Pastor Eric Chang | Manusia Baru 2(a) |

Apakah Anda hidup atau mati? Apakah kita merasa bahwa ini pertanyaan yang aneh? Mari kita perhatikan perkataan Yesus kepada jemaat di Sardis,

“Engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati” (Why 3:1).

Mereka mengira bahwa mereka hidup dan bahkan memiliki reputasi sebagai jemaat yang hidup, tetapi mereka diberitahu bahwa secara rohani mereka mati dan tidak berfungsi secara rohani.

Hidup bagi dunia dan mengejar hal–hal duniawi berarti mati secara rohani. Sebaliknya, hidup bagi Allah berarti mati terhadap hal–hal duniawi. Kita entah mati bagi dunia atau mati bagi Allah. Inilah pilihan terpenting dalam hidup kita. Setiap upaya untuk berkompromi akan mengundang malapetaka.

Banyak orang Kristen yang lemah, dan beberapa sedemikian lemah sehingga mereka bahkan tidak tahu apakah mereka hidup atau mati. Pertanyaan yang penting adalah, “Apakah saya sudah benar–benar mati bagi dosa? Saat dibaptis seharusnya saya sudah mati bersama-sama dengan Kristus, tetapi kelakuan saya selanjutnya menunjukkan bahwa saya belum benar–benar mati. Mungkin hanya setengah mati.” Akan tetapi, orang yang belum mati sepenuhnya tidak dapat dikatakan mati. Jika Anda belum mati, bagaimana mungkin Anda dapat memiliki hidup baru di dalam Kristus?

Jika kita belum mati bagi kehidupan yang lama, bagaimana kita dapat menjalani hidup dalam komitmen kepada Tuhan? Ada banyak orang Kristen yang menyatakan bahwa mereka berkomitmen total, tetapi tidak yakin dengan komitmen mereka. Setiap kali mereka berbuat dosa, mereka mulai bertanya kepada diri sendiri, “Apakah saya benar-benar sudah diselamatkan?”

Beberapa orang Kristen menjalani hidupnya selama berpuluh tahun sebelum akhirnya menyadari bahwa mereka ternyata belum pernah menjadi orang Kristen sejati. Manusia lamanya masih belum mati, dan tidak pernah ada suatu komitmen yang sepenuhnya kepada Tuhan. Maka mereka menjalani hidup dari hari ke hari tanpa jaminan yang hanya dapat diberikan oleh Roh Kudus sendiri, yaitu bahwa kita milik-Nya, dan bahwa kita adalah anak–anak Allah (Rm 8:16). Akibatnya, mereka menjalani hidup dalam kegelisahan tanpa kekuatan rohani.


‘Selamat Tinggal’ yang Setengah-setengah Bahkan dalam Pelayanan Purna Waktu

Yang sebagian dapat menjadi musuh bagi yang keseluruhan, berarti, Anda mungkin berkomitmen dalam satu bidang dan mengira bahwa komitmen Anda dalam bidang itu mewakili keseluruhannya. Asumsi ini merupakan kesalahan yang serius, khususnya bagi mereka yang sedang memikirkan untuk melayani Tuhan purna waktu, atau mereka yang sudah memasuki pelayanan purna waktu. Apa yang saya maksudkan dengan ini?

Seseorang mungkin melepaskan pekerjaan dan profesinya untuk melayani Tuhan. Dalam melepaskan pekerjaannya, ia berpikir ia sudah secara konkret menyatakan komitmen totalnya kepada Tuhan. Apa yang ia lakukan tak dapat disangkal merupakan suatu bentuk komitmen, tetapi apakah itu total? Merelakan pekerjaan atau karir, tentu saja merupakan suatu langkah besar. Namun, bagaimana jika dalam melepaskan karir, kita tidak melepaskan sikap keras kepala, perangai emosional dan kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri? Apa gunanya melepaskan karir kalau kita masih mempertahankan manusia lama kita yang egois?

Dalam merelakan karir demi melayani Tuhan kita memang sudah mengorbankan sesuatu yang sangat berharga. Akan tetapi, betapa pun pentingnya karir bagi kita, karir mewakili hanya sebagian dari kehidupan kita. Apakah hal yang paling penting bagi manusia? Tak diragukan lagi hal yang terpenting adalah, diri kita sendiri, ego kita, si “AKU” yang besar, si “nomor satu”. Jadi pertanyaannya adalah: Sudahkah kita menyerahkan hal yang terpenting ini dalam hubungan kita dengan Allah? Itulah yang saya maksudkan dengan yang sebagian menjadi musuh bagi yang keseluruhan.

Itulah sebabnya mengapa melepaskan karir tidak berarti kita telah melepaskan segalanya jika bagian yang paling penting masih belum dilepaskan—ego kita. Ini berarti kita masih belum mengucapkan selamat tinggal kepada sikap kita yang lama, maupun meninggalkan hasrat untuk mengejar kepentingan pribadi. Akibat tragis dari semua ini adalah kita masuk ke dalam pekerjaan Tuhan dengan membawa sifat mementingkan diri seperti sebelumnya. Di dalam kita masih orang yang sama, yang mementingkan diri sendiri. Akibatnya bagi gereja sangat menyedihkan.

Banyak orang menjadi Kristen dan masuk pelayanan purna waktu untuk mencari sesuatu bagi dirinya. Marilah kita berterus terang dalam hal ini. Banyak orang yang mencari kepuasan batin yang tak dapat diberikan oleh pekerjaan sekuler mereka. Mereka tidak salah. Melayani Tuhan memang memberi kepuasan batin yang tak dapat diberikan oleh pekerjaan sekuler. Jika Anda melayani Tuhan dengan sepenuh hati, apabila Anda melihat orang datang kepada Tuhan, apabila Anda melihat perubahan terjadi dalam hidup orang, apabila Anda melihat efek dari Firman Allah dalam hati orang, Anda mendapatkan kepuasan mendalam yang tak dapat disaingi oleh pekerjaan sekuler mana pun meskipun dengan segala imbalan keuangannya.

Namun, di sinilah letaknya bahaya yang mengintip. Anda mungkin melayani untuk mencari kepuasan batin. Ini tidak selamanya salah, karena kita jangan menganggap bahwa kita harus melayani Tuhan tanpa kesukacitaan atau kepuasan batin. Akan tetapi, jika Anda masuk pelayanan tanpa meninggalkan mentalitas yang lama, yang egois, di mana kepuasan-diri merupakan  faktor pendorong yang utama, ini menunjukkan bahwa si-aku masih merupakan pusat dari kehidupan Anda. Anda sebetulnya masih didorong oleh keinginan untuk menyenangkan diri sendiri ketimbang menyenangkan Tuhan dalam segala sesuatu yang Anda lakukan.

Akibatnya, beberapa penginjil dan pekerja Kristen mempamerkan perilaku yang jauh di bawah standar. Saat melihat kelakuan mereka, orang-orang menjadi sangat terkejut. Barangkali Anda sendiri juga pernah menyaksikan hal-hal seperti ini.

Baru–baru ini saya bercakap–cakap dengan seorang pendeta sebuah gereja Tionghua di New Jersey, Amerika. Pendeta ini sebelumnya adalah seorang peneliti biokimia dengan gelar Doktor di bidang biokimia. Ia melepaskan pekerjaannya untuk melayani Tuhan. Ia bercerita tentang pertemuan para pendeta yang pernah dihadirinya. Ia baru melayani selama setahun waktu itu, dan matanya terbuka dalam cara yang amat menyedihkan. Ia sangat terkejut dengan perilaku sebagian besar dari pendeta-pendeta dan pekerja-pekerja Kristen di pertemuan tersebut yang tertutup kepada orang luar dan jemaat biasa. Ia terpaku melihat cara mereka berbicara satu sama lain yang tidak menunjukkan kasih bahkan kasar, mereka saling memaksakan pendapat dan menonjolkan diri dengan angkuhnya. Ketika akhirnya ia tidak dapat menahan lagi, ia berdiri dan berkata, “Saya malu berada di tengah–tengah kalian hari ini. Kelakuan kalian mencemarkan Injil.”


Membuat Komitmen Tanpa Meninggalkan Manusia Lama

Mengapa beberapa pekerja Kristen sepenuh-waktu berkelakuan seperti itu? Alasannya sederhana: Benar, mereka sudah meninggalkan pekerjaan yang lama; benar, mereka pernah membuat semacam komitmen; tetapi tidak, mereka belum meninggalkan sikap dan mentalitas yang lama. Ego lama atau “si aku” merupakan satu-satunya milik yang tidak ingin mereka lepaskan. Jadi mereka membawanya masuk ke dalam pelayanan. Hal ini secara tak terhindarkan akan membawa keaiban dan bencana bagi gereja.

Demikian pula, kita mungkin sudah membuat komitmen kepada Tuhan saat dibaptis. Kita mungkin berkata, “Tuhan, saya meletakkan hidup saya ke dalam tangan-Mu. Saya sekarang menjadi milik-Mu.” Baik sekali. Namun, kemudian kita tetap membawa kebiasaan lama, watak lama dan sikap suka mencela, ke dalam kehidupan Kristen dan gereja. Kita bawa bersama semua hal lama itu masuk ke dalam “hidup baru”—menimbulkan suatu kontradiksi hebat di dalam diri kita.

Dengan cara ini, beberapa orang Kristen menjadi perwujudan dari kontradiksi! Akibatnya, tak lama kemudian mereka mulai bertanya apakah mereka sudah mati atau masih hidup.

Tahukah Anda apakah Anda mati atau hidup sekarang? Dapatkah Anda mengatakan, tanpa menipu diri sendiri, “Saya hidup saat ini juga. Saya sangat yakin bahwa saya hidup dan tidak mati”?

Atau, mungkin Anda terpaksa mengakui bahwa Anda tidak tahu Anda hidup atau mati. Namun, mungkinkah orang membuat komitmen dan tidak mengetahuinya? Apakah mungkin seseorang dibaptis, bersatu dengan Kristus dalam kematian, lalu keluar dari air dan berkata, “Saya tidak tahu apakah saya mati atau hidup”? Jika orang yang mati tidak tahu bahwa ia mati, itu tidak mengherankan karena orang mati tidak tahu apa–apa. Akan tetapi, jika orang yang hidup tidak tahu apakah dia hidup atau tidak, itu benar-benar suatu masalah yang besar!


Apakah Kematian itu Seketika atau Progresif?

Ini membawa kita kepada pertanyaan penting lainnya: Apakah pengudusan itu berlangsung seketika atau progresif? Apakah kehidupan Kristen merupakan proses kematian yang berangsur-angsur, ataukah itu merupakan proses pertumbuhan dan kehidupan? Atau kombinasi dari keduanya: separuh waktu kita mati dan separuh waktu kita hidup? Ataukah itu merupakan suatu paradoks, hidup dan mati berbarengan, kita hidup seraya kita mati, dan mati seraya kita hidup? Semua ini tampak begitu rumit sehingga mungkin tak akan pernah dipahami!

Atau apakah mungkin kehidupan Kristen itu suatu komitmen yang perlahan-lahan untuk mati? Jika demikian, kehidupan Kristen ternyata ialah proses kematian yang perlahan–lahan. Apakah kita sudah mendapatkan gambaran yang tepat? Bagaimanapun juga, kita belum mencapai kesempurnaan sepenuhnya dari dosa. Kelihatannya masuk akal kalau kita mati terhadap dosa secara perlahan–lahan, dan proses ini berlangsung sepanjang kehidupan Kristen kita. Akan tetapi, dalam pergumulan kita sehari–hari, kita mulai meragukan pemikiran semacam ini karena Yesus berkata di Yohanes 10:10, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Dalam kenyataan, kita lebih akrab dengan kematian yang berkelimpahan dibandingkan hidup yang berkelimpahan!


Siapa pun yang Tidak Melepaskan Segala Miliknya Tidak Dapat Menjadi Muridku

Untuk memahami perkara ini, mari kita kembali pada Yesus sendiri, dan mendengarkan perkataannya sendiri. Mungkin Anda bertanya, “Di mana Yesus mengajarkan hal-hal ini?” Sebenarnya di beberapa tempat, tetapi kita akan berkonsentrasi pada Lukas 14.33: “Demikian pulalah tiap–tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridku.” Untuk mendapatkan konteksnya, mari kita baca dari ayat 25:

Pada suatu kali banyak orang berduyun–duyun mengikuti Yesus dalam perjalanannya. Sambil berpaling ia berkata kepada mereka, “Jikalau seorang datang kepadaku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak–anaknya, saudara–saudaranya laki–laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut aku, ia tidak dapat menjadi muridku. Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau–kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan–jangan semua orang yang melihatnya, mengejek, sambil berkata, “Orang ini mulai mendirikannya, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat–syarat perdamaian. Demikian pulalah tiap–tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridku.


Anugerah yang Mahal versus yang Murah

Kita tertusuk oleh kemutlakan perkataan Yesus. Tuntutannya tidak saja tinggi, tetapi total, mutlak, tak terbatas. Kita harus mengucapkan selamat tinggal kepada segala milik kita; kita tak dapat menghindari kata segala itu. Dalam Firman Allah kita seringkali menemukan kata “segala”, yang menimbulkan rasa tidak nyaman di hati. Keselamatan dari Allah memang merupakan suatu anugerah, tetapi sedikit yang menyadari bahwa jika Anda menerima anugerah ini, Anda harus membayar dengan segala milik Anda. Kita harus melepaskan segalanya untuk memperoleh mutiara yang tak ternilai itu (Mat 13:46). Anugerah yang mahal—itulah anugerah yang diberitakan Alkitab.

Namun, banyak gereja memberitakan anugerah yang murah—anugerah yang tidak ada harganya, sedemikian murahnya sampai–sampai tidak ada obralan akhir tahun yang dapat menyainginya. Akan tetapi, anugerah murahan tidak ada kemiripan sama sekali dengan ajaran Yesus. Di sini ia memakai kata “tiap–tiap orang di antara kamu” untuk menyatakan bahwa tidak seorang pun yang dikecualikan. Yesus berbicara tidak hanya kepada para rasul atau “kelompok elit”, tetapi kepada semua orang. Kepada “banyak orang yang berduyun–duyun” itu Yesus berkata, “tiap–tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridku” (ay.33).

Kita entah menerima Firman Tuhan dengan serius atau melupakannya saja. Namun, jika Anda bermaksud untuk berkompromi dan berkata, “Saya akan menjadi orang Kristen moderat saja, yang menjalankan Firman Tuhan setengah-setengah saja. Tidak perlu menjadi orang fanatik yang melakukan segalanya”, Anda tidak akan pernah tahu apa artinya menjadi orang Kristen sejati maupun mengalami hidup berkelimpahan yang dikatakan Yesus.

Lagi pula, dalam jangka panjang Anda justru akan membayar harga yang lebih mahal. Harga yang lebih mahal itu merupakan sesuatu yang akan Anda temui sendiri nantinya: daripada mengalami hidup berkelimpahan seperti yang dijanjikan Yesus, Anda akan mendapati bahwa hidup adalah proses kematian yang terus-menerus. Mati selamanya, mati yang berkelimpahan.

Menolak perkataan Yesus berarti maut. Mengabaikan perkataannya akan berakibat pada kekalahan demi kekalahan dalam kehidupan rohani, kegagalan demi kegagalan, yang ujung–ujungnya berakhir dengan maut juga. Namun, jika kita mematuhi dia, kita akan mengalami kenyataan dari perkataannya di Yohanes 10:10, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”

Jika Anda melakukannya setengah–setengah, atau jika Anda menganggap bahwa Firman Tuhan terlalu ekstrim, atau mengira terlalu ‘fanatik’ untuk mengikuti panggilan Yesus dengan sepenuh hati, Anda akan berakhir dengan kehidupan Kristen yang tanpa kuasa, tanpa sukacita, dan tidak bermakna—sedemikian hampanya sehingga lebih baik Anda melupakan saja semuanya dan kembali ke dunia. Nikmatlah dunia ini selama masih ada kesempatan, karena alternatifnya lebih buruk: tidak bahagia sekarang dan sengsara kemudian. Paling tidak nikmatilah dirimu hari ini, sekalipun itu membawa kesengsaraan pada penghakiman. Akan tetapi, memilih untuk hidup sengsara sekarang dan juga pada penghakiman, tentu saja merupakan pilihan orang yang paling bodoh di dunia.

Dalam hal ini, bukankah lebih cerdik orang dunia yang berkata, “Marilah kita makan dan minum sebab besok kita mati” (Yes 22:13; 1Kor 15:32)? Yang menantinya adalah maut dan penghakiman, maka lebih baik dia menikmati hidupnya sekarang walaupun cuma beberapa puluh tahun. Paling tidak ia sempat menikmati dirinya untuk sementara—sebelum masuk ke dalam hukuman yang kekal. Itu masih lebih baik daripada mereka yang mendapatkan hal terburuk dari kedua dunia: sengsara sekarang, diikuti dengan kesengsaraan yang abadi.

Kita mudah terjebak dalam kebodohan. Anak–anak dunia lebih cerdik, dalam aspek ini, daripada mereka yang menyatakan dirinya anak–anak terang (Luk 16:8). Lagi pula, anak–anak kerajaanlah yang dicampakkan keluar karena ketidakpercayaan dan ketidaktaatan mereka (Mat 8:12). Menyedihkan! Banyak orang tetap bertanya, “Mengapa kami tidak mengalami hidup berkelimpahan seperti yang Yesus katakan?” Itu karena kita tidak memenuhi ajarannya; begitulah sederhananya jawabannya. Merupakan hal yang bodoh untuk mengira bahwa kita dapat memperoleh hidup berkelimpahan dengan Injil murahan, yang tidak pernah diajarkan oleh Yesus.


“Melepaskan Segalanya” Jauh Melebihi Sekadar Harta Milik

Mari kita lihat kembali pernyataan Yesus: yang tidak “melepaskan dirinya dari segala” miliknya, tidak dapat menjadi muridku” (Luk 14:33). Saya ingin menekankan dari awal bahwa hal ini tidak terbatas pada harta materi saja. Malahan, konteksnya sedikit sekali berkaitan dengan hal materi. Apabila kita melihat pernyataan “melepaskan dirinya dari segala miliknya”, kita sering membayangkan rumah, rekening bank, uang yang dikumpulkan untuk hari hujan, segala harta duniawi. Istilah “segala miliknya” tentu saja mencakup harta milik materi, tetapi tidak secara eksklusif. Sebagaimana yang disampaikan oleh rasul Paulus, Anda dapat melepaskan segalanya dan bahkan merelakan tubuh Anda untuk dibakar, tetapi tidak memiliki kasih (1Kor 13:3) karena Anda masih berpusatkan-diri daripada berpusatkan-Allah.

Sangat penting bagi kita untuk memahami kebenaran ini: melepaskan harta benda dapat menjadi pengganti untuk penyerahan milik yang paling berharga bagi kita, yaitu, cara hidup yang lama, yang mementingkan diri sendiri. Satu-satunya harta milik yang nilainya di atas segalanya adalah  diri kita, ‘si aku’ itu.

Oleh karenanya, penting untuk ditekankan bahwa penelaahan secara cermat atas ajaran Yesus menunjukkan dengan jelas bahwa ia tidak berbicara secara eksklusif tentang harta milik bersifat materi. Dalam Lukas 14, hubungan keluarga yang terdekat dan tersayang, yang biasanya kita pandang lebih berharga daripada rumah atau tanah, harus “dibenci” jika mereka berusaha untuk menghalangi kita dalam mengikut Yesus. Apa artinya “memikul salib” kalau bukan  mengorbankan bahkan nyawa kita sendiri?

Perhatikan baik–baik, terutamanya jika Anda tidak memiliki banyak harta yang harus direlakan. Lebih mudah untuk menyerahkan segala milik Anda jika nilainya kecil. Jika Anda memiliki hanya Rp 100.000, Anda tidak mengalami masalah untuk menaati perintah Yesus, “Lepaskan segala milikmu.” Demikian pula, melepaskan suatu pekerjaan itu gampang jika pekerjaan itu tidak memuaskan. Barangkali Anda bosan dengan atasan Anda, atau dengan saingan yang  sering menyerang Anda, ataupun dengan rekan-rekan sekerja dengan asap rokoknya yang menjengkelkan, yang mengancam Anda dengan kanker paru–paru. Melepaskan pekerjaan? Halelujah, ambillah! Ambil juga uang Rp 100.000 itu! Tidak ada yang lebih mudah.

Akan tetapi, kita lalu membawa egoisme kita ke dalam gereja, bersama dengan sikap angkuh dan suka mencela. Namun, kita tak dapat mengelabui Allah. Kita berurusan dengan Dia yang disebut “satu-satunya Allah yang penuh hikmat” (Rm 16:27). Ia mencari sesuatu yang lebih dalam dari pekerjaan atau harta milik kita. Meskipun kita menilai pekerjaan kita sebagai hal yang sangat berharga, apakah Allah menilainya setinggi itu? Hal itu mungkin berharga bagi kita, tetapi tidak bagi-Nya. Yang benar-benar berharga bagi Dia adalah hati kita, “manusia batiniah” kita, dan seluruh keberadaan kita.

Anda dapat melepaskan pekerjaan bahkan harta milik Anda tanpa menyerahkan hati Anda, diri Anda, atau seluruh keberadaan Anda kepada Allah. Inilah yang sering terjadi. Di Filipi 2:19-21, Paulus  sangat sedih mendapati bahwa di antara rekan-rekan kerjanya, tak seorangpun kecuali Timotius yang begitu bersungguh–sungguh memperhatikan kepentingan saudara–saudara seiman. Rekan-rekan kerja macam apa mereka itu? Tidak dapat diragukan beberapa orang telah melepaskan harta bendanya untuk mengikut Tuhan, tetapi tanpa melepaskan keakuannya. Mereka telah memindahkan hidup lama mereka, bersamaan dengannya sifat egois mereka, ke dalam hidup yang baru. Akibatnya, semua yang “baru” hanya ada di luar saja; yang di dalam tidak ada yang baru.

Mari kita mencari akar persoalannya. Apakah kita menyatakan diri berkomitmen secara total? Itulah pertanyaannya. Istri saya Helen mengatakan kepada saya bahwa melepaskan pekerjaannya sebagai perawat itu mudah. Melepaskan harta bendanya juga mudah; bagaimanapun juga, ia tidak memiliki banyak harta. Namun, ketika berbicara tentang melepaskan cara hidupnya yang lama yang egois, itulah yang menjadi persoalan.


Nyawa, Bukan Hanya Harta Benda

Mari kita perhatikan perkataan Yesus dengan teliti: barangsiapa kehilangan “nyawanya”—bukan hanya “harta miliknya”—ia akan memperolehnya (Mat 16:25). Yang menyelamatkan nyawanya akan kehilangan nyawanya, sekalipun ia menyerahkan seluruh harta miliknya. Betapa tegasnya cara Yesus berurusan dengan kita! Kita tidak dapat menghindari kedalaman dan kekuatan hikmatnya.

Jika Anda ingin mengalami hidup yang berkelimpahan dalam Kristus, jangan katakan pada diri Anda bahwa Anda rela melepaskan pekerjaan Anda. Begitu juga harta benda dan yang sejenis, tetapi keakuan itulah yang penting untuk dilepaskan. Mulai saat ini, kita hidup sepenuhnya untuk Dia dan untuk sesama. Yang diutamakan ialah kehendak Allah dan kepentingan sesama manusia, dan bukan kepentingan pribadi,.

Jika kita tidak memenuhi hal ini, kita tidak akan mengalami kehidupan Kristen yang berkemenangan. Kita hanya akan memandang janji Yesus sebagai khayalan yang tak akan pernah dapat diraih dalam kenyataan. Kita menjadi seperti ahli astronomi yang memelototi bintang–bintang dan mengagumi keindahannya lewat teleskop, tetapi tak dapat menyentuhnya. Ajaran Yesus menjadi seperti benda indah yang kita kagumi dari jauh. Itu hanya untuk tukang mimpi, bukan untuk orang pragmatis seperti kita. Kita menyanjung diri karena menjadi orang Kristen yang pragmatis. Akibatnya, hidup berkelimpahan yang dipenuhi oleh Roh Kudus menjadi omong-kosong belaka.


Kehilangan Segala Sesuatu untuk Memperoleh Kristus?

Paulus  berkata,

“aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus”  (Flp 3:8).

Lalu ia melanjutkan dengan berkata bahwa kita juga harus “berpikir demikian” (ay.15) dan mengajak kita untuk mengikuti teladannya (ay.17). Apakah kita memiliki sikap semacam ini? Paulus  terinspirasi oleh tujuan ini: untuk “memperoleh Kristus”. Apakah tujuan ini menginspirasi kita juga?

Mengapa memperoleh Kristus? Karena rasul ini telah mengerti bahwa segala yang memiliki nilai kekal ada di dalam Kristus, itu sebabnya memperoleh Kristus berarti memperoleh segala yang berharga.

“Dalam dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan.” (Kol 2:9);
“di dalam dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan” (Kol 2:3).
“Kristus adalah hidup kita” (Kol 3:4)

“Memperoleh Kristus” juga berarti diselamatkan. Hal ini dapat dilihat dengan jelas, umpamanya di 2 Timotius 2.10, “mendapat keselamatan dalam Kristus Yesus…”. Perhatikan bahwa “mendapat keselamatan” sama dengan “memperoleh Kristus”. Di 1Korintus 1:30, Paulus berkata, “Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi…penebusan kita.” Keselamatan dan penebusan hanya ada di dalam Kristus. Bagaimana mungkin kita mendapatkan semua ini kecuali kalau kita “memperoleh Kristus”?

Jika Paulus dapat “memperoleh Kristus” tanpa harus kehilangan segalanya, atau jika ia dapat menikmati hidup yang berkelimpahan tanpa harus melepaskan segalanya, lalu mengapa ia berbuat demikian? Bukankah ia akan menjadi orang paling bodoh di dunia karena melakukan hal yang sama sekali tidak perlu? Akan tetapi, pada akhirnya siapa yang akan terbukti bodoh, kita atau sang rasul?


Kehidupan dan Pengajaran Paulus Menggenapi Ajaran Yesus

Apa yang dilakukan sang rasul, apa yang diajarkannya dalam Filipi 3, memenuhi ajaran Yesus dalam Lukas 14.  Mengapa kita pilih–pilih dalam mengutip ajaran Paulus tentang keselamatan (memilih bagian yang memenuhi selera dan mengabaikan bagian yang tidak sesuai selera), dan masih membayangkan bahwa kita dapat diselamatkan? Bukankah kita menipu diri sendiri dengan berbuat demikian? Kita mengira bahwa kita dapat memperoleh Kristus tanpa harus “kehilangan segalanya”, atau mungkin hanya kehilangan beberapa hal saja.

Kenyataan bahwa Paulus melepaskan segalanya sedangkan pada waktu bersamaan  mengajarkan keselamatan berdasarkan iman jelas menunjukkan bahwa ia tidak melihat adanya kontradiksi apapun di antara kedua hal tersebut. Kontradiksi hanya muncul di pikiran orang-orang Kristen yang telah diajar anugerah murahan untuk memancing iman murahan. “Iman” dalam kosa kata Paulus bukan hanya sekadar penerimaan di tahap akal budi, tetapi suatu komitmen yang total kepada Allah yang disertai oleh implikasi yang praktis dan nyata.

Fakta ini dapat diperjelas dengan menanyakan: Maukah seseorang menyerahkan segalanya, termasuk dirinya sendiri, untuk memperoleh Kristus kalau tidak memiliki iman sepenuhnya dalam Kristus? Jawabnya jelas tidak. Tanpa iman seperti itu tak seorangpun yang mau mengambil langkah tersebut. Hal ini hanya mungkin oleh iman. Oleh karenanya, mengambil langkah untuk melepaskan segala sesuatu untuk memperoleh Kristus adalah bukti kuat dari kesejatian iman. Iman semacam inilah yang Paulus nyatakan baik melalui teladannya maupun perkataannya. Iman semacam inilah yang dicari Tuhan di antara mereka yang dipanggil-Nya.

Bersambung…

 

Berikan Komentar Anda: