinan besar akan ditembak. Penghinaan seperti ini merupakan suatu pengalaman yang baru bagi saya.

Kata yang diterjemahkan sebagai “siksaan” juga berarti bencana, malapetaka, kerusakan, atau kesukaran. Kesukaran berarti diusir dari rumah karena kepercayaan Anda pada Kristus; dan Anda terpaksa tidur di bangku kebun. Atau, Anda diolok oleh teman-teman dan sanak-saudara. Mereka berkata Anda sudah menjadi gila karena menjadi orang Kristen. Semua orang memandang Anda dengan wajah yang sedih, atau dengan senyum sinis, sambil berkata, “Orang ini seharusnya berada di rumah sakit jiwa.” Anda menderita penghinaan demi Kristus.

Suatu hari nanti, Anda mungkin harus berterus-terang dengan bos Anda, “Maaf, saya tidak dapat memalsukan angka-angka ini.” “Apa maksudnya kamu tidak dapat? Kamu bodoh! Tahukah kamu apa yang akan terjadi nanti? Kamu tidak akan mendapat kenaikan gaji. Lebih dari itu, aku akan memotong gajimu!” Anda merasa dihina. Gaji Anda dipo­tong dan banyak hal lain yang harus Anda alami. Bagaimana perasaan Anda? Dapatkah Anda berkata seperti Paulus, “Aku bermegah di dalam penghinaan?”

Satu contoh lagi yang lebih umum. Anda berdoa di temp­at umum dan orang menyindir Anda, “Hei, kami tidak tahu kamu begitu saleh! Mau jadi santo ya?” Bagaimana perasaan Anda? Tidak ada orang yang suka disindir seperti itu. Namun, dapatkah Anda bersukacita? Hal ini membutuhkan transformasi.

  1. Kesukaran

Kesukaran berkaitan dengan kebutuhan kita. “Kesukaran” mempunyai beberapa arti di dalam bahasa Yunani. (Dalam menjelaskan arti dari kata-kata ini, saya memberikan arti bahasa Yunaninya.) Kata “kesukaran” pada umumnya berarti tekanan dalam bentuk apa saja. Kita hidup di dunia yang penuh dengan tekanan. Kadang-kadang begitu sulit untuk tidur pada waktu malam karena saraf kita tegang, gelisah, dan dibutuhkan alkohol atau obat untuk mene­nang­kan diri kita. Akan tetapi, di sini Paulus mengatakan bahwa ia bersukacita di dalam stres dan tekanan yang timbul karena Kristus.

Andaikata Anda dijadwalkan untuk memimpin kelompok Pemahaman Alkitab di gereja dan saudara-saudara seiman menaruh pengharapan yang besar pada Anda. Oleh karena itu, Anda merasa tertekan dan stres. Lebih buruk lagi, setelah Anda memimpin, mereka mengkritik Anda. Anda bekerja begitu keras, tetapi mereka malah berkata, “Mengapa Anda bisa keliru? Mengapa Anda mengutip ayat yang salah dan melihat di halaman yang salah?” Anda berkata kepada diri sendiri, “Aku telah memberikan yang terbaik, dan lihat­lah balasan yang kuterima.” Yang kuterima adalah stres dan tekanan.

Namun begitu, Paulus tetap bersyukur. Itulah artinya mengerjakan keselamatan Anda: yaitu menerima dengan senang hati segala kelemahan, kekurangan, dan penghinaan. Dapatkah Anda memahami Paulus? Paulus mempunyai mentalitas yang berbeda. Mengerjakan keselamatan bukan berarti berpura-pura menjadi kuat, atau berusaha menjadi sesuatu yang bukan diri Anda yang sebenarnya, tetapi dengan sederhana menerima semua tekanan – dari luar dan dari dalam – dengan sukacita. Itulah kehidupan Kristen yang sejati.

 Di ayat-ayat berikutnya, Paulus menyebutkan hal-hal yang lebih berat yang mungkin tidak berlaku kepada kita sekarang. Kata bahasa Yunani yang diterjemahkan sebagai “kesukaran” di sini dapat juga berarti penganiayaan atau juga siksaan. Paulus bersyukur kepada Allah untuk kesakitan dan penyesahan dan lemparan-lemparan batu yang dialaminya, dan bukan hanya penolakan atau penghinaan (2Kor.11:24-27).

  1. Penganiayaan

Di 2 Timotius 3:11 Paulus berbicara tentang penganiayaan yang dideritanya di Antiokhia, Ikonium dan Listra (Kisah 13 dan 14). Penganiayaan yang bagaimana yang ditanggung oleh kita? Penganiayaan yang bagaimana yang Anda alami sampai saat ini? Salah satu penganiayaan yang paling dahsyat adalah fitnah (ketika orang mengatakan hal-hal yang tidak benar tentang diri Anda). Tidak ada gunanya membela diri karena saat Anda berusaha membela diri, keadaan hanya akan menjadi bertambah buruk. Paulus mengalami hal ini di Antiokhia dan Ikonium. Ia senantiasa difitnah dan ajarannya diputarbalikkan. Hal-hal yang jelek dikatakan tentang Paulus dan rekan-rekan sekerjanya (Rm 3:8). Di Listra Paulus sampai dilempari batu sebagai akibat dari fitnah-fitnah yang dilontarkan kepadanya (Kis 14:8-20). Fitnah sering kali membuka jalan kepada serangan fisik. Untuk membenarkan serangan mereka, Anda akan dituduh sebagai orang jahat yang layak dihukum. Itulah sebabnya Paulus dilempari batu dan dibiarkan untuk mati. Hal-hal seperti inilah yang disyukuri Paulus.

Bayangkan penderitaan yang dialaminya di Listra. Ia dilempar batu sehingga pingsan dan kehilangan banyak darah. Ia ditinggalkan tergeletak di tanah dan disangka telah mati. Murid-murid yang mengelilinginya juga menyangka bahwa ia telah mati, tetapi tiba-tiba ia bangkit oleh kuasa Allah dan melanjutkan pelayanannya. Kenyataan bahwa ia disangka mati berarti batu-batu tersebut pasti mengenainya dengan keras, mungkin meninggalkan luka-luka yang mengerikan di kepalanya. Paulus menanggung semua itu demi Kristus. Bagaimana kalau Anda dilukai sehingga muka Anda menjadi cacat? Saudara perempuan sangat peka terhadap hal ini, tetapi saya pikir saudara laki-laki juga sama pekanya. Malukah Anda jika terdapat bekas luka di muka akibat lemparan batu? Namun, Paulus bermegah karena hal-hal seperti itu. Ia tidak malu jika wajahnya menjadi cacat. Tidak dapat disangkal bahwa ia memang dipermalukan, tetapi ia bermegah karenanya. Di akhir surat Paulus kepada jemaat di Galatia, Paulus berkata, “Selanjutnya janganlah ada orang yang menyusahkan aku, karena pada tubuhku ada tanda-tanda milik Yesus.”

Kita mulai melihat kebesaran Paulus dan mengapa Allah memakainya dengan begitu luar biasa. Karena Paulus adalah seorang manusia yang berbahagia dan bermegah dalam setiap kelemahan; dari penyakit sehingga kecacatan tubuh; dari kesedihan batin sehingga penderitaan jasmani. Paulus berbicara tentang kesakitan, kekurangan tidur dan berbagai macam kesukaran seperti kelaparan dan kemiskinan.

  1. Kesengsaraan

Kata bahasa Yunani stenochoria secara harfiah berarti “kesempitan” atau “dikurung di suatu tempat yang sempit”; arti kiasannya adalah kesesakan atau kesulitan. Paulus menanggung segala bentuk kesulitan, termasuk kelaparan. Bisakah Anda menikmati kelaparan? Jika Anda tidak makan satu kali, Anda merasa cukup lemah. Akan tetapi, Paulus senan­tiasa hidup di dalam kelaparan. Saya sendiri telah banyak mengalami kelaparan. Saya hidup di dalam kelaparan selama dua setengah tahun. Allah membawa saya melalui sekolah kelaparan, dan saya menjadi seperti kerangka manusia, hanya tulang berbalut kulit.


Bersukacita dalam Kelemahan?

Kita harus mengerti dengan jelas bahwa kuasa Allah disem­purnakan hanya melalui satu cara: yaitu, di dalam kelemahan kita. Oleh karena itu, langkah yang pertama adalah meneri­ma kelemahan kita.

Apakah Anda merasa terganggu karena tingkat pendidikan Anda tidak setinggi orang lain? Apakah Anda merasa kurang percaya diri karena itu? Sahabatku, jika Anda merasa terganggu, ini menunjukkan bahwa Anda masih belum mengerti prinsip kelemahan ini. Allah tidak peduli akan tingkat pendidikan Anda. Manusia peduli, Anda peduli, tetapi Allah tidak peduli. Allah tidak peduli apakah Anda memiliki gelar sarjana atau tidak. Di dalam tubuh Kristus, siapa saja yang merasa minder karena taraf pendidikannya masih belum mengerti bahwa kita harus mengerjakan keselamatan kita di dalam kelemahan dan dengan takut dan gentar. Hanya apabila Anda lemah, kuasa Allah dapat dinyatakan.

Banyak orang khawatir tentang hal-hal yang kecil. Ada yang merasa terganggu karena terlalu tinggi atau terlalu pendek. Ada orang yang merasa kurang percaya diri karena ia hanya setinggi 155 cm dan orang lain 157 cm. Karena itu, ia membeli sepatu bertumit tinggi, seolah-olah sangatlah penting untuk tampak sedikit lebih tinggi. Saya masih belum mengerti mengapa ketinggian begitu penting. Pernah suatu kali di sebuah mal di Kuala Lumpur, saya melihat seorang pria yang tingginya kira-kira 2 meter. Setelah beberapa wak­tu, saya menyadari bahwa ia adalah satpam toko. Orang ini begitu tinggi sehingga ia dapat melihat ke atas rak, jangan-jangan ada yang mencuri. Setidaknya ada satu kele­bihan yang Anda miliki jika Anda tinggi: Anda bisa menjadi monitor TV yang berjalan!

Mengapa begitu banyak orang menyusahkan diri dengan hal-hal seperti itu? Mereka merasa hina jika harus menenga­dah untuk berbicara dengan orang yang lebih tinggi. Teman baik saya, Clark Pinnock, seorang profesor Teologia Sistematis di Universitas McMaster (Hamilton, Kanada), tingginya dua meter. Saya harus mengakui leher saya sakit ketika berbicara dengan dia. Akan tetapi, itulah satu-satunya kesulitan yang ada. Mengapa ketinggian badan menyebabkan Anda begitu tidak bahagia? Ada banyak orang yang sangat terganggu akan hal ini. Mereka menderita sekali, terutamanya saat berada di tengah-tengah orang yang tinggi-tinggi. Apakah Allah peduli dengan tinggi badan Anda? Apakah Ia akan mengukur tinggi badan Anda di pintu surga? “Maaf, kamu terlalu pendek untuk bisa masuk.” Sebaliknya, mungkin ada orang yang terlalu tinggi untuk dapat masuk pintu surga!

Saya menyebutkan hal-hal ini karena sangat mengheran­kan mengapa begitu banyak orang yang  terganggu oleh tingkat pendidikan, tinggi badan, atau oleh mobil mereka. Mobil saya termasuk barang yang layak masuk museum! Saya membelinya dengan harga $100. Di Amerika Utara biasanya mobil tidak dapat bertahan lama karena garam yang ditabur di jalanan pada musim salju dengan cepat merusakkan badan mobil. Jadi mobil tahun 1977 merupakan barang antik. Walaupun sudah berusia 16 tahun, tetapi mobil antik saya masih dalam kondisi yang baik sekali. Saya bersyukur kepada Allah untuk mobil yang saya miliki ini.

Cara kita menentukan nilai harus dibalikkan. Dapatkah kita belajar untuk bersukacita dengan cara yang berbeda dari dunia ini? Hanya ada satu jalan untuk mengalami kuasa Allah dan jalan tersebut adalah: bersukacita di dalam kelemahan, menjadi rendah, dan menjadi tidak berarti. Paulus mengalami kuasa Allah, dan saya berharap Anda juga akan mengalaminya.

“Tuhan, saya lemah. Saya tidak kuat. Saya bukan apa-apa; saya tidak dapat berbuat apa-apa; saya tidak tahu apa-apa. Biarlah kuasa-Mu yang bekerja di dalam hidup saya.” Saudara-saudara, Anda tidak diselamatkan hanya dengan menerima anugerah keselamatan-Nya, tetapi dengan mengi­zinkan kuasa keselamatan-Nya bekerja di dalam diri Anda. Itulah satu-satunya cara keselamatan bekerja.

Pernahkah Anda mendengar akan hal ini? Pernahkah hal ini dijelaskan dengan baik kepada Anda? Saya belum pernah. Saya sendiri masih berada dalam proses mempelajari hal ini. Saya bersyukur kepada Tuhan karena mengajar saya bagai­mana untuk menjadi lemah, dan bagaimana untuk hidup di dalam kelemahan Kristus. Secara alamiah saya tidak lemah, dan begitu juga dengan Paulus. Jadi kelemahan merupakan sesuatu yang harus kita pelajari. Kita belajar bukan sekadar untuk menerimanya, tetapi justru untuk berbahagia di dalamnya. Kemudian orang lain yang mengenal Anda akan berkata, “Sekarang saya melihat kuasa Allah dan kemuliaan-Nya di dalam kehidupan Anda!”

 

Berikan Komentar Anda: