Pastor Eric Chang | Manusia Baru (1) |

“Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” (Rom 6:2)

Mengapa kita berbicara tentang kematian sedangkan hal yang menjadi perhatian kita adalah hal penting tentang hidup, hidup baru dengan menjadi manusia baru? Alasannya terletak pada kenyataan bahwa yang baru tidak dapat datang sebelum yang lama sudah berlalu. Itu sebabnya rasul Paulus berkata, sehubungan dengan manusia baru dalam Kristus, “yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang(2Kor 5:17).

Prinsip yang sangat penting ini, yaitu hidup baru dalam Kristus hanya dapat masuk ke dalam kehidupan kita bila yang lama sudah berlalu, merupakan sesuatu yang perlu dipegang erat jika pesan Injil tentang hidup baru dalam Kristus ingin dipahami dengan jelas dan dijalankan dengan efektif.

Berkaitan dengan hal ini, kita menemukan suatu kebenaran penting lainnya, yaitu: kehidupan jasmani dimulai dari kelahiran dan berakhir dengan kematian, tetapi kehidupan rohani justru dimulai dengan kematian dan melaluinya masuklah kehidupan. Oleh karena itu, kematian, yakni kematian bersama-sama dengan Kristus, merupakan gerbang menuju hidup baru, hidup yang kekal. Jika demikian halnya, banyak perkara yang perlu kita mengerti tentang kematian ini, agar kita dapat memasuki hidup—hidup yang telah disediakan Allah bagi kita.


Sederhana, Namun Sulit Dijelaskan

Beberapa kali dan dalam berbagai cara, Firman Allah berbicara tentang orang percaya sebagai orang yang sudah mati bagi dosa, mati terhadap diri kita yang sebelumnya yaitu “manusia lama”, dan mati bagi cara hidup kita yang lama di bawah kuasa dosa. Apa artinya mati semacam ini menurut Alkitab?

Mati adalah perkara yang sulit dijelaskan justru karena ia merupakan hal yang begitu sederhana. Sama seperti mencoba untuk menjelaskan arti komitmen total, termasuk komitmen total kepada Allah. Banyak orang bergumul untuk memahami apa komitmen total itu, padahal sebenarnya itu adalah hal yang sederhana. Jika saya berkomitmen pada suatu hal, saya menyerahkan seluruh hidup saya kepada hal tersebut. Jika saya berkomitmen secara total dalam perkawinan, sebagai contoh, saya akan menyerahkan diri saya sepenuhnya kepada istri saya. Milik saya adalah miliknya; diri saya sepenuhnya adalah miliknya; saya menjalani kehidupan saya dengan mempertimbangkan dia.

Demikian pula, jika saya berkomitmen secara total kepada Tuhan, seluruh milik saya adalah milik-Nya: jaket saya, jam saya, pena saya, atau apa pun yang saya miliki, bahkan nyawa saya. Kemampuan saya, walaupun tidak seberapa, adalah milik-Nya juga. Adakah sesuatu yang sulit untuk dipahami di sini?

Oleh karena itu, kalau saya mencoba untuk menjelaskan arti mati, saya segera mengalami kesulitan: saya tidak dapat melihat persoalannya, yaitu apa sebenarnya yang begitu susah untuk dipahami?

Tentu saja, terdapat banyak pertanyaan sulit yang muncul apabila kenyataan kematian dibicarakan sebagai kenyataan yang universal dan eksistensial yang dihadapi oleh manusia secara umum. Pertanyaan umum seperti: mengapa kematian hadir sebagai realitas yang tak terhindarkan dalam pengalaman manusia? Mengapa manusia harus mati? Apa penyebab utama kematian (berbeda dari penyebab-penyebab segera seperti penyakit dll.)? Apakah dosa penyebabnya? Bagaimana dosa bisa mengakibatkan kematian? Apakah kematian merupakan hal yang terakhir? Apakah kematian itu seperti terowongan yang harus dilalui oleh setiap orang? Pertanyaan–pertanyaan umum seperti ini tidak akan kita bahas di sini.

Yang menjadi perhatian kita adalah kematian terhadap dosa sebagai jalan untuk memasuki hidup baru di dalam Kristus.

Lalu, apakah kematian itu? Pada dasarnya, mati bagi dosa adalah selesainya cara hidup yang lama; dengan sepenuhnya meninggalkannya, kita mengakhiri gaya hidup yang lama tersebut. “Diputuskan” (cut-off) merupakan istilah yang digunakan dalam Perjanjian Lama untuk menggambarkan bagaimana nyawa seseorang diakhiri (misalnya Kel 9:15) [diterjemahkan sebagai “terhapus” atau “dilenyapkan”]. Mati bersama Kristus memutuskan ikatan kita kepada kehidupan yang lama satu kali untuk selama-lamanya.


Kematian Digambarkan sebagai ‘Tidur’

Izinkan saya menggunakan satu analogi untuk menjelaskan arti kematian. Alkitab sering membandingkan kematian dengan tidur, sebagaimana dilihat dari pernyataan-pernyataan seperti “tertidur dalam tidur maut” [sleep the sleep of death] di Mazmur 13.4. (bandingkan juga Yoh 11:11,13; 1Kor 11:30; 15:6,18,51).

Saya menggunakan analogi ini karena lebih mudah memahami arti tidur daripada memahami mati. Jika seseorang bertanya kepada Anda tentang arti tidur, mungkin Anda berkata, “Mudah saja, tidur ya tidur. Mau bilang apa lagi? Saya berbaring, menutup mata, lalu saya tidur.”

Ada orang–orang yang membuat kita iri. Mereka masuk ke dalam kamar, berbaring, dan segera mereka tertidur. Orang lain (termasuk saya) berbalik ke sana ke mari sampai satu jam, masih belum bisa tidur juga. Walaupun ada orang yang menjelaskan panjang lebar apa artinya tidur itu, mereka tetap sulit tidur. Apa gunanya mendengarkan suatu ceramah tentang tidur jika pada akhirnya tidur tetap menjauhi kita? Kita bersusah payah mempelajari berbagai teknik untuk tidur, tetapi tidak ada yang berhasil.

Oleh anugerah Allah, saat Ia memanggil saya kepada-Nya, Dia berkata, “Pikul salibmu dan berhenti dari hidup lamamu”. Saya menjawab, “Baiklah, hidup lama saya berakhir, saya menyerahkan diri kepada Engkau.” Ingatkah Anda ketika Yesus melihat Petrus dan Andreas sedang bekerja,

19  Dan, ia berkata kepada mereka, “Marilah ikut aku dan aku akan menjadikanmu penjala manusia.” 20  Mereka langsung meninggalkan jala-jalanya dan mengikut dia. 21  Dan, saat pergi dari sana, ia melihat dua bersaudara yang lain, Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes, saudaranya. Mereka berada dalam sebuah perahu bersama Zebedeus, ayah mereka, sedang memperbaiki jala-jalanya. Dan, ia memanggil mereka. 22  Dan, mereka langsung meninggalkan perahu dan ayah mereka, lalu mengikut Yesus. (Mat 4.19-22).

Tanggapan mereka terhadap panggilan Yesus bersifat seketika dan total. Kesegeraan respons mereka bersumber dari spontanitas kepatuhan yang dilakukan dengan senang hati. Mereka tidak dilumpuhkan oleh kehendak yang terbagi–bagi antara kehendak mereka dan kehendak Allah. Mereka meninggalkan segalanya, dan seluruh kehidupan lama mereka, dan mengikutinya.

Tentu saja, ini tidak menyangkal adanya suatu masa persiapan sebelum mereka memberi tanggapan. Mereka pasti sudah pernah melihat atau mendengar tentang Yesus sebelum ia memanggil mereka, dan dengan demikian mengetahui tentang diri dan ajarannya. Mereka sudah mempertimbangkan kepribadian dan pengajaran Yesus dengan hati–hati dan cermat. Tanggapan yang segera tidak berarti tanggapan yang ceroboh. Sebaliknya, tanggapan seketika yang sejati ini muncul dari melihat “cahaya pengetahuan tentang kemuliaan Allah di wajah Yesus Kristus” (2Kor 4:6)

Apakah mati itu? Yang bisa saya katakan adalah: “Mati ya mati. Mau bilang apa lagi?” Jawaban tautologis ini [yang mengulangi kata yang sama tanpa menambah kejelasan] dapat dibandingkan dengan jawaban yang akan kita terima jika kita bertanya kepada seorang yang gampang tertidur, “Apa itu tidur?”, dan mungkin saja ia terpaksa menjawab, “Tidur ya tidur, saya berbaring, beberapa saat kemudian saya tidur.”


Menjelaskan Arti Mati

Pertanyaan yang mudah itu ternyata sulit dijawab. Kita dapat mencoba menjelaskan arti tidur secara ilmiah dengan menjelaskan tentang aliran listrik di dalam otak. Lalu, dengan imajinasi kita, kita mencoba untuk membangkitkan arus listrik dalam otak, tetapi kita tetap terjaga. Kemudian datang orang yang menyarankan, “Cobalah minum susu panas karena susu kaya dengan asam amino, khususnya tryptophan yang mengakibatkan tidur. Minum yang banyak dan Anda akan bisa tidur.” Lalu, Anda meneguk bergalon-galon susu, tetapi gangguan pencernaan membuat Anda tetap terjaga!

Adakah jalan keluar yang lain? Coba memukul kepala dengan palu! Jika masih tidak berhasil, masih ada banyak buku tentang tidur. Saya sudah banyak mempelajari cara–cara untuk dapat tidur, tetapi tidak ada yang berhasil. Dalam teori saya mengetahui banyak hal tentang tidur, tetapi dalam praktek ada banyak permasalahan. Bukankah itu persoalan yang sama bagi banyak orang bila kita berbicara tentang mati bagi dosa?


Tidur Memberi Kekuatan dan Tenaga

Mereka yang sudah mati bagi dosa memiliki kekuatan rohani yang sangat nyata. Menggunakan analogi tidur, biasanya mereka yang mengalami kesulitan tidur akan memiliki kekuatan fisik yang kurang dibandingkan dengan mereka yang dapat tidur dengan baik. Demikian pula, mereka yang sudah mati bagi dosa memiliki kekuatan rohani yang tidak dialami oleh mereka yang belum.

Lagi pula, mereka yang telah mati bersama Kristus memiliki pengalaman-pengalaman rohani yang luar biasa. Mereka dapat memberikan kesaksian tentang apa yang telah dilakukan Tuhan bagi mereka. Ini membuat mereka yang mendengarkan hal itu bertanya-tanya, “Bagaimana dengan saya? Saya tidak pernah mengalami apa yang mereka ceritakan. Tuhan melakukan hal–hal yang luar biasa untuk mereka, tetapi tidak untuk saya!” Sejajar dengan itu, mereka yang mudah tidur dapat berkata, “Saya mendapat mimpi yang indah” Lalu, Anda mengeluh, “Jangankan bermimpi, mau tidur saja susah!”

Ada paralel yang jelas antara tidur dengan mati. Dengan memahami yang satu, Anda akan dapat lebih mudah memahami yang lainnya. Jika Anda tidak memiliki masalah dengan tidur, Anda seharusnya tidak memiliki masalah untuk mati jika Anda menerapkan analogi ini dalam hidup Anda.


Komitmen untuk Mati

Lagi pula, saya mendapati bahwa komitmen untuk tidur benar–benar diperlukan, jika saya memang ingin tidur. Akar persoalan saya adalah saya tidak berkomitmen untuk tidur. Saat saya berbaring, benak saya memikirkan berbagai hal. Semakin banyak yang dipikirkan, semakin sulit saya tertidur. Saya berulang kali menyalakan lampu, bangun dan membuat catatan–catatan.

Saya menyadari bahwa saya naik ke tempat tidur tanpa komitmen yang sungguh-sungguh untuk tidur. Saya terikat oleh berbagai persoalan, dan tidur menerima prioritas yang rendah. Akan tetapi, saya menemukan hal yang menarik: komitmen untuk tidur menguat sewaktu saya berencana untuk bangun awal untuk pertemuan–pertemuan penting. Apabila saya berkomitmen untuk tidur, saya dapat tidur nyenyak. Sesudah memahami hal ini, tidur tidak menjadi persoalan lagi buat saya.

Dengan cara yang sama, ada orang yang mengatakan bahwa mereka memiliki kesulitan untuk mati terhadap kehidupan lama mereka. Akar persoalannya adalah mereka tidak benar–benar berniat untuk mati. Jika Anda menyelidiki hati Anda dengan jujur, Anda akan melihat bahwa Anda tidak benar–benar memiliki komitmen untuk mati. Anda memahami betapa pentingnya kematian karena itu berkaitan dengan keselamatan Anda, tetapi sesudah menghitung harganya, Anda tidak bersedia. Oleh karena itu, persoalannya tidak terletak pada pemahaman konsep, tetapi pada keengganan untuk mati.

Ini membawa kita pada paralel yang lain antara tidur dengan mati. Kita dapat menyajikan paralel ini dengan menanyakan, “Apakah tidur itu bergantung pada sesuatu yang saya lakukan, atau itu sesuatu yang terjadi pada saya?” Tidur merupakan hal yang misterius. Anda bersantai dan menyerahkan diri untuk tidur, lalu tiba–tiba ia mengambil alih. Anda mengambil langkah pertama, dan kemudian tidur datang atas Anda.

Demikian pula, ketika Anda membuat komitmen untuk mati bersama dengan Kristus, kematian datang atas Anda. Apakah tidur itu aktif atau pasif? Sedikit orang yang memandang tidur sebagai suatu aktivitas; tidur itu sesuatu yang terjadi pada kita. Namun, kita harus melakukan sesuatu di pihak kita.


Tidur Dihalangi oleh Lingkungan yang Buruk

Saat kita pergi ke retreat gereja kita mungkin saja ingin tidur, tapi malam yang dingin menjadikannya sulit. Anda ingin tidur, tetapi udara dingin membangunkan Anda. Atau jika Anda tinggal di negeri yang panas, udara panas membuat Anda susah tidur.

Kebisingan adalah hal lain yang mengganggu komitmen Anda untuk tidur. Di seberang kami tinggal anak muda yang menyukai jenis musik hingar-bingar, “Boom! Boom!” Bagi saya bunyinya lebih mirip kebisingan daripada musik. Seringkali “musik” ini diiringi oleh berbagai jeritan (atau apakah itu semacam nyanyian?) dan suara–suara yang membuat kita tuli! Itu membangunkan saya berkali–kali. Sekali terbangun, biasanya itu berarti akhir dari tidur saya.

Terdapat suatu paralel di sini. Banyak orang ingin berkomitmen untuk mati, tetapi dinginnya penolakan membuat mereka tetap terjaga. Anda menggigil kedinginan saat pikiran tentang penolakan muncul. Keluarga menolak Anda, teman–teman menolak Anda, rekan-rekan sejawat menolak Anda, dan juga teman-teman sekolah menolak Anda. Siapa yang ingin ditinggalkan dalam kedinginan? Jadi, Anda menetapkan komitmen setengah-setengah—yang bukan hanya merupakan suatu kompromi, tetapi juga menipu diri sendiri.

Atau bisa juga persoalannya berkaitan dengan panas. Yesus membandingkan panas dengan penganiayaan (Mat 13:6, bdk. ay.21). Terik matahari dan hawa panas membakar Anda. Anda ingin berkomitmen kepada Tuhan tetapi Anda takut akan kesukaran dan aniaya. Jadi, Anda tidak berani mengakhiri kehidupan lama Anda untuk memulai yang baru.

Kemudian ada juga gangguan kebisingan yang mengalihkan perhatian pada dunia. Orang-orang di Hong Kong sudah terbiasa dengan kebisingan. Di Hong Kong, saya harus menyumbat telinga hanya untuk mendapatkan sedikit tidur. Ada bunyi anjing menggonggong, bunyi pembangunan gedung, bunyi jeritan orang. Ada yang sudah mengukur dan membuktikan bahwa Hong Kong merupakan salah satu kota terbising di dunia. Stereo headphone sekarang terkenal di Hong Kong karena membantu menutupi kebisingan di sekitar dan memainkan musik yang Anda inginkan. Semua kebisingan dan hal–hal yang mengalihkan perhatian akan membuat tidur menjadi sulit.

Dunia dengan riuh berusaha menarik perhatian Anda bahkan dengan lampu-lampu neon. Di sebuah hotel di mana saya pernah tinggal, ada sebuah papan tanda berlampu neon persis di luar jendela. Lampunya berkelap–kelip, hidup–mati, merah–hijau, merah–biru. Gorden hotel begitu tipis sehingga dapat dikatakan tidak berguna. Cahaya berpijar di mana–mana. Anda berbalik ke arah lain, cahaya berpijar di dinding! Di langit–langit! Di mana–mana ada pijaran cahaya! Akhirnya saya mengenakan penutup mata yang membuat saya tampak seperti Batman!

Di tengah dunia yang gencar meraih perhatian kita, bagaimana kita bisa mati? Hongkong pasti tempat yang sulit untuk mati secara rohani, bukan sekadar tempat yang sulit untuk tidur secara jasmani. Saya mengetahui hal ini berdasarkan pengalaman sulitnya tidur di Hong Kong. Saya sudah mencoba banyak hal, termasuk menyumpal telinga  dengan tisu, kemudian meningkat ke karet penyumbat telinga yang terbaru. Di Hongkong, dunia material berteriak kepada Anda dari setiap sudut. Arloji, kamera, CD player, makanan, perhiasan… Semuanya berkelap–kelip di mata Anda, mendesak Anda untuk beli, beli, beli… Bagaimana Anda bisa mati? Bagaimana Anda bisa tidur?

Sesudah membicarakan lingkungan yang buruk, bagaimana dengan lingkungan yang baik? Dalam retreat gereja di tepi danau Magog (Quebec, Kanada) yang indah, sebagai contoh, beberapa orang tidur nyenyak dalam udara segar yang membuai kepala. Sebuah tempat yang nyaman, dan tempat yang nyaman ini menimbulkan persoalan sebaliknya: kesulitan untuk tetap terjaga di tengah hari selama pertemuan! Kesejahteraan jasmani dapat menjadi perusak kesejahteraan rohani. Lingkungan yang enak dan nyaman secara jasmani dapat menjadi lingkungan yang buruk bagi kesehatan rohani!

Di tengah lingkungan yang puas dengan diri sendiri atau mati secara rohani—yang mendorong kehidupan yang dikuasai keinginan daging—adalah jauh lebih sulit untuk mati terhadap cara hidup yang lama. Jika orang–orang Kristen (kadang termasuk pimpinan gereja) di sekitar kita hidup dalam keduniawian, mati bagi dunia akan menjadi sulit. Hal itu membutuhkan komitmen yang amat besar.

Analogi tidur membantu kita untuk melihat bahwa mati, seperti tidur, pada dasarnya adalah masalah komitmen. Harus diakui, ini bukanlah komitmen yang mudah untuk dibuat di tengah kebisingan, gangguan, kepanasan dan kedinginan dunia ini. Namun, itulah komitmen yang harus kita buat jika kita menginginkan hidup baru di dalam Kristus.


Kebebasan dari Dosa

Rasul Paulus membuat pernyataan yang tajam di Roma 6:6-7,

“Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa. Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa.”

Dalam Roma pasal 6, Paulus menjelaskan arti baptisan dan akibat penting dari baptisan: kebebasan dari perhambaan kepada dosa.

Perhatian Paulus sangat menyentuh kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari–hari orang Kristen seharusnya juga menjadi perhatian kita. Banyak teolog dalam pembahasan mereka tentang Roma memberi kita suatu kesan bahwa kitab Roma adalah suatu ekskursi besar ke suatu ketinggian teologi teoritis yang jauh dari kehidupan sehari–hari. Pada kenyataannya, kitab Roma sangat berkaitan dengan kehidupan sehari–hari.

Paulus mengatakan di sini bahwa “manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya”. Kata “manusia lama” merupakan terjemahan literal dari bahasa Yunani palaios anthrōpos. “Tubuh dosa” dalam bentuk genitif di sini, menggambarkan tubuh yang dimiliki dan dikendalikan oleh dosa. Inilah tubuh yang “hilang kuasanya” pada baptisan. Pada saat kita bersatu dengan Kristus waktu baptisan, tubuh dosa—tubuh yang dikuasai oleh dosa— “hilang kuasanya”.


“Hilang Kuasa” Artinya Dinetralkan

Kata Yunaninya adalah katargeō yang berasal dari dua kata, kata dan argos (menganggur, tidak efektif, tidak berguna). Argos berasal dari kata ergon (pekerjaan, perbuatan, tindakan) digabungkan dengan awalan ‘a’. Imbuhan ini membalikkan arti dari kata tersebut, jadi argos berarti sesuatu yang tidak bekerja, menganggur, malas, tidak berfungsi.

Ini mengingatkan kita pada peralatan yang tampaknya memikat, tetapi cepat rusak. Selama masa kuliah saya, ketika arloji quartz pertama kali masuk ke pasaran, saya membeli satu arloji yang cukup murah. Saya berharap jam ini bekerja akurat. Namun, arloji yang saya beli itu selalu lebih cepat beberapa menit setiap harinya! Tidak berguna lagi sesudah dua minggu. Arloji ini dapat disebut telah argos, yaitu berhenti berfungsi.

Bersamaan dengan itu, katargeō berarti dijadikan tidak bekerja, tidak berguna, tidak berfungsi. Dalam istilah militer, itu berarti menetralkan atau melumpuhkan musuh. Musuh yang sudah dinetralkan mungkin masih ada di sekitar kita, tetapi bukan merupakan ancaman lagi.

Jadi, tubuh dosa kita telah dinetralkan. Ia tidak lagi menjadi kekuatan dominan di dalam kehidupan kita. Ini merupakan hasil pekerjaan Allah di dalam hidup kita, di mana manusia lama kita diserahkan ke dalam maut. Manusia lama itu masih ada, tubuh kita masih ada, tubuh yang dulunya dikuasai dosa masih ada, tetapi bukan lagi sebagai unsur yang mengendalikan kehidupan kita. Itulah kabar baik dari Roma 6.

Kata Yunani yang sama digunakan di Ibrani 2:14 untuk mengatakan bahwa Yesus datang untuk “memusnahkan” atau, yang lebih tepat, “melumpuhkan kuasa” Iblis. Dalam pengertian apa Iblis sudah “dimusnahkan”? Bukankah ia masih ada? Kita tahu pasti bahwa Iblis masih aktif dan belum dimusnahkan, tetapi kuasanya sudah dipasung. Harinya akan tiba di mana ia akan sama sekali dinetralkan (Why 20:10).

Paulus menggunakan kata katargeō juga di 2 Timotius 1:10 untuk menyatakan bahwa Kristus telah “mematahkan kuasa” maut. Maut masih merupakan suatu realitas. Salah seorang dari teman saya baru saja mati beberapa hari yang lalu. Paulus tidak bermaksud bahwa maut sudah dihapuskan sehingga tiada lagi, tetapi maut bagi orang Kristen, sudah dinetralkan. Maut tidak lagi memiliki kuasa atas orang Kristen karena maut, bagi dia, bukan bab yang terakhir.

Dengan cara yang sama, Iblis sudah dibinasakan bukan dalam arti dimusnahkan, tapi Iblis tidak lagi memiliki kuasa untuk mengendalikan dan membinasakan mereka yang tinggal di dalam Kristus. Demikian juga, maut tidak lagi menjadi ancaman jika kita tinggal di dalam Kristus, walaupun kematian jasmani tetap harus terjadi. Saatnya akan tiba di mana maut benar–benar akan dihapuskan sepenuhnya (Why 20:14).

Dengan analogi hal ini dapat dijelaskan. Suatu ketika dulu, kolera dan sampar telah menghapuskan sebagian besar umat manusia. Jika suatu wabah menyerang, ribuan orang meninggal dunia dalam waktu singkat. Namun, sejalan dengan perkembangan ilmu kedokteran, kolera dan sampar dapat dinetralkan (katargeō) sekarang ini, sama seperti maut telah dinetralkan bagi orang Kristen yang bersekutu dengan Yesus.

Namun, itu tidak berarti bahwa kuman-kuman atau virus-virus tersebut sudah lenyap. Lebih tepat jika dikatakan bahwa penyakit ini telah dinetralkan, yaitu kuasanya untuk membunuh kita telah dilumpuhkan, dan tidak merupakan ancaman kepada umat manusia lagi selama kita mengambil langkah-langkah pencegahan. Dengan cara yang sama, meskipun tubuh dosa ini masih ada, tetapi ia bukan ancaman lagi selama saya mengambil langkah-langkah pencegahan (yaitu, tinggal di dalam Kristus).

Kolera dan sampar masih tetap dapat membunuh orang yang berurusan dengan jasad-renik ini tanpa perlindungan yang memadai. Orang yang menangani jasad-renik ini di laboratorium harus berhati–hati karena mereka masih aktif dan mematikan sama seperti sebelumnya.

Demikian pula, jika kita bermain–main dengan dosa, Iblis dapat menghancurkan kita dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Benar, tubuh dosa mungkin sudah dinetralkan dan tidak mengendalikan kita lagi. Akan tetapi, jika kita kembali berbuat dosa, dosa akan menghancurkan kita seperti sebelumnya. Dosa tidak memiliki kuasa atas kita hanya jika kita tinggal di dalam Kristus.

Itulah kabar baik yang disampaikan oleh Roma 6:6. Hal ini menjadi suatu kenyataan dalam hidup kita ketika kita menyerahkan diri kita kepada Allah oleh langkah iman melalui baptisan. Komitmen adalah tindakan dan pernyataan iman. Dibaptis adalah satu langkah iman. Baptisan tanpa iman adalah upacara eksternal tanpa signifikansi rohani.

Apabila kita mengambil langkah iman dengan membuat komitmen —menyerahkan diri kita—untuk mati bersama-sama dengan Kristus dalam baptisan, tubuh dosa kita dinetralkan oleh kuasa Allah dalam Kristus. Kita dapat mengalami kematian atas dosa dan kebebasan dari dosa sama seperti merasakan tidur yang menyegarkan; jadi kita tahu kenyataannya dari pengalaman.


Kemerdekaan dari Dosa adalah suatu Kenyataan

Roma 7 selanjutnya berbicara tentang kuasa dosa. Di ayat 15-16 Paulus menjelaskan kesulitannya yang dulu: Hal yang baik yang ingin dilakukannya, tak dapat dilakukan; hal yang jahat yang tidak ingin dilakukannya, malah ia lakukan. Kita dapat menyatakan simpati dengan pengalamannya. Di masa lalu, sekalipun Anda tidak ingin memikirkan hal–hal yang cabul, Anda tidak berdaya menahan kuasanya. Anda tidak ingin membenci, tetapi Anda membenci orang–orang tertentu.

Akan tetapi, Paulus menyatakan bahwa kita tidak lagi berada di bawah kuasa dosa. Sekarang kita memiliki kuasa untuk melawan Iblis, dan ia akan lari dari kita (Yak 4:7). Memang benar, Iblis itu jauh lebih kuat daripada Anda dan saya, tetapi ia akan lari  dari kita kalau kita melawannya. Kita memiliki kuasa untuk melawan Iblis dan melawan dosa, karena sekarang kita bebas dari kendali mereka.

Apakah itu pengalaman Anda sekarang? Saya katakan “sekarang” karena Roma 6 berbicara tentang pengalaman masa kini. Contohnya, ayat 7 berkata,

“Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa”.

Tubuh dosa telah dinetralkan saat ini, bukan di masa depan. Pada baptisan kita menyerahkan diri kita untuk mati—mati bagi manusia lama—dan kita selesai dengan cara hidup yang lama kita saat itu juga.

Sekarang kita dapat mengalami kebebasan ini. Sebelumnya, kita lebih menyerupai gambaran suram di Roma 7: kita tidak berdaya melawan dosa. Akan tetapi, syukur kepada Allah, Roma 8.2 berkata, “Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut”. Di dalam diri Anda, hukum kehidupan dalam Kristus telah mengalahkan hukum dosa dan maut. Anda telah dibebaskan karena adanya suatu kuasa yang mengalahkan kuasa lainnya. Dalam Kristus, hidup mengalahkan maut. Kuasa dosa sangatlah besar, tetapi Anda sudah dibebaskan oleh kuasa kehidupan yang lebih besar lagi dalam Kristus Yesus melalui Roh Kudus.

Sekarang saya dapat melawan dosa karena dosa tidak lagi menjadi tuan atas hidup saya. Roma 6:12 berkata,

“Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya.

Perhatikan signifikansi dari kata ‘hendaklah’. Sebelumnya Anda tidak memiliki pilihan kecuali berbuat dosa karena dosa berkuasa atas Anda. Anda berusaha untuk melawan dosa tetapi usaha itu ternyata sia-sia, karena dosa terlalu kuat. Akan tetapi, sekarang Anda memiliki kuasa untuk memilih—kuasa untuk “hendaklah”. Kemerdekaan ini berarti Anda kini bebas memilih untuk tidak  mengizinkan “dosa berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana”.

Namun, jika Anda terus mengizinkan dosa untuk berkuasa dalam hidup Anda, maut akan menanti Anda. Sebagaimana yang diperingatkan oleh sang rasul kepada orang Kristen di Roma, “Karena keinginan daging adalah maut”. Ia kemudiannya menasihati mereka dengan kebenaran bahwa “keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera” (Rom 8:6). Kita dapat memilih satu atau yang lainnya, daging atau Roh, maut atau hidup. Sebelumnya kita tidak ada pilihan karena dosa menguasai kita. Namun sekarang, kita dapat memilih untuk tidak menjadi hamba dosa.

Roma 6:14 berkata,

“Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah anugerah.”

Di bawah Perjanjian Lama, Roh Kudus tidak tersedia bagi semua orang sebagai anugerah Allah. Roh Kudus adalah tanda dan meterai dari Perjanjian Baru, bukan Lama. Di bawah hukum Taurat, dosa yang berkuasa. Kita juga, walaupun kita tahu perintah–perintah Tuhan, kita tidak mampu menaatinya. Dosa terlampau kuat bagi kita. Hukum Taurat membuat nyata bahwa semua manusia, bahkan orang yang paling religius pun, berada di bawah kuasa dosa. Namun sekarang, dosa kehilangan kuasanya atas orang–orang yang berada di dalam Kristus.

Di Roma 6:18 Paulus  berkata,

“Kamu telah dibebaskan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran”.

Di ayat 22 ia menyatakan kepada kita akibat dari kemerdekaan ini:

“Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal”.

Apa hasil dari hidup yang sudah dibebaskan dari dosa dan yang sedang bertumbuh dalam kekudusan? Hidup yang kekal.

Inilah alasannya mengapa begitu penting untuk dibebaskan dari kuasa dosa. Itu bukan sekadar masalah remeh suka atau tidak suka. Hal ini berkaitan dengan keselamatan kita. Kemerdekaan dari dosa itu penting karena akhir dari jalan yang sempit ini ialah hidup yang kekal. Mereka yang belum dibebaskan dari dosa berjalan di jalan luas menuju kebinasaan.


Pada Baptisan Kita Berjalan Masuk ke Penguburan Kita!

Sama seperti kita menyerahkan diri kita untuk tidur di tengah kebisingan dan gangguan, jadi kita menyerahkan diri untuk disatukan dengan Kristus melalui Roh, “dibaptis dalam kematiannya” (Rom 6:3), dan “dikuburkan bersama–sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian… demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (ay.4).

Keputusan itu berada di tangan kita. Orang yang akan menerima baptisan sebetulnya sedang berjalan menuju penguburannya! Ini sangat menarik, karena biasanya orang digotong menuju kuburannya. Lagi pula, kita tidak menyeret orang-orang ke dalam baptisan secara paksa, lalu “menguburkan” mereka tanpa persetujuan mereka. Tidak, setiap orang harus mengambil keputusan sendiri untuk melangkah menuju ke air, untuk dikuburkan bersama-sama dengan Kristus. Mati dan dikuburkan harus menjadi keputusan kita sendiri, kalau tidak, setelah peti mati ditutup, kita mungkin berteriak-teriak meminta dikeluarkan!

Jika kita menyerahkan diri kita kepada Tuhan tanpa syarat, bagian yang berikut bersifat pasif: kematian datang kepada kita seperti gelombang. Gelombang-Nya melingkupi kita, menggunakan gambaran dari Perjanjian Lama (misalnya Yun 2:3). Air baptisan menyapu kehidupan lama kita, seperti yang dilakukan oleh air bah pada zaman Nuh (1Pet 3:20-21) supaya di dalam Kristus (seperti bahtera Nuh) kita dilahirkan kembali ke dalam hidup yang baru. Ini adalah hasil pekerjaan Allah di dalam diri kita, bukan hasil usaha kita.

 

Berikan Komentar Anda: