Pastor Jeremiah C | Yakobus 1:1 |

Menurut tradisi gereja, penulis surat Yakobus adalah Yakobus saudara Yesus Kristus. Ini adalah hal yang layak diperhatikan. Jika Anda sudah akrab dengan Alkitab, Anda tentu akan tahu bahwa saudara-saudara Yesus tidak percaya bahwa Dia adalah Anak Allah di saat Dia masih di bumi ini. Hal yang aneh adalah bahwa setelah penyaliban Yesus, saudara-saudara-Nya, terutama Yakobus, ironisnya malah menjadi percaya kepada Dia. Terlebih lagi, Yakobus belakangan menjadi salah satu pimpinan utama di tengah jemaat Yerusalem.

Hal apa yang menyebabkan Yakobus bertobat dan percaya kepada Yesus? Satu-satunya petunjuk yang ada di dalam Alkitab terdapat di dalam 1 Korintus 15:7. Paulus berkata bahwa Yesus menampakkan diri kepada Yakobus setelah kebangkitan. Dari sini, kita melihat betapa nyatanya kebangkitan Yesus itu. Begitu nyata sehingga saudara-Nya, yang tadinya menentang Dia, bertobat dan percaya kepada Dia. Jadi, surat Yakobus ini bukan sekadar surat biasa. Surat ini adalah kesaksian yang hidup dari diri sang penulis – kesaksian bagi kebangkitan Yesus, dan kesaksian bagi kemurahan serta kuasa Allah dalam mengubah kehidupan.

 

Pandangan keliru tentang surat Yakobus

Di sepanjang sejarah gereja, khususnya gereja zaman sekarang, surat Yakobus ini tidak begitu dihargai. Hal ini terutama karena surat Yakobus tidak banyak menekankan masalah doktrin seperti surat Roma. Yang diutamakan oleh surat Yakobus adalah karakter dan perilaku orang Kristen. Justru karena surat Yakobus ini sangat menekankan pada karakter dan perilaku orang Kristen, beberapa pimpinan gereja pernah menilai surat ini sebagai ajaran tentang keselamatan lewat amal baik.” Beberapa orang malah merasa bahwa surat Yakobus ini seharusnya tidak dimasukkan ke dalam Perjanjian Baru. Mereka yang menganut pandangan yang ekstrim ini sebenarnya tidak memahami Alkitab dengan baik, khususnya tentang ajaran dan semangat yang terdapat di dalam surat Yakobus.

Bagaimana cara kita memandang surat Yakobus ini seharusnya tidak dipengaruhi oleh pandangan yang keliru dan tidak utuh itu. Bapa-bapa rohani di gereja zaman awal telah dijamah oleh Roh Kudus untuk memilih surat Yakobus sebagai bagian dari Alkitab, kita boleh yakin bahwa Allah memiliki pesan yang ingin Dia sampaikan kepada gereja melalui surat Yakobus ini. Kita harus menyimak baik-baik dan bersungguh-sunguh untuk melaksanakan pesan tersebut.

 

“Keselamatan lewat amal amal”?   

Mari kita beralih ke pokok tentang ‘keselamatan lewat amal baik’. Apakah rasul Yakobus mendukung ajaran ini? Tentu saja tidak! Mereka yang berpikir bahwa dia mendukung ajaran itu, pada dasarnya tidak mengerti pesan yang mau disampaikan oleh surat Yakobus ini. Dengan membaca surat Yakobus ini secara teliti, Anda akan menemukan bahwa ajaran rasul Yakobus sangat konsisten dengan ajaran Yesus. Sebagai contoh, banyak ajaran di dalam surat Yakobus ini diambil dari Khotbah Yesus di atas bukit (mengacu pada Khotbah di Bukit: jangan bersumpah, mengasihi sesama seperti diri sendiri, jangan menghakimi, berkat kepada yang mendengarkan dan melakukan firman, dan sebagainya). Jika kita menolaknya surat Yakobus, maka pada dasarnya kita sedang menolak ajaran dari Yesus.

Apakah surat Yakobus menekankan keselamatan oleh amal baik? Tentu saja tidak! Apa yang ditekankan oleh rasul Yakobus adalah hal mentaati perintah serta ajaran Yesus. Di salam suratnya, dia memberikan kepada orang-orang percaya banyak petunjuk nyata tentang bagaimana menjalani ajaran Yesus di dalam kehidupan sehari-hari. Yakobus tahu persis pentingnya mempraktekkan firman, karena hanya dengan begitu barulah seseorang dipandang sebagai orang Kristen sejati di mata Allah (Yak 1:25). Dan justru inilah poin yang ditekankan oleh Yesus. Surat ini juga menguraikan kesimpulan dari khotbah Yesus di atas bukit (Mat 7:24-27, Luk 8:21, 11:27,28, Why 1:3, 22:7). Di sinilah nilai dari surat Yakobus. Dia ingin memberitahu jalan bagi kita untuk memperoleh hidup, bagaimana cara mewarisi berkat-berkat yang Allah berikan. Dia membantu kita memahami apa arti iman, apa arti kesalehan sejati – yaitu, bagaimana menjadi pendengar dan pelaku firman. Dia juga memperingatkan bahwa kita – yang sekadar menjadi pendengar tetapi tidak menjalankan firman, tidak akan diselamatkan.

Yakobus khawatir kalau jemaat setahap demi setahap masuk ke dalam godaan kemunafikan, jadi dia mendesak orang-orang percaya untuk menjadi pendengar sekaligus pelaku firman. Dia memperingatkan kita untuk tidak sekadar menjadi penganut kekristenan, tetapi agar menjadi orang-orang yang benar-benar percaya kepada Yesus. Pemahaman Yakobus tentang iman sangat sederhana: ajaran Yesus adalah pedoman di dalam kehidupan Kristen. Mereka yang hidup sesuai dengan ajaran Yesus adalah mereka yang benar-benar memiliki iman yang menyelamatkan.

 

Kepada siapa surat ini ditujukan?

Mari kita pusatkan perhatian pada Yakobus 1:1 hari ini.

“Salam dari Yakobus, hamba Allah dan Tuan Yesus Kristus, kepada kedua belas suku di perantauan [NASB: ‘dispersed abroad / tersebar di perantauan’].”

Pembukaan dari surat Yakobus ini sudah menegaskan bahwa surat ini ditulis bukan untuk satu jemaat tertentu, melainkan ‘kepada kedua belas suku di perantauan.’

Siapakah ‘kedua belas suku’ yang dia maksudkan itu?  Menurut makna dari bahasa sumbernya, kalimat itu seharusnya diartikan sebagai ‘mereka semua yang termasuk dalam kedua belas suku yang tersebar di mana-mana’. Yakobus mengirim surat ini kepada kedua belas suku itu.

Siapakah yang dimaksud dengan ‘kedua belas suku’ itu? Banyak orang yang yakin bahwa kedua belas suku itu menunjuk kepada orang-orang percaya yang termasuk bangsa Yahudi, bukan bangsa-bangsa asing. Akibatnya, beberapa orang menyimpulkan bahwa surat ini tidak ditujukan kepada kita, orang percaya yang bukan Yahudi. Saya pikir pemahaman seperti itu agak terlalu sempit. Karena ini adalah Firman Allah, tentunya ditujukan kepada semua umat Allah, artinya, kepada semua murid yang benar-benar mengikuti Yesus, entah dia orang Yahudi atau bukan – mereka itulah orang-orang Israel yang sejati.

 

Artinya ‘Diaspora’

Karena waktu kita terbatas, saya ingin memusatkan pembahasan kita pada kata ‘diaspora’, yang terdapat di ayat 1. Kata ini yang pada dasarnya bermakna ‘tersebar’. Yakobus menggambarkan orang-orang percaya di zaman awal gereja sebagai kumpulan orang yang ‘tersebar di berbagai tempat’. Dengan memakai cara itu di dalam menggambarkan orang-orang percaya pada masa awal, Yakobus membantu kita untuk melihat karakteristik khusus jemaat mula-mula.

Kata ‘tersebar’ tidak sekadar menonjolkan kenyataan bahwa mereka berada di berbagai tempat, melainkan juga mengacu pada penyebaran mereka oleh Allah ke berbagai tempat demi penyebaran keyakinan itu, yaitu bagi kepentingan Yesus dan Injil-Nya. Ini adalah konsep yang sulit untuk kita pahami di zaman sekarang ini.

Mengapa saya berkata bahwa ‘tersebar’ adalah ciri dari gereja mula-mula? Pertama-tama, kita harus mengerti makna kata ‘tersebar’ dan pemakaian kata itu di dalam Perjanjian Lama.

Jika Anda akrab dengan Perjanjian Lama, Anda akan tahu bahwa kata ‘tersebar’ atau ‘diaspora’ ini memiliki makna yang khusus. Kata benda yang menjadi dasar dari kata ini di dalam Perjanjian Lama mengacu kepada bangsa Israel yang disebarkan oleh Allah ke berbagai tempat (Yeh 11:16; 12:15; 20:23,34,41; 22:15; 36:19). Apa hubungan kata ini dengan kita sekarang ini? Tentu saja, di dalam Perjanjian Lama, orang-orang Yahudi disebarkan ke berbagai tempat karena penghakiman Allah atas Israel dan Yehuda. Apakah hubungan hal ini dengan orang-orang percaya di dalam Perjanjian baru? Mungkinkah itu berarti bahwa kita berada di dalam penghakiman Allah dan akibatnya kita tersebar ke berbagai tempat? Tentu saja tidak.

Di masa Perjanjian Lama, orang-orang Yahudi disebar secara paksa ke berbagai tempat karena kehancuran negara mereka, dan mereka yang takut akan Allah memiliki satu harapan yang sama: mereka berharap bahwa suatu hari nanti mereka akan bisa kembali ke tanah air mereka. Mereka dengan setia menunggu hari di mana Allah akan mengumpulkan mereka, dan membawa mereka kembali ke Yerusalem. Ini juga janji yang Allah berikan kepada mereka. Jadi, semua orang Yahudi yang beriman akan dengan setia menunggu pelaksanaan janji Allah. Pemahaman akan hal ini dapat membantu kita memahami makna kata ‘tersebar’ di dalam Perjanjian Baru. Sebagai orang Kristen yang hidup di dunia ini, kita menunggu kadatangan kembali Tuhan, menunggu Dia mengumpulkan kita, dan membawa kita kembali – sama seperti orang Yahudi dalam Perjanjian Lama, menunggu Allah membawa mereka kembali ke Yerusalem duniawi.

Lalu, bagaimana kita, sebagai orang-orang Kristen, menjalani hidup di bumi ini? Jika kita berkata bahwa kita menaruh harapan kita di masa depan, di surga, maka bukankah dunia sekarang ini hanya merupakan tempat tinggal sementara bagi kita?

Dari sudut pandang ini, tampak bahwa kita adalah para perantau di dunia ini. Sama seperti orang-orang Yahudi yang tertawan di dalam Perjanjian Lama, yang menantikan Allah membawa mereka kembali ke Yerusalem, mereka melihat diri mereka sebagai perantau yang tinggal di negeri asing, yang selalu siap menunggu Allah membawa mereka kembali ke Yerusalem.

Inilah hal yang sedang diingatkan oleh rasul Yakobus kepada kita, bahwa harapan kita terletak di surga, dan janganlah kita ragu untuk meninggalkan kenikmatan sesaat dari dunia ini. Kita harus memandang diri kita sebagai perantau di dunia ini.

Untuk membuktikan bahwa kesimpulan kita ini benar, mari kita baca 1 Petrus 1:1 bersama-sama:

‘Dari Petrus, rasul Yesus Kristus, kepada orang-orang pendatang, yang tersebar [dispersed] di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia.’

Perhatikan, di sini Petrus menyebut mereka yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai orang-orang yang tersebar di berbagai tempat. Kata ‘Dispersed [tersebar]’ di sini adalah kata yang juga dipakai oleh Yakobus. Namun, pada saat yang sama, Petrus juga menyebut mereka sebagai ‘pendatang [sojourner = perantau]’. Inilah sikap hati orang Kristen di zaman awal di saat mereka menjalani kehidupan di dunia ini. Mereka memandang diri mereka sebagai para perantau.

Sebagai orang Kristen, kita harus menyadari bahwa kita hanya perantau di dunia ini. Rumah kita yang sejati bukan di dunia ini, melainkan di surga. Kita hanyalah orang yang lewat. Penekanan ini terdapat di seluruh Perjanjian Baru. Hal ini malah dipertegas di dalam Ibrani 11 (Ibr 11:8-10). Ucapan rasul Yakobus mengingatkan orang-orang Kristen bahwa kita ini hanya perantau di dunia ini. Seperti yang dikatakan oleh Ibrani 11:13-16, harapan kita terletak di rumah surgawi yang merupakan rumah yang jauh lebih baik.

Di zaman gereja mula-mula, Allah telah mengajarkan jemaat tentang pelajaran yang penting ini. Jemaat Yerusalem bertumbuh di masa Kitab Para Rasul – orang-orang percaya berkembang manjadi satu tubuh yang indah, yang saling mengasihi dan berbagi segala sesuatunya – suatu kesaksian akan kuasa keselamatan Allah di bumi. Justru ketika orang-orang percaya di Yerusalem bersatu hati, dalam ketaatan pada ajaran Yesus, dan belajar saling mengasihi satu dengan yang lain, Allah mencerai-beraikan mereka lewat sarana penganiayaan. Pada masa itu, orang-orang percaya tercerai-berai karena penganiayaan, jadi dapat dikatakan di pihak mereka pasif. Mereka tidak sengaja meninggalkan Yerusalem. Mereka tersebar ke berbagai tempat karena penganiayaan yang datang karena kepercayan yang mereka anut. Oleh karena itu, kata ‘tersebar’ tidak sekadar mengacu pada orang-orang percaya yang dicerai-beraikan ke berbagai negeri di dunia ini. Yang lebih penting lagi, kata ini mengacu kepada orang-orang percaya yang tersebar oleh karena penganiayaan agama.

Hal itu tercatat di dalam Kisah 8:1,

‘Pada waktu itu mulailah penganiayaan yang hebat terhadap jemaat di Yerusalem. Mereka semua, kecuali rasul-rasul, tersebar ke seluruh daerah Yudea dan Samaria.’

Perhatikan kata ‘tersebar [scattered], kata ini sama artinya dengan dispersed, karena adanya penganiayaan, para murid saat itu tersebar ke Yudea dan Samaria. Apakah ini suatu kemalangan? Dari sisi permukaannya, sepertinya para murid tercerai-berai akibat adanya  penganiayaan. Jika Anda perhatikan Kisah 8:1 lewat mata iman, Anda akan melihat bahwa sebenarnya Allah-lah yang menyebarkan mereka ke berbagai negeri. Dan tujuan di balik ini adalah Dia ingin agar mereka memberitakan Injil sampai ke ujung bumi.

Kisah 8:4 memberitahu kita tentang sikap hati para murid yang tersebar ke berbagai tempat, yang ternyata bukanlah sikap hati yang pasif. Mereka mengerti bahwa pergi ke berbagai negeri untuk memberitakan Injil adalah kehendak Allah. Sikap hati para murid itu aktif. Mereka ingat tugas besar yang telah diberikan oleh Yesus kepada mereka. Mereka mengerti akan hati Allah di balik penganiayaan itu. Alasan mengapa mereka begitu aktif dan sangat lincah bergerak adalah karena mereka tidak pernah memandang dunia ini sebagai tempat menetap bagi mereka. Dan justru karena mereka memiliki sikap hati yang seperti ini, mereka dapat dengan mudah dipimpin oleh Roh Kudus untuk memberitakan Injil ke berbagai tempat. Ini juga alasan mengapa Injil begitu cepat tersebar di zaman gereja mula-mula. Penyebaran Injil adalah hasil dari peran aktif dari setiap orang percaya, bukan sekadar hasil kerja kedua belas rasul. Contoh yang paling bagus adalah yang terjadi pada jemaat di Roma. Bahkan sebelum Paluus sampai ke Roma, jemaat di Roma sudah terbentuk. Alkitab tidak memberitahu kita siapa yang memberitakan Injil ke Roma, namun yang pasti bukan salah satu dari kedua belas rasul.

Sekarang ini, orang-orang Kristen di mana-mana hanya berharap agar bisa hidup dan bekerja dengan tenang di dunia ini. Lalu mengapa kita dulu percaya kepada Yesus? Apakah untuk memperoleh berkat-berkat supaya kita bisa menikmati hidup yang nyaman di dunia ini? Apakah Anda meyakini, dari lubuk hati Anda, bahwa tugas memberitakan Injil berada di pundak para pengkhotbah, sementara Anda boleh meneruskan hidup yang nyaman di dunia ini, dan berharap memperoleh hidup yang kekal?

Jika sikap hati Anda di dalam mempercayai Yesus seperti ini, yakinlah, Anda tentunya tidak akan peduli pada tugas besar yang telah dipercayakan oleh Yesus kepada kita. Jenis iman yang Anda miliki juga bukan jenis iman yang dimiliki oleh jemaat mula-mula. Tidak heran jika dengan sikap hati yang seperti ini, Roh Kudus tidak dapat memakai Anda untuk menjalankan pekerjaan Tuhan – Dia tidak dapat memakai Anda.

Mengapa sikap hati kita sampai begitu berbeda dengan sikap hati jemaat mula-mula? Apakah kita ini benar-benar umat yang beriman? Kita sering menyebut diri kita sebagai warga kerajaan surga. Sudahkah kita menguji diri ini dan memastikan bahwa kita ini memang benar-benar warga kerajaan surga? Apakah kita ini serupa dengan orang dunia, sibuk dengan upaya mengejar jaminan kesejahteraan duniawi? Apakah kita mengejar kesejahteraan duniawi setiap hari? Apakah kita sangat memikirkan perkara untung dan rugi, miskin dan kaya, hidup dan mati? Jika kita memang benar-benar merindukan rumah di surga, hati kita tidak akan begitu tersita oleh perkara-perkara duniawi. Kita akan bersedia menjadi perantau demi harapan yang kita miliki di masa depan, demi Tuhan dan Injil-Nya.

Sasaran dan tujuan segenap hidup kita tentunya adalah bagaimana menunaikan tugas yang telah dipercayakan oleh Tuhan kepada kita, supaya pada hari itu nanti, kita boleh menjadi layak untuk berhadapan dengan-Nya, layak menjadi warga kerajaan surga. Apakah kita dapat menjadi sama dengan jemaat mula-mula, yang perhatiannya tertuju pada upaya menyampaikan Injil Tuhan sampai ke ujung bumi, yang siap menyambut kedatangan Tuhan kembali?

 

Rangkuman

Baiklah, saya akan menyimpulkan dalam satu rangkuman sederhana. Hari ini, kita telah melihat Yakobus 1:1. Kita lihat bahwa rasul Yakobus menyebut orang-orang percaya sebagai ‘kedua belas suku di perantauan‘. Kita telah melihat dari Perjanjian Baru bahwa menyebar ke berbagai tempat adalah ciri-ciri dari jemaat mula-mula. Murid-murid di zaman itu memandang diri mereka sebagai perantau di dunia ini demi Yesus dan Injil-Nya. Yang mereka cari adalah rumah surgawi yang lebih baik dan kekal. Mereka dengan setia menantikan [penggenapan] janji Allah, degan demikian, mereka memilih untuk menjadi pengembara di bumi ini.

Ibrani 11 memberitahu kita bahwa hal ini adalah perwujudan nyata dari iman mereka kepada Allah. Sekalipun jemaat mula-mula  memandang diri mereka sebagai pengembara di bumi ini, dan mereka tidak punya tempat tinggal yang tetap di dunia ini, sikap hati mereka bukanlah sikap hati yang pasif. Mereka memiliki tujuan hidup yang jelas di dunia ini, dan tujuan itu adalah memberitakan Injil Yesus kepada bangsa-bangsa. Karena para murid di zaman itu memiliki mobilitas seperti ini, penyebaran Injil saat itu sangatlah cepat. Berbanding dengan zaman sekarang ini, kita hidup menetap, teknologi kita juga sudah sangat tinggi, akan tetapi tingkat penyebaran Injil sangat jauh dibandingkan dengan mereka. Jika kita hidup di dunia ini dengan sikap hati yang sama dengan mereka, barulah kita dapat dipakai oleh Tuhan dan diutus oleh Tuhan untuk memberitakan untuk memberitakan Injil Tuhan ke berbagai tempat.

 

Berikan Komentar Anda: